BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Kajian Sistem Jaringan Jalan di Wilayah Kota Pekanbaru

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Umum Transportasi merupakan kegiatan memindahkan atau mengangkut muatan

  (barang dan manusia) dari suatu tempat ke tempat lain. Kegiatan transportasi dibutuhkan manusia sejak zaman dahulu sampai sekarang untuk memenuhi kebutuhan manusia. Kegiatan transportasi tidak dapat dielakkan atau tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia, selalu melekat dengan kegiatan perekonomian dan pembangunan. Kegiatan transportasi barang dan manusia diangkut dengan menggunakan sarana (moda) transportasi (kendaraan) yang dilakukan di atas prasarana transportasi (jalan) yang bermula dari suatu terminal menuju ke terminal lainnya.

  Unsur dasar yang pertama adalah jalan yang merupakan prasarana untuk melayani kegiatan transportasi yang dilakukan oleh sarana transportasi (kendaraan) yang disediakan menghubungkan suatu tempat (simpul) asal perjalanan menuju ke tempat-tempat (simpul-simpul) tujuan. Kegiatan transportasi yang diselenggarakan melalui/menggunakan jaringan transportasi harus dikelola secara efektif dan efisien agar kegiatan transportasi tersebut dapat memberikan pelayanan transportasi secara berkapasitas cukup, lancar, aman (selamat) dan nyaman, oleh karena itu harus dilakukan perencanaan secara optimal.

  Menurut Warpani (1990), di dalam merencanakan sistem transportasi kota, penduduk merupakan pelaku yang melakukan gerak dan membangkitkan lalu lintas. Pergerakan tersebut sesuai dengan kebutuhan masing-masing penduduk, dengan kata lain bahwa kualitas penduduk akan turut menentukan kebutuhan gerak yang pada gilirannya akan tercermin dalam volume lalu lintas, dan volume lalu lintas tersebut dipengaruhi oleh jumlah penduduk yang melakukan gerak/perjalanan. Kemudahan dalam melakukan perjalanan tersebut tergantung dari kualitas pelayanan sistem transportasi yang tersedia pada suatu kota (dalam Wibowo, 2008:171).

  

Gambar II. 1 Hubungan Kebutuhan Perjalanan

Sumber: Wibowo (2008:172)

II.2 Definisi Jalan

  Berdasarkan UU No. 38 Tahun 2004 tentang jalan yang dimuat dalam pasal 1 ayat (4), jalan sebagai bagian prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel.

  Jalan sangat dibutuhkan dalam segala aspek kehidupan. Kegiatan masyarakat sangat dipengaruhi oleh keberadaan jalan untuk menunjang kelancaran aktifitas baik itu barang, jasa, ataupun kegiatan pemerintah sampai kepada sistem pertahanan dan keamanan negara. Khususnya untuk daerah perkotaan, jalan dapat menentukan sifat dan karakteristik struktur kota, baik secara langsung maupun tidak langsung.

  Berdasarkan PP No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan pasal 3 ayat (3), penyelenggaraan jalan umum diarahkan untuk mewujudkan perikehidupan rakyat yang serasi dengan tingkat kemajuan yang sama, merata, seimbang dan daya guna dan hasil guna upaya pertahanan keamanan negara.

II.3 Peran Jalan

  Peran jalan disampaikan dalam UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan dan PP No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan. Berdasarkan UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan

  pasal 5 bagian pertama peran jalan: (1) Jalan sebagai bagian prasarana transportasi mempunyai peranan penting dalam bidang ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup, politik, pertahanan dan keamanan, serta dipergunakan untukn sebesar-besar kemakmuran rakyat. (2) Jalan sebagai prasarana distribusi barang dan jasa merupakan urat nadi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.

  (3) Jalan yang merupakan satu kesatuan sistem jaringan jalan menghubungkan dan mengikat seluruh wilayah Republik Indonesia.

  Jalan sebagai salah satu prasarana transportasi yang menyangkut hajat hidup orang banyak, mempunyai fungsi sosial yang sangat penting. Dengan pengertian tersebut wewenang penyelenggaraan jalan wajib dilaksanakan dengan mengutamakan sebesar-besar kepentingan umum.

II.4 Sistem Jaringan Jalan

  Berdasarkan UU No. 38 Tahun 2004 tentang jalan pasal 1 ayat (18), sistem jaringan jalan adalah satu kesatuan ruas jalan yang saling menghubungkan dan mengikat pusat-pusat pertumbuhan dengan wilayah yang berada dalam pengaruh pelayanannya dalam satu hubungan hierarkis. Konsep sistem jaringan jalan dalam pasal 7:

  (1) Sistem jaringan jalan terdiri atas sistem jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan sekunder.

  (2) Sistem jaringan jalan primer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk pengembangan semua wilayah di tingkat nasional, dengan menghubungkan semua simpul jasa distribusi yang berwujud pusat-pusat kegiatan. (3) Sistem jaringan jalan sekunder sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk masyarakat di dalam kawasan perkotaan. Berdasarkan PP No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan pasal 6 ayat (2), sistem jaringan jalan disusun dengan mengacu pada rencana tata ruang wilayah dan dengan memperhatikan keterhubungan antarkawasan dan/atau dalam kawasan perkotaan, dan kawasan perdesaan.

  Sistem jaringan jalan merupakan abstraksi dari fasilitas transportasi yang memiliki kedudukan penting, terutama jika dihubungkan dengan penggunaan lahan akan dapat membentuk suatu pola tata guna lahan yang pada gilirannya dapat mempengaruhi rencana fisik ruang kota, serta peranannya sebagai suatu sistem transportasi yaitu untuk menampung pergerakan manusia dan kendaraan (dalam Mujihartono, 1996: I-7).

  II.5 Klasifikasi Jalan

  II.5.1 Klasifikasi Jalan Menurut Fungsinya

  Pengelompokan fungsi jalan dilakukan dalam konteks efisiensi operasi dimana fungsi akses dan fungsi mobilitas dipisahkan dalam hierarki jalan yang akan bersinergi dalam sistem jaringan jalan. Secara skematis fungsi dasar transportasi dari prasarana jalan disampaikan pada Gambar II.2 berikut ini.

  Gambar II. 2 Pembagian Fungsi Jalan Sumber: Adisasmita (2011:131)

  Berdasarkan UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan pasal 8, jalan umum menurut fungsinya dikelompokkan ke dalam jalan arteri, jalan kolektor, jalan lokal, dan jalan lingkungan. Fungsi jalan tersebut dilengkapi dengan persyaratan teknisnya yang meliputi: lebar, kapasitas, kecepatan rencana, dan persyaratan teknis lainnya.

  Berdasarkan PP No. 34 Tahun 2006 tentang jalan pasal 12 ayat (1), persyaratan teknis jalan meliputi kecepatan rencana, lebar badan jalan, kapasitas, jalan masuk, persimpangan sebidang, bangunan pelengkap, perlengkapan jalan, penggunaan jalan sesuai dengan fungsinya, dan tidak terputus.

  Persyaratan teknis setiap fungsi jalan dalam PP No.34 Tahun 2006 tentang Jalan belum menyertakan kondisi fisik jalan (tingkat kerusakan): baik, sedang, rusak, rusak ringan, dan rusak berat. Sebagaimana diketahui jika jalan rusak, maka fungsi jalan untuk aksesibilitas maupun mobilitas tidak akan dapat berjalan sebagaimana mestinya.

  

Gambar II. 3 Konsep Klasifikasi Fungsi Jalan Dalam Hubungannya Dengan

  Tingkat Akses

  

Sumber: Direktorat Jendral Bina Marga (1990:13) Keterangan : Kawasan Primer Kawasan Sekunder Perumahan Batas Kota Sistem Primer

  Jalan Arteri Sekunder Jalan Kolektor Sekunder Jalan Lokal Sekunder

  

Gambar II. 4 Sketsa Hipotetis Hirarki Jalan Kota

Sumber: Direktorat Jendral Bina Marga (1990:10)

II.5.1.1 Sistem Jaringan Jalan Primer

  Berdasarkan PP No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan dalam pasal 7, sistem jaringan jalan primer disusun berdasarkan rencana tata ruang dan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk pengembangan semua wilayah di tingkat nasional, dengan menghubungkan semua simpul jasa distribusi yang berwujud pusat-pusat kegiatan sebagai berikut:

  Menghubungkan secara menerus pusat kegiatan nasional, pusat kegiatan - wilayah, pusat kegiatan lokal sampai ke pusat kegiatan lingkungan; dan Menghubungkan antarpusat kegiatan nasional - Menurut Pedoman Konstruksi dan Bangunan Pd T-18-2004-B, jaringan jalan primer yaitu jaringan jalan yang menghubungkan secara menerus pusat kegiatan nasional, pusat kegiatan wilayah, pusat kegiatan lokal, dan pusat kegiatan di bawahnya sampai ke persildalam satu satuan wilayah pengembangan (dalam Shafir:2)

  Menurut Adisasmita (2011: 135-138), Sistem Jaringan Jalan Primer adalah:

  a. Jalan Arteri Primer yaitu ruas jalan yang menghubungkan kota jenjang kesatu dengan kota jenjang kesatu yang berdampingan atau ruas jalan yang menghubungkan kota jenjang kesatu dengan kota jenjang kedua yang berada dibawah pengaruhnya. Untuk jalan arteri primer wilayah perkotaan, mengikuti kriteria sebagai berikut: 1. Jalan arteri primer dalam kota merupakan terusan arteri primer luar kota.

  2. Jalan kota arteri primer melalui atau menuju kawasan primer.

  3. Jalan arteri primer dirancang berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 60 km/jam.

  4. Lebar badan jalan tidak kurang dari 8 meter.

  5. Lalu lintas jarak jauh pada jalan arteri primer adalah lalu lintas regional.

  Untuk itu, lalu lintas tersebut tidak boleh terganggu oleh lalu lintas ulang- alik dan lalu lintas lokal, dan kegiatan lokal.

  6. Kendaraan angkutan berat dan kendaraan umum bus dapat diijinkan menggunakan jalan ini.

  7. Jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien, jarak antara jalan masuk/akses langsung tidak boleh lebih pendek dari 500 m.

  8. Persimpangan diatur dengan pengaturan tertentu, sesuai dengan volume lalu lintas.

  9. Mempunyai kapasitas harian rata-rata pada umumnya lebih besar dari fungsi jalan lain.

  10. Besarnya lalu lintas harian rata-rata pada umumnya lebih besar dari fungsi jalan yang lain.

  11. Lokasi berhenti dan parkir pada badan jalan ini seharusnya tidak diijinkan.

  12. Harus disediakan jalur khusus untuk bersepeda dan kendaraan lambat lainnya, serta dilengkapi dengan median jalan.

  b. Jalan Kolektor Primer yaitu ruas jalan yang menghubungkan kota jenjang kedua dengan kota jenjang kedua yang lain atau ruas jalan yang menghubungkan kota jenjang kedua dengan kota jenjang ketiga yang ada dibawah pengaruhnya. Untuk jalan kolektor wilayah perkotaan kriterianya adalah sebagai berikut:

  1. Jalan kolektor primer kota merupakan terusan jalan kolektor primer luar kota.

  2. Melalui atau menuju kawasan primer atau jalan arteri primer.

  3. Dirancang untuk kecepatan rencana 40 km/jam.

  4. Lebar badan jalan tidak kurang dari 7 m.

  5. Jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien dan jarak antaranya lebih dari 400 m.

  6. Kendaraan angkutan berat dan bus dapat diijinkan melalui jalan ini.

  7. Persimpangan diatur dengan pengaturan tertentu sesuai dengan volume lalu lintasnya.

  8. Kapasitasnya sama atau lebih besar dari volume lalu lintas harian rata- rata.

  9. Lokasi parkir pada badan jalan sangat dibatasi dan seharusnya tidak diijinkan pada jam sibuk.

  10. Dilengkapi dengan perlengkapan jalan yang cukup.

  11. Besarnya LHR pada umumnya lebih rendah dari pada jalan arteri primer.

  12. Dianjurkan tersedianya jalur khusus untuk sepeda dan kendaraan lambat lainnya.

  c. Jalan Lokal Primer yaitu ruas jalan yang menghubungkan kota jenjang ketiga dengan kota jenjang ketiga lainnya, kota jenjang sesuai parsil, kota dengan kedua dengan serta ruas jalan yang menghubungkan kota jenjang ketiga dengan kota jenjang yang ada dibawah pengaruhnya sampai persil. Kriteria untuk jalan lokal primer adalah sebagai berikut:

  1. Merupakan terusan jalan lokal primer luar kota.

  2. Melalui atau menuju kawasan primer atau jalan primer lainnya.

  3. Dirancang untuk kecepatan rencana 20 km/jam.

  4. Kendaraan angkutan barang dan bus diijinkan melalui jalan ini.

  5. Lebar jalan tidak kurang dari 6 m.

  6. Besarnya LHR pada umumnya paling rendah pada sistem primer.

II.5.1.2 Sistem Jaringan Jalan Sekunder

  Berdasarkan PP No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan pasal 8, sistem jaringan jalan sekunder disusun berdasarkan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota dan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk masyarakat di dalam kawasan perkotaan yang menghubungkan secara menerus kawasan yang mempunyai fungsi primer, fungsi sekunder kesatu, fungsi sekunder kedua, fungsi sekunder ketiga, dan seterusnya sampai ke persil.

  Menurut Adisasmita (2011:138-139), Sistem Jaringan Jalan Sekunder adalah:

  a. Jalan Arteri Sekunder ruas jalan yang menghubungkan kawasan primer dengan kawasan sekunder kesatu, menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kesatu, menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kedua. Untuk jalan sekunder wilayah perkotaan kriterianya: 1. Dirancang untuk kecepatan rencana paling rendah 30 km/jam.

  2. Lebar badan jalan tidak kurang dari 8 m.

  3. Lalu lintas cepat pada jalan arteri sekunder tidak boleh tergantung oleh lalu lintas lambat.

  4. Akses langsung dibatasi tidak boleh lebih pendek dari 250 m.

  5. Angkutan barang ringan dan bus untuk pelayanan kota diijinkan melalui jalan ini.

  6. Persimpangan diatur dengan pengaturan tertentu sesuai dengan volume lalu lintasnya. Kapasitasnya sama atau lebih besar dari volume lalu lintasnya.

  7. Lokasi berhenti dan parkir sangat dibatasi dan tidak diijinkan pada jam sibuk.

  8. Harus mempunyai perlengkapan jalan yang cukup.

  9. Besarnya LHR umumnya paling besar dari sistem sekunder yang lain.

  10. Dianjurkan adanya jalur khusus yang akan digunakan oleh sepeda dan kendaraan lambat lainnya.

  11. Jarak selang dengan kelas jalan yang sejenis lebih besar dari jarak selang dengan kelas jalan yang lebih rendah.

  b. Jalan Kolektor Sekunder ruas jalan yang menghubungkan kawasan-kawasan sekunder kedua, yang satu dengan yang lainnya, atau menghubungkan kawasan sekunder kedua kedua dengan kawasan sekunder ketiga. Kriteria untuk jalan kolektor sekunder perkotaan:

  1. Dirancang berdasarkan kecepatan rencana 20 km/jam.

  2. Lebar badan jalan tidak kurang dari 7 m.

  3. Kendaraan angkutan barang berat tidak diijinkan melalui fungsi jalan ini di daerah pemukiman.

  4. Lokasi parkir pada badan jalan dibatasi.

  5. Harus mempunyai perlengkapan jalan yang cukup.

  6. Besarnya LHR pada umumnya lebih rendah dari sistem primer dan arteri sekunder.

  c. Jalan Lokal Sekunder ruas jalan yang menghubungkan kawasan-kawasan sekunder kesatu dengan perumahan, kawasan sekunder kedua dengan perumahan, atau menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder ketiga dan seterusnya sampai ke perumahan. Kriteria untuk jalan lokal sekunder adalah: 1. Dirancang berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 10 km/jam.

  2. Lebar badan jalan tidak kurang dari 5 m.

  3. Kendaraan angkutan barang berat dan bus tidak diijinkan melalui jalan ini di daerah pemukiman.

  4. Besarnya LHR umumnya paling rendah dibanding fungsi jalan yang lain tentang keterkaitan antara fungsi jalan dengan fungsi kota.

II.5.2 Klasifikasi Jalan Menurut Statusnya

  Klasifikasi jalan menurut statusnya dibagi dalam pengelompokan jalan, diantaranya jalan nasional, jalan propinsi, jalan kabupaten, jalan kota, jalan desa.

  Berdasarkan UU No.38 Tahun 2004 tentang Jalan pasal 9, jalan umum menurut statusnya dikelompokkan ke dalam jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan kota, dan jalan desa.

  Pengelompokkan status jalan tersebut bertujuan agar semua ruas jalan yang ada di Indonesia akan habis terbagi ke setiap status kewenangan pembinaan jalan.

  Dengan kata lain, tidak ada jalan yang tidak jelas penanggungjawabannya untuk membangun, memelihara, dan mengoperasikannya.

  Pelaksanaan dari fungsi setiap ruas jalan dalam kewenangan status jalan tertentu, maka diperlukan adanya sinkronisasi antara fungsi dan status jalan, sehingga setiap level pemerintahan (Pusat, Propinsi, dan Kabupaten/Kota) akan mengurus jalan dalam statusnya sesuai dengan fungsi yang memang benar–benar dibutuhkan.

II.5.3 Klasifikasi Jalan Berdasarkan Kewenangan Pembinaan

  Klasifikasi jalan berdasarkan kewenangan pembinaan ini berhubungan dengan penyelenggara jalan. Berdasarkan UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan pasal 1 ayat (9), penyelenggaraan jalan adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pembanguan, dan pengawasan jalan.

  Berdasarkan UU No. 38 Tahun 2004 tentang jalan pasal 13 ayat (1), penguasaan atas jalan ada pada negara. Negara selanjutnya memberikan wewenang kepada pemerintah dan pemerintah daerah untuk melaksanakan penyelenggaraan jalan yang lebih rinci dijelaskan dalam pasal 14, 15, dan 16 UU No.38 Tahun 2004 tentang Jalan (wewenang Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota).

  Berdasarkan UU No.38 Tahun 2004 tentang Jalan pasal 16 ayat (2), wewenang pemerintah Kota dalam penyelenggaraan jalan meliputi penyelenggaraan jalan kota. Untuk pengaturan jalan umum, lebih rinci lagi dijelaskan dalam UU No.

  38 Tahun 2004 tentang jalan pasal 17, 18, 19, 20, 21, 22.

  Penjelasan mengenai kewenangan pembinaan jalan umum khususnya daerah perkotaan dapat dilihat dalam UU No. 38 Tahun 2004 tentang jalan pasal 21, 27, 34, 40 yang meliputi pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan jalan.

  Menurut Adisasmita (2011:140-141), klasifikasi berdasarkan kewenangan pembinaan:

  1. Jalan nasional yaitu ruas jalan yang karena tingkat kepentingannya, kewenangan peembinaannya berada pada pemerintah pusat. Ruas jalan yang termasuk kedalam klasifikasi ini adalah:

  a. Jalan Arteri Primer

  b. Jalan Kolektor Primer yang menghubungkan antar ibukota provinsi

  c. Jalan lainnya yang mempunya nilai strategis terhadap kepentingan nasional.

  2. Jalan propinsi yaitu ruas jalan yang berdasarkan tingkat kepentingannya, kewenangan pembinaannya diserahkan kepada pemerintah daerah tingkat.

  Adapun yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah:

  a. Jalan Kolektor Primer yang menghubungkan antaribukota kabupaten, propinsi dengan ibukota kabupaten/kotamadya.

  b. Jalan Kolektor Primer yang menghubungkan ibukota.

  c. Jalan lainnya yang mempunyai nilai strategis ditinjau dari segi kepentingan propinsi. d. Jalan yang ada di dalam daerah khusus ibukota Jakarta, kecuali yang ditetapkan sebagai jalan nasional.

  3. Jalan kotamadya/kabupaten yaitu ruas jalan yang berdasarkan tiingkat kepentingan, kewenangan pembinaanya diserahkan kepada pemerintah daerah tingkat II. Adapun yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah:

  a. Jalan Kolektor Primer yang tidak masuk ke dalam baik jalan nasional maupun jalan propinsi.

  b. Jalan Lokal Primer.

  c. Jalan Sekunder yang tidak masuk ke dalam baik jalan nasional maupun jalan propinsi.

  d. Jalan lainnya yang mempunyai nilai strategis ditinjau dari segi kepentingan kabupaten atau kotamadya.

  e. Jalan khusus yaitu jalan yang berdasarkan tingkat kepentingannya bersifat khusus maka kewenangan pembinaannya diserahkan kepada instansi/badan hukum atau perseorangan yang membangun dan mengelola jalan tersebut.

II.6 Pengertian Efektifitas Program Prasarana Jalan

  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, efektifitas adalah ukuran kemampuan suatu objek/sistem untuk memenuhi tujuan tertentu. Efektifitas program prasarana jalan merupakan suatu indikasi tingkat keberhasilan pelaksanaan program prasarrana jalan dalam mencapai tujuan penyelenggaraan jalan. (PT. Reka Desindo Mandiri, 2004). Tingkat keberhasilan dapat diukur dengan berbagai indikator diantaranya perbedaan antara hasil dengan harapan, dan jika dikaitkan dengan konsumsi sumber daya maka efektifitas dapat juga diterjemahkan pemenuhan tujuan secara efisien yakni dengan penggunaan sumber daya seminimum mungkin.

  Definisi tujuan penyelenggaraan jalan banyak disinggung dalam pasal-pasal UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan yang secara umum dapat disarikan sebagai berikut (PT. Reka Desindo Mandiri, 2004):

  Operasi jaringan jalan harus efisien/biaya transportasi serendah mungkin, - Mampu mendorong pengembangan ekonomi - Membentuk struktur ruang dalam rangka mencapai sasaran pembangunan - nasional

  • Menyediakan akses yang merata diseluruh wilayah

  Terpadu dengan moda transportasi lainnya - Jaringan jalan diharapkan juga dapat memberikan fungsi sosial, fungsi - hankam, dan fungsi-fungsi turunan lainnya.

  Pada tugas akhir ini, penelitian yang dilakukan dengan penilaian keberhasilan penyelenggaraan jalan agar tercapai tujuan penyelenggaraan jalan seperti di atas.

  Pada kajian makro, evaluasi dilakukan di setiap tahap penyelenggaraan sistem jaringan jalan sesuai dengan urutan siklus penyelenggaraan jalan: input,

  output, outcome, benefit/impact.

  Pada Tabel II.1 berikut disampaikan daftar indikator yang dikaitkan dengan penggunaan dan dampak pembangunan jalan yang akan digunakan dalam penelitian ini.

  

Tabel II.1 Indikator Kinerja Manfaat dan Dampak Pembangunan Jalan

Indikator Satuan

  Input Pengeluaran pemerintah untuk sub sektor jalan Rp Output

  Panjang jalan kota Km Panjang jalan dalam kondisi baik Km Panjang jalan dalam kondisi sedang Km Panjang jalan dalam kondisi rusak Km Panjang jalan dalam kondisi rusak berat Km

  Outcome Volume lalu lintas Kend-Km/Thn Kecepatan rata-rata Km/Jam

  Benefit dan Impact

  Kerugian material akibat kecelakaan di jalan Orang Ekonomi

  PDRB

  Sumber : PT. Reka Desindo Mandiri, 2004

II.7 Kinerja Jaringan Jalan

   Dalam usaha untuk pelayanan perkembangan kebutuhan ekonomi masyarakat

  perlu diakomodasi oleh sistem infrastruktur yang tepat bagi masing–masing tingkat perkembangan maupun potensi yang dimiliki disetiap satuan wilayah. Pemahaman mengenai kebutuhan dan efektivitas pelaksanaan program pembangunan infrastrukutur bidang Kimpraswil tersebut mutlak diperlukan agar lebih menghasilkan manfaat bukan sebaliknya. Terutama prasarana jalan yang memainkan peran penting sebagai prasarana distribusi lalulintas barang dan manusia maupun sebagai salah satu prasarana pembentuk struktur ruang wilayah (Maulina, 2007).

  Evaluasi kinerja jalan membutuhkan pengukuran yang mewakili kondisi jalan. Indeks ini adalah representatif tentang kinerja jaringan jalan sesuai dengan kinerja lain. Indikator jalan tersebut adalah (Santosa dan Joewono, 2005):

  1. Ketersediaan jalan (Ktj) Merupakan rasio antara total panjang jalan dengan luas area. Ketersediaan jalan memiliki satuan km/km².

  2. Kinerja jalan (knj) Merupakan rasio antara panjang jalan dalam kondisi stabil dengan total panjang jalan. Kinerja jalan tidak memiliki satuan km/km.

  3. Beban lalu lintas (Bln) Merupakan rasio antara total panjang jalan dengan jumlah kendaraan (smp).

  Indikator ini memiliki satuan km/smp.

  4. Pelayanan jalan (Pyp) Merupakan rasio antara total panjang jalan dengan jumlah penduduk di wilayah itu. Satuan indeks ini km/orang.

  5. Indeks jalan (IPJ) Merupakan kombinasi empat rasio, yang dapat dihitung dalam beberapa kondisi sesuai dengan bobot rasio masing-masing.

II.7.1 Indeks Prasarana Jalan (IPJ)

  IPJ merupakan alat/instrumen dalam kebijakan penanganan jalan dalam studi ini. Hasil dari IPJ tersebut adalah kebijakan penanganan jalan (identifikasi kebutuhan penanganan dan input bagi kebijakan alokasi dana) dimana sasarannya adalah ketersediaan prasarana jalan dan kemantapan prasarana jalan. Evaluasi kinerja jaringan jalan dihitung dengan suatu perhitungan yang mewakili kondisi suatu jalan. Evaluasi ini memunculkan suatu nilai kinerja yang disebut Indeks Prasarana Jalan (IPJ) yang merupakan hasil pembobotan nilai setiap variabel indikator berikut ini (PT. Reka Desindo Mandiri, 2004):

  1. Ketersediaan jalan : panjang total jaringan jalan perluas wilayah (km/km2) dengan notasi Ktj.

  2. Kinerja jaringan jalan : panjang jalan mantap pertotal panjang jaringan jalan (%) dengan notasi Knj.

  3. Beban lalulintas : panjang total jaringan jalan per jumlah kendaraan (km/smp) dengan notasi Bln.

  4. Pelayanan prasarana jalan : panjang total jaringan jalan per jumlah penduduk (km/orang) dengan notasi Pyp.

  Dalam studi ini terdapat beberapa metode/teknik yang ditelaah, yakni :

  1. Metoda kualifikasi variabel / indikator

  2. Metoda pembobotan variabel / indikator Rumusan indikator Indeks Prasarana Jalan (PT. Reka Desindo Mandiri, 2004) yang digunakan dalam studi ini adalah sebagai berikut :

  

IPJ = a*skor (Ktj) + b*skor (Knj) + c*skor (Bln) +d*skor (Pyp) ........................(2.1)

  Dimana : Skor : sebuah fungsi dari model kualifikasi variabel / indikator Ktj : variabel / indikator ketersediaan prasarana jalan

  Knj : variabel / indikator kinerja jaringan jalan Bln : variabel / indikator beban lalulintas jalan Pyp : variabel / indikator pelayanan prasarana jalan a : bobot tingkat kepentingan dari variabel Ktj b : bobot tingkat kepentingan dari variabel Knj c : bobot tingkat kepentingan dari variabel Bln d : bobot tingkat kepentingan dari variabel Pyp

  Dimensi dari setiap variabel Indeks Prasarana Jalan (IPJ) berbeda–beda, sehingga untuk menghitung IPJ dengan memakai rumusan di atas dilakukan kualifikasi terlebih dahulu terhadap nilai variabel tersebut (scoring). Dari hasil

  

scoring diperoleh plaform penilaian yang sama diantara setiap variabel Indeks

  Prasarana Jalan (IPJ), sehingga akan dapat dilakukan proses pembobotan (weighting) terhadap variabel IPJ tersebut. Konteks indikator dalam studi ini merupakan rumusan susunan variabel yang dapat digunakan untuk mengindikasi kondisi dan kinerja penyelenggaraan prasarana jalan sehingga dapat dijadikan sebagai arahan dalam penyusunan kebijakan dan program penyelenggaraan jalan dimasa datang.

II.7.1.1 Estimasi Skor IPJ ( Scoring anad Weighting)

  Proses estimasi skor IPJ untuk suatu wilayah dilakukan dengan dua tahapan berikut (PT. Reka Desindo Mandiri, 2004) :

  1. Scoring : dengan menggunakan hasil kualifikasi setiap variabel IPJ, nilai variabel IPJ di setiap Kabupaten/Kota dapat dikonversi menjadi skor 0 s.d 10.

  2. Weighting : dengan menggunakan bobot setiap variabel IPJ, maka hasil skor setiap variabel IPJ (pada tahap 1) dapat dibobotkan dan dijumlahkan menjadi variabel IPJ (dengan rentang nilai IPJ antara 0 s.d 10).

II.7.1.2 Kualifikasi Variabel Indeks Prasarana Jalan

  Untuk membuat suatu indeks penilaian, maka setiap variabel (dimensional) dikualifikasikan dengan suatu kaidah non-dimensi, sehingga hasilnya dapat mengidentifikasikan tingkat kondisi relatif suatu obyek yang digambarkan melalui satu nilai indeks hasil kualifikasi dari variabel terssebut. Sehingga antar obyek dapat diperbandingkan kondisinya (dengan single maupun mulitiple variable). Kaidah kualifikasi yang digunakan dalam studi ini adalah skoring dengan rentang penilaian antara 1–10 (sangat kurang menjadi sangat tinggi) (PT. Reka Desindo Mandiri, 2004) .

  

Tabel II.2 Rentang Skor dan Kualifikasi Variabel IPJ

  Rentang Skor Kualifikasi 1-2 Sangat kurang 3-4 Kurang 5-6 Sedang 7-8 Tinggi 9-10 Sangat tinggi

  Sumber: PT. Reka Desindo Mandiri, 2004

II.7.1.3 Bobot Kepentingan Antar Variabel IPJ

  Penetapan bobot antar variabel IPJ merupakan representasi dari perspektif kebijakan, sehingga sebaiknya bobot diperoleh dari persepsi pengambil keputusan mengenai tingkat kepentingan dari masing-masing variabel IPJ. Sebagaimana disampaikan dalam rumusan umum IPJ, IPJ merupakan hasil penjumlahan dari skor setiap variabel yang terbobotkan. Bobot variabel IPJ (a untuk Ktj, b untuk Knj, c untuk Bln dan d untuk Pyp) merupakan representasi tingkat kepentingan dari setiap variabel IPJ (relatif terhadap variabel IPJ lainnya) menurut perspektif

  

stakeholders /responden. Secara umum suatu variabel IPJ akan dinilai bobot tingkat

  kepentingannya dengan kaidah pembobotan 1–10 (sangat tidak penting sampai sangat penting) (PT. Reka Desindo Mandiri, 2004) .

  

Tabel II.3 Kaidah Penilaian Bobot Tingkat Kepentingan Variabel

  Rentang Skor Kualifikasi 1-2 Sangat kurang 3-4 Kurang 5-6 Sedang 7-8 Tinggi 9-10 Sangat tinggi

  Sumber: PT. Reka Desindo Mandiri, 2004

  Setiap responden akan memberikan bobot a, b, c, dan d untuk setiap variabel

  IPJ, sehingga secara rata-rata akan dapat disimpulkan bobot setiap variabel dengan metoda berikut ini:

  

Tabel II.4 Proses Penentuan Bobot Variabel IPJ

  Variabel Responden 1 Responden 2 ......... Responden n Total

  Ktj a1 a2 ......... a3 Σa Knj b1 b2 ......... b3 Σb Bln c1 c2 ......... c3 Σc Pyp d1 d2 ......... d3 Σd

  Total Σa+ Σb+ Σc+ Σd a (rata-rata) = Σa/( Σa+ Σb+ Σc+ Σd) b (rata-rata) = Σb/( Σa+ Σb+ Σc+ Σd) c (rata-rata) = Σc/( Σa+ Σb+ Σc+ Σd) d (rata-rata) = Σd/( Σa+ Σb+ Σc+ Σd)

  Sumber: PT. Reka Desindo Mandiri, 2004

  II.7.1.4 Interpretasi Skor IPJ

  Setelah diperoleh skor IPJ, maka nilai tersebut dapat diinterpretasikan untuk membandingkan kondisi prasarana jalan di suatu wilayah. Kaidah umum dalam menginterpretasikan hasil estimasi skor IPJ adalah sebagai berikut (PT. Reka Desindo Mandiri, 2004):

  a) Skor IPJ mempresentasikan kondisi umum penyediaan prasarana jalan di suatu wilayah, terkait dengan kuantitas relatif terhadap luas wilayah, jumlah kenderaan, dan jumlah penduduk, serta kondisi fisik jalan.

  b) Semakin tinggi skor IPJ disuatu wilayah maka kondisi umum penyediaan prasarana jalan di wilayah tersebut semakin baik

  c) Skor IPJ merupakan hasil pembobotan dari beberapa skor variabel (Ktj, Knj,

  Bln, Pyp) sehinggga untuk mengidentifikasi permasalahan dari skor IPJ

  tertentu harus dilihat/di-breakdown ke level variabel untuk dapat mengetahui akar permasalahannya.

  II.7.1.5 Analisis Kebijakan

  Rata-rata skor IPJ Nasional=5,68 masih berada di bawah ambang nilai cukup secara psikologis, yakni rata-rata IPJ=6,00. Hasil interpretasi skor IPJ diaplikasikan dalam analisis kebijakan penanganan jalan (PT. Reka Desindo Mandiri, 2004):

  a. Indikasi kebutuhan program penanganan jalan dari skor IPJ yang ditunjukkan suatu wilayah dilakukan dengan kaidah:

  • Jika skor IPJ rendah (dibawah rata-rata pulau atau nasional), maka secara umum wilayah tersebut membutuhkan program penanganan jalan yang lebih ekstensif. Jenis kebutuhan penangan jalan untuk suatu wilayah ditentukan oleh skor dari - setiap variabel: skor Knj (% mantap) digunakan untuk mengidentifikasi kebutuhan pemeliharaan/peningkatan jalan, sedangkan skor Ktj, Bln, Pyp untuk mengidentifikasi kebutuhan pembangunan jalan.

  II.8 Standar Pelayanan Minimal (SPM) Prasarana Jalan

  SPM jalan didefinisikan sebagai ukuran teknis fisik jalan yang sesuai dengan kriteria teknis yang ditetapkan, yang harus dicapai oleh setiap jaringan jalan dan ruas-ruas jalan yang ada didalamnya, dalam kurun waktu yang ditentukan, melalui penyediaan prasarana jalan (Iskandar, 2011). Ada 3 (tiga) indikator sebagai kriteria SPM jaringan jalan:

  1. Aksesbilitas Aksesbilitas adalah suatu ukuran kemudahan bagi pengguna jalan untuk mencapai suatu pusat kegiatan (PK) atau simpul-simpul kegiatan di dalam wilayah yang dilayani jalan. Dievaluasi dari keterhubungan antar pusat kegiatan oleh jalan dalam wilayah yang dilayani jalan dan diperhitungkan nilainya terhadap luas wilayah yang dilayani.

  2. Mobilitas Mobilitas adalah ukuran kualitas pelayanan jalan yang diukur oleh kemudahan per individu masyarakat melakukan perjalanan melalui jalan untuk mencapai tujuannya. Ukuran mobilitas adalah panjang jalan dibagi oleh jumlah orang yang dilayaninya.

  3. Keselamatan Keselamatan dalam konteks pelayanan adalah keselamatan pengguna jalan melakukan perjalanan melalui jalan dengan segala unsur pembentuknya, yaitu pengguna jalan, kendaraan (sarana), dan jalan dengan kelengkapannya (bangunan pelengkap dan perlengkapan jalan), serta lingkungan jalan.

  Peranan jalan yang sangat strategis untuk melayani pergerakan arus orang dan barang, sehingga agar prasarana jalan dapat berfungsi dengan baik dalam melayani lalulintas, diperlukan penyelenggaran terhadap jaringan jalan yang ada dengan baik dan benar. Maka dari itu, diperlukan suatu standar pelayanan yang dalam hal ini dikeluarkan oleh Depkimpraswil melalui Kepmenkimpraswil No. 534/KPTS/M/2001 mengeluarkan Pedoman Penentuan Standar Pelayanan Minimal bidang penataan ruang, perumahan dan permukiman, dan pekerjaan umum. Dengan memperhatikan nilai minimal pelayanan prasarana jalan dalam SPM dan variabel IPJ terdapat beberapa nilai minimal yang dapat ditetapkan untuk setiap indikator seperti dalam tabel II.5.

  Tabel II.5 Nilai-nilai minimum dari SPM

  Variabel IPJ Nilai Minimal dari SPM Ketersediaan prasarana jalan (Ktj)

  Indeks aksesbilitas (km/km²)

  Kepadatan penduduk Minimal Indeks Aksesbilitas (jiwa/km²) (km/km²)

  a. Sangat tinggi>5000 a. > 5,00

  b. Tinggi>1000 b. >1,50

  c. Sedang>500 c. >0,50

  d. Rendah>100 d. >0,15

  e. Sangat rendah<100 e. >0,05 Kinerja Jaringan jalan (Knj)

  Kemantapan fisik jalan

  Kondisi fisik jalan minimal sedang dengan syarat: Lebar jalan minimum Volume lalulintas Nilai IRI, RCI (m) (LHR=smp/hari) (m/km, N/A)

  a. 2*7 m 20000 IRI<6,00/RCI>6,50

  b. 7 m 8000-20000 IRI<6,00/RCI>6,50

  c. 6 m 3000-8000 IRI<8,00/RCI>5,50

  d. 4,50 m <3000 IRI<8,00/RCI>5,50 Beban Lalulintas (Bln)

  Kemantapan layanan jalan

  Nilai VCR ruas jalan maksimal 0,85 dengan syarat: Fungsi jalan Kecepatan minimal (A,K,L) (km/jam)

  a. Jalan arteri (primer dan sekunder) 25

  b. Jalan Kolektor (primer dan sekunder) 20

  c. Jalan lokal (primer dan sekunder) 20 Pelayanan Jalan (Pyp)

  Indeks mobilitas (km/1000 penduduk)

  PDRB perkapita Minimal indeks mobilitas (jutaRp/kap/th) (km/1000 penduduk)

  a. Sangat tinggi >10 a. >5,00

  b. Tinggi >5 b. >2,00

  c. Sedang >2 c. >1,00

  d. Rendah >1 d. >0,50

  e. Sangat rendah <1 e. >0,20

  Sumber : PT. Reka Desindo Mandiri, 2004

II.9 Studi Terdahulu

  Penelitian kinerja jaringan jalan dengan Indeks Prasarana Jalan (IPJ) dan Standar Pelayanan Minimal (SPM) sudah pernah dilakukan dibeberapa daerah, diantaranya:

  1. Maulida (2007), mengevaluasi kinerja jaringan jalan di wilayah Kabupaten Serang, Hasil analisis menunjukkan skor IPJ tahun 2006 untuk Kabupaten

  Serang adalah 3,57, sebagai pembanding adalah Kabupaten Pandeglang dengan skor IPJ 4,23. Indeks aksesibilitas dan mobilitas Kabupaten Serang lebih rendah dari SPM. Sedangkan untuk Kabupaten Pandeglang masih sesuai dengan SPM. Kesimpulan dari penelitian tersebut, untuk Kabupaten Serang diperlukan penambahan jaringan jalan sepanjang 3.323,49 km dan diperlukan penanganan pelebaran sepanjang 182,38 km dengan kebutuhan biaya sebesar Rp. 279.858.600.000,- dan penanganan perkerasan untuk kondisi rusak ringan dan rusak berat dengan kebutuhan biaya sebesar Rp.

  292.976.581.900,-, sehinggga total biaya yang dibutuhkan untuk mencapai pemenuhan SPM di Kabupaten Serang sebesar Rp. 572.835.181.900,-.

  2. Putri (2012), mengevaluasi kinerja jaringan jalan di wilayah Kota Padangsidimpuan, Hasil analisis menunjukkan skor IPJ tahun 2009 untuk Kota Padangsidimpuan adalah 3,57. Indeks aksesibilitas dan mobilitas Kota Padangsidimpuan lebih rendah dari SPM.

  3. Ebby (2005), mengkaji penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang jalan di Jawa Barat. Hasil kajiannya menunjukkan nilai SPM untuk indeks aksesbilitas Propinsi Jawa Barat tahun 2003 adalah 0,77 lebih rendah dari syarat dan indeks mobilitas Propinsi Jawa Barat tahun 2003 adalah 0,58 lebih rendah dari syarat.