1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Program keluarga berencana merupakan salah satu program pembangunan nasional yang sangat penting dalam rangka mewujudkan
keluarga Indonesia yang sejahtera. Sesuai dengan Undang –Undang Nomor 10
Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, disebutkan bahwa Program Keluarga Berencana KB
adalah upaya peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui pendewasaan usia perkawinan, pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan
keluarga serta peningkatan kesejahteraan keluarga untuk mewujudkan keluarga kecil, bahagia dan sejahtera UU 101992. Keluarga berencana juga
berarti mengontrol jumlah dan jarak kelahiran anak, untuk menghindari kehamilan yang bersifat sementara dengan menggunakan kontrasepsi
sedangkan untuk menghindari kehamilan yang sifatnya menetap bisa dilakukan dengan cara sterilisasi Ekarini, 2008.
Peran program KB sangat besar pengaruhnya terhadap kesehatan reproduksi seseorang, baik itu untuk kesehatan reproduksi wanita maupun
kesehatan reproduksi pria. Peran KB bagi kesehatan reproduksi wanita diantaranya yaitu menghindari dari bahaya infeksi,
eklamsia, abortus, emboli obstetri
, komplikasi masa
puerpureum
nifas, serta terjadinya pendarahan yang disebabkan karena sering melakukan proses persalinan Depkes, 2007.
Selain itu program KB juga bertujuan untuk mengatur umur ibu yang tepat
2
untuk melakukan proses persalinan, sebab jika umur ibu terlalu muda atau terlalu tua ketika melakukan persalinan, hal ini akan sangat beresiko
mengakibatkan perdarahan serius yang bisa mengakibatkan kematian bagi ibu maupun bayinya Depkes, 2007. Di Indonesia Angka Kematian Ibu AKI
mencapai 228 per 100.000 kelahiran hidup dan Angka Kematian Bayi AKB 34 per 1000 kelahiran hidup SDKI, 2007. Hal ini membuktikan bahwa
Indonesia masih berada pada posisi tertinggi di Asia untuk angka kematian ibu. Angka tersebut juga masih jauh dari target
Millenium Development Goals
MDGs 2015 yaitu AKI 102 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB 24 per 1000 kelahiran hidup. Oleh karena itu dengan program KB yang terus
digalakan pemerintah, diharapkan nantinya MDGs 2015 dapat tercapai sesuai target.
Program KB juga berperan bagi kesehatan reproduksi suami antara lain untuk mencegah terkena Penyakit Menular Seksual PMS seperti:
sifilis, gonorhea
, dan penyakit kelamin lain yang diakibatkan oleh tidak menggunakan alat kontrasepsi kondom ketika melakukan hubungan seksual
dengan istrinya yang terkena PMS . Selain mencegah terkena penyakit menular seksual Program KB juga dimaksudkan untuk membantu pria yang
mengalami gangguan disfungsi seksual serta membantu pasangan yang telah menikah lebih dari setahun tetapi belum juga memiliki keturunan, hal ini
memungkinkan untuk tercapainya keluarga bahagia Suratun, dkk, 2008.
3
Jumlah akseptor KB di Indonesia telah meningkat sejak tahun 1994. Pada tahun 2007 tercatat ada sekitar 38,9 juta Pasangan Usia Subur PUS,
sekitar 69,1 dari PUS tersebut merupakan akseptor KB, dan ada sekitar 31,9 PUS yang tidak berpartisipasi dalam KB SDKI, 2007. Di Propinsi
Jawa Tengah pada tahun 2008 tercatat persentase akseptor KB sebesar 78,09 dari sebanyak 6.357.836 PUS Dinkes Jateng, 2009. Di Kabupaten Sukoharjo
pada tahun 2008 tercatat ada sekitar 80,86 akseptor KB aktif, sedangkan di Kecamatan Kartasura hanya terdapat 76,38 yang tercatat sebagai akseptor
KB dari total jumlah sebanyak 17.480 PUS, persentase ini masih di bawah target pemerintah yaitu sebesar 84 KPPKB, 2009. Hal ini menempatkan
Puskesmas Kartasura di urutan ke-enam dalam pencapaian akseptor KB aktif di Kabupaten Sukoharjo.
Salah satu kunci kesuksesan program keluarga berencana nasional adalah adanya keterlibatan semua pihak, baik dari institusi pemerintah, swasta,
masyarakat dan dalam lingkup yang lebih kecil adalah keterlibatan seluruh anggota keluarga itu sendiri. Pelayanan keluarga berencana ditujukan kepada
pasangan usia subur, yang berarti harus melibatkan kedua belah pihak yakni istri maupun suami. Namun kenyataannya saat ini hanya perempuan saja yang
dituntut untuk menggunakan alat kontrasepsi. Hal ini dapat dilihat dari data akseptor KB di Indonesia yang menunjukkan bahwa lebih banyak wanita
daripada pria Siswosudarmo, dkk, 2007. Hal yang mendasar dalam pelaksanaan pengembangan program partisipasi pria untuk mewujudkan
keadilan dan kesetaraan gender adalah dalam bentuk perubahan kesadaran,
4
sikap, dan perilaku pria atau suami tentang keluarga berencana dan kesehatan reproduksi. Salah satu cara meningkatkan peran pria untuk mendukung istri
dalam mengikuti program keluarga berencana, yaitu berupa pemberian pengetahuan yang cukup tentang Program KB dan kesehatan reproduksi
wanita kepada para suami. Pengelola KB seyogyanya memahami pengetahuan, sikap dan perilaku dalam berbagai isu kesetaraan gender yang
terjadi saat ini mengenai peran antara pria dan wanita dalam Program KB BKKBN, 2003.
Peran aktif pria dalam ber-KB bisa berupa peran aktif secara langsung dan peran aktif secara tidak langsung. Peran aktif secara langsung yaitu
sebagai peserta KB dengan menggunakan alat kontrasepsi, dan peran aktif secara tidak langsung, yaitu mencari dan meningkatkan pemahaman tentang
KB, mendukung istri dalam ber-KB, sebagai motivatorpromotor bagi keluarga atau masyarakat di sekitarnya dan turut serta dalam merencanakan
jumlah anak Budisantoso, 2008. Saat ini perlunya peran aktif priasuami secara tidak langsung harus lebih ditekankan lagi, yaitu dengan cara suami
mendukung istri yang sedang mengikuti Program KB, karena peran aktif dan perhatian suami kepada istri yang sedang mengikuti Program KB sangat
berpengaruh terhadap keberhasilan Program KB BKKBN, 2003. Penelitian yang dilaksanakan di Kelurahan Sekaran Kecamatan Gunung
Pati Kabupaten Semarang diungkapkan bahwa dari 95 suami hanya ada 31,6 yang memberikan dukungan kepada istri dalam pemilihan alat kontrasepsi
Isti, 2007. Dukungan dan perhatian suami terhadap istri yang sedang
5
mengikuti Program KB sangat besar pengaruhnya untuk membentuk keluarga kecil yang berkualitas, karena dalam hal ini suami sebagai kepala keluarga
memegang peranan penting dalam pengambil keputusan di sebuah keluarga termasuk keputusan memberikan izin dan memberikan perhatian kepada istri
dalam mengikuti program KB Isti, 2007. Dampak negatif bila suami tidak mendukung keluarga berencana dan kesehatan reproduksi wanita yaitu bisa
menyebabkan terjadinya ketimpangan antara peran wanita dan pria dalam bidang keluarga berencana. Selain itu perempuan juga cenderung dijadikan
sasaran dalam masalah kesehatan reproduksi. Sikap peduli terhadap masalah kesehatan reproduksi perempuan selama masa kehamilan, persalinan, dan
pasca persalinan tidak menjadi tanggung jawab perempuan saja, melainkan menjadi tanggung jawab bersama antara pria dan wanita dalam membina
keluarga sejahtera Aman, dkk, 2004. Banyak faktor yang berhubungan dengan dukungan suami terhadap
kepesertaan istri dalam program keluarga berencana, faktor tersebut adalah: faktor predisposisi
predisposing factors
terdiri dari pengetahuan, sikap, keyakinan, nilai anak dan keinginan memilikinya, umur, tingkat pendidikan,
jumlah anak, pekerjaan, pendapatan, serta sosial budaya terhadap KB, kemudian yang kedua adalah faktor pemungkin
enabling factors
terdiri dari program pembangunan, ketersediaan KB, akses pelayanan KB, dan yang
ketiga adalah faktor pendorong
reinforcing factors
terdiri dari peran tokoh masyarakat, serta peran petugas kesehatan BKKBN, 2008.
6
Studi pendahuluan yang dilaksanakan oleh peneliti di Puskesmas Kartasura dengan mewawancarai 10 orang responden wanita PUS akseptor
KB menunjukkan bahwa hanya ada sekitar 30 suami yang mau memperhatikan sepenuhnya terhadap istri yang sedang mengikuti Program
KB. Hal ini dikarenakan kurangnya pengetahuan dan informasi yang didapat oleh suami mengenai tanggung jawab bersama program KB dan menyerahkan
sepenuhnya urusan KB kepada istri. Berdasarkan uraian tersebut maka peneliti tertarik untuk menggali
beberapa faktor yang berhubungan dengan dukungan suami terhadap kepesertaan istri dalam program KB di wilayah kerja Puskesmas Kartasura.
B. Rumusan Masalah