BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Analisis relasi kekuasaan dalam pemerintahan desa :Suatu Studi Terhadap Relasi Kekuasaan Kepala Desa dengan Maujana Nagori di Nagori Simattin, Kecamatan Pamatang Sidamanik, Kabupaten Simalungun. Content, 104 p

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kekuasaan merupakan masalah sentral di dalam suatu negara, karena

  negara merupakan pelembagaan masyarakat politik (polity) paling besar dan

  1

  memiliki kekuasaan yang otoritatif . Di negara-negara yang menganut paham demokrasi, kekuasaan itu berasal dari rakyat dan kekuasaan itu terbagi pada sejumlah lembaga-lembaga politik. Pembagian kekuasaan itu dimaksudkan untuk menghindari adanya pemusatan kekuasaan pada satu tangan sehingga ada mekanisme kontrol dan keseimbangan diantara lembaga pemegang kekuasaan tersebut.

  Pembagian kekuasaan pertama kali dilakukan oleh John Locke (1632- 1704). Dalam bukunya Two Treaties of Government (1679), John Locke membagi kekuasaan menjadi tiga macam yaitu kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, dan kekuasaan federatif. Sedangkan Montesquieu (1689-1755) memisahkan kekuasaan ke dalam tiga organ yakni kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Dengan adanya pembagian kekuasaan dalam tiga lembaga tersebut diharapkan dalam menjalankan pemerintahan negara tidak terjadi tumpang tindih diantara lembaga pemegang kekuasaan tersebut. Berkaitan dengan upaya mengontrol kekuasaan, agar tidak terulang sentralisasi kekuasaan 1                                                             

Kacung Maridjan. 2010. Sistem Politik Indonesia Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru.

  Jakarta: Kencana. Hal. 17   sebagaimana pada masa Orde Baru, amandemen UUD 1945 berusaha memperjelas pembagian dan pemisahan kekuasaan yang ada di lembaga-lembaga pemerintahan.

  Didalam sejarah pemerintahan di Indonesia, penyelenggaraan Pemerintahan Desa pada era Orde Baru bersifat sentralistik sehingga Kepala Desa menjadi pusat kekuasaan dalam melaksanakan penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Pemerintahan Orde Baru menetapkan kebijakan mengenai pengaturan Kepala Desa dan Lembaga Musyawarah Desa (LMD). Pada awal pembentukannya LMD bertujuan sebagai pengontrol kinerja Kepala Desa dalam menyelenggarakan Pemerintahan Desa. Tetapi dalam perjalanannya LMD sebagai sebuah lembaga legislatif didesa tidak dapat mewujudkan tugas dan fungsinya sebagai media artikulasi kepentingan politik masyarakat desa. LMD bukan sebagai lembaga yang mengontrol kinerja Kepala Desa beserta perangkat desa.

  Kekuasaan eksekutif dalam hal ini Kepala Desa menjadikan posisi Kepala Desa sebagai kepala pemerintahan sekaligus sebagai pusat kekuasaan di desa. Hal itu semakin memperjelas bahwa Pemerintahan Desa yang terjadi pada masa Orde Baru dilaksanakan secara sentralistis, struktur kekuasaan yang monolitik telah menghilangkan tatanan Pemerintahan Desa yang demokratis.

  Awal reformasi merupakan awal kebangkitan demokratisasi. Perubahan yang terjadi terasa sangat cepat, mulai dari pergantian kekuasaan dan berbagai kebijakan baru yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam upaya kearah demokratisasi. Lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 di set-up untuk mengubah sistem Pemerintahan Desa yang semula bersifat sentralistis menjadi lebih demokratis. Mengingat masalah utama pada masa Orde Baru yaitu adanya sentralisasi kekuasaan pada Kepala Desa sebagai lembaga eksekutif di desa, dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 terdapat upaya memisahkan kewenangan antara Kepala Desa dan Badan Perwakilan Desa (BPD) serta membatasi kekuasaan Kepala Desa dengan membentuk lembaga parlemen Badan Perwakilan Desa yang independen dari perwakilan elit-elit desa yang dipilih oleh masyarakat. Lembaga ini memiliki tujuan untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja aparat pemerintah desa dan mewakili masyarakat dalam proses penyelenggaraan Pemerintahan Desa.

  Dalam melaksanakan penyelenggaraan Pemerintahan Desa dilakukan oleh pemerintah desa bersama dengan BPD yang merupakan penyempurnaan dari LMD (Lembaga Musyawarah Desa) karena lebih bersifat independen. Pemerintahan Desa merupakan lembaga kemasyarakatan atau organisasi desa yang dipahami sebagai organisasi kekuasaan yang secara politis memiliki fungsi dan wewenang dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat untuk mencapai keteraturan dan integrasi dalam masyarakat.

  Berdasarkan Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 200 ayat 1 bahwa dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa ada dua unsur pemerintahan yakni Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Pemerintah desa merupakan lembaga eksekutif desa dan BPD sebagai lembaga legislatif desa. Pemerintah desa selaku kekuasaan eksekutif di desa memiliki peran aktif dalam menentukan kebijakan dan peraturan desa. Pemerintah desa merupakan lembaga kemasyarakatan atau organisasi desa yang dipahami sebagai organisasi kekuasaan yang secara politis memiliki fungsi dan wewenang dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.

  Dalam impelementasi otonomi daerah membuka peluang konsentrasi kekuasaan pada elit politik desa yakni Kepala Desa dengan BPD. Kedudukan BPD sebagai mitra Kepala Desa dalam pelaksanaan pemerintahan daerah. Kemampuan BPD menempatkan diri dalam praktik penyelenggaraan Pemerintahan Desa sangat ditentukan oleh kedudukan BPD dalam format kekuasaan yang ada. Jika bobot kekuasaan salah satu lebih dominan, maka kedudukan sebagai mitra sulit untuk diwujudkan. BPD membutuhkan kekuasaan untuk menjalankan fungsinya, karena BPD merupakan representasi masyarakat untuk mengatur pemerintahan sesuai dengan keinginan masyarakat.

  Permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah bagaimana relasi kekuasaan antara Kepala Desa dengan BPD dalam melaksanakan penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Pola relasi kekuasaan yang sejajar sebagaimana telah diatur dalam undang-undang, dalam pelaksanaannya diwarnai oleh praktek-praktek hubungan kerja yang kurang harmonis dan menunjukkan kecenderungan terjadinya dominasi Kepala Desa. Wujud konkret dari terjadinya hubungan yang tidak harmonis antara Kepala Desa dengan BPD terlihat dalam proses-proses penyusunan dan penetapan peraturan desa, penyusunan dan penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBD), pelaksanaan peraturan desa dan pelaksanaan pertanggungjawaban Kepala Desa.

  Hubungan kekuasaan elit Pemerintahan Desa yaitu Kepala Desa dengan BPD menunjukkan hanya sebatas pada penetapan peraturan desa.

  Penyelenggaraan Pemerintahan Desa menjadi otoritas Kepala Desa. BPD (Kekuasaan Legislatif di desa) hanya sebagai lembaga yang memberikan nasehat terhadap Kepala Desa. Dalam hal ini terjadi hegemoni Kepala Desa terhadap BPD yakni dominasi oleh satu kelompok terhadap kelompok lainnya, dengan atau tanpa ancaman kekerasan sehingga ide-ide yang didiktekan oleh kelompok dominan terhadap kelompok yang didominasi diterima sebagai sesuatu yang wajar yang bersifat moral, intelektual serta budaya.

  Dalam suatu hubungan kekuasaan (power relationship) selalu ada pihak

  2

  yang lebih kuat dari pihak lain . Jadi, selalu ada hubungan tidak seimbang atau asimetris. Dalam melaksanakan pengelolaan Pemerintahan Desa, kekuasaan Kepala Desa terlihat lebih menonjol dibandingkan dengan Badan Permusyawaratan Desa. Dominasi kekuasaan Kepala Desa terlihat dalam pembuatan keputusan atau peraturan desa. Dominasi ini terjadi karena adanya persepsi yang salah dan cenderung menyimpang akan ketentuan dalam peraturan 2                                                              Miriam Budiardjo.2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. hal.63.

    perundang-undangan yang berlaku. Hal ini mengindikasikan adanya pembagian kekuasaan yang tidak merata antara kekuasaan Kepala Desa (eksekutif) dengan Badan Permusyawaratan Desa sebagai lembaga legislatif dalam Pemerintahan Desa. Maka apa yang dikatakan oleh Ramlan Surbakti bahwa kekuasaan politik senantiasa suatu kekuasaan yang memiliki aspek politik yang berupa penggunaan sumber-sumber pengaruh untuk memberikan pengaruh terhadap proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik.

  Studi mengenai relasi kekuasaan antara Kepala Desa dengan Badan Permusyawaratan Desa ini dilakukan di Nagori Simattin, Kecamatan Pamatang Sidamanik, Kabupaten Simalungun. Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Nagori, istilah desa disebut dengan Nagori, Kepala Desa diganti nama dengan Pangulu, sedangkan Badan Permusyawaratan Desa disebut dengan Maujana nagori. Kekuasaan Pangulu yang dominan dalam pemerintahan nagori memperlihatkan adanya kekuasaan yang tidak merata dalam struktur pemerintahan nagori di Nagori Simattin. Sebagai lembaga legislatif di desa, Maujana nagori hanya sebagai lembaga yang memberikan nasehat terhadap Pangulu sedangkan pengelolaan Pemerintahan nagori lebih banyak dilakukan oleh Pangulu.

  Dari uraian yang telah dipaparkan tersebut diatas, peneliti memiliki ketertarikan untuk membahas relasi kekuasaan dalam Pemerintahan Desa. Maka dalam hal ini peneliti mengangkat judul penelitian Relasi Kekuasaan Dalam Pemerintahan Nagori (Studi Kasus Relasi Kekuasaan antara Pangulu dengan Maujana nagori di Nagori Simattin, Kecamatan Pamatang Sidamanik, Kabupaten Simalungun).

B. Rumusan Masalah

  Dalam menjalankan Pemerintahan Desa, Badan Permusyawaratan Desa (kekuasaan legislatif desa) berkedudukan sejajar dan menjadi mitra kekuasaan eksekutif (Kepala Desa). Namun dalam pelaksanaannya, kekuasaan Kepala Desa sebagai eksekutif desa memperlihatkan adanya dominasi kekuasaan dalam struktur pemerintahan desa. Kekuasaan Kepala Desa lebih besar dibandingkan dengan kekuasaan BPD. Dari pemaparan pada latar belakang diatas maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana relasi kekuasaan antara Pangulu dengan Maujana nagori dalam pengelolaan Pemerintahan Nagori di Nagori Simattin, Kecamatan Pamatang Sidamanik, Kabupaten Simalungun ?

C. Tujuan Penelitian

  Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengeksplorasi dan mendeskripsikan relasi kekuasaan antara Pangulu dan

  Maujana nagori dalam pengelolaan Pemerintahan Nagori di Nagori Simattin, Kecamatan Pamatang Sidamanik, Kabupaten Simalungun 2. Menganalisis pola hubungan kekuasaan antara Pangulu dan Maujana nagori yang sama-sama memiliki kekuasaan dan sama-sama dipilih oleh masyarakat.

  D. Signifikansi Penelitian 1.

  Peneliti mampu mengasah kemampuan dalam melakukan sebuah proses penelitian yang bersifat ilmiah dan memberikan pengetahuan yang baru bagi peneliti sendiri.

  2. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan penjelasan tentang relasi kekuasaan antara Pangulu dan Maujana nagori dalam Pengelolaan Pemerintahan Nagori.

  3. Penelitian ini sekiranya dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam kajian tentang Kekuasaan politik dan menjadi referensi/kepustakaan bagi Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

  E. Kerangka Teori 1. Teori Kekuasaan Politik

  Kekuasaan merupakan salah satu diantara konsep politik yang paling sering dipelajari dan dibahas oleh para akademisi dalam mempelajari ilmu politik.

  Sebagian sarjana atau ilmuwan politik beranggapan bahwa kekuasaan inti dari politik yaitu semua kegiatan yang menyangkut masalah memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan. Kekuasaan erat kaitannya dengan pengaruh dan mempengaruhi. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan (relationship) dalam artian bahwa ada satu pihak yang memerintah dan ada pihak yang diperintah (the ruler and ruled), satu pihak yang memberi perintah, satu pihak yang mematuhi perintah. Definisi mengenai kekuasaan kekuasaan telah banyak dikemukakan oleh para ahli. Max Weber dalam bukunya Wirtschafgt und Gessellshaft (1992) seperti yang dikutip oleh Mirriam Budiardjo

  3

  : Kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalamai perlawanan, dan apapun dasar kemampuan ini (macht beduetet jede chance innerhalb einer

  soziale Beziehung den eigenen Willen durchzusethen auch gegen Widerstreben durchzustzen, gleichviel worauf diese chance beruht ).

  Lebih jelas Weber mengatakan, kekuasaan adalah kesempatan seseorang atau sekelompok orang untuk menyadarkan masyarakat akan kemauan-kemauan sendiri, dengan sekaligus menerapkannya terhadap tindakan-tindakan perlawanan dari orang-orang atau golongan-golongan tertentu. Sementara itu apabila kita mengacu pada teori kekuasaan menurut pendapat Ramlan Surbakti dan Robert Dahl.

  Sebagaimana yang dikutip oleh Siti Nuraini dalam buku “Memahami Ilmu Politik” menurut Ramlan Surbakti, kekuasaan diartikan sebagai berikut :

  Kekuasaan secara umum diartikan sebagai kemampuan menggunakan sumber-sumber pengaruh yang dimiliki untuk mempengaruhi pihak lain sehingga pihak lain berperilaku sesuai dengan kehendak pihak yang mempengaruhi. Dalam arti sempit kekuasaan politik dapat dirumuskan sebagai kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber pengaruh untuk mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik sehingga keputusan menguntungkan dirinya, kelompoknya ataupun masyarakat pada umumnya

  4 .

  Gagasan yang disampaikan Ramlan Surbakti tersebut dapat disimpulkan bahwa kekuasaan diperoleh karena adanya sumber-sumber yang dimiliki

                                                               3 Miriam Budiardjo. ibid.hal.60.

    4 Siti Nuraini. 2010. “Hubungan Kekuasaan Elit Pemerintahan Desa”, Jurnal Kybernan, Vol.1.Maret 2010, Bekasi.hal 11   seseorang atau kelompok, yang dapat dijadikan sebagai alat atau sarana untuk mempengaruhi orang lain atau kelompok lain sesuai yang diinginkan.

  Sebagaimana yang dikutip oleh Siti Nuraini dalam buku “Analisa Politik Modern” Robert Dahl berpendapat bahwa membahas berbagai sumber-sumber kekuasaan tentu tidak boleh mencampurkannya dengan makna kekuasaan itu sendiri, karena itu menurut Dahl :

  Bila merumuskan pengaruh atau kekuasaan secara sederhana sebagaimana kekuasaan itu sendiri, maka tidak hanya akan kehilangan kekuasaan subyek persoalan, namun juga telah menyangkal suatu masalah yang empiris yang penting mengenai apa dan bagaimana hubungan pengaruh harus diterapkan dan bagaimana cara aktor untuk mempergunakan sumber kekuasaan yang

  5 dimilikinya .

  Dalam pandangannya, Dahl berpendapat mengenai lebih pentingnya untuk mengkaji kekuasaan dengan melihat bagaimana hubungan kekuasaan dan pengaruhnya, serta cara penggunaan sumber-sumber kekuasaan yang dimiliki seseorang. Miriam Budiardjo dalam bukunya yang berjudul “Dasar-dasar Ilmu Politik”, menyebutkan bahwa kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau sekelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan

  6 dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu .

  Dalam perkembangannya, kekuasaan digunakan untuk mempengaruhi kebijakan umum dengan tujuan agar kebijakan tersebut sesuai dengan keinginan 5                                                              Siti Nuraini. ibid .hal.11 6   Miriam Budiardjo. op.cit. hal.17-18.

    pemegang kekuasaan itu sendiri. Hal ini relevan dengan definisi yang disampaikan oleh para ilmuwan politik yang secara umum menjelaskan bahwa kekuasaan adalah mempengaruhi seseorang agar bertingkah laku sesuai dengan yang diinginkan. Kekuasaan mempunyai jangkauan cukup luas meliputi kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain, kemampuan untuk memerintah, kemampuan untuk memberi keputusan, serta mempengaruhi pihak lain.

  Bila kita mengkaji mengenai teori kekuasaan, gagasan Antonio Gramsci tentang hegemoni akan dapat membantu kita dalam memahami kekuasaan. Bagi Gramsci, kelas sosial akan memperoleh keunggulan (supremasi) melalui dua cara, yaitu melalui cara dominasi (dominio) atau paksaan (coercion) dan yang kedua adalah kepemimpinan intelektual dan moral. Cara yang terakhir ini adalah yang kemudian disebut oleh Gramsci sebagai hegemoni.

  Hegemoni bersifat tulus diwujudkan melalui intervensi kebijakan bersifat lebih halus dan mendapat persetujuan massa. Hegemoni yang bersifat paksaan lebih menekankan pada aspek ekonomi serta penggunaan kekuasaan negara untuk mendapat manfaat untuk kesejahteraan. Menurut Gramsci, hegemoni adalah dominasi oleh satu kelompok terhadap kelompok lainnya, dengan atau tanpa ancaman kekerasan, sehingga ide yang didiktekan oleh kelompok dominan

  7 diterima sebagai sesuatu yang wajar yang bersifat moral, intelektual serta budaya . 7                                                             

Situs web Strinati. Dominic.1995. An Introduction to Theories of Popular Culture. London: Routledge   Pemerintah memperoleh legitimasi dan otoritas berupa wewenang dan kekuasaan mengatur dan menjaga agar orang-orang berperilaku pada jalur yang benar sesuai peraturan undang-undang, dan ditaati seluruh warganya. Pemerintah juga berwewenang menetapkan aturan-aturan, menentukan keputusan-keputusan terkait masalah penting, serta menyelesaikan pertentangan-pertentangan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.

  Menurut Max Weber, kekhasan hegemoni dan dominasi adalah pihak yang berkuasa mempunyai wewenang sah untuk berkuasa sesuai peraturan yang berlaku sehingga pihak yang dikuasai wajib mentaati kehendak penguasa. Suatu hegemoni dan dominasi memerlukan keabsahan (legitimacy) yakni pengakuan dan atau pembenaran masyarakat terhadap kekuasaan tersebut, agar penguasa dapat melaksanakan kekuasaannya secara sah. Dalam hal ini hegemoni maupun dominasi merupakan suatu paksaan yang lebih menekankan pada aspek ekonomi serta penggunaan kekuasaan negara untuk mendapat manfaat kesejahteraan.

  Lebih lanjut, Weber membedakan tiga jenis dominasi yakni dominasi karismatik, dominasi tradisional, dan dominasi legal rasional. 1) Dominasi karismatik adalah dominasi yang keabsahannya didasarkan atas kepercayaan bahwa pihak penguasa mempunyai kemampuan luar biasa. Sang penguasa menjalankan kekuasaannya bukan atas dasar peraturan yang berlaku tetapi atas dasar peraturan yang dibuat sendiri dan kesetiaan bawahan mentaati aturan tersebut. 2) Dominasi tradisional, merupakan perkembangan dominasi kharismatik yang telah mengalami pergeseran. Dalam dominasi tradisional penguasa menjalankan tradisi yang telah ditegakkan oleh pemimpin karismatik sebelumnya dan legitimasi kepemimpinan didasarkan pada tradisi sebelumnya. Biasanya dominasi demikian merupakan kelanjutan dominasi sebelumnya. 3). Dominasi legal rasional kekuasaan pemimpin didasarkan atas aturan hukum yang dibuat secara sengaja atas dasar pertimbangan rasional. Keabsahan penguasa didasarkan pada hukum, pemimpin dipilih atas dasar hukum yang berdasarkan kriteria tertentu, dan pemimpin wajib menjalankan kekuasaan berdasarkan aturan hukum pula.

  Konsep kekuasaan (politik) diupayakan sebagai suatu elaborasi dengan

  8

  menjadikan kekuasaan itu sebagai fenomena politik kekuasaan . Untuk memahami fenomena kekuasaan politik, Charles F Andrain dan Ramlan Surbakti seperti yang dikutip oleh P. Anthonius Sitepu dapat ditinjau dari enam (6) dimensi

  9

  yaitu : 1.

  Dimensi Potensial dan Aktual Seseorang yang dipandang mempunyai kekuasaan potensial apabila mempunyai atau memiliki sumber-sumber kekuasaan seperti kekayaan, tanah, senjata, pengetahuan informasi, popularitas, status sosial yang tinggi, massa yang terorganisir, dan jabatan. Sebaliknya seseorang yang dipandang memiliki kekuasaan aktual apabila telah menggunakan 8                                                              P. Anthonius Sitepu. 2012. Studi Ilmu Politik. Yogyakarta: Graha Ilmu. hal.130 9

    P. Anthonius Sitepu. 2012. Teori-Teori Politik. Yogyakarta: Graha Ilmu. hal.54   sumber-sumber yang dimilikinya kedalam kegiatan-kegiatan politik secara efektif.

  2. Dimensi Konsensus dan Paksaan Dalam menganalisis hubungan kekuasaan harus membedakan kekuasaan yang berdasarkan paksaan dan kekuasaan yang berdasarkan consensus. Para analisis politik yang lebih menekankan aspek konsensus dari kekuasaan akan cenderung melihat elit politik sebagai orang yang tengah berusaha menggunakan kekuasaan untuk mencapai tujuan masyarakat secara keseluruhan. Sementara itu, apabila menekankan pada aspek paksaan dari kekuasaan akan cenderung memandang politik sebagai perjuangan, pertarungan, dominasi, dan konflik.

  3. Dimensi Positif dan Negatif Tujuan umum pemegang kekuasaan adalah untuk mendapatkan ketaatan atau penyesuaian diri dari pihak yang dipengaruhi. Tujuan umum ini dapat dikelompokkan menjadi dua aspek yang berbeda yakni, tujuan positif dan negatif. Kekuasaan positif adalah penggunaan sumber-sumber kekuasaan untuk mencapai tujuan yang dianggap penting dan diharuskan. Sedangkan kekuasaan negatif adalah penggunaan sumber-sumber kekuasaan untuk mencegah orang lain mencapai tujuan yang tidak hanya dipandang tidak perlu akan tetapi juga merugikan pihaknya.

  4. Dimensi Jabatan dan Pribadi

  Dalam masyarakat yang sudah maju dan mapan, kekuasaan terkandung erat dalam jabatan-jabatan. Penggunaan kekuasaan yang terkandung dalam jabatan secara efektif tergantung pada kualitas pribadi yang dimiliki dan ditampilkan oleh setiap pribadi yang memegang jabatan.

  Dalam masyarakat yang masih sederhana, struktur kekuasaan didasarkan atas realitas pribadi lebih menonjol daripada kekuasaan yang terkandung di dalam jabatan itu. Dalam hal ini, pemimpin yang melaksanakan kekuasaan efektifitas kekuasaannya terutama berasal dari kualitas pribadi.

  5. Dimensi Implisit dan Eksplisit Kekuasaan implisit adalah kekuasaan yang tidak terlihat dengan kasat mata akan tetapi dapat dirasakan. Sedangkan kekuasaan eksplisit adalah pengaruh yang terlihat dan dapat dirasakan. Adanya kekuasaan dimensi eksplisit, menimbulkan perhatian orang pada segi rumit hubungan kekuasaan yang disebut dengan “azas memperkirakan reaksi dari pihak lain”.

  6. Dimensi Langsung dan Tidak Langsung Kekuasaan langsung adalah penggunaan sumber-sumber kekuasaan untuk mempengaruhi pembuat dan pelaksana keputusan politik dengan melakukan hubungan secara langsung tanpa melalui perantara. Yang termasuk dalam kategori sumber-sumber kekuasaan adalah sarana paksaan fisik, kekayaan dan harta benda (ekonomi) normatif jabatan, keahlian, status sosial popularitas pribadi, massa yang terorganisasi, senjata, penjara, kerja paksa, teknologi, aparat yang menggunakan senjata. Sedangkan kekuasaan yang tidak langsung adalah penggunaan sumber-sumber kekuasaan untuk mempengaruhi pembuat dan pelaksana keputusan politik dengan melalui perantara pihak lain yang diperkirakan mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap pembuat dan pelaksana keputusan politik.

2. Teori dan Konsep Pembagian Kekuasaan

  Dalam sebuah negara gagasan tentang pemisahan kekuasaan diasumsikan sebagai suatu cara untuk menjadikan negara tidak berpusat pada satu tangan (monarkhi) melainkan harus memiliki batasan-batasan kewenangan. Dalam hal ini John Locke (1632-1704) mengemukakan gagasan tentang teori yang memisahkan kekuasaan dari tiap-tiap negara kedalam tiga bagian antara lain yaitu Kekuasaan

  Legislatif, yakni kekuasaan untuk membuat undang-undang, kekuasaan Eksekutif,

  yakni kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang, kekuasaan Federatif, yakni kekuasaan mengadakan perserikatan dan aliansi serta segala tindakan dengan

  10

  semua orang dan badan-badan luar negeri . Pada dasarnya, dalam perspektif pembagian kekuasaan John Locke lebih menginginkan pembagian kekuasaan 10                                                             

Moh. Mahfud MD. 2001. Dasar dan struktur ketatanegaraan Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

  hal. 72.

    dalam arti sebagai sebuah konsistensi atas perlindungan terhadap hak-hak rakyat dari kesewenang-wenangan penguasa

  11 .

  Menurut John Locke, ketiga kekuasaan ini harus dipisahkan satu dari yang lainnya

  12

  . Sementara itu, dalam pandangan Montesquieu (1689-1755) dalam suatu pemerintahan negara, ketiga jenis kekuasaan itu harus terpisah, baik mengenai fungsi (tugas) maupun mengenai alat kelengkapan (organ) yang melaksanakan yaitu :

  1. Kekuasaan Legislatif dilaksanakan oleh suatu badan perwakilan rakyat (parlemen). Isi ajaran Montesquieu ini adalah mengenai pemisahan kekuasaan (the Separation of Power) yang dikenal dengan Istilah Trias

  Politica istilah yang diberikan oleh Imanuel Kant. Keharusan pemisahan

  kekuasaan negara menjadi tiga jenis itu adalah agar tindakan sewenang- wenang oleh raja dapat dihindarkan.

  2. Kekuasaan Eksekutif, dilaksanakan oleh pemerintah (presiden atau raja dengan bantuan menteri-menteri atau kabinet).

  3. Kekuasaan Yudikatif, dilaksanakan oleh badan peradilan (Mahkamah Agung dan pengadilan dibawahnya) melainkan kekuasaan itu harus terpisah

  13 .

                                                               11 Samsul Wahidin. 2007. Dimensi Kekuasaan Negara Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hal.16.

    12 C.S.T Kansil. 2003. Sistem pemerintahan Indonesia. Jakarta: Bumi aksara. hal. 8   13 C.S.T Kansil. ibid. hal. 8-9  

  Montesqueiu terutama menekankan pemisahan kekuasaan pada lembaga yudikatif, sebagai cerminan kebebasan Hak Asasi Manusia dan kemerdekaan

  14

  individu . Selain itu, Montesqueiu juga mengatakan bahwa jika kekuasaan legislatif dan eksekutif disatukan dalam sattu tangan atau pada satu badan, tidak akan mungkin tercapai kemerdekaan dalam arti sebenarnya. Pembuat Undang- Undang juga nantinya akan menjadi pelaksana. Dalam hal lain, juga akan terjadi hal yang sama jika kekuasaan yudikatif tidak dipisahkan dari kekuasaan legislatif dan eksekutif, dalam artian ketiga lembaga tersebut dilaksanakan oleh satu lembaga. Oleh karena itu, Montesqiueu menegaskan bahwa tidak ada alternatif lain, maka ketiga kekuasaan itu harus dipisahkan dan tidak terletak pada satu

  15 lembaga .

  Terdapat persamaan dan perbedaan gagasan dalam upaya pembagian kekuasaan dalam pemerintahan negara yang dikemukakan oleh John Locke dan Montesqiueu. Persamaan keduanya yaitu dalam Kekuasaan Eksekutif sebagai kekuasaan yang melaksanakan atau menjalankan undang-undang serta Kekuasaan Legislatif sebagai lembaga yang membuat undang-undang. Sedangkan perbedaan nya terlihat pada Kekuasaan Federatif seperti yang dikemukakan oleh John Locke yaitu kekuasaan mengadakan perserikatan dan aliansi serta segala tindakan dengan semua orang dan badan-badan luar negeri sedangkan Montesquieu mengemukakan kekuasaan yudikatif yakni kekuasaan untuk mengadili dalam hal 14                                                              Miriam Budiardjo. 1980. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.hal.152 15

    Samsul Wahidin. ibid.hal.19   pelanggaran perundang-undangan, peraturan yang dibuat oleh pemerintah maupun alat kelengkapan negara.

  Gagasan yang dikemukakan oleh John Locke dan Montesquieu dalam melihat kekuasaan eksekutif juga terdapat perbedaan. Dalam pandangan John Locke perbedaan tersebut antara lain : Kekuasaan eksekutif juga mencakup kekuasaan yudikatif karena mengadili itu berarti melaksanakan undang-undang, sehingga kekuasaan federatif itu berdiri sendiri sedangkan bagi Montesqueiu, kekuasaan eksekutif juga mencakup kekuasaan federatif karena melakukan hubungan luar negeri, sementara kekuasaan yudikatif harus berdiri sendiri dan terpisah dari kekuasaan eksekutif. Dengan pembagian kekuasaan yang terpisah dalam 3 (tiga) bentuk lembaga pemerintahan tersebut, maka dalam pemerintahan negara tidak terjadi tumpang tindih dan tindak kesewenang-wenangan sehingga terjadi mekanisme check and balances (saling mengoreksi, saling mengimbangi).

  Kekuasaan politik adalah kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum atau pemerintah. Kekuasaan politik seperti yang dikemukakan oleh David Easton merupakan satu-satunya bentuk kekuasaan yang memiliki daya paksa yang sah kepada masyarakat secara luas dan ketundukan masyarakat akan terealisir

  16 karena rakyat memiliki kepentingan untuk menutupi keterbatasannya .

  Disamping itu juga bentuk kekuasaan ini merupakan kekuasaan yang memiliki 16                                                             

Deden Faturohman dan Wawan Sobari. 2004. Pengantar Ilmu Politik. Malang : UMM Press.

  hal.25   tujuan untuk mempengaruhi tindakan dan aktivitas negara di bidang eksekutif, legislatif dan yudikatif yang melingkupi rakyat dalam koridor negaranya.

  Dalam menjelaskan pola hubungan kekuasaan dapat dilihat dari beberapa pendekatan yaitu bersifat asosiatif dan disosiatif. Sebagaimana yang dikutip oleh Soerjono Soekanto

  17

  dalam bukunya yang berjudul “Sosiologi Suatu Pengantar” Gillin dan Gillin menyebutkan ada dua macam proses sosial yang muncul yaitu : 1.

  Proses yang asosiatif Terbagi ke dalam tiga bentuk khusus yakni : Akomodasi dan asimilasi. Namun untuk menjelaskan bagaimana hubungan kekuasaan antara Pangulu dengan Maujana nagori menggunakan definisi akomodasi. Akomodasi adalah suatu proses ke arah tercapainya persepakatan sementara yang dapat diterima kedua belah pihak yang tengah bersengketa

  18

  . Dalam proses kehidupan politik selalu diwarnai dengan benturan dalam mewujudkan keinginan, dalam hal tersebut membutuhkan akomodasi, dalam bukunya yang berjudul “Sosiologi Suatu Pengantar” Soerjono Soekanto mengartikan akomodasi merupakan suatu cara untuk menyelesaikan pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan, sehingga lawan tidak kehilangan kepribadiannya

  19 .

                                                               17 Soerjono Soekanto.2000. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: RajaGrafindo Persada.hal.77   18 J. Dwi Narwoko & Bagong Suyanto. 2004. Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana. hal.57.

    19 Soerjono Soekanto.ibid.hal.3.

   

2. Proses yang Disosiatif

  Terbagi menjadi dua bentuk yakni : persaingan, kontravensi dan konflik atau pertentangan. Dalam menjelaskan relasi kekuasaan yang terjadi antara Pangulu dan Maujana nagori menggunakan definisi mengenai kontravensi. Kontravensi pada hakekatnya merupakan suatu bentuk proses sosial yang berada antara persaingan dan pertentangan. Dalam kontravensi dikandung usaha untuk merintangi pihak lain

  20

  mencapai tujuan . Yang diutamakan dalam kontravensi adalah menggagalkan tercapainya tujuan pihak lain yang didasari oleh rasa tidak senang. Hubungan antara Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa. Pertama, hubungan dominasi artinya dalam melaksanakan hubungan tersebut pihak pertama menguasai pihak kedua; kedua, hubungan sub koordinasi artinya dalam melaksanakan hubungan tersebut pihak kedua menguasai pihak pertama, atau pihak kedua dengan sengaja menempatkan diri tunduk pada kemauan pihak pertama, Ketiga, hubungan kemitraan artinya pihak pertama dan kedua setingkat dimana mereka bertumpu pada kepercayaan, kerjasama dan saling menghargai.

  Kemudian untuk menjelaskan pola hubungan ekskutif dan legislatif, Ichlasul Amal seperti yang dikutip oleh P. Anthonius Sitepu membagi dalam 3 (tiga) pola hubungan yakni : Pertama dominasi legislatif, Kedua Dominasi 20                                                              J. Dwi Narwoko & Bagong Suyanto.ibid. hal.70.

  

 

  21 Legislatif, dan Ketiga Hubungan yang seimbang antara ekskutif dan legislatif .

  Dari ketiga pola yang telah disebutkan diatas akan dapat disimpulkan pola hubungan yang terjalin dalam pengelolaan Pemerintahan Desa. Pangulu sebagai kekuasaan eksekutif dan Maujana nagori sebagai kekuasaan legislatif dalam Pemerintahan Desa. Dari pola hubungan tersebut akan dapat disimpulkan hubungan kedua pihak yakni hubungan yang asosiatif atau kontravensi(kontradiktif).

F. Penelitian Sebelumnya

  Penelitian yang pernah dilakukan terkait dengan kekuasaan dalam Pemerintahan Desa, diantaranya dilakukan oleh Heru Kurnia (2011), yang meneliti tentang Analisis Relasi Kekuasaan Dalam Pemerintahan Desa, hasilnya menunjukkan bahwa dimungkinkan terwujudnya kompromi diantara sumber- sumber kekuasaan. Kepala Desa bersekongkol dengan para perangkat desa dan pihak BPD memanipulasi alokasi dana desa (ADD). Serta lemahnya akuntabilitas pemerintah desa dalam mengolah Alokasi Dana Desa.

  Partisipasi dan keterlibatan masyarakat desa tidak terlihat dalam melakukan kritik secara keras maupun tindakan-tindakan protes terhadap kepala desa dan Badan Permusyawaratan Desa. Relasi kekuasaan dalam pemerintah desa bersifat sentralistik, dan sosial budaya masyarakat secara sosioligis masih menerapkan prinsip-prinsip lama. Kekuasaan dalam pembuatan kebijakan terpusat 21                                                              P. Anthonius Sitepu.ibid. hal.145.

    pada satu orang yaitu Kepala Desa. Elemen-elemen lain yang ada didesa tidak mempunyai kekuasaan yang signifikan dalam penentuan kebijakan-kebijakan desa.

  Pola relasi kekuasaan yang terbangun dalam Pemerintahan Desa tidak sesuai dengan mekanisme yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan.

  Pemerintahan di tingkat desa dalam aplikasinya tidak dijalankan sesuai dengan peraturan yang berlaku yang ada hanya tulisan belaka. (Dikutip dari skripsi Heru Kurnia, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik USU, 2011).

G. Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian

  Metode penelitian yang digunakan untuk menjawab penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif. Dalam buku Metodologi Penelitian karya Narbuko dan Ahmadi menjelaskan bahwa penelitian deskriptif sebagai penelitian yang berusaha menuturkan pemecahan masalah yang ada sekarang berdasarkan data- data, menyajikan data, menganalisis dan menginterpretasi dan juga bersifat

  22 komperatif dan korelatif .

  2. Lokasi Penelitian

  Pelaksanaan penelitian ini diadakan di Nagori Simattin, Kecamatan Pamatang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara.

  3. Jenis Penelitian 22                                                              Cholid Narbuko dan Abu Achmadi. 1997. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara.hal.44.

    Penelitian ini bersifat kualitatif dengan metode deskriptif analitis. Dengan metode kualitatif, selain untuk mengungkap dan memahami sesuatu hal yang baru dan sedikit diketahui, metode kualitatif juga akan memberikan rincian tentang

  23

  suatu fenomena yang sulit diungkap oleh penelitian kuantitatif . Penelitian kualitatif dalam analisis relasi kekuasaan dalam pengelolaan Pemerintahan Desa berkepentingan untuk mendeskripsikan hubungan yang terjadi antara Pangulu dan Maujana nagori dalam pengelolaan Pemerintahan Desa.

  Dalam hal ini peneliti menggunakan metode purposive sampling yaitu pengambilan sampel yang disesuaikan dengan tujuan dan syarat tertentu yang

  24

  ditetapkan berdasarkan tujuan dan masalah penelitian . Oleh karena penelitian ini menggunakan metode kualitatif maka peneliti membutuhkan informan kunci (key informan).

  Key informan yang dipilih yaitu Pangulu, Maujana nagori, dan perangkat nagori serta tokoh masyarakat dengan daftar pertanyaan yang telah disusun sebelumnya. Peneliti akan melaksanakan wawancara secara langsung dan bertemu dengan informan yang dianggap dapat memberikan informasi mengenai judul penelitian. Pihak-pihak yang diwawancarai dilibatkan dalam penggalian data sebagai informan dengan tujuan agar memperoleh informasi yang tersaring tingkat akurasinya sehingga keseimbangan informasi dapat diperoleh. 23                                                             

Ansem Strauss dan Juliet Corbin. 2003. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif, Tata Langkah dan

  Teknik-Teknik Teorisasi Data .Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal.5. 24   Nawawi Hadari.1987. Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta : Gajah Mada Press.hal.157.

   

  4. Teknik Pengumpulan Data

  Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data primer dan data sekunder.

  a.

  Data primer yaitu data yang diambil dari sumber data primer atau sumber

  25

  pertama dilapangan . Dilaksanakan dengan metode wawancara mendalam (indepth-interview) yang dipandu dengan oleh pedoman wawancara. Dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara langsung dan terbuka kepada informan atau pihak yang berhubungan dan memiliki relevansi terhadap masalah yang berhubungan dengan penelitian.

  b.

  Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari sumber kedua atau sumber

  26

  sekunder . Data diperoleh dari literatur yang relevan dengan judul penelitian seperti buku-buku, jurnal, artikel, makalah, undang-undang, peraturan-peraturan, internet serta sumber-sumber lain yang dapat memberikan informasi mengenai judul penelitian.

  5. Teknik Analisa Data

  Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa deskriptif kualitatif. Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan data- data primer dan data-data sekunder. Analisa data kualitatif memberikan hasil penelitian untuk memperoleh gambaran terhadap proses yang diteliti dan juga 25                                                              Burhan Bungin.2001. Metodologi Penelitian Sosial: Format-format Kuantitatif dan Kualitatif.

  Surabaya: Airlangga University Press.hal. 128 26   Burhan Bungin. ibid.hal.128  

  27 menganalisis makna yang ada dibalik informasi, data dan proses tersebut .

  Metode ini sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa hasil wawancara dari para narasumber maupun data-data tertulis. Data hasil wawancara akan diuraikan melalui petikan wawancara dengan masing-masing informan.

  Setelah data-data primer dan data-data sekunder terkumpul kemudian dilanjutkan dengan menganalisis data secara deskriptif berdasarkan fenomena yang terjadi di lapangan yakni data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan informan. Hal ini penting dilakukan agar diperoleh kejelasan atas permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya. Kemudian dilakukan penarikan kesimpulan dari hasil penelitian.

H. Sistematika Penulisan

  Sistematika penulisan merupakan penjabaran rencana penulisan untuk lebih mempermudah dan terarah dalam penulisan karya ilmiah. Agar mendapatkan gambaran yang jelas dan terperinci, maka penulis membagi penulisan skripsi ini kedalam 4 (empat) bab. Adapun susunan sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : 27                                                             

Burhan Bungin. 2009. Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu

  Sosial Lainnya . Jakarta: Kencana, hal.153.

   

BAB I PENDAHULUAN Pada Bab I terdiri dari Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Signifikansi Penelitian, Kerangka Teori, Penelitian Sebelumnya, Metodologi Penelitian dan Sistematika Penulisan. BAB II DESKRIPSI SINGKAT OBJEK PENELITIAN Dalam Bab II akan mendeskripsikan Deskripsi Kabupaten Simalungun, Desa dan Pemerintahan Desa, Peraturan Desa, Nagori SImattin, Struktur Organisasi Pemerintahan Nagori Simattin, Badan Permusyawaratan Desa (Untuk Kabupaten Simalungun disebut Maujana nagori), Konfigurasi Politik Nagori Simattin. BAB III RELASI KEKUASAAN DALAM PEMERINTAHAN DESA Pada Bab III ini akan menyajikan hasil penelitian mengenai Fase Historis Pengaturan Hubungan antara Kepala Desa dengan Badan Permusyawaratan Desa, Permasalahan antara Pangulu dengan Maujana nagori dalam Pengelolaan Pemerintahan Nagori di Nagori Simattin, Eksekutif Desa dalam Pemerintahan Nagori, Legislatif Desa dalam Pemerintahan Nagori, Relasi Kekuasaan Pangulu dan Maujana nagori dalam Pengelolaan Pemerintahan Nagori, Pola relasi kekuasaan antara Pangulu dengan Maujana nagori.

BAB IV PENUTUP Pada Bab IV berisi kesimpulan yang diperoleh hasil pembahasan pada bab-bab sebelumnya.

   

Dokumen yang terkait

Hubungan Politik antara Pangulu dan Maujana Nagori di Nagori Tiga Ras, Kecamatan Dolok Pardamean, Kabupaten Simalungun pada periode 2008-2015

0 79 139

Relasi Kekuasaan Kepala Daerah Dengan Kepala Desa (Melihat Good Governance Kepala Desa Nagori Dolok Huluan, Kecamatan Raya Kabupaten Simalungun)

4 83 107

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Kajian Organologis Gonrang Sidua-Dua Buatan Bapak Rossul Damanikdi Desa Sarimatondang 1 Kecamatan Sidamanik, Kabupaten Simalungun

0 2 20

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Pengaruh Pemekaran Kecamatan Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat (Studi Pada Kecamatan Pamatang Sidamanik Kabupaten Simalungun)

0 0 29

Hubungan Politik antara Pangulu dan Maujana Nagori di Nagori Tiga Ras, Kecamatan Dolok Pardamean, Kabupaten Simalungun pada periode 2008-2015

0 1 24

BAB I PENDAHULUAN I. 1 L.atar Belakang - Hubungan Politik antara Pangulu dan Maujana Nagori di Nagori Tiga Ras, Kecamatan Dolok Pardamean, Kabupaten Simalungun pada periode 2008-2015

0 0 44

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Kekuasaan Sentralistik dan Elitis Dalam Pengambilan Keputusan (Studi Analitis Deskriptif di Desa Sihopur Kecamatan Angkola Selatan Kabupaten Tapanuli Selatan)

0 0 36

BAB II DESKRIPSI SINGKAT OBJEK PENELITIAN A. Kabupaten Simalungun - Relasi Kekuasaan Kepala Daerah Dengan Kepala Desa (Melihat Good Governance Kepala Desa Nagori Dolok Huluan, Kecamatan Raya Kabupaten Simalungun)

1 3 30

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Relasi Kekuasaan Kepala Daerah Dengan Kepala Desa (Melihat Good Governance Kepala Desa Nagori Dolok Huluan, Kecamatan Raya Kabupaten Simalungun)

0 0 28

Relasi Kekuasaan Kepala Daerah Dengan Kepala Desa (Melihat Good Governance Kepala Desa Nagori Dolok Huluan, Kecamatan Raya Kabupaten Simalungun)

0 0 11