Pembuatan Wasiat Wajibah Bagi Anak Angkat Yang Beragama Islam Di Hadapan Notaris Menurut Ketentuan Hukum Islam

BAB II

PEMBERIAN HARTA WARISAN KEPADA ANAK ANGKAT MELALUI
WASIAT WAJIBAH MENURUT KETENTUAN HUKUM ISLAM

A. Kedudukan Dan Status Anak Angkat Dalam Pandangan Hukum Islam
Pengangkatan anak dewasa ini sering dilakukan oleh berbagai kalangan dalam
masyarakat. Seseorang dalam mengangkat anak pasti memiliki tujuan yang ingin
dicapai karena pada dasarnya banyak faktor yang mendukung seseorang melakukan
pengangkatan anak, namun lazimnya latar belakang pengangkatan anak dilakukan
oleh orang yang tidak diberi keturunan. Pengangkatan anak dilakukan guna
memenuhi keinginan manusia untuk menyalurkan kasih sayangnya kepada anak yang
dirasakan akan merupakan kelanjutan hidupnya.43
Pengangkatan anak yang dilakukan oleh suatu keluaga untuk melanjutkan dan
mempertahankan garis keturunan dalam suatu lingkungan keluarga yang tidak
mempunyai anak kandung. Selain itu maksud dari pengangkatan anak disini adalah
untuk mempertahankan ikatan perkawinan sehingga tidak timbul perceraian tetapi
saat ini dengan adanya perkembangan motivasi dari pengangkatan anak kini telah
berubah yakni demi kesejahteraan anak yang diangkat.
Pada hakikatnya Islam mendukung adanya usaha perlindungan anak yang
salah satu caranya adalah dengan melakukan pengangkatan anak. Adapun

pengangkatan anak yang diperbolehkan dalam Islam tentu saja yang memiliki arti
43

Ahmad Azhar Basyir, Kawin Campur, Adopsi, Wasiat Menurut Islam, (Bandung: AlMaa’rif, 1972), hlm. 19

31

Universitas Sumatera Utara

32

mengangkat anak semata-mata karena ingin membantu dalam hal mensejahterakan
anak tersebut dan juga memberikan perlindungan tanpa menjadikannya sebagai anak
kandung.
Islam menganjurkan agar umat manusia dapat saling tolong menolong
terhadap sesama manusia. Pengangkatan anak atau disebut juga adopsi merupakan
salah satu cara untuk menolong sesama manusia, karena adopsi dengan pengertian
mengangkat anak orang orang lain untuk diperlakukan sebagai anak sendiri tanpa
mengubah status anak tersebut menjadi anak kandung adalah adopsi yang
diperbolehkan dalam Islam, dan hal itu merupakan perbuatan yang sangat mulia.

Selanjutnya yang perlu diperhatikan dalam pengangkatan anak adalah posisi
anak angkat dalam keluarga tidak sama dengan anak kandung. Maka dari itu tidak
ada hubungan khusus antara anak yang diangkat dengan orang tua angkat mengenai
masalah keperdataan seperti perwalian dan kewarisan. Apabila melihat kembali
kepada tujuan dari pengangkatan anak tersebut, maka pengangkatan anak dilakukan
atas dasar tolong menolong sesama manusia.
Dalam hal pengangkatan anak, orang tua angkat harus mengetahui apa saja
yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Untuk menghindari dari hal-hal yang tidak
diinginkan, Islam mengatur tentang syarat-syarat pengangkatan anak tersebut.
Adapun syarat-syarat pengangkatan anak yang sesuai dengan hukum Islam adalah
sebagai berikut:44

44

Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Tiga Sistem Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995),

hlm. 54

Universitas Sumatera Utara


33

1.

Tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua
kandung dan keluarganya.

2.

Anak angkat tidak berkedudukan sebagai ahli waris dari orang tua angkat,
melainkan tetap sebagai ahli waris dari orang tua kandungnya, demikian juga
orang tua angkat tidak berkedudukan sebagai ahli waris dari anak angkatnya.

3.

Hubungan kehartabendaan antara anak angkat dengan orang tua angkatnya hanya
diperbolehkan dalam hubungan wasiat dan hibah.

4.


Anak angkat tidak boleh mempergunakan nama orang tua angkatnya secara
langsung kecuali sekedar sebagai tanda pengenal atau alamat.

5.

Orang tua angkat tidak dapat bertindak sebagai wali dalam perkawinan terhadap
anak angkatnya.

6.

Antara anak yang diangkat dengan orang tua angkat seharusnya sama-sama
orang yang beragama Islam, agar sianak tetap pada agama yang dianutnya.
Yusuf Qardawi berpendapat bahwasannya adopsi dapat dibenarkan apabila

seseorang yang melaksanakannya tidak mempunyai keluarga, lalu ia bermaksud
untuk memelihara anak tersebut dengan memberikannya perlindungan, pendidikan,
kasih sayang, mencukupi kebutuhan sandang dan pangan layaknya anak kandung
sendiri. Adapun dalam hal nasab, anak tersebut nasabnya tetap pada ayah kandungnya
karena antara anak angkat dengan orang tua angkat tidak ada sama sekali hubungan
nasab yang dapat mempunyai hak seperti anak kandung.45


45

Yusuf Qardhawi, Halal Dan Haram Dalam Islam, (Surakarta: Era Intermedia, 2005), hlm.

319

Universitas Sumatera Utara

34

Motivasi pengangkatan anak dalam Islam adalah lebih kepada memberikan
perlakuan dan menyalurkan rasa kecintaan serta kasih sayang kepada anak,
pemberian

nafkah,

pendidikan,

dan


pelayanan

segala

kebutuhan,

bukan

memperlakukannya sebagai anak kandungnya sendiri dengan segala konsekuensi
hukumnya. Islam mengarahkan kepada manusia agar selalu peduli kepada sesama,
karena sikap peduli sesama merupakan suatu hal yang memang harus selalu
diamalkan, terlebih lagi terhadap anak-anak terlantar dan anak yatim. Islam juga
mengajarkan umatnya untuk selalu menyantuni dan memelihara anak-anak yang tidak
mampu, miskin, terlantar, dimana perbuatan penyantunan dan pemeliharaan anakanak tersebut tidak sampai pada pemutusan hubungan keluarga dan hak-hak orang tua
kandungnya dan pemeliharaan tersebut harus didasarkan pada penyantunan semata. 46
Berbeda dengan pengangkatan anak menurut hukum Islam dimana terdapat
syarat-syarat pengangkatan anak dalam Islam, dikemukakan bahwa pengangkatan
anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak dan orang tua kandung, dan anak
angkat tidak berkedudukan sebagai ahli waris dari orang tua angkat, tetapi ahli waris

dari orang tua kandung, demikian juga sebaliknya, orang tua angkat tidak menjadi
ahli waris dari anak angkat. Selanjutnya, anak angkat tidak diperkenankan memakai
nama orang tua angkatnya secara langsung sebagai tanda pengenal atau alamatnya,
dan juga orang tua kandung tidak bertindak sebagai wali dalam perkawinan anak
angkatnya.47

46
47

Muderis Zaini, Op. Cit., hlm. 50
Ibid., hlm. 54

Universitas Sumatera Utara

35

Tujuan pengangkatan anak antara lain untuk meneruskan keturunan manakala
dalam suatu perkawinan tidak memperoleh keturunan, dimana hal ini merupakan
motivasi yang dapat dibenarkan, dan salah satu jalan keluar yang positif dan
manusiawi terhadap naluri kehadiran seorang anak dalam keluarga setelah bertahuntahun belum dikaruniai anak. Selain itu juga bertujuan untuk menambah jumlah

keluarga, dengan maksud agar si anak angkat mendapat pendidikan yang baik, atau
untuk mempererat hubungan keluarga. Sisi lain juga merupakan suatu kewajiban bagi
orang yang mampu terhadap anak yang tidak mempunyai orang tua, sebagai misi
kemanusiaan dan pengamalan ajaran agama.48
Sebelum ajaran Islam datang, pengangkatan anak telah banyak ditemui
dikalangan bangsa Arab. Pengangkatan anak ini diartikan sebagai pengangkatan anak
orang lain dengan status seperti anak kandung. Menurut sejarah, Nabi Muhammad
sendiri sebelum menerima kerasulan mempunyai seorang anak angkat bernama Zaid
Bin Haristah dalam status budak hadiah dari Khadijah Bin Khuwailid. Kemudian
Nabi memerdekakannya dan diangkat menjadi anak angkat, dan namanya diganti
dengan Zaid Bin Muhammad, dimana di hadapan kaum Quraisy Nabi Muhammad
berkata, “saksikanlah olehmu bahwa anak ini kuangkat menjadi anak angkatku, dan ia
mewarisiku dan aku mewarisinya.” Mengenai pengangkatan anak (tabanni) hanyalah
merupakan salah satu pengabdian kepada Allah tentang adanya karunia Allah yang
telah memberikan anugerah yang begitu banyak. Sehingga pengangkatan anak itupun
tidak dimaksudkan untuk menjadi ahli waris.
48

Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: Toko Gunung Agung, 1997), hlm. 31


Universitas Sumatera Utara

36

Sewaktu ajaran Islam datang yang membawakan penjelasan tentang jumlah
para ahli waris lali-laki dan perempuan dan sebab-sebab mewarisi, maka gugurlah
hak anak angkat mendapatkan hak mewarisi itu hanya berdasarkan keturunan, sebab
hak mewarisi itu hanya berdasarkan keturunan. Sedangkan unsur pengangkatan anak
tidak dapat memaksakan menjadi adanya sebab penilaian nasab.
Ibrahim Husen berpendapat bahwa “anak angat (adopsi) menurut hukum
Islam berdasarkan surat Al-Ahzab ayat 4, 5, dan ayat 37 yang artinya “dan ingatlah,
ketika kamu berkata kepada yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan
kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya. Untuk penegasan tentang kedudukan
anak angkat ini maka dicontohkan oleh salah seorang sahabat yaitu Zaid seperti
ungkapan “kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan dari pada
orang mukmin untuk mengawini isteri-isteri anak-anak angkat mereka. Apabila anakanak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya dari pada isterinya, dan ketetapan
Allah itu pasti terjadi.”49
Mahmud suddin merumuskan inti surat Al-Ahzab ayat 4, 5, dan ayat 37
bahwa Allah tidak menjadikan dua hati dalam dada manusia, anak angkatmu
bukanlah anak kandungmu, panggillah anak angkatmu menurut nama bapaknya,

bekas isteri anak angkat boleh kawin dengan bapak angkat.50 Yang dimaksud dengan
pokok persoalan pertama ialah kalbu (suara hati) yang memberi kesadaran bagi

49

B. Bastian Tafal, Penangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibat-Akibat Hukumnya
Kemudian Hari, (Jakarta: Rajawali, 1983), hlm. 154
50
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

37

manusia, kalbu yang selalu disinari oleh ajaran Allah membawa kesadaran akan
kebenaran dimana kebenaran itu hakikatnya datang dari Allah.
Anak angkat bukanlah anak kandung, dimana tidak mungkin dapat
menyambung nasab secara utuh begitu pula hubungan darah tidak akan pernah
terputus dari oang tua kandungnya, oleh karena itu seharusnya si anak dipanggil
menurut bapak kandungnya, dan oleh karena itu pula tiak ada halangan untuk

menikah antara anak kandung dengan anak angkat atau ayah angkat dengan isteri
anak angkat.
Melihat dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa memungut, mengasuh,
memelihara, dan mendidik anak-anak terlantar demi kepentingan dan kebaikan anak
dengan tidak memutuskan nasab orang tua kandungnya adalah perbuatan yang terpuji
dan dianjurkan oleh ajaran agama Islam, bahkan dalam kondisi tertentu dimana tidak
ada orang lain yang memeliharanya maka bagi si mampu yang menemukan anak
terlantar tersebut hukumnya wajib untuk mengambil dan memeliharanya tanpa harus
memutuskan hubungan nasab dengan orang tua kandungnya.51
B. Hak Mewarisi Bagi Anak Angkat Dalam Pandangan Hukum Islam
Pengangkatan anak sudah dikenal dan berkembang pada zaman jahiliyah,
yaitu zaman sebelum kerasulan. Pada zaman tersebut, apabila seseorang mengangkat
anak, maka otomatis nasabnya disambungkan kepada ayah angkatnya, dan nasab
kepada orang tuanya terputus. Bahkan pada masa itu anak angkat mendapatkan hak
51

Ahmad Kamil & Fauzan, Hukum Perlindungan Dan Pengangkatan Anak Di Indonesia,
(Jakarta: Rajawali Press, 2010), hlm. 121

Universitas Sumatera Utara

38

waris layaknya anak kandung, dan segala urusan yang seharusnya menjadi kewajiban
ayah kandung, teralihkan kepada ayah angkatnya.
Berbeda dengan pengangkatan anak menurut hukum Islam dimana terdapat
syarat-syarat pengangkatan anak dalam Islam, dikemukakan bahwa pengangkatan
anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak dan orang tua kandung, dan anak
angkat tidak berkedudukan sebagai ahli waris dari orang tua angkat, tetapi ahli waris
dari orang tua kandung, demikian juga sebaliknya, orang tua angkat tidak menjadi
ahli waris dari anak angkat. Selanjutnya, anak angkat tidak diperkenankan memakai
nama orang tua angkatnya secara langsung sebagai tanda pengenal atau alamatnya,
dan juga orang tua kandung tidak bertindak sebagai wali dalam perkawinan anak
angkatnya.52
Terdapat dua macam anak angkat, yaitu seorang yang memelihara anak orang
lain yang kurang mampu untuk mendidik dan disekolahkan pada pendidikan formal
dimana seseorang itu memberi biaya pemeliharaan dan pendidikan sehingga anak itu
nantinya menjadi orang berpendidikan dan berguna. Pengangkatan semacam ini suatu
kebaikan, agama Islam pun menganjurkan untuk itu. Hubungan waris mewaris tidak
ada antara anak itu dengan orang yang membiayainya sebagaimana juga tidak ada
hubungan kekeluargaan antara keduanya. Keadaannya hanya dapat saling wasiat
mewasiatkan hartanya apabila salah satu meninggal dunia, yang ketentuannya diatur
dalam hukum wasiat.

52

Muderis Zaini, Op. Cit., hlm. 54

Universitas Sumatera Utara

39

Mengangkat anak menurut adat kebiasaan yang disebut tabanniy atau adopsi,
yakni anak itu dimasukkan dalam keluarga yang mengangkat, sebagai anaknya
sendiri, sehingga mempunyai kedudukan ahli waris. Menurut hukum Islam
pengangkatan itu tidak membawa pengaruh hukum, sehingga status anak itu adalah
anak angkat, bukan anaknya sendiri, karenanya tidak dapat mewarisi dari yang
mengangkat. Juga hartanya tidak dapat diwarisi oleh yang mengangkatnya itu,
kecuali memang anak angkat itu ada hubungan keluarga, seperti anak saudara
(kemenakan). Anak angkat ini dapat mewarisi, karena kedudukannya sebagai anak
saudara, apabila tidak terhalang ahli waris yang lebih dekat.53
Pengangkatan anak dalam Islam bersumber langsung pada Firman Allah SWT
dalam surat Al-Ahzab ayat 4 dan ayat 5. Berdasarkan kedua ayat diatas, jumhur
ulama menyatakan bahwa hubungan antara ayah atau ibu angkat dan anak angkatnya
tidak lebih dari sekedar hubungan kasih sayang. Hubungan antara ayah atau ibu dan
anak angkatnya tidak memberikan akibat hukum yang berkaitan dengan warisan,
nasab dan tidak saling mengharamkan perkawinan. Apabila ayah atau ibu angkat
meninggal dunia, anak angkat tidak termasuk sebagai ahli waris yang berhak
menerima warisan.
Dalam hal nasab, anak angkat tidak bisa memakai nasab ayah atau ibu
angkatnya. Kasus Zaid Bin Harisah yang dinasabkan para sahabat kepada Rasulullah
dengan panggilan Zaid Bin Muhammad dan telah dianggap para sahabat sebagai anak
angkat Nabi Muhammad SAW dibantah oleh ayat diatas, sehingga Zaid tetap
53

Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqih, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 145-146

Universitas Sumatera Utara

40

dinasabkan kepada ayahnya, Haritsah. Bahkan untuk membantah anggapan bahwa
status anak angkat itu sama dengan anak kandung, Allah SWT memerintahkan
Rasullullah SAW mengawini Zainab Binti Jahsy mantan istri Zaid Bin Haritsah.54
Pernyataan Allah SWT terdapat dalam surat Al-Ahzab ayat 37:
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah
melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat
kepadanya."Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang
kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan
menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang
lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri
keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan
dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteriisteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah
menyelesaikan keperluannya daripada isterinya, dan adalah ketetapan allah
itu pasti terjadi.”
Berdasarkan hal tersebut diatas, dapat diketahui bahwa prinsip-prinsip
pengangkatan

anak

dalam

Islam

bertujuan

untuk

memelihara

anak

dan

menyejahterakannya. Dalam kasus Zaid Bin Haritsah, Nabi Muhammad SAW
memeliharanya sekaligus membebaskannya dari perbudakan, dan menjadikannya
hidup layak sebagaimana manusia merdeka. Sedangkan tujuan lainnya adalah ingin
menolong sesama manusia.
Tidak diperbolehkan menisbatkan ayah kepada anak angkat, mengandung arti
bahwa pengangkatan anak dalam Islam bertujuan untuk memelihara dan melestarikan
keutuhan keluarga dan menjaga asal-usul seseorang serta dapat memperkuat tali
persaudaraan dengan orang tua yang diangkat. Kemudian jika dilihat didalam
Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf (h) dinyatakan bahwa “anak angkat adalah
54

Nasroen Haroen, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ikhtiar Baru, 1996), hlm. 84

Universitas Sumatera Utara

41

anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan, dan
sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua
angkatnya berdasarkan keputusan pengadilan.”55
Adapun dalam hal masalah pewarisan, anak angkat hanya berhak menerima
wasiat yang ada kaitannya dengan harta peninggalan orang tua angkatnya,
sebagaimana diatur dalam Pasal 209 ayat (2) yang berbunyi “terhadap anak angkat
yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta
warisan orang tua angkatnya.”56 Hal ini dilakukan karena atas dasar rasa kasih sayang
orang tua terhadap anak, dan juga rasa terima kasih karena semasa hidup orang tua
angkatnya, si anak telah berbuat baik menemani orang tua angkatnya, oleh karena itu
Islam sama sekali tidak menutup kemungkinan anak angkat mendapat bagian dari
harta peninggalan orang tua angkatnya. Melihat ketentuan diatas, jelas bahwa anak
angkat hanya dalam hal pemeliharaannya dan pendidikannya saja yang beralih dari
orang tua kandung kepada orang tua angkat, akan tetapi untuk masalah perwalian
dalam pernikahan dan masalah waris, anak angkat tetap saja berhubungan dengan
orang tua kandungnya, tetapi apabila orang tua angkatnya ingin memberikan warisan
kepada anak angkatnya tersebut, maka pemberiannya dilakukan dengan hibah atau
wasiat wajibah yang ditulis atau diucapkan oleh ayah angkatnya semasa hidupnya. 57

55
Mustofa, Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2008), hlm. 21
56
Roihan A Rasyid, Kompilasi Hukum Islam Dan Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum
Nasional, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 82
57
Ahmad Kamil & Fauzan, Op. Cit., hlm. 102

Universitas Sumatera Utara

42

Islam memperbolehkan mengangkat anak namun dalam batas-batas tertentu
yaitu selama tidak membawa akibat hukum dalam hal hubungan darah, hubungan
wali mewali dan hubungan waris mewaris dari orang tua angkat, dimana tetap
menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya dan anak tersebut tetap memakai nama
dari ayah kandungnya. Pelaksanaan proses pengangkatan anak mengakibatkan
ketentuan hukum baru, dimana kalau terjadi suatu musibah yang mengakibatkan
suatu kematian dari orang tua angkat tersebut, maka akan terjadi suatu perubahan
sosial tentang pembagian harta peninggalan yang ditinggalkan oleh orang tua angkat
atau anak angkat itu sendiri. Kedudukan anak angkat, orang tua angkat pada hukum
waris yang diatur dalam KUH Perdata, hukum waris, dan hukum adat, keduannya
adalah sebagai ahli waris yang dapat saling mewarisi, sedangkan dalam hukum Islam
keduanya tidak termasuk sebagai ahli waris.58
Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa anak angkat atau orang tua
angkat tidak ada hubungan mewarisi. Tetapi sebagai pengakuan mengenai baiknya
lembaga pengangkatan anak, maka hubungan antara anak angkat dengan orang tua
angkatnya dikukuhkan dengan perantara wasiat atau wasiat wajibah. Wasiat
merupakan salah satu cara dalam peralihan harta dari satu orang ke orang lain. Sistem
wasiat ini berjalan sejak zaman dulu, bukan hanya satu agama saja yang mengatur,
tetapi setiap komunitas memiliki pemahaman tentang wasiat, dimana sistem-sistem
wasiat tersebut memiliki perbedaan dalam pelaksanaannya. Semuanya memiliki

58

Arpani, Wasiat Wajibah Dan Penerapannya (Analisis Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam),
Artikel Hakim, (Bontang: Pengadilan Agama Bontang), hlm 3

Universitas Sumatera Utara

43

ketentuan masing-masing bagaimana sahnya pelaksanaan wasiat tersebut. Wasiat
untuk penduduk non muslim yang tidak tunduk pada hukum adatnya diatur oleh KUH
Perdata, sedangkan untuk umat muslim diatur dalam Kompilasi Hukum Islam.
Kompilasi hukum Islam yang sekarang menjadi acuan oleh pengadilan agama
bahwa anak angkat berhak memperoleh wasiat wajibah dengan syarat tidak boleh
lebih dari 1/3 (sepertiga) harta. Menurut Pasal 209 ayat (1) dan (2) KHI, anak angkat
ataupun orang tua angkatnya berhak mendapatkan wasiat wajibah sebanyakbanyaknya 1/3 (sepertiga), apabila anak angkat atau orang tua angkatnya tidak
menerima wasiat, maka dengan demikian wasiat wajibah adalah merupakan jalan
keluar dari pada anak angkat atau orang tua angkat untuk mendapatkan bagian dari
harta peninggalan tersebut. Namun masalah ini banyak masyarakat umum yang
belum mengetahui dan belum memahami kedudukan wasiat wajibah yang
sebenarnya.
Menurut ketentuan pasal tersebut di atas, bahwa harta warisan seorang anak
angkat atau orang tua angkat harus dibagi sesuai dengan aturannya yaitu dibagikan
kepada orang-orang yang mempunyai pertalian darah (kaum kerabat) yang menjadi
ahli warisnya. Berdasarkan aturan ini orang tua anak atau anak angkat tidak akan
memperoleh hak kewarisan, karena dia bukan ahli waris. Dalam KHI orang tua
angkat secara serta merta dianggap telah meninggalkan wasiat (dan karena itu diberi
nama wasiat wajibah) maksimal sebanyak 1/3 (sepertiga) dari harta yang ditinggalkan
untuk anak angkatnya, atau sebaliknya anak angkat untuk orang tua angkatnya,
dimana harta tersebut dalam sistem pembagiannya bahwa sebelum dilaksanakan

Universitas Sumatera Utara

44

pembagian warisan kepada para ahli warisnya, maka wasiat wajibah harus ditunaikan
terlebih dahulu.
Peraturan ini dianggap baru apabila dikaitkan dengan aturan di dalam fiqih
bahkan perundang-undangan kewarisan yang berlaku diberbagai dunia. Al-Qur’an
menolak penyamaan hubungan karena pengangkatan anak yang telah berkembang di
dalam adat masyarakat bangsa arab, waktu itu karena ada hubungan pertalian darah.
Sedangkan dalam masyarakat muslim Indonesia sering terjadi adanya pengangkatan
anak terutama bagi mereka yang di dalam perkawinannya tidak dikaruniai keturunan.
Pengangkatan anak yang biasanya dikukuhkan dengan aturan adat ini, sering
menimbulkan kesulitan, perasaan tidak puas, bahkan tidak jarang adanya tuduhan
tidak adil ketika salah satu pihak meninggal dunia.59
Hubungan pengangkatan anak dalam hal ini sering terjadi anak angkat tidak
memperoleh harta sedikitpun karena orang tua angkatnya tidak sempat berwasiat atau
tidak tahu bahwa anak angkatnya tidak berhak memperoleh warisan (menurut fiqh)
namun sebaliknya sebagian orang tua angkat menempuh dengan cara hibah, yang
kadang-kadang juga tidak mulus karena sesudah hibah dilakukan terjadi pertengkaran
dan ketidakakuran antara anak dengan orang tua angkat tersebut. Untuk memenuhi
kebutuhan dan mengatasi kesulitan yang terjadi ditengah masyarakat maka
diberlakukanlah peraturan mengenai hukum wasiat wajibah karena hubungan
pengangkatan anak dimasukkan ke dalam KHI yang merupakan dasar hukum bagi
masyarakat muslim di Indonesia.60

59
60

Ibid.
Ibid., hlm. 4

Universitas Sumatera Utara

45

Menurut ketentuan ajaran syari’ah, keberadaan anak angkat itu tidak dapat
dipungkiri, akan tetapi sebatas untuk memberi kesejahteraan dan pendidikan kepada
anak. Hal-hal yang tidak diperkenankan adalah memutuskan hubungan darah antara si
anak kandung dengan orang tua kandung, sehingga segala akibat dari hak mewarisi
gugur karena tidak adanya nasab. Namun demikian sebaiknya anak angkat diberikan
wasiat, akan tetapi apabila tidak ada wasiat maka anak angkat tersebut akan mendapat
wasiat wasibah sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) bagian dari harta warisan orang
tua angkatnya.61 Dengan demikian bahwa anak angkat tetaplah anak dan tidak
menyebabkan adanya sebab pernasaban yang merupakan salah satu adanya hak
mewarisi.
C. Kaidah Dasar Pelaksanaan Wasiat Wajibah Bagi Anak Angkat Dalam
Ketentuan Hukum Islam
Wasiat menurut bahasa adalah washiyyatussyaia aw syiihi artinya (aku
menyampaikan sesuatu).62 Wasiat juga diartikan menjadikan harta untuk orang lain
washaitu bi kadzaa au aushaitu (aku menjadikan sesuatu itu untuknya). Washaya
yang merupakan bentuk jamak dari kata washiyyah mencakup wasiat harta,
sedangkan iisha’, wishaayah, dan washiyyah dalam istilah ulama fiqh diartikan
kepemilikan yang disandarkan pada keadaan atau masa setelah kematian seseorang
dengan cara tabarru’ atau hibah, baik sesuatu yang akan dimiliki tersebut berupa
benda berwujud atau hanya sebuah nilai guna barang.
61

Achmad Rustandi & Muchjidin Effendi, Komentar Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989,
Tentang Peradilan Agama Dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Nusantara Press, 1991), hlm. 27
62
AW Munawir, Kamus Al-Munawir, Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya, Pustaka Progresif,
2002), hlm. 1563

Universitas Sumatera Utara

46

Istilah-istilah tersebut menjadi berbeda dengan kepemilikan-kepemilikan
benda munjazah (yang langsung bisa dilaksanakan), seperti penjualan dan hibah, juga
kepemilikan nilai guna seperti sewa-menyewa, dan yang disandarkan kepada keadaan
selain kematian seperti sewa-menyewa yang disandarkan kepada waktu mendatang,
misalnya diawal bulan depan atau yang lainnya.63
Menurut

istilah

wasiat

berarti

pesan,

nasehat

dan

juga

diartikan

mensyari’atkan.64 Wasiat menurut istilah syaria’at adalah hibah dari seseorang
kepada orang lain berupa barang, hutang, manfaat dengan ketentuan pihak yang
diberi wasiat berhak memiliki pemberian tersebut setelah kematian pemberi wasiat.65
Orang yang menyampaikan pesan diwaktu dia masih hidup untuk dilaksanakan
sesudah wafat.66
Menurut syafi’iyyah wasiat adalah suatu pemberian secara suka rela yang
pelaksanaannya dilakukan setelah si pewasiat meninggal baik disebutkan maupun
tidak waktu pelaksanaannya wasiat tidak ada perbedaan yakni tetap pelaksanaannya
dilakukan setelah si pewasiat meninggal dunia. Menurut ulama hanabilah wasiat
adalah perintah untuk mentasarufkan sesuatu setelah orang yang berwasiat
meninggal, seperti wasiatnya seseorang kepada orang lain untuk merawat anaknya
yang masih kecil atau mengawini putrinya atau memisahkan 1/3 dari hartanya.67

63

Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid.X, Penerjemah Abdul Hayyie AlKattani, (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm. 154
64
Sidik Tono, Kedudukan Wasiat dalam Sistem Pembagian Harta Peninggalan, (Jakarta:
Kementerian Agama Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Direktorat Pendidikan
Tinggi Islam, 2012), hlm. 43
65
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 5, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009), hlm. 588
66
Ali Hasan, Hukum Warisan Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2007), hlm. 19
67
Abdur Rahman, Al-Zairy, Fiqh Ala Madzahibi Al-Arba’ah, Jilid III, (Libanon Bairut:
Daral-Kitab Al-Alamiyyah, 1990), hlm. 277

Universitas Sumatera Utara

47

Menurut Suparman Usman wasiat wajibah adalah wasiat yang pelaksana
annya tidak dipengaruhi atau tidak bergantung kepada kemauan atau kehendak yang
meninggal dunia. Wasiat ini tetap harus dilaksanakan, baik diucapkan atau tidak
diucapkan, baik dikehendaki maupun tidak dikehendaki oleh si yang meninggal
dunia.68 Jadi pelaksanaan wasiat tersebut tidak memerlukan bukti bahwa wasiat
tersebut diucapkan atau ditulis atau dikehendaki, tetapi pelaksanaannya didasarkan
kepada alasan-alasan hukum yang membenarkan bahwa wasiat tersebut harus
dilaksanakan.69 Harta peninggalan dalam Islam disebut tirkah, sebab harta
peninggalan sebagai obyek dari keseluruhan sistem kewarisan dalam hukum Islam
lebih mudah dikenal dalam bahasa hukum di Indonesia.
Harta peninggalan adalah segala suatu benda atau yang bernilai kebendaan
yang dapat dimiliki, yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang
dibenarkan oleh syara. Hukum kewarisan Islam menempuh jalan tengah sebagai jalan
alternatif anatara memberi kebebasan kepada seseorang untuk memindahkan harta
peninggalan dengan jalan wasiat kepada orang yang dikehendakinya.70
Beberapa pengertian wasiat di atas apabila dicermati pada prinsipnya tidak
terdapat perbedaan substansial akan tetapi antara satu dengan lainnya saling
melengkapi, karena apabila dikristalkan terdapat beberapa unsur. Pertama, wasiat itu
merupakan bentuk perikatan yang berkaitan dengan harta benda atau manfaatnya.

68

Suparman Usman & Yusuf Somawinata, Fiqih Mawarits Hukum Kewarisan Islam,
(Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), hlm. 163
69
Ibd.
70
Sidik Tono, Op. Cit., hlm. 28-37

Universitas Sumatera Utara

48

Kedua, wasiat itu perbuatan yang dilakukan atas inisiatif atau kehendak sendiri secara
sukarela. Ketiga, adanya perpindahan hak kepemilikan dari orang yang berwasiat
kepada yang menerima wasiat. Keempat, pelaksanaan perpindahan hak kepemilikan
terjadi setelah matinya orang yang berwasiat.71 Substansi wasiat di atas berarti juga
mengandung pernyataan kehendak oleh seseorang mengenai apa yang dilakukan
terhadap hartanya sesudah meninggal kelak, akan tetapi pelaksanaan wasiat itu harus
tunduk kepada beberapa syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi.72
Dalam hukum perdata Islam hanya kabul rukun wasiat, karena jika disatukan
antara ijab dan kabul itu terlalu mengada-ngada, sebab bagaimana mungkin ijab dan
kabul dilaksanakan seandainya penerima wasiat tidak ada ditempat, misalnya dalam
keadaan si pewasiat ditengah perjalanan, atau si pewasiat meninggal mendadak.73
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 194 menyatakan bahwa syarat sesorang dapat
berwasiat adalah:
(1) Orang yang telah berumur skurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa
adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain
atau lembaga.
(2) Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari si pewasiat.
(3) Pemilik terhadap harta benda seperti dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia.
Pasal 195 Kompilasi Hukum Islam menjadi syarat dalam melaksanakan
wasiat, dimana wasiat:

71

Ibid., hlm. 46
Ibid., hlm. 47
73
Suwardi K. Lubis & Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,
2008), hlm. 46
72

Universitas Sumatera Utara

49

(1) Wasiat dilakukan secara lisan di hadapan dua orang saksi, atau tertulis di
hadapan dua orang saksi di hadapan notaris.
(2) Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga (1/3) dari harta
warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujuinya.
(3) Wasiat kepada ahli waris hanya berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris.
(4) Pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan (3) pasal ini dibuat secara lisan di
hadapan dua orang saksi atau tertulis di hadapan dua orang saksi atau disaksikan
di hadapan notaris
Pasal 196 termasuk juga kedalam syarat wasiat yang berbunyi “dalam wasiat
baik secara tertulis maupun secara lisan disebutkan dengan tegas dan jelas siapa atau
siapa-siapa atau lembaga apa yang ditunjuk untuk menerima harta benda yang
diwasiatkan.”
Wasiat merupakan salah satu kewenangan absolut Pengadilan Agama menurut
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun
2009.74
Fakta dan kenyataannya, belum ada hukum materiil dalam bentuk undangundang yang mengaturnya. Satu-satunya peraturan yang mengatur wasiat adalah
Kompilasi Hukum Islam (KHI), termuat dalam instrumen hukum berupa Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1991. Kompilasi Hukum Islam yang mengatur wasiat dalam
Pasal 194-209 dipandang sebagai hukum materiil dan diberlakukan di peradilan
dalam lingkungan peradilan agama.75

74
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2001), hlm. 148
75
Hartini & Yulkarnain Harahap, Pengaruh Kompilasi Hukum Islam Dalam Penyelesaian
Perkara Kewarisan Pada Pengadilan Agama Di Daerah Istimewa Yogyakarta, (Mimbar Hukum
Nomor 35, V, 2000), hlm. 143

Universitas Sumatera Utara

50

Kewenangan absolut pengadilan ini tidak membatasi para pihak untuk
melakukan pilihan hukum untuk melakukan pembuatan wasiat di notaris yang di
inginkannya. Perlu di pahami bahwa kewenangan pengadilan ini hanya dipergunakan
jika terjadi sengketa atau permasalahan antara para pihak. Sepanjang tidak ada
permasalahan antara para pihak, maka para pihak boleh melakukan hubungan hukum
dengan notaris terkait pembuatan akta wasiat wajibah ini, dengan kata lain para pihak
bebas melakukan pilihan hukum sepanjang tidak ada permasalahan.
Selain mengatur wasiat biasa, KHI juga mengatur dan mengintrodusir hal baru
dalam khasanah hukum Islam di Indonesia yaitu wasiat wajibah. Sayangnya, KHI
tidak memberikan definisi dalam Ketentuan Umum tentang wasiat wajibah tersebut.
Secara teori, wasiat wajibah didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan penguasa
atau hakim sebagai aparat negara untuk memaksa atau memberi putusan wajib wasiat
bagi orang yang telah meninggal dunia yang diberikan kepada orang tertentu dalam
keadaan tertentu.76
KHI mempunyai ketentuan tersendiri tentang wasiat wajibah dan berbeda
dalam pengaturannya dari negara-negara yang lain. Konsep KHI adalah memberikan
wasiat wajibah terbatas pada anak angkat dan orang tua angkat. Sementara negaranegara lain seperti Mesir, Suriah, Maroko, Tunisia melembagakan wasiat wajibah
untuk mengatasi persoalan cucu yang orang tuanya meninggal lebih dahulu daripada

76

Abdul Manan, Beberapa Masalah Hukum Tentang Wasiat Dan Permasalahannya Dalam
Konteks Kewenangan Peradilan Agama, (Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam Nomor 38 Tahun
IX, 1998), hlm. 23

Universitas Sumatera Utara

51

kakek atau neneknya.77 Melihat latar belakang penyusunan KHI, dapat diperoleh
beberapa alasan tentang penetapan wasiat wajibah terbatas pada anak dan orang tua
angkat yaitu:
1.

Pertama, para ulama belum dapat menerima konsep anak angkat sebagai ahli
waris sebagaimana berlaku dalam hukum adat.

2.

Kedua, pelembagaan ahli waris pengganti terhadap cucu yang ditinggal
meninggal lebih dahulu oleh orang tuanya, dipandang lebih adil dan lebih
berkemanusiaan bagi masyarakat.78
Pengaturan wasiat wajibah dalam KHI secara eksplisit dijelaskan dalam Pasal

209. Pasal tersebut menunjukkan bahwa ketentuan pemberian wasiat wajibah dalam
KHI hanya diperuntukkan bagi anak angkat yang orang tua angkatnya meninggal
dunia atau sebaliknya diberikan kepada orang tua angkat dari anak angkatnya yang
meninggal dunia. Sekalipun secara normatif telah ditentukan demikian, namun dalam
perkembangannya ternyata wasiat wajibah diberikan kepada pihak-pihak di luar anak
angkat dan orang tua angkat. Berdasarkan beberapa yurisprudensi, ternyata wasiat
wajibah juga diberikan kepada ahli waris yang beragama non muslim. Berikut
beberapa putusan yang memunculkan kontroversi di kalangan praktisi dan akademisi:
a.

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 368.K/AG/1995. Pada tingkat banding,
Pengadilan Tinggi Agama Jakarta menetapkan seorang ahli waris non muslim

77

Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam Dan Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum
Nasional, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1999), hlm. 88-89
78
Hartini, Wasiat Wajibah Dalam Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Mimbar Hukum
Nomor 37 Tahun II, 2001), hlm. 189

Universitas Sumatera Utara

52

(anak perempuan kandung) berhak atas wasiat wajibah yang jumlahnya ¾ dari
bagian seorang anak perempuan ahli waris. Mahkamah Agung mengubah jumlah
harta yang diperoleh anak kandung non muslim dari ¾ menjadi sama dengan
bagian yang diperoleh seorang ahli waris anak perempuan.
b.

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 51.K/AG/1999. Dalam kasus ini
Mahkamah Agung memutuskan ahli waris non muslim (dalam kapasitasnya
sebagai ahli waris pengganti) berhak mendapatkan harta warisan pewaris
berdasarkan wasiat wajibah yang kadar bagiannya sama dengan bagian ahli waris
lain yang seagama.
Dalam 2 (dua) putusan ini terdapat perbedaan dalam hal dari mana bagian

harta untuk pelaksanaan wasiat wajibah diambil. Pada putusan pertama bagian wasiat
wajibah diambil dari harta peninggalan pewaris, sedangkan pada putusan kedua,
bagian wasiat wajibah untuk ahli waris non muslim diambil dari harta warisan.79
Pada saat ini mengenai lembaga yang berwenang mengadili masalah wasiat
wajibah ini adalah pengadilan agama khususnya bagi yang beragama muslim, dan
selain non muslim masalah sengketa pemberian wasiat yang bagi orang non muslim
dikenal dengan istilah testament maka penyelesaiannya diserahkan kepada pengadilan
negeri setempat. Bentuk kaidah hukum yang digunakan oleh para hakim dalam

79

Irwan Rosman, Telaah Yuridis Terhadap Penerapan Ketentuan Wasiat Wajibah Dalam
Putusan Mahkamah Agung RI Reg No.51K/AG/1999, Putusan Mahkamah Agung RI Reg
No.368.K/AG/1995, Tesis, (Yogyakarta: Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, 2002), hlm.
35

Universitas Sumatera Utara

53

menentukan pemberian wasiat wajibah adalah menggunakan kaidah wasiat umum
sebagaimana yang ditentukan dalam KHI.
Penerapan kaidah wasiat yang diatur KHI dilakukan dengan dua alasan, yaitu
alasan pertama adalah untuk mengisi kekosongan hukum.80 Argumentasi ini dibangun
atas dasar bahwa wasiat wajibah merupakan sistem pemberian wasiat yang diatur
oleh negara dan memiliki dasar hukum melalui KHI, namun di saat yang sama KHI
tidak mengatur secara rinci tentang wasiat wajibah itu sendiri. Untuk mengatasi hal
tersebut, maka hakim menggunakan aturan wasiat secara umum sebagai dasar
putusan pemberian wasiat wajibah.81
Alasan yang kedua terkait penerapan kaidah hukum wasiat pada wasiat
wajibah adalah demi untuk mewujudkan rasa keadilan bagi masyarakat. Pemberian
wasiat wajibah khususnya kepada anak angkat maupun orang tua angkat dapat
mewujudkan keadilan terutama bila ada hubungan emosional yang sangat kuat antara
anak angkat dengan orang tua angkatnya, sehingga akan menjadi sangat tidak adil
bila anak angkat tidak mendapatkan bagian atas harta waris yang dimiliki oleh orang
tua angkatnya.82
Kaidah hukum wasiat umum yang berlaku pada wasiat wajibah adalah
ketentuan tahapan yang harus dilalui sebelum dilakukan pembagian wasiat
sebagaimana yang diatur dalam Al Qur’an Surat An-Nisa ayat 11 dan ayat 12 serta

80

Nugraheni, Ilhami, & Harahap, Pengaturan Dan Implementasi Wasiat Wajibah, (Mimbar
Hukum Volume 22, Nomor 2, Juni 2010), hlm. 316
81
Ibid.
82
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

54

Pasal 175 ayat (1) KHI. Ketentuan tersebut mengatur bahwa harta peninggalan
pewaris harus terlebih dahulu dikurangi dengan biaya pengurusan jenazah pewaris,
biaya pengobatan, dan hutang-hutang pewaris, selanjutnya barulah ditunaikan wasiat
dari pewaris apabila pewaris meninggalkan wasiat atau dalam bentuk wasiat wajibah.
Hal penting untuk dicermati mengenai penerapan kaidah wasiat umum
terhadap wasiat wajibah adalah penentuan bagian bagi penerima wasiat. Pada
dasarnya, bila melihat pada ketentuan mengenai wasiat di dalam KHI, besar bagian
yang diperbolehkan untuk diberikan melalui wasiat adalah paling banyak sepertiga
dari harta warisan, dengan pengecualian dapat diberikan lebih melalui persetujuan
para ahli waris lainnya.
Ketentuan maksimal sepertiga ini sangat dimungkinkan untuk disimpangi.
Hakim dapat memutuskan untuk memberikan wasiat wajibah lebih besar dari
sepertiga bagian harta waris pada penerima wasiat wajibah, baik itu anak angkat
maupun orang tua angkat. Penyimpangan ini dilakukan atas dasar untuk memenuhi
rasa keadilan.83 Pertimbangan mengenai rasa keadilan diserahkan pada masingmasing duduk perkara dan fakta hukum yang ditemukan di pengadilan. Salah satu
contoh kasus yang dapat digunakan adalah apabila secara nyata anak angkat berperan
besar dalam pengembangan harta pewaris selama hidupnya sehingga apabila hanya
diberikan sebesar sepertiga bagian, berdasarkan rasa keadilan dinilai tidak mencukupi
dan tidak seimbang dengan segala jerih payah dan usaha yang telah dilakukan oleh
anak angkat tersebut.
83

Ibid., hlm. 317

Universitas Sumatera Utara

55

Selain itu, penetapan bagian penerima wasiat wajibah dapat melebihi
ketentuan maksimal sepertiga sepanjang memenuhi syarat tertentu, yaitu bahwa
pengambilan

putusan

tersebut

dilakukan

dengan

menggunakan

metodologi

pengambilan putusan yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan.84 Hakim
memiliki

kewenangan

untuk memutuskan

pembagian lebih dari sepertiga

sebagaimana yang ditentukan di dalam KHI dengan tetap berkewajiban untuk
memberikan alasan dan pertimbangan hukum yang tepat sesuai dengan fakta hukum
yang ditemukan. Dalam metode berijtihad memang dikenal adanya penyimpangan
dari hukum umum, yaitu metode istihsan. Istihsan adalah cara menentukan hukum
dengan jalan menyimpang dari ketentuan yang sudah ada demi keadilan dan
kepentingan sosial.

84

Ibid.

Universitas Sumatera Utara