Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: PAPALELE Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon D 902007002 BAB IX

Bab Sembilan

Kolaborasi Pengusaha Papalele

Pengantar
Pada empat bab sebelumnya, saya telah membahas secara
rinci setiap tahapan usaha papalele sebagai salah satu kegiatan
usaha informal. Dalam bab ini dibahas benang merah atau
sintesis temuan dalam beberapa topik. Saya mulai dengan membahas dan menggabungkan serta merasionalisasikan konsep
kolaborasi yang mengaitkan keterhubungan dan pentingnya
kerjasama (kolaborasi) dalam usaha papalele sebagai satu
kekuatan. Tindakan kerjasama ini penting bagi keberlanjutan
usaha dan sebagai salah satu mata pencaharian rumah tangga.
Ketika papalele mengandalkan kolaborasi, maka eksistensi
usaha papalele semakin mendapat tempat di masa mendatang.
Di bagian akhir dibahas kaitan papalele sebagai wirausaha
(entrepreneur) lokal dan identitas.
Pertimbangan untuk berkolaborasi bukan tanpa alasan,
tetapi sesungguhnya memiliki kekuatan jangka panjang. Dalam
kaitan itu, papalele melakukan kerjasama tidak hanya di kalangan sesama papalele tetapi juga dengan pedagang lain sebagai
mitra usaha. Sebagai wirausahawan (entreprenuer), setidaknya

 
267

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

 
dengan menciptakan kerjasama usaha merupakan langkah
realistis dan strategis untuk tetap bertahan. Sebaliknya jika
papalele memilih untuk bersaing dalam usaha, sama artinya
memilih resiko “bunuh diri”, sama artinya usaha papalele tidak
akan bertahan. Pilihan terakhir ini tidak memberikan prospek
jangka panjang, terutama untuk kelangsungan hidup keluarga
dan usahanya.
Kolaborasi di antara papalele dan pedagang juga terjadi
pada saat suasana konflik di Ambon belum benar-benar menunjukkan tanda berakhir. Kejadian seperti ini sulit dipahami,
bagaimana mungkin dalam suasana konflik masih terasa di sanasini — walaupun intensitas konflik semakin berkurang. Walaupun suasana konflik masih kuat terasa, papalele justru menyempatkan diri untuk bertransaksi di tapal batas konflik. Tentu
dengan resiko, nyawa sebagai taruhan. Dalam situasi seperti itu,
muncul pertanyaan, mengapa mereka memberanikan diri untuk
bertransaksi dan bertahan dalam suasana seperti itu?. Penelitan
membuktikan bahwa di balik transaksi papalele dan pedagang,

ternyata tidak hanya pertimbangan rasionalitas ekonomi sebagai
satu-satunya tujuan usaha. Tetapi, kolaborasi papalele dan pedagang dalam bertransaksi diwadahi oleh nilai-nilai budaya yang
menjadi tuntunan dalam perjumpaan mereka, walaupun keduanya berbeda latar belakang suku dan agama. Kalau hanya
pertimbangan ekonomis dari transaksi tersebut, maka orang
cenderung menghindari situasi tersebut. Kolaborasi tidak hanya
dalam situasi yang normal — tanpa konflik dalam masyarakat,
tetapi juga dalam suasana konflik. Sebaliknya, jika persaingan
yang diutamakan, maka perjumpaan di tapal batas konflik
untuk bertransaksi tidak mungkin dilakukan.
Dalam kebanyakan bidang sistem pasar bebas terdapat
cukup banyak persaingan antara para produsen barang dan jasa
 
268
 

Kolaborasi Pengusaha Papalele

(Porter, 1997 dan 1998; Winardi, 2004: 302.). Sistem pasar
dengan persaingan yang terjadi membuat konsumen akan mendapatkan produk-produk yang berkualitas dengan harga yang
menarik dan terjangkau dengan kecenderungan harga murah.

Sebaliknya, pertimbangan papalele memilih kolaborasi dari
pada persaingan merupakan strategi usaha. Karena itu, untuk
memahami secara jelas dan rinci model kolaborasi tersebut,
gambaran besar buku ini, menjelaskan bahwa pola kolaborasi
lebih rasional, sebagai bentuk ketahanan dan keberlanjutan
aktivitas ekonomi lokal, dibandingkan dengan kompetisi.
Dengan kolaborasi, papalele menunjukkan daya tahan (resilience) untuk mewujudkan investasi masa depan anak dan
status sosial.

Kelangsungan Usaha Melalui Kolaborasi
Pada bagian ini, saya akan menganalisis temuan lapangan
yang dipumpunkan dalam satu konsep yang penulis sebut kolaborasi papalele. Konsep ini merujuk pada kerjasama papalele
untuk melanggengkan usaha. Artinya dalam usaha papalele,
kolaborasi atau perbuatan kerjasama usaha merupakan pilihan
rasional yang memungkinkan papalele dapat bertahan. Lebih
lanjut, model kolaborasi papalele merupakan sintesis yang
dibangun untuk menjelaskan pentingnya kolaborasi. Pengertian
istilah kolaborasi atau kerjasama, secara umum sering dikenal
sebagai istilah yang digunakan dalam dunia usaha. Intinya
untuk menjelaskan pola hubungan kerja sama antara satu pihak

dengan pihak lain. Kerjasama tersebut dilakukan secara informal maupun formal. Dalam kerangka kerjasama informal, biasanya tidak dalam ikatan tertentu, sementara yang sifatnya
formal, kerjasama diatur dengan seperangkat aturan. Maksudnya jelas, bahwa dengan seperangkat aturan atau perjanjian,
diharapkan agar salah satu pihak tidak bertindak merugikan
 
269 

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

 
pihak lain—bentuk kerjasama diakomodasi melalui pembagian
kewenangan, tugas dan tanggungjawab. Pembagian tugas,
kewenangan dan tanggung jawab dimaksudkan supaya setiap
pihak mentaati dan bekerja sesuai mekanisme aturan yang
disepakati untuk mencapai tujuan bersama.

Jaminan Hari Tua

Mata Pencaharian

Status Sosial


Status Ekonomi:
Melalui Margin usaha

Identitas

Busana dan
Peralatan

Kolaborasi

Jejaring

Modal Sosial

Memperkuat
Solidaritas

Gambar. 11
Model 1 Kolaborasi Papalele


                                                            
1

Model ini dibangun berdasarkan ide imajinasi penulis, dan belum
tersedia teori lain yang sejenis.

 
270
 

Kolaborasi Pengusaha Papalele

Mempertahankan Margin Usaha melalui Kolaborasi
Papalele sebagai pelaku ekonomi turut mempertimbangkan segala kemungkinan dan resiko usaha yang dihadapi setiap
hari. Pertimbangan mendasar adalah memperhitungkan penggunaan modal uang untuk membeli barang yang akan dijual
lagi. Sebagaimana telah diuraikan panjang lebar pada bab sebelumnya, setidaknya secara sederhana perhitungan yang digunakan adalah ada sedikit keuntungan diperoleh setiap kali barang
dijual. Rata-rata setiap jenis komoditas barang — buah-buahan
atau sayur-sayuran yang terjual, ada keuntungan antara
Rp.1.000 sampai dengan Rp.1.500. Jika diperhitungkan secara

keseluruhan margin 2 usaha, setiap papalele akan mendapatkan
rata-rata pendapatan antara Rp100.000 hingga Rp.200.000. Hasil
ini jika diperhitungkan per hari, margin di atas rata-rata 60%
sampai dengan 90%. Perhitungan tersebut, mengindikasikan
bahwa papalele secara sadar memperhitungkan aspek rasionalitas dari setiap proses penjualan produk mereka. Artinya, perhitungan sederhana ini cukup beralasan dan dianggap yang paling
rasional dan cukup baik. Bagaimana dengan faktor resiko
usaha?. Dalam kegiatan usaha, resiko terhadap usaha menjadi
bagian yang tidak terpisahkan.
Sementara untuk aspek resiko sering berkaitan dengan
kerugian atau pokok modal yang tidak berhasil kembali karena
barang tidak terjual. Bahkan resiko yang lebih dasyat adalah
usaha mengalami kepailitan (gulung tikar). Resiko yang umumnya terjadi pada usaha, dapat disebabkan oleh berbagai macam
faktor yang menyertainya. Dapat disebutkan antara lain seperti,
perhitungan harga jual yang tinggi, lemahnya jalinan komunikasi dan relasi, penentuan keuntungan yang besar dan lokasi
                                                            
Margin berdasarkan KBI (2009) adalah laba kotor atau tingkat selisih antara
biaya produksi dan harga jual di pasar.
2

 

271 

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

 
yang tidak strategis. Beberapa aspek, biasanya ada dan menyatu
dalam satu persaingan usaha antar pengusaha, baik yang sifatnya individual atau yang menyatu dalam konglomerasi perusahaan untuk melawan pengusaha lainnya. Persaingan sering
tidak memandang dan mempedulikan apakah usaha itu sifatnya
kecil, menengah atau usaha bersakala besar. Tetapi sebaliknya,
dalam dunia usaha papalele, resiko usaha seperti kerugian
hampir jarang terjadi. Rata-rata informan yang diteliti dan diamati, menunjukkan bahwa hanya modal usaha hari itu seperempatnya tidak kembali. Dengan tidak kembali seperempat
modal hari itu apakah papalele mengalami kerugian? Ternyata
tidak. Setelah akhir berjualan, perhitungan dilakukan dan
ternyata keuntungan barang lain telah menutupi kerugian dari
barang lain. Seperti buah salak yang tidak terjual habis,
kerugiannya tertutupi oleh keuntungan harga buah mangga dan
yang lainnya. Tentang variasi produk yang dijual, telah
dijelaskan panjang lebar pada bab tujuh.
Rasionalisasi atas tindakan usaha yang dilakukan papalele,
sesungguhnya merupakan satu kesatuan kolaborasi yang telah

berlangsung selama ini, bukan kompetisi. Papalele berkolaborasi mempertahankan usaha sekaligus mempertahankan tingkat
pendapatan yang selama ini berlangsung. Walaupun jumlah
pendapatan tidak selalu optimal, tetapi bervariasi dan berkesinambungan serta jangka panjang. Situasi ini menurut Samuel
Popkin tentang manusia sebagai homoeconomicus (pelaku
rasional): manusia setiap saat memperhitungkan segala sesuatu
secara simultan, termasuk perhitungan ketika mereka berada
dalam situasi tekanan, masih ada kesejahteraannya yang tetap
dirasakan atau setidaknya kehidupan yang sementara dinikmati
masih tetap dapat dipertahankan (Popkin, 1979: 30-32).

 
272
 

Kolaborasi Pengusaha Papalele

Sebaliknya, andai saja papalele masuk ke dalam model
kompetisi, bukan tidak mungkin usaha papalele tidak akan
dapat berlanjut. Karena jelas, kompetisi merupakan bentuk persaingan yang mengutamakan pengerahan semua energi usaha
guna mendapatkan hasil yang optimal. Bisa saja, ketika papalele

berkompetisi antar sesama papalele atau antar pedagang di
pasar, otomatis harga jual bersaing dan cenderung turun,
termasuk margin usaha mengalami penurunan.

Pemenuhan

Kebutuhan

Hidup

(livelihood)

melalui

Papalele
Implementasi dari kesejahteraan kehidupan rumah tangga
pada umumnya selalu dihubungkan dengan mata pencaharian
yang dijalani. Karena berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan
hidup keluarga dan anggotanya, maka setiap anggota cenderung
akan mengalokasikan waktu kerja untuk mencari nafkah

melalui pekerjaan. Kondisi ini terjadi ketika keluarga merasakan
adanya keterbatasan penghasilan (baca: uang) untuk membeli
konsumsi kebutuhan sehari-hari, terutama kebutuhan dasar—
pangan, sandang dan papan. Tekanan akan semakin bertambah,
seiring dengan semakin bertambahnya kebutuhan rutin. Dapat
dipastikan jika satu keluarga yang tidak memiliki penghasilan
tetap, kesulitan semakin terasa mendera dalam memenuhi
kebutuhan hidup. Kondisi demikian terjadi juga dengan keluarga papalele. Sebagaimana telah dibahas pada bab sebelumnya,
rata-rata kehidupan keluarga papalele hidup dalam kesederhanaan dan serba pas-pasan. Guna memenuhi tuntutan kebutuhan
anggota rumah tangga bersedia bekerja (Sasongko, 2007 dan
Ehrenberg, 2009). Serta menggunakan hasil kebun dan dusun
(hutan) untuk menopang kebutuhan.
Dalam tekanan ekonomi seperti itu, penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar atau 90% perempuan (istri)
 
273 

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

 
mengambil langkah berpartisipasi untuk mendukung ekonomi
keluarga. Keterlibatan mereka muncul sebagai satu kesadaran
akibat dari tekanan ekonomi keluarga yang serba terbatas,
sementara kebutuhan hidup kian meningkat. Untuk menanggulangi keterbatasan penghasilan, perempuan turut serta terlibat mencari tambahan penghasilan. Sehingga pada saat bekerja
di luar rumah, pekerjaan rumah tangga terbagi antar anggota
rumah tangga sebagai bentuk kolaborasi. Bagi mereka, tidak ada
pilihan pekerjaan lain, selain cara yang lebih mudah dengan
menjadi papalele. Tentu saja dalam kondisi seperti itu, perempuan kemudian menjadi tulang punggung kedua dari keluarga.
Pada posisi ini sesungguhnya papalele merupakan mata
pencaharian bagi sebagian masyarakat perdesaan. Sebagai salah
satu mata pencaharian, maka curahan waktu untuk mengelola
usaha sedapat mungkin dioptimalkan. Implikasi dari curahan
waktu kerja tersebut adalah kesediaan anggota keluarga yang
lain untuk menerima pembagian kerja rumah tangga. Mengingat sebagian besar waktu dialihkan untuk berada di pasar
menjual barang. Temuan lapangan pada keluarga papalele,
memang sebagian besar anggota keluarga dengan senang hati
menerima pembagian kerja rumah tangga. Suami dan anak-anak
turut serta menyelesaikan pekerjaan rumah tangga seperti
memasak, mencuci dan membersihkan rumah dan halaman.
Pekerjaan ini diselesaikan anggota rumah tangga karena, sang
istri sudah sejak pagi subuh meninggalkan rumah dan baru
kembali setelah sore hari. Sekitar 10 sampai 13 jam seorang
papalele menghabiskan waktu mereka di luar rumah tangga.

 
274
 

Kolaborasi Pengusaha Papalele

Membangun Jejaring Papalele
Tidak mudah untuk membangun kepercayaan. Butuh
kerja keras, kesabaran, kesetiaan, dan rasa tanggung jawab, dibarengi dengan kesadaran bahwa kepercayaan itu mutlak untuk
suatu perubahan dalam usaha. Kolaborasi dengan sesama
papalele, pembeli, pelanggan tetap dan pedagang lain selalu
dipertahankan. Jejaring papalele menjadi mitra yang akan terus
dibina dan dipertahankan. Kualitas hubungan ditentukan melalui kewajiban yang harus dipenuhi dan ditepati. Walaupun
kapasitas yang mereka miliki terbatas, diupayakan agar selalu
tercipta hubungan yang harmonis dalam interaktif. Ini cara
untuk menjaga relasi tetap berlangsung. Jalinan hubungan ini
memiliki sifat dan ciri yang berbeda dengan jaringan yang lain.
Sifat yang dipertontonkan papalele dan jejaring diikat dalam
kesepakatan bersama untuk tidak saling merugikan, seperti
jujur, ketepatan waktu membayar dan saling percaya — informasi keterlabatan memenuhi kewajiban. Suasana seperti ini
mungkin tepat menunjuk pada pandangan Song (1997: 55),
dalam etika Konfusianisme baru yang menekankan hubungan
pribadi secara harmonis antara individu-individu dalam menempatkan kepentingan yang jauh lebih besar yakni harmonisasi, kerjasama, kesepakatan dan rasa solidaritas sosial diantara
anggota organisasi. Bagi Song, etika Konfusianisme kontras
dengan etika barat yang menekankan pada aspek kompetisi
sebagai faktor utama antar anggota dalam organisasi.
Dalam situasi konflik pun, bentuk kolaborasi selalu diutamakan oleh papalele pada komunitas masing-masing. Tercatat bahwa selama masa konflik (kerusuhan) di Kota Ambon,
aktivitas sosial masyarakat mengalami segregasi. Inter-aksi
masyarakat dibatasi oleh barikade yang merintangi. Konsekuensinya, ruang pertemuan masyarakat menjadi terbatas. Pasar
sebagai tempat berinteraksi dan bertransaksi tidak dapat ber 
275 

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

 
fungsi sebagaimana mestinya karena telah dihancurkan saat
konflik. Kelumpuhan pasar, merupakan kelumpuhan sosial yang
diderita masyarakat. Selama masa itu kelangkaan bahan kebutuhan pokok sehari-hari merupakan kesulitan tersendiri yang
dirasakan masyarakat. Kesulitan tersebut sebagai akibat lumpuhnya transportasi dan distribusi barang dan jasa yang dilakukan pedagang antar komunitas serta terhambatnya pasokan
kebutuhan pokok dari luar Ambon. Sementara masyarakat
sangat membutuhkan. Ketersediaan barang kebutuhan pokok
menjadi langka dan sulit ditemui. Harga-harga barang melonjak
tajam. Dalam situasi seperti itu, papalele yang berada pada
masing-masing komunitasnya berupaya menjembatani kesenjangan barang. Satu dengan yang lain saling memfasilitasi dalam
kondisi barang yang terbatas. Yang penting, mereka masih bisa
bertahan berjualan. Jika salah satu dari papalele, mendapat
barang lebih, dia akan memberikan kepada sesama teman. Kalau
pun harus membeli dari pihak lain, itu pun dengan harga yang
jauh lebih mahal, sehingga kadang-kadang dengan kondisi uang
yang terbatas, terpaksa harus dibeli.
Transaksi di tapal batas konflik adalah pilihan papalele
mencoba keluar dari lingkaran kekerasan itu yang telah memutus hubungan ekonomi. Dengan bermodalkan jaringan yang
telah terbangun jauh sebelum konflik, mereka kembali berkolaborasi dan bertemu untuk merajut hubungan yang sempat terputus. Berjumpa dan bertransaski di simpul-simpul perbatasan
membutuhkan nyali dan keberanian. Bahkan terkadang nyawa
bisa menjadi taruhannya, jika tidak mengantisipasi situasi dan
kondisi. Keberanian mereka berjumpa dan bertransaksi di
perbatasan bukan tanpa alasan. Kalau hanya sekedar kepentingan ekonomis — mencari keuntungan dari bertransaksi dalam
situasi keamanan yang belum stabil, tentu akan dihindari.
 
276
 

Kolaborasi Pengusaha Papalele

Papalele mencoba peruntungan dengan menjalin hubungan
yang sempat terputus dengan pedagang saat berkesempatan
bertemu dan berkomunikasi di simpul-simpul perbatasan.
Tujuan hanya satu, sedapat mungkin transaksi barang kebutuhan dapat terjalin lagi. Selain untuk mempertahankan jalannya
usaha (papalele), ada nilai yang masih melekat kuat karena
kesadaran bersama bahwa antar kedua komunitas dalam ikatan
budaya sebagai anak negeri. Perdagangan hanya dianggap
sebagai jembatan untuk menghubungkan ikatan-ikatan orang
basudara yang selama konflik hancur.
Jauh sebelum kerusuhan melanda kota Ambon dan berdampak pada putusnya komunikasi antar papalele dan pedagang, norma-norma dalam bekerjasama masih terus terpelihara.
Norma tersebut merupakan ikatan janji sebagai bentuk kepercayaan antar kedua belah pihak saat bertransaksi. Norma itu
sempat tidak berlanjut karena kerusuhan, direvitalisasi kembali
sebagai kekuatan dan sebagai media penyambung komunikasi
yang terputus sebagai satu jaringan. Tanta Mike dan temantemannya membangkitkan kembali semangat itu dalam suasana
konflik.
Perjumpaan mereka di tapal batas untuk mendapatkan
barang yang akan dijual, hanya dilandasi oleh rasa saling percaya satu terhadap yang lain. Bahkan, untuk mengamankan
ikatan 'janji' itu, papalele dan pedagang saling mengingatkan
satu dengan yang lain terhadap situasi yang bukan tidak
mungkin terjadi sewaktu-waktu tanpa mereka sadari. Saling
menukar informasi situasi keamanan satu terhadap yang lain
merupakan suatu kesadaran yang dibangun karena kepentingan
yang sama pada saat berjumpa. Seperti yang disitir oleh Johnson
(2008:201) bahwa dalam jaringan ada kekuatan bagi individu
dalam kelompok, karena di dalamnya tersedia sumber informasi
dan manfaat lainnya untuk berhubungan dengan pihak lain
 
277 

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

 
serta memberikan dukungan emosional akan keakuratan diri
(identitas).
Kesadaran sebagai anak negeri yang memiliki ikatan
persaudaraan telah membalikkan fakta saat ini bahwa transaksi
dan hubungan ekonomi hanya terjadi dalam situasi normal.
Pelaku usaha cenderung menghindari resiko investasi jika
situasi keamanan tidak terjamin. Investasi harus diamankan dari
konflik. Termasuk aturan-aturan formal yang dapat memberikan perlindungan terhadap segala bentuk kegiatan usaha yang
dilakukan. Sebaliknya papalele justru mendobrak asumsi itu.
Dengan berbekal rasa saling percaya, peduli, sebagai kesadaran
bersama, konflik tidak selamanya memisahkan pertalian
hubungan ekonomi. Konflik juga menjadi media yang menegaskan bahwa kegiatan kolaborasi ekonomi lebih mendominasi.
Sementara sifat kompetisi dalam situasi itu justru memakan
“korban” dan tidak memberikan kenyamanan usaha.

Pembentukan Status Sosial melalui Papalele
Tidak dapat dinafikan bahwa simbol menyatu dalam diri
setiap individu sebagai makhluk sosial. Tertanam dalam pikiran
setiap individu suatu tujuan yang hendak dicapai di masa
mendatang. Dapat disebutkan seperti tujuan memperbaiki taraf
kesejahteraan keluarga, memperbaiki kondisi fisik rumah atau
bekerja keras memberikan anak-anak kesempatan pendidikan
yang tinggi. Cita-cita ini merupakan harapan yang tetap bersemayam dalam benak setiap papalele. Untuk mewujudkannya,
eksekusi tindakan harus sesuai rencana berdasarkan referensi
dan tahapan yang disusun. Tujuan akan gagal, jika tidak didukung oleh kemampuan dan komitmen. Pada sisi ini, rangkaian
proses untuk mencapai cita-cita tersebut perlu didukung dengan
 
278
 

Kolaborasi Pengusaha Papalele

perjuangan usaha. Di balik usaha, tertanam cita-cita sebagai
tujuan masa depan yang lebih baik.
Pengalaman masa lalu menuntun pikiran dan tindakan
untuk melakukan perubahan. Papalele memiliki orientasi masa
depan yang dipersiapkan sejak dini, bukan untuk diri dan
usahanya, tetapi diorentasikan dan diinvestasikan kepada masa
depan anak-anak dari hasil usaha. Dalam perspektif ini kebaya
sebagai simbol suatu asa kaum papalele, lebih berkenaan dengan
perubahan harapan masa depan generasinya mendapatkan
status sosial yang lebih baik. Karena status sosial 3 menunjuk
pada posisi seseorang dalam masyarakat (Lawang, 2005: 96).

Papalele merupakan implementasi perlawanan terhadap
kungkungan ketertindasan. Terutama perempuan papalele yang
dikekang oleh tradisi sosial. Pengalaman masa lalu yang dialami
dan dirasakan para papalele terhadap struktur sosial, dijadikan
inspirasi untuk keluar dari situasi struktur lama ke struktur
sosial baru (lihat bab lima). Pengalaman masa lalu (citra buruk)
yang tidak memberikan kesempatan memperoleh pendidikan,
                                                            
3 Terdapat dua jenis status sosial yakni jenis status bawaan (ascribed), dan jenis
status perolehan (achieved). Status bawaan (ascribed) itu diwariskan tanpa
diminta oleh si pemegang status itu sendiri. Sedangkan status perolehan
(achieved) menunjuk pada pencapaian status karena usaha yang sadariah oleh
si pemegang itu sendiri. Ada kombinasi di antara keduanya, baik yang bersifat
saling mendukung, maupun yang bertentangan. status bawaan (ascribed)
menjadi masalah kalau menghambat perkembangan si penyandangnya. Yang
dihambat di sini adalah pengembangan status yang dapat diperoleh (achieved)
melalui pendidikan formal, non formal atau formal, baik dalam pengembangan kapital manusia maupun kapital psikologik. Status yang diperoleh
melalui ikhtiar (achieved status) paling banyak dikaitkan dengan peningkatan
privilese dalam bidang ekonomi, kekuasaan dan prestise. Privilese dalam
bidang eknomi dijadikan tolak ukur untuk menentukan tingkat kesejahteraan
sosial masyarakat. Sementara dimensi kekuasaan dan prestise tunduk pada
pada privilese (Lawang, 2005:101-102).

 
279 

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

 
merupakan perlawanan terhadap status sosial itu. Karena itu,
sesungguhnya papalele merupakan salah satu simbol yang
dibangun untuk keluar dari kondisi tertindas. Ketertindasan
strukutur sosial yang tidak berimbang terhadap gender. Lakilaki sebagai citra sosial keluarga memiliki peluang besar untuk
meraih pendidikan bila dibandingkan dengan perempuan.
• Menanamkan Hasil Usaha pada Pendidikan Anak
Umumnya dalam kegiatan dunia usaha, senantiasa menggunakan uang sebagai alat investasi yang ampuh. Dengan kepemilikan uang sebagai modal untuk memulai atau mengembangkan usaha tidak dapat dipandang remeh. Uang menjelma
menjadi kekuatan penggerak jalannya roda usaha. Tanpa kecukupan uang sebagai modal, akan sulit untuk mempertahankan
usaha, apalagi hingga taraf meningkatkan skala usaha. Uang
telah menjadi barometer penanganan permasalahan dunia
usaha, dari ukuran usaha skala mikro, kecil, menengah hingga
skala besar. Karena itu, dalam perkembangan dunia usaha di
Indonesia, kebanyakan masalah yang muncul dalam dunia
usaha adalah masalah permodalan. Pemerintah dan berbagai
pihak yang peduli terhadap struktur perekonomian yang ditopang oleh dunia usaha, sering dibuat kerepotan dalam menangani masalah permodalan. Uang (modal), cenderung menjadi
alasan klasik untuk meningkatkan dan mengembangkan kinerja
usaha.
Ketika dunia usaha mengalami permasalahan uang sebagai modal usaha, maka sering pula dikaitkan dengan persoalan
kegalalan dalam mengurangi pengangguran, pengentasan kemiskinan di masyarakat dan seterusnya. Untuk mengatasi
permasalahan pembangunan seperti itu, sering pula dikemas
berbagai model dan instrumen penanganan, pengembangan dan
 
280
 

Kolaborasi Pengusaha Papalele

pemberdayaan dunia usaha khususnya usaha kecil. Mulai dari
pelatihan kepada individu, kelompok, pengembangan dan
perkuatan kapasitas usaha hingga dicari alternatif dalam bentuk
kemitraan sebagai jalan keluarnya. Namun yang terjadi, kegagalan demi kegagalan senantiasa menyelimuti dunia usaha.
Belajar dari pengalaman seperti itu, ternyata paradoks
dengan fakta dalam masyarakat bahwa uang sebagai modal
usaha bukan satu-satunya alasan pembenaran semua kegagalan
itu. Uang hanya alat, uang bukan tujuan. Hakikat usaha adalah
kemampuan membangun dan mempertahankan eksistensi
usaha. Papalele adalah salah satu alternatif untuk mematahkan
mitos-mitos yang selama ini diperdebatkan dalam dunia usaha.
Bahkan papalele telah membuktikan bahwa dengan memiliki
uang seadanya, mampu melakukan pengalihan (switch) pada
bidang lainnya. Sambil tetap mempertahankan keberlangsungan
usaha yang ditekuni. Seperti uraian pada bab lima, uang tidak
selamanya dijadikan sebagai faktor pengganda usaha, tetapi
uang diinvestasikan pada aspek yang jauh lebih memberikan
peluang masa depan yang lebih baik. Uang yang merupakan
hasil usaha dialihkan (switch) kepada aspek pendidikan.


Memprioritaskan Modal Keuangan (financial capital) ke
Modal Pengetahuan (knowledge capital)

Di Ambon, pada umumnya mereka yang bermatapencaharian papalele, tidak dijumpai usahanya berkembang
besar. Seseorang yang sejak pertama kali menjadi papalele,
sampai saat mengakhiri pekerjaan itu bentuk dan besaran usaha
tidak mengalami perubahan—apa adanya. Sebagai penjual
buah-buahan atau sayur, usaha ini selalu dikemas kecil dan
terbatas. Terutama pengadaan jumlah barang yang dijual.
Seperti yang telah diuraikan pada bagian bab terdahulu, yang
terpenting bagi papalele, setiap hari berjualan diperoleh sedikit
 
281 

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

 
keuntungan. Keuntungan dari hasil jualan, selalu disisihkan
sebagian untuk modal usaha yang berikut, sebagian digunakan
untuk membeli kebutuhan rutin bagi keluarga. Selebihnya akan
digunakan untuk membiayai kebutuhan anak sekolah. Bagi
papalele, usaha harus terus berlangsung. Jika tidak, kesulitan
kebutuhan akan membelenggu.
Tidak bekembangnya usaha papalele, tidak sebatas pada
persoalan modal usaha. Banyak aspek yang bisa menjelaskan
situasi tersebut. Seperti misalnya rata-rata tingkat pendidikan
para informan yang hanya menyelesaikan Sekolah Dasar (SD).
Atau mereka yang berkesempatan masuk Sekolah Menengah
Pertama (SMP) harus berhenti di tengah jalan karena alasan
ekonomi keluarga. Hal ini berkaitan juga dengan pengembangan kapasitas usaha, seperti keterampilan (skill) yang terbatas,
pengetahuan tentang dunia usaha yang tidak memadai dan
akses terhadap sumber-sumber keuangan juga terbatas. Ketrampilan sebagai salah satu aspek pendorong ternyata bersifat paspasan, ketidak-mampuan memunculkan ide-ide baru dan
peluang merupakan gejala yang melekat dengan papalele. Apa
yang dilakukan hari ini dengan menjual seadanya, akan terus
bertahan dan berlangsung sepanjang waktu.
Keterbatasan pengetahuan tersebut berkorelasi pula
dengan pengetahuan tentang gerak dunia usaha yang pada
umumnya harus berkembang. Gambaran ini menunjukkan
bahwa papalele memiliki kelemahan sebagai satu entitas dunia
usaha. Ketidak-berdayaan mereka untuk keluar dari tekanantekanan konsep ekonomi masa kini, sebagai akibat dari pemuatan pikiran dan tujuan yang hanya bersifat sentralistik yakni
'cukup makan hari ini' dan anak-anak terfasilitasi biaya

 
282
 

Kolaborasi Pengusaha Papalele

sekolah 4 . Realitas tersebut merupakan cerminan orientasi yang
mengutamakan pendidikan anak-anak sebagai suatu mekanisme
yang kemudian saya sebut sebagai 'proses konversi modal, dari
modal keuangan (financial capital) ke arah modal pengetahuan
(konwledge capital)'. Seperti yang telah dijelaskan panjang lebar
sebelumnya, tekanan ini juga diberikan oleh Gary S. Becker
(1993:180-181) bahwa investasi dalam modal manusia ini harus
dibiayai sendiri dan tingkat pengembalian modal manusia
adalah anugerah, lebih sensitif daripada variabel pribadi lainnya. Hal ini juga dipertegas oleh Smith (2009), dan Sasongko
(2007), bahwa keputusan bekerja oleh anggota keluarga
merupakan keputusan ekonomi dalam rangka pemenuhan
kebutuhan keluarga dan untuk jangka panjang adalah investasi
untuk anak.
Jika kita merujuk secara harafiah terhadap pengertian
kata 'konversi' maka mudah memahaminya bahwa terjadi perubahan dari satu sistem pengetahuan ke sistem pengetahuan yang
lain atau perubahan dari satu bentuk ke bentuk yang lain.
Demikian pula untuk kata 'nilai' dalam rujukan ini adalah sifatsifat (hal-hal) yang penting atau yang berguna bagi kemanusiaan. Kalau kemudian nilai ini berkaitan dengan budaya atau
etika maka pemahamannya menuju pada masalah mendasar
yang sangat penting bagi kemanusiaan yang berhubungan
dengan pribadi yang utuh yang berkenaan dengan akhlak
                                                            
Pendapat senada juga ditegaskan oleh Sapteno (2010:252), bahwa bagi orang
tua yang hidup di desa atau negeri di Maluku, muncul kesadaran yang
sungguh untuk masalah pendidikan, sehingga muncul pandangan atau juga
slogan bahwa “biar makan kurang-kurang atau makan cukup-cukup” yang
penting menyekolahkan anak-anak. Ini merupakan tradisi sekaligus
kebanggan bagi para orang tua bahwa pendidikan pasti akan mengangkat
derajat keluarga atau mata rumah.
4

 
283 

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

 
seperti kejujuran, atau nilai yang berhubungan dengan benar
dan salah yang dianut oleh masyarakat (KBI, 2005).
Dengan pengertian tersebut maka dalam konsep ini,
penggabungan kedua kata tersebut menjadi 'konversi nilai' yang
sesungguhnya memiliki pengertian dan makna bahwa terjadi
suatu proses perubahan pemikiran bersumber dari kepemilikan
kemampuan sumber keuangan, dialihkan dan difungsikan
menjadi aset sumber daya pengetahuan. Jelasnya, uang sebagai
aset dimanfaatkan dan didayagunakan untuk melengkapi seseorang dengan seperangkat pengetahuan yang diterima melalui
pendidikan formal.
Konsep konversi modal inilah yang dimaksudkan di sini
untuk menjelaskan posisi papalele dalam mengeksekusi tujuan
usahanya. Seperti telah diuraikan pada bagian-bagian sebelumnya bahwa dalam dunia usaha, kecenderungan para pelaku
usaha lebih mengutamakan pemupukan modal secara berkelanjutan. Modal (uang) sangat pentingnya artinya untuk memperkuat usaha yang sementara dijalani. Mengembangkan dan
meningkatkan produksi merupakan salah satu cara yang ditempuh agar usaha terus berkembang. Dengan kekuatan modal
uang yang tersedia, uang pun dalam sekejap dimungkinkan
untuk digandakan lebih besar. Raihan keuntungan sebesarbesarnya merupakan tujuan utama usaha (profit oriented).
Namun, papalele membalikan fakta-fakta tersebut.
Para papalele seperti telah diuraikan panjang lebar pada
bagian sebelumnya (bab tujuh, tabel tiga) menunjukan perhatian mereka pada kebutuhan pendidikan anak-anak. Kesadaran akan pentingnya pendidikan dan masa depan anak-anak
menjadi prioritas. Hal tersebut dibuktikan dengan pengalokasian pendapatan sebagian besar untuk maksud tersebut.
Walaupun memang tidak dapat dinafikan bahwa kebutuhan
 
284
 

Kolaborasi Pengusaha Papalele

dasar yaitu konsumsi rumah tangga masih mendapat porsi yang
besar. Paling tidak dengan memprioritaskan pendidikan bagi
anak-anak, terkadung harapan status sosial keluarga akan
meningkat di masa mendatang.
Olehnya itu, bagi papalele mengembangkan dan
meningkatkan usaha bukan tujuan utama. Konsep usaha bagi
papalele hanya merupakan sarana dan bukan tujuan. Usaha
merupakan suatu proses kolaborasi untuk meraih tujuan yang
lebih besar adalah pendidikan untuk anak-anak sebagai harta
masa depan. Pengetahuan dan ilmu yang diperoleh dari sekolah
adalah bekal masa depan sang anak. Pengetahuan dan ilmu yang
memadai diterima akan menjadi-kan seseorang memiliki status
sosial yang terbaik di masa mendatang. Pekerjaan, kedudukan
dan penghasilan yang baik, pergaulan yang luas, gengsi sosial
adalah wujud dan harapan yang ditanamkan melalui dunia
pendidikan di sekolah. Nilai dari modal keuangan (financial
capital) dikonversi ke modal pengetahuan (knowlegde capital).
Investasi modal manusia biasanya dibiayai oleh orang tua (self
financed), karena modal manusia bukan merupakan bentuk
pinjaman (Becker, 1993: 186).
• Hasil Usaha untuk Jaminan Hari Tua
Bagi orang pada umumnya, yang belum memahami usaha

papalele akan muncul pertanyaan penting mengapa hasil usaha
papalele tidak diinvestasikan kembali sebagai modal usaha.
Dapat saja, simpulan umum diarahkan pada pemahaman bahwa
usaha papalele dilakukan hanya untuk memenuhi tuntutan
kebutuhan hidup sehari-hari. Karena usaha hanya sederhana,
barang yang dijual dalam kuantitas terbatas dan penghasilan
juga terbatas, maka hasil usaha paling tidak dapat tercukupi
untuk kebutuhan hidup keluarga. Kesimpulan umum ini tidak
sesungguhnya keliru. Jawaban yang sesungguhnya bahwa usaha
 
285 

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

 

papalele, walaupun terlihat sederhana dan dalam kuantitas
barang yang dijual terbatas, tetapi hasil yang diperoleh sekalipun dalam jumlah yang kecil, tetapi berkesinambungan dan
berkelanjutan. Artinya setiap hari penghasilan dalam jumlah
yang kecil, tetapi alokasi dana dan peruntukannya tidak diarahkan untuk usaha. Sebagian justru dialihkan untuk kebutuhan
konsumsi — makan-minum sehari-hari, dan sebagian lagi untuk
membiayai keperluan sekolah anak-anak mereka.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa para papalele
memiliki cara pandang yang berbeda dengan pandangan dalam
dunia usaha pada umumnya. Cara pandang yang dimaksud
adalah hasil usaha diinvestasikan bagi pendidikan anak-anak
dan sebagai jaminan hari tua. Pendidikan anak-anak menjadi
penting karena dalam masyarakat Maluku umumnya, pendidikan merupakan kebutuhan mendasar yang wajib diberikan bagi
anak-anak. Pola ini telah tertanam dan mengakar sebagai
bentuk transformasi yang dilakukan sejak kehadiran bangsa
asing seperti Portugis dan Belanda pada masa silam, sebagaimana telah dijelaskan pada bagian dan bab sebelumnya.
Transformasi ini mengakibatkan masyarakat lalu memahami
bahwa status sosial satu keluarga tertentu akan meningkat dan
terpandang dalam masyarakat jika anak-anak mendapatkan
profesi pekerjaan seperti guru atau pendeta atau pada umumnya
sebagai pegawai negeri. Kedua profesi pekerjaan ini selalu
diarahkan dalam keluarga. Hasil penelitian terhadap papalele
juga menunjukkan kecenderungan tersebut, pada salah satu
papalele di mana tiga dari lima orang anak telah sukses. Dua
orang anak telah menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai
guru dan satunya adalah Pendeta yang memimpin Jemaat GPM
di desa Naku, tiga kilometer dekat dengan desa Hatalai, sesuai
pembahasan pada bab tujuh.
 
286
 

Kolaborasi Pengusaha Papalele

Di Indonesia, pada umumnya ketersediaan jaminan hari
tua bagi tenaga kerja yang purna tugas masih menjadi kendala
yang belum tuntas terselesaikan. Jaminan hari tua hanya
tersedia bagi kalangan pegawai negeri sipil (PNS) dalam bentuk
pensiun dan tenaga kerja swasta yang menyediakan sarana
tersebut melalui jasa lembaga keuangan. Sementara bagi penduduk yang tidak memiliki pekerjaan tidak tersedia jaminan hari
tua melalui sistem jaminan sosial yang disediakan oleh negara.
Termasuk kalangan dunia usaha kecil dan papalele. Satu-satunya cara mengatasi masalah ketersediaan jaminan hari tua yang
dilakukan papalele adalah investasi modal usaha melalui pendidikan anak-anak. Jaminan hidup untuk hari tua merupakan
sesuatu usaha yang tersedia untuk masa tua — setelah tidak
bekerja lagi. Bagi papalele, setelah purna tugas tidak mengalami
kesulitan membiayai kehidupan nanti. Anak-anak telah
memiliki pekerjaan dan penghasilan untuk membantu orang
tua. Jaminan atas hari tua bagi para papalele merupakan
kebanggaan tersendiri yang akan dinikmati nanti. Tidak hanya
jaminan pemenuhan kebutuhan secara ekonomis terpenuhi,
tetapi yang lebih membanggakan adalah status sosial keluarga
terpandang dan terangkat di masyarakat. Apalagi orang tua akan
semakin merasa nyaman turut serta ikut menempati rumah
bersama sang anak yang telah sukses.

Papalele sebagai Entreprenuer
Kecenderungan umum diskursus tentang kewirausahaan
(entrepreuership) menggunakan skala usaha sebagai alat ukur
untuk menjustifikasi satu usaha ekonomi. Penggunaan modal,
tenaga kerja, akses terhadap teknologi hingga pemasaran dan
distribusi adalah variabel yang menentukan perjalanan usaha, karena itu, untuk katagori usaha kecil dan mikro berbeda
dengan usaha besar dan menengah. Umumnya pedagang kecil
 
287 

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

 
atau perusahaan rumah tangga bergantung pada tenaga kerja
keluarga, yang tidak berdampak dan berakibat pada tambahan
biaya operasional khususnya sewa tenaga kerja. Dengan ukuran
ini, maka sering usaha kecil erat berkaitan dengan seberapa
banyak jumlah modal yang diinvestasikan dan tingkat teknologi
yang digunakan (Start and Johnson, 2004).

Papalele memiliki sifat dan ciri yang berbeda dengan
pedagang kecil lainnya. Sepintas bila dicermati perilaku antara
papalele dengan pedagang kecil lainnya cenderung tidak berbeda, terutama peran dan fungsi yang sama dalam berdagang.
Artinya, baik papalele atau pedagang kecil—pedagang eceran
dan pedagang kaki lima tidak terdapat perbedaan dalam fungsi
sebagai pedagang. Sama-sama secara simultan melakukan proses
perdagangan, beli dan jual. Barang dagangan yang dijajakan
diorientasikan untuk mendapat keuntungan. Walaupun seringkali keuntungan usaha tidak selalu sama. Ada yang secara
optimal mencari keuntungan yang besar dan ada pula mengharapkan keuntungan seadanya. Yang penting modal usaha
untuk hari berikutnya telah tersedia secukupnya dan kebutuhan
keluarga di lain sisi tercukupi.
Demikian pula dengan skala usaha yang dikembangkan
antara pepalele dan pedagang, keduanya tidak terlalu mengutamakan kuantitas barang yang dijual dalam jumlah yang besar.
Kecenderungan skala usaha dalam jumlah yang terbatas pada
kedua model usaha seperti ini hanya untuk mendapatkan
keuntungan seadanya, disesuaikan dengan modal (uang) yang
tersedia. Dengan keterbatasan ini, sangat wajar jika keuntungan
harian juga tergolong kecil. Setidaknya ada sedikit dana yang
tersedia untuk memenuhi keperluan hidup keluarga dan rumah
tangga, walaupun terkadang tidak mencukupi. Apalagi suasana
kompetisi usaha yang semakin ketat, membuat mereka berusaha
 
288
 

Kolaborasi Pengusaha Papalele

dan menjaga agar hari berikutnya dagangan tetap bisa berlangsung.
Umumnya kompetisi atau persaingan antar pedagang
pada sektor usaha informal tidak terhindarkan. Secara kasat
mata mudah ditemukan bentuk pola kompetisi pada usaha
seperti itu. Biasanya kompetisi terjadi pada produk yang dijual
guna menarik perhatian pembeli, maupun kualitas
barang. Demikian pula dalam menentukan harga jual, masingmasing bersaing menentukan harga jual, tanpa mempedulikan
pihak lain. Tetapi papalele justru menunjukkan ciri sebaliknya,
kolaborasi papalele terlihat pada harga jual suatu barang yang
diputuskan secara bersama atau saling mengetahui harga jual
yang telah ditentukan, jika salah satu dari papalele terlambat
hadir di lokasi berjualan. Tidak hanya itu kompetisi juga sering
berkaitan dengan lokasi tempat berjualan. Akibatnya, persaingan lokasi terkadang menjadi sumber konflik, karena masingmasing pihak berupaya menguasai lokasi. Pihak lain tidak diijinkan menempati lokasi yang sama karena alasan mengganggu
barang yang dijual. Untuk kasus konflik lokasi, papalele
cenderung akan menghindari benturan itu. Timbulnya konflik
tentang lokasi berjualan antara papalele dan pedagang kadangkadang terjadi, tetapi papalele yang mengambil inisiatif untuk
menghindar. Jika keributan yang terjadi pada papalele, maka
papalele yang lain akan membantu memberikan tempat di
samping lokasinya.
Selama bertahun-tahun tanpa disadari sesungguhnya
peran yang dilakukan oleh para papalele telah mencerminkan
kemampuan kewirausahaan (entreprenuer). Paling sederhana
ciri entreprenuer terlihat pada kemandirian dan kemampuan
menciptakan usaha, ketahanan dalam memanfaatkan potensi
barang dagangan, dan memanfaatkan kerjasama antar papalele.
Karena itu, papalele hadir dari suatu keadaan ekonomi yang
 
289 

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

 
melilit keluarga, meningkatnya kebutuhan ekonomis keluarga
menjadi tekanan untuk menanggulanginya. Semakin hari, aneka kebutuhan semakin meningkat sehingga menjadi papalele
adalah satu-satunya pilihan. Tidak ada pilihan pekerjaan lain,
kehidupan keluarga harus terpenuhi, caranya dengan menciptakan lapangan usaha secara mandiri melalui papalele.
Desakan kebutuhan keluarga, memunculkan ide berdagang sebagai satu-satunya alternatif pemecahan masalah ekonomis. Karena itu, papalele adalah pilihan kerja yang produktif
yang mampu memberikan solusi sekaligus alternatif pengentasan masalah ekonomi keluarga. Dalam kerangka pemahaman
kewirausahaan, maka papalele hanya berawal dari ide menciptakan peluang usaha mandiri. Ide usaha mandiri telah memberikan nilai tambah melalui penghasilan yang diterima tanpa
bergantung pada pihak lain. Dengan menciptakan usaha mandiri tujuan mengatasi tekanan dan guncangan pemenuhan
kebutuhan hidup keluarga dapat teratasi. Mengingat tekanan
ekonomi keluarga merupakan salah satu ukuran betapa pentingnya menciptakan peluang dan nilai guna dari kegiatan yang
dilakukan.
Adanya desakan ekonomi harus dipecahkan sendiri tanpa
menunggu intervensi pihak luar yang menawarkan gagasan
mengatasi tekanan tersebut, walaupun ukuran usaha yang akan
dilakukan sifatnya terbatas dan kecil. Tekanan kebutuhan
ekonomis pula yang menjadi pemicu munculnya semangat
usaha dengan segudang nilai yang dikandung sehingga memperkaya bentuk dan gaya usaha. Ciri yang menonjol dalam usaha
papalele berbentuk nilai seperti kerja keras, sabar, setia, tahan
uji, dan hemat. Nilai-nilai ini kemudian terpolarisasi sebagai
nilai kewirausahaan yang berhubungan dengan perilaku untuk
bersedia menerima resiko usaha, termasuk kerugian. Papalele
 
290
 

Kolaborasi Pengusaha Papalele

menyadari bahwa usaha yang dilakukan, senantiasa berhadapan
dengan situasi untung atau rugi. Keduanya sering dihadapi
sebagai hal yang wajar terjadi. Resiko usaha adalah bagian yang
menyatu dengan usaha, sehingga berusaha seadanya adalah
strategi untuk tetap bertahan hidup.

Membangun Identitas demi Solidaritas Papalele
• Papalele sebagai Pedagang Kecil
Sesungguhnya terdapat perbedaan dan ciri antara papalele
atau pedagang kecil. Tetapi bila sepintas diamati, perilaku
antara papalele sebagai kegiatan usaha dengan pedagang kecil
lainnya cenderung tidak berbeda. Sifat dan fungsi usaha yang
dilakukan tidak berbeda. Dalam pengertian, baik papalele atau
usaha kecil — pedagang eceran dan pedagang kaki lima tidak
terdapat perbedaan dalam fungsi sebagai pedagang. Sama-sama
secara simultan melakukan proses perdagangan, beli dan jual.
Barang dagangan yang dijajakan diorientasikan untuk mendapat
keuntungan. Walaupun bisa saja, keuntungan yang dicari tidak
selalu sama. Ada yang optimal mencari keuntungan yang besar,
dan ada pula mengharapkan keuntungan seadanya. Yang
penting modal usaha untuk hari berikutnya telah tersedia sekaligus kebutuhan keluarga tercukupi.
Demikian pula dengan besaran dan ukuran usaha yang
dikembangkan antara pepalele dan pedagang, keduanya tidak
terlalu mempedulikan ukuran usaha. Yang penting bagi mereka,
ada tersedia sejumlah barang untuk dijual, dan pasti ada sedikit
keuntungan. Wajar jika kemudian keuntungan harian mereka
tergolong kecil. Tetapi dengan penghasilan kecil, tersedia
sedikit uang untuk keperluan rumah tangga, walaupun tidak
jarang pula tidak mencukupi.
 
291 

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

 

Para papalele menyadari bahwa persaingan dalam usaha
saat ini semakin ketat, mereka menyadari resiko. Kompetisi
dalam usaha adalah pilihan, sehingga bagi pelaku usaha yang
tidak siap, akan terseleksi secara alami. Artinya yang bertahan
adalah mereka yang mampu mengelola usaha dan kuat bertahan
dalam kompetisi yang ketat, dan mereka yang tidak siap berkompetisi akan gagal dalam usaha. Karena, persaingan terjadi
dalam berbagai cara, seperti pada produk-produk yang dijual,
bentuk dan kualitas barang, harga barang, dan lokasi usaha.
Masing-masing bersaing dan menentukan cara sendiri-sendiri,
tanpa mempedulikan pihak lain. Dampaknya dengan mudah
terindentifikasi, dari persaingan sehat mengarah ke persaingan
tidak sehat, karena masing-masing pihak berupaya agar usahanya berjalan lancar tanpa ada gangguan. Tetapi papalele lebih
memilih berkolaborasi untuk menjaga agar usaha hari berikutnya dapat terus berlanjut.

Papalele, dalam segala keterbatasan cenderung memilih
bekerjasama. Bagi papalele, persaingan justru mengakibatkan
konflik antar mereka yang berakibat pada kesetimbangan usaha
dan keadilan. Pada posisi ini, nampak adanya perbedaan antara
papalele dan pedagang atau usaha kecil yang lain. Papalele
cenderung menonjolkan atribut lokal sebagai pembeda yang
menegaskan hal tersebut. Ciri yang menonjol tercermin pada
pola relasi dan interaksi yang terbangun di antara mereka:
mencari buah bersama, menentukan harga jual bersama dan
menitipkan jualan. Ketiga ciri ini, menggambarkan perbedaan
mendasar antara papalele dengan pedagang lain dalam hal
berusaha. Ciri ini merupakan cara berjualan untuk menghindari
persaingan, sekaligus menghindari konflik yang bisa terjadi
(lihat bab enam). Yang pasti, pilihan papalele menggunakan
ketiga ciri ini lebih dimaksudkan untuk menciptakan kesetim 
292
 

Kolaborasi Pengusaha Papalele

bangan usaha. Kesetimbangan usaha menghasilkan distribusi
keadilan, baik dalam bentuk menentukan harga jual maupun
variasi barang yang dijual. Suasana itu dengan sendirinya
menghilangkan rasa ketidak-adilan, dan di antara papalele tidak
terjadi kompetisi atau persaingan satu dengan yang lain. Variasi
barang dagangan membuka kesempatan satu sama lain dapat
saling membantu. Ketika pembeli mencari buah tertentu di
salah satu papalele, dan buah yang dimaksud tidak tersedia, dia
akan mengambil dari sesama rekannya.
Kolaborasi untuk keuntungan bersama juga ditunjukkan
papalele melalui cara menitipkan jualan. Penitipan barang ini
dapat dijelaskan seperti berikut: pada saat konsumen ingin
membeli buah jenis tertentu dalam jumlah yang banyak di
papalele A, walaupun stok buah jenis tersebut mencukupi untuk
dijual, papalele A tidak melakukannya. Papalele A akan mengambil sebagian buah jenis yang sama pada papalele B sebagai
teman se lokasi untuk dijual. Keduanya akan mendapat keuntungan dari cari tersebut. Cara yang sama juga akan dilakukan
pula oleh papalele B dan papalele yang lain. Kondisi ini terbalik
dengan pedagang pada umumnya yang mengutamakan barangnya terjual habis. Jika barang yang diminta stok tidak mencukupi, baru kekuarangan barang tersebut ditutupi dengan barang
yang sama milik teman untuk melengkapi permintaan konsumen.
Ketiga ciri yang telah diuraikan ini, merupakan cara menciptakan rasa keadilan antar papalele. Selain itu, merupakan
cara untuk menghindari konflik antar papalele. Penting bagi
papalele, bahwa kolaborasi memungkinkan usaha mereka tetap
bisa berlangsung. Penghasilan diperoleh dan keluarga dapat
memenuhi kebutuhan hidup. Dengan membangun kolaborasi
seperti ini sebagai bentuk kesadaran bersama, sesungguhnya
telah membentuk kesejajaran, keadilan dan tenggang rasa di
 
293 

Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon

 
antara mereka — community sentyment. Bagi papalele, yang
terpenting kebersamaan selalu tercipta, sambil tetap menjaga
relasi.
• Memperkuat Identitas Lokal Papalele

Papalele sebagai salah satu usaha di aras lokal, memiliki
dinamika interaksi sosial yang sederhana. Setidaknya papalele
menjadi inspirasi usaha yang menunjukkan kemampuan mengatasi permasalahan kehidupan ekonomi rumah tangga yang
kompleks. Dalam mengelola usaha yang sederhana itu, nampak
pula busana kebaya sebagai satu identitas. Dilengkapi pula
dengan peralatan pendukung berdagang atiting dan atau barang
rumah tangga bekas pakai, seperti tergambar pada bab tujuh.
Dapat dikatakan bahwa kebaya dan peralatan sebagai satu
sistem simbol sebagai pengatur kehidupan sosial, baik sebagai
peranan-peranan maupun sebagai aturan-aturan yang
memungkinkan eksistensi mereka (Dillistone, 2002:111).
Kebaya merupakan simbol dan gambaran keberadaan
papalele. Kebaya sebagai identitas papalele, akan mudah dikenali dalam kerumunan pasar dan telah menjadi simbol pembeda
antara papalele dan pedagang. Pentingnya identitas pada posisi
tersebut setidaknya untuk menjadi media pembeda antar
individu dengan individu, individu dan kelompok dan antar
kelompok dengan kelompok. Meskipun mengidentifikasi suatu
identitas memang tidak selalu mudah, terkadang kita pun ragu
sebenarnya kita lebih memilih kelompok ini atau itu (Putra,
2010). Sitiran yang sama juga dilakukan Pilokoanu (2010),
bahwa identitas adalah lencana yang menjustifikasi keberadaan
individu dan kelompoknya yang diakui keberadaanya oleh
komunitas itu sendiri atau komunitas lain.
 
294
 

Kolaborasi Pengusaha Papalele

Kebaya tidak hanya menjadi simbol dalam lingkungan
keluarga dan lingkungan sosial, tetapi juga menjadi bagian dari
perilaku papalele. Secara fisik, kebaya dapat dipahami sebagai
suatu kolaborasi antara nilai budaya (tradisi) dalam masyarakat
dan kegiatan ekonomi. Karena, dalam setiap aktivitas papalele
yang mengenakan kebaya identik dengan pengutamaan jiwa
sosial dalam berdagang dan menjadi perekat sosial antar
papalele serta relasi sosialnya. Seperti yang diuraikan pada bab
sebelumnya, bahwa warna pada kain kebaya turut memberikan
makna berbeda. Motif dan corak warna kebaya yang