Dialek Bahasa Batak Toba: Kajian Geografi Dialek

BAB II
KERANGKA TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Dialek
Istilah dialek berasal dari bahasa Yunani dialektos. Pada mulanya istilah
tersebut dipergunakan dalam hubungan bahasa. Di Yunani terdapat perbedaanperbedaan kecil dalam bahasa yang dipergunakan oleh pendukung masingmasing, tetapi sedemikian jauh hal tersebut tidak menyebabkan mereka merasa
mempunyai bahasa yang berbeda. Perbedaan tersebut tidak mencegah mereka
untuk secara keseluruhan merasa memiliki satu bahasa yang sama. Oleh karena itu
ciri utama dialek adalah perbedaan dalam kesatuan, dan kesatuan dalam
perbedaan (Meillet, 1967:69).
Dialek merupakan ciri-ciri bahasa yang dimiliki suatu kelompok
masyarakat baik ciri-ciri dalam tata bunyi, kosakata, morfologi maupun sintaksis.
Kajian sistematik tentang semua bentuk-bentuk dialek, khususnya dialek regional
disebut dialektologi atau geografi dialek (Crystal, 1980). Pertama-tama, dari
definisi ini dapat dimengerti bahwa kajian-kajian bentuk dialek bersifat ilmiah.
Kedua, dialektologi menyangkut pemetaan dialek. Dengan demikian, dialektologi
mengkaji perbedaan-perbedaan dialek di daerah, baik dari segi kata, frasa, makna
maupun struktur.
Ayatrohaedi, (1983:2) menyatakan adanya dua ciri dalam dialek, yaitu:
1) dialek memiliki ciri umum dan masing-masing lebih mirip sesamanya
dibandingkan dengan bentuk ujaran lain dari bahasa yang sama, dan


Universitas Sumatera Utara

2) dialek tidak harus mengambil semua bentuk ujaran dari sebuah bahasa. Itulah
sebabnya Meillet dalam Ayatrohaedi, (1983:2) menyatakan ciri utama dialek
adalah perbedaan dalam kesatuan, dan kesatuan dalam perbedaan. Ciri utama
dialek adalah perbedaan dalam kesatuan dan kesatuan dalam perbedaan.
Dengan demikian, peneliti geografi dialek suatu bahasa harus menemukan
perbedaan-perbedaan unsur bahasa dalam bahasa yang diteliti.
Dialektologi adalah cabang ilmu bahasa yang secara sistematis mengkaji
yang berhubungan dengan dialek atau variasi dalam bahasa, baik variasi bahasa
yang ditimbulkan perbedaan strata sosial, variasi bahasa berdasarkan perbedaan
wilayah, dan variasi bahasa berdasarkan perbedaan waktu.
Kridalaksana, (2008:48) mendefinisikan dialek sebagai variasi bahasa
yang berbeda-beda menurut pemakai. Menurut Chambers dan Trudgill, (2004:5)
dialek mengacu pada variasi atau perbedaan bahasa secara gramatikal (mungkin
juga leksikal) maupun fonologi.
Nadra, (2009:2) menyatakan bahwa kelompok pemakainya dialek dapat
dibagi menjadi tiga jenis yaitu: dialek regional, dialek sosial, dan dialek temporal.
Dialek regional adalah dialek yang dituturkan berdasarkan perbedaan lokal

(tempat) dalam suatu wilayah bahasa atau dibatasi oleh tempat, misalnya dialek
Manado, atau dialek Jawa Banyumas. Dialek sosial adalah dialek yang dituturkan
oleh kelompok sosial tertentu seperti dialek wanita dalam Bahasa Jepang.
Selanjutnya dialek temporal yakni dialek yang dituturkan oleh bahasawan yang
hidup pada waktu tertentu, dalam hal ini dicontohkan seperti Bahasa Melayu
Klasik, atau Bahasa Melayu Modern yang merupakan dialek temporal dari Bahasa
Melayu.

Universitas Sumatera Utara

Ada dua ciri lain yang dimiliki dialek, yaitu (1) dialek adalah seperangkat
bentuk ujaran setempat yang berbeda yang memiliki ciri-ciri umum dan masingmasing lebih mirip sesamanya dibandingkan dengan bentuk ujaran yang berbeda
dari bahasa yang sama, dan (2) dialek tidak harus mengambil semua ujaran dari
sebuah bahasa (Meillet, 1967:69).
Trask, (2000:89) mendefinisikan dialek merupakan setiap perbedaan
ragam bahasa yang dituturkan sejumlah kelompok masyarakat di wilayah
geografis tertentu.
Ayatrohaedi (1985:30) mengatakan bahwa istilah dialek berasal dari
bahasa Yunani dialektos. Pada mulanya dialektos ini dinyatakan dalam bahasa
Yunani yang mempunyai sedikit perbedaan saja. Geografi dialek adalah cabang

dialektologi yang mempelajari hubungan yang terdapat di dalam ragam-ragam
bahasa.
Keraf (1991) menyatakan bahwa geografi dialek mempelajari variasivariasi bahasa berdasarkan perbedaan lokal dalam suatu wilayah bahasa.
Selanjutnya dia mengatakan bahwa hasil akhir dari seluruh kegiatan penelitian
geografi dialek adalah penyusunan peta mengenai dialek-dialek itu setelah
melakukan prosedur penelitian lapangan. Dalam pengertian ini, disamping
mengkaji variasi dialek, sangat perlu mempersiapkan peta dialek-dialek itu.
Fernandez dalam Nadra, (2006:29) mengemukakan bahwa semua
dialek dalam suatu bahasa mempunyai kedudukan yang sederajat, statusnya sama
tidak ada dialek yang lebih daripada dialek yang lain, tidak ada dialek yang
berprestise dan dialek yang tidak berpretise. Dialek juga sering disebut sebagai

Universitas Sumatera Utara

beberapa jenis penyimpangan dari satu norma- sebagai penyimpangan dari suatu
bahasa yang benar atau yang baku.
Nadra dan Reniwati (2009:4) menyatakan bahwa dialektologi adalah
cabang linguistik yang mempelajari variasi bahasa. Variasi bahasa yang dimaksud
adalah perbedaan- perbedaan bentuk yang terdapat dalam suatu bahasa. Perbedaan
tersebut mencakup semua unsur kebahasaan, yaitu fonologi, morfologi, leksikon,

sintaksis dan semantik.
Kajian dialektologi yang mengamati kajian bahasa adalah variasi regional,
variasi sosial, dan varasi historis. Berbeda dengan kajian sosiolinguistik yang
mengkaji yang mengkaji variasi bahasa

berdasarkan medium atau pokok

pembicaraan yang dikenal sebagai ragam atau register. Dialek yaitu variasi bahasa
yang terjadi karena perbedaan pemakai bahasa, tetapi register terjadi karena
adanya perbedaan pemakaiannya.
Variasi regional yaitu varasi bahasa berdasarkan perbedaan tempat atau
daerah. Variasi sosial yaitu variasi bahasa berdasarkan perbedaan sosial penutur
seperti etnis, pendidikan, jenis kelamin, usia, pekerjaan, kebangsawanan dan
keadaan sosial ekonomi.
Kajian dialek berdasarkan pada tempat yang berbeda-beda disebut
geografi dialek. Geografi dialek adalah istilah yang dipergunakan mendiskripsikan
usaha pembuatan peta pada distribusi ciri-ciri variasi linguistik yang asal lokasi
bahasa tersebut. Sehingga, variasi-variasi linguistik yang muncul dapat dipetakan
sebagaimana langkah akhir dari penelitian geografi dialek.


Universitas Sumatera Utara

2.2 Pembeda Dialek
Dialek dapat dibedakan menjadi lima bahagian, kelima bahagian perbedaan
itu adalah:
1) Perbedaan fonetik. Perbedaan di bidang fonologi, dan biasanya si pemakai
dialek atau bahasa yang bersangkutan tidak menyadari adanya perbedaan
tersebut.
2) Perbedaan semantik, yaitu terciptanya kata-kata baru, berdasarkan perubahan
fonologi dan pergeseran bentuk. Dalam peristiwa tersebut biasanya terjadi
pergeseran makna.
3) Perbedaan onomasiologis yang menunjukan nama yang berbeda berdasarkan
satu konsep yang diberikan di beberapa tempat yang berbeda.
4) Perbedaan

semasiologis

yang

merupakan


kebalikan

dari

perbedaan

onomasiologis yaitu pemberian nama yang sama untuk beberapa konsep yang
berbeda (Guiraud, 1970:18).
5) Perbedaan morfologis yang dibatasi oleh adanya sistem tata bahasa yang
bersangkutan, frekuensi morfem-morfem yang berbeda, kegunaan yang
berkerabat, wujud fonetisnya, daya rasanya, dan sejumlah faktor lainnya lagi
(Guiraud, 1970:18).
Setiap bahasa dipergunkan di suatu daerah tertentu, dan lambat laun
terbentuklah unsur kebahasaan yang berbeda-beda pula, seperti dalam lafal, tata
bahasa, dan tata arti, dan setiap ragam mempergunakan salah satu bentuk khusus
(Ayatrohaedi, 1983:3).

Universitas Sumatera Utara


Pendekatan yang sistematis terhadap perbedaan dialek amat penting dalam
dialektologi struktural. Dialektologi structural boleh dikatakan bermula pada
tahun 1954, serta berpegang terhadap pendapat para ahli bahasa bahwa sesuatu
system bahasa hendaklah dikaji secara bersaingan tanpa merujuk pada sistemsistem lain. System fonemik bagi suatu ragam bahasa dikaji dengan berdasarkan
satu prinsip yang terkenal, yaitu penyebaran bunyi yang saling melengkapi,
kesamaan bunyi dan wujud pasangan-pasangan minimal bagi ragam yang dikaji
(Chambers.J.K.1990:52)

2.2.1 Perbedaan Fonetik
Perbedaan ini berada di bidang fonologi, dan biasanya si pemakai dialek
atau bahasa yang bersangkutan tidak menyadari adanya perbedaan tersebut.
Adapun perbedan fonetik dalam penelitian dialektologi terdapat sedikit pembeda
fonetik, seperti tampak pada beberapa contoh di bawah ini:
BBDT

BBDS

BBDH

BBDTU


BBDTT

BBDD

Arti

bAh

dɔh

bɔh

bAh

bAh

bAh

wah


sian

tian

sian

sian

sian

sian

dari

di ŋkan

ti ŋkan

duŋkan


di ŋkan

si ŋkan

ti ŋkan

sebelah

asa

aso

ase

asa

ase

aso


supay a

marsogɔt

marsogɔt

marsogɔt

marsogɔt

marsogɔt

marsogɔt

besok

inda

indu

indi

nian

nian

nian

disana

ama ŋ

amoŋ

bapa

amoŋ

bapa?apa ŋ

bapa

ay ah

ina ŋ

inoŋ

uma

uma

ina ŋ

oma

ibu

da ŋ dope

da ŋ poso

da ŋ kedE

dang dope

da ŋ dope

da ŋ dope

belum

tu

hu

hu

hu

tu

tu

ke

ate

onten

akE

ate

ate

ake

betulkan

Universitas Sumatera Utara

2.2.2 Perbedaan Semantik
Perbedaan semantik, yaitu dengan terciptanya kata-kata baru, berdasarkan
perubahan fonologi dan pergeseran bentuk. Dalam peristiwa tersebut biasanya
terjadi pergeseran makna kata itu. Pergeseran tersebut bertalian dengan dua corak
yang menentukannya, yaitu:
1) Pemberian nama yang berbeda pada tempat yang berbeda. Pergeseran corak
ini pada umumnya dikenal dengan istilah sinonim, padanan kata, atau sama
waktu.
Pada pemberian nama ini terjadi pada daerah yang berbeda oleh pengaruh
pemakaian kosa kata untuk menyatakan sesuatu hal misalnya, untuk
menyatakan keheranan di daerah Toba Samosir diucapkan dengan kosakata
‗bah‘, di daerah Humbang Hasundutan diucapkan dengan kata ‗boh‘ dan di
daerah Samosir diucapkan dengan kata ‗doh‘. Pengucapan yang berbeda
dalam suatu daerah termasuk suatu variasi bahasa yang dianggap unik dan
membedakan.
2) Pemberian nama yang sama untuk hal yang berbeda di beberapa tempat yang
berbeda. Misalnya, kata / porngis/ ‗semut‘dan /porngis/ untuk menyatakan
‗berisi penuh‘ pada padi.
Pemakaian kata ‗porngis‘ adalah pemakaian kata yang melihat terhadap lokasi
atau situasi bicara. Kata ‗porngis‘ bisa berarti semut dan padi yang berisi
penuh. Porngis bisa berarti binatang dan porngis bisa berarti biji padi yang
baik yang biasanya dijadikan untuk bibit. Pemakaian kata ini harus
disesuaikan dengan konteks bicara dalam masyarakat Batak Toba.

Universitas Sumatera Utara

2.2.3 Perbedaan Morfologi
Perbedaan morfologis dibatasi sistem tata bahasa yang bersangkutan,
frekuensi morfem-morfem yang berbeda, kegunaan

yang berkerabat, wujud

fonetis, daya rasa, dan sejumlah faktor lainnya (Guiraud, dalam Ayat Rohaedi,
1983:5).
Perubahan bahasa yang paling mudah diperhatikan adalah pada bidang
kosakata. Perubahan kosakata bisa bertambah dengan masuknya kosakata baru
dari bahasa lain dan bisa juga berkurang karena tidak dipakainya kosakata tersebut
ataupun kalah bersaing dengan bahasa yang baru. Misalnya bahasa Indonesia
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI:edisi IV) memiliki sekitar 91.000
kosakata (dalam kamus Poerwadarminta hanya terdapat 23.000 kosakata) adalah
juga berkat tambahan berbagai sumber, termasuk bahasa- bahasa asing dan
bahasa-bahasa Nusantara. Peminjaman dan penyerapan itu berkaitan dengan
perubahan budaya, ilmu pengetahuan, dan teknologi, bahkan perubahan
lingkungan. Kata-kata yang diterima dari bahasa lain disebut kata pinjaman atau
kata serapan. Proses penyerapan atau peminjaman ini yang dilakukan secara
langsung dari bahasa sumbernya, tetapi ada juga melalui bahasa lain.

2.2.4 Isoglos, Heteroglos, atau Watas Kata
Perkembangan suatu bahasa atau dialek sangat tergantung kepada sejarah
daerah yang bersangkutan (Guiraud, 1970:19). Untuk menguji kebenaran
anggapan tersebut, para ahli berhasil menemukan alat bantu yang sangat penting
artinya dalam usaha memperjelas persoalan ini. Alat bantu ini disebut isoglos atau
watas kata, yaitu garis yang memisahkan dua lingkungan dialek atau bahasa

Universitas Sumatera Utara

berdasarkan wujud atau sistem kedua lingkungan yang berbeda, yang dinyatakan
dalam peta bahasa (Dubois, 1973:270). Garis watas kata itu kadang disebut
heteroglos (Kurath, 1972:24). Menurut Nababan, (1993:19) isoglos merupakan
garis yang menghubungkan dua tempat yang menunjukkan ciri atau unsur yang
sama, atau garis yang memisahkan dua tempat yang menunjukkan ciri atau unsur
yang bebeda pada bidang fonologi, morfologi, sintaksis dan/atau leksis.
Kridalaksana, (2008 :97) mendefinisikan isoglos sebagai garis pada peta bahasa
atau peta dialek yang menandai batas pemakaian ciri atau unsur bahasa.
Lauder (dalam Mahsun, 2005:163) menyebutkan bahwa isoglos pada
dasarnya merupakan garis imajiner yang diterakan di atas peta. Oleh karena itu,
tidak seorang pun dapat menentukan dengan pasti daerah-daerah mana yang
dilalui garis-garis tersebut. Gambaran yang benar mengenai batas-batas dialek,
harus dibuat watas kata yang merangkum segala segi kebahasaan (fonologi,
semantik, leksikal, dan sintaksis).
Chambers dan Trudgill, (2004:89) menyatakan, isoglos merupakan sebuah
garis penanda yang membatasi antara dua daerah yang berbeda pada unsur-unsur
lingusitik (misalnya pada unsur leksikal, atau pengucapan pada kata-kata tertentu).

Gambar 1: Garis Isoglos

Universitas Sumatera Utara

Dari gambar di atas, dapat dijelaskan bahwa garis isoglos A membedakan
daerah-daerah pengamatan yang menggunakan lambang ∆ dengan daerah-daerah
yang menggunakan lambang 0. Kridalaksana, (2008:34) berkas isoglos atau
bundle of isogloses merupakan gabungan dari beberapa isoglos. Menurut Mahsun,
(2006:14) berkas isoglos merupakan sebuah metode pemilah isolek sebagai dialek
atau subdialek selain metode dialektometri. Metode ini dapat memberi gambaran
secara visual mengenai daerah-derah pengamatan yang termasuk ke dalam
kelompok dialek atau subdialek tertentu.
Lauder, (2002:39) menjelaskan bahwa apabila puluhan atau ratusan peta
bahasa yang sudah dibubuhi isoglos ―ditumpuk‖ menjadi satu, maka akan menjadi
sebuah berkas isoglos. Alur garis-garis berkas isoglos yang ―dominan‖ merupakan
alat bantu untuk menganalisis dan menginterpretasikan distribusi kebahasaan
secara spasial.

2.2.5 Dialektometri
Dialektometri adalah ukuran secara statistik yang dipergunakan untuk
melihat berapa jauh perbedaan dan persamaan yang terdapat di tempat-tempat
yang diteliti dengan membandingkan sejumlah bahan yang terkumpul dari tempat
yang diteliti tersebut.
Dialektometri untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh ahli ilmu bahasa
E. Bagby Atwood pada tahun 1995, sedangkan istilah dialectometrie,
diperkenalkan oleh Jean Seguy dalam bukunya yang berjudul La Dialectometri
dans l’atlas Linguistique de la Gascogne. Teori itu kemudian dikembangkan oleh
Louis Remacle, dan sekarang telah banyak diterapkan untuk penelitian geografi .

Universitas Sumatera Utara

Menurut Revier (1975:424) dalam Mahsun (1995:118) dialektometri
merupakan ukuran statistik yang dipergunakan untuk melihat berapa jauh
perbedaan dan persamaan yang terdapat pada tempat-tempat yang diteliti dengan
membandingkan sejumlah bahan yang terkumpul dari daerah pengamatan.
Kajian dalam geografi dialek dilakukan dengan melalui beberapa tahapan,
yaitu:
1) mengumpulkan kosakata dasar bahasa-bahasa yang akan diteliti dengan
menggunakan suatu daftar kosakata,
2) memisahkan morfem-morfem terikat dari morfem-morfem bebas (morfemmorfem terikat tidak dianalisis),
3) mengeluarkan kata-kata jadian dan pinjaman,
4) mendaftarkan ragam dialek bahasa yang diteliti,
5) menentukan variasi unsur kosakata bahasa yang diteliti dengan rumus
dialektometri, dan
6) membuat pemetaan variasi dialek bahasa yang diteliti.
Analisis bahasa yang diperbandingkan antar tempat itu adalah analisis
fonologi, morfologi, kosakata, sintaksis, morfosintaksis, dan morfonologi. Agar
perhitungan lebih mudah dari setiap anasir disiapkan 100 buah peta. Dengan
memperhitungkan jumlah bedanya masing-masing yang dikalikan dengan 100 lalu
dibagi jumlah nyata peta yang dibandingkan. Dengan rumus sederhana, diperoleh
persentase jarak antara dialek tersebut. Berdasarkan rumus tersebut perbedaan
bidang leksikon yang lebih dari 81 % dianggap perbedaan bahasa, 51 – 80 %
dianggap perbedaan dialek, 31 – 50 % dianggap perbedaan subdialek, 21 – 30 %
dianggap perbedaan wicara atau parler, sedangkan perbedaan yang kurang dari 20

Universitas Sumatera Utara

% dianggap tidak ada perbedaan. Perbedaan bidang fonologi, 17% ke atas
dianggap perbedaan bahasa, 12-16% dianggap perbedaaan dialek, 8-11%
dianggap perbedaan subdialek, 4-7% dianggap perbedaan wicara, dan

0-3%

dianggap tidak ada perbedaan ( Guiter dalam Mahsun 1995).
Penghitungan

dialektometri

dilakukan

untuk

menentukan

tingkat

perbedaan dan persamaaan antarabahasa, dialek atau subdialek. Usaha untuk
menemukan cara pemilahan bahasa masih terus dilakukan, namun sejauh ini
nampaknya dialektometri dianggap masih mampu melakukan pemilahan bahasa
secara objektif.
Rumus yang dipakai untuk penghitungan adalah rumus yang diajukan oleh
Séguy-Guiter yaitu:
S
x100%  d
n

Keterangan:
s = Jumlah beda dengan daerah pengamatan lain
n = Jumlah peta yang dibandingkan
d = Jarak kosa kata dalam %
Sebagai contoh, dengan memperhitungkan jumlah beda pemakaian
kosakata di satu titik pengamatan dengan titik pengamatan lainnya yang dikalikan
dengan 100 lalu dibagi dengan jumlah nyata banyaknya peta yang dibandingkan,
diperoleh persentasi jarak kosakata di antara kedua titik pengamatan itu.
Penghitungan dialektometri dilakukan dengan dua cara, yaitu: (a). segitiga
antardaerah pengamatan dan (b). permutasian antardaerah pengamatan.

Universitas Sumatera Utara

Untuk menghitung dengan segitiga antardaerah pengamatan dilakukan
dengan ketentuan-ketentuan:
1) Daerah pengamatan yang diperbandingkan hanya daerah pengamatan yang
berdasarkan letaknya masing-masing mungkin melakukan komunikasi;
2) Setiap daerah yang mungkin berkomunikasi secara langsung dihubungkan
dengan sebuah garis, sehingga diperoleh segitiga yang beragam bentuknya;
dan
3) Garis-garis

segitiga

pada

segitiga

dialektometri

tidak boleh saling

berpotongan. Pilih salah satu kemungkinan saja, dan sebaliknya dipilih yang
berdasarkan letaknya lebih dekat satu sama lain.
Selanjutnya,

penerapan

dialektometri

baik

dengan

segitiga

antardaerah

pengamatan maupun dengan permutasian antar daerah pengamatan dilakukan
dengan berpegang pada prinsip-prinsip umum.
1) Apabila pada daerah pengamatan dikenal lebih dari satu bentuk untuk satu
makna dan salah satu di antaranya dikenal di daerah pengamatan lain yang
diperbandingkan, maka perbandingan itu dianggap tidak ada;
2) Apabila di daerah pengamatan yang diperbandingkan itu, salah satu di
antaranya tidak memiliki bentuk sebagai realisasi suatu makna tertentu, maka
dianggap ada perbedaan;
3) Apabila daerah pengamatan yang diperbandingkan itu semua tidak memiliki
bentuk sebagai realisasi dari satu makna tertentu, maka daerah pengamatan itu
dianggap sama;

Universitas Sumatera Utara

4) Dalam penghitungan dialektometri pada tataran leksikon, perbedaan fonologi ,
morfologi yang muncul harus dikesampingkan; dan
5) Hasil penghitungan itu dipetakan dengan sistem konstruksi ‖polygons de
Thiessen‖ pada peta segitiga dialektometri.
6) Perbedaan kriteria persentase yang digunakan di daerah pengamatan sebagai
kelompok bahasa, dialek, subdialek yang berbeda untuk bidang fonologi
dengan bidang leksikon. Persentasi untuk bidang fonologi lebih kecil
dibandingkan dengan persentase di bidang leksikon (Mahsun:1995). Menurut
Guiter (1973), kecilnya persentasi untuk bidang fonologi itu dikarenakan satu
perbedaan pada bidang fonologi dapat terefleksi pada perbedaan beberapa
bentuk untuk beberapa makna.

2.2.6

Tinjauan Pustaka
Beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan kebahasaan atau

pemetaan maupun hubungan kekerabatan bahasa dapat disampaikan berikut ini.
Girard, D dan Larmouth, D, (1987) dari university of Wisconisin Green Bay
melakukan penelitian dialektologi dengan fokus “ Log-linear Statistikal Model:
Explaining the Dynamics of Dialect Diffusion‖yaitu dengan cara menentukan
bahwa dinamika difusi dialek secara signifikan adalah juga sosial dengan
menggunakan log linear analysis.
Ayatrohaedi, (1985) tentang Bahasa Sunda di Daerah Cirebon
menemukan dan menggambarkan peta bahasa dan digambarkan pula garis batas
dialek.

Universitas Sumatera Utara

Danie, (1991) tentang Kajian Geografi Dialek di Minahasa Timur Laut
menggunakan 600 kosakata, 200 kosakata diantaranya terdapat dalam daftar kata
Swadesh yang dihimpun dari 61 daerah pengamatan. Peneliti menggunakan
metode dialektometri untuk pengelompokan antardaerah pengamatan yang
dilandasi persentase kekognatan leksikal yang didukung variasi fonologi. Dengan
cara tersebut akan diketahui persentase kekognatan leksikal. Untuk lebih jelas,
misalnya dari penghitungan dialektometri diperoleh persentase perbedaan leksikal
45%, maka persentase kekognatan dapat ditentukan dengan cara 100% - 45% =
55%. Ada yang menarik dari kerangka konseptual yang diusulkannya, yaitu
penghitungan persentase persamaan leksikal melalui metode dialektometri.
Padahal, secara konseptual metodologis, dialektometri bukan mengidendentifikasi
persamaan kebahasaan tetapi perbedaan unsur kebahasaan (leksikal).
Lauder, (1993) dengan kajian penelitian Pemetaan dan Distribusi BahasaBahasa di Tangerang menggunakan komputerisasi pemetaan bahasa. Pemetaan
bahasa dengan menggunakan komputer dapat membantu mempercepat proses
pemetaan bahasa di seluruh Indonesia. Penelitian tersebut dilakukan dengan
penghitungan dialektometri pada semua peta leksikal (580 peta). Penelitiannya
menunjukkan hasil di wilayah tangerang terdiri dari satu bahasa dan tiga dialek,
yaitu bahasa Tangerang dialek Barat Laut, bahasa Tangerang dialek Timur, dan
bahasa Tangerang dialek Selatan. Selain itu, ditemukan pula tiga daerah pakai
kosakata, yaitu daerah-pakai kosakata Sunda, daerah-pakai kosakata Jawa, dan
daerah-pakai kosakata Melayu dan dua daerahpengaruh,yakni daerah pengaruh
Jawa dan daerah pengaruh Melayu.

Universitas Sumatera Utara

Mahsun, (1994) dengan judul penelitian Dialek Geografi Bahasa
Sumbawa, menemukan bahasa Sumbawa terdiri dari empat kelompok dialek, yaitu
dialek Jereweh meliputi daerah pengamatan 3,4,6; dialek Taliwang melipiti daerah
pengamatan 7,8,9,10,11, dan 12; dialek Togo terdapat pada daerah pengamatan
1,2,5,23,dan 25;serta dialek Sumba Besar meliputi daerah pengamatan 1322,24,26-30. Keempat dialek mengalami dua fase historis, yaitu fase pertama
dimulai dengan pecahnya prabahasa Sumbawa ke dalam dua dialek, yaitu dialek
Jereweh, Taliwang, dan Tongo pada satu pihak serta dialek Sumba Besar dalam
pihak lainnya. Kemudian, fase kedua adalah terpisahnya satu kelompok dialek
Jereweh, dialek Taliwang, dan dialek Tongo. Dengan demikian, dialek Sumbawa
Besar memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap ketiga dialek Sumbawa
lainnya.
Sibarani dan Hanafiah, (2000) melakukan penelitian dengan judul ‖
Geografi Dialek Bahasa Mandailing‖, penelitian tersebut memfokuskan pada
variasi unsur kosakata bahasa Mandailing dengan pemetaan variasi dialek serta
penafsiran peta dialek bahasa Mandailing. Hasil penelitian tersebut menunjukkan
bahwa bahasa Mandailing masih tergolong dalam perbedaan dialek karena
memiliki 53,13% perbedaan leksikal. Hasil tersebut diperoleh berdasarkan data
bahwa dari 495 kosakata yang diajukan terdapat perbedaan sebanyak 263
kosakata.
Kisyani-Laksono, (2001) dengan judul ―Bahasa Jawa di daerah Jawa
Timur bagian Utara dan Blambangan: Kajian Dialektologis‖ dalam penelitian
tersebut bahasa Jawa di Jawa Timur bagian Utara dan Blambangan menjadi dua
kelompok dialek, yaitu dialek Osing dan dialek Jawa Timur (bukan Osing).

Universitas Sumatera Utara

Dalam kedua dialek tersebut banyak ditemukan leksikon bahasa Jawa Kuno yang
masih dipergunakan dan diperthankan penuturnya sampai saat ini. Selain itu,
bahasa Jawa di Jawa Timur bagian Utara dan Blambangan ternyata bersentuhan
dan dipengaruhi oleh bahasa lain, seperti bahasa Madura,bahasa Bali, dan bahasa
Melayu. Hal itu terbukti dari beberapa bentuk dan pola serapan dari bahasabahasa tersebut yang digunakan di daerah pengamatan. Selain itu, dikatakan
bahwa daerah Tengger merupakan daerah cenderung terisolasi

dan daerah

inovatif meliputi subdialek Sidoarjo, Rowo Gempol, dan Dialek Osing.
Putra, (2007) dengan judul Segmentasi Dialektal Bahasa Sumba di Pulau
Sumba: Suatu Kajian Dialektologi hasil penelitian ini menunjukkan Dialek
Bahasa di Pulau Sumba dapat dikelompokkan kedalam lima dialek, yaitu dialek
Mauralewa-Kambera, dialek Wano Tana, dialek Waijewa-Louli, dialek Kodi, dan
dialek Lamboya. Dialek dan subdialek Bahasa Sumba di Pulau Sumba ini
menerapkan pengelompokan bahasa, yaitu menggunakan berkas isoglos,
penghitungan dialektometri (leksikon dan fonologis), penghitungan dialektometi
lesikal dan fonologis serta perhitungan permutasi.
Pusat Bahasa Jakarta, (2008) tentang Hubungan Kekerabatan dan
Pemetan Bahasa-Bahasa Daerah di Indonesia. Penelitian ini sebagai kajian
dialektologi mencakupi hampir seluruh wilayah di Indonesia. Analisis penelitian
difokuskan pada perbedaan fonologi dan leksikal. Pengumpulan data dilakukan
sejak tahun 1992 hingga 2008 dikumpulkan sebanyak 2185 daerah pengamatan
yang tersebar di seluruh Indonesia. Jumlah kata yang dianalisis sebanyak 400
kosakata, 200 termasuk didalamnya daftar kata Swadesh.

Universitas Sumatera Utara

Sembiring, (2009) dalam disertasinya yang berjudul Variasi Dialek
Bahasa Karo di Kabupaten Karo, Deli Serdang, dan Langkat melakukan
penelitian pada variasi ujaran antarpenuturnya disebabkan karena adanya
perbedaan geografi. Penelitian dilakukankan dengan menggunakan 560 kosakata.
Dua ratus kata diantaranya termasuk dalam daftar Swadesh dikumpulkan dari 18
daerah pengamatan dari 3 kabupaten. Peneliti melakukan penghitungan
dialektometri pada perbedaan fonologis dan leksikal. Dengan penerapan metode
dialektometri tersebut menghasilkan tiga dialek, yaitu Dialek Karo Singalor Lau
dengan daerah pemakaiannya di Kecamatan Juhar, dan Lau Baleng. Dialek Karo
Julu daerah pemakaiannya di Kecamatan Tiga Panah dan Merek dengan
subdialeknya di Kecamatan Kuta Buluh dan Payung, dan dialek Karo Jahe yang
daerah pemakaiannya di kabupaten Langkat serta daerah subdialeknya di
Kabupaten Deli Serdang. Penelitian ini mendeskripsikan sebaran wilayah tutur
bahasa Karo, serta rekonstruksi fonem vokal dan konsonan antar dialek Bahasa
Karo.
Penelitian yang dilakukan adalah mengenai bahasa bahasa Batak Toba yang
terdapat di enam kabupaten yaitu Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Toba
Samosir, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Samosir, Kabupaten
Tapanuli Tengah, dan Kabupaten Dairi. Dalam penelitian ini akan dicermati
apakah masih satu bahasa atau sudah terjadi variasi bahasa atau dialek yang
berbeda mengingat geografis serta budaya berbeda dan dipisahkan oleh batasbatas wilayah tertentu. Peneliti mengkaji fonologi ,morfologi dan leksikon serta
memetakan dan membuat garis isoglos dengan menggunakan penghitungan
dialektometri.

Universitas Sumatera Utara

2.2.7

Kerangka Teori

Dialektologi

Dialektologi Struktural

Dialek

Isogolos

Beda Wicara

Metode Pengumpulan Data

Metode Wawancara

Metode Simak

Metode Cakap

Metode Analisis Data

Metode Dialektometri

Metode Padan

Berkas Isoglos

Variasi Bahasa

Pola Variasi

Peta Pola Variasi

Pemetaan Variasi Bahasa Batak Toba
Evaluasi

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan kerangka teori diatas dapat dijelaskan bahwa, kerangka Teori
yang digunakan dalam penelitian dialektologi ini mencakup dialektologi
struktural. Dalam dialektologi struktural akan memberikan pemahaman tentang
dialek, isoglos dan beda wicara. Dalam hal ini, untuk mengumpulkan data
menggunakan metode wawancara, metode simak, dan metode cakap. Penggunaan
ketiga metode di atas, sangat berguna dan menguntungkan dalam mengumpulkan
data dari informan karena berhubungan langsung dengan penulis dan penulis lebih
memahami makna kosakata yang di kumpulkan.
Metode analisis data yang digunakan adalah metode analisis data
dialektometri dengan menggunakan rumus Seguy dengan rumus S/n x 100%.
Dimana S = jumlah beda dengan daerah pengamatan lain, n= jumlah peta yang
dibandingkan, dan d= jarak kosakata dalam %.
Selain itu, metode padan dan berkas isoglos digunakan untuk
membuktikan perbedaan dan bentuk peta dialek atau bahasa. Dengan demikian
akan jelaslah terbukti apakah ada variasi bahasa, pola variasi dan peta pola variasi
dalam Bahasa Batak Toba.
Jadi dari ketiga hal tersebut yaitu, variasi bahasa, pola variasi, dan peta
pola variasi akan menghasilkan peta variasi Bahasa Batak Toba.

Universitas Sumatera Utara