Kesesuaian konsep islam dalam praktik kerjasama bagi hasil petani desa Tenggulun Kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan Jawa Timur

KESESUAIAN KONSEP ISLAM DALAM PRAKTIK
KERJASAMA BAGI HASIL PETANI DESA TENGGULUN
KECAMATAN SOLOKURO KABUPATEN LAMONGAN
JAWA TIMUR

SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy)

IIN HAMIDAH
NIM 1110046100183

KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH
PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014 M./1436 H.

LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan dibawah ini,

Nama
: Iin Hamidah
NIM
: 1110046100183
Jurusan
: Perbankan Syariah
Fakultas
: Syariah dan Hukum
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu (S1) di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam skripsi ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Tidak menggunakan ide orang lain tanpa mampu mengembangkan dan
mempertanggungjawabkan.
4. Tidak menggunakan karya orang lain tanpa menyebutkan sumber asli atau
tanpa izin pemilik karya.
5. Mengerjakan sendiri karya ini dan mampu bertanggung jawab atas karya

ini.
Jika di kemudian hari ada tuntutan dari pihak lain atas karya saya, dan telah
melalui pembuktian yang dapat dipertanggungjawabkan, ternyata memang ditemukan
bukti bahwa saya telah melanggar pernyataan ini, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya.
Jakarta, 12 Nopember 2014
Penulis

Iin Hamidah

iii

ABSTRAK
Iin Hamidah, 1110046100183, Kesesuaian Konsep Islam dalam Praktik
Kerjasama Bagi Hasil Petani Desa Tenggulun Kecamatan Solokuro Kabupaten
Lamongan Jawa Timur. Konsentrasi Perbankan Syariah, Program Studi Muamalat
(Ekonomi Islam), Fakultas Syariah dan HukumUniversitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta 2014.
Masyarakat di Desa Tenggulun merupakan mayoritas petani dan bergerak di

bidang pertanian, disamping mengelola lahan sendiri juga memperkerjakan orang lain
untuk menggarap dengan sistem bagi hasil yang sesuai dengan kesepakatan atau adat
setempat. Pada umumnya kerjasama ini berdasarkan pada kata sepakat atau
kepercayaan antara kedua belah pihak dan dengan akad secara lisan, sehingga
memberi peluang antara kedua pihak melakukan hal-hal yang dapat merugikan,
seperti dalam isi perjanjian, hak dan kewajiban kedua pihak, pembagian bagi hasil
yang belum tentu sama dan sesuai dengan prinsip hukum Islam.
Dari sinilah penyusun mencoba menelusuri dan meneliti apakah pelaksanaan bagi
hasil di Desa Tenggulun tersebut terdapat penipuan dan eksploitasi salah satu pihak
terhadap pihak lain. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif
deskriptif yaitu penelitian yang menggambarkan informasi berdasarkan pada fakta
yang diperoleh di lapangan yang menghasilkan deskripsi berupa kata-kata atau lisan
dari fenomena yang diteliti atau dari orang-orang yang berkompeten dibidangnya.
Prosedur yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan melakukan wawancara
yang berkaitan dengan permasalahan melalui sumber primer yang selanjutnya
dikomparasikan dengan ketentun teori yang berlaku sebagai sumber skunder.
Berdasarkan penelitian, penyusun menyimpulkan bahwa dalam pelaksanaan
kerjasama bagi hasil yang dilakukan di Desa Tenggulun adalah aplikasi dari
mukhabarah. Akan tetapi dalam praktiknya tidak sepenuhnya sesuai dengan konsep
Islam yang ada, karena ada beberapa syarat yang tidak terpenuhi.

Kata kunci
: kerjasama, bagi hasil, konsep Islam, kualitatif deskriptif
Pembimbing : Dr. Dede Abdul Fatah, S.H.I.,M.Si
Daftar Pustaka: Tahun 1998 s.d 2012

iv

KATA PENGANTAR

‫سم ه‬
‫الرح ْيم‬
‫الر ْحمن ه‬
‫َ ه‬
ْ ‫ب‬
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya, terucap dengan tulus dan ikhlas Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin tiada
henti karena dapat terselesaikannya penulisan skripsi ini. Shalawat serta salam
semoga selalu tercurah limpahkan kepada Insan pilihan Tuhan Khatamul anbiya’i
Walmursalin Muhammad SAW.
Skripsi yang berjudul “Kesesuaian Konsep Islam Dalam Praktik

Kerjasama Bagi Hasil Petani Desa Tenggulun Kecamatan Solokuro Kabupaten
Lamongan”

akhirnya

dapat terselesaikan sesuai dengan harapan

penulis.

Kebahagiaan yang tidak ternilai bagi penulis secara pribadi adalah dapat
mempersembahkan yang terbaik kepada orang tua, seluruh keluarga dan pihak-pihak
yang andil dalam mensukseskan harapan penulis.
Penulis menyadari, bahwa penulisan skripsi ini selesai bukan semata dari hasil
karya tangan penulis sendiri, tetapi juga karena bantuan dari beberapa pihak yang
dengan tulus meluangkan waktu meski hanya sekedar menuangkan aspirasi ataupun
hanya sekedar memberi motivasi kepada penulis. Tanpa mereka, penulisan skripsi ini
akan terasa sangat berat. Karena itu, sudah sepantasnya pada kesempatan ini penulis
mengucapkan banyak terima kasih, kepada:

v


1. Dr. H. JM. Muslimin, MA, Ph.D selaku dekan Fakutas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. H. Ah. Azaruddin Lathif, M Ag, MH selaku ketua Program Studi Mu’amalat
Fakultas Syariah dan Hukum dan Abdurrauf, Lc, MA. selaku Sekretaris
Program Studi Muamalat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Dr. Dede Abdul Fatah, SHI.,M.Si Selaku Dosen Pembimbing yang selalu
meluangkan waktu, memberikan arahan, memberikan motivasi, dan
membimbing penulis dengan baik.
4. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mendidik dan
memberikan bekal ilmu kepada penulis selama kuliah, baik secara langsung
ataupun tidak langsung.
5. Staf perpustakaan baik kepada pihak perpustakaan Utama, perpustakaan
Fakultas dan Hukum yang telah membantu memberikan pinjaman buku-buku
sebagai bahan acuhan untuk menyusun skripsi.
6. Bapak Abu Sholeh, selaku Kepala Desa Tenggulun yang telah memberikan
izin dan kesempatan bagi penyusun untuk mengadakan penelitian serta
memberikan data-data yang penyusun butuhkan selama melaksanakan
penelitian.

7. Bapak Sukaeri, Bapak Ma’sum, dan Bapak Mohammad Hasan selaku tokoh
masyarakat yang telah memberikan bantuan dan masukan bagi penyusun
dalam penelitian ini.
vi

8. Bapak dan Ibu responden baik dari pihak penggarap maupun pihak pemilik
lahan yang bersedia diwawancarai dan memberikan data-data yang penyusun
butuhkan selama mengadakan penelitian.
9. Orang Tua tercinta Ibunda Nasriyah dan Ayahanda Samiaji yang telah
mengasuh, membesarkan, mendoakan, mendidik, dan selalu memberikan
semangat, bantuan baik moral maupun materil kepada penulis. Rasanya tidak
pernah cukup untuk berterima kasih semoga Allah SWT selalu mencurahkan
rahmat dan kasih sayang kepada keduanya.
10. Sahabat-sahabatku CIM tercinta dan seperjuangan, Laila yang selalu ada
waktu untuk menemani disaat senang dan duka dan yang selalu ada disaat
penyusun butuhkan. Nida, meli, dan yuni sahabat terbaik sejak semester awal.
Kebersamaan dengan kalian merupakan pengalaman yang tidak dapat
penyusun lupakan.
11. Keluarga Besar WASIAT Jakarta yang menjadi keluarga kedua penyusun
selama berada di perantauan, sehingga bisa membentuk karakter penulis yang

seperti sekarang. Kebersamaan kalian tidak akan pernah terlupakan. Semoga
selamanya tetap terjaga.
12. Teman seperjuangan di Jurusan Perbankan Syariah angkatan 2010, khususnya
teman sekelas PS.D SQUAD, teman-teman KKN CABE 2013, yang selalu
memotivasi, semoga tali silaturrahmi kita tetap terjalin.

vii

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih terdapat banyak
kekurangan, maka dengan terbuka dan senang hati penulis menerima kritik dan
masukan yang membangun agar penulis dapat menulis dengan lebih baik lagi di masa
mendatang.
Akhir kata, penulis berharap Allah SWT membalas semua kebaikan semua pihak
yang telah memberikan doa, dukungan, serta bantuan. Semoga skripsi ini membawa
manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya pengembangan ilmu
Ekonomi Islam.
Jakarta, 12 Nopember 2014
penulis

Iin Hamidah


viii

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING.................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN............................................. ...............ii
LEMBAR PERNYATAAN.........................................................................................iii
ABSTRAK...................................................................................................................iv
KATA PENGANTAR...................................................................................................v
DAFTAR ISI..............................................................................................................viii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah..................................................................1
B. Identifikas Masalah..........................................................................6
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah..............................................6
D. Tujuan dan Mafaat Penelitian..........................................................7
E. Metode Penelitian............................................................................9
F. Sistematika Penulisan....................................................................12


BAB II

KAJIAN KEPUSTAKAAN
A. Teori Umum
1. Taghrir.....................................................................................14
2. ‘urf...........................................................................................18
3. Sistem Kerjasama (Bagi Hasil) dalam Pertanian....................20

viii

B. Kerja Sama Pertanian dalam konteks Islam
1. Istilah Kerja Sama (Bagi Hasil) dalam Pertanian Menurut
Konsep Islam...........................................................................20
2. Dasar Hukum KerjaSama (BagiHasil) dalam Islam................25
3. Rukun dan Syarat Kerjasama (BagiHasil) dalam Islam..........28
4. Para Pihak dalam Perjanjian Bagi Hasil..................................31
5. Sifat Kerjasama (Bagi Hasil) dalam Pertanian........................32
6. Hikmah Kerjasama (BagiHasil) dalam Pertanian....................33
7. Berakhirnya Kerjasama (BagiHasil) dalam Pertanian.............33

8. Ketentuan-ketentuan

Kerjasama

(BagiHasil)

dalam

Pertanian..................................................................................34
C. Review Studi Terdahulu................................................................39
BAB III

GAMBARAN UMUM WILAYAH
A. Gambaran Umum Kabupaten Lamongan......................................41
B. Gambaran Umum Desa Tenggulun...............................................44
C. Kondisi Sosialisasi Desa Tenggulun.............................................51

BAB IV

PEMBAHASAN DAN ANALISA HASIL PENELITIAN
A. Sistem Pertanian Desa Tenggulun.................................................52
B. Sistem Kerja Sama Bagi Hasil Pertanian dan Kesesuainnya dengan
Prinsip Fiqh Mu’amalah
1. Alasan Kerjasama (Bagi Hasil) dilakukan...............................55

ix

2. Pengetahuan Masyarakat terhadap Bagi Hasil dalam Konsep
Islam..................................................................................59
3. Kata Sepakat dalam Akad........................................................60
4. Kecakapan Hukum Berdasarkan Usia.....................................61
5. Bentuk Perjanjian Kerjasama Bagi Hasil................................62
6. Lamanya Waktu Perjanjian.....................................................64
7. Berakhirnya Perjanjian Kerja Sama........................................66
8. Aspek Keadilan dalam Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian
di

Desa

Tenggulun

Kecamatan

Solokuro

Kabupaten

Lamongan..........................................................................68
BAB V

PENUTUP
A. Kesimpulan...............................................................................71
B. Saran.......................................................................................72

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................73

x

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Negara Indonesia merupakan Negara Agraris dan tanahnya terkenal subur.
Hampir 50% dari total tenaga kerja bekeja di sektor pertanian. Sektor pertanian dan
pedesaan memiliki peran yang sangat strategis dalam pembangunan nasional.
Melihat pentingnya sektor pertanian dan pedesaan, selain sebagai andalan mata
pencaharian sebagian besar penduduk, sektor pertanian dan pedesaan juga mampu
meningkatkan sumbangan kepada PDB (Produk Domestik Bruto), memberikan
kontribusi terhadap ekspor (Devisa), bahkan ketika terjadi krisis moneter, sektor
pertanian dan pedesaan mampu menjadi penyangga perekonomian nasional. 1
Islam sebagai ajaran yang mengajarkan kehidupan yang seimbang antara
material dan spiritual, dunia dan akhirat, memberikan perhatian yang sangat besar
terhadap kegiatan pertanian dan cabangnya. Perhatian tersebut terlihat dari
banyaknya ayat al-Qur’an, matan hadis, dan kehidupan Rasulullah SAW dan para
sahabatnya yang berkaitan dengan pertanian. Kegiatan pertanian dalam Islam bukan
hanya semata-mata kegiatan duniawi dan material, melainkan bersifat ukhrawi
spiritual. Dengan demikian, kegiatan pertanian dalam Islam harus ditujukan untuk
meyakini adanya Allah SWT dan mengagungkan kebesarannya. 2

1

Soekartwi, Agribisnis Teori dan Aplikasinya, cet.VI, (Jakarta: PT Raja Gafindo Persada,
2001), h.10.
2
Jusuf Sutanto, dkk, Revitalisasi Pertanian dan Dialog peradaban (Jakarta: Kompas, 2006),
h.693-694.

1

2

Tanah atau lahan adalah hal yang penting dalam sektor pertanian. Pertanian
harus mendapatkan perhatian, karena melalui pertanian manusia dapat memenuhi
kebutuhan hidupnya terutama dalam hal mendapatkan makanan. 3 Pertanian juga
sangat penting keberadaannya dalam masyarakat. Ajaran Islam mengatur praktekprakteknya agar sesuai dengan syariat. Selain itu juga Islam menganjurkan apabila
seseorang memiliki tanah atau lahan pertanian maka ia harus memanfaatkannya dan
mengolahnya.
Pengolahan lahan pertanian tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara
sebagaimana yang telah diajarkan oleh Islam seperti halnya dengan cara diolah
sendiri oleh yang punya atau dengan cara dipinjamkan kepada orang lain untuk
dikelola dengan menggunakan bagi hasil. Hal ini dilakukan karena dalam masyarkat
ada sebagian diantara mereka yang mempunyai lahan pertanian, tetapi tidak
mempunyai kemampuan bertani, baik dalam segi modal maupun dalam segi
kemampuan tenaga. Ada juga sebagian yang lainnya yang tidak memiliki apapun,
tetapi mempunyai tenaga untuk bertani. Agar tidak ada tanah pertanian yang
menganggur, maka Islam mengharuskan kepada setiap pemilik lahan untuk
memanfaatkannya

sendiri.

Jika

pemilik

tidak

dapat

mengerjakan

dengan

kemampuannya sendiri, maka pengelolaannya dapat diserahkan kepada orang lain
yang lebih ahli dalam pertanian. Maka dengan adanya peraturan seperti ini keduanya
dapat hidup dengan baik. Karena selain itu juga, dalam sistem bagi hasil pertanian
sering terjadi permasalahan dikalangan masyarakat, meskipun ketentuan-ketentuan
3

Izzudin khatib al-Tamim, Bisnis Islami, cet.I, (Jakarta: Fikahari Aneska, 1992), h.56.

3

dan syarat sudah ada, tapi sering terjadi kesalah pahaman antara pemilik tanah
dengan penggarap dari segi hasilnya, karena hasil yang didapatkan terkadang tidak
sesuai dengan apa yang kita harapkan, dan juga mengenai hal benih yang akan
ditanam.
Islam mempunyai solusi memanfaatkan lahan pertanian dengan sistem yang
lebih menunjukkan nilai-nilai keadilan bagi kedua belah pihak, yakni dengan cara
kerjasama bagi hasil yang menggunakan sistem muzra’ah, mukhabarah, dan
musaqah yang merupakan contoh kerjasama di bidang pertanian Islam.4
Aspek

pertanian

merupakan aspek

penting

dalam

mengembangkan

pertumbuhan suatu negara, sebagaimana al-Syaibani lebih mengutamakan usaha
pertanian daripada usaha yang lain. Menurutnya, pertanian memproduksi berbagai
kebutuhan dasar manusia yang sangat menunjang dalam melaksanakan berbagai
kewajibannya. 5
Sebagai suatu kontrak kerjasama yang mempertemukan dua pihak yang
berbeda dalam proses dan bersatu dalam tujuan. Kerjasama ini memerlukan beberapa
kesepakatan berupa ketentuan-ketentuan yang meliputi aturan dan wewenang yang

Muzara’ah adalah kerja sama antara pemilik tanah dengan penggarapnya yang bibitnya
berasal dari pemilik tanah. Mukhabarah adalah kerja sama antara pemilik tanah dengan penggarapnya
yang bibitnya berasal dari petani. Sedangkan musaqah adalah kerja sama antara pemilik kebun atau
tanaman dan pengelola untuk memelihara dan merawat kebun. Dan semuanya dengan kesepakatan
bagi hasil dari hasil panen yang didapatkan.
5
Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, “al-Iktisab fi al-Rizq al-Mustathab”, dalam Euis
Amalia, Sejarah Pemikiran Islam dari Masa Klasik hingga Kontemporer (Jakarta:Pustaka Asatruss,
2005), h.96.
4

4

dirumuskan oleh kedua belah pihak yang akan menjadi patokan hukum berjalannya
aktivitas bagi hasil tersebut.
Sistem bagi hasil banyak ditemui di Indonesia sejak jaman kuno sampai
sekarang, yaitu pada bisnis pertanian, peternakan dan perdagangan. Mukhabarah dan
muzara’ah dengan persentase 50%:50% adalah yang umum dipraktekan. Kerjasama
bagi hasil memelihara ternak dengan cara maro (bagi hasil dengan nisbah 50%:50%
dari anak ternaknya atau dari selisih nilai jual dengan nilai pada saat ternak
diserahkan kepada pemeliharannya).
Bagi hasil tanah pertanian antara pemilik tanah dan penggarap sudah diatur
sedemikian rupa oleh hukum Islam dan Undang-Undang di Indonesia. Dalam hukum
Islam banyak dijelaskan dalam kitab-kitab fiqih mengenai tentang sistem pertanian.
Sistem-sistem tersebut dikenal dengan istilah muzra’ah, mukhabarah, musaqah dan
mugharasah. Dalam Undang-Undang di Indonesia juga telah diatur tentang bagi
hasil pertanian yang berlaku secara menyeluruh yaitu Undang-Undang no 2 tahun
1960 yang mengatur perjanjian bagi hasil pemilik tanah dan penggarap dengan
pembagian bagi hasil yang adil dengan menegaskan hak dan kewajiban para pihak
yang melakukan akad tersebut.
Desa Tenggulun merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan
Solokuro Kabupaten Lamongan dengan jumlah pnduduk 2.515 jiwa atau 688 KK
yang mayoritas penduduknya bekerja di sektor pertanian. Sistem pertanian yang
dipakai oleh masyarakat bermacam-macam sesuai dengan adat dan kondisi

5

penduduk. Namun, tidak semua petani mempunyai tanah pertanian sendiri, bagi
petani yang tidak mempunyai tanah pertanian mereka bekerja menegelola tanah
petani lainnya yang mempunyai tanah. Salah satu sistem pengelolaan pertanian yang
dipakai oleh penduduk Desa Tenggulun adalah sistem garapan sawah parohan atau
sistem bagi hasil.
Sistem bagi hasil garapan sawah di Desa Tenggulun ini berbeda dengan
sistem bagi hasil di daerah lain pada umumnya. Bagi Hasil tersebut tidak ada
ketentuan presentase antara pemilik lahan dengan petani penggarap. pembagian hasil
panen sesuai dengan panendapatan panen yang dihasilkan. Ketentuan yang
dijelaskan dalam fiqh mu’amalat, setiap melakukan akad perjanjian dengan pihak
lain harus ada perjanjian bagi hasil yang ditentukan di awal ketika melakukan akad.
Tetapi perjanjian akad yang dilakukan oleh masyarakat Desa Tenggulun ini tidak
sesuai dengan ketentuan yang dijelaskan dalam fiqh mu’amalat. Dilihat dari kebiasan
masyarakat Desa Tenggulun melakukan bagi hasil dalam sistem pertanian terdapat
ketidakadilan, dimana petani penggarap mendapatkan bagian lebih besar daripada
pemilik lahan, seperti merugikan pemilik lahan.
Untuk itu, penulis merasa perlu untuk mengangkat permasalahan ini menjadi
suatu masalah penelitian untuk mengetahui sejauh mana konsep Islam dipraktekkan
dalam melakukan kerja sama di bidang pertanian. maka dari itu penulis mengangkat
tema skripsi dengan judul,

6

“KESESUAIAN KONSEP ISLAM DALAM PRAKTIK KERJASAMA
BAGI HASIL PETANI DESA TENGGULUN KECAMATAN SOLOKURO
KABUPATEN LAMONGAN JAWA TIMUR”.
B. IDENTIFIKASI MASALAH
Sebelum melakukan perumusan masalah, sebaiknya penulis melakukan
pengidentifikasian masalah terlebih dahulu yang ada sangkut paut dan hubungannya
dengan tema yang diangkat tersebut, diantaranya:
1. Sistem pertanian apa yang dipakai oleh masyarakat Desa Tenggulun?
2. Bagaimana tanggapan masyarakat tentang praktik bagi hasil pertanian
yang ada di Desa Tenggulun tersebut?
3. Apakah praktik bagi hasil pertanian yang ada di Desa Tenggulun sesuai
dengan konsep syariah?
C. PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH
Istilah kerjasama dalam konsep Islam di bidang pertanian telah mencakup
pembahasan yang banyak, diantaranya ada yang disebut muzara’ah, mukhabarah,
dan musaqah.
Agar pembahasan dalam skripsi ini lebih terarah dan tidak terlalu meluas,
maka penulis membatasinya dalam masalah kesesuaian konsep Islam dalam praktik
kerjasama bagi hasil petani khususnya yang dilakukan masyarakat Desa Tenggulun
Kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan Jawa Timur.
Yang dimaksud dengan kesesuaian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) yaitu kecocokan; keselarasan (tt pendapat, paham, nada, kombinasi, warna,

7

dsb);

6

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) konsep berarti rancangan

atau buram surat dsb; ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa kongkret;
gambaran mental dari obyek, proses, atau apapun yang ada diluar bahasa, yang
digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal itu.7 Jadi dapat disimpulkan
konsep Islam yaitu gagasan yang dirancang sebaik mungkin sesuai dengan peraturanperaturan Islam dan tidak menyimpang dari peraturan yang sudah ditentukan.
Sedangkan pengertian petani menurut UU No.2 tahun 1960 “petani adalah orang,
baik yang mempunyai maupun tidak mempunyai tanah yang mata pencaharian
pokoknya adalah mengusahakan tanah untuk pertanian”. Dan menurut UU No.19
Tahun 2013 “petani adalah warga negara Indonesia perseorangan dan atau beserta
keluarganya yang melakukan Usaha Tani di bidang tanaman pangan, hortikultura,
perkebunan, dan/atau peternakan.”

Dari pembatasan masalah tersebut, maka perumusan masalah berfokus pada
permaslahan-permasalahan berikut:
1. Bagaimana praktik sistem bagi hasil di Desa Tenggulun?
2. Bagaimana petani Desa Tenggulun menerapkan sistem kerja sama bagi
hasil dan kesesuaiannya dengan prinsip fiqh mu’amalat?
D. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Berdasarkan penjelasan yang sudah dipaparkan diatas, maka tujuan yang
ingin dicapai dari hasil penelitian ini adalah:
6

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), cet.I,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h. 831
7
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), cet.I, h.
456

8

1. Mengetahui kerjasama bagi hasil yang dipraktikkan di Desa Tenggulun.
2. Menganalisa kerjasama yang dipraktikkan petani dengan menyesuaikan
prinsip yang ada dalam fiqih muamalah.
Dengan diadakannya penelitian ini diharapkan ada banyak manfaat bagi
kalangan masyarakat, diantaranya:
a) Bagi peneliti
Dapat memberikan pemahaman kepada penulis sebagai peneliti terhadap
permasalahan sistem bagi hasil yang ada di pedesaan, khususnya di Desa Tenggulun
kecamatan Solokuro kabupaten Lamongan Jawa Timur.
b) Bagi petani
Menambah pengetahuan dan informasi mengenai sistem pertanian yang baik
menurut konsep syari’ah, sehingga dapat mengembangkan sistem pertanian di
masyarakat menjadi lebih baik.
c) Bagi masyarakat luas
Menambah wawasan secara umum mengenai perjanjian kerja sama di bidang
pertanian dan sistem bagi hasil pertanian yang baik menurut konsep syari’ah.
d) Bagi pembaca
Menambah informasi tentang sektor pertanian, terutama dalam sistem bagi
hasil yang baik sesuai konsep syari’ah dan mengetahui transaksi pertanian yang
banyak dipraktekan masyarakat pedesaan, khususnya di daerah Desa Tenggulun.

9

E. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan kegiatan yang meneliti aktifitas ekonomi yang
terjadi dalam masyarakat, bagaimana sistem ekonomi diterapkan dan bagaimana
pengaruhnya terhadap masyarakat tersebut, dalam hal ini biasanya disebut dengan
sosiologis ekonomi.
1. Jenis Penelitian
Penelitian yang digunakan dalam menulis skripsi ini adalah menggunakan
metode penelitian kualitatif, yaitu dapat diartikan sebagai penelitian yang
menghasilkan data deskriptif mengenai kat-kata lisan maupun tertulis, dan tingkah
laku yang dapat diamati dari orang-orang yang diteliti.8 Metode kualitatif biasanya
data-datanya berbentuk narasi atau gambar-gambar. Penelitian ini tergolong pada
penelitian deskriptif, yaitu salah satu jeni penelitian yang tujuannya untuk
menyajikan gambaran lengkap mengenai hukum dan setting sosial atau hubungan
antara fenomena yang diuji.
2. Sumber data
Dalam penulisan ini, penulis menggunakan dua jenis sumber data, yaitu:
a. Data primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari responden,
melalui masyarakat yang dijadikan objek penelitian yang berkaitan
dengan materi skripsi ini.

8

Bagong Suyanto dan Sutinah, Metode Penelitian Sosial Berbagai Alternatif Pendekatan,
cet.VI, (Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2011), h.166

10

b. Data sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari laporan-laporan atau
data yang didapat dari responden serta diperoleh dari literatur-literatur
kepustakaan seperti buku-buku, dokumen-dokumen, surat kabar,
internet dan kepustakaan lain yang berkaitan dengan skripsi.
3. Subjek dan Objek Penelitian
Yang menjadi subjek dalam penelitian ini adalah para pihak yang melakukan
akad kerjasama pertanian, seperti pihak yang memiliki lahan, pihak penggarap, dan
para pihak lainnya yang terkait, seperti tokoh agama setempat, jajaran penerintahan
pertanian setempat dan lain-lain. Sedangkan yang menjadi objek dalam penelitian ini
adalah praktek kerjasama (Bagi Hasil) khususnya dalam sektor pertanian antara
pemilik laan dan petani penggarap yang ada di Desa Tenggulun.
4. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan kualitas data yang valid, maka metode pengumpulan
data yang digunakan adalah sebagai berikut:
a. Observasi, yaitu penulis melakukan pengamatan secara langsung di
lapangan.
b. Studi dokumentasi, yaitu dengan membaca dan menganalisis dari bukubuku, dokumen-dokumen, jurnal-jurnal yang relevan berkaitan dengan
permasalahan.

11

c. Wawancara, yaitu penulis melakukan tanya jawab langsung terhadap
pihak yang terkait untuk mendapat data yang berhubungan dengan
masalah yang diteliti.
5. Pengolahan dan Analisa Data
Dalam menyusun karya ilmiah ini penulis menggunakan beberapa langkah
dan tahapan untuk menyajikan data yang diperoleh. Tahapan-tahapan tersebut
diantaraya:
a. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam hal ini berupa data-data mentah dari hasil
penelitian, seperti: hasil wawancara, dokumentasi, catatan lapangan dan
sebagainya.
b. Reduksi Data
Setelah data terkumpul dari hasil pengamatan, wawancara, catatn lapangan,
serta bahan-bahan data lain yang ditemukan dilapangan dikumpulkan dan
diklasifikasikan dengan membuat catatan-catatan ringkasan, mengkode untuk
menyesuaikan menurut hasil penelitian.
c. Penyajian Data (Display Data)
Data yang sudah dikelompokkan dan sudah disesuaikan dengan kodekodenya, kemudian disajikan dalam bentuk tulisan deskriptif agar mudah
dipahami secara keseluruhan dan juga dapat menarik kesimpulan untuk
melakukan penganalisisan dan penelitian selanjutnya.

12

d. Kesimpulan Verifikasi
Hasil penelitian yang telah terkumpul dan terangkum harus diulang kembali
dengan mencocokkan pada reduksi dan display data, agar kesimpulan yang
telah dikaji dapat disepakati untuk ditulis sebagai laporan yang memiliki
tingkat kepercayaan yang benar.
6. Teknik Penulisan
Dalam teknik dan pedoman yang digunakan oleh penulis disesuaikan dengan
kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi 2012”
yang diterbitkan oleh Fakutas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Untuk memberikan gambaran sederhana agar memudahkan dalam penulisan
skripsi maka disusun sistematika penulisan yang terdiri dari:
BAB I: PENDAHULUAN
Bab ini berisi tentang latar belakang masalah, pembatasan masalah dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, tujuan pustaka,
metode penelitian dan teknik penelitian, teknik penulisan, serta sistematika
penulisan.
BAB II: KERANGKA TEORI
Bab ini berisi tinjauan pustaka yang berkaitan dengan teori dalam
pembahasan skripsi, diantaranya: gharar, „urf, konsep Islam dalam sistem kerjasama
bagi hasil yang menjabarkan tentang sistem bagi hasil kerjasama dalam pertanian,
pengertian dan dasar hukum sistem bagi hasil kerjasama dalam pertanian menurut

13

Islam, bentuk-bentuk kerjasama dalam petanian, rukun dan syarat kerjasama dalam
pertanian, sifat akad kerjasama dalam pertanian, ketentuan-ketentuan kerjasama
dalam pertanian, akibat atau hikmah kerjasama dalam pertanian, dan berakhirnya
kerjasama dalam pertanian.
BAB III: GAMBARAN UMUM WILAYAH
Bab ini berisi tentang gambaran umum kabupaten Lamongan, gambaran
umum Desa Tenggulun yang meliputi kondisi geografis dan sosial masyarakat,
kondisi sosial masyarakat Desa Tenggulun, sistem bagi hasil pertanian masyarakat
Desa Tenggulun.
BAB IV: ANALISIS HASIL PENELITIAN
Bab ini berisi tentang analisa kesesuaian konsep Islam dalam praktik Kerjasama bagi
hasil petani Desa Tenggulun.
BAB V: PENUTUP
Bab ini berisi tentang kesimpulan yang diperoleh dari pembahasan bab-bab
sebelumnya serta saran yang diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat Desa
Tenggulun dalam sektor pertanian.

BAB II
KAJIAN KEPUSTAKAAN
A. Teori Umum
1. Taghrir
a. Pengertian Taghrir
Taghrir berasal dari Bahasa Arab gharar, yang berarti: risiko, bahaya.1
Gharar secara sederhana dapat dikatakan sebagai suatu keadaan dimana salah satu
pihak mempunyai informasi memadai tentang berbagai elemen subyek dan oyek
akad, sedangkan pihak lain tertutup dari informasi tersebut, atau keadaan dimana
subyek akad sulit dikontrol (dikuasai) oleh pihak berakad, namun keadaan tidak
jelas dan tertutupi itu juga dapat terjadi pada kedua belah pihak yang berakad. 2
Dalam istilah fiqih mu’amalah, taghrir berarti melakaukan sesuatu secara
membabi buta tanpa pengetahian yang mencukupi; atau mengambil risiko sendiri
dari suatu perbuatan yang mengandung risiko tanpa mengetahui dengan pesis apa
akibatnya, atau memasuki kancah risiko tanpa memikirkan konsekuensinya. 3
Menurut Ibnu Taimiyah, gharar terjadi bila seseorang tidak tahu apa yang
tersimpan bagi dirinya pada akhir suatu kegiatan jual beli. Al-Kasani al-Hanafi
berpendapat gahrar adalah bahaya yang dipastikan akan muncul bagi kedua belah
pihak atau salah satu pihak. 4 Menurut ar-Ramli as-Syafi’i gaharar yaitu suatu

1

Atabik Ali Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia (Yogyakarta:
Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, 1996), h.1347
2
Muhammad Shalah Muhammad Ash-Shawi, Problematika Investasi pada Bank Islam
:Solusi Ekonomi Islam (Jakarta: Migunani, 2008), h. 285
3
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, jilid IV, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf,
1996), h.161
4
Al-Kasani al-Hanafi, “ al-Badai’ ash-Shana’i”, dalam Muhammad Shalah Muhammad
Ash-Shawi, Problematika Investasi pada Bank Islam :Solusi Ekonomi Islam, h. 287

14

15

urusan yang mengandung dua hal yang paling dominan adalah terjadinya suatu
yang ditakuti.5 Ibnu Arafah al-Maliki juga berpendapat bahwa sesuatu diragukan
secara seimbang tentang keberhasilan mendapat salah satu penukar atau tentang
keberhasilan mendapat manfaatnya disebut dengan gharar.6 Definisi gharar
menurut al-Maziri al-Maliki adalah sesuatu yang berkisar antara selamat dan
rusak.7 Sedangkan menurut Ibnu Qayyim al-Hanbali gharar yaitu sesuatu yang
tertutup informasinya dan tidak jelas realitasnya. 8
Oleh karena gharar suatu ketidakjelasan yang berlebihan, maka kita dapat
mengategorikan gharar sebagai sbuah elemen dari resiko. Gharar juga dapat
disebut sebagai salah satu cara untuk memanage risiko dalam Islam, seperti dalam
pelaksanaan bisnis untuk akad yang berbasis profit and-loss sharing dimana
kedua pihak akan berhati-hati dalam melaksanakan usaha, selanjutnya operasional
bisnis akan semakin responsible (dapat dipertanggungjawabkan) dan accountable
(dapat percayai).
b. Hukum-hukum Gharar
Berdasarkan hukumnya, gharar dibagi menjadi tiga yaitu:9
Gharar yang diharamkan secara ijma’ ulama, yaitu gharar yang menyolok
atau kuantitasnya banyak (al-gharar al-katsir) yang sebenarnya dapat dihindarkan

Ar-Ramli, “Nihayah al-Muhtaj”, dalam Muhammad Shalah Muhammad Ash-Shawi,
Problematika Investasi pada Bank Islam :Solusi Ekonomi Islam, h. 287
6
Mawahib al-Jalil, “Syarh Muhtashar Khalail”, dalam Muhammad Shalah Muhammad
Ash-Shawi, Problematika Investasi pada Bank Islam :Solusi Ekonomi Islam, h. 287
7
Ad-Dusuqi, “Hasyiyah ad-Dusuqi „ala as-Syarh al-Kabir”, dalam Muhammad Shalah
Muhammad Ash-Shawi, Problematika Investasi pada Bank Islam :Solusi Ekonomi Islam, h. 287
8
Ibnu Qayyim, “Zad al-Ma’ad”, dalam Muhammad Shalah Muhammad Ash-Shawi,
Problematika Investasi pada Bank Islam :Solusi Ekonomi Islam, h. 288
9
Muhammad Shalah Muhammad Ash-Shawi, Problematika Investasi pada Bank Islam
:Solusi Ekonomi Islam, h. 289
5

16

dan tidak perlu dilakukan. Inilah jenis gharar yang dilarang dan diharamkan.
Adapun dalil yang melarang jual beli gharar yaitu:

‫يع يب عِيالْح ا ي ع يب عِيالْغ ِيُ ا ي‬

‫يأ َي س لياللّ يصل ياللّ يعل ي سلَمي‬
َ

‫ع يأِب ي‬

‫اج اع ي اال ا يع يأيي‬

“Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Muhammad S.A.W melarang dari
melakukan bai’ al-Hashat dan jual beli gharar” (HR. Muslim dari Abu
Hurairah)”10
Ghrarar yang diharamkan secara ijma’ ulama, yaitu gharar yang
mneyolok (al-gharar al-Katsir) yang sebenarnya dapat dihindarkan dan tidak
perlu dilakukan. Cotoh jual beli mulamasah.11 Tidak ada perbedaan pendapat
ulama tentang keharaman dan kebatilan akad seperti ini.
Gharar yang dibolehkan secara ijma’ ulama, yaitu gharar ringan atau
jumlahnya sedikit (al-gharar al-yasir). Para ulama sepakat, jika suatu gharar
sedikit maka ia tidak berpengaruh unutuk membatalkan akad. Contoh seseorang
membeli rumah dengan tanahnya, maka keadaan pondasi rumah tidak jelas seperti
ukuran dalam, lebar, dan isinya.
Gharar yang kuantitasnya sedang-sedang saja,

hukumnya

masih

diperdebatkan. Namun parameter untuk mengetahui banyak sedikitnya kuantitas,
dikembalikan kepada kebiasaan. Cotoh menjual barang sebelum diterima.

Muhammad al-Shan’ani, “Subul al-Salam”, dalam Muhammad Shalah Muhammad
Ash-Shawi, Problematika Investasi pada Bank Islam :Solusi Ekonomi Islam, h. 288
11
Bai’ Mulamasah yaitu satu bentuk akad jualbeli, dimana barang yang dipegang oleh
pihak pembeli itulah yang menjadi barang yang dijual.
10

17

Ibnu Qayyim berkata: “jika gharar hanya sedikit atau tidak mungkin
dihindari, ia tidak akan menjadi penghalang dari keabsahan akad. Berbeda dengan
gharar yang banyak dan mungkin dihindari, yaitu macam-macam gharar
terlarang yang telah disebutkan dalam hadits Rasulullah SAW.” 12
Ibnu Taimiyah berkata:”bahaya gharar lebih kecil daripada riba, maka
sebagiannya diberi keringanan hukum karena adanya sulit dihindarkan dan perlu
diberi keringanan, karena jika ia juga diharamkan maka keadaan mu’amalat
manusia akan lebih sulit lagi dari pada akibat terjadinya gharar itu sendiri.” 13
c. Macam-macam Gharar
Gharar terbagi menjadi tiga, yaitu: 14
1) Barang yang belum ada (al-ma’dum)
Gharar al-ma’dun dibagi oleh Ibnu Qayyim menjadi tiga, yaitu:
a) Diyakini akan ada. Disepakati oleh ulama tentang kebolehan
jual belinya.
b) Diragukan akan ada (masih belum bisa dipastikan akan ada).
Para uama berbeda pendapat tentang kebolehan jual belinya.
Seperti mentimun ketika buahnya mulai layak dikonsumsi,
maka ada ulama yang membolehkannya dan ada pula yang
melarangnya tergantung dari pendapat mereka tentang jaminan
kesamaan mutu barang dan jumlahnya.

Ibnu Qayyim, “Zad al-Ma’ad”, dalam Muhammad Shalah Muhammad Ash-Shawi,
Problematika Investasi pada Bank Islam :Solusi Ekonomi Islam, h. 2890
13
Ibnu Taimiyah, “al-Qawaid an-Nuriyah”, dalam Muhammad Shalah Muhammad AshShawi, Problematika Investasi pada Bank Islam :Solusi Ekonomi Islam, h. 290
14
Muhammad Shalah Muhammad Ash-Shawi, Problematika Investasi pada Bank Islam
:Solusi Ekonomi Islam, h. 290
12

18

c) Diragukan akan ada secara dominan (tidak bisa dipastikan ada,
lebih dekat pada gambling)
2) Barang yang sulit diserahkan (al ma’juz ‘an taslimihi)
Diantara jenis barang yang sulit diserahkan, ada pelarangannya
yang disepakati ulama dan ada yang diperdebatkan. Di antara
contoh gharar jenis ini yang diperdebatkan adalah menjual suatu
barang sebelum diterima atau masuk dalam penguasaan (bai’ qabl
al-qabdh).
3) Jual beli barang yang tidak jelas (al-majhul)
Jual beli barang yang tidak jelas adalah salah satu jenis jual beli
gharar. Ketidakjelasan barang terdiri dari empat macam, yaitu:
a) Ketidakjelasan mutlak, tanpa memberi tahu jenis, kadar,
macam, dan suatu sifat yang ada dalam barang tersebut.
b) Ketidakjelasan jenis atau kadar barang.
c) Ketidakjelasan sifat, meskipun jenis dan kadarnya diketahui.
d) Ketidakjelasan „ain barang. Misalnya menjual suatu barang
yang dimiliki secara bersama, lalu penjual ingin menjual
bagiannya.
2. ‘Urf
‘urf disebut pula dengan al-‘adah, artinya kebiasaan. Hanya saja, di dalam
„urf ada yang berpendapat tidak ada kebiasaan yang menyimpang dari nash-nash
Al-Quran dan hadis yang sahih, sedangkan dalam adat ada kebiasaan yang sahih

19

dan ada pula yang fasid, yakni yang bertentangan dengan syariat Islam yang telah
ditetapkan kedudukan hukumnya oleh Al-Quran dan As-Sunnah.
Menurut Rachmat Syafi’i dalam hukum Islam, adat disebut juga dengan
istilah ‘urf yang secara harfiyah adalah suatu keadaan, ucapan, perbuatan atau
ketentuan yang telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk
melaksanakannya atau meninggalkanya. Setiap adat atau ‘urf akan mengalami
perubahan sesuai dengan perkembangan zamannya, sehingga ‘urf tidak berlaku
universal, bukan hanya lokal, bahkan ‘urf sifatnya persial. Berlaku di desa
tertentu, tetapi bertentangan dengan desa lainnya. 15
Dalam hukum Islam, adat itu dibagi dua, yaitu:16
a. Adat shahihah, yaitu adat yang merupakan kebiasaan masyarakat yang
tidak bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi yang bersumber
dari Al-Quran dan As-Sunnah. Tidak bertentangan dengan akal sehat,
juga tidak bertentangan dengan undang-undang yang berlaku, dan
apabila dilaksanakan mendatangkan kemaslahatan bagi masyarakat
b. Adat fasidah, yakni adat yang rusak, sebagaimana adat kebiasaan yang
bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi yang bersumber dari AlQuran dan As-Sunnah, bahkan bertentangan dengan akal sehat dan
undang-undang yang berlaku.
Sehingga berijtihad dapat dilakukan dengan metode ‘urf atau adat,
terutama apabila adat yang berlaku secara normatif tidak bertentangan
dengan syariat yang telah berlaku.
15
16

Beni Ahmad Saebani, Ilmu Ushul Fiqh (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 190
Beni Ahmad Saebani, Ilmu Ushul Fiqh, h. 191

20

3. Sistem Kerjasama (Bagi Hasil) dalam Pertanian
Perjanjian bagi hasil dalam kontek masyarakat Indonesia sudah dikenal,
yakni di dalam hukum Adat. Akan tetapi bagi hasil yang dikenal dalam hukum
Adat adalah bagi hasil yang menyangkut pengelolaan tanah pertanian. Bagi hasil
adalah perjanjian pengolahan tanah, dengan upah sebagian dari hasil yang
diperoleh dari pengolahan tanah itu.
Konsep perjanjian bagi hasil pengelolaan tanah pertanian telah diadopsi ke
dalam hukum positif dengan dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1960 tentang Bagi Hasil Tanah Pertanian. Dalam ketentuan pasal 1
mengemukakan bahwa:
“perjanjian bagi hasil ialah perjanjian` dengan nama apapun juga yang
diadakan antara pemilik pada suatu pihak dan seseorang atau badan hukum pada
pihak lain – yang dalam Undang-Undang ini disebut “penggarap” – berdasarkan
perjanjian

mana

penggarap

diperkenankan

oleh

pemilik

tersebut

untuk

menyelenggarakan usaha pertanian diatas tanah pemilik, dengan pembagian hasilnya
antara kedua belah pihak”.

Jadi secara ringkas dapat dikatakan bahwa perjanjian bagi hasil adalah
perjanjian pengolahan tanah dengan upah, berupa sebagian dari hasil yang
diperoleh dari pengelolaan tanah itu.
B. Kerjasama Pertanian dalam Konteks Islam
1. Istilah Kerjasama (Bagi Hasil) dalam Pertanian Menurut Konsep
Islam
Kerja dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kegiatan melakukan
sesuatu; yang dilakukan (diperbuat); sesuatu yang dilakukan untuk mencari

21

nafkah; mata pencaharian. Sedangkan Kerja Sama yaitu kegiatan atau usaha yang
dilakukan oleh beberapa orang (lembaga, pemerintah dsb) untuk mencapai tujuan
bersama.17
Kerjasama dalam usaha pertanian ada berbagai macam istilah, diantaranya
yaitu muzara’ah, mukhabarah, dan musaqah. Dalam fikih terdapat dua akad yang
berhubungan dengan kerja sama pengelolaaan tanah; 1) akad yang berkaitan
dengan pengelolaan/pemanfaatan tanah; dan 2) akad yang berkaitan dengan
pemeliharaan tanaman. Akad yang berkaitan dengan pengelolaan tanah dibedakan
dari segi pihak penyedia benih: 1) akad pengelolaan tanah yang benihnya berasal
dari pemilik atau penggarap tanah disebut muzara’ah.; dan 2) akad pengelolaan
tanah yang benihnya hanya berasal dari penggarap tanah disebut mukhabarah.
Adapun akad yang berhubungan dengan pemeliharaan (terutama pengairan dan
penyiraman) tanaman disebut musaqah.
a. Musaqah
Musaqah adalah kerja sama dalam perawatan tanaman dengan imbalan
bagian dari hasil yang diperoleh dari tanaman tersebut. 18 Secara etimologi
musaqah berarti perikatan atas beberapa pohon kepada orang yang menggarapnya
dengan ketetapan hasil itu menjadi milik bersama (pemilik pohon dan penggarap).
Sedangakan menurut terminologi, para ulama ahli fiqih mendefinisikan
musaqah yang beragam, di antaranya:

17

Dapartemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 681
18
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2003),
h.243.

22

1) Abdurrahman al-Jaziri, mendefinisikan musaqah dengan “akad untuk
pemeliharaan pohon kurma, tanaman (pertanian), dan yang lainnya dengan
syarat-syarat tertentu.” 19
2) Ulama golongan Malikiyah, mendefinisikan musaqah dengan “sesuatu
yang tumbuh di tanah”. 20
3) Ulama

golongan

Syafi’iyah,

mendefinisikan

musaqah

dengan

“mempekerjakan petani penggarap unutk menggarap kurma atau pohon
anggur saja dengan cara mengairi dan merawatnya dan hasil kurma atau
anggur itu dibagi bersama antara pemilik dengan petani penggarap.” 21
4) Menurut ulama Hanabilah, bahwa musaqah itu mencakup dua masalah:
a) Pemilik menyerahkan tanah yang sudah ditanami, seperti pohon
anggur, kurma dan yang lainnya, baginya ada buahnya yang dimakan
sebagian tertentu dari buah pohon tersebut, sepertiganya atau
setengahnya.
b) Seseorang menyerahkan tanah dan pohon, pohon tersebut belum
ditanamkan, maksudnya supaya pohon tersebut ditanamkan pada
tanahnya, yang menanam akan memperoleh bagian tertentu dari buah
pohon yang ditanamnya.22

Abdurrahman al-Jaziri, “Al-Fiqh „ala al-Mazahib al-Arba’ah”, dalam Abdul Rahman
Ghazaly, dkk, Fiqh Muamalat (Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2010), h.109.
20
Abdurrahman al-Jaziri, “Al-Fiqh „ala al-Mazahib al-Arba’ah”, dalam Hendi Suhendi,
Fiqh Muamalah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h.145
21
Asy-Syarbaini al-Khatib , “Mugn i al-Muhtaj”, dalam Nasroen Haroen, Fiqh
Muamalah (Jakarta:Gaya Media Pratama, 2007), h.282
22
Abdurrahman al-Jaziri, “Al-Fiqh „ala al-Mazahib al-Arba’ah”, dalam Hendi Suhendi,
Fiqh Muamalah, h.147
19

23

Menurut Abu Hanifah dan Zufar Ibn Huzail, bahwa akad musaqah itu
dengan ketentuan petani, penggarap mendapatkan sebagian hasil kerjasama ini
adalah tidak sah, karena musaqah seperti ini termasuk mengupah seseorang
dengan imbalan sebagian hasil yang akan dipanen dari kebun itu.23 Sedangkan
jumhur ulama fiqh, termasuk Abu Yusuf dan Muhammad ibn al-Hasan asSyaibani, keduanya tokoh fiqh Hanafi berpendirian bahwa akad musaqah
dibolehkan, karena didasarkan atas ijma’ sudah merupakan suatu transaksi yang
amat dibutuhkan oleh umat untuk memenuhi keperluan hidup mereka dengan
syarat-syarat tertentu, dan juga karena kebutuhan manusia untuk bekerja dan
memperkerjakan. 24
b. Mukabarah dan muzara’ah
Mukhabarah adalah bentuk kerja sama antara pemilik sawah/tanah dan
penggarap dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi antara pemilik tanah dan
penggarap menurut kesepakatan bersama, sedangkan biaya, dan benihnya dari
penggarap tanah. 25
Imam Syafi’i mendefinisikan mukhabarah dengan:

ِ‫جيم اي الْ ْ يم يالْعامل‬

‫ع لُياأَ ِيبِ ع ِيماي‬

23

Imam Al-Kasani, “al-Bada’i’u as-Shana’i’u”, dalam Nasroen Haroen, Fiqh Muamalah,

24

Asy-Syarbaini al-Khatib, “Mugni al-Muhtaj”, dalam Nasroen Haroen, Fiqh Muamalah,

h.282
h.282 -283
25

Abdul Rahman Ghazaly dkk, Fiqh Muamalat, cet.II, h.117.

24

“pengolahan lahan oleh petani dengan imbalan hasil pertanian,
sedangkan bibit pertanian disediakan pengolah lahan”.26
Penduduk Irak biasa menyebut muzara’ah dengan sebutan mukhabarah,
jadi menurut mayoritas ulama keduanya memiliki pengertian yang sama. Akan
tetapi ada yang berpendapat lain yakni menurut al-Rafi’i dan al-Nawawi, bahwa
muzara’ah dan mukhabarah mempunyai makna yang berbeda. Muzara’ah dan
mukhabarah mempunyai arti yang sama, yang menjadi pembeda hanyalah
sebatas masalah asal bibit pertanian, dimana pada muzara’ah bibit berasal dari
pemilik tanah, sedangkan pada mukhabarah bibit berasal dari pengelola lahan
(petani).27
Dalam pengertian istilah, muzara’ah diartikan sebagai suatu cara untuk
menjadikan tanah pertanian menjadi produktif dengan bekerja sama antara
pemilik dan penggarap dalam memproduktifkannya, dan hasilnya dibagi diantara
mereka berdua dengan perbandingan (nisbah) yang dinyatakan dalam perjanjian
atau berdasarkan „urf (adat kebiasaan).
Ulama Malikiyah menjelaskan muzara’ah adalah persyarikatan atau
perkongsian dalam bidang pertanian, sedangkan ulama Hanabilah menjelaskan
bahwa muzara’ah adalah penyerahan lahan pertanian kepada penggarap untuk
diolah/dikelola dan hasilmya dibagi dua (antara pemilik lahan dan penggarap). 28

26

M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqh Muamalat) (Jakarta:
Rajawali Pers, 2002), h.272
27
Isnawati Rais dan Hasanuddin, Fiqh Muamalah dan Aplikasinya pada LKS,cet.I,
(Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah: 2011), h.134.
28
Wahbah Zuhaily, “Al-Fiqh Al-Islamy wa Adillatuhu”, dalam Maulana Hasanudin dan
Jaih Mubarak, Perkembangan Akad Musyarakah (Jakarta: Prenada Media Group, 2012), h.166

25

Hanafiah memberikan defiinisi muzara’ah yaitu suatu ibarat tentang akad
kerja sama penggarapan tanah dengan imbalan sebagian hasilnya, dengan syaratsyarat yang ditetapkan oleh syara’.
Syafi’iyah mendefinisikan muzara’ah yaitu pengolahan tanah oleh petani
dengan imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit pertanian disediakan penggarap
tanah.29
Sedangkan Hanabilah mengartikan muzara’ah adalah penyerahan tanah
pertanian kepaa seseorang petani untuk digarap dan hasilnya dibagi berdua
(paroan).30
Pada umumnya, kerja sama mukhabarah dilakukan pada perkebunan yang
benihnya relatif murah, seperti padi, jagung, dan kacang. Namun, tidak tertutup
kemungkinan pada tanaman yang benihnya relatif murah dilakukan kerja sama
muzara’ah.
2. Dasar Hukum Kerjasama (Bagi Hasil) dalam Pertanian
Dasar Hukum mengenai diperbolehkannya perjanjian bagi hasil terdapat
dalam al-Quran dan Hadis. Mengenai kebolehan dalam mengadakan kerja sama
bagi hasil terdapat dalam

Hadits yang diriwaytkan oleh Muslim, yang

berbunyi: 31

‫ياْمُ اب يفِ مي‬

‫يفقُلْتيل ي ايأبايع ال ح ِيل يت كْتي‬

‫ يأخ ِ يأعل مي‬:‫ي‬

‫يع ِ ياْل اب يفقال يأ يع‬

‫يقاليع‬, ِ‫يأ يكا ي ايب‬

‫يأ َ يال ِ يصَل ياهُ يعل ي سلَم ي‬

‫ع يَطاي‬
‫ع‬

Syamsudin Muhammad ibn al-Khatib al-Syarbini, “Mughni Al-Muhtaj ila Ma’rifah
Ma’ani Alfazh al-Minhaj”, dalam Isnawati Rais dan Hasanuddin, Fiqh Muamalah dan
Aplikasinya pada LKS,cet.I, h.134.
30
Ibnu Qudamah, “Al-Qudamah”, dalam Isnawati Rais dan Hasanuddin, Fiqh Muamalah
dan Aplikasinya pada LKS,cet.I, h.134.
31
Al-Hafidz Dzaqiyuddin Abdul Adzim bin Abdul Qawi Al-Mundzir, Mukhtashar
Shahih Muslim, cet.I, (Surakarta: Insan Kamil Solo, 2012), h.479.
29

26

‫ِب لكي عِ ياب يع ا يأ َيال ِ يصَل ياهُيعل ي سلَميلمي يع ايِ ايقالي حياح كُميأخا يخ ي‬
‫َ]ي ي‬٨‫ط‬١‫ي‬- ٨‫ظط‬/٨١ُ‫ي ال ِ ي‬,َ٨‫ضط‬١‫ل يم يأ ْي أْخ يعل ايخ جايمعلُ ماي[يأخ ج يمسلميُي‬
“Dari Thawus r.a bahwa ia suka mukhabarah. Amru berkata: Lalu aku
katakan kepadanya: Ya Abu Abdurrahman, kalau engkau tinggalkan
mukhabarah ini, nanti mereka mengatakan bahwa Nabi S.A.W telah melarang
mukhabarah. Lantas Thawus berkata: Hai Amr, telah menceritakan kepadaku
orang yang sungguh-sungguh mengetahui akan hal itu , yaitu Ibnu Abbas bahwa
Nabi S.A.W tidak melarang mukhabarah itu, hanya beliau berkata: seseorang
memberi manfaat kepdaa saudaranya lebih baik daripada ia mengambil
manfaat dari saudaranya itu dengan upah tertentu”. (H.R Muslim 1548. AnNawawi 10/156-158).
Dalam hukum positif, bagi hasil khususnya dalam masalah pertanian yang
tercantum dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960. Dalam penjelasan
umum poin ketiga Undang-Undang ini menyebutkan bahwa:
“dalam rangka usaha akan melindungi golongan yang ekonominya lemah
terhadap praktik-praktik yang sangat merugikan mereka, dari golongan yang
kuat sebagaimana halnya dengan perjanjian bagi hasil yang diuraikan diatas,
maka dalam bidang A