EKOFILOSOFI “DEEP ECOLOGY”: MENGGUGAT PARADIGMA PEMBANGUNAN
Daru Purnomo
1
A. Masih Adakah Kepedulian Lingkungan Hidup
Seiring dengan berakhirnya abad ke 20, masalah lingkungan menjadi hal yang utama. Serangkaian masalah-masalah global yang membahayakan biosfer dan
kehidupan manusia dalam bentuk-bentuk yang sangat mengejutkan yang dalam waktu dekat akan segera menjadi tak dapat dikembalikan lagi irreversible.
Laporan worldwacht institute : State of the world,1997
Setiap negara dan bangsa di setiap belahan bumi manapun berlomba – lomba dan berusaha keras untuk mempertahankan hidup dengan mengelola, memanfaatkan,
dan menciptakan kemakmuran yang merata demi berlangsungnya kesejahteraan hidup umat manusia. Pengeksplotasian sumber daya alam seperti gas, minyak bumi, aneka
tambang, sektor laut, dan sumber daya hayati yang nota bene tidak dapat diperbaharui lagi menjadi suatu ancaman dan menjadi hal yang diperebutkan oleh umat manusia
demi alasan di atas. Dan hal ini menjadi mengerikan bila tidak diatur dengan kebijakan yang tepat sehingga menjadi suatu isu penting bagi semua bangsa untuk
memikirkannya demi kelangsungan ras manusia di muka bumi ini. Satu hal yang sekarang nampak didepan mata kita, adalah rusaknya tatanan lingkungan yang
disebabkan oleh kebijakan yang salah, dan entah kapan manusia menyadarinya untuk bisa lepas dari penghancuran peradaban yang semakin mengancam.
Dalam tulisan ini akan mencoba melakukan perenungan kembali tentang bagaimana seharusnya memahami kehidupan agar eksistensi mahkluk hidup tetap
berlangsung di muka bumi ini. Laporan worldwacht institute : State of the world di atas, sebagaimana dikutip oleh Fritjof Capra Capra, 1997 : 11 menandai babakan baru
bagaimana kehidupan harus dipahami, dijelaskan, dan dipecahkan, termasuk di dalamnya masalah ekosistem. Apabila pada abad-abad sebelumnya kehidupan
dipahami sebagai krisis tunggal yang parsial, atomistik dan mekanistik, maka dalam
pemahaman Capra, saatnya sekarang kehidupan dipahami secara holistic ekologis,
1
Staff pengajar Program Studi Sosiologi FISIPOL UKSW Salatiga
dengan menempatkan manusia sebagaimana dalam suatu tatanan ekosistem. Dalam
pemikiran Capra, masalah-masalah dalam kehidupan tidak dapat dimengerti secara
terpisah. Masalah kehidupan merupakan masalah sistemik, artinya bahwa kehidupan
terdiri dari komponen-komponen yang semuanya saling terkait dan tergantung satu dengan yang lain. Dicontohkan, kestabilan populasi dunia hanya mungkin bila
kemiskinan dikurangi di seluruh dunia. Kepunahan binatang dan spesies tumbuhan khususnya di Negara-negara miskin dan sedang berkembang dalam skala besar-
besaran akan terus berlanjut, selama kemiskinan sebagai akibat jerat hutang yang bertumpuk-tumpuk tidak terselesaikan.. Kelangkaan sumberdaya dan degradasi
lingkungan ditambah dengan pertambahan pesat populasi menimbulkan kerusakan komunitas-komunitas lokal, kekerasan etnis dan suku Capra, 1997 : 12.
Masalah lingkungan hidup menjadi agenda politik dunia dimulai sejak tahun 1980-an, dengan melahirkan paradigma pembangunan seperti yang sekarang dikenal
dengan istilah pembangunan berkelanjutan Sustainable Development. Mula
pertama istilah ini muncul dalam World Conservation Strategy dari the International Union for the Conservation of Natur 1980, lalu dipakai oleh Lester R. Brown dalam
buku Building a Sustainable Society 1981. Istilah tersebut kemudian sangat terkenal melalui laporan World Commission on Environment and Development: “Masa Depan
Kita Bersama” 1987. Paradigma pembangunan berkelanjutan untuk kemudian diadopsi sebagai agenda politik pembangunan semua negara di dunia melalui
Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janerio 1992. Paradigma ini merupakan babakan baru dalam startegi pembangunan, dimana orientasi perspektif ekologis
ditempatkan dalam dimensi penting pembangunan. Namun sejarah mencatat, hingga dewasa ini agenda politik pembangunan
berkelanjutan belum sepenuhnya berjalan baik. Problem-problem serius seperti kelangkaan sumberdaya alam, pencemaran sungai, pencemaran udara, kebakaran
hutan, pencurian kayu, kerusakan terumbu karang, pencemaran pesisir dan laut, perdagangan satwa liar menunjukkan betapa terabaikannya aspek lingkungan hidup
dalam keseluruhan proses pembangunan. Hal ini belum termasuk gangguan penyakit dan menurunnya kualitas kehidupan manusia akibat kerusakan dan pencemaran
lingkungan. Kegagalan implementasi paradigma pembangunan berkelanjutan demikian
itu menurut Sonny Keraf Keraf, 2001 : 1 disebabkan oleh tidak dipahaminya paradigma itu secara benar, dan di dalam kenyataannya pembangunan selama ini
telah kembali lagi ke arah paradigma developmentalism.
Selama ini dunia cenderung menganut teori pertumbuhan modern dan teori modernisasi
relative yang
optimistic, sehingga
tidak ambil
pusing dan
mempermasalahkan tentang isu-isu kelangkaan dan kerusakan lingkungan tersebut. Hal ini berbeda dengan kelompok klasik yang mengganggap masalah kelangkaan dan
kerusakan lingkungan sebagai keprihatinan utama dan harus ditangani serius apabila tidak ingin peradaban manusia menjadi hancur. Dalam perkembangannya,
membuktikan bahwa kelangkaan absolute benar-benar ada, dan ini tentunya akan mengakibatkan “batas pertumbuhan” Brookfield, 1975. Memang yang jadi masalah
adalah membuktikan batas seperti apa untuk pertumbuhan macam apa, dan dalam perspektif waktu yang bagaimana kelangkaan itu terjadi. Pertanyaan-pertanyaan
tersebut masih dipersoalkan oleh kelompok optimistic, walaupun mungkin telah dijawab dengan cara yang tidak memuaskan, namun tidak ada alas an untuk mengingkari,
menutupi, ataupun mengabaikan bahwa isu kelangkaan dan kerusakan lingkungan adalah nyata. Transisi dari developmentalism yang antroposentris ke paradigma
pembangunan berkelanjutan yang ekosentris hingga sekarang belum kelihatan dan masih sebatas wacana saja.
Menurut Sonny Keraf Keraf, 2001, 2, paradigma pembangunan berkelanjutan adalah soal moral politik pembangunan. Dalam hal ini paradigma
pembangunan bukanlah sebuah konsep tentang pentingnya lingkungan hidup, dan bukan pula tentang pembangunan ekonomi, tetapi sebagai etika politik tentang konsep
pembangunan secara keseluruhan dan bagaimana pembangunan itu seharusnya dijalankan. Kekeliruan pemahaman atau bias pemahaman akan hal ini menyebabkan
cita-cita moral yang terkandung di dalamnya tidak akan terwujud. Lalu, mengapa pula krisis ekologi semakin menjadi-jadi seperti sekarang ini ? karena selain hal di atas,
ternyata pembangunan yang dijalankan selama ini tetap saja mengacu pada pertumbuhan ekonomi sebagaimana diajarkan oleh paham developmentalism.
Akibatnya, terjadilah pengurasan dan eksploitasi sumberdaya alam secara habis- habisan tanpa memikirkan bagaimana untuk generasi yang akan datang.
Bias pemahaman paradigma pembangunan berkelanjutan dan jebakan orientasi pembangunan yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi dengan implikasi
timbulnya ketidakadilan bagi lingkungan hidup menjadi landasan dalam penulisan ini.
Dengan menggunakan perspektif ekofilosofi Deep Ecology, tulisan ini berusaha
memberikan penjelasan pemikiran bagaimana seharusnya lingkungan hidup menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proses pembangunan kehidupan manusia secara
utuh.
B. Ekofilosofi Deep Ecology : Cara Baru Memandang Lingkungan