Implementasi Pemberian Bantuan Hukum Cuma-Cuma (Pro Bono Publico) dalam Perkara Pidana di Kota Medan Ditinjau Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum (Studi di Lembaga Bantuan Hukum Medan)

(1)

IMPLEMENTASI PEMBERIAN BANTUAN HUKUM CUMA-CUMA (PRO BONO PUBLICO) DALAM PERKARA PIDANA DI KOTA MEDAN

DITINJAU BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM (STUDI DI LEMBAGA BANTUAN

HUKUM MEDAN)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH:

CYNTHIA WIRAWAN NIM: 100200074

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

IMPLEMENTASI PEMBERIAN BANTUAN HUKUM CUMA-CUMA (PRO BONO PUBLICO) DALAM PERKARA PIDANA DI KOTA MEDAN

DITINJAU BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM (STUDI DI LEMBAGA BANTUAN

HUKUM MEDAN)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH:

CYNTHIA WIRAWAN 100200074

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui oleh,

Ketua Departemen Hukum Pidana

NIP. 195703261986011001 Dr. M. Hamdan, SH, MH

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum

NIP. 195102061980021001 NIP. 196012221986031003 Edi Yunara, SH, M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya selama proses penulisan skripsi ini sehingga penulis dapat menyelesaikannya dengan baik dan tepat waktu.

Penulisan skripsi yang berjudul Implementasi Pemberian Bantuan Hukum Cuma-Cuma (Pro Bono Publico) dalam Perkara Pidana di Kota Medan Ditinjau Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum (Studi di Lembaga Bantuan Hukum Medan) ini ditujukan untuk memberikan informasi kepada para pembaca mengenai keberadaan bantuan hukum cuma-cuma di Indonesia, pengaturan mengenai bantuan hukum cuma-cuma dalam peraturan yang pernah dan masih berlaku di Indonesia, dan bagaimanakah implementasinya dalam perkara pidana di Kota Medan ditinjau berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum. Selain itu, penulisan skripsi ini juga ditujukan untuk memenuhi persyaratan dalam mencapai gelar Sarjana Hukum (SH) di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari kekurangan sehingga penulis berharap agar semua pihak dapat memberikan masukan berupa kritik dan saran yang membangun demi menghasilkan sebuah karya ilmiah yang lebih baik dan lebih sempurna lagi ke depannya.

Secara khusus, penulis juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada orang tua penulis, Eddi Toni, yang telah membesarkan, mendidik, dan mendukung penulis sehingga penulis dapat memperoleh pendidikan formal


(4)

sampai pada tingkat Strata Satu. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada saudari tercinta penulis, Natalia, Catherine, dan Myra Wirawan yang selalu mendukung dan menyemangati penulis dalam penulisan skripsi ini. Tidak lupa juga dengan keluarga besar penulis, terutama keluarga besar Bapak Nulis Sembiring, S.H., keluarga besar Ama di Jakarta, dan keluarga Bapak Barus, yang terus menjaga penulis sejak penulis lahir sampai detik ini dan terus menyumbangkan waktu dan sumber dayanya dalam mendukung penulis selama penulisan skripsi ini. Demikian pula penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Glenn Tumewu yang terkasih yang telah mendukung dan mendorong penulis untuk berjuang dalam setiap keadaan di setiap waktu hingga titik dimana penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Semoga dengan berbekal pendidikan yang penulis tempuh selama ini dapat membahagiakan dan membanggakan mereka.

Tak lupa juga penulis menyampaikan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, Prof. Dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc. (CTM), Sp.A(K).

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).

3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).

4. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.Hum, DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).


(5)

5. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.H., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).

6. Bapak Dr. M. Hamdan, S.H., M.H., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana dan Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah membantu memberikan bimbingan bagi penulis dalam penyusunan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kebaikan hati dan kesabaran beliau dalam mendengarkan kesulitan penulis dan memberikan masukan bagi penyusunan skripsi ini. 7. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana

dan Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah membantu penulis selama proses penulisan skripsi ini sekaligus membantu penulis selama perkuliahan.

8. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum, selaku Dosen Penasihat Akademik dan Dosen Pembimbing I penulis. Di tengah kesibukan Beliau, Beliau masih dapat meluangkan waktu untuk mengkaji perkembangan hasil studi penulis hingga selesai. Demikian pula, Beliau telah mendukung dan membimbing penulis selama penulisan skripsi ini sampai selesai. Untuk itu, penulis dalam kesempatan ini mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas segala bantuan dan dukungan yang telah Beliau berikan kepada penulis selama ini.

9. Bapak Edi Yunara, S.H, M.Hum, selaku Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) dan Dosen Pembimbing II penulis. Dalam kesempatan ini, penulis secara khusus mengucapkan terima


(6)

kasih yang sebesar-besarnya atas ilmu yang telah Beliau bagikan pada saat perkuliahan dan sewaktu memberikan bimbingan bagi penulisan substansi skripsi ini. Bagi penulis, Beliau merupakan figur yang teladan, tekun, dan objektif dalam mendidik mahasiswa. Penulisan skripsi ini tidaklah mungkin dapat terselesaikan dengan baik tanpa bantuan, kritik, dan saran dari Beliau. 10. Prof. Tan Kamello, S.H., M.S., selaku Dosen Pembimbing Klinis Hukum

Perdata atas segala bimbingan Beliau selama klinis hukum perdata.

11. Bapak Abul Khair, S.H., M.Hum, selaku Dosen Departemen Hukum Pidana dan Dosen Pembimbing Klinis Hukum Pidana atas segala bimbingan dan kebaikan hati Beliau selama perkuliahan dan klinis.

12. Bachtiar Hamzah, S.H., selaku Dosen Pembimbing Klinis Hukum Tata Usaha Negara atas segala ilmu dan bimbingan Beliau selama klinis.

13. Ibu Dr. Marlina, S.H., M.Hum, selaku Dosen Departemen Hukum Pidana atas segala ilmu yang telah diberikan sehingga menambah pengetahuan penulis, terutama mengenai Penitentiere Recht.

14. Ibu Rafiqoh Lubis, S.H., M.Hum, selaku Dosen Departemen Hukum Pidana atas segala ilmu dan bimbingan yang diberikan selama perkuliahan serta keramahan hatinya terhadap penulis dan rekan-rekan mahasiswa lainnya. 15. Seluruh Dosen Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara (USU) atas segala ilmu yang telah menambah pemahaman penulis mengenai hukum pidana.


(7)

16. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) atas segala ilmu yang telah diberikan sejak awal perkuliahan hingga terselesainya penulisan skripsi ini.

17. Seluruh Staf Pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU). 18. Bapak Sukanto Tanoto, atas kemurahan hatinya melalui Tanoto Foundation

telah membantu menyokong penulis secara materi sehingga penulis tidak putus kuliah dan dapat melanjutkan pendidikan penulis sampai akhir.

19. Bapak Amril, S.H., M.Hum selaku Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Medan; Bapak Ismail Lubis, S.H. selaku Advokat dan Staf Lembaga Bantuan Hukum Medan; dan Ibu Reni Lorensa selaku Sekretaris Lembaga Bantuan Hukum Medan, atas keramahan dan pengetahuan yang telah dibagikan dengan murah hati kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

20. Reszki Ananias Nadeak, Diana Wijaya, dan Dessy Saida yang merupakan teman stambuk 2010 dan sekaligus sahabat terdekat penulis yang telah memberikan banyak dukungan, bantuan, dan motivasi selama penulis mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) dalam suka maupun duka. Penulis akan selalu mengingat kebaikan hati mereka.

21. Teman-teman stambuk 2010, yang merupakan teman-teman akrab dan teman satu klinis penulis, yaitu Anggie Yosephine Sinaga, Ekpi Yossara Simbolon, Nurul Dwi Oktari, Dini Wahyuni Harahap, Rivera Wijaya, Sofian Siregar,


(8)

Frisdar Rio Marbun, Paul Brena Tarigan, dan Rory Eka Putra. Terima kasih atas segala pelajaran dan pertemanan yang tetap dijaga bersama.

22. Teman-teman organisasi Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), yaitu Bang Jesaya Syahkata, Bang Anggie, Bang Jeffri, Kak Inggri, Bang Chrispo, Bang Sastro, Ruth Sonya, Scott, Riswan, dan lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah mendukung dan membantu penulis dalam melewati masa-masa yang sulit dalam hidup penulis.

23. Adik-adik junior Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah akrab dan dekat dengan penulis serta membantu memberikan semangat bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini, seperti Yuniarta, Stella, Samuel, Jaka, Natalia, Tulus, dan lain-lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

24. Segenap Advokat dan Staf Kantor Chow & Associates Law Firm, yaitu Bapak Gindra Tardy, Bapak Remadiun Siahaan, Ibu Tuti, Pak Razak, Pak Efendi, Pak Robin, Kak Jane, Kak Ivory, Mbak Nini, Pak Ishu, dan Pak Hilali, atas ilmu, pengalaman, kesabaran, serta kebaikan hati dalam membimbing penulis selama mengikuti magang. Penulis merasakan kehangatan dan kekeluargaan selama bersama mereka.

25. Teman-teman Lifegroup. Terima kasih atas pertemanan yang menyenangkan.

Salam Hormat,


(9)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... vii

ABSTRAK... ix

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang... B. Perumusan Masalah... C. Tujuan Penelitian... D. Manfaat Penelitian... E. Keaslian Penulisan... F. Tinjauan Pustaka... 1. Bantuan Hukum... 2. Bantuan Hukum Cuma-Cuma (Pro Bono Publico/Prodeo)... 3. Bantuan Hukum Struktural... 4. Penerima dan Pemberi Bantuan Hukum... 5. Perkara Pidana... G. Metode Penelitian... 1. Jenis Penelitian... 2. Sumber Data... 3. Teknik Pengumpulan Data... 4. Analisa Data... H. Sistematika Penulisan... 1 9 10 10 11 13 13 15 16 17 20 21 21 21 22 23 24 BAB II KEBERADAAN BANTUAN HUKUM DI INDONESIA... 26

A. Sejarah Bantuan Hukum di Indonesia... B. Konsep Bantuan Hukum dan Perkembangannya... C. Ruang Lingkup dan Jenis-Jenis Bantuan Hukum... D. Fungsi dan Tujuan Bantuan Hukum... E. Pemberi Bantuan Hukum... 1. Advokat atau Pengacara... 2. Pokrol (Pengacara Praktek)... 3. Fakultas Hukum... 4. Lembaga Bantuan Hukum... 5. Organisasi Advokat... F. Pendanaan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum...

26 39 49 55 61 61 66 70 75 80 83


(10)

BAB III PENGATURAN MENGENAI BANTUAN HUKUM DALAM BEBERAPA PERATURAN YANG PERNAH DAN MASIH BERLAKU DI INDONESIA... 90

A. Peraturan yang Berlaku Pada Zaman Hindia Belanda... 1. Reglement op de Rechtelijke Organisatie en het Belied der Justitie

(R.O.) Stb. 1847 No. 23... 2. Herziene Inlandsch Reglement (HIR)Stb. 1941 No. 44... 3. Regeling van de Bijstand en de Vertegenwordiging van Partijen in de Burgerlijke Zaken voor Landraden Stb. 1927 No. 496... B. Peraturan yang Berlaku Setelah Kemerdekaan…...

1. Peraturan Menteri Kehakiman RI Nomor 1 Tahun 1965 tanggal 28 Mei 1965... 2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang

Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Dicabut Dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman)... 3. Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)... 4. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat jo

Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2008 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Cuma-Cuma... 5. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum

jo Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum... 90 90 95 98 99 99 101 106 111 114

BAB IV IMPLEMENTASI PEMBERIAN BANTUAN HUKUM

CUMA-CUMA (PRO BONO PUBLICO) DALAM PERKARA PIDANA DI KOTA MEDAN DITINJAU BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM (STUDI DI LEMBAGA BANTUAN HUKUM MEDAN)... 125 BAB V PENUTUP ... 143

A. Kesimpulan... B. Saran...

143 146


(11)

IMPLEMENTASI PEMBERIAN BANTUAN HUKUM CUMA-CUMA (PRO BONO PUBLICO) DALAM PERKARA PIDANA DI KOTA MEDAN

DITINJAU BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM (STUDI DI LEMBAGA BANTUAN

HUKUM MEDAN) ABSTRAK

Cynthia Wirawan* Syafruddin Kalo**

Edi Yunara***

Sebagai negara hukum, Indonesia menjamin penghargaan terhadap hak untuk memperoleh keadilan dan persamaan di muka hukum. Namun, dalam prakteknya, akses untuk memperoleh keadilan dan persamaan di muka hukum belum merata bagi semua golongan, khususnya bagi rakyat miskin atau tidak mampu. Seringkali, sewaktu berhadapan dengan hukum, hak-hak bagi tersangka/terdakwa tidak mampu tidak terpenuhi dengan baik, terutama hak untuk memperoleh bantuan hukum secara cuma-cuma (pro bono publico).

Berdasarkan hal tersebut, batasan masalah yang akan dibahas dalam penulisan ini adalah bagaimanakah keberadaan bantuan hukum di Indonesia, bagaimanakah pengaturan mengenai bantuan hukum dalam beberapa peraturan yang pernah dan masih berlaku di Indonesia, dan bagaimanakah implementasi pemberian bantuan hukum cuma-cuma (pro bono publico) dalam perkara pidana di Kota Medan ditinjau berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum berdasarkan studi di Lembaga Bantuan Hukum Medan. Untuk menjawab permasalahan tersebut maka penulis menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif, yaitu penelitian yang didasarkan dengan studi kepustakaan, dan metode penelitian empiris, yaitu penelitian yang mendasarkan pada kenyataan-kenyataan yang ada dalam masyarakat dengan teknik wawancara.

Keberadaan bantuan hukum di Indonesia sebenarnya sudah sejak lama ada sejak zaman penjajahan Belanda. Setelah kemerdekaan Indonesia, bantuan hukum mulai mendapatkan kepastian dengan lahirnya berbagai peraturan dan lembaga pemberi bantuan hukum. Meskipun demikian, beberapa peraturan yang pernah dan masih berlaku mengenai bantuan hukum tidak mengatur secara khusus prosedur bantuan hukum sampai dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum yang mengatur secara khusus mengenai bantuan hukum. Namun demikian, implementasinya di Kota Medan masih sangat kurang dan perlu ditingkatkan lagi agar pelaksanaan bantuan hukum cuma-cuma dapat terwujud dengan lebih baik.

* Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU Medan ** Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU Medan *** Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU Medan Kata Kunci: Bantuan Hukum, Bantuan Hukum Cuma-Cuma, Pro Bono Publico.


(12)

IMPLEMENTASI PEMBERIAN BANTUAN HUKUM CUMA-CUMA (PRO BONO PUBLICO) DALAM PERKARA PIDANA DI KOTA MEDAN

DITINJAU BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM (STUDI DI LEMBAGA BANTUAN

HUKUM MEDAN) ABSTRAK

Cynthia Wirawan* Syafruddin Kalo**

Edi Yunara***

Sebagai negara hukum, Indonesia menjamin penghargaan terhadap hak untuk memperoleh keadilan dan persamaan di muka hukum. Namun, dalam prakteknya, akses untuk memperoleh keadilan dan persamaan di muka hukum belum merata bagi semua golongan, khususnya bagi rakyat miskin atau tidak mampu. Seringkali, sewaktu berhadapan dengan hukum, hak-hak bagi tersangka/terdakwa tidak mampu tidak terpenuhi dengan baik, terutama hak untuk memperoleh bantuan hukum secara cuma-cuma (pro bono publico).

Berdasarkan hal tersebut, batasan masalah yang akan dibahas dalam penulisan ini adalah bagaimanakah keberadaan bantuan hukum di Indonesia, bagaimanakah pengaturan mengenai bantuan hukum dalam beberapa peraturan yang pernah dan masih berlaku di Indonesia, dan bagaimanakah implementasi pemberian bantuan hukum cuma-cuma (pro bono publico) dalam perkara pidana di Kota Medan ditinjau berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum berdasarkan studi di Lembaga Bantuan Hukum Medan. Untuk menjawab permasalahan tersebut maka penulis menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif, yaitu penelitian yang didasarkan dengan studi kepustakaan, dan metode penelitian empiris, yaitu penelitian yang mendasarkan pada kenyataan-kenyataan yang ada dalam masyarakat dengan teknik wawancara.

Keberadaan bantuan hukum di Indonesia sebenarnya sudah sejak lama ada sejak zaman penjajahan Belanda. Setelah kemerdekaan Indonesia, bantuan hukum mulai mendapatkan kepastian dengan lahirnya berbagai peraturan dan lembaga pemberi bantuan hukum. Meskipun demikian, beberapa peraturan yang pernah dan masih berlaku mengenai bantuan hukum tidak mengatur secara khusus prosedur bantuan hukum sampai dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum yang mengatur secara khusus mengenai bantuan hukum. Namun demikian, implementasinya di Kota Medan masih sangat kurang dan perlu ditingkatkan lagi agar pelaksanaan bantuan hukum cuma-cuma dapat terwujud dengan lebih baik.

* Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU Medan ** Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU Medan *** Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU Medan Kata Kunci: Bantuan Hukum, Bantuan Hukum Cuma-Cuma, Pro Bono Publico.


(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat). Dalam konsep negara hukum itu, diidealkan bahwa yang harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum.

Di zaman modern, konsep negara hukum di Eropa Kontinental dikembangkan oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu rechtsstaat. Sedangkan dalam tradisi Anglo Saxon, konsep negara hukum dikembangkan oleh A.V. Dicey dengan sebutan rule of law. Menurut Julius Stahl, konsep negara hukum yang disebutnya dengan istilah rechtsstaat itu mencakup empat elemen penting, yaitu: 1. Perlindungan hak asasi manusia;

2. Pembagian kekuasaan;

3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang; 4. Peradilan Tata Usaha Negara.1

Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap negara hukum yang disebutnya dengan istilah rule of law, yaitu:

1. Supremacy of law; 2. Equality before the law;

1

Jimly Asshiddiqie, “Gagasan Negara Hukum Indonesia”, (Ketua Mahkamah Konstitusi: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Majalah Hukum Nasional), hlm. 1.


(14)

3. Due process of law. 2

Keempat prinsip rechtsstaat yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut di atas pada pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip rule of law yang dikembangkan oleh A.V. Dicey untuk menandai ciri-ciri negara hukum modern. Bahkan, oleh The International Commission of Jurist, prinsip-prinsip negara hukum itu ditambah lagi dengan prinsip peradilan bebas dan tidak memihak (independence and impartiality of judiciary) yang di zaman sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara demokrasi.3

Suatu negara tidak dapat dikatakan sebagai negara hukum apabila negara yang bersangkutan tidak memberikan penghargaan dan jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia.4

2 Ibid.

Sebagai negara hukum, Indonesia dalam peraturan perundang-undangannya menjamin penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, termasuk hak untuk memperoleh keadilan (access to justice) dan persamaan di muka hukum (equality before the law). Hal ini diatur secara konstitusional dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan, “Setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”, dan ditegaskan kembali dalam Pasal 28 D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”

3

Ibid, hlm. 2. 4

Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2001), hlm. 4.


(15)

Ketentuan tersebut mengindikasikan makna bahwa pemerintah tidak mengistimewakan seseorang atau kelompok orang tertentu dan mendiskriminasikan seseorang atau kelompok orang tertentu lainnya. Dengan demikian, setiap orang tanpa kecuali memiliki hak yang sama dalam memperoleh keadilan dan persamaan di muka hukum.

Selaras dengan pemahaman tersebut, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia memberikan jaminan secara konstitusional terhadap golongan lemah dan miskin yang sekiranya paling rentan terhadap diskriminasi dan ketidakadilan, yakni dalam Pasal 34 yang menyatakan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Dengan adanya pengaturan ini dalam konstitusi Negara Republik Indonesia, maka perlindungan terhadap fakir miskin dan anak terlantar menjadi tanggung jawab negara.

Salah satu perwujudan jaminan perlindungan terhadap keadilan dan persamaan di muka hukum, terutama bagi fakir miskin, adalah melalui bantuan hukum cuma-cuma, yang disebut pro bono publico atau prodeo.

Pada dasarnya, hak memperoleh pembelaan dari seorang advokat atau pembela umum (access to legal counsel) adalah hak asasi setiap orang dan merupakan salah satu unsur untuk memperoleh keadilan bagi semua orang. Keadilan, menurut Aristoteles, harus dibagikan oleh negara kepada semua orang dan hukum mempunyai tugas menjaganya agar keadilan sampai pada semua orang. Jika ada dua orang bersengketa datang ke hadapan hakim, mereka harus diperlakukan sama (audi et alteram partem). Jika orang mampu dapat dibela advokat, maka fakir miskin harus dapat dibela pembela umum secara pro bono


(16)

publico. Pembelaan ini dilakukan tanpa memperhatikan latar belakang individu yang bersangkutan, seperti agama, keturunan, ras, etnis, keyakinan politik, strata sosio-ekonomi, warna kulit, dan gender. 5

Jaminan untuk mendapatkan bantuan hukum sendiri telah diakui secara internasional dalam Universal Declaration of Human Rights dan International Covenant on Civil and Political Rights Pasal 16 dan 26 yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005.6

Penyediaan bantuan hukum pro bono publico (legal aid) bagi warga miskin oleh negara sebenarnya telah mempunyai akar sejarah yang panjang. Konsep ini sudah dikenal sejak zaman Romawi Kuno. Pada masa itu, bantuan hukum adalah suatu bentuk jasa menolong sesama umat manusia yang berada dalam kesusahan hukum. Bantuan hukum pada masa itu diberikan oleh Patronus, yaitu suatu figur tokoh masyarakat yang dihargai sekali oleh masyarakat dimana masyarakat yang kesusahan datang mengadu dan meminta perlindungan, baik dalam soal ekonomi, perkawinan, sosial, dan lain-lain. Akan tetapi, motivasi Patronus dalam memberikan bantuan pada waktu itu tidak bersifat profesional melainkan untuk merebut sebanyak mungkin pengaruh dan kekuasaan dalam masyarakat.

Sejak Magna Charta (1215) di Inggris, motivasi pemberian bantuan hukum tidak lagi didasarkan pada kekuasaan. Di dalam peradilan accusatoir yang menganut sistem jury, seorang pihak berperkara harus diwakili oleh seorang

5

Frans Hendra Winata, Pro Bono Publico: Hak Konstitusional Fakir Miskin Untuk Memperoleh Bantuan Hukum, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009), hlm. 2.

6

Daniel Panjaitan, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia – Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum, (Jakarta: YLBHI, 2006), hlm. 47.


(17)

Barrister, yang biasanya adalah putra-putra laki-laki kedua dari kaum bangsawan yang tidak dapat menggantikan kedudukan dan kekayaan ayahnya karena merupakan hak anak laki-laki pertama. Anak kedua biasanya mencari karir dalam angkatan perang atau hukum sebagai the legal profession. Mereka sudah kaya, tidak butuh uang, hanya butuh kehormatan. Mereka tidak sudi menerima upah, melainkan harus dalam bentuk honorarium (eereloon).7

Pada abad pertengahan, bantuan hukum kepada orang yang tidak mampu (pro bono publico) mendapat pengaruh dari kebiasaan Agama Kristen, yaitu charity yang merupakan suatu dorongan bagi manusia untuk memberikan derma. Pada waktu itu, para lawyers yang bekerja dalam profesi bantuan hukum ini telah menggunakan honor sehingga hanya orang yang mampulah pada akhirnya yang betul-betul bisa membela kepentingannya. Tetapi orang yang tidak mampu sama sekali tidak bisa memanfaatkan hukum yang ada pada saat itu. Oleh karena itu, pada zaman itu, atas dasar motivasi dan faktor charity, nobility (kemuliaan), chivalry (kstaria), dan juga pandangan-pandangan intelektual yang berkembang, banyak terjadi perubahan dalam usaha untuk memberikan kesempatan yang sama pada orang miskin untuk mendapatkan bantuan hukum. Caranya yang ada pada saat itu ada 2 (dua), yaitu:

1. Advocatus pauparum atau poorman advocates atau advokat bagi orang miskin. Yang mengangkat mereka adalah gereja, diberi honor atau gaji oleh gereja asal mereka menolong orang-orang yang miskin di wilayah gereja itu;

7

Abdurrahman, Aspek-Aspek Bantuan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Cendana Press, 1983), hlm. 28.


(18)

2. Privileges, yakni pemberian fasilitas-fasilitas tertentu kepada orang miskin, seperti misalnya boleh beracara di muka pengadilan tanpa membayar.

Pemberian bantuan hukum berdasarkan nilai kemanusiaan tersebut kemudian mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan profesi hukum sehingga motivasi pemberian bantuan hukum berubah menjadi kedermawanan profesi, yang pada gilirannya menjadi tanggung jawab profesi (profesional responsibility).8

Berdasarkan tanggung jawab profesi inilah, mulai banyak bermunculan organisasi-organisasi bantuan hukum di banyak negara sepanjang abad ke-19. Di Belanda, misalnya, pada tahun 1889, didirikan Bureau van Consultatie in Strafzaken di Den Haag yang berlangsung sampai tahun 1916. Di Arnhem juga didirikan biro yang sama pada tahun 1891. Di Amsterdam juga dibentuk suatu biro bantuan hukum dari organisasi Toynbee pada tahun 1892 yang dinamakan Ons Huins. Selama kurun waktu tersebut juga banyak dibentuk biro-biro hukum perburuhan (Bureaus voor Arbedsrecht) yang didirikan oleh organisasi-organisasi buruh. Biro-biro tersebut memberikan konsultasi hukum dengan biaya yang sangat rendah. Selama tahun 1904, biro-biro tersebut telah memberikan 2477 konsultasi hukum. Sebanyak 51 advokat secara sukarela melaksanakan bantuan hukum, sebatas pada masalah pengendalian konflik. Banyak masalah perburuhan maupun sewa-menyewa ditangani oleh perorangan menurut inisiatif masing-masing advokat.

8

T. Mulya Lubis, Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural, (Jakarta: LP3ES, 1986), hlm. 1.


(19)

Hal yang serupa juga terjadi di negara-negara lain, seperti di Jerman, Inggris, Amerika Serikat, dan Chili. Organisasi-organisasi bantuan hukum yang didirikan di negara-negara tersebut diberikan secara cuma-cuma (pro bono publico) kepada individu ataupun kelompok-kelompok yang lemah dan tidak mampu secara ekonomi. 9

Sejak terjadinya Revolusi Perancis abad ke-19, pemberian bantuan hukum mengalami revolusi pula. Pada saat itu mulai banyak bermunculan teori-teori negara demokrasi. Di antaranya adalah teori kontrak sosial, yaitu bahwa negara merupakan suatu perwujudan dimana rakyat memberikan kekuasaannya kepada negara berupa hak-hak tertentu (hak kewarganegaraannya). Sebagai konsekuensinya, negara berkewajiban untuk, bukan saja melindungi warga negaranya terhadap sesama warga negara, melainkan juga berkewajiban mencegah pelanggaran hak-hak maupun kepentingan warga negaranya, salah satunya dengan cara memberikan bantuan hukum.10

Pengakuan terhadap konsep bantuan hukum probono yang baru ini mencapai puncaknya dengan dimasukkannya ketentuan ini dalam Universal Declaration of Human Rights. Dengan adanya pengakuan terhadap hak untuk mendapatkan bantuan hukum, maka bantuan hukum tidak lagi dipandang sebagai suatu perwujduan rasa belas kasihan semata melainkan sebagai suatu hak rakyat yang harus dilindungi dan dipertahankan oleh negara. Ketentuan ini kemudian diadopsi dalam peraturan perundang-undangan nasional oleh banyak negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

9

Soerjono Soekanto, Bantuan Hukum – Suatu Tinjauan Sosio Yuridis, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hlm. 57, et seq.

10


(20)

Hak atas bantuan hukum merupakan non-derogable rights, artinya hak tersebut bersifat absolut dan tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara dalam keadaan apapun.11 Bantuan hukum dapat dimintakan kapan saja, tidak hanya ketika menghadapi persoalan hukum di pengadilan. Bantuan hukum dapat dimintakan untuk perkara pidana, perdata, administrasi negara, perburuhan, dan lain-lain. Untuk bantuan hukum dalam perkara pidana dapat diberikan sejak dilakukannya pemeriksaan di tingkat penyidikan.12

Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum, pemberian bantuan hukum, khususnya dalam perkara pidana, di Indonesia didominasi oleh kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Lembaga Bantuan Hukum, dan Organisasi-Organisasi Advokat dengan segala macam keterbatasannya. Sementara negara dan badan-badan peradilan tidak memberikan perhatian penuh terhadap kurangnya penyediaan bantuan hukum cuma-cuma ini kepada masyarakat tidak mampu.13

Lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum memberikan suatu penegasan terhadap hak warga negara, terutama masyarakat miskin, untuk memperoleh bantuan hukum, khususnya dalam perkara pidana, sebagai upaya negara dalam memberikan keadilan dan persamaan di muka hukum. Namun demikian, dalam prakteknya, akses untuk memperoleh keadilan dan persamaan di muka hukum belum merata bagi semua golongan, khususnya bagi rakyat miskin atau tidak mampu. Misalnya saja, dalam perkara pidana, sering

11

Siti Aminah, Bantuan Hukum di Indonesia, (Jakarta: YLBHI, 2006), hlm. 34. 12

Daniel Panjaitan, Op. cit., hlm. 51. 13

Mosgan Situmorang, dkk, “Penelitian Hukum tentang Tanggung Jawab Negara dan Advokat dalam Memberikan Bantuan hukum Kepada Masyarakat”, (Ahli Peneliti Utama: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM RI, 2011), hlm. 8.


(21)

terjadi sewaktu berhadapan dengan hukum, hak-hak bagi tersangka/terdakwa tidak mampu tidak terpenuhi dengan baik, terutama hak untuk memperoleh penasihat hukum secara cuma-cuma, seperti dalam contoh kasus La Noki Bin La Kede dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 367/K/Pid/1998 tanggal 29 Mei 1998, yang akhirnya bebas demi hukum karena tidak didampingi oleh penasihat hukum pada saat penyidikan.

Hal tersebut menjadi suatu tantangan bagi Pemerintah Republik Indonesia dan penegak hukum untuk memberikan suatu jaminan pemenuhan akan kebutuhan terhadap suatu sarana yang dapat menyediakan perlindungan hukum terhadap orang miskin atau tidak mampu guna memperoleh kesetaraan di muka hukum. Salah satu wujud dari hal tersebut adalah dengan adanya pengaturan mengenai pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma (pro bono publico).

Dengan adanya pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma, diharapkan proses hukum menjadi adil bagi rakyat miskin sehingga mereka dapat memperoleh kesempatan untuk membela kepentingannya di muka hukum. Dengan adanya bantuan hukum, diharapkan dapat mencegah perlakuan yang tidak adil dan tidak manusiawi sehingga tercapai proses hukum yang adil dan terjaminnya pemenuhan hak konstitusional bagi golongan yang tidak mampu.

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimanakah Keberadaan Bantuan Hukum Cuma-Cuma di Indonesia? 2. Bagaimanakah Pengaturan Mengenai Bantuan Hukum cuma-cuma dalam


(22)

3. Bagaimanakah Implementasi Pemberian Bantuan Hukum Cuma-Cuma (Pro Bono Publico) dalam Perkara Pidana di Kota Medan Ditinjau Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum Berdasarkan Studi di Lembaga Bantuan Hukum Medan?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian dari penulisan ini adalah:

1. Untuk mengetahui keberadaan bantuan hukum cuma-cuma di Indonesia. 2. Untuk mengetahui pengaturan mengenai bantuan hukum cuma-cuma (pro

bono publico) dalam beberapa peraturan yang pernah dan masih berlaku di Indonesia.

3. Untuk mengetahui bagaimana implementasi pemberian bantuan hukum cuma-cuma (pro bono publico) dalam perkara pidana di Kota Medan ditinjau berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum berdasarkan studi di Lembaga Bantuan Hukum Medan.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang bisa diambil dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis.

Hasil penelitian ini berguna sebagai sumbangan referensi bagi kalangan akademisi yang ingin memperdalam pengetahuan mengenai implementasi


(23)

pemberian bantuan hukum cuma-cuma dalam perkara pidana, khususnya di Kota Medan.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini dapat berguna bagi masyarakat luas, terutama bagi masyarakat miskin yang berperkara yang kurang mengetahui fungsi dan manfaat dari pemberian bantuan hukum cuma-cuma sehingga mereka dapat memanfaatkan pemberian bantuan hukum cuma-cuma guna mendapatkan jaminan perlindungan hukum terhadap hak asasi mereka apabila mereka berperkara.

b. Hasil penelitian ini dapat meningkatkan kesadaran dan motivasi bagi pemberi bantuan hukum untuk memberikan bantuan hukum cuma-cuma secara berkesinambungan sebagai bentuk pelayanan pada masyarakat. c. Hasil penelitian ini dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi Pemerintah

Republik Indonesia guna melakukan revisi yang diperlukan terhadap peraturan perundang-undangan berkaitan dengan bantuan hukum sehingga dapat lebih mengakomodir kepentingan hukum masyarakat miskin.

E. Keaslian Penulisan

Penulisan yang berjudul Implementasi Pemberian Bantuan Hukum Cuma-Cuma (Pro Bono Publico) dalam Perkara Pidana di Kota Medan Ditinjau Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum (Studi di Lembaga Bantuan Hukum Medan) ini didasarkan oleh ide, gagasan, dan


(24)

pemikiran penulis secara pribadi dari awal hingga akhir penulisan skripsi ini. Berdasarkan pemeriksaan pada Perpustakaan Fakultas Hukum dan Perpustakaan Pusat Universitas Sumatera Utara serta pada media online yang dilakukan oleh penulis, maka diketahui bahwa judul skripsi ini belum pernah ditulis oleh orang lain di lingkungan Universitas Sumatera Utara maupun di lingkungan universitas/perguruan tinggi lain dalam wilayah Republik Indonesia, dan walaupun ada, substansi pembahasannya berbeda dengan yang dipaparkan dalam skripsi ini.

Beberapa judul skripsi yang memiliki topik yang sama yang pernah ditulis, antara lain:

1. Pelaksanaan Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma Bagi Terdakwa yang Tidak Mampu (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Sukoharjo) oleh Teguh Triyanto, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2008.

2. Pelaksanaan Kewajiban Advokat dalam Pemberian Bantuan Hukum Cuma-Cuma Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2008 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma oleh Eka Purnama Sari, Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, 2009. 3. Tinjauan Kewenangan Lembaga Bantuan Hukum dalam Melakukan Bantuan

Hukum Secara Cuma-Cuma (Probono) Terhadap Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum oleh Jonathan Marpaung, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012.

Penulis berkeyakinan bahwa penelitian yang penulis lakukan ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena dilakukan dengan memperhatikan


(25)

ketentuan-ketentuan atau etika penulisan skripsi yang harus dijunjung tinggi bagi peneliti atau akademisi.

F. Tinjauan Pustaka 1. Bantuan Hukum

Istilah Bantuan Hukum diterjemahkan dari 3 (tiga) istilah, antara lain Legal Aid, Legal Assistance, dan Legal Service. Ketiga istilah tersebut memiliki makna yang berbeda.

Pertama, Legal Aid, adalah pemberian jasa di bidang hukum kepada seseorang yang terlibat dalam suatu kasus atau perkara yang dilakukan secara cuma-cuma. Bantuan hukum dalam Legal Aid lebih dikhususkan bagi yang tidak mampu dalam masyarakat miskin. Dengan demikian, motivasi utama dalam konsep Legal Aid adalah menegakkan hukum dengan jalan membela kepentingan dan hak asasi rakyat kecil yang miskin dan buta hukum.

Kedua, Legal Assistance, yang mengandung pengertian yang lebih luas dari Legal Aid. Legal Assistance merupakan pemberian bantuan hukum, baik kepada mereka yang tidak mampu secara cuma-cuma maupun kepada mereka yang mampu dengan menerima pembayaran honorarium.

Ketiga, Legal Service, yang lebih tepat diartikan sebagai pelayanan hukum ketimbang bantuan hukum. Menurut M. Yahya Harahap, hal ini disebabkan karena pada konsep dan ide Legal Service terkandung makna:

a. Memberikan bantuan kepada anggota masyarakat yang operasionalnya bertujuan menghapuskan kenyataan-kenyataan diskriminatif dalam


(26)

penegakan dan pemberian jasa bantuan antara rakyat miskin yang berpenghasilan kecil dengan masyarakat kaya yang menguasai sumber dana dan posisi kekuasaan;

b. Dengan pelayanan hukum yang diberikan kepada anggota masyarakat yang memerlukan, dapat diwujudkan kebenaran hukum itu sendiri oleh aparat penegak hukum dengan jalan menghormati setiap hak yang dibenarkan hukum bagi setiap anggota masyarakat tanpa membedakan yang kaya dan miskin;

c. Di samping untuk menegakkan hukum dan penghormatan kepada hak yang diberikan hukum kepada setiap orang, Legal Service dalam operasionalnya lebih cenderung untuk menyelesaikan setiap persengketaan dengan jalan perdamaian.14

Menurut Abdurrahman, pengertian pelayanan hukum mempunyai banyak aspek dan sifatnya jauh lebih luas daripada bantuan hukum. Pelayanan hukum dapat diberikan oleh banyak orang, baik para ahli hukum maupun para penggerak masyarakat, politisi, pimpinan-pimpinan informal maupun formal. Pelayanan hukum tidak hanya menyangkut penyelesaian suatu kasus, tetapi juga meliputi pemulihan hak yang dilanggar dan usaha-usaha untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pihak penguasa untuk kepentingan golongan miskin.15

14

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP – Penyidikan dan Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 344.

15


(27)

Bantuan hukum yang dimaksud dalam penulisan ini adalah bantuan hukum yang diterjemahkan dari istilah Legal Aid, yaitu pemberian bantuan hukum kepada masyarakat miskin dan buta hukum secara cuma-cuma/gratis. Pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma ini kemudian disebut Pro Bono Publico dalam Bahasa Inggris dan Prodeo dalam Bahasa Belanda.

2. Bantuan Hukum Cuma-Cuma (Pro Bono Publico/Prodeo)

Bantuan hukum cuma-cuma (Legal Aid/Pro Bono Publico/Prodeo) mempunyai beragam definisi. Black’s Law Dictionary mendefinisikan bantuan hukum cuma-cuma sebagai “country wide system administered locally by legal services is rendered to those in financial need and who cannot afford private counsel.”

Di sisi lain, The International Legal Aid menyatakan sebagai berikut. “The legal aid work is an accepted plan under which the services of the legal profession are made available to ensure that no one is deprived of the right to receive legal advice or, where necessary legal representation before the courts or tribunals, especially by reason of his or her lack of financial resources.”16

Menurut Clarence J. Dias, bantuan hukum adalah segala bentuk layanan oleh kaum profesi hukum guna menjamin agar tidak seorang pun dalam masyarakat yang terampas haknya untuk menerima nasihat hukum atau

16

Frans Hendra Winata, Pro Bono Publico: Hak Konstitusional Fakir Miskin Untuk Memperoleh Bantuan Hukum, Op. cit., hlm. 21.


(28)

memperoleh wakil/kuasa yang akan membela kepentingannya di muka pengadilan hanya karena tidak memiliki sumber daya finansial yang cukup (miskin).17

Penjelasan Pasal 56 ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan bantuan hukum adalah pemberian jasa hukum (secara cuma-cuma) yang meliputi pemberian konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan pencari keadilan (yang tidak mampu).

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum menentukan bahwa bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh pemberi bantuan hukum secara cuma-cuma kepada penerima bantuan hukum.

3. Bantuan Hukum Struktural

Yayasan Lembaga Bantuan hukum Indonesia (YLBHI) memberikan definisi mengenai bantuan hukum struktural sebagai usaha-usaha pengembangan dialog antara pekerja bantuan hukum di satu pihak dan masyarakat yang miskin dan tertindas yang harus diperlakukan sebagai mitra YLBHI di pihak lain agar tercapai pengertian bersama tentang kenyataan adanya ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat miskin dan tertindas sebagai kelompok-kelompok yang terdapat dalam konteks sosial politik masyarakat Indonesia dan turut serta dalam perbaikan terhadap keadaan yang tidak adil tersebut sehingga tujuan dari dialog yang

17

Clarence J. Dias, “Research on Legal Services and Poverty: Its Relevance to the Design of Legal Service Programs in Developing Countries”, dalam Washington University Law Review (Issue 1: Symposium Legal Services to the Poor in Developing Countries, 1975), hlm. 147.


(29)

dimaksud adalah memformulasikan ukuran-ukuran yang dapat memperbaiki kondisi-kondisi kemiskinan dan ketidakadilan tersebut.18

Menurut T. Mulya Lubis, konsep bantuan hukum yang struktural mencoba mengaitkan kegiatan bantuan hukum itu dengan upaya merombak tatanan sosial yang tidak adil. Jadi sasarannya tidak lagi sekedar membantu individual dalam sengketa yang dihadapinya, tetapi lebih mengutamakan sengketa yang mempunyai dampak struktural. Di sini bantuan hukum dijadikan sebagai kekuatan pendorong ke arah tercapainya perombakan tatanan sosial sehingga kita akan memiliki pola hubungan yang lebih adil dalam masyarakat.19

Bantuan hukum struktural erat kaitannya dengan pembangunan hukum. Pembangunan hukum adalah segala usaha yang dilakukan oleh berbagai kelompok sosial dalam masyarakat untuk mempengaruhi pembentukan, konseptualisasi, penerapan dan pelembagaan hukum dalam suatu proses politik.20

4. Penerima dan Pemberi Bantuan Hukum

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum menegaskan bahwa penerima bantuan hukum adalah orang atau kelompok orang miskin. Penerima bantuan hukum menurut Pasal 5 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum meliputi setiap orang atau kelompok orang miskin yang tidak dapat memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri. Hak

18

Frans Hendra Winata, Advokat Indonesia – Citra, Idealisme, dan Keprihatinan, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), hlm. 33.

19

T. Mulya Lubis, Op. cit., hlm. 68. 20


(30)

dasar tersebut meliputi hak atas pangan, sandang, layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan dan berusaha, dan/atau perumahan.

Pasal 56 ayat 2 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menggunakan istilah “pencari keadilan yang tidak mampu” dimana dalam Penjelasan Pasal 56 disebutkan bahwa pencari keadilan yang tidak mampu adalah orang perseorangan atau sekelompok orang yang secara ekonomis tidak mampu yang memerlukan jasa hukum untuk menangani dan menyelesaikan masalah hukum.

Lampiran A Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum menggunakan istilah “pemohon bantuan hukum” yang diartikan dalam Pasal 1 angka 2 sebagai pencari keadilan yang terdiri dari orang perseorangan atau sekelompok orang yang secara ekonomis tidak mampu atau memiliki kriteria miskin sebagaimana ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik atau penetapan upah minimum regional atau program jaring pengaman sosial lainnya, atau memenuhi syarat sebagaimana diatur lebih lanjut dalam pedoman, yang memerlukan bantuan untuk menangani dan menyelesaikan masalah hukum di Pengadilan.

Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Lampiran A Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010, Pos Bantuan Hukum adalah ruang yang disediakan oleh dan pada setiap Pengadilan Negeri (Pengadilan TUN dan Pengadilan Agama) bagi Advokat Piket dalam memberikan layanan bantuan hukum kepada pemohon bantuan hukum untuk pengisian formulir permohonan bantuan hukum, bantuan pembuatan dokumen hukum, advis atau konsultasi


(31)

hukum, memberikan rujukan lebih lanjut tentang pembebasan biaya perkara, dan memberikan rujukan lebih lanjut tentang bantuan jasa advokat. Sedangkan yang dimaksud dengan Advokat Piket berdasarkan Pasal 1 angka 4 adalah advokat yang bertugas di Pos Bantuan Hukum berdasarkan pengaturan yang diatur di dalam kerjasama kelembagaan Pengadilan dengan Lembaga Penyedia Bantuan Hukum.

Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011, pemberi bantuan hukum adalah lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan bantuan hukum berdasarkan Undang-Undang tersebut.

Lembaga Bantuan Hukum merupakan sebuah lembaga yang bersifat non-profit yang didirikan dengan tujuan memberikan pelayanan bantuan hukum kepada masyarakat yang membutuhkan bantuan hukum, terutama masyarakat yang tidak mampu, buta hukum, dan tertindas.

Pasal 1 angka 13 KUHAP menentukan bahwa penasihat hukum adalah seseorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau berdasarkan undang-undang untuk memberikan bantuan hukum.

Kata “advokat” berasal dari Bahasa Latin advocare yang berarti, “to defend, to call to one’s aid, to vouch or to warrant.” Sedangkan dalam Bahasa Inggris, advokat disebut advocate yang berarti, “to speak in favour of or defend by argument, to support, indicate or recommend publicly.”

Advokat merupakan orang yang berprofesi membela yang diartikan sebagai berikut.


(32)

One who assists, defends, or pleads for another. One who renders legal advice and aid and pleads the cause of another before a court or a tribunal, a counselor. A person learned in the law and duly admitted to practice who assists his client with advice and pleads for him in open court. An assistant, adviser, a pleader of causes.” 21

Deklarasi Montreal merumuskan advokat sebagai, “A person qualified and authorized to practice before the courts and to advise and represent his clients in legal matters.

Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 disebutkan bahwa advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa (dan/atau bantuan) hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang.

Pokrol (pengacara praktek) adalah mereka yang sebagai mata pencaharian (beroep) menyediakan diri sebagai pembela atau kuasa/wakil dari pihak-pihak yang berperkara, akan tetapi tidak termasuk dalam golongan advokat.

Pasal 1 Peraturan Menteri Kehakiman No. 1 Tahun 1965 tanggal 28 Mei 1965 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pokrol adalah mereka yang memberikan bantuan hukum sebagai mata pencaharian tanpa pengangkatan oleh Menteri Kehakiman dan yang memenuhi syarat yang ditentukan dalam Peraturan tersebut.

5. Perkara Pidana

Apabila terjadi suatu perbuatan pidana, maka berarti muncul perkara pidana sehingga terhadap orang yang melakukan perbuatan pidana tersebut harus

21

Frans Hendra Winata, Advokat Indonesia – Citra, Idealisme, dan Keprihatinan, Op. cit., hlm. 19.


(33)

dijatuhi sanksi pidana setelah diproses sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Dalam penulisan ini, penulis menggunakan 2 jenis penelitian, antara lain: a. Penelitian normatif, yaitu penelitian yang menggunakan bahan pustaka

sebagai bahan penelitiannya. Pada penelitian hukum jenis ini, seringkali hukum dikonsepsikan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas;22

b. Penelitian empiris, yaitu penelitian yang mendasarkan pada kenyataan-kenyataan yang ada dalam masyarakat.

dan

2. Sumber Data

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan 2 sumber data, antara lain: a. Sumber data primer, yaitu sumber data yang diperoleh secara langsung

dari masyarakat, dalam penulisan ini adalah wawancara.

b. Sumber data sekunder, yaitu sumber data yang diperoleh secara tidak langsung dalam bentuk dokumen atau literatur dan terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.

22

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 118.


(34)

1) Bahan hukum primer.

Bahan hukum primer merupakan suatu bahan hukum yang mempunyai otoritas yang mengikat dan terdiri dari suatu norma atau kaidah dasar yang mana yang digunakan dalam penulisan ini, antara lain Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum, dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan bantuan hukum. 2) Bahan hukum sekunder.

Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum berupa publikasi hukum yang bukan bersifat dokumen resmi, meliputi buku teks, jurnal, pendapat para ahli hukum, dan sumber elektronik.

3) Bahan hukum tersier.

Merupakan bahan hukum penunjang yang pada dasarnya meliputi bahan-bahan yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti bibliografi hukum, direktori pengadilan, ensiklopedia hukum, indeks majalah hukum, kamus hukum, dan sebagainya.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik pengumpulan data melalui studi pustaka (library research), yaitu dengan meneliti sumber data sekunder berupa peraturan perundang-undangan, buku, jurnal, serta


(35)

sumber-sumber elektronik lainnya; observasi; dan field research berupa wawancara dengan pihak-pihak yang berperan dalam pemberian bantuan hukum cuma-cuma.

4. Analisa Data

Pengolahan, analisis dan konstruksi data dapat dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaidah hukum dan kemudian memasukkan pasal-pasal ke dalam kategori-kategori atas pengertian dasar dari sistem hukum tersebut. Data yang berasal dari studi kepustakaan dan wawancara dengan pihak LBH Medan dan Pengadilan Tinggi Medan kemudian dianalisis berdasarkan metode kualitatif dengan melakukan:

a. Menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam bahan-bahan hukum (konseptualisasi) yang dilakukan dengan cara melakukan interpretasi terhadap bahan hukum tersebut;

b. Mengelompokkan konsep-konsep atau peraturan-peraturan yang sejenis, dalam hal ini yang berhubungan dengan bantuan hukum;

c. Menemukan hubungan antara berbagai peraturan atau kategori dan kemudian diolah;

d. Menjelaskan dan menguraikan hubungan antara berbagai kategori atau peraturan perundang-undangan dengan hasil wawancara kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif sehingga mengungkapkan hasil yang diharapkan serta kesimpulan atas permasalahan.


(36)

H. Sistematika Penulisan

Adapun skripsi ini terdiri dari bab-bab yang diuraikan secara terperinci dan disusun secara hierarki sehingga yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan. Adapun bab-bab tersebut ialah sebagai berikut:

1. BAB I

Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang, permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

2. BAB II

Bab ini membahas mengenai sejarah bantuan hukum di Indonesia, konsep dan perkembangan bantuan hukum, ruang lingkup dan jenis-jenis bantuan hukum, tujuan dan fungsi bantuan hukum, pemberi bantuan hukum, serta pendanaan dan tata cara pemberian bantuan hukum.

3. BAB III

Bab ini membahas mengenai pengaturan bantuan hukum dalam beberapa peraturan yang pernah berlaku pada zaman Hindia-Belanda dan pengaturan bantuan hukum dalam beberapa peraturan yang berlaku setelah kemerdekaan, termasuk di antaranya dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum.

4. BAB IV

Bab ini membahas mengenai implementasi pemberian bantuan hukum cuma-cuma (pro bono publico) dalam perkara pidana di Kota Medan ditinjau


(37)

berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum.

5. BAB V PENUTUP

Bab ini berisi kesimpulan dari jawaban permasalahan yang menjadi obyek penelitian dan saran-saran.


(38)

BAB II

KEBERADAAN BANTUAN HUKUM DI INDONESIA

A. Sejarah Bantuan Hukum di Indonesia

Bantuan hukum telah dilaksanakan oleh masyarakat Barat sejak zaman Romawi dimana pada waktu itu bantuan hukum didasarkan pada nilai-nilai moral dan lebih dianggap sebagai suatu pekerjaan yang mulia, khususnya untuk menolong orang-orang tanpa mengharapkan dan/atau menerima imbalan atau honorarium.

Setelah meletusnya Revolusi Perancis, bantuan hukum kemudian mulai menjadi bagian dari kegiatan hukum atau kegiatan yuridis dengan mulai lebih menekankan pada hak yang sama bagi warga masyarakat untuk mempertahankan kepentingan-kepentingannya di muka pengadilan dan hingga awal abad ke-20, bantuan hukum ini lebih banyak dianggap sebagai pekerjaan memberi jasa di bidang hukum tanpa suatu imbalan.23

Di Indonesia, bantuan hukum sebagai suatu legal institution (lembaga hukum) semula tidak dikenal dalam sistem hukum tradisional. Dia baru dikenal di Indonesia sejak masuknya atau diberlakukannya sistem hukum Barat di Indonesia. Bermula pada tahun 1848 ketika di negeri Belanda terjadi perubahan besar dalam sejarah hukumnya. Berdasarkan asas konkordansi, maka dengan Firman Raja tanggal 16 Mei 1848 No. 1, perundang-undangan baru di negeri Belanda tersebut juga diberlakukan di Indonesia, antara lain peraturan tentang susunan kehakiman dan kebijaksanaan peradilan (Reglement of de Regterlijke Organisatic

23


(39)

en het beleid der Justitie), yang lazim disingkat dengan R.O.24 Dalam peraturan hukum inilah diatur untuk pertama kalinya “Lembaga Advokat” sehingga dapat diperkirakan bahwa bantuan hukum dalam arti yang formal baru mulai di Indonesia sekitar pada waktu-waktu tersebut.25

Pada masa itu, penduduk Indonesia dibedakan atas 3 golongan berdasarkan Pasal 163 ayat (1) Indische Staatsregeling (IS), antara lain:

1. Golongan Eropa.

Yang termasuk golongan ini adalah orang Belanda, semua orang yang bukan Belanda tetapi berasal dari Eropa, orang Jepang, dan anak sah dari golongan Eropa yang diakui undang-undang.

2. Golongan Timur Asing.

Yang termasuk dalam golongan Timur Asing adalah golongan yang bukan termasuk dalam golongan Eropa maupun golongan Bumiputera.

3. Golongan Bumiputera.

Yang termasuk golongan ini adalah orang-orang Indonesia asli (pribumi).26

Adanya penggolongan terhadap penduduk Indonesia pada masa itu menyebabkan adanya perbedaan antara golongan yang satu dengan golongan yang lain dalam banyak bidang kehidupan, seperti bidang ekonomi, sosial, dan politik kolonial, dimana dalam semua bidang tersebut golongan Bumiputera menempati derajat yang lebih rendah daripada golongan Eropa dan Timur Asing.

24

Abdurrahman, Op. cit., hlm. 40. 25

Frans Hendra Winata, Bantuan Hukum – Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2000), hlm. 2.

26

Pasal 163 Indische Staatsregeling, diakses dari pukul 14:52.


(40)

Perbedaan-perbedaan tersebut juga berimplikasi pada dikotomi sistem peradilan di Indonesia. Pada masa kolonial Hindia Belanda, dikenal adanya 2 (dua) sistem peradilan. Pertama, hierarki peradilan untuk orang-orang Eropa dan yang dipersamakan yang jenjang peradilannya terdiri atas Residentiegerecht untuk tingkat pertama, Raad van Justitie untuk tingkat banding, dan Mahkamah Agung (Hogerechtshof). Kedua, hierarki peradilan untuk orang-orang Indonesia dan yang dipersamakan, yang meliputi: Districtgerecht, Regentschapsgerecht, dan Landraad.

Demikian pula dengan hukum acara yang mengatur masing-masing sistem peradilan tersebut berbeda untuk acara pidana maupun acara perdata. Untuk Peradilan Eropa berlaku Reglement op de Rechtsvordering (Rv) untuk acara perdatanya dan Reglement op de Strafvoerdering (Sv) untuk acara pidananya. Sedangkan bagi Peradilan Indonesia berlaku Herziene Inlandsch Reglement (HIR), baik untuk acara perdata maupun acara pidananya.

Apabila diperbandingkan, maka HIR memuat ketentuan perlindungan terhadap kekuasaan pemerintah yang jauh lebih sedikit daripada kitab undang-undang untuk orang Eropa. Sebagai contoh, bagi orang-orang Eropa dikenal kewajiban legal representation by a lawyer (verplichte procureur stelling), baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana. Tampaknya hal ini lebih didasarkan pada pertimbangan bahwa mereka telah mengenal lembaga yang bersangkutan di dalam kultur hukum mereka di negeri Belanda. Sedangkan tidak demikian halnya yang diatur untuk golongan Bumiputera. Pemerintah kolonial tidak menjamin hak fakir miskin Bumiputera untuk dibela advokat dan


(41)

mendapatkan bantuan hukum. Kemungkinan untuk mendapatkan pembela atas permohonan terdakwa di muka pengadilan terbatas kepada perkara yang menyebabkan hukuman mati saja sepanjang ada advokat atau pembela lain yang bersedia.27

Berdasarkan hal tersebut, dapat kita ketahui bahwa bagi orang-orang Indonesia pada masa itu kebutuhan akan bantuan hukum belum dirasakan sehingga profesi lawyer yang berasal dari kalangan Bumiputera tidak berkembang. Kebanyakan hakim dan semua notaris serta para advokat adalah orang Belanda.28

Bantuan hukum baru dikenal setelah hadirnya para advokat Bumiputera pada tahun 1910 yang memperoleh gelar meester in de rechten dari Belanda. Awalnya, pemerintah kolonial tidak mengizinkan pendirian sekolah tinggi hukum di Indonesia karena ada kekhawatiran apabila Penduduk Hindia Belanda belajar hukum, mereka akan memahami demokrasi, hak asasi manusia, serta negara hukum, dan pada akhirnya akan menuntut kemerdekaan. Orang Indonesia yang ingin menempuh pendidikan hukum harus mempelajarinya di Belanda seperti di Universitas Utrecht dan Universitas Leiden. Barulah pada tahun 1924, Belanda mendirikan Reschtschoogeschool di Batavia yang kemudian dikenal sebagai Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

27

Frans Hendra Winata, Bantuan Hukum – Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan., Op. cit., hlm. 21.

28

Frans Hendra Winata, Pro Bono Publico: Hak Konstitusional Fakir Miskin Untuk Memperoleh Bantuan Hukum, Op. cit., hlm. 3.


(42)

Tamatan sekolah hukum di Belanda, antara lain Mr. Sartono, Mr. Sastro Moeljono, Mr. Besar Mertokoesoemo, dan Mr. Ali Sastroamidjoyo.29 Di antara mereka, Mr. Besar Mertokoesoemo merupakan advokat pertama bangsa Indonesia yang membuka kantornya di Tegal dan Semarang pada sekitar tahun 1923.30

Para advokat Bumiputera tersebut, baik yang menyelesaikan studinya di negeri Belanda maupun di Batavia, merupakan penggerak pelaksanaan bantuan hukum di Indonesia walaupun pada awalnya motivasi para advokat tersebut adalah sebagai bagian dari pergerakan nasional Indonesia terhadap Penjajah. Menurut Abdurrahman, berdasarkan motif yang demikian, maka walaupun pemberian bantuan hukum ini berkaitan dengan jasa advokat yang bersifat komersiil, namun karena ia bertujuan khusus untuk membantu rakyat Indonesia yang pada umumnya tidak mampu memakai advokat-advokat Belanda, maka hal ini sudah dapat dipandang sebagai titik awal dari program bantuan hukum bagi mereka yang tidak mampu di Indonesia.31

Pada masa penjajahan bangsa Jepang, tidak terlihat adanya kemajuan dari pemberian bantuan hukum. Keadaan yang sama kira-kira juga terjadi pada seputar tahun-tahun awal setelah bangsa Indonesia menyatakan proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945 karena seluruh bangsa sedang mengkonsentrasikan dirinya untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan bangsa. Demikian pula setelah pengakuan kedaulatan Rakyat Indonesia pada tahun 1950 keadaan yang demikian relatif tidak berubah.32

29

Ibid, hlm. 9, et seq. 30

Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Op. cit., hlm. 12. 31

Abdurrahman, Op. cit., hlm. 43. 32


(43)

Dalam bukunya Aspek-Aspek Bantuan hukum di Indonesia, Abdurrahman mengutip pendapat Adnan Buyung Nasution sebagai berikut.

Setelah Indonesia mencapai pengakuan kemerdekaannya pada tahun 1950, maka sampai dengan pertengahan tahun 1959 (yaitu saat Soekarno mengambil oper kekuasaan dengan mengganti konstitusi), keadaan tersebut di atas tidak banyak berubah. Memang pluralisme hukum di bidang peradilan dihapuskan sehingga hanya ada 1 (satu) sistem peradilan untuk seluruh penduduk (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung). Demikian pula hanya berlaku 1 (satu) hukum acara bagi seluruh penduduk. Akan tetapi sayang sekali yang dipilih sebagai warisan dari sistem peradilan dan perundang-undangan kolonial adalah justru yang bukan lebih maju melainkan yang lebih miskin, yaitu peradilannya bukan Raad van Justitie melainkan Landraad. Hukum acaranya bukan Rechtsvordering melainkan HIR.

Hal ini membawa akibat bahwa banyak ketentuan-ketentuan hukum yang menjamin bantuan hukum yang berlaku bagi orang Eropa tidak ikut diwarisi ke dalam perundang-undangan yang berlaku setelah kemerdekaan. Dengan kata lain, yang berlaku sejak tahun 1950 sampai saat ini adalah sistem peradilan dan peraturan hukum acara dari zaman kolonial khusus bagi Bangsa Indonesia yang sangat miskin menjamin ketentuan-ketentuan mengenai bantuan hukum.”33

Pada periode sesudahnya, yang ditandai dengan besarnya kekuasaan dan pengaruh Soekarno (hingga tahun 1965), bantuan hukum dan profesi advokat mengalami kemerosotan yang luar biasa bersamaan dengan melumpuhnya sendi-sendi negara hukum.34

Pada masa itu, peradilan tidak lagi bebas tetapi sudah dicampuri dan dipengaruhi secara sadar oleh eksekutif. Hakim-hakim berorientasi kepada pemerintah karena tekanan yang dalam praktek dimanifestasikan dalam bentuk setiap putusan yang dimusyawarahkan dulu dengan kejaksaan. Akibatnya tidak ada lagi kebebasan dan impartiality sehingga dengan sendirinya wibawa pengadilan jatuh dan harapan serta kepercayaan pada bantuan hukum hilang. Pada saat itu orang berperkara tidak melihat

Adnan Buyung Nasution, sebagaimana dikutip oleh Abdurrahman, menyatakan alasannya sebagai berikut.

33

Abdurrahman, Op. cit., hlm. 44, et seq. 34


(44)

gunanya bantuan hukum dan juga tidak melihat gunanya profesi advokat yang memang sudah tidak berperan lagi. Orang lebih suka meminta pertolongan kepada jaksa dan hakim itu sendiri, atau jika ada jalan lain, kepada orang kuat lainnya. Pada saat itu pula banyak advokat meninggalkan profesinya.

Campur tangan kekuasaan eksekutif pada pengadilan mencapai puncaknya dengan diundangkannya Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam Undang-Undang tersebut dimuat ketentuan-ketentuan yang bertentangan secara diametral dengan asas-asas negara hukum atau rule of law yang mengakui pengadilan bebas sebagai unsur esensial dan memastikan. Sejak itu boleh dikatakan peranan para advokat menjadi lumpuh dan bantuan hukum menjadi tidak ada artinya sama sekali. Periode ini kiranya merupakan periode pahit bagi sejarah bantuan hukum di Indonesia.”35

Angin segar dalam sejarah bantuan hukum dimulai pada saat dimulainya era Orde Baru. Dalam hal ini Adnan Buyung Nasution, sebagaimana dikutip oleh Bambang Sunggono dan Aries Harianto dalam buku Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, menulis sebagai berikut.

… Periode ini dimulai ketika gagalnya kudeta PKI yang disusul jatuhnya rezim Soekarno. Pada mulanya atau tahun-tahun pertama tampak ada drive yang kuat sekali untuk membangun kembali kehidupan hukum dan ekonomi yang sudah hancur berantakan. Di samping program rehabilitasi ekonomi, terasa sekali adanya usaha-usaha untuk menumbuhkan kebebasan berbicara, kebebasan pers, juga kebebasan mimbar pada universitas. Independency pengadilan mulai dijalankan dan respek kepada hukum tumbuh kembali.

Usaha pembangunan kembali ini berpuncak pada digantinya Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dengan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 yang kembali menjamin kebebasan peradilan dari segala campur tangan dan pengaruh-pengaruh kekuatan dari luar lainnya dalam segala urusan pengadilan.36

35

Abdurrahman, Op. cit., hlm. 46. 36


(45)

Selain itu, dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, untuk pertama kalinya secara eksplisit diberikan jaminan mengenai hak atas bantuan hukum. Dalam satu bab khusus tentang bantuan hukum, terdapat ketentuan-ketentuan bahwa setiap orang yang berperkara berhak memperoleh bantuan hukum. Juga ada ketentuan bahwa seorang tersangka dalam perkara pidana berhak menghubungi dan meminta bantuan penasihat hukum sejak saat dilakukan penangkapan atau penahanan.37

Sejalan dengan perkembangan bantuan hukum, berkembanglah suatu ide untuk mendirikan semacam biro konsultasi hukum sebagaimana yang pernah didirikan di Sekolah Tinggi Hukum (Rechtshogeschool) Jakarta pada tahun 1940 oleh Prof. Zeylemaker, seorang Guru Besar Hukum Dagang dan Hukum Acara Perdata, yang melakukan kegiatannya berupa pemberian nasihat hukum kepada rakyat yang tidak mampu, di samping juga untuk memajukan kegiatan klinik hukum.

Diawali pada tahun 1954, didirikan Biro Tjandra Naya yang dipimpin oleh Prof. Ting Swan Tiong yang mana pada waktu itu lebih mengutamakan konsultasi hukum bagi orang-orang Cina. Selanjutnya, atas usulan Prof. Ting Swan Tiong yang disetujui oleh Prof. Sujono Hadibroto (Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia), pada tanggal 2 Mei 1963 didirikan Biro Konsultasi Hukum di Universitas Indonesia dengan Prof. Ting Swan Tiong sebagai ketuanya. Kemudian pada tahun 1968, biro ini berganti nama menjadi Lembaga Konsultasi Hukum, dan pada tahun 1974, menjadi Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum

37


(46)

(LKBH). Selain itu, pada tahun 1967, Biro Konsultasi Hukum juga didirikan di Fakultas Hukum Universitas Padjajaran.38

Bersamaan dengan itu, berkembang pula ide untuk mendirikan suatu organisasi atau perkumpulan bagi para advokat, namun awalnya perkumpulan-perkumpulan advokat yang ada belum dalam bentuk satu wadah kesatuan organisasi advokat nasional. Dimulai sekitar tahun 1959-1960 dimana para advokat yang berasal dari Jawa Tengah berkumpul di Semarang dan sepakat untuk mendirikan organisasi advokat yang dinamakan BALIE di Jawa Tengah. Selanjutnya, perkumpulan advokat berkembang dan bermunculan di daerah-daerah lain, seperti Balai Advokat di Jakarta, Bandung, Medan, dan Surabaya.

Usaha pembentukan wadah kesatuan yang sesungguhnya bagi advokat sudah lama direncanakan sejak Kongres I PERSAHI (Persatuan Sarjana Hukum Indonesia) pada tahun 1961 di Yogyakarta dimana pada waktu itu hadir para ahli hukum dan advokat sebagai peserta kongres.

Lalu bertepatan dengan saat berlangsungnya Seminar Hukum Nasional I pada tanggal 14 Maret 1963 di Jakarta, tokoh-tokoh advokat sebanyak 14 orang mencetuskan berdirinya suatu organisasi advokat yang kemudian dikenal dengan nama Persatuan Advokat Indonesia (PAI) dengan ketuanya Mr. Loekman Wiriadinata yang bertugas menyelenggarakan dan mempersiapkan suatu kongres nasional para advokat Indonesia.

Berdirinya PAI tersebut mendapat perhatian dari Pemerintah Republik Indonesia pada masa itu yang kemudian mengundang para pengurus PAI untuk

38


(47)

ikut berperan serta dalam penyusunan rancangan undang-undang yang berhubungan dengan lembaga pengadilan dan pelaksanaan peradilan Indonesia.

Selanjutnya pada tanggal 29 Agustus 1964 diselenggarakan Kongres I/Musyawarah Advokat yang berlangsung di Hotel Danau Solo yang dihadiri oleh perwakilan-perwakilan advokat se-Indonesia dan kemudian pada tanggal 30 Agustus 1964 diresmikan berdirinya Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN).39

Salah satu proyek PERADIN adalah pendirian suatu Lembaga Bantuan Hukum. Hal ini terealisasi dengan didirikannya Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di Jakarta pada tanggal 26 Oktober 1970 di bawah pimpinan Adnan Buyung Nasution40, yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Pimpinan PERADIN tanggal 26 Oktober 1970 No. 001/Kep/DPP/10/1970, dan mulai berlaku pada tanggal 28 Oktober 1970.41 Pada tahun 1980, Lembaga Bantuan Hukum ini berubah nama menjadi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).42

Delapan bulan setelah berdirinya LBH di Jakarta, pengembangan LBH di daerah lainnya meningkat, yakni dengan lahirnya Lembaga-Lembaga Bantuan Hukum di Medan, Yogyakarta, Solo, dan Palembang. Di samping itu, beberapa kota lainnya di daerah-daerah juga mengirimkan utusannya ke LBH di Jakarta untuk meninjau dan mempelajari segala sesuatu mengenai LBH di Jakarta dengan maksud hendak mendirikan Lembaga Bantuan Hukum di daerahnya.

39

Frans Hendra Winata, Bantuan Hukum – Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan, Op. cit., hlm. 26, et seq.

40

Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Loc. cit. 41

Abdurrahman, Op. cit., hlm. 50. 42

Frans Hendra Winata, Bantuan Hukum – Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan, Op. cit. hlm. 50.


(48)

Selama periode ini, keberadaan bantuan hukum sangat terasa karena adanya tanggung jawab profesional para ahli hukum. Yang penting di sini adalah adanya keinginan untuk menyumbangkan keahlian profesional kepada rakyat miskin yang buta hukum. Pada masa ini kegiatan bantuan hukum lebih banyak diarahkan kepada penanganan perkara (pidana, perdata, subversi) dan sebagainya di pengadilan, dan juga di luar pengadilan (nasihat dan konsultasi).

Memasuki tahun 1974-1976, mulai dirasakan adanya keterbatasan-keterbatasan, baik yang sifatnya intern maupun ekstern, misalnya keterbatasan tenaga, dana, dan organisasi, serta kesadaran hukum yang rendah di kalangan rakyat, termasuk para pejabat. Karena itu mulai dirasakan bahwa tidak akan mungkin efektif kegiatan bantuan hukum itu apabila tanpa mengajak pihak lain untuk berperan serta. Di sinilah muncul gagasan penerangan hukum, penataran hukum, dan diskusi hukum. Di sini pula bermulanya kegiatan tambahan bantuan hukum dari penanganan perkara menjadi penanganan perkara plus penerangan dan penataran hukum (non-litigasi).43

Selama era Orde Baru, masalah bantuan hukum tumbuh dan berkembang dengan pesat. Misalnya saja, sejak tahun 1978, banyak bermunculan Lembaga Bantuan Hukum dengan menggunakan berbagai nama. Ada Lembaga Bantuan Hukum yang sifatnya independen, ada Lembaga Bantuan Hukum yang dibentuk oleh suatu organisasi politik atau suatu organisasi massa, ada pula yang dikaitkan dengan lembaga pendidikan, dan lain sebagainya.44

43

T. Mulya Lubis, Op. cit., hlm. 71.

Pada tahun 1979, terdapat

44


(49)

tidak kurang dari 57 Lembaga Bantuan Hukum yang terlibat dalam program pelayanan hukum kepada masyarakat miskin dan buta hukum.45

Pada masa ini, terjadi perpecahan dalam tubuh PERADIN sehingga banyak bermunculan organisasi advokat yang baru, seperti misalnya Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI). Setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, disebutkan dalam Pasal 32 ayat 4 perintah untuk membentuk suatu organisasi advokat yang bersifat single bar association (wadah tunggal) dalam jangka waktu 2 tahun setelah berlakunya Undang-Undang tersebut. Berdasarkan perintah tersebut, dibentuklah Persatuan Advokat Indonesia (PERADI). PERADI inilah yang sampai saat ini bertindak sebagai wadah tunggal organisasi advokat Indonesia.

Selama era reformasi, banyak usaha yang telah dilakukan untuk membentuk suatu undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai bantuan hukum. Namun kebanyakan ketentuan tentang bantuan hukum diatur dalam suatu undang-undang yang tidak secara khusus mengatur mengenai bantuan hukum, seperti Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, KUHAP, dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat.

45


(50)

Untuk merealisasikan kegiatan bantuan hukum selama belum adanya undang-undang yang secara tegas mengatur mengenai bantuan hukum, dikeluarkanlah Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum, selanjutnya disebut SEMA, yang pada dasarnya melaksanakan amanat Pasal 56 dan 57 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Ketentuan SEMA ini memerintahkan setiap Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, dan Pengadilan TUN di Indonesia untuk segera membentuk Pos Bantuan Hukum, selanjutnya disebut Posbakum, guna memberikan bantuan hukum kepada masyarakat yang tidak mampu secara ekonomis.46

Guna melaksanakan amanat SEMA, maka sejak tahun 2011 telah dibentuk Pos-Pos Bantuan Hukum di banyak Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia. Pembentukan Posbakum tersebut dilakukan secara bertahap. Pada tahun 2011, misalnya, dibentuk 46 Posbakum di 46 Pengadilan Agama di seluruh Indonesia. Pada tahun 2012, jumlah Posbakum bertambah menjadi 69 di 69 Pengadilan Agama di seluruh Indonesia. Pada tahun 2013, jumlah Posbakum yang ada masih tetap sama dengan tahun sebelumnya. Pada tahun 2014, direncanakan penambahan 5 Posbakum di 5 Pengadilan Agama di Indonesia, antara lain di Pengadilan Agama Stabat, Pengadilan Agama Cibinong, Pengadilan Agama Purwokerto, Pengadilan Agama Tulungagung, dan Pengadilan Agama

46

Lampiran 7 Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum.


(51)

Girimenang, sehingga total Posbakum di Pengadilan Agama di seluruh Indonesia menjadi 74 Posbakum.47

Usaha untuk membentuk suatu undang-undang khusus mengenai bantuan hukum membuahkan hasil dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum. Dengan lahirnya Undang-Undang tersebut, pemberian bantuan hukum di Indonesia mencapai suatu ketegasan melalui tatanan prosedural yang tegas dan pasti yang diatur dalam Undang-Undang tersebut sehingga lebih menjamin kepastian hukum bagi perlindungan hak-hak masyarakat miskin guna memperoleh keadilan dan persamaan di muka hukum.

B. Konsep Bantuan Hukum dan Perkembangannya

Sejalan dengan kegiatan bantuan hukum untuk masyarakat miskin yang semakin meluas dan memasyarakat, suatu pandangan kritis terhadap konsep-konsep bantuan hukum yang kini dikembangkan di Indonesia mulai banyak dilontarkan oleh kalangan hukum dan kalangan ilmuwan sosial.48

Pertama, konsep bantuan hukum tradisional. Konsep ini bertitik pada pelayanan hukum yang diberikan kepada masyarakat miskin secara individual. Sifat dari bantuan hukum ini pasif dan cara pendekatannya sangat formal-legal, dalam arti melihat segala permasalahan hukum kaum miskin semata-mata dari

Para ahli tersebut mengkategorikan bantuan hukum dalam 2 konsep pokok.

47

Tahun 2014 Posbakum Bertambah 5 Menjadi 74, diakses dari

48

Abdul Hakim G. Nusantara, “Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural” dalam Abdul Hakim dan Mulyana W. Kusumah, Beberapa Pemikiran Mengenai Bantuan Hukum: Ke Arah Bantuan Hukum Struktural, (Bandung: Penerbit Alumni, 1981), hlm. 16.


(52)

sudut hukum yang berlaku. Orientasi dan tujuan bantuan hukum ini adalah untuk menegakkan keadilan untuk si miskin menurut hukum yang berlaku, kehendak mana dulunya didasarkan atas landasan semangat charity dan tanggung jawab profesi.

Konsep bantuan hukum tradisional yang individual ini pada dasarnya memang merupakan konsep lama yang sejalan dengan sistem hukum yang ada dimana bantuan hukum diberikan pada setiap kasus yang menurut hukum beralasan untuk dibela. Namun demikian, penekanan di dalam konsep bantuan hukum ini lebih kepada hukum itu sendiri, hukum yang selalu diandaikan netral, sama rasa, dan sama rata. Hal ini menimbulkan permasalahan dimana sering terjadi hukum itu tidak memberikan keadilan dan bahkan hukum itu pada posisinya yang netral justru menguntungkan mereka yang berkuasa dan yang berpunya dan merugikan mayoritas rakyat miskin.49

Tuntutan keberpihakan terhadap kaum miskin yag seharusnya dilakukan dalam hal pemberian bantuan hukum pada akhirnya menimbulkan suatu keadaan dimana bantuan hukum tradisional itu tidak lagi cukup. T. Mulya Lubis mengemukakan 7 alasannya sebagai berikut.

1. Bahwa sifat bantuan hukum tradisional itu adalah individual sebagaimana yang terlihat dari Pasal 259 HIR dan Pasal 35, 36, 37 UU Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal-pasal dalam KUHAP yang menggantikan HIR juga tetap bersifat tradisional dan individual. Di sini bantuan hukum kurang lebih sama dalam pelayanan kesehatan individual yang

49


(53)

tidak mempertimbangkan kondisi-kondisi sosial. Asal seseorang itu membuktikan dirinya tidak sehat atau buta hukum dan miskin, maka orang tersebut punya hak untuk diobati atau diberi bantuan hukum. Padahal sesungguhnya rakyat yang sakit itu adalah rakyat yang diasingkan dari hak-hak dasar mereka;

2. Sistem hukum Indonesia menunjang sistem bantuan hukum tradisional yang individual. Masih belum dimungkinkan suatu bantuan hukum kolektif dalam hukum acara Indonesia, seperti class action di Amerika. Dalam hukum acara di Indonesia, orang yang dirugikan harus memberi kuasa sehingga proses hukum tidak sederhana dan cepat. Seharusnya gugatan satu orang dapat dijadikan dasar bagi yang lain untuk mengajukan klaim apabila gugatan itu berhasil sehingga kita dapat terhindar dari proses berperkara yang mahal dan lama; 3. Bantuan hukum kita masih sangat bersifat perkotaan dan belum menyentuh

lapisan masyarakat pinggiran;

4. Sifat hukum kita yang pasif sebenarnya lebih berperan sebagai legitimasi status quo yang mempertahankan pola hubungan menindas antara Pusat (masyarakat yang kuat dan berkuasa) dengan Pinggiran (masyarakat yang lemah dan miskin). Seharusnya hukum itu bersifat aktif mendatangi Pinggiran dan menyelesaikan konflik yang terjadi di Pinggiran antara pusat dengan Pinggiran. Dengan kata lain, hukum yang aktif itu tidak saja bergerak secara horizontal, tetapi juga struktural;

5. Bantuan hukum masih terlalu terikat dengan pendekatan-pendekatan hukum semata sehingga pendekatan bukan hukum kurang diperhatikan padahal


(54)

pendekatan tersebut justru bisa membantu mempercepat penyeleseaian sengketa atau konflik sosial;

6. Bantuan hukum masih berjalan sendiri atau baru pada tahapan bekerja sama dengan sesama organisasi bantuan hukum. Padahal dimensi sengketa dan konflik tidak semata bersifat hukum sehingga kerja sama seharusnya diperluas dengan organisasi-organisasi di luar lembaga bantuan hukum sehingga akan mempercepat penyelesaian konflik yang lebih menyeluruh atau struktural; 7. Bantuan hukum belum mengarah pada terciptanya gerakan sosial. 50

Berdasarkan alasan-alasan tersebut, maka menurut T. Mulya Lubis, pola hubungan yang menindas antara Pusat-Pinggiran haruslah dihadapi dengan pendekatan yang lebih integral dan ekstra-legal.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka berkembanglah suatu konsep bantuan hukum yang kedua, yaitu konsep bantuan hukum konstitusional. Konsep ini mengadakan bantuan hukum untuk rakyat miskin yang dilakukan dalam kerangka usaha dan tujuan yang lebih luas, seperti:

1. Menyadarkan hak-hak masyarakat miskin sebagai subyek hukum;

2. Penegakan dan pengembangan nilai-nilai hak asasi manusia sebagai sendi utama bagi tegaknya negara hukum.

Berbeda dengan konsep bantuan hukum tradisional, sifat dari jenis bantuan hukum konstitusional lebih aktif dimana bantuan hukum diberikan tidak saja secara individual melainkan juga kepada kelompok-kelompok masyarakat secara kolektif. Cara pendekatan yang dilakukan di samping formal-legal, juga melalui

50


(55)

jalan politik dan negosisasi. Hal ini berarti usaha menyelesaikan masalah hukum tidak selalu ditempuh melalui jalur hukum yang berlaku tetapi melalui jalur politik dan negosiasi. Oleh karena itu, aktivitas seperti kampanye penghapusan ketentuan hukum yang dianggap membatasi ruang gerak bagi partisipasi aktif rakyat miskin, kontrol terhadap birokrasi pemerintah, pendidikan hukum masyarakat menjadi bagian yang esensial dalam konsep bantuan hukum konstitusional.

Dengan demikian, lingkup kegiatan bantuan hukum ini cukup luas, tidak terbatas pada pelayanan hukum di dalam maupun di luar pengadilan. Orientasi dan tujuannya adalah usaha mewujudkan negara hukum yang berlandaskan pada prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. Bantuan hukum untuk rakyat miskin dipandang sebagai suatu kewajiban dalam rangka untuk menyadarkan mereka sebagai subyek hukum yang memiliki hak-hak yang sama dengan golongan masyarakat lain.51

Terhadap konsep bantuan hukum konstitusional, para pengamat dari kalangan ilmuwan sosial yang berorientasi ke bawah menganggap bahwa bentuk-bentuk bantuan hukum tersebut masih belum mampu menembus permasalahan dasar yang dihadapi masyarakat miskin di Indonesia. Bentuk bantuan hukum konstitusional lebih merupakan konsekuensi dari cara golongan menengah dalam memandang permasalahan sosial di Indonesia. Pendidikan dan penerangan hukum dalam kerangka menciptakan proses penyadaran hak-hak masyarakat miskin sebagai subyek hukum tidak akan banyak merubah nasib golongan miskin tanpa

51


(1)

pemberi bantuan hukum dalam hal pelaksanaan ketentuan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum. Di sisi lain, masyarakat miskin yang hendak memperoleh bantuan hukum secara cuma-cuma juga masih terkendala dengan persoalan administrasi. Demikian pula, masih banyak oknum penegak hukum yang tidak menjalankan pemberian bantuan hukum probono ini dengan baik.

B. Saran

Berdasarkan rumusan yang terdapat dalam pembahasan dan kesimpulan, maka selanjutnya disarankan hal-hal sebagai berikut:

1. Konsep, ruang lingkup, jenis, tujuan, dan fungsi bantuan hukum telah dikembangkan agar dapat lebih menjamin kepentingan kaum miskin. Meskipun demikian, sangat disayangkan bahwa masih banyak masyarakat miskin yang tidak menyadari/mengetahui keberadaan bantuan hukum ini. Hal ini menjadi tugas Pemerintah bersama-sama dengan aparat penegak hukum, seperti hakim, jaksa, polisi, dan advokat, untuk mensosialisasikan kepada masyarakat umum agar mereka mengetahui bahwa mereka mempunyai hak atas bantuan hukum apabila berperkara. Dengan demikian, keberadaan bantuan hukum di Indonesia tidak akan menjadi sekedar tercantum dalam peraturan perundang-undangan tetapi sama sekali tidak terlaksana.


(2)

pertimbangan bagi Pemerintah Republik Indonesia untuk terus berupaya mengadakan penyempurnaan terhadap peraturan-peraturan mengenai bantuan hukum agar dapat menjamin kepastian hukum yang tegas dalam pelaksanaan bantuan hukum bagi golongan miskin sehingga hak-haknya terjamin.

3. Di Kota Medan, pelaksanaan bantuan hukum masih menemui kendala-kendala, terutama mengenai persoalan dana. Hal ini menjadi masukan bagi para pihak yang terkait dengan pelaksanaan bantuan hukum agar dapat menggalang kerja sama dengan lebih baik lagi tanpa mementingkan suatu golongan atau kepentingan pribadi. Begitu pula dengan penegak hukum yang nakal dan sistem yang bobrok perlu untuk dibenahi dan dibersihkan. Kesadaran hukum yang baik perlu dipupuk dalam diri calon-calon penegak hukum agar dapat menjadi penegak hukum yang bersih dan teguh memegang kode etiknya. Demikian pula, Pemerintah sendiri perlu bersikap tegas dalam menentukan prioritas dan memangkas anggaran yang tidak perlu sehingga dana yang dialokasikan untuk pemberian bantuan hukum dapat lebih menjamin penegakan bantuan hukum itu sendiri.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. 1983. Aspek-Aspek Bantuan Hukum di Indonesia. Jakarta: Cendana Press.

Sumber Buku

Aminah, Siti. 2009. Bantuan Hukum di Indonesia. Jakarta: YLBHI.

Amiruddin dan Zainal Asikin. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Harahap, M. Yahya. 2006. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP – Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika.

Lubis, T. Mulya. 1986. Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural. Jakarta: LP3ES.

Panjaitan, Daniel. 2006. Panduan Bantuan Hukum di Indonesia – Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum. Jakarta: YLBHI.

Sartono dan Bhekti Suryani. 2013. Prinsip-Prinsip Dasar Advokat. Jakarta: Dunia Cerdas.

Soekanto, Soerjono. 1983. Bantuan Hukum – Suatu Tinjauan Sosio Yuridis. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Subekti, R. 1977. Hukum Acara Perdata. Bandung: Bina Cipta.

Sunggono, Bambang dan Aries Harianto. 2001. Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia. Bandung: CV. Mandar Maju.


(4)

Winata, Frans Hendra. 2000. Bantuan Hukum – Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

Winata, Frans Hendra. 2009. Pro Bono Publico: Hak Konstitusional Fakir Miskin Untuk Memperoleh Bantuan Hukum. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Sumber Peraturan Perundang-Undangan

2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.

5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat.

6. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. 7. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum.

8. Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2008 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Cuma-Cuma.

9. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum.

10.Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum.


(5)

Asshiddiqie, Jimly. Gagasan Negara Hukum Indonesia. Badan Pembinaan Hukum Nasional: Majalah Hukum Nasional.

Sumber Artikel dan Jurnal

Dias, Clarence J. 1975. Research on Legal Services and Poverty: Its Relevance to the Design of Legal Service Programs in Developing Countries, Washington University Law Quarterly.

Mosgan Situmorang, dkk. 2011. Penelitian Hukum tentang Tanggung Jawab Negara dan Advokat dalam Memberikan Bantuan Hukum Kepada Masyarakat. Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM.

Nusantara, Abdul Hakim G dan Mulyana W. Kusumah. 1981. Beberapa Pemikiran Mengenai Bantuan Hukum: Ke Arah Bantuan Hukum Struktural. Bandung: Penerbit Alumni.

“Kapan Putusan Pengadilan Dinyatakan Berkekuatan Hukum Tetap?”,

Sumber Internet

“LBH Medan: Dahulu, Sekarang, dan Ke Depan”,


(6)

“Point Krusial Implementasi UU Bantuan Hukum”,

“Tahun 2014 Posbakum Bertambah 5 Menjadi 74”,

1. Wawancara dengan Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Medan, Amril, SH, M.Hum.

Sumber Wawancara

2. Wawancara dengan Ismail Lubis, SH, Advokat dan Staf Lembaga Bantuan Hukum Medan.

3. Wawancara dengan Reni Lorensa, Sekretaris Lembaga Bantuan Hukum Medan.


Dokumen yang terkait

Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-cuma Kepada Anak Golongan Masyarakat Kurang Mampu Yang Berkonflik Dengan Hukum Dalam Peradilan Pidana Anak (Studi di Lembaga Bantuan Hukum Medan)

2 53 120

TINJAUAN YURIDIS PEMBERIAN BANTUAN HUKUM KEPADA MASYARAKAT BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM

0 15 87

PERANAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM KEPADA ORANG YANG TIDAK MAMPU SETELAH DIUNDANGKANNYA UNDANG-UNDANG BANTUAN HUKUM NOMOR 16 TAHUN 2011.

0 2 22

PERANAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM SECARA CUMA-CUMA TERHADAP PERANAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM SECARA CUMA-CUMA TERHADAP MASYARAKAT MISKIN PADA PERADILAN PIDANA.

0 2 11

Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-cuma Kepada Anak Golongan Masyarakat Kurang Mampu Yang Berkonflik Dengan Hukum Dalam Peradilan Pidana Anak (Studi di Lembaga Bantuan Hukum Medan)

0 0 9

Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-cuma Kepada Anak Golongan Masyarakat Kurang Mampu Yang Berkonflik Dengan Hukum Dalam Peradilan Pidana Anak (Studi di Lembaga Bantuan Hukum Medan)

0 0 1

Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-cuma Kepada Anak Golongan Masyarakat Kurang Mampu Yang Berkonflik Dengan Hukum Dalam Peradilan Pidana Anak (Studi di Lembaga Bantuan Hukum Medan)

0 0 28

Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-cuma Kepada Anak Golongan Masyarakat Kurang Mampu Yang Berkonflik Dengan Hukum Dalam Peradilan Pidana Anak (Studi di Lembaga Bantuan Hukum Medan)

0 0 26

Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-cuma Kepada Anak Golongan Masyarakat Kurang Mampu Yang Berkonflik Dengan Hukum Dalam Peradilan Pidana Anak (Studi di Lembaga Bantuan Hukum Medan)

0 0 2

PERANAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM MAKASSAR DALAM MEMBERIKAN BANTUAN HUKUM SECARA CUMA-CUMA

0 0 93