Pendahuluan EKSISTENSI PEMILUKADA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN PEMERINTAHAN DAERAH YANG DEMOKRATIS | Simamora | Mimbar Hukum 16200 30748 1 PB

EKSISTENSI PEMILUKADA DALAM RANGKA MEWUJUDKAN PEMERINTAHAN DAERAH YANG DEMOKRATIS Janpatar Simamora Abstract Abstrak Local direct election is an attempt to realise an integral system of democracy and to encourage concept of popular sovereignty. The numerous obstacles on the way are challenges that eventually will help shaping the prevailing system to a more democratic one. Pemilihan umum kepala daerah secara langsung adalah merupakan sarana sekaligus upaya mewujudkan sistem demokrasi secara utuh serta sebagai langkah merealisasikan kedaulatan rakyat. Kendati dalam perjalanannya muncul sejumlah persoalan yang mengiringinya, namun hal itu haruslah dipandang sebagai tantangan sekaligus bagian dari proses pematangan dalam rangka mewujudkan pemerintahan daerah yang lebih demokratis. Kata Kunci: pemilu, demokrasi, kedaulatan rakyat.

A. Pendahuluan

Pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah secara langsung adalah salah satu perwujudan instrumen demokrasi dalam rangka menciptakan pemerintah yang lebih demokratis. Dengan sistem ini, maka harap- an terwujudnya kedaulatan rakyat dalam sistem pemerintahan diyakini dapat tereali- sasi secara menyeluruh, mengingat sistem demokrasi merupakan perintah langsung yang diamanatkan oleh UUD 1945. Dalam perjalanannya, sistem demo- krasi yang dianut bangsa Indonesia tidak terlepas dari berbagai bentuk rintangan yang tidak jarang menimbulkan sikap apatis bagi masyarakat luas. Maraknya persoalan yang lahir dan mengiringi proses perjalanan de- mokrasi di tanah air adalah implikasi lang- sung dari berbagai rintangan yang muncul. Namun demikian, fakta dimaksud tidaklah elegan dijadikan sebagai bahan patokan sekaligus ukuran dalam menilai berhasil ti- daknya pelaksanaan demokrasi di tanah air. Justru situasi yang demikian harus dipahami sebagai bagian dari demokrasi yang terus tumbuh dan berkembang dalam proses transisi politik yang mengalami ber- bagai pendewasaan perilaku politik negara dan rakyatnya. Kompleksitas persoalan yang dimaksud haruslah dipandang seba- gai bagian dari proses pendewasaan poli- tik menuju kondisi perpolitikan yang lebih Dosen Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen, Medan e-mail: patarmora_ 81yahoo.co.id. ideal. Kendati harapan ini mungkin sulit terwujud, namun bukan berarti harapan per- ubahan pola dan konsepsi politik yang saat ini sedang tumbuh sudah menutup ruang per- ubahan yang lebih baik. Sebagaimana yang pernah diungkap- kan oleh Robert Dahl, demokrasi yang ideal selalu menuntut berbagai hal sehingga tidak ada rezim aktual yang mampu memahami secara utuh: “ketika mencari demokrasi ideal maka tidak ada rezim yang demokratis”. 1 Dari pandangan Robert Dahl di atas, dapat dipahami bahwa sejatinya proses demokrasi akan terus menuntut perubahan secara me- nyeluruh. Sedemokratis apapun pemerin- tahan dijalankan dan setinggi apa pun komit- men perwujudan kedaulatan rakyat, proses demokrasi tidak akan pernah berhenti pada titik kesempurnaan. Berbagai perubahan mendasar menuju posisi yang lebih baik akan selalu dituntut. Oleh karenanya, tidak mengherankan bahwa kemudian banyak pi- hak yang berasumsi hampir tidak ada negara yang sudah mencapai tingkat kematangan dalam menjalankan demokrasi. Kendati banyak negara yang meng- klaim sistem pemerintahannya didasarkan pada sistem demokrasi, namun proses pen- capaian tujuan demokrasi itu sendiri masih menyisakan sejumlah persoalan. Dalam ta- hap perkembangan yang paling tinggi, de- mokrasi tidak hanya terdapat dalam kehidu- pan politik, tetapi juga sudah menjalar ke kehidupan sosial dan ekonomi. Sementara dalam tahap yang paling rendah, demokrasi dapat terwujud melalui pemilihan wakil rakyat yang kualitasnya masih mengundang keraguan. Jadi apabila dalam tahap perkem- bangan yang paling tinggi, demokrasi sudah menyentuh level politik-sosial-ekonomi dalam suatu sistem yang komprehensif; dalam tahapan yang lebih rendah demokrasi baru terbangun dalam sistem politik dengan representasi rakyat yang bersifat nominal. 2 Dari sudut pandang teori, pemilihan umum adalah sarana sekaligus instrumen ter- penting bagi demokratisasi. Bagaimanapun, perwujudan demokrasi akan dapat dirasakan secara riil oleh masyarakat ketika proses pe- milihan umum diselenggarakan dalam rang- ka menentukan kandidat pemimpin yang layak memegang tampuk kekuasaan. Tanpa langkah itu, maka kebenaran demokrasi se- bagai sarana dalam mewujudkan kedaulatan rakyat masih akan mengundang sejumlah persoalan tersendiri yang kemudian mem- buka ruang bagi kemunculan gugatan legiti- masi pemerintahan yang berkuasa. Keyakinan akan pemilu sebagai instrument terpenting bagi demokratisasi memperoleh legitimasi yang kuat dari Samuel P. Huntington dalam buku The Third Wave of Democratization in the Late Twentieth Century 1993. Dalam bukunya yang monumental itu, Huntington mendeinisikan demokrasi dengan merujuk pada pendapat Joseph Schumpeter dalam bukunya yang diterbitkan pertama kali pada 1942. Dalam buku Capitalism, Socialism, and Democracy , Schumpeter mendeinisikan demokrasi secara prosedural dengan pemilu sebagai esensi demokrasi. Akan tetapi, Huntington segera menambahkan bahwa sistem demokrasi tak cukup hanya dengan 1 Robert A. Dahl, 1982, Dilema Demokrasi Pluralis, Rajawali, Jakarta, hlm.7. 2 Muchtar Buchori, 2005, Indonesia Mencari Demokrasi, INSISTPress, Yogyakarta, hlm.122. pemilu. Pemilu yang bebas, jujur, dan kompetitif hanya dimungkinkan bila terdapat kebebasan berpendapat, berkumpul, dan pers, serta jika kandidat dan partai oposisi dapat memberikan kritik terhadap penguasa tanpa ketakutan akan terjadinya pembalasan. 3 Berangkat dari pandangan Hunting- ton, maka proses penyelenggaraan peme- rintahan yang sudah menyelenggarakan pemilu tanpa dibarengi dengan sejumlah syarat turunannya belumlah layak disebut sebagai demokrasi dalam arti yang sesung- guhnya. Dibutuhkan tahapan-tahapan yang lebih konkret dalam menerjemahkan makna demokrasi yang lebih mendalam. Proses penyelenggaraan pemilu yang sudah dilan- daskan pada asas-asas pemilihan yang ada masih harus dibumbui dengan kebebasan berpendapat yang lebih terbuka. Di samping itu, peran pers dalam menyumbangkan in- formasi ke hadapan publik serta melakukan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Ketika seluruh tahapan itu sudah berhasil diwujudnyatakan, maka selanjutnya tugas oposisi dalam melakukan kritikan terhadap jalannya pemerintahan secara lebih leluasa menjadi suatu keharusan yang dijamin oleh pemerintah. Dalam tataran yang lebih sederhana, pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah di tanah air adalah bagian dari langkah mewujudkan agenda demokrasi secara menyeluruh. Pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang saat ini digelar secara langsung di Indonesia adalah salah satu perwujudan komitmen negara demokrasi sebagaimana yang telah digariskan dalam konstitusi. Dengan proses demokrasi di tingkat lokal, maka diharapkan agar keterpilihan para pemimpin di daerah juga mencerminkan aspirasi rakyat yang sesungguhnya. Hanya saja dalam perjalanannya, proses demokrasi di tingkat lokal tidak selamanya berjalan seiring dengan makna hakiki yang terkandung dalam demokrasi. Proses perkembangan yang menyisakan sejumlah persoalan dan rumitnya aturan main yang dijalankan menjadi tantangan tersendiri dalam membangun demokrasi yang lebih berkualitas. Seiring dengan maraknya pelaksanaan pilkada di berbagai daerah, maka tidak dapat dihindari bahwa persoalan juga tumbuh bagaikan jamur di musim hujan. Tidak dapat dielakkan lagi bahwa ta- hapan demokrasi langsung yang kini telah menjadi bagian dari proses peralihan kekua- saan di tanah air mulai memunculkan sejum- lah persoalan yang sangat kompleks. Harapan akan terwujudnya pemerintahan yang baik good governance pascaperalihan sistem demokrasi dari pola lama yang menerapkan demokrasi tidak langsung menuju demokra- si langsung direct democracy ternyata ti- dak kunjung membawa berkah dalam wujud perubahan mendasar. Justru yang terjadi adalah fakta yang sangat kontras. Bangun- an demokrasi dengan sistem pemilihan langsung telah menyuburkan sejumlah per- soalan baru. Korupsi kepala daerah semakin menjalar hingga ke berbagai penjuru tanah air. Budaya mengagung-agungkan otonomi daerah sebagai jalan memacu percepatan 3 Huntington dalam Aidul Fitriciada Azhari, “Reformasi Pemilu dan Agenda Konsolidasi Demokrasi; Perspektif Ketatanegaraan”, Jurisprudence, Vol. 1, No. 2, September 2004, hlm. 180. kesejahteraan rakyat hingga detik ini belum terlihat benang merahnya. Bahkan penera- pan sistem demokrasi langsung telah mene- lurkan raja-raja kecil di daerah yang selalu berupaya untuk menggerogoti pundi-pundi keuangan daerah dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat. Maraknya kepala daerah yang harus berurusan dengan aparat penegak hukum karena terjerat dalam berbagai modus korupsi adalah fakta yang sulit dibantah bahwa pola demokrasi langsung telah menyuburkan korupsi di berbagai daerah. Kendati demikian, fakta ini seolah tidak mampu dijadikan sebagai bahan evaluasi diri bagi kepala daerah. Kenyataannya, hingga kini perilaku korup aparat pemerintah tetap saja masih beranak pinak. Sementara di sisi lain, maraknya pelak- sanaan pemilihan kepala daerah secara langsung telah turut menjadi beban bagi keuangan negara. Pelaksanaan pilkada yang terus mengalir setiap tahunnya meng- akibatkan negara harus pasrah untuk me- lepaskan anggaran hingga ratusan miliar rupiah. Berbagai dampak buruk inilah yang kemudian dijadikan berbagai pihak sebagai dalih untuk mengomentari eksistensi pe- milihan umum kepala daerah yang digelar secara langsung dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang demokratis. Sehingga belakangan, wacana untuk mengembalikan proses pemilihan kepala daerah dari sistem pemilihan langsung oleh rakyat menuju sis- tem pemilihan melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD kembali digulir- kan. Momen pengguliran usulan itu juga dikumandangkan pada saat akan dimulainya pembahasan terhadap revisi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang saat ini sedang digodok di parlemen.

B. Pembahasan 1. Pemilukada sebagai Perwujudan