Krisis Lingkungan : Antroposentris VS Ekosentris

Berbeda “ekologi dangkal” yang bersifat antropocentris, atau berpusat pada manusia, di mana manusia berada di atas atau di luar alam — manusia adalah sumber nilai dan alam dipandang bersifat instrumental atau hanya memiliki nilai guna. Ekologi ‘dalam’ tidak memisahkan manusia atau apapun dari lingkungan alamiahnya. Benar- benar melihat dunia bukan sebagai kumpulan objek-objek yang terpisah tetapi sebagai suatu jaringan fenomena yang saling berhubungan dan saling tergantung satu sama lain secara fundamental system. Ekologi ‘dalam’ mengakui nilai intrisink semua mahluk hidup dan memandang manusia tidak lebih dari satu untaian dalam jaringan kehidupan. Menurut Arne Naess, Dikutip oleh Sessions, 1985 : 74, ekologi ‘dalam’ dicirikan oleh pertanyaan-pertanyaan paradigmatik, yakni pertanyaan-pertanyaan mendalam tentang fondasi-fondasi utama pandangan dunia dan cara hidup yang bersifat modern, ilmiah, industrial, berorientasi pertumbuhan dan materialistis. Semua pertanyaan mendasar ini kembali dipertanyakan dari perspektif ekologis : dari perspektif hubungan kita satu sama lain, dengan generasi-generasi masa depan dan dengan jaringan kehidupan di mana kita adalah bagiannya. Ekologi ‘dalam’ sebagaimana dinyatakan Capra Capra, 1997 : 18, pada akhirnya tidak lain adalah kesadaran spiritual dan religius, yaitu ketika jiwa manusia dimengerti sebagai pola kesadaran di mana individu merasakan sesuatu rasa memiliki, dari rasa keberhubungan kepada kosmos sebagai suatu keseluruhan. Menutup uraian di atas, dapatlah dinyatakan bahwa paradigma lama, Ekologi ‘Dangkal’ didasarkan pada nilai-nilai antroposentris berpusat pada manusia, sedangkan paradigma baru, yakni Ekologi ‘Dalam’ didasarkan pada nilai-nilai ekosentris berpusat pada bumialam atau ekosfer. Ekologi ‘dalam’ merupakan padangan dunia yang mengakui nilai-nilai yang melekat pada kehidupan nonmanusia, mengakui eksistensi semua makhluk. Semua mahluk hidup adalah anggota komunitas-komunitas ekologis yang terkait bersama dalam suatu jaringan yang saling bergantung. Terganggunya salah satu anggota komponen komunitas akan menyebabkan terganggunya system secara keseluruhan.

C. Krisis Lingkungan : Antroposentris VS Ekosentris

Krisis lingkungan hidup sebagai tantangan global umat manusia pada awal abad 21 telah menggugah kesadaran baru untuk merenungkan kembali tentang cara memperlakukan alam dan lingkungan sebagai tempat serta sumber kehidupan. Alih- alih demi pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusia yang terjadi justru krisis lingkungan hidup yang pada akhirnya umat manusia itu sendiri yang akan menjadi korbannya. Berbagai bencana: perang, banjir, penyakit, kelaparan, konflik, yang selalu mewarnai dalam setiap pemberitaan menjadi bukti bahwa dampak dari krisis lingkungan sudah terjadi dan ada didepan mata kita. Upaya meningkatkan kesejahteraan umat manusia di satu sisi dan krisis lingkungan hidup di pihak yang lain, mengajak untuk memikirkan kembali secara mendasar, adakah yang salah dalam memperlakukan lingkungan hidup demi mengejar kesejahteraan umat manusia, adakah yang salah dalam startegi pembangunan yang selama ini dijalankan ? Tidak dapat disangkal bahwa, salah satu tantangan terbesar yang dihadapi semua negara berkembang adalah kemiskinan dari sebagian besar rakyatnya. Untuk mengatasi masalah besar ini, memang pembangunan ekonomi merupakan sebuah keharusan. Sampai di sini tampaknya tidak ada logika yang salah, namun secara mendasar justru tepat di titik inilah persoalan mulai muncul. Pertanyaan fundamental dapat diajukan: apakah makna kemiskinan itu ? benarkah model pembangunan ekonomi yang dipakai mampu mengangkat masyarakat dari kemiskinan secara bermakna ? haruskah demi pembangunan ekonomi, lingkungan hidup mesti dikorbankan ? Samapai batas manakah kebutuhan manusia tercukupi ? Gugatan di atas bersifat mendasar dan dapat diberi jawaban beragam, bergantung pada rezim paradigma mana orang melihatnya. Kemiskinan misalnya, ketika ia dipahami dari paham materialisme, maka maknanya hanya sebatas sebagai kemiskinan material-ekonomis. Reduksionis model paham materialisme dengan demikian menafikan dimensi-dimensi lain dari kemiskinan itu, yakni dimensi spiritual, sosial-budaya dan lingkungan. Akibatnya penanganan masalahnyapun menjadi sangat dangkal, sebatas menyangkut pembangunan aspek material-ekonomis dengan melupakan penanganan aspek spiritualitas, aspek sosial budaya sembari melakukan eksploitasi sumberdaya alam secara membabi-buta. Model pembangunan developmentalism yang bertumpu pada manusia sebagai pusat perhatian antroposentris berangkat dari pemahaman materialisme demikian itu. Orientasi pembangunan yang mengejar pertumbuhan material-ekonomis menumbuhkan pola produksi dan konsumsi yang berlebihan dengan akibat alam menjadi objek eksploitasi yang berlebihan pula. Ironisnya pola produksi dan konsumsi macam ini ternyata semakin terpenuhi semakin menjadi tak terpuaskan. Ini berarti semakin banyak kekayaan alam dieksploitasi – semakin rakus dan tamak manusia, maka semakin hancur lingkungan hidup. Meniru gaya negara-negara maju dalam melakukan produksi dan konsumsi yang berlebihan, maka negara-negara berkembang pun menerapkan model serupa. Tak ayal dengan dalih untuk mengejar ketertinggalan dari negara maju, maka negara-negara berkembang dengan giat melakukan pembangunan dengan ukuran keberhasilan bersifat ekonomi-materi. Kemajuan lalu dimaknai sebagai kemajuan ekonomi dan materi semata. Keterbelakangan suatu negara pun dipahami dalam kerangka keterbelakangan ekonomi materi ini. Tak mengherankan jika kemudian negara-negara berkembang memilih beramai-ramai mengejar ketertinggalannya dari negara-negara maju dengan memacu pertumbuhan ekonomi, yang tidak lain berarti menggenjot eksploitasi sumberdaya alamnya. Strategi pembangunan dengan segala indikatornya yang diterapkannya-pun seakan-akan sama, dengan alasan telah ada bukti Negara- negara maju saat ini. Menyadari kelemahan pembangunan model developmentalism yang hanya mengukur kemajuan berdasarkan keberhasilan ekonomi-materi, dimunculkanlah gagasan model pembangunan berkelanjutan sustainable development. Menurut Sachs 1974:9 “…. Ecodevelopment adalah suatu gaya pembangunan yang dalam setiap kawasan ekologi, membutuhkan solusi khusus bagi masalah tertentu di kawasan tersebut berdasarkan data cultural dan data ekologi serta kebutuhan jangka panjang dan mendesak. Karena itu, pembangunan berwawasan ekologi dilaksanakan berdasarkan criteria pembangunan yang dihubungkan dengan setiap kasus tertentu, dan penyesuaian diri terhadap lingkungan memainkan peranan penting”. Pembangunan berkelanjutkan ingin mensinkronkan, mengintegrasikan dan memberi bobot yang sama bagi tiga aspek utama pembangunan, yaitu aspek ekonomi, aspek sosial budaya dan aspek lingkungan Keraf, 2001 : 2. Pesan yang terkandung dalam model pembangunan ini adalah bahwa pembangunan ekonomi, sosial budaya dan lingkungan harus dipandang saling terkait satu sama lain, dan karena itu unsur-unsur dari kesatuan yang terkait ini tidak boleh dipisahkan atau dipertentangkan satu dengan yang lain. Dengan demikian tidak ada lagi dasar pembenaran bahwa demi kemajuan ekonomi boleh mengorbankan aspek sosial budaya dan lingkungan. Pembangunan berkelanjutan bertumpu pada pemahaman yang holistik dan integratif terhadap ketiga aspek pembangunan. Hal ini disebabkan karena model pembangunan developmentalism ternyata menimbulkan kerugian yang besar dari sisi sosial budaya dan lingkungan. Kehancuran sosial budaya dan lingkungan telah menyebabkan negara dan masyarakat membayar mahal, tidak saja dalam hitungan finansial melainkan juga dalam bentuk kehancuran sosial budaya dan kekayaan sumber daya alam dan lingkungan Keraf, 2001 :3. Transisi dari developmentalism ke ekosentism dalam penguasaan alam harus: 1 menguntungkan semua orang, tidak hanya sekelompok kecil penguasa; 2 memelihara keseimbangan dialektis ekologi alam dalam harmoni dengan kebutuhan manusia, dan 3 dicirikan oleh pemahaman teoritis dan apresiasi estetis terhadap alam. Namun setelah lebih dari dua dekade model pembangunan berkelanjutan dijalankan, pada akhirnya menuai kritik juga. Ada empat alasan mengapa model pembangunan berkelanjutan harus dikritisi lihat Keraf, 2001 : 15 : Pertama, watak developmentalisme tidak ditinggalkan sama sekali, malah justru diafirmasi dengan paradigma pembangunan berkelanjutan itu. Dengan paradigma pembangunan berkelanjutan, yang dikonversi dan yang diberlanjutkan adalah pembangunan itu sendiri, bukan alam atau ekologi; Kedua, Paradigma pembangunan berkelanjutan tetap mendasarkan pada pandangan antroposentris, yaitu cara pandang yang menganggap alam sekedar sebagai alat pemenuhan kebutuhan material manusia; Ketiga, Paradigma pembangunan berkelanjutan mengasumsikan bahwa manusia bisa menentukan daya dukung ekosistem lokal dan regional. Hal ini bertentangan dengan sifat alam yang kompleks dan rumit bahkan penuh misteri yang dalam arti tertentu sulit diprediksi, termasuk daya dukung dan ambang batas toleransinya; Keempat, Paradigma pembangunan berkelanjutan justru bertumpu pada ideologi materialisme yang tak diuji secara kritis, tetapi diterima begitu saja sebagai benar. Melihat kelemahan-kelemahan dari model pembangunan berkelanjutan, ada ajakan untuk meninggalkan saja model pembangunan demikian itu, dengan menerapkan kebijakan yang lebih radikal. Kebijakan radikal ini dilakukan dengan cara melakukan perlindungan terhadap semua spesies, subspesies, keberanekaragaman hayati, komunitas dan ekosistem sedapat yang dapat dilakukan. Kepunahan dan kematian tentu tidak dapat dihindari, tetapi janganlah menambah kepunahan dan kematian itu dengan tindakan manusia itu sendiri. Manusia tentu saja berhak untuk memanfaatkan warisan alam, tetapi hendaknya itu dilakukan dengan penuh kehati- hatian, agar tidak terjadi kepunahan pada kekayaan alam yang ada. Kebijakan demikian itu dapat dijalankan manakala manusia mengakui keterikatannya dengan lingkungan alam dan mempertimbangkan nilai lain, selain nilai ekonomi. Mewarisi warisan alam adalah memberi prioritas pada nilai lain selain nilai ekonomis; nilai keindahan alam estetika; nilai penghormatan akan apa yang ada dan yang tidak diciptakan sendiri dan lebih dari itu religius, nilai dari kehidupan itu sendiri eksistensi, sebuah fenomena sebagai sumber pengetahuan, pendidikan dan pengajaran, yang bahkan sampai sekarang melalui akal budi manusia tidak mampu dijelaskan.

D. Keadilan Lingkungan : Penutup