Analisis Vegetasi di Cagar Alam Martelu Purba, Desa Purba Tongah, Kecamatan Purba, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara

(1)

ANALISIS VEGETASI DI CAGAR ALAM MARTELU PURBA DESA PURBA TONGAH KECAMATAN PURBA KABUPATEN SIMALUNGUN

SUMATERA UTARA

HASIL PENELITIAN

Oleh:

MANATAR HAMONANGAN PAULUS VIANDHY 021201036/MANAJEMEN HUTAN

DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

ANALISIS VEGETASI DI CAGAR ALAM MARTELU PURBA DESA PURBA TONGAH KECAMATAN PURBA KABUPATEN SIMALUNGUN

SUMATERA UTARA

HASIL PENELITIAN

Oleh:

MANATAR HAMONANGAN PAULUS VIANDHY 021201036/MANAJEMEN HUTAN

Hasil penelitian sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2007


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Analisis Vegetasi di Cagar Alam Martelu Purba, Desa Purba Tongah, Kecamatan Purba, Kabupaten

Simalungun, Sumatera Utara

Nama : Manatar Hamonangan Paulus Viandhy

Nim : 021201036

Program Studi : Manajemen Hutan

Disetujui Oleh, Komisi Pembimbing

Ir. Didim S. Ilyas, M.Si Tengku Muhammad Aka, S.Hut Ketua Anggota

Mengetahui,

Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar, MS Ketua Departemen


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat rahmat dan karunia-Nyalah penulis dapat menyusun dan menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Vegetasi di Cagar Alam Martelu Purba, Desa Purba Tongah, Kecamatan Purba, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara“.

Cagar Alam Martelu Purba awalnya merupakan hutan buatan hasil tanaman reboisasi. Dengan berubahnya fungsi kawasan ini, maka kawasan ini mengalami perubahan, salah satunya hal keanekaragaman jenis yang terdapat di kawasan Martelu Purba karena dipengaruhi oleh proses suksesi. Untuk mengetahui jenis-jenis vegetasi yang ada di kawasan Martelu Purba, maka penulis melakukan penelitian di Cagar Alam Martelu Purba.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan, baik dalam penyusunan dan penulisannya. Oleh karena itu sangat diharapkan kritik dan saran yang sifatnya membimbing dan membangun untuk meningkatkan kualitas skripsi ini.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan dapat dipergunakan dengan sebaik-baiknya.

Medan, September 2007


(5)

DAFTAR ISI

Hal

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 2

Manfaat Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Hutan dan Kehutanan ... 4

Fungsi dan Potensi Hutan ... 5

Pengertian dan Klasifikasi Kawasan Hutan ... 6

Bentuk Pemanfaatan Kawasan Konservasi ... 9

Ciri dan Fungsi Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam ... 9

Analisis Vegetasi ... 11

Komposisi Jenis dan Struktur Vegetasi di Hutan Alam ... 12

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Kawasan ... 16

Luas Kawasan ... 16

Topografi ... 16

Tanah ... 17

Iklim ... 17

Sosial Ekonomi Masyarakat ... 17

Sarana dan Prasarana ... 18

Potensi Kawasan ... 18

METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ... 19

Bahan dan Alat ... 19

Teknik Pengambilan Data... 19

Analisis Vegetasi ... 19

Analisis Data ... 22

Kerapatan Jenis ... 22

Frekuensi ... 22

Dominansi ... 23

Perhitungan Indeks Nilai Penting ... 23

Indeks Keragaman ... 23


(6)

Luas Bidang Dasar dan Volume... 24

Pembuatan Kurva Spesies Area ... 25

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil... 26

Struktur Hutan ... 27

Struktur Vertikal ... 27

Struktur Horisontal ... 29

Penggolongan Hutan Berdasarkan Volume ... 31

Kurva Spesies Area ... 32

Pembahasan ... 34

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 42

Saran... ... 42

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(7)

DAFTAR TABEL

Hal

1. Kerapatan pohon berdasarkan kelas tinggi di CA Martelu Purba. ... 28

2. Kerapatan pohon berdasarkan kelas diameter di CA Martelu Purba. ... 30

3. Volume pohon dan penggolongannya berdasarkan kriteria hutan... 32


(8)

DAFTAR GAMBAR

Hal

1. Desain petak contoh sistematis ... 20

2. Jalur transek di lapangan ... 21

3. Stratifikasi berdasarkan kelas tinggi di Cagar Alam Martelu Purba ... 29

4. Distribusi berdasarkan kelas diameter di Cagar Alam Martelu Purba ... 31


(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Hal

1. Nama-nama tumbuhan (pohon) di Cagar Alam Martelu Purba. ...

2. Data analisis vegetasi di Cagar Alam Martelu Purba. ... 3. Hasil analisis vegetasi di Cagar Alam Martelu Purba. ... 4. Peta kawasan Cagar Alam Martelu Purba. ... 5. Dokumentasi penelitian di Cagar Alam Martelu Purba. ... 6. Dokumentasi spesimen di Cagar Alam Martelu Purba. ...


(10)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Cagar Alam Martelu Purba yang terletak di Desa Purba Tongah, Kecamatan Purba, Kabupaten Simalungun merupakan cagar alam termuda di Propinsi Sumatera Utara. Status kawasan ini sebelumnya adalah kawasan hutan lindung Martelu Purba, yang kemudian statusnya dialih fungsikan menjadi kawasan cagar alam Martelu Purba dengan luas sekitar 195 Ha. Kawasan ini awalnya merupakan hutan buatan hasil tanaman reboisasi. Dengan berubahnya fungsi kawasan ini, maka kawasan ini mengalami perubahan salah satunya yaitu dalam hal keanekaragaman jenis yang terdapat di kawasan Martelu Purba karena dipengaruhi oleh proses suksesi.

Akibat peristiwa suksesi lingkungan hutan akan selalu mengalami proses perubahan yang berlanjut. Adapun tujuan mencapai ke bentuk hutan asli, proses suksesi harus melalui beberapa tahapan dan ini memerlukan waktu yang cukup lama (Widiyono dan Riswan, 1997). Terjadinya proses suksesi di kawasan Cagar Alam Martelu Purba menyebabkan perubahan penyusun vegetasi yang ada di kawasan ini. Perkembangan vegetasi yang secara berangsur dari komunitas sederhana strukturnya dengan keragaman jenis rendah pada tahap awal ke sebuah komunitas yang jauh lebih kompleks dengan keragaman jenis yang relatif tinggi.

Dalam suksesi, terjadi proses perubahan dan pergantian antar penyusun hutan dan perubahan faktor lingkungan yang terlibat. Dengan demikian akan terbentuk rangkaian komunitas biotik secara berurutan, yang satu mengganti yang


(11)

lain sesuai dengan kondisi lingkungan yang terjadi dan berkembang sampai akhirnya pada suatu kondisi komunitas klimaks yang mencapai keseimbangan (Sumardi dan Widyastuti, 2004).

Formasi klimaks merupakan tipe vegetasi yang paling baik daya adaptasinya terhadap keadaan lingkungan. Jenis-jenis dominan pada klimaks itu sebagai akibat iklim lokal dan faktor-faktor lain yang berbeda dari satu tempat ke tempat lain. Secara umum iklim menentukan jenis-jenis dominan dan jenis lain yang tumbuh. Bentuk-bentuk kehidupan jenis yang dominan mencirikan klimaksnya (Soemarwoto, dkk, 1992).

Adanya perubahan penyusun vegetasi di Cagar Alam Martelu Purba dapat menentukan jenis-jenis vegetasi apa saja yang dapat tumbuh dan jenis apa saja yang mendominasi kawasan Cagar Alam Martelu Purba. Berdasarkan hal tersebut di atas penulis tertarik untuk meneliti analisis vegetasi di Cagar Alam Martelu Purba, Desa Purba Tongah, Kecamatan Purba, Kabupaten Simalungun, Propinsi Sumatera Utara.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Mengidentifikasi struktur dan komposisi jenis serta nilai keragaman jenis tumbuhan di Cagar Alam Martelu Purba.

2. Mengidentifikasi struktur tegakan dan jenis tumbuhan yang mendominasi Cagar Alam Martelu Purba.


(12)

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat :

1. Memberikan informasi mengenai struktur tegakan, komposisi jenis dan nilai keragaman jenis di Cagar Alam Martelu Purba.

2. Sebagai bahan informasi bagi dunia pendidikan, penelitian, masyarakat umum dan instansi/lembaga terkait dalam pengelolaan kawasan yang bertujuan untuk rehabilitasi lahan.


(13)

TINJAUAN PUSTAKA

Hutan dan Kehutanan

Hutan adalah suatu lapangan pertumbuhan pohon-pohon yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya, dan ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan. Artinya, hutan suatu areal yang cukup luas, didalamnya bertumbuhan kayu, bambu dan/atau palem, bersama-sama dengan tanahnya, beserta segala isinya, baik berupa nabati maupun hewani, yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup yang mempunyai kemampuan untuk memberikan manfaat-manfaat lainnya secara lestari. Kawasan hutan adalah wilwyah-wilayah tertentu yang ditetapkan pemerintah untuk dipertahankan sebagai kawasan hutan tetap. Selanjutnya kawasan hutan adalah wilayah yang sudah berhutan atau yang tidak berhutan kemudian ditetapkan penguasaannya bagi Negara (Zain, 1997).

Undang-undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, mendefinisikan kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu. Kawasan hutan suaka alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. Kawasan hutan pelestarian alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan


(14)

keanekaragamn jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Fungsi dan Potensi Hutan

Indonesia terletak diantara dua benua, Asia dan Australia, serta diantara dua samudera Indonesia dan Pasifik. Pengaruh peralihan kedua benua terutama terletak di wilayah wallacea yang dibatasi di sebelah barat dengan garis wallacea yang merupakan batas barat penyebaran biota Australia, dan di sebelah timur dengan garis Lydecker, yang merupakan batas timur penyebaran biota asia. Diantara kedua garis itu, terdapat garis Weber yang merupakan batas keseimbangan 50 % keberadaan biota Asia dan Australia. Atas dasar letak geografis itu, maka hutan hutan Indonesia merupakan gudang sumber daya hayati yang tiada taranya. Guna menjaga dan mengembangkan keanekaragaman hayati itu, Indonesia menetapkan kawasan konservasi yang mana berkaitan dengan fungsi hutan sebagai sumber plasma nutfah (Soemarwoto, dkk, 1992).

Hutan dengan vegetasinya mempunyai keterkaitan yang erat dengan tanah dan air. Apa yang terjadi dengan hutan akan berpengaruh terhadap tanah dan tatanan air. Sebaliknya macam tanah dan pola tatanan air akan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hutan. Oleh karena itu, tindakan mengelola hutan dengan baik, secara terpadu kuga merupakan upaya konservasi tanah dan air. Hutan juga mempunyai klimatologi yang penting, khususnya dengan penyerapan karbondioksida dalam proses fotosintesis dan sekaligus dengan pelepasan oksigen dalam waktu yang sama. Hal ini sangat berhubungan terhadap efek rumah kaca.


(15)

Fungsi dan potensi hutan dengan keanekaragaman hayati meliputi berbagai bidang meliputi ekologi, manfaat langsung, industri, dan lain-lain.

Di bidang Ekologi, hutan berfungsi dan berpotensi sebagai peyangga keseimbangan, perlindungan kehidupan, proteksi daerah aliran sungai dan pengendali erosi, penyimpanan cadangan, penyerap CO2 dan lain-lain gas/zarah serta penghasil O2 dan kesegaran umumnya, dan kesuburan tanah.

Di bidang yang memiliki manfaat langsung bagi manusia, hutan berfungsi dan berpotensi sebagai makanan langsung (buah, buruan, sagu), bahan obat dan penyegar, kayu bakar dan bahan arang, kayu bangunan, bahan tenunan (serat, ulat sutera) serta pemeliharaan lebah.

Di bidang industri, hutan berfungsi dan berpotensi untuk industri kayu, industri kertas, getah (karet), residu (mentol, terpentin), industri farmasi (obat penyegar, kosmetik, dan sebagainya), serta minyak (cengkeh, kayu putih, dan sebagainya).

Fungsi dan potensi lain-lain hutan yang dapat dimanfaatkan manusia meliputi antara lain estetika, rekreasi, sosial budaya, olahraga, dan ketahanan nasional.

Pengertian dan Klasifikasi Kawasan Konservasi

Konservasi merupakan pengelolaan kehidupan alam oleh manusia guna memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya secara berkelanjutan bagi generasi saat ini, serta memelihara potensinya guna menjamin aspirasi dan kebutuhan


(16)

generasi yang akan datang. Konservasi sebenarnya bernilai positif yang mencakup pengawetan, perlindungan, pemanfaatan berkelanjutan, pemulihan dan peningkatan kualitas lingkungan alam. Kawasan cagar alam penting bagi suatu bangsa agar dapat menjamin terpeliharanya secara terus-menerus hutan alami yang dapat dianggap mewakili terjaganya keanekaragaman biologi dan fisik serta lestarinya keanekaragaman hayati (BKSDAH Sumut II, 2002).

Peraturan-peraturan tentang konservasi di Indonesia pada umumnya mempunyai beberapa kelemahan. Kelemahannya terletak, terutama, pada definisi kawasan konservasi yang kurang jelas dan perbedaan antar definisi pada berbagai peraturan. Istilah-istilah konservasi, pelestarian dan lindung tidak mudah dibedakan masyarakat umum atau kadang dianggap tidak penting. Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya tidak menyebutkan istilah kawasan konservasi, tetapi menggunakan istilah KSA (Kawasan Suaka Alam) dan KPA (Kawasan Pelestarian Alam).

Dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tidak digunakan istilah kawasan konservasi, tetapi hutan konservasi, yang terdiri dari kawasan hutan suaka alam, kawasan hutan pelestarian alam, dan taman buru. Di dalam Undang-Undang ini fungsi lindung dipisahkan dari fungsi konservasi. Jadi, hutan lindung tidak termasuk hutan konservasi.

Di dalam Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan, sebagai peraturan pelaksanaan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999, klasifikasi Kawasan Hutan Suaka Alam dan Kawasan Hutan


(17)

Pelestarian Alam sama dengan klasifikasi pada Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998 dan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990. Selain itu ada Taman Buru yang masuk ke dalam hutan konservasi dan hutan lindung yang berbeda dari hutan konservasi.

Kawasan suaka alam adalah kawasan yang memiliki ciri khas tertentu, baik di darat maupun perairan. Fungsi pokok kawasan suaka alam adalah sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman hayati serta ekosistemnya dan juga berfungsi sebagai wilayah penyangga kehidupan (Arief, 2001).

Klasifikasi kawasan konservasi menurut SK Dirjen PHPA No 129, Tahun 1996 tentang Pola Pengelolaan Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, Taman Buru dan Hutan Lindung.

1. Kawasan suaka alam (KSA) a. Cagar alam

b. Suaka margasatwa

2. Kawasan pelestarian alam (KPA) a. Taman nasional

b. Taman hutan raya c. Taman wisata alam 3. Taman buru

4. Hutan lindung

Cagar alam adalah kawasan suaka alam yang keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekositem tertentu yang layak untuk


(18)

dilindungi yang dalam perkembangannya diusahakan secara alami. Adapun usaha untuk melindungi flora dan fauna yang memiliki ciri khusus tersebut dilaksanakan suatu pengembangbiakan secara in-situ (pada habitat asli) dan eks-situ (di luar habitat asli). Namun, konservasi eks-situ sangat sulit dilakukan bila tidak didukung oleh keberadaan daerah sekitarnya. Sebab, kehidupan jenis flora dan fauna secara alami mengalami interaksi dengan ekosistem alaminya dalam kehidupannya (Arief, 2001).

Bentuk Pemanfaatan Kawasan Konservasi

Bentuk pemanfaatan Kawasan Cagar Alam dan Kawasan Suaka Marga Satwa. Kedua kawasan ini mempunyai 4 (empat) manfaat yang sama kecuali bahwa Kawasan Suaka Margasatwa mempunyai satu fungsi tambahan yaitu untuk wisata alam terbatas. Cagar Alam dan Suaka Marga Satwa adalah KSA. Jadi KSA juga mempunyai fungsi pemanfaatan.

Di dalam Pasal 4, Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998 disebutkan bahwa pengelolaan KSA dan KPA dilakukan sesuai dengan fungsi kawasan: sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan; sebagai pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya; untuk pemanfaatan secara lestari sumber daya hayati dan ekosistemnya.

Ciri dan fungsi KSA dan KPA

Menurut Undang-Undang No.5 Tahun 1990, Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan pelestarian Alam memiliki masing-masing ciri dan fungsi antara lain:


(19)

1. Kawasan Suaka Alam (KSA) Ciri dan Fungsi

- memiliki ciri khas tertentu - di darat dan di perairan

- memiliki fungsi pokok sebagai pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekositemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan

2. Kawasan Pelestarian Alam (KPA) Ciri dan Fungsi

- memiliki ciri khas tertentu - di darat dan di perairan

- memiliki fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya

Kawasan Konservasi Menurut Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2002 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2002 membagi kawasan hutan ke dalam tiga kawasan utama:

1. Hutan konservasi,

2. Hutan lindung dan keadaan 3. Hutan produksi.

Menurut pasal 69 Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2002, klasifikasi ini berlaku baik untuk hutan negara maupun untuk hutan milik. Berbeda dengan SK Dirjen PHPA No. 129 Tahun 1996 hutan atau kawasan lindung dipisahkan dari


(20)

hutan konservasi. Hutan konservasi dibagi ke dalam: 1) Kawasan Suaka Alam, 2) Kawasan Pelestarian Alam dan 3) Taman Buru sedangkan Hutan Lindung dibagi ke dalam: 1) Kawasan lindung, 2) Kawasan penggunaan dan 3) Kawasan lain. Sumber hukum : Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam (Cifor, 2002).

Analisis Vegetasi

Analisis vegetasi adalah cara mempelajari susunan (komposisi jenis) dan bentuk (struktur) vegetasi atau komunitas tumbuh-tumbuhan. Salah satu cara dalam analisis vegetasi adalah dengan menggunakan metode jalur atau transek. Cara ini paling efektif untuk mempelajari perubahan keadaan vegetasi menurut keadaan tanah, topografi, dan elevasi. Jalur-jalur contoh dibuat memotong garis-garis topografi (Soerianegara dan Indrawan (1976) dalam Ruslan, 1986).

Telah diketahui bahwa konsep dan metode analisis vegetasi bervariasi sesuai dengan tujuan dan sifat alamiah vegetasi. Metodologi harus disesuaikan dengan struktur dan komposisi vegetasi. Dalam mempelajari berbagai vegetasi, survei umum atau peninjauan merupakan langkah awal dalam melakukan penelitian. Unit besar suatu vegetasi seharusnya diketahui sebelum berhubungan dengan studi pada komunitas yang lebih kecil (Widiyono dan Riswan, 1997).

Pembuatan petak contoh di lokasi penelitian harus dapat mewakili seluruh area/daerah penelitian agar contoh tumbuhan yang diambilpun dapat mewakili. Untuk itu, dilakukanlah pengambilan contoh secara acak, baik acak sederhana maupun acak berstrata. Ukuran petak contoh harus harus ditentukan dengan jelas


(21)

sebelum dilakukan analisis. Berbeda ukuran tumbuhan yang dianalisis berbeda pula ukuran petak contoh yang diambil. Ukuran petak contoh tidak boleh lebih kecil dari minimal area yang cocok bagi vegetasi yang akan dianalisis. Untuk itu, maka dibuatlah kurva spesies area (Suin, 2002).

Sehubungan dengan efisiensi sampling banyak studi yang dilakukan menunjukkan bahwa petak segi empat memberikan data komposisi vegetasi yang lebih akurat dibandingkan petak berbentuk bujur sangkar yang berukuran sama, terutama bila sumbu panjang dari petak tersebut sejajar dengan arah perubahan lingkungan/habitat (Kusmana, 1997).

Kerapatan menunjukkan individu dalam suatu area, dominansi dari suatu luas bidang dasar (basal area) atau penutupan tajuk per unit area dan frekuensi masing-masing jenis dalam suatu plot. Nilai relatif dari kerapatan, dominansi dan frekuensi dapat dikombinasikan ke dalam suatu nilai indeks penting yang merupakan refleksi dari beberapa ukuran yang penting dari suatu spesies pada suatu komunitas (Cox, 1981).

Komposisi dan Struktur Vegetasi di Hutan Alam

Komposisi dan struktur suatu vegetasi adalah fungsi dari beberapa faktor, yaitu flora di daerah itu, habitat (iklim, tanah, dan lain-lain), waktu, dan kesempatan. Flora di daerah itu menentukan spesies mana yang akan mampu hidup di sana. Habitat akan mengadakan seleksi terhadap spesies-spesies yang mampu menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan setempat. Waktu dengan


(22)

sendirinya diperlukan untuk mantapnya vegetasi itu (Marsono (1977) dalam Ruslan, 1986).

Jenis-jenis tumbuhan yang biasanya tumbuh di hutan alam beranekaragam jenis, diantaranya: Shorea sp., Eugenia sp., Quercus sp., Arenga sp., Styrax sp., Calamus sp., Dipterocarpus sp., Schima walichii, Imperata silindrica, Manilkara kauli, Canarium sp., Acacia sp, dan lain-lain.

Vegetasi hutan alam di daerah tropika basah memiliki laju fotosintesisnya tinggi dan akarnya menembus dalam lapisan tanah, permukaan daun yang rapat dan lebat, juga menghasilkan bahan organik dalam jumlah yang besar, serta membentuk biomassa yang besar jumlahnya. Semakin beraneka ragam komposisi jenis tumbuhan dan strukturnya, semakin tercampur pertumbuhannya, semakin baik pengaruhnya terhadap lingkungan, tanah, dan air. Tajuk pohon yang beranekaragam, dengan batang yang mempunyai berbagai ukuran dimensi hingga pucuk pohon dominan, disertai lapisan serasah dan humus masak, semuanya itu merupakan ciri-ciri ekosistem yang unggul dalam memelihara kualitas lingkungan hidup (Dephut RI, 1992).

Pengubahan hutan yang tidak terkendali akan menghilangkan keseimbangan, ketahanan dan kestabilan hutan semula. Bila hal ini terus berlanjut terus-menerus dalam waktu berkepanjangan akan dapat timbul efek-efek ekologi yang parah. Tingkatan-tingkatan setelah tiadanya vegetasi yang asli sangat beragam di berbagai wilayah, bergantung pada jenis tumbuhan yang datang menyerbu ke wilayah yang hutannya dihilangkan iklim dan tanah setempat.


(23)

Karena hutan diartikan sebagai suatu asosiasi, maka antara jenis pohon yang satu dan jenis pohon lain yang terdapat di dalamnya akan saling tergantung. Jenis-jenis tanaman yang tidak menyukai sinar matahari penuh tentu memerlukan perlindungan dari tanaman yang lebih tinggi dan suka akan sinar matahari penuh. Tanaman yang suka sinar matahari penuh akan memperoleh keuntungan dari tanaman yang hidup di bawahnya karena mampu menjaga kelembaban dan suhu yang diperlukan oleh tanaman tinggi tersebut.

Pada hutan yang tajuknya rapat, hanya tunas-tunas pepohonan besar dan tumbuh-tumbuhan merambat tertentu yang tahan terhadap keteduhan serta rumput-rumputan saja yang hidup di lantai hutan. Bentukan tumbuh-tumbuhan di bawah lantai hutan membawa pengaruh yang unik terhadap iklim mikro daerah sekitarnya. Akibatnya, sinar matahari di lantai hutan berkurang sehingga temperaturnya berbeda dengan di luar naungan. Disamping itu, tajuk hutan yang menaungi lantai hutan secara berlapis-lapis menimbulkan mikroklimat dan kegiatan mikroorganisme tinggi. Kegiatan mikroorganisme akan mengakibatkan hancurnya serasah, yang selanjutnya melalui proses pencucian basa memberikan sifat-sifat khusus tanah hutan dan mampu menimbulkan kesuburan bagi tumbuh-tumbuhan hutan.

Hutan yang terlalu rapat akan mengalami pertumbuhan lambat karena adanya persaingan dalam hal sinar matahari, air, unsur hara, bahkan tempat. Persaingan ini tidak hanya terjadi pada tumbuhan saja, tetapi juga pada binatang. Hutan merupakan suatu ekosistem natural yang telah mencapai keseimbangan klimaks dan merupakan komunitas tetumbuhan paling besar yang mampu pulih


(24)

kembali dari perubahan-perubahan yang dideritanya, sejauh tidak melampaui batas-batas yang dapat ditoleransi. Sebaliknya, hutan yang terlalu jarang akan menghasilkan pohon-pohon dengan tajuk besar dan bercabang banyak dengan batang yang pendek. Diantara hutan yang rapat dan hutan yang terlalu jarang terdapat hutan yang cukup ruang sehingga pohon-pohonnya mampu memanfaatkan air, sinar matahari dan unsur hara dalam tanah (Arief, 2001).

Kondisi habitat meningkat bersamaan dengan waktu melalui penumpukan serasah, peneduh dan cuaca, ke tingkat kesuburan yang lebih baik, kapasitas menahan air, dengan substrat bersuhu lebih rendah. Keadaan ini memungkinkan tumbuhnya tumbuhan semak dan pohon-pohon untuk tumbuh secara suksesif dan pada saat yang sama keragaman jenisnya meningkat menjadi mantap. Keberadaan komunitas yang berbeda dalam tiap fase merupakan pertanda keragaman habitat. Dengan demikian telah terjadi perubahan dari suatu kawasan terbuka ke arah komunitas yang tertutup.

Pada umumnya klimaks tidak akan berubah selama keadaan lingkungan, seperti iklim dan tanah tidak mengalami perubahan, kecuali bila ada serbuan tumbuhan dominan baru. Klimaks merupakan suatu keadaan komunitas dengan komposisi dan produktivitas yang seimbang, yang telah disesuaikan dengan pemanfaatan sumber-sumber daya setempat secara maksimal dan normal. Pemanfaatan secara maksimal ini dapat berjalan terus secara efisien ditentukan oleh habitat yang khusus, rata-rata populasi klimaks serta faktor penyusun ekosistem.


(25)

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Letak Kawasan

Cagar alam Martelu Purba secara administratif terletak di Desa Purba Tongah dan kelurahan Tiga Runggu, kecamatan Purba, Kabupaten Simalungun, Propinsi Sumatera Utara. Berdasarkan letak geografis, Cagar Alam Martelu Purba terletak pada koordinat 2o53' - 2o54' LU dan 98o42' - 98o43' BT. Kawasan Cagar Alam Martelu Purba terletak pada ketinggian s/d 1.320 mdpl.

Berdasarkan Letak DAS (Daerah Aliran Sungai) maka Cagar Alam Martelu Purba terletak di dalam kawasan DAS Ular.

Luas Kawasan

Berdasarkan SK Menhut No.471/Kpts-II/1993, tentang perubahan fungsi kawasan Hutan Lindung Martelu Purba menjadi Cagar Alam Martelu Purba, Cagar Alam Martelu Purba ditetapkan seluas 195 ha.

Topografi

Hampir sebagian besar Cagar Alam Martelu Purba memiliki topografi datar hingga berombak dengan kemiringan s/d 8 %. Hanya sebagian saja yang tergolong dalam kelas sangat curam jika ditinjau berdasarkan kelas kelerengan lahan (datar < 8%, landai 8-15 %, agak curam 16-25 %, curam 26-40 %, sangat curam > 40 % ) yaitu di bagian utara yang terdapat jurang dengan kemiringan s/d 80 %.


(26)

Tanah

Berdasarkan peta tanah eksplorasi Kabupaten Simalungun Propinsi Sumatera Utara yang bersumber dari peta tanah Dati I Sumatera Utara yang diterbitkan oleh Direktur Bina Program Bogor, maka jenis tanah yang terdapat di Cagar Alam Martelu Purba termasuk dalam satuan tanah podsolik coklat dan kelabu dengan bahan induk batuan beku dan fisiografi vulkanik. Ph tanah rata-rata yang terdapat di Kawasan Cagar Alam Martelu Purba yaitu 6,38.

Iklim

Iklim yang terdapat di Cagar Alam Martelu Purba dan daerah sekitarnya termasuk kedalam iklim B (menurut Schmidt & Ferguson) dengan curah hujan rata-rata setahun sebesar 2.194 mm dan rata-rata hari hujan setahun sebanyak 125 hari. Musim kemarau berlangsung pada bulan Desember s/d September, sedangkan musim hujan berlangsung pada bulan Maret s/d Nopember. Rata-rata suhu maksimum di Cagar Alam Martelu Purba yaitu 21,7o C dan rata-rata suhu minimum yaitu 14,7o C.

Sosial Ekonomi Masyarakat

Masyarakat sekitar kawasan Cagar Alam Martelu Purba pada umumnya bermata pencaharian sebagai petani. Selain itu, ada juga yang berdagang, berusaha dalam bidang kerajinan tangan (Seperti bertenun, atau membuat ulos, mengukir kayu) dan PNS (Pegawai Negeri Sipil). Selain itu, pendapatan masyarakat tambahan diperoleh dari pemanfaatan hasil hutan seperti air nira, tanaman obat, daun sungkit, buah aren, daun aren (sapu lidi), dan kayu bakar (soban).


(27)

Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana yang digunakan di kawasan Cagar Alam Martelu Purba yaitu kantor Konservasi Sumber Daya Hutan Simalungun yang digunakan oleh petugas sub seksi KSDA Simalungun maupun dari cabang dinas.

Potensi Kawasan

Potensi wisata kawasan hutan Cagar Alam Martelu Purba ini berada di tepi jalan raya, bahkan dibelah jalan, sehingga pengunjung dapat mengamati pepohonan yang tumbuh. Kawasan ini juga merupakan home range bagi satwa-satwa liar seperti harimau (meskipun populasinya sangat jarang), kambing hutan, babi hutan, beruang, burung-burung seperti burung murai, perkutut, pergam, dsb.


(28)

METODOLOGI

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Cagar Alam Martelu Purba. Secara administratif kawasan penelitian ini terletak di Desa Purba Tongah, Kecamatan Purba, Kabupaten Simalungun, Propinsi Sumatera Utara. Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan yaitu pada bulan Oktober sampai Desember 2006.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan untuk pengambilan data di lapangan adalah phiband, pita ukur, clinometer, tally sheet, pisau, parang, kertas koran, tali raffia, kantong plastik, label gantung, alat tulis, patok/pancang dan kamera. Alat yang digunakan untuk pengolahan data adalah PC komputer.

Bahan yang digunakan dalam penelitian di ekosistem Cagar Alam Martelu Purba adalah pohon sebagai bahan pengukuran tinggi dan diameter, daun sebagai bahan herbarium dan alkohol 70% sebagai bahan untuk mengawetkan herbarium.

Prosedur Penelitian

1. Teknik Pengambilan Data

Analisis vegetasi yang dilakukan di Cagar Alam Martelu Purba menggunakan metode transek. Dalam pola penarikan contohnya menggunakan metode purposive sampling. Metode ini digunakan untuk mendapatkan gambaran mengenai struktur dan komposisi jenis pada daerah yang akan diamati. Cara


(29)

purposive sampling akan sangat baik hasilnya apabila si peneliti mengenal dan mengetahui lokasi yang akan diteliti. Cara pengambilan sampel ini juga dilakukan berdasarkan pertimbangan peneliti (Sudjana, 1992).

LIPI (2004) menyatakan bahwa dalam penarikan cuplikan harus bisa mewakili obyek kajian serta memiliki tingkat ketelitian yang tinggi. Dengan demikian, melalui data dan informasi yang terkumpul dapat dilakukan deskripsi dan penelaahan lebih lanjut tentang potensi keanekaragaman flora yang dikaji.

Dalam pemilihan petak contoh dilakukan secara sistematis. Pemilihan ini ditujukan agar data yang didapat mewakili dari keseluruhan kawasan yang diteliti. Sesuai dengan Kusmana (1997), pengambilan contoh vegetasi dilakukan dengan menggunakan banyak petak contoh yang letaknya tersebar merata. Sebagai illustrasi, pada gambar 1 disajikan cara peletakan petak contoh pada metode sistematis.


(30)

Metode yang digunakan pada tahap ini adalah kombinasi metode jalur dengan metode garis berpetak. Sesuai dengan Kusmana (1997), metode ini paling efektif untuk mempelajari perubahan keadaan vegetasi menurut kondisi tanah, topografi, dan elevasi. Untuk lebih jelasnya, contoh petak sampling berbentuk kombinasi jalur dengan metode garis berpetak dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2. Desain Kombinasi Metode Jalur Dengan Metode Garis Berpetak

Jalur yang dibuat yaitu dengan lebar 20 meter dan jarak antar jalur 100 meter. Pada tiap jalur dibuat plot-plot pengamatan dengan ukuran 2 x 2 m (semai), 5 x 5 m (pancang), 10 x 10 m (tiang), 20 x 20 m (pohon).

Kriteria pertumbuhan yang diamati dalam analisis vegetasi yaitu: 1. Semai adalah anakan pohon mulai kecambah sampai setinggi < 1,5 m. 2. Pancang adalah anakan pohon yang tingginya ≥1,5 m dan diameter <7 cm. 3. Tiang adalah pohon muda yang diameternya mulai 7 cm sampai < 20 cm. 4. Pohon adalah pohon dewasa berdiameter ≥ 20 cm.

20 m

Arah rintis 10 m

20 m

2 m 10 m


(31)

Jalur transek yang dibuat mengambil arah transek tegak lurus dengan kontur pada lokasi penelitian. Data yang diambil dari analisis vegetasi yaitu berupa jenis tumbuhan, diameter serta tinggi tumbuhan yang terdapat pada tiap ukuran plot. Pengukuran tinggi pohon dilakukan dengan menggunakan clinometer, sedangkan diameter pohon dilakukan dengan menggunakan phiband yang diukur pada ketinggian 130 cm dari permukaan tanah atau 110 cm dari akar banir.

Untuk identifikasi jenis tumbuhan, dilakukan di Balitbang Aek Nauli dan Laboratorium Taksonomi Tumbuhan Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara.

2. Analisis Data

Untuk mengetahui jenis dominan, digunakan metode Indeks Nilai Penting (INP). Indeks Nilai Penting terdiri dari kerapatan relatif, frekuensi relatif, dan dominansi relatif, sesuai dengan Kusmana (1997), dapat dihitung berdasarkan persamaan berikut:

Kerapatan Jenis

• Kerapatan (K) =

contoh petak

luas

jenis suatu individu

• Kerapatan Relatif (KR) = x 100% jenis

seluruh total

K

jenis suatu K


(32)

Frekuensi

• Frekuensi (F) =

contoh petak sub seluruh spesies suatu ditemukan petak sub

• Frekuensi Relatif (FR) = x 100% jenis seluruh total F jenis suatu FDominansi

• Dominansi (D) =

contoh petak luas spesies suatu dasar bidang luas

• Dominansi Relatif (DR) = x 100% jenis seluruh total D jenis suatu D

Penghitungan Indeks Nilai Penting (INP) :

INP = KR + FR + DR (untuk tiang dan pohon) INP = KR + FR (untuk semai dan pancang)

Indeks Keragaman

Dapat dihitung dengan menggunakan Indeks Shannon-Wienner, yaitu :

D = - s i 1 Pi(LnPi) =

Keterangan:

D = Indeks Shannon-Wienner

Pi = Kelimpahan relatif dari spesies ke-i Pi = (Ni/Nt)

Ni = jumlah individu spesies ke-i Nt = jumlah total untuk semua individu


(33)

Nilai Indeks Shannon-Wienner berkisar antara 1,5 − 3,5 < 1,5 : keanekaragaman rendah

1,5 − 3,5 : keanekaragaman sedang > 3,5 : keanekaragaman tinggi

Struktur Vertikal (Stratifikasi)

Untuk mengetahui struktur vertikal hutan, maka setiap individu pohon yang dijumpai di dalam petak contoh dikelompokkan berdasarkan kelas tinggi. Kemudian dihitung kerapatan individu pada setiap kelas tinggi.

Struktur Horizontal (Distribusi Diameter)

Untuk mengetahui penyebaran diameter pohon, maka setiap individu pohon yang dijumpai di dalam petak contoh dikelompokkan berdasarkan kelas diameter. Kemudian dihitung kerapatan individu pada setiap kelas diameter.

3. Luas Bidang Dasar (m2/ha) dan Volume (m3/ha)

Untuk menentukan Luas Bidang Dasar suatu area (LBDS) dan Volume dapat ditentukan dengan rumus :

LBDS (per ha) = ¼ π (d/100)2 ... (m2/ha) Volume (per ha) = ¼ π (d/100)2 x h ... (m3/ha) Keterangan :

d = Diameter (cm) h = Tinggi (m)


(34)

4. Pembuatan Kurva Spesies Area

Pada suatu tempat yang dipilih secara acak di daerah penelitian, dihitung jumlah spesies tumbuhan yang terdapat dalam plot 1,2,3,…dan seterusnya. Kemudian dibuat Kurva Spesies Area dengan menghubungkan antara ukuran plot dengan jumlah spesies. Dari Kurva Area Spesies tersebut ditentukan luas plot minimal atau minimal area yang akan digunakan. Bila dengan penambahan luas plot tidak lagi menyebabkan kenaikan jumlah jenis lebih dari 5 %, maka ukuran plot yang digunakan adalah seluas tersebut. Kurva Spesies Area berguna untuk menunjukkan sistem keterwakilan dari hutan terwakili sehingga analisis vegetasi yang dilakukan dapat mewakili hutan yang diteliti (Suin, 2002 ).


(35)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Dari inventarisasi flora yang dilakukan di Cagar Alam Martelu Purba, didapat 40 jenis tumbuhan pohon. Hasil inventarisasi flora disajikan pada lampiran 1.

Analisis vegetasi dilakukan dalam petak contoh 3 ha di Cagar Alam Martelu Purba terdiri dari 15 jalur dengan masing-masing jalur tediri dari 5 buah petak contoh. Hasil yang diperoleh yaitu Modang (Litsea sp.) merupakan jenis yang paling banyak dijumpai pada tingkat semai, pancang, dan tiang. Pada tingkat semai, Modang (Litsea sp.) memiliki kerapatan 725 ind/ha, tingkat pancang 31,36 ind/ha, dan pada tingkat tiang 0,48 ind/ha. Pada tingkat pohon yang paling banyak dijumpai adalah Meranti batu (Shorea platyclados) dengan kerapatan 0,355 ind/ha.

Total Luas Bidang Dasar (LBDS) untuk tingkat pohon dari tiap plot pengamatan adalah 92,945 m2/ha dengan Meranti batu (Shorea platyclados) yang memiliki Luas Bidang Dasar (LBDS) tertinggi yaitu 41,086 m2/ha.

Keanekaragaman jenis yang terdapat di Cagar Alam Martelu Purba tergolong sedang. Hal ini dapat dilihat dari nilai indeks Shannon-Wienner pada semua tingkat pengamatan baik pada tingkat semai, pancang, tiang, dan pohon yang memiliki nilai indeks Shannon-Wienner berkisar antara 1,5-3,5. Pada tingkat


(36)

semai, nilai indeks Shannon-Wienner adalah 1,850, tingkat pancang 1,880, tingkat tiang 1,501, dan tingkat pohon 1,784.

Jenis tumbuhan yang memiliki INP tertinggi pada tingkat semai yaitu Hauandolok (Eugenia sp.) dengan INP 389,410 dan yang terendah Rajamatan (Leea angulata) dengan INP 22,500. Pada tingkat pancang, jenis yang memiliki nilai INP tertinggi yaitu Modang (Litsea sp.) dengan INP 424,322 dan yang terendah jenis Hauandanak dengan INP 17,143. Pada tingkat tiang yang memiliki INP tertinggi yaitu jenis Hauandolok (Eugenia sp.) dengan INP 365,263 dan yang terendah jenis Handulpak (Omalathus lobana) dengan INP 19,426. Pada tingkat pohon, Meranti batu (Shorea platyclados) memiliki INP tertinggi yaitu 1498,616 dan yang terendah Beringin (Ficus benyamina) dengan nilai INP 7,613.

Struktur Hutan Struktur Vertikal

Berdasarkan hasil analisis vegetasi yang dilakukan, diketahui bahwa pohon di Cagar Alam Martelu Purba memiliki sebaran tinggi antara 6-38 m. Sebaran tinggi ini dibagi menjadi 4 kelas/bagian tinggi pohon yaitu kelas <10 m, >10-20 m, >20-30 m dan >30-38 m. Sebagian besar termasuk ke dalam kelas tinggi >10-20 m. Pada kelas tinggi <10 m (0,08 ind/ha), Akhirsap (Acanthopanax malayanus) dan Meranti udang (Shorea sp.) memiliki kerapatan tertinggi yaitu 0,0175 ind/ha. Meranti batu (Shorea platyclados) memiliki kerapatan tertinggi pada kelas tinggi >10-20 m (0,535 ind/ha), kelas tinggi >20-30 m (0,3925 ind/ha), dan kelas tinggi >30-38 m (0,0925 ind/ha) dengan masing-masing kerapatan pada


(37)

tiap kelas tinggi yaitu 0,1125 ind/ha, 0,1975 ind/ha dan 0,045 ind/ha. Berikut disajikan tabel kerapatan pohon (ind/ha) berdasarkan kelas tinggi.

Tabel 1. Kerapatan pohon (ind/ha) berdasarkan kelas tinggi di Cagar Alam Martelu Purba

No Nama Jenis Kelas Tinggi (m)

Nama Lokal Nama Latin ≤10 >10-20 >20-30 >30 1 Akhirsap Acanthopanax malayanus 0,0175 0,08 0,0125 − 2 Arang Cratoxylon formosum − 0,0025 0,0025 − 3 Ariman Didymosperma hastata 0,0025 0,02 − −

4 Mussaenda Mussaenda sp. 0,0025 − − −

5 Balangkoras Pterospermum acerifolium 0,0025 − − −

6 Beringin Ficus benyamina − 0,0025 − −

7 Dap-dap Fagara rhetsa 0,0025 − − −

8 Dong-dong Ficus grandis − 0,0175 0,0175 0,0075 9 Hanawe Eugenia longiflora 0,0025 0,0125 0,0025 −

10 Hauandanak Eugenia sp. − 0,005 − −

11 Hauandolok Eugenia sp. 0,005 0,02 0,005 −

12 Hoting batu Quercus sp. − 0,0025 0,005 −

13 Hoting bunga Quercus sp. − 0,01 − −

14 Hulasar Altingia excelsa 0,005 0,0125 0,0025 −

15 Jati Tectona grandis 0,0025 0,005 − −

16 Kemenyan Styrax durame − 0,0325 0,005 −

17 Makadame Macadamia hildebrandii 0,01 0,0225 − −

18 Mapat Scolopia spinosa − 0,0175 0,0025 −

19 Mayang Madhuca cuneata − 0,025 0,0025 0,005 20 Meranti batu Shorea platyclados − 0,1125 0,1975 0,045 21 Meranti bunga Shorea sp. 0,0025 0,025 0,035 0,0075

22 Meranti sanggar Shorea sp. − − − 0,0025

23 Meranti udang Shorea sp. 0,0175 0,0625 0,0675 0,01

24 Modang Litsea sp. − 0,015 0,0025 0,0025

25 Rajamatan Leea angulata − 0,0075 0,0025 −

26 Rau Dracontomelum sp. − 0,0025 − −

27 Sabal Cinnamomum inners 0,0025 0,0125 0,005 0,005

28 Saloh Leptonychia sp. − − 0,015 −

29 Sikam Bischofia javanica 0,005 − − −

30 Simartolu Schima sp. − 0,0075 0,01 0,0075

31 Sitarak Macaranga tanarius − 0,0025 − −


(38)

Berikut disajikan perbandingan stratifikasi berdasarkan kelas tinggi pohon:

0.08

0.535

0.3925

0.0925 0

0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6

Kerapatan (ind/ha)

≤10 >10-20 >20-30 >30 Kelas Tinggi (m)

Gambar 3. Stratifikasi berdasarkan kelas tinggi di Cagar Alam Martelu Purba

Struktur Horisontal

Berdasarkan kelas diameter, diketahui bahwa pohon yang menyusun vegetasi di Cagar Alam Martelu Purba berdiameter antara 20-109 cm. Distribusi diameter ini dibagi menjadi 4 kelas/bagian diameter pohon yaitu kelas diameter 20-40 cm, kelas >40-60 cm, kelas >60-80 cm, kelas >80 cm. Pada kelas diameter 20-40 cm (0,41 ind/ha), Akhirsap (Acanthopanax malayanus) yang paling banyak dijumpai dengan kerapatan 0,0575 ind/ha. Pada kelas diameter >40-60 cm (0,3975 ind/ha), kelas diameter >60-80 cm (0,235 ind/ha) dan kelas diameter >80 cm (0,0575 ind/ha), Meranti batu (Shorea platyclados) merupakan jenis pohon yang paling banyak dijumpai dengan kerapatan masing-masing 0.16 ind/ha, 0,1325 ind/ha dan 0,0275 ind/ha.

Pada semua kelas diameter pohon yang dikelompokkan, Meranti batu (Shorea platyclados) yang paling banyak dijumpai dalam petak contoh 3 ha


(39)

dengan memiliki jumlah kerapatan individu yang paling banyak. Berikut disajikan tabel kerapatan pohon (ind/ha) berdasarkan kelas diameter.

Tabel 2. Kerapatan pohon (ind/ha) berdasarkan kelas diameter (cm) di Cagar Alam Martelu Purba

No Nama Jenis Kelas Diameter (cm)

Nama Lokal Nama Latin 20-40 >40-60 >60-80 >80

1 Akhirsap Acanthopanax malayanus 0,0575 0,05 0,0025 −

2 Arang Cratoxylon formosum 0,0025 0,0025 − −

3 Ariman Didymosperma hastata 0,0225 − − −

4 Mussaenda Mussaenda sp. 0,0025 − − −

5 Balangkoras Pterospermum acerifolium 0,0025 − − −

6 Beringin Ficus benyamina 0,0025 − − −

7 Dap-dap Fagara rhetsa 0,0025 − − −

8 Dong-dong Ficus grandis 0,015 0,02 0,0025 0,005

9 Hanawe Eugenia longiflora 0,0125 0,0025 0,0025 −

10 Hauandanak Eugenia sp. 0,005 − − −

11 Hauandolok Eugenia sp. 0,0225 0,0025 0,005 −

12 Hoting batu Quercus sp. 0,0025 0,0025 − −

13 Hoting bunga Quercus sp. 0,01 0,0025 − −

14 Hulasar Altingia excelsa 0,0125 0,005 0,0025 −

15 Jati Tectona grandis 0,0075 − − −

16 Kemenyan Styrax durame 0,03 0,0075 − −

17 Makadame Macadamia hildebrandii 0,0325 − − −

18 Mapat Scolopia spinosa 0,02 − − −

19 Mayang Madhuca cuneata 0,0225 0,005 0,0025 0,0025

20 Meranti batu Shorea platyclados 0,035 0,16 0,1325 0,0275

21 Meranti bunga Shorea sp. 0,01 0,035 0,02 0,005

22 Meranti sanggar Shorea sp. − − − 0,0025

23 Meranti udang Shorea sp. 0,0325 0,085 0,0375 0,0025

24 Modang Litsea sp. 0,015 − 0,0025 0,0025

25 Rajamatan Leea angulata 0,0075 0,0025 − −

26 Rau Dracontomelum sp. 0,0025 − − −

27 Sabal Cinnamomum inners 0,01 0,005 0,005 0,005

28 Saloh Leptonychia sp. − 0,0025 0,0125 −

29 Sikam Bischofia javanica 0,005 − − −

30 Simartolu Schima sp. 0,005 0,0075 0,0075 0,005

31 Sitarak Macaranga tanarius 0,0025 − − −


(40)

Berikut disajikan perbandingan distribusi berdasarkan kelas diameter pohon :

0.41 0.3975

0.235

0.0575 0

0.1 0.2 0.3 0.4 0.5

Kerapatan (ind/ha)

20-40 >40-60 >60-80 >80

Kelas Diameter (cm)

Gambar 4. Distribusi berdasarkan kelas diameter di Cagar Alam Martelu Purba

Penggolongan Hutan Berdasarkan Volume Pohon (m3/ha)

Hasil volume pohon dari petak contoh yang dibuat dapat dilakukan penggolongan berdasarkan kriteria jenis hutan yang dibagi menjadi tiga bagian hutan, yaitu : hutan jarang, hutan sedang, dan hutan rapat.

Berikut disajikan deskripsi/kriteria dari hutan jarang, hutan sedang dan hutan rapat.

1. Hutan Jarang memiliki potensi volume < 109 m3/ha.

2. Hutan sedang memiliki potensi volume berkisar antara 109−168 m3/ha. 3. Hutan rapat memiliki potensi volume > 168 m3/ha.

* Untuk semua jenis (Dbh ≥ 20 cm dan Tbc) berdasarkan RKT tahun 1997 HPH PT. ITCI, Kalimantan Timur.


(41)

Berdasarkan kriteria penggolongan hutan tersebut, maka volume pohon yang didapat dari tiap jalur pengamatan dapat digolongkan ke dalam tiga bagian hutan tersebut. Berikut disajikan tabel volume dari tiap jalur pengamatan.

Tabel 3. Volume (m3/ha) pohon dari tiap jalur pengamatan dan penggolongannya berdasarkan kriteria hutan

Jalur Pengamatan V (m3/ha) Jenis Hutan

Jalur 1 133,5346 HS

Jalur 2 146,236 HS

Jalur 3 234,8451 HR

Jalur 4 142,9862 HS

Jalur 5 167,7881 HS

Jalur 6 111,7 HS

Jalur 7 138,4948 HS

Jalur 8 171,369 HR

Jalur 9 134,4245 HS

Jalur 10 125,3444 HS Jalur 11 124,1019 HS Jalur 12 150,7874 HS Jalur 13 218,2604 HR Jalur 14 160,3558 HS Jalur 15 145,6698 HS

Total 2305,898

Rata-rata 153,7265 Keterangan :

HJ = Hutan Jarang HS = Hutan Sedang HR = Hutan Rapat

Kurva Spesies Area

Dalam penentuan Kurva Spesies Area dibuat grafik yang menghubungkan antara ukuran plot dengan jumlah jenis tumbuhan. Hal ini ditujukan untuk mengetahui keterwakilan area dari hutan yang diamati. Berikut disajikan tabel


(42)

Tabel 4. Penambahan jumlah spesies untuk tiap jalur pengamatan

Luas (ha) Σ Spesies Σ (Jumlah)Penambahan (+) %

0,2 14 8 57,143

0,4 22 5 22,727

0,6 27 2 7,407

0,8 29 3 10,345

1 32 2 6,250

1,2 34 2 5,882

1,4 36 3 8,333

1,6 39 1 2,564

1,8 40 − −

2 40 − −

2,2 40 − −

2,4 40 − −

2,6 40 − −

2,8 40 − −

3 40 − −

Penambahan jumlah spesies dari tiap-tiap jalur pengamatan hanya terjadi sampai jalur ke-9 . Pada jalur 1 sampai jalur 8 masing-masing terjadi penambahan jumlah spesies sebesar >5 % dari jumlah spesies yang ada pada jalur-jalur sebelumnya. Namun pada plot ke-9, penambahan jumlah spesies yang terjadi dari jumlah spesies sebelumnya adalah <5 %. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Kurva Spesies Area yang disajikan:

14 22

2729 3234

3639 40 40 40 40 40 40 40

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5

Luas (ha) J um la h Sp e s ie s


(43)

Pembahasan

Dari hasil analisis vegetasi yang dilakukan dalam petak contoh 3 ha di Cagar Alam Martelu Purba, Modang memiliki kerapatan individu tertinggi atau paling banyak dijumpai pada tingkat semai, pancang, dan tiang. Data ini menunjukkan bahwa Modang merupakan jenis yang paling mendominasi pada tingkat semai, pancang dan tiang. Tingginya kerapatan individu jenis Modang menandakan bahwa jenis ini mampu tumbuh dengan baik dan mampu bersaing dengan jenis tumbuhan lain yang ada di Cagar Alam Martelu Purba. Hal ini sesuai dengan pendapat Baker, dkk (1995) yang menyatakan bahwa pertumbuhan tumbuhan tertentu dalam hutan tergantung kepada kemampuannnya dalam lingkungan tertentu. Dalam iklim makro dan tempat tumbuh tertentu, interaksi diantara tanah, tumbuhan, dan iklim akan membentuk komunitas tumbuhan yang begitu sesuai dengan lingkungannya dan menjaga dirinya dalam persaingan dengan setiap jenis dari luar.

Dengan mengalami proses suksesi, terjadi perubahan dan pergantian penyusun hutan di Cagar Alam Martelu Purba sesuai dengan kondisi lingkungan yang terjadi. Hal ini sesuai dengan pendapat Marsono (1977) dalam Ruslan (1986) yang menyatakan bahwa habitat akan mengadakan seleksi terhadap spesies-spesies yang mampu menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan setempat. Waktu dengan sendirinya diperlukan untuk mantapnya vegetasi itu. Perubahan komposisi vegetasi selama suksesi dapat disebabkan oleh toleransi terhadap cahaya, persingan mendapatkan zat hara tanah, atau adanya bahan kimia yang


(44)

bersifat racun (Huc dan Rosalina, 1981). Hilangnya zat hara dari hutan yang terbuka mungkin disebabkan oleh interaksi persaingan antara tumbuhan.

Pada tingkat pohon yang paling banyak dijumpai adalah Meranti batu (Shorea platyclados). Rendahnya nilai kerapatan individu dari Meranti batu (Shorea platyclados) pada tingkat pohon ini disebabkan oleh jarak tanam yang dibuat semasa penanaman. Dengan adanya jarak tanam tersebut memungkinkan tingginya nilai volume tegakan serta tingginya Luas Bidang Dasar pada kawasan Cagar Alam Martelu Purba. Adanya jarak tanam ini juga memungkinkan ruang tumbuh bagi jenis-jenis tumbuhan yang lain untuk tumbuh. Hal ini sesuai dengan pendapat Whitmore (1975) menyatakan bahwa pada daerah yang terbuka tersebut akan tumbuh jenis-jenis vegetasi yang toleran terhadap sinar matahari, yang selanjutnya akan menciptakan kondisi yang sesuai untuk perkecambahan biji-biji jenis yang toleran terhadap naungan. Pertumbuhan semai ini selanjutnya akan menutup kembali bagian hutan yang terbuka. Proses ini disebut suksesi sekunder.

Banyaknya jenis Meranti batu (Shorea platyclados) di Cagar Alam Martelu Purba dikarenakan pada awalnya Cagar Alam Martelu Purba merupakan hutan buatan hasil reboisasi yang ditanami dengan tanaman jenis Meranti. Dapat tumbuhnya Meranti batu di daerah ini merupakan suatu keunikan tersendiri karena habitat Meranti batu sebenarnya kurang cocok untuk tumbuh di daerah yang tinggi.

Tingginya jumlah dan diameter pohon di Cagar Alam Martelu Purba mempengaruhi Luas Bidang Dasar (LBDS) di kawasan tersebut. Dari hasil yang diperoleh, Meranti batu (Shorea platyclados) memiliki LBDS tertinggi. Ini


(45)

menandakan bahwa di Cagar Alam Martelu Purba ditumbuhi oleh pohon-pohon yang memiliki umur yang cukup tua dalam jumlah yang cukup banyak yaitu jenis Meranti batu (Shorea platyclados) itu sendiri. Hal ini sesuai dengan Baker, dkk (1995) yang menyatakan bahwa dengan bertambahnya jumlah pohon per hektar, Luas Bidang Dasar akan bertambah pada setiap pohon, yang menambah jumlah Luas Bidang Dasar yang sama sampai pohon-pohon mulai bersaing satu sama lain. Luas Bidang Dasar merupakan salah satu karakteristik yang paling penting dalam diskripsi tegakan yang juga sebagai fungsi kualitas tempat tumbuh, jenis dan umur.

Selain itu, Luas Bidang Dasar juga berpengaruh terhadap besar kecilnya volume pohon yang ada di Cagar Alam Martelu Purba. Volume pohon yang diperoleh dari tiap-tiap jalur pengamatan yang dilakukan tergolong ke dalam hutan sedang. Ini menandakan bahwa cukup banyak pohon-pohon dalam ukuran besar yang tumbuh di Cagar Alam Martelu Purba. Tergolongnya Cagar Alam Martelu Purba kedalam hutan sedang yang digolongkan berdasarkan volume pohon menandakan bahwa kawasan ini cocok ditetapkan sebagai cagar alam karena di kawasan ini memiliki potensi yang cukup besar yaitu tergolong kedalam hutan sedang, sehingga tidak diperlukan lagi reboisasi di kawasan ini.

Keanekaragaman jenis yang terdapat di Cagar Alam Martelu Purba tergolong sedang. Ini menunjukkan bahwa proses suksesi yang terjadi di Cagar Alam Martelu Purba berlangsung dengan baik disamping karena status kawasan ini telah berubah menjadi cagar alam sehingga aktivitas manusia tidak terlalu berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman yang tumbuh di daerah ini.


(46)

Kecenderungan yang besar pada suksesi ialah dari yang sederhana ke yang kompleks dalam organisasinya, dan dari dominansi tumbuhan dengan bentuk kehidupan rendah ke bentuk kehidupan yang lebih tinggi, yang makin menuntut kebutuhan-kebutuhan yang sulit sekali dari habitatnya. Semua itu juga dipengaruhi oleh faktor-faktor iklim dan edafik setempat. Hal ini sesuai dengan pendapat Widiyono dan Riswan (1997) yang menyatakan bahwa suatu perubahan insidental dalam suksesi yang normal adalah dari kondisi terbuka ke kondisi tertutup, yang juga melibatkan suatu peningkatan dalam persaingan dan perubahan yang nyata dalam faktor-faktor iklim dan faktor-faktor edafik setempat, seperti kelembaban udara, angin dan kesuburan tanah. Reaksi demikian itu bersifat timbal balik, tumbuhan mempengaruhi habitat, yang pada gilirannya habitat berpengaruh terhadap pertumbuhan.

Adanya jenis-jenis tumbuhan baru yang tumbuh di daerah ini menandakan bahwa dengan berubahnya fungsi kawasan yang awalnya merupakan hutan buatan hasil reboisasi menjadi cagar alam memberikan dampak yang baik dalam mempertahankan keanekaragaman jenis tumbuhan yang ada di daerah tersebut. Keanekaragaman jenis tumbuhan yang terdapat di Cagar alam Martelu Purba ditunjukkan oleh nilai indeks keanekaragaman jenis Shannon-Wienner. Hal ini sesuai dengan pendapat Micheal (1984) dalam Marsini (2005), menyatakan bahwa indeks keanekaragaman jenis berfungsi untuk menandai jumlah jenis dalam suatu daerah atau sebagai jumlah jenis diantara jumlah total individu dari seluruh jenis yang ada. Selain itu juga, indeks keanekaragaman jenis sangat penting dalam menentukan batasan kerusakan sistem alam oleh campur tangan manusia.


(47)

Jenis tumbuhan yang memiliki INP tertinggi pada tingkat semai yaitu Hauandolok (Eugenia sp.), tingkat pancang adalah Modang (Litsea sp.), tingkat tiang Hauandolok (Eugenia sp.), dan pada tingkat pohon adalah Meranti batu (Shorea platyclados). Adanya perbedaan nilai INP pada tiap tingkat pengamatan disebabkan oleh nilai yang didapat dari kerapatan, frekuensi, serta dominansi berbeda-beda. Tidak semua jenis tumbuhan memiliki nilai penting yang besar, ada beberapa diantaranya yang kecil/rendah karena penyebarannya sedikit seperti yang diungkapkan oleh Setyawan, dkk (2005) bahwa semua jenis yang tercakup dalam analisis vegetasi memiliki nilai penting yang cukup besar, beberapa diantaranya memiliki nilai penting yang rendah karena penyebaran yang terbatas dan/atau nilai penutupannya yang kecil, sehingga pengaruhnya terhadap ekosistem relatif dapat diabaikan.

Berdasarkan penggolongan struktur vertikal hutan (stratifikasi) dari tiap sebaran tinggi pohon, diketahui bahwa pohon yang menyusun Cagar Alam Martelu Purba memiliki sebaran tinggi antara 6-38 m. Sebagian besar termasuk ke dalam kelas tinggi >10−20 m. Berdasarkan kelas diameter (struktur horisontal), diketahui bahwa pohon yang menyusun vegetasi di Cagar Alam Martelu Purba berdiameter antara 20-109 cm. Pada kelas diameter 20-40 cm merupakan kelas dengan total kerapatan individu tertinggi. Ini menunjukkan bahwa jenis tumbuhan yang terdapat di Cagar Alam Martelu Purba masih mengalami proses suksesi yang membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mencapai kondisi klimaks bagi hutan di cagar alam ini.


(48)

Adanya perbedaan kelas tinggi dan diameter pohon di Cagar Alam Martelu Purba menandakan bahwa tegakan yang terdapat di cagar alam ini merupakan tegakan tidak seumur. Pada tegakan ini menunjukkan tajuk terputus dan tidak seragam. Jumlah pohon tersebar berada dalam kelas diameter terkecil, jumlahnya menurun kurang lebih sebanding dengan bertambahnya ukuran, sehingga akhirnya hanya tersebar sedikit pohon-pohon yang berukuran paling besar.

Pada distribusi berdasarkan kelas diameter pohon, didapat kurva menyerupai J terbalik. Ini menunjukkan bahwa Cagar Alam Martelu Purba dapat diasumsikan tergolong kedalam hutan tidak seumur jika dihubungkan dengan distribusi kelas diameter. Hal ini sesuai dengan pendapat Baker, dkk (1995) yang menyatakan bahwa pohon pada setiap kelas umur tumbuh pada kecepatan yang berbeda menurut tersedianya cahaya dan hara, tegakan tidak seumur sering mempunyai karakteristik distribusi semua diameter yang dianggap dimiliki oleh tegakan semua umur. Beberapa tegakan seumur yang terdiri dari pohon-pohon toleran mungkin tampak tidak seumur karena distribusi kelas diameternya sesuai dengan bentuk kurva J terbalik yang secara normal dihubungkan dengan distribusi kelas diameter tegakan tidak seumur.

Struktur hutan biasanya dilukiskan dalam kaitannya dengan lapisan (strata). Pepohonan disusun dalam tingkatan (lapisan, strata) dari atas ke bawah. Di Cagar Alam Martelu Purba dengan dominasi spesies-tunggal, strata agak nyata, namun pada jenis campuran yang lebih umum, strata yang nyata tidak jelas dan cencerung melebur menjadi suatu rangkaian kesatuan. Perbedaan lingkungan


(49)

antara kanopi diatas permukaan inversi dan tumbuhan bawah pohon di bawahnya penting karena mempengaruhi fotosintesis, respirasi dan transpirasi. Di atas permukaan inversi, pencahayaan lebih besar, suhu siang hari lebih tinggi, dan suhu malam hari sedikit lebih rendah daripada di bawahnya, kelembaban lebih rendah dan bervariasi di atas permukaan inversi. Pada lapisan yang lebih rendah, kondisinya jauh lebih seragam, suhu dan kelembaban kurang bervariasi dan pergerakan udara jauh lebih kurang daripada di atas permukaan inversi.

Pada suatu komunitas hutan, tumbuhan yang lebih tinggi meneduhi beberapa spesies yang lebih rendah yang kemudian mungkin mati, tetapi spesies yang suka teduh diantaranya dapat bertahan hidup dan bertambah banyak. Dengan demikian, pohon yang lebih tinggi itu menjalankan pengaruh kendali yang penting atas spesies tumbuhan dan hewan yang berada di dalam komunitas itu. Hal ini juga sedang terjadi di Cagar Alam Martelu Purba. Pohon mengalami perubahan mendaur secara bertahap, dari tahap anak pohon sampai dewasa, umur tua dan kematian, maka terdapatnya bagian yang terbuka pada sudur pepohonan akan memungkinkan tumbuhnya pohon muda yang baru dan terjadilah perubahan mendaur pelengkap pada nabatah teduhannya.

Dari kurva spesies area yang diperoleh, terjadi penambahan jenis >5 % hingga jalur 8, hanya pada plot selanjutnya terjadi penambahan jenis < 5% bahkan tidak terjadi penambahan jenis mulai dari jalur 10 hingga jalur 15. Ini menandakan bahwa luas plot minimal atau menunjukkan sistem keterwakilan dari Cagar Alam Martelu Purba yaitu hingga jalur 8. Hal ini sesuai dengan Suin (2002) yang menyatakan bahwa kurva spesies area berguna untuk menunjukkan sistem


(50)

keterwakilan dari hutan terwakili sehingga analisis vegetasi yang dilakukan dapat mewakili hutan yang diteliti.

Sedikitnya penambahan jumlah spesies dari tiap plot pengamatan yang dilakukan di Cagar alam Martelu purba menandakan bahwa proses suksesi masih menuju ke arah kestabilan atau kondisi hutan yang kompleks. Untuk mencapai kondisi hutan yang kompleks, masih diperlukan banyak waktu bagi hutan itu sendiri melakukan perubahan-perubahan yang menuju keseimbangan hutan.

Suatu komunitas hutan dengan keanekaragaman spesies yang tinggi perlu memiliki struktur yang kompleks. Ini ditujukan agar terjadinya stabilitas ekosistem di hutan tersebut. Keanekaragaman spesies bervariasi secara nyata di berbagai tipe hutan, tergantung pada daerah geografi, ciri lokasi, dan kematangan tegakan.


(51)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Indeks keragaman Shannon-Wienner di Cagar Alam Martelu Purba tergolong sedang. Pada tingkat semai 1,850, tingkat pancang 1,880, tingkat tiang 1,501, dan tingkat pohon 1,784.

2. Jenis tumbuhan yang mendominasi Cagar Alam Martelu Purba yaitu Modang (Litsea sp.) pada tingkat semai, pancang, dan tiang, sedangkan pada tingkat pohon didominasi oleh Meranti batu (Shorea platyclados). 3. Struktur hutan di Cagar Alam Martelu Purba dengan dominasi

spesies-tunggal, strata agak nyata, namun pada jenis campuran yang lebih umum, strata yang nyata tidak jelas dan cencerung melebur menjadi suatu rangkaian kesatuan.

Saran

Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut tentang tumbuhan bawah yang ada di Cagar Alam Martelu Purba untuk mengetahui jenis-jenis tumbuhan bawah apa saja yang ada di Cagar Alam Martelu Purba.


(52)

DAFTAR PUSTAKA

Arief, A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta

Baker, F. S., Daniel, T. W. dan Helms, J. A. 1995. Prinsip-Prinsip Silvikultur. Edisi Kedua. Terjemahan Universitas Gadjah mada press. Yogyakarta

BKSDAH Sumatera Utara II. 2002. Buku Informasi Kawasan Konservasi di Sumatera Utara. Medan

Cox, G. W. 1981. Laboratory Manual Of General Ecology. William c. Brown Company Publishers. United States Of America

Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 1992. Manual Kehutanan. Penerbit Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta

Cifor. 2002. Peraturan Pemerintah No. 68/1998 dan Peraturan Pemerintah No. 34/ Akses 16 Mei 2006 jam 16.00

Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia I. Jilid I. Terjemahan Badan Litbang Departemen Kehutanan. Jakarta

Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia I. Jilid II. Terjemahan Badan Litbang Departemen Kehutanan. Jakarta

Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia I. Jilid III. Terjemahan Badan Litbang Departemen Kehutanan. Jakarta

Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia I. Jilid IV. Terjemahan Badan Litbang Departemen Kehutanan. Jakarta

Huc, R. dan Rosalina, U. 1981. Chablis and Primary Dynamics in Sumatera. Biotrop. Bogor

Kusmana, C. 1997. Metode Survey Vegetasi. Penerbit IPB Bogor. Bogor

LIPI. 2004. Pedoman Pengumpulan Data Keanekaragaman Flora. Penerbit Puslit Biologi. Bogor

Marsini, L. 2005. Pengaruh Faktor Pembatas Terhadap Struktur dan Komposisi Jenis Komunitas mangrove di Desa Kayu Besar Kecamatan bandar Khalipah Kabupaten Serdang Bedagai. Skripsi Departemen Kehutanan Universitas Sumatera. Medan


(53)

Polunin, N. 1997. Teori Ekosistem dan Penerapannya. Terjemahan Universitas Gadjah Mada Press. Yogyakarta

Ruslan, M. 1986. Studi Perkembangan Suksesi Pada Hutan Alam Sekunder di Daerah Hutan Pendidikan Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat Mandiangin Kalimantan Selatan. Penerbit Direktorat jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta Setyawan, A. D., Indrowuryatno, Wiryanto, Winarno K. dan Susilowati. 2005.

Tumbuhan Mangrove Pesisir Jawa Tengah: 2 komposisi dan struktur Vegetasi. Biodiversitas 6 (3): 90-94

Soemarwoto, O., Soeryani M., Yatim W., Sagala APS., Skephi, Pramono A. H, dan Lubis M. 1992. Melestarikan Hutan Tropika. Penerbit Yayasan Obor Indonesia. Jakarta

Sudjana. 1992. Metoda Statistika. Penerbit Tasirto Bandung. Bandung Suin, N. M. 2002. Metoda Ekologi. Penerbit Universitas Andalas. Padang

Sumardi dan Widyastuti S. M. 2004. Dasar-Dasar Perlindungan Hutan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Undang-Undang Republik Indonesia No.41 tahun 1999 Tentang Kehutanan

Widiyono, W. dan Riswan, S. 1997. Pengenalan Pemberdayaan Pohon Hutan. Penerbit Prosea Indonesia. Bogor

Whitmore, T. C. 1975. Tropical Rain Forest Of The Far East. Clarendon. Oxford Zain, A. S. 1997. Hukum Lingkungan Konservasi Hutan dan Segi-Segi Pidana.


(1)

Adanya perbedaan kelas tinggi dan diameter pohon di Cagar Alam Martelu Purba menandakan bahwa tegakan yang terdapat di cagar alam ini merupakan tegakan tidak seumur. Pada tegakan ini menunjukkan tajuk terputus dan tidak seragam. Jumlah pohon tersebar berada dalam kelas diameter terkecil, jumlahnya menurun kurang lebih sebanding dengan bertambahnya ukuran, sehingga akhirnya hanya tersebar sedikit pohon-pohon yang berukuran paling besar.

Pada distribusi berdasarkan kelas diameter pohon, didapat kurva menyerupai J terbalik. Ini menunjukkan bahwa Cagar Alam Martelu Purba dapat diasumsikan tergolong kedalam hutan tidak seumur jika dihubungkan dengan distribusi kelas diameter. Hal ini sesuai dengan pendapat Baker, dkk (1995) yang menyatakan bahwa pohon pada setiap kelas umur tumbuh pada kecepatan yang berbeda menurut tersedianya cahaya dan hara, tegakan tidak seumur sering mempunyai karakteristik distribusi semua diameter yang dianggap dimiliki oleh tegakan semua umur. Beberapa tegakan seumur yang terdiri dari pohon-pohon toleran mungkin tampak tidak seumur karena distribusi kelas diameternya sesuai dengan bentuk kurva J terbalik yang secara normal dihubungkan dengan distribusi kelas diameter tegakan tidak seumur.

Struktur hutan biasanya dilukiskan dalam kaitannya dengan lapisan (strata). Pepohonan disusun dalam tingkatan (lapisan, strata) dari atas ke bawah. Di Cagar Alam Martelu Purba dengan dominasi spesies-tunggal, strata agak nyata, namun pada jenis campuran yang lebih umum, strata yang nyata tidak jelas dan cencerung melebur menjadi suatu rangkaian kesatuan. Perbedaan lingkungan


(2)

antara kanopi diatas permukaan inversi dan tumbuhan bawah pohon di bawahnya penting karena mempengaruhi fotosintesis, respirasi dan transpirasi. Di atas permukaan inversi, pencahayaan lebih besar, suhu siang hari lebih tinggi, dan suhu malam hari sedikit lebih rendah daripada di bawahnya, kelembaban lebih rendah dan bervariasi di atas permukaan inversi. Pada lapisan yang lebih rendah, kondisinya jauh lebih seragam, suhu dan kelembaban kurang bervariasi dan pergerakan udara jauh lebih kurang daripada di atas permukaan inversi.

Pada suatu komunitas hutan, tumbuhan yang lebih tinggi meneduhi beberapa spesies yang lebih rendah yang kemudian mungkin mati, tetapi spesies yang suka teduh diantaranya dapat bertahan hidup dan bertambah banyak. Dengan demikian, pohon yang lebih tinggi itu menjalankan pengaruh kendali yang penting atas spesies tumbuhan dan hewan yang berada di dalam komunitas itu. Hal ini juga sedang terjadi di Cagar Alam Martelu Purba. Pohon mengalami perubahan mendaur secara bertahap, dari tahap anak pohon sampai dewasa, umur tua dan kematian, maka terdapatnya bagian yang terbuka pada sudur pepohonan akan memungkinkan tumbuhnya pohon muda yang baru dan terjadilah perubahan mendaur pelengkap pada nabatah teduhannya.

Dari kurva spesies area yang diperoleh, terjadi penambahan jenis >5 % hingga jalur 8, hanya pada plot selanjutnya terjadi penambahan jenis < 5% bahkan tidak terjadi penambahan jenis mulai dari jalur 10 hingga jalur 15. Ini menandakan bahwa luas plot minimal atau menunjukkan sistem keterwakilan dari Cagar Alam Martelu Purba yaitu hingga jalur 8. Hal ini sesuai dengan Suin (2002) yang menyatakan bahwa kurva spesies area berguna untuk menunjukkan sistem


(3)

keterwakilan dari hutan terwakili sehingga analisis vegetasi yang dilakukan dapat mewakili hutan yang diteliti.

Sedikitnya penambahan jumlah spesies dari tiap plot pengamatan yang dilakukan di Cagar alam Martelu purba menandakan bahwa proses suksesi masih menuju ke arah kestabilan atau kondisi hutan yang kompleks. Untuk mencapai kondisi hutan yang kompleks, masih diperlukan banyak waktu bagi hutan itu sendiri melakukan perubahan-perubahan yang menuju keseimbangan hutan.

Suatu komunitas hutan dengan keanekaragaman spesies yang tinggi perlu memiliki struktur yang kompleks. Ini ditujukan agar terjadinya stabilitas ekosistem di hutan tersebut. Keanekaragaman spesies bervariasi secara nyata di berbagai tipe hutan, tergantung pada daerah geografi, ciri lokasi, dan kematangan tegakan.


(4)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Indeks keragaman Shannon-Wienner di Cagar Alam Martelu Purba tergolong sedang. Pada tingkat semai 1,850, tingkat pancang 1,880, tingkat tiang 1,501, dan tingkat pohon 1,784.

2. Jenis tumbuhan yang mendominasi Cagar Alam Martelu Purba yaitu Modang (Litsea sp.) pada tingkat semai, pancang, dan tiang, sedangkan pada tingkat pohon didominasi oleh Meranti batu (Shorea platyclados). 3. Struktur hutan di Cagar Alam Martelu Purba dengan dominasi

spesies-tunggal, strata agak nyata, namun pada jenis campuran yang lebih umum, strata yang nyata tidak jelas dan cencerung melebur menjadi suatu rangkaian kesatuan.

Saran

Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut tentang tumbuhan bawah yang ada di Cagar Alam Martelu Purba untuk mengetahui jenis-jenis tumbuhan bawah apa saja yang ada di Cagar Alam Martelu Purba.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Arief, A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta

Baker, F. S., Daniel, T. W. dan Helms, J. A. 1995. Prinsip-Prinsip Silvikultur. Edisi Kedua. Terjemahan Universitas Gadjah mada press. Yogyakarta

BKSDAH Sumatera Utara II. 2002. Buku Informasi Kawasan Konservasi di Sumatera Utara. Medan

Cox, G. W. 1981. Laboratory Manual Of General Ecology. William c. Brown Company Publishers. United States Of America

Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 1992. Manual Kehutanan. Penerbit Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta

Cifor. 2002. Peraturan Pemerintah No. 68/1998 dan Peraturan Pemerintah No. 34/ Akses 16 Mei 2006 jam 16.00

Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia I. Jilid I. Terjemahan Badan Litbang Departemen Kehutanan. Jakarta

Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia I. Jilid II. Terjemahan Badan Litbang Departemen Kehutanan. Jakarta

Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia I. Jilid III. Terjemahan Badan Litbang Departemen Kehutanan. Jakarta

Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia I. Jilid IV. Terjemahan Badan Litbang Departemen Kehutanan. Jakarta

Huc, R. dan Rosalina, U. 1981. Chablis and Primary Dynamics in Sumatera. Biotrop. Bogor

Kusmana, C. 1997. Metode Survey Vegetasi. Penerbit IPB Bogor. Bogor

LIPI. 2004. Pedoman Pengumpulan Data Keanekaragaman Flora. Penerbit Puslit Biologi. Bogor

Marsini, L. 2005. Pengaruh Faktor Pembatas Terhadap Struktur dan Komposisi Jenis Komunitas mangrove di Desa Kayu Besar Kecamatan bandar Khalipah Kabupaten Serdang Bedagai. Skripsi Departemen Kehutanan Universitas Sumatera. Medan


(6)

Polunin, N. 1997. Teori Ekosistem dan Penerapannya. Terjemahan Universitas Gadjah Mada Press. Yogyakarta

Ruslan, M. 1986. Studi Perkembangan Suksesi Pada Hutan Alam Sekunder di Daerah Hutan Pendidikan Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat Mandiangin Kalimantan Selatan. Penerbit Direktorat jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta Setyawan, A. D., Indrowuryatno, Wiryanto, Winarno K. dan Susilowati. 2005.

Tumbuhan Mangrove Pesisir Jawa Tengah: 2 komposisi dan struktur Vegetasi. Biodiversitas 6 (3): 90-94

Soemarwoto, O., Soeryani M., Yatim W., Sagala APS., Skephi, Pramono A. H, dan Lubis M. 1992. Melestarikan Hutan Tropika. Penerbit Yayasan Obor Indonesia. Jakarta

Sudjana. 1992. Metoda Statistika. Penerbit Tasirto Bandung. Bandung Suin, N. M. 2002. Metoda Ekologi. Penerbit Universitas Andalas. Padang

Sumardi dan Widyastuti S. M. 2004. Dasar-Dasar Perlindungan Hutan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Undang-Undang Republik Indonesia No.41 tahun 1999 Tentang Kehutanan

Widiyono, W. dan Riswan, S. 1997. Pengenalan Pemberdayaan Pohon Hutan. Penerbit Prosea Indonesia. Bogor

Whitmore, T. C. 1975. Tropical Rain Forest Of The Far East. Clarendon. Oxford Zain, A. S. 1997. Hukum Lingkungan Konservasi Hutan dan Segi-Segi Pidana.