442
MIMBAR HUKUM Volume 27, Nomor 3, Oktober 2015, Halaman 432-444
sendiri, serta masyarakat untuk mengingatkan tugas dan tanggung jawab profesi advokat
4. Problem Akses terhadap Dana Bantuan
Hukum Pemerintah
Pemerintah mencoba untuk mengatasi persoalan keengganan para advokat membantu
rakyat miskin karena ketiadaan keuntungan ekonomis yang didapatkan dari pemberian bantuan
hukum dengan mengeluarkan UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Melalui undang-
undang ini, negara menyediakan dana bagi advokat yang memberikan bantuan hukum bagi rakyat
miskin. Undang-undang tidak menyebutkan apakah dana itu sebagai honorarium atau ongkosbiaya lain
yang diperlukan dalam pemberian bantuan hukum, akan tetapi dengan merujuk pada penafsiran di atas,
maka dana itu seharusnya diperuntukkan untuk honorarium sekaligus ongkosbiaya lainnya. Akan
tetapi langkah pemerintah ini juga menimbulkan persoalan baru terutama dengan persyaratan-
persyaratan yang tidak mudah dipenuhi oleh advokat sebagai individu maupun yang tergabung
dalam kelembagaan atau organisasi bantuan hukum. Persoalan yang pertama adalah adanya
persyaratan administrasi yang harus dipenuhi untuk perolehan dana bantuan hukum ini ditujukan pada
lembaga bantuan hukum LBHOBH sebagai sebuah organisasi bukan individu advokat. Jika
dana itu ditujukan untuk pembiayaan bantuan hukum yang diberikan oleh advokat kepada rakyat
miskin, mengapa harus dibuat mekanisme akreditasi lembaga dan tidak ditujukan pada advokat sebagai
individu. Meski anggota dari LBHOBH terdiri dari para advokat, akan tetapi dengan menempatkan
lembaga sebagai penerima dana bantuan hukum, hal ini membatasi advokat sebagai individu atau yang
berpraktik mandiri atau atas penunjukan hakim untuk mengakses dana bantuan hukum tersebut.
Persoalan kedua adalah berkaitan dengan pertentangan antara dua perundang-undangan, yaitu
antara UU No. 18 Tahun 2003 Pasal 22 ayat 1 dan UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.
Pemberian bantuan hukum kepada orang tidak mampu rakyat miskin, merupakan kewajiban
yang diberikan undang-undang UU No. 18 Tahun 2003 kepada advokat. Undang-undang ini tidak
menyebutkan advokat yang berpraktik mandiri ataupun tergabung dalam LBHOBH, dengan kata
lain kewajiban ini melekat kepada para pemegang profesi advokat. UU No. 16 Tahun 2011 justru
menjungkirbalikkan ketentuan dalam undang- undang advokat, karena pemberian bantuan hukum
kepada rakyat miskin dikaitkan dengan dana atau uang yang akan diterima oleh advokat sebagai
pemberi bantuan hukum. Orientasi pemberian bantuan hukum oleh advokat sebagai tanggung
jawab dari profesi yang oficium nobile dan pro
bono publico, diarahkan oleh pemerintah kepada komersialisasi berupa penyediaan dana bantuan
hukum. Persoalan ketiga adalah, sampai saat ini masih
banyak hakim pengadilan yang menunjuk seorang advokat untuk memberikan bantuan hukum kepada
rakyat miskin kepada advokat yang tidak tergabung dalam OBHLBH terakreditasi. Penunjukan ini
memang sesuai dengan undang-undang, dalam arti dalam perkara tertentu yang mewajibkan para pihak
didampingi advokat sedangkan salah satu pihak atau dua-duanya belum didampingi advokat, maka
pengadilan akan menunjuk advokat yang ada untuk mendampinginya. Apabila penunjukan ini tidak
diiming-imingi dengan akses terhadap dana bantuan hukum, tentu ini merupakan pelaksanaan kewajiban
advokat sebagaimana diamanatkan dalam undang- undang. Akan tetapi apabila kemudian orientasi
berubah, berupa akses terhadap dana bantuan hukum baik yang disediakan oleh pemerintah
melalui Kanwil Hukum dan HAM maupun yang dianggarkan oleh Mahkamah Agung, maka per-
soalan kedua di atas kembali muncul. Persoalan keempat berkaitan dengan biro-
krasi pemerintahan dalam akses dan pencairan dana bantuan hukum. OBHLBH terakreditasi yang diberi
wewenang memberikan bantuan hukum bagi rakyat miskin meski sudah diberikan pelatihan atau tutorial
oleh Kanwil Hukum dan HAM setempat, bukanlah orang yang biasa berhubungan dengan birokrasi
dalam pencairan dana pemerintah, apalagi sekarang
443
Raharjo, Angkasa, dan Bintoro, Akses Keadilan Bagi Rakyat Miskin
menggunakan sistem online. Data di Surakarta menunjukkan bahwa akses perolehan dana itu
cukup sulit, sehingga memakan waktu lama untuk pencairannya, padahal dana tersebut meskipun
jumlahnya tidak besar cukup membantu jalannya roda organisasi. Oleh karena itu, diperlukan langkah-
langkah yang progresif agar antara pengajuan dana dan pencairan dapat dilakukan dalam jangka waktu
yang tidak terlalu lama. Mendasarkan pada pembahasan di atas,
terbitnya peraturan tidak serta merta menyelesaikan masalah yang ada dalam masyarakat, malahan justru
menimbulkan masalah baru yang kemungkinan tidak dipikirkan sebelumnya oleh pembuat undang-
undang. Apabila yang dibaca hanya undang- undang saja, memang tidak akan nampak muncul
persoalan, akan tetapi jika undang-undang itu diimplementasikan, maka persoalan-persoalan akan
bermunculan seiring dengan kelemahan bawaan yang ada pada undang-undang itu. Meski demikian,
aparat penegak hukum jangan menjadikan undang- undang sebagai kitab suci yang tidak boleh dilanggar
apabila kepentingan rakyat dirugikan. Jika dipandang perlu dan demi kemaslahatan manusia, undang-
undang tersebut boleh dikesampingkan, karena – sebagaimana idiom dalam hukum progresif bahwa
hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum – manusialah yang seharusnya menjadi sentral
dalam penegakan hukum. Ini merupakan dilema bagi pemerintah, antara melaksanakan undang-
undang, melaksanakan kewajiban “memelihara” fakir miskin dan penerapan asas equality before the
law sebagai konsekuensi negara hukum, kewajiban membayar jasa yang diberikan oleh advokat yang
telah memberikan bantuan hukum, dan keinginan untuk menghabiskan anggaran negara.
C. Kesimpulan