Ushul Fiqh dan Sejarahnya

419 Filsafat Islam Dalam Ilmu Ushul Fiqih YUDISIA, Vol. 6, No. 2, Desember 2015 sendiri kemungkinan-kemungkinan potensial intelek yang terdapat dalam diri kita. Filsafat Islam sebagaimana dipahami dari dalam tradisi itu sendiri Islam, juga merupakan usaha untuk menyingkapkan makna batin teks Sakral, suatu sarana untuk mendapatkan akses kepada hakikat realitas yang tersembunyi didalam dimensi batin Al-Qur’an dan Hadist. Filsafat Islam pada hakikatnya adalah ilsafat yang bercorak Islami. Islam menempati posisi sebagai sifat, corak, dan karakter ilsafat. Filsafat Islam bukan ilsafat tentang Islam. Filsafat Islam artinya berpikir dengan bebas dan radikal namun tetap berada pada taraf makna, yang mempunyai sifat, corak, serta karakter yang menyelamatkan dan memberi kedamaian hati sesuai dengan makna Islam. Asy’arie, 2002: 5-6 Filsafat Islam tidaklah semata-mata bersifat rasional, yang hanya bersandar pada analisis logis terhadap suatu peristiwa, tetapi juga jejak spiritual untuk memasuki dimensi kegaiban. Rasionalitas ilsafat Islam, terletak pada kemampuannya menggunakan potensi berpikir bebas, radikal, dan berada pada tataran makna, untuk menganalisis fakta-fakta empirik dari suatu kejadian, dalam bangunan sistem pengetahuan yang ilmiah. Sedangkan transendensinya terletak pada kesanggupan mendayagunakan kalbu dan intuisi imajinatif, untuk menembus dan menyatu dalam kebenaran gaib secara langsung, dan menjadi saksi kehadiran Allah dalam realitas kehidupan. Lebih jauh dalam tilikan Musa Asy’arie, ilsafat Islam mempunyai metode yang jelas, yaitu rasional transendental, dan berbasis pada kitab dan hikmah, pada dialektika fungsional Al-Qur’an dan aql untuk memahami realitas. Secara operasional bekerja melalui kesatuan organik pikir dan qalb, yang menjadi bagian utuh kesatuan diri atau nafs. Filsafat Islam tidak netral, tetapi bertujuan untuk melibatkan diri dalam proses transformasi pembebasan dan peneguhan kemanusiaan untuk mencapai keselamatan dan kedamaian, baik dalam kehidupan didunia maupun di akhirat.

2. Ushul Fiqh dan Sejarahnya

Ushul iqh berasal dari bahasa arab ushul iqh yang terdiri dari dua kata, yaitu ushul dan iqh. Masing-masing kata itu mempuyai pengertian tersendiri. Dalam tata bahasa Arab, gabungan dua kata seperti itu dikenal dengan istilah idhafah, kata Ushul adalah 420 Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam Riza Zahriyal Falah mudhaf sedang kata iqh adalah mudhaf ilahi. Gabungan dari dua kata itu mempunyai pengertian ushul bagi iqh. Pengertian ashlu yang dimaksud, bila dihubungkan dengan kata iqh adalah bermakna dalil, dasar atau kaidah. Dalam pengertian ini, maka kata ushul iqh berarti dalil-dalil atau dasar-dasar, atau kaidah- kaidah bagi iqh, seperti Al-Qur’an, Hadist Rasulullah, ijma’, qiyas, dan lain-lain. Jika iqh diartikan sebagai pengetahuan tentang norma hukum syara’ tentang perbuatan manusia yang ditemukan dari dalil-dalilnya yang rinci, maka makna ushul iqh yang sesungguhnya adalah kaidah-kaidah yang digunakan untuk menggali dan menemukan norma-norma hukum suatu perbuatan manusia yang diambil dari dalilnya yang rinci. Sesuai dengan yang diungkapkan Abdul Wahhab Khalaf: Khalaf, 1392: 12 نم ةيلمعلا ةيعشلا ماحآا ةدافتسسا يا اه لصوتي يلا ثوحبلاو دعاوقل ب لعلا ةيليصفتلا اهلدأ Ushul iqh adalah pengetahuan tentang kaidah-kaidah dan pembahasan yang dapat digunakan untuk memperoleh norma-norma syar’i suatu perbuatan dari dalil-dalil atau dasar dasar yang terperinci Ada juga ulama yang membuat deinisi ushul iqh secara ringkas: Djalil, 2010: 16 لاجإا ليبس يع هقفلا ليلد Dalil-dalil iqh yang berbetuk global atau tidak terperinci. Seperti contoh “setiap perintah pada asalnya menunjukkan wajib”, “setiap larangan pada asalnya menunjukkan haram”, dan lain-lain. Dari contoh itu, jika seorang ahli iqh bermaksud mencari norma tentang niat sebelum wudlu apakah wajib atau tidak, maka dia harus menemukan nash yang menuntunnya dengan jalan ijtihad berpedoman terhadap kaidah diatas, yaitu hadist Nabi Muhammad SAW: لسمو يراخبلا هاور............تاينلب لاعلا امإ Kaidah-kaidah atau dalil-dalil yang dimaksud adalah aturan-aturan dan langkah-langkah yang harus ditempuh oleh 421 Filsafat Islam Dalam Ilmu Ushul Fiqih YUDISIA, Vol. 6, No. 2, Desember 2015 seorang ahlli iqh dalam proses menemukan norma hukum syara’ atas suatu perbuatan dari dalil-dalilnya. Abu Zahrah menyatakan bahwa ushul iqh adalah pengetahuan yang menjelaskan tata tertib atau regulasi yang harus diketahui oleh para muujtahid dalam rangka menemukan aturan syara’ atas perbuatan manusia dari dalil atau nash yang rinci yang digunakan dasar penetapannya. Zahrah: 6 Dari penjelasan beserta contoh diatas, dapat dipahami perbedaan ushul iqh dan iqh, yaitu bahwa uhul iqh adalah metode atau kaidah atau dalil atau dasar yang harus ditempuh dalam upaya memperoleh kejelasan norma syara’ atas hukum suatu perbuatan dari dalil-dalilnya. Selain itu, juga harus terampil dan profesional dalam menetapkan dalil mana yang harus didahulukan, dinomorduakan dan seterusnya. Sedangkan iqh adalah hasil yang berupa norma-norma hukum yang didapat dengan tata cara tersebut diatas. Hubungan antara ushul iqh dengan iqh adalah seperti hubungan ilmu logika dengan ilmu-ilmu lain yang berbasis ilsafat, atau seperti hubungan ilmu nahwu dengan tata cara berbicara dalam bahasa Arab atau tata cara menulisnya. Zahrah: 6 Artinya ushul iqh itu menuntun dan mengarahkan seorang mujtahid dalam beristinbath atau berijtihad serta menghindarkannya dari kesalahan sebagaimana ilmu logika dan ilmu nahwu. Ushul Fiqh sebagai suatu cabang ilmu tersendiri sebagaimana kita kenal sekarang ini, pada masa Rasulullah SAW belum dikenal. Hal ini disebabkan pada masa Rasulullah SAW, dalam memberikan fatwa dan menetapkan hukum dapat secara langsung mengambil dari nas al-Qur’an yang diwahyukan kepadanya atau beliau menjelaskan hukum dengan melalui Hadistnya yang pada hakekatnya merupakan wahyu juga. Artinya Nabi juga melakukan kegiatan ijtihad, namun ijtihad yang dilakukan Nabi berbeda dengan ijtihad para sahabat, tabi’in dan yang lainnya. Karena ijtihad yang dilakukan Nabi dipastikan terjamin kebenarannya, dan bila salah seketika itu juga akan turun wahyu yang membenarkannya. Sebagaimana yang diungkapkan Al-Qur’an surat An-Najm ayat 2-5: 4 ٰ َىوُي ٞ ۡيَو َلِإ َوُه ۡنِإ 3 ٰٓىَوَهۡلٱ ِنَع ُق ِطنَي اَمَو 2 ٰىَوَغ اَمَو ۡ ُكُبِحا َص َل َض اَم 5 ٰىَوُقۡلٱ ُديِد َش ۥُهَمَلَع 422 Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam Riza Zahriyal Falah Artinya : kawanmu Muhammad tidak sesat, dan tidak pula keliru, dan tiadalah yang diucapkannya itu Al-Quran menurut kemauan hawa nafsunya, Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya, yang diajarkan kepadanya oleh Jibril yang sangat kuat. Kalau pada masa sahabat juga jelas terdapat ijtihad. Seperti contoh ijtihad pengumpulan Al-Qur’an di masa Abu Bakar, kemudian pembukuannya di masa Ustman bin Affan. Penggajian tentara di masa Umar bin Khattab dan tidak membagikan ghanimah kecuali sebagian saja. Termasuk shalat tarawih berjama’ah selama sebulan di bulan Ramadlan, dan lain-lain. Ijtihad yang dilakukan para sahabat ini memang didasari persetujuan Nabi, yaitu ketika beliau memerintahkan sahabat Mu’adz bin Jabal ke Yaman sebagai Hakim, Nabi bertanya: “ bagaimana engkau memutuskan sesuatu bila tidak terdapat keterangan dalam Al-Qur’an dan Hadist?”, Mu’adz menjawab “aku akan berijtihad”. Kemudian Nabi menepuk bahu Mu’adz sambil berkata: “ segala puji bagi Allah yang telah memberi tauik kepada utusan Rasulullah tentang sesuatu yang diridlai Rasulullah”. Artinya Nabi membenarkan, bahkan menyuruh sahabat untuk melakukan ijtihad jika dirasa hal itu perlu untuk dilakukan. Pada masa tabi’in, mulai terjadi penyusunan kaidah-kaidah ushul iqh secara sistematis. Orang yang pertama kali menyusun ilmu ushul iqh beserta kaidah-kaidahnya adalah Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syai’i yang menulis kitab Ar-Risalah. Kitab Ar-Risalah disusun di Baghdad atas permintaan Abdurrahman bin Mahdi di Makkah, yang mengusulkan kepada imam Syai’i untuk menulis se buah kitab yang menerangkan Al-Quran, ijma’, nasikh penghapusanpembatalan hukum syara’, mansukh nashhukum yang dibatalkan, dan Hadits. Itulah sebabnya ia dinamakan Ar-Risalah, yang artinya sepucuk surat. Lantaran, sesudah selesainya didiktekan kepada murid- muridnya, kitab ini dikirim seperti mengirim surat kepada Abdur rahman bin Mahdi di Makkah. al-Indunisi, 2008: 632 Di samping itu, juga ada sebagian ulama yang menjelaskan bahwa sebelum imam Syai’i menulis Ar-Risalah, sebenarnya telah ada ulama yang menyusun ushul iqh, yakni imam Abu Yusuf. Tetapi karena tulisannya tidak terjaga dan tidak 423 Filsafat Islam Dalam Ilmu Ushul Fiqih YUDISIA, Vol. 6, No. 2, Desember 2015 dikembangkan di-syarah oleh murid-muridnya, maka karyanya hilang tidak bisa dilihat hingga sekarang. Djalil, 2010: 21 Oleh karena itu maka imam Syai’i dikenal sebagai bapak ilmu ushul iqh. Setelah Ar-Risalah imam Syai’i, barulah muncul kitab- kitab ushul iqh yang dikarang banyak ulama, baik dari kalangan madzhab Syai’iyyah maupun dari madzhab lain. Lapangan pembahasan ushul iqh menurut sebagian ulama yaitu: ةدلب ماحلا توبث و ماحلب ةدلا تابثإ “Menetapkan suatu dalil terhadap satu hukum tetapnya satu hukum dengan satu dalil”. Djalil, 2010: 18 Dengan demikian, dapat diketahui bahwa yang dimaksudkan disini hanyalah mengenai dalil syara’ dan cara mengetahui bahwa dalil itu menunjukkan satu hukum, dan juga mengetahui sebaliknya, yakni menyelidiki suatu hukum tentang dalil yang menujukkan hukum tersebut. Sebagai contoh irman Allah yang berbunyi: 34.......... َة ٰوَل َصلٱ ْاوُمِقَأَو Dan dirikanlah shalat....QS. Al-Baqarah: 43 Kalimat “ dirikanlah” dalam ayat tersebut merupakan satu perintah kepada kita untuk mendirikan shalat. Adapun setiap perintah, pada asalnya adalah “wajib”. Maka natijah atau konklusinya, shalat itu wajib didirikan atau dikerjakan. Contoh tersebut menunjukkan bahwa perintah shalat pada ayat itulah yang membuat wajibnya shalat, dan demikian juga sebaliknya bahwa wajibnya shalat yaitu karena perintah pada ayat tersebut. Ushul iqh bertujuan memberikan pengetahuan kepada umat Islam tentang bagaimana jalan dalam mendapatkan hukum syara ’, dan cara-cara untuk mengistinbathkan satu hukum dari dalilnya. Dengan menggunakan ushul iqh, maka seseorang akan terhindar dari taklid, sebagaimana seorang mujtahid mengggunakannya dalam mengistinbathkan furu’ cabang dari ushul asal. Begitu juga sebagaimana dilakukan oleh seorang muttabi’ dalam mengembalikan furu’ cabang kepada ushul asal. Tidak dapat dipungkiri, bahwa kebutuhan terhadap ushul iqh sangat diperlukan dalam istinbathijtihad hukum. 424 Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam Riza Zahriyal Falah Para ulama yang berijtihad atau yang mentarjih dari beberapa madzhab atau sekalipun hanya dalam satu madzhab saja misalnya, tidak akan dapat berbuat banyak dalam bidang hukum bila tidak mengetahui kaidah-kaidah hukumnya. Kita dapat membandingkan pendapat para ulama apabila mengetahui dalil yang digunakannya. Sedangkan “mengetahui dalil” merupakan wilayah ushul iqh. Fiqh akan tetap berkembang sesuai dengan zaman. Hal ini akan membuat agama Islam “ shalih likulli zaman wa makan ”, sesuai untuk setiap waktu dan setiap tempat. Selama iqh masih berkembang, selama itu pula kaidah-kaidah ushul iqh masih diperlukan.

3. Unsur Filsafat Islam Dalam Ushul Fiqh