BAB 2 LANDASAN TEORI - Peningkatan Kualitas Layanan Perpustakaan dengan Menggunakan Metode Servqual dan QFD (Studi Kasus pada Badan Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Propinsi Sumatera Utara)
BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1. Perpustakaan
Perpustakaan menurut Undang-Undang No.43 Tahun 2007 adalah institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi para pemustaka.
Perpustakaan adalah sebuah ruangan, bagian sebuah gedung, ataupun gedung itu sendiri yang digunakan untuk menyimpan buku dan terbitan lainnya yang biasa disimpan menurut tata susunan tertentu untuk digunakan pembaca, bahkan untuk dijual (Sulistyo Basuki, 1991:3).
Dalam Undang Undang No. 43 Tahun 2007, jenis-jenis perpustakaan terdiri atas:
1. Perpustakaan Nasional
Perpustakaan Nasional merupakan Lembaga Pemerintah Non Departemen yang melaksanakan tugas pemerintahan dalam bidang perpustakaan dan berkedudukan di ibukota negara. Perpustakaan Nasional bertugas: a.
Menetapkan kebijakan nasional, kebijakan umum, dan kebijakan teknis pengelolaan perpustakaan.
b.
Melaksanakan pembinaan, pengembangan, evaluasi, dan koordinasi terhadap pengelolaan perpustakaan.
c.
Membina kerja sama dalam pengelolaan berbagai jenis perpustakaan.
d.
Mengembangkan standar nasional perpustakaan.
2. Perpustakaan Umum Perpustakaan umum adalah perpustakaan yang diperuntukkan bagi masyarakat luas sebagai sarana pembelajaran sepanjang hayat tanpa membedakan umur, jenis kelamin, suku, ras, agama, dan status sosial- ekonomi.
3. Perpustakaan Sekolah/Madrasah Setiap sekolah/madrasah menyelenggarakan perpustakaan yang memenuhi standar nasional perpustakaan dengan memperhatikan Standar Nasional Pendidikan.
a.
Perpustakaan wajib memiliki koleksi buku teks pelajaran yang ditetapkan sebagai buku teks wajib pada satuan pendidikan yang peserta didik dan pendidik.
b.
Perpustakaan mengembangkan koleksi lain yang mendukung pelaksanaan kurikulum pendidikan. c.
Perpustakaan sekolah/madrasah melayani peserta didik pendidikan kesetaraan yang dilaksanakan di lingkungan satuan pendidikan yang bersangkutan.
d.
Perpustakaan sekolah/madrasah mengembangkan layanan perpustakaan berbasis teknologi informasi dan komunikasi.
e.
Sekolah/madrasah mengalokasikan dana paling sedikit sebesar 5% dari anggaran belanja operasional sekolah/madrasah atau belanja barang di luar belanja pegawai dan belanja modal untuk pengembangan perpustakaan.
4. Perpustakaan Perguruan Tinggi
Setiap perguruan tinggi menyelenggarakan perpustakaan yang memenuhi Standar Nasional Perpustakaan dengan memperhatikan Standar Nasional Pendidikan.
a.
Perpustakaan perguruan tinggi memiliki koleksi, baik jumlah judul maupun jumlah eksemplarnya, yang mencukupi untuk mendukung pelaksanaan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
b.
Perpustakaan perguruan tinggi mengembangkan layanan perpustakaan c.
Setiap perguruan tinggi mengalokasikan dana untuk pengembangan perpustakaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan guna memenuhi Standar Nasional Pendidikan dan Standar Nasional Perpustakaan.
5. Perpustakaan Khusus
Perpustakaan khusus adalah perpustakaan yang diperuntukkan secara terbatas bagi pemustaka di lingkungan lembaga pemerintah, lembaga masyarakat, lembaga pendidikan keagamaan, rumah ibadah, atau organisasi lain.
2.2. Kualitas Jasa
2.2.1. Jasa
Menurut Stanton (1983), jasa adalah semua kegiatan atau aktivitas yang dapat diidentifikasikan secara tersendiri yang pada hakikatnya bersifat tak bisa diraba (intangible) yang merupakan pemenuhan kebutuhan dan tidak harus terikat pada penjualan produk atau jasa lain.
Menurut Norman dalam Roger (1989), jasa terdiri dari tindakan dan interaksi yang merupakan kontak sosial. Jasa lebih dari sekedar hasil sesuatu yang tak terlihat, jasa merupakan interaksi sosial antara produsen dan konsumen. Ini menyoroti pentingnya keterlibatan pelanggan secara intim dengan proses produksi dan ketidakpastian yang terkait yang mungkin dimasukkan kedalam proses produksi.
(intangible) yang diterima oleh tamu bersamaan dengan produk yang berwujud (tangible) dari suatu produk yang dibeli.
Pengertian jasa menurut Kotler (1994:464) adalah setiap tindakan atau unjuk kerja yang ditawarkan oleh salah satu pihak ke pihak lain yang secara prinsip
intangible dan tidak menyebabkan perpindahan kepemilikan apapun. Proses
produksinya mungkin dan mungkin juga tidak dikaitkan dengan suatu produk fisik.Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa jasa pada hakikatnya merupakan proses atau aktivitas yang tidak berwujud seperti layaknya suatu barang.
Sehingga pihak yang menerima atau memanfaatkan jasa tidak dapat menyimpan jasa tersebut karena unsur ketidakberwujudan jasa tersebut.
Seringkali dikatakan bahwa jasa memiliki unik yang membedakannya dari barang atau produk–produk manufaktur. Empat karakteristik yang paling sering dijumpai dalam jasa dan pembeda dari barang pada umumnya adalah (Payne, 2001:9):
1. Tidak berwujud.
Jasa bersifatdan tidak berwujud, berarti jasa tidak dapat dilihat, dirasakan, dicicipi atau disentuh seperti yang dapat dirasakan dari suatu barang.
2. Heteregonitas.
Jasa merupakan variabel yang tidak memiliki standar dan sangat bervariasi. Artinya, karena jasa itu berupa suatu unjuk kerja, maka tidak ada hasil jasa interaksi manusia (karyawan dan konsumen) dengan segala perbedaan harapan dan persepsi yang menyertai interaksi tersebut.
3. Tidak dapat dipisahkan.
Jasa umumnya dihasilkan dan dikonsumsi pada saat yang bersamaan, dengan partisipasi konsumen dalam proses tersebut. Berarti, konsumen harus berada di tempat jasa yang dimintanya, sehingga konsumen melihat dan bahkan ikut ambil bagian dalam proses produksi tersebut.
4. Tidak tahan lama.
Jasa tidak mungkin disimpan dalam persediaan. Artinya, jasa tidak bisa disimpan, dijual kembali kepada orang lain, atau dikembalikan kepada jasa dimana ia membeli jasa.
2.2.2. Kualitas
Secara umum, beberapa pakar mendefinisikan kualitas sebagai berikut: 1.
Philip B. Crosby.
Crosby berpendapat bahwa kualitas berarti kesesuaian terhadap persyaratan (Suardi, 2003:2).
2. W. Edwards Deming.
Deming berpendapat bahwa kualitas berarti pemecahan masalah untuk mencapai penyempurnaan terus-menerus (Suardi, 2003:3).
Joseph M. Juran.
Juran berpendapat bahwa kualitas berarti kesesuaian dengan penggunaan (Suardi, 2003:3).
4. K. Ishikawa.
Ishikawa berpendapat bahwa kualitas berarti kepuasan pelanggan (Suardi, 2003:3).
Kualitas menurut ISO 9000:2000 adalah derajat atau tingkat karakteristik yang melekat pada produk yang mencukupi persyaratan/keinginan. Maksud derajat atau tingkat adalah selalu ada peningkatan setiap saat. Sedangkan karakteristik berarti hal-hal yang dimiliki suatu produk, yaitu: karakteristik fisik (elektrikal, mekanikal, biologikal), karakteristik perilaku (kejujuran, kesopanan), karakteristik sensori (bau, rasa) (Suardi, 2003: 3).
2.2.3. Dimensi Kualitas Jasa
Melalui serangkaian penelitian terhadap berbagai macam industri jasa, Parasuraman, Zeithaml, dan Berry (1985) berhasil mengidentifikasi sepuluh dimensi pokok kualitas jasa:
1. Reliabilitas, meliputi dua aspek utama, yaitu konsistensi kinerja
(performance) dan sifat dapat dipercaya (dependability). Hal ini berarti perusahaan mampu menyampaikan jasanya secara benar sejak awal (right
the first time ), memenuhi janjinya secara akurat dan andal (misalnya, data (record) secara tepat, dan mengirimkan tagihan yang akurat.
2. Responsivitas atau daya tanggap, yaitu kesediaan dan kesiapan para karyawan untuk membantu para pelanggan dan menyampaikan jasa secara cepat. Beberapa contoh di antaranya: ketepatan waktu layanan, pengiriman slip transaksi secepatnya, kecepatan menghubungi kembali pelanggan, dan penyampaian layanan secara cepat.
3. Kompetensi, yaitu penguasaan keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan agar dapat menyampaikan jasa sesuai dengan kebutuhan pelanggan. Termasuk di dalamnya adalah pengetahuan dan keterampilan karyawan kontak, pengetahuan dan keterampilan personil dukungan operasional, dan kapabilitas riset organisasi.
4. Akses, meliputi kemudahan untuk dihubungi atau ditemui
(approachability) dan kemudahan kontak. Hal ini berarti lokasi fasilitas jasa mudah dijangkau, waktu mengantri atau menunggu tidak terlalu lama, saluran komunikasi perusahaan mudah dihubungi (contohnya, telepon, surat, email, dan seterusnya), dan jam operasi nyaman.
5. Kesopanan (courtesy), meliputi sikap santun, respek, atensi, dan keramahan para karyawan kontak (seperti resepsionis, operator telepon,
bell person , teller bank, dan lain-lain).
6. Komunikasi, artinya menyampaikan informasi kepada pelanggan dalam bahasa yang mudah mereka pahami, serta selalu mendengarkan saran dan jasa/layanan yang ditawarkan, biaya jasa, trade-off antara jasa dan biaya, serta proses penanganan masalah potensial yang mungkin timbul.
7. Kredibilitas, yaitu sifat jujur dan dapat dipercaya. Kredibilitas mencakup nama perusahaan, reputasi perusahaan, karakter pribadi karyawan kontak, dan interaksi dengan pelanggan (hard selling versus soft selling approach ).
8. Keamanan (security) yaitu bebas dari bahaya, risiko atau keragu-raguan.
Termasuk di dalamnya adalah keamanan secara fisik (physical safety), keamanan finansial (financial security), privasi, dan kerahasiaan (confidentiality).
9. Kemampuan memahami pelanggan, yaitu berupaya memahami pelanggan dan kebutuhan spesifik mereka, memberikan perhatian individual, dan mengenal pelanggan regular.
10. Bukti fisik (tangibles), meliputi penampilan fasilitas fisik, peralatan, personil, dan bahan-bahan komunikasi perusahaan (seperti kartu bisnis, kop surat, dan lain-lain). Dalam riset selanjutnya, Parasuraman, Zeithaml, dan Berry (1988) menemukan adanya overlapping di antara beberapa dimensi di atas. Oleh sebab itu, mereka menyederhanakan sepuluh dimensi tersebut menjadi lima dimensi pokok. Kompetensi, kesopanan, kredibilitas, dan keamanan disatukan menjadi jaminan (assurance). Sedangkan akses, komunikasi, dan kemampuan memahami pelanggan
SERVQUAL 2.3.
2.3.1. Kelahiran SERVQUAL
Kolaborasi antara tiga pakar terkemuka kualitas jasa, A. Parasuraman, Valarie
A. Zeithaml, dan Leonard L. Berry dimulai pada tahun 1983. Reputasi dan kontribusi ketiga pakar ini dimulai dari paper konseptual mereka berjudul ”A Conceptual Model
of Service Quality and Its Implications for Future Research ” yang dipublikasikan di
Journal of Marketing . Dalam tulisan tersebut, mereka memaparkan secara rinci lima
gap kualitas jasa yang berpotensi menjadi sumber masalah kualitas jasa. Model ini
dinamakan SERVQUAL (singkatan dari Service Quality) dikembangkan dengan maksud untuk membantu para manajer dalam menganalisis sumber masalah kualitas dan memahami cara-cara memperbaiki kualitas jasa. Model ini diilustrasikan pada
Gambar 2.1. Garis putus-putus horizontal memisahkan dua fenomena utama: bagian atas merupakan fenomena yang berkaitan dengan pelanggan dan baigan bawahmengacu pada fenomena perusahaan atau penyedia jasa. Selain dipengaruhi pengalaman masa lalu, kebutuhan pribadi pelanggan, dan komunikasi words of
mouth , jasa yang diharapkan (expected service) juga dipengaruhi aktivitas
komunikasi pemasaran perusahaan.Sementara itu, jasa yang dipersepsikan pelanggan (perceived service) merupakan hasil dari serangkaian keputusan dan aktivitas internal perusahaan. spesifikasi kualitas jasa yang harus diikuti perusahaan dan diimplementasikan dalam penyampaian jasa sebagai komponen kualitas berkaitan dengan proses (process-
related quality ) dan solusi teknis yang diterima melalui proses tersebut sebagai
komponen kualitas berkaitan dengan hasil (outcome-related quality). Sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 2.1, komunikasi pemasaran bisa mempengaruhi perceived service dan expected service.
PELANGGAN Kebutuhan Pengalaman
Words of Mouth Pribadi Masa Lalu Jasa yang
Diharapkan GAP
5 Jasa yang Dipersepsikan
PEMASAR GAP 4 Komunikasi Eksternal Penyampaian
Kepada Pelanggan Jasa
GAP
3 Spesifikasi Kualitas Jasa
GAP
2 Persepsi Manajemen atas Harapan Pelanggan
Gambar 2.1. Model Konseptual SERVQUALParasuraman juga mengidentifikasikan 10 dimensi pokok jasa: reliabilitas, daya tanggap, kompetensi, akses, kesopanan, komunikasi, kredibilitas, keamanan, kemampuan memahami pelanggan, dan bukti fisik. Lima gap utama yang terangkum dalam Gambar 2.1 meliputi: 1.
Gap antara harapan pelanggan dan persepsi manajemen (knowledge gap).
Gap ini berarti bahwa pihak konsumen mempersepsikan ekspektasi
pelanggan terhadap kualitas jasa secara tidak akurat. Beberapa kemungkinan penyebabnya antara lain: informasi yang didapatkan dari riset pasar dan analisis permintaan kurang akurat; interpretasi yang kurang akurat atas informasi mengenai ekspektasi pelanggan; tidak adanya analisis permintaan; buruknya atau tiadanya aliran informasi ke atas (upward
information ) dari staf kontak pelanggan ke pihak manajemen; dan terlalu
banyak jenjang manajerial yang menghambat atau mengubah informasi yang disampaikan dari karyawan kontak pelanggan ke pihak manajemen.
Sebagai contoh, pengelola jasa katering mungkin saja mengira bahwa para kuantitas porsi masakan yang dihidangkan, padahal mereka justru lebih mementingkan variasi menu yang disajikan.
2. Gap antara persepsi manajemen terhadap harapan konsumen dan spesifikasi kualitas jasa (standard gap).
Gap ini berarti bahwa spesifikasi kualitas jasa tidak konsisten dengan
persepsi manajemen terhadap ekspektasi kualitas. Penyebabnya antara lain: tidak adanya standar kinerja yang jelas; kesalahan perencanaan atau prosedur perencanaan yang tidak memadai; manajemen perencanaan yang buruk; kurangnya penetapan tujuan yang jelas dalam organisasi; kurangnya dukungan dan komitmen manajemen puncak terhadap perencanaan kualitas jasa; kekurangan sumber daya; dan situasi permintaan berlebihan.
Contohnya, manajemen sebuah bank meminta para stafnya agar melayani nasabah dengan ’cepat’ tanpa merinci standar waktu pelayanan yang bisa dikategorikan cepat.
3. Gap antara spesifikasi kualitas jasa dan penyampaian jasa (delivery gap).
Gap ini berarti bahwa spesifikasi kualitas tidak terpenuhi oleh kinerja
dalam proses produksi dan penyampaian jasa. Sejumlah penyebabnya antara lain: spesifikasi kualitas terlalu rumit dan atau terlalu kaku; para karyawan tidak menyepakati spesifikasi tersebut dan karenanya tidak memenuhinya; spesifikasi tidak sejalan dengan budaya korporat yang ada; manajemen operasi jasa yang buruk; kurang memadainya aktivitas internal sesuai dengan spesifikasi. Kurang terlatihnya karyawan, beban kerja terlampau berlebihan, dan standar kinerja tidak dapat dipenuhi karyawan (terlampau tinggi atau tidak realistis) juga dihadapkan pada standar-standar yang kadangkala saling bertentangan satu sama lain. Sebagai contoh, para perawat sebuah rumah sakit diwajibkan meluangkan waktunya untuk mendengarkan keluhan/masalah pasien, tetapi di saat bersamaan mereka juga diharuskan melayani setiap pasien dengan cepat.
4. Gap antara penyampaian jasa dan komunikasi eksternal (communication gap ).
Gap ini berarti bahwa janji-janji yang disampaikan melalui aktivitas
komunikasi pemasaran tidak konsisten dengan jasa yang disampaikan kepada para pelanggan. Hal ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya: kurangnya koordinasi antara aktivitas pemasaran eksternal dan operasi jasa; organisasi gagal memenuhi spesifikasi yang ditetapkannya, sementara kampanye komunikasi pemasaran sesuai dengan spesifikasi tersebut; dan kecenderungan untuk melakukan ”over-promise, under-
deliver ”. Iklan dan slogan/janji perusahaan sering mempengaruhi
ekspektasi pelanggan. Jika harapan pelanggan bisa membumbung tinggi dan sulit dipenuhi. Contohnya, wisatawan akan sangat kecewa apabila mereka mendapati bahwa objek wisata yang dikunjungi ternyata tidak sebagus yang digambarkan di brosur atau website yang mereka lihat.
Gap antara jasa yang dipersepsikan dan jasa yang diharapkan (service gap).
Gap ini berarti bahwa jasa yang dipersepsikan tidak konsisten dengan jasa
yang diharapkan. Gap ini bisa menimbulkan sejumlah konsekuensi negatif, seperti kualitas buruk (negatively confirmed quality) dan masalah kualitas; komunikasi words of mouth yang negatif; dampak negatif terhadap citra korporat atau citra lokal; dan kehilangan pelanggan. Gap ini terjadi apabila pelanggan mengukur kinerja/prestasi perusahaan berdasarkan kriteria yang berbeda, atau bisa juga mereka keliru menginterpretasikan kualitas jasa bersangkutan. Sebagai contoh, seorang dokter mungkin ingin selalu mengunjungi pasiennya demi menunjukkan perhatiannya, namun itu bisa dipersepsikan keliru oleh sang pasien dan diinterpretasikan bahwa ada masalah serius berkenaan dengan penyakit yang dideritanya.
2.4. Quality Function Deployment
2.4.1. Defenisi
Definisi atau pengertian Quality Function Deployment (QFD) berdasarkan pendapat para ahli atau pakar sebagai berikut :
1. Cohen (1995) memberikan definisi atau pengertian Quality Function
Deployment (QFD) sebagai sebuah metode yang dipakai untuk
mengembangkan dan merencanakan produk agar tim pengembang dapat menspesifikasi secara rinci kebutuhan dan keinginan customer.
2. Ermer (1995) memberikan definisi atau pengertian Quality Function didasarkan pada pencarian input secara langsung dari konsumen untuk selanjutnya dipikirkan bagaimana cara memenuhi input tersebut.
3. Daetz (1995) memberikan definisi atau pengertian Quality Function
Deployment (QFD) sebagai proses perencanaan sistematis yang diciptakan untuk membantu perusahaan mengatur semua elemen yang diperlukan untuk mendefinisikan, merancang dan membuat produk atau menyajikan service yang dapat memenuhi kebutuhan customer.
Quality Function Deployment (QFD) digunakan untuk menangkap suara dan
keinginan customer, kemudian mengkonversikannya ke dalam strategi yang tepat serta produk dan proses yang dibutuhkan. Harapan-harapan dari customer diterjemahkan ke dalam kebutuhan-kebutuhan yang spesifik menjadi arah perencanaan strategi dan tindakan teknik. Tindakan-tindakan teknik yang dilakukan dalam Quality Function Deployment (QFD) meliputi empat proses utama, yaitu
product planning, design planning, process planning dan production planning.
Proses-proses tersebut merupakan suatu susunan proses yang terstruktur dan sistematis, yang memudahkan teknisi untuk mewujudkan keinginan customer dengan tepat. Setiap proses saling berurutan dan berkesinambungan satu dengan yang lain, sehingga tidak dapat dilakukan secara terpisah.
2.4.2. Tahapan QFD
Tahap perencanaan dan pengembangan fase model QFD dapat disebut juga berikut:
1. Matriks perencanaan produk (house of quality).
Menjelaskan tentang customer needs, technical requirements, co-
relationship, relationship, customer competitive evaluation, competitive
technical assesment , dan targets.2. Matriks perencanaan part (part of deployment).
Merupakan faktor-faktor teknis yang critical terhadap pengembangan produk.
3. Matriks perencanaan proses (process planning).
Merupakan matriks proses pembuatan pengembangan suatu produk.
4. Matriks perencanaan produksi (production planning).
Memaparkan tindakan yang perlu diambil didalam perbaikan kualitas produk.