Memahami Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Prognosa Cedera Kepala Berat

Memahami Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Prognosa
Cedera Kepala Berat
Abdul Gofar Sastrodiningrat
Divisi Ilmu Bedah Saraf Departemen Ilmu Bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara , Medan

Abstrak: Berbagai kepustakaan telah diteliti dan dipelajari. Banyak faktor – faktor yang
mempengaruhi prognosa penderita cedera kepala berat. Berbagai faktor yang telah diselidiki meliputi
: usia, mekanisme cedera kepala, cedera sistemik, alkohol dan obat-obat lain, derajat kesadaran,
gangguan pada batang otak, gambaran pemeriksaan imejing ( CT scan dan MRI), efek peningkatan
tekanan intrakranial (TIK), aliran darah otak (cerebral blood flow ; CBF) dan tekanan perfusi sentral
(central perfusion pressure ; CPP), faktor – faktor biokimiawi seperti katekolamin dan creatine kinase
BB isoenzym. Beberapa faktor faktor yang paling dominan adalah usia, kerusakan jaringan otak
pada awal cedera, skor awal Skala Koma Glasgow ( SKG ), diameter pupil dan reaksi cahaya ,
keadaan hipotensi dan gambaran CT scan pada pemeriksaan awal. Dipandang sangat perlu untuk
memahami patofisiologi cedera kepala berat serta faktor - faktor yang mempengaruhi prognosanya.
Penjelasan yang akurat terhadap keluarga penderita sangat penting , juga untuk menentukan apakah
suatu tindakan agresif dan suportif akan diteruskan atau dihentikan.
Kata kunci: cedera kepala berat, prognosa, outcome, usia, skor Skala Koma Glasgow, diameter pupil
dan refleks cahaya, hipotensi, gambaran awal CT Scan, sisterna basal, cedera akson difus,
perdarahan subarakhnoid traumatik

Abstract: A large series of references had been studied. There are a lot of factors that influence
prognosis of severe traumatic brain injury. Among factors that had been studied were : age,
mechanism of injury, systemic injury, alcohol and drugs, level of consciousness, brainstem injury,
imaging findings : CT scan and MRI, increased intracranial pressure (ICP), Cerebral Blood Flow
(CBF and Cerebral Perfusion Pressure (CPP), Biochemical indices: Cathecolamine and creatine
kinase BB isoenzyme. Several most dominant factors include, age , parenchymal damage at the time of
injury, initial Glasgow Coma Scale score, diameter and pupillary light reflex, hypotension at the time
of injury, initial CT images. It is very important to understand the pathophysiology of severe head
injury and to appreciate all facts that have influenced on the outcome and the ultimate prognosis of
severe head injury . Accurate information should be given to patients’ relatives and whether an
aggressive and supportive therapy should continue or discontinue.
Keywords: severe head injury, prognosis, outcome, age, Glasgow Coma Scale score, diameter and
pupillary light reflex, hypotension, initial CT findings, basal cisterns, diffuse axonal injury (DAI),
traumatic subarachnoid hemorrhage (tSAH)
PENDAHULUAN
Menentukan prognosa untuk penderita –
penderita dengan cedera kepala berat seringkali
sulit , suatu upaya yang selalu menjadi beban
bagi spesialis bedah saraf. Sebuah prognosa
yang akurat adalah sangat penting

untuk
membuat suatu keputusan apakah informed
consent diberikan atau tidak. Demikian juga
halnya dengan sejawat di unit gawat darurat dan
para spesialis yang bekerja di unit perawatan
intensif ingin mengetahui bila suatu tindakan
penunjang secara agresif harus dilaksanakan
atau hanya sekedar perawatan berdasarkan

faktor kemanusiaan. Kenyataannya walau dokter
– dokter yang paling berpengalamanpun sulit
untuk menentukan prognosa akhir segera setelah
cedera. Hal ini disebabkan karena keterbatasan
penilaian klinik (clinical assessment) awal,
lamanya penyembuhan pada penderita cedera
berat, dan banyaknya faktor dan variabel yang
mempengaruhi prognosa penderita cedera
kepala berat1,2. Dengan adanya parameter –
parameter prognosa yang lebih baru 2 dan
berbagai tes – tes penunjang telah menolong

menentukan potensi untuk peyembuhan
fungsional ( functional recovery ) 3. Parameter

Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006

307

Tinjauan Pustaka

untuk prognosa yang paling sering digunakan
adalah Glasgow Outcome Scale ( GOS )( Tabel
1.) 4 . Parameter ini sudah diterima secara
menyeluruh sebagai suatu standar untuk
menjelaskan prognosa pada cedera kepala. GOS
adalah suatu usaha yang lebih akurat dalam
menentukan kecacatan ( disability ) karena
banyak kelainan neuropsikologik dan gangguan
kognitif yang diamati para peneliti cedera kepala
bukanlah bukti dari suatu standar pemeriksaan
fisik dan neurologik. Biasanya GOS di nilai

setelah 3, 6, dan 12 bulan setelah cedera, dimana
penilaian setelah 6 bulan adalah patokan yang
sering diambil 4.
Tabel 1.
Glasgow Outcome Scale 5
Outcome
Dead
Persistent vegetative
state
Severe disability
Moderate disability
Good recovery

Definition
---------------Wakefulness without
awareness
Conscious but dependent
Independent but disabled
Reintegrated (may have
non disabling sequelae)


Walaupun begitu GOS banyak dikritik
karena menampilkan terlalu sedikit kategori –
kategori prognosa yang dapat dipakai untuk
menilas ( tracking ) jalannya penyembuhan
selama pengamatan penderita.
Pada saat ini Glasgow Outcome Scale sudah
digantikan oleh Disability Rating Scale (DRS).
DRS mencerninkan: kerusakan (impairment) ,
ketidakmampuan (disability) dan kecacatan
(handicap). DRS memberikan ramalan prognosa
yang jauh lebih baik daripada SKG dan GOS.
Akan tetapi DRS kurang populer, kebanyakan
dipakai untuk penelitian jangka panjang.
PROGNOSA KESELURUHAN
Terlepas dari pengartian yang lebih baik
mengenai patofisiologi dan kemampuan yang
lebih baik dalam pengelolaan penderita –
penderita cedera kepala berat , 50% dari
penderita cedera kepala berat masih meninggal

dan sebagian masih menderita cacat6.
Beberapa laporan akhir – akhir ini
menunjukkan adanya mortalitas dan morbiditas
yang lebih rendah, memberikan kesan bahwa
kemajuan didalam teknik resusitasi dan
pengobatan berhasil memperbaiki prognosa.
Walaupun begitu banyak penderita –
penderita cedera kepala dengan prognosa baik
yang didasarkan atas penilaian GOS , menderita
hal – hal sebagai berikut : perubahan –
308

perubahan didalam pemusatan perhatian dan
memori, inisiatif, kepribadian, gangguan
kognitif dan masalah tingkah laku seperti
gangguan mengontrol emosi , adiksi alkohol dan
narkotika, yang kesemuanya dapat merusak
kehidupan penderita – penderita ini. Tate dkk 7
melaporkan bahwa diantara yang sembuh dari
cedera kepala berat , 76% mengalami kesulitan

berintegrasi secara psikososial. Walau termasuk
golongan dengan outcome baik atau moderate
disabled dalam penilaian GOS, hanya 50% yang
sukses kembali kepekerjaan semula , tidak ada
ketergantungan dan dapat bergaul dimasyarakat.
Banyak sekali faktor yang mempengaruhi
prognosa pada tiap pendertita. Beberapa faktor
penting akan ditinjau berikut ini.
FAKTOR EPIDEMIOLOGIK
Faktor epidemilogik yang terpenting adalah
usia 1,6,8 dan setelah itu adalah mekanisme
cedera itu sendiri 1,9. Terdapatnya trauma ganda
atau keadaan hipoksia dan hipotensi juga
mempengaruhi prognosa.
Usia
Tampak adanya korelasi negatif antara usia
yang bertambah dan penyembuhan pada cedera
kepala berat 1,8. Didalam beberapa penelitian,
usia merupakan salah satu variabel yang
mempengaruhi

penyembuhan.1,8
Dalam
penyelidikan terhadap 1000 penderita yang
dibagi dalam masa 5 tahun penelitian kelompok
( cohort studies ) , Jennett dkk 10 menemukan
bahwa mortalitas dan morbiditas berat
meningkat secara liniair. Pada usia diatas 60
tahun outcome buruk adalah 87% sedangkan
pada usia diantara 40 – 60 tahun outcome buruk
56% 10 . Becker dkk 6 melaporkan angka
mortalitas 22% untuk penderita – penderita
cedera kepala berat dibawah umur 21 tahun dan
57% untuk usia diatas 65 tahun. . Penderita –
penderita cedera kepala berat diatas umur 65
tahun akan mempunyai angka mortalitas dua
kali lebih besar ketimbang penderita – penderita
yang berumur dibawah 65 tahun1,8,11.
Bila ditentukan skor Skala Koma Glasgow pada
waktu masuk dirawat dan adanya lesi massa
ekstra-aksial, maka penderita – penderita yang

lebih tua selalu lebih buruk daripada yang lebih
muda usianya 11. Gambaran klinis cedera kepala
berat berbeda – beda , tergantung pada usia
penderita. Kejadian tindakan operasi juga
meningkat sehubungan dengan meningkatnya
usia, demikian pula mortalitas akan meningkat
karena adanya lesi massa ( mass lesion ). Anak –
anak dan orang dewasa muda dengan cedera

Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006

Abdul Gofar Sastrodiningrat

kepala cenderung untuk mendapat cedera difus 3,
misalnya cedera akson difus ( difffuse axonal
injury ; DAI ) atau edema serebral , dan secara
keseluruhan mempunyai mortalitas yang lebih
rendah. Bruce dkk3 melaporkan bahwa 90%
anak – anak penderita cedera kepala berat dari
suatu seri penelitian , mendapat penyembuhan

yang baik atau dengan defisit neurologik ringan.
Di San Francisco General Hospital , 17 anakanak dengan cedera kepala berat yang
menunjukkan herniasi transtentorial, 53%
menunjukkan penyembuhan yang baik atau
dengan defisit neurologik ringan sedangkan
sisanya meninggal tetapi tidak seorangpun
berada dalam keadaan vegetatif atau dengan
defisit neurologik berat 12.
Penderita – penderita dewasa muda lebih
sering mendapat cedera akson difus
( diffuse axonal injury ; DAI ) tanpa adanya lesi
massa ekstra-aksial 1,8,13 , tetapi pada usia yang
makin meningkat , kejadian perdarahan subdural
akut ( PSD akut ) dan perdarahan intraserebral (
PIS ) juga meningkat dan berhubungan dengan
peningkatan mortalitas dan morbiditas 9,10,14.
Kejadian perdarahan subarakhnoid traumatik
(traumatic subarachnoid hemorrhage ; tSAH ) ,
kompresi ventrikel, kompresi sisterna basal, dan
pergeseran garis tengah ( midline shift ) juga

sesuai
dengan
peningkatan
usia
dan
berhubungan dengan prognosa yang lebih buruk.
Pada pemeriksaan klinis awal, pada
penderita – penderita usia tua ditemukan
gangguan – gangguan yang lebih buruk
dibandingkan dengan penderita – penderita yang
lebih muda. Gutterman dan Shenkin 15
menemukan bahwa penderita – penderita usia
tua jarang pulih dari keadaan deserebrasi
dibandingkan dengan penderita – penderita usia
muda. Orang – orang dewasa yang pada
pemeriksaan awal waktu dirawat menunjukkan
herniasi transtentorial mempunyai penyembuhan
fungsional 18% dibandingkan dengan 55%
pada anak- anak kecil dan anak belasan tahun ;
70% penderita dewasa meninggal dibandingkan
dengan 45% pada anak – anak kecil dan anak
belasan tahun. Briccolo dkk 16 melaporkan
bahwa dari pendeita – penderita dengan kaku
deserebrasi (decerebrate rigidity) 75% penderita
yang memperoleh penyembuhan baik adalah
yang berumur dibawah 40 tahun. Juga dikira
adanya faktor intrinsik pada jaringan otak orang
tua yang menyebabkannya lebih sensitif
terhadap cedera. Berbagai – bagai faktor dari
sifat – sifat elastisitas pembuluh darah sampai
sifat – sifat neurotransmitter, terpengaruh oleh
usia penderita sehingga lebih sensitif terhadap

Memahami Faktor-Faktor...

trauma , misalnya exitotoxic neurotransmitter,
seperti glutamat dan aspartat.
Usia adalah faktor yang kuat dalam
mempengaruhi prognosa, pada umumnya
disepakati bahwa anak – anak bernasib lebih
baik daripada orang – orang tua berusia lanjut.
Pengaruh yang bermakna dari usia bukan karena
adanya komplikasi sistemik atau hematoma
intraserebral sesuai dengan pertambahan usia.
Meningkatnya usia adalah faktor independen
didalam prognosa ; terjadi peningkatan outcome
buruk yang bermakna pada usia > 60 tahun
Mekanisme Cedera
Mekanisme dari cedera kepala mempunyai
beberapa pengaruh terhadap prognosis ;
penderita yang mengalami cedera pada
kecelakaan kenderaan bermotor kecepatan tinggi
cenderung untuk menderita DAI dengan
prognosa yang relatif baik 1,9,13. Didalam seri
penderita – penderita yang diselidiki Bowers
dan Marshall 1,17 hanya 17% penderita –
penderita cedera kepala berat karena kecelakaan
kendaraan beromotor mempunyai hematoma
yang harus dioperasi dan diantara penderita
yang tanpa hematoma , 53% sembuh secara
fungsional dan 35% meninggal.Berbeda dengan
penderita – penderita yang cedera karena jatuh ,
tabrakan sepeda motor dengan pejalan kaki atau
cedera – cedera lain lebih sering mendapatkan
kontusio dan ekstra-aksial hematoma dengan
outcome yang lebih buruk1,9. Penderita –
penderita dengan DAI cenderung lebih muda
daripada penderita – penderita dengan cedera
otak lokal dan hematoma intrakranial dan sedikit
kecenderungannya
untuk
memperoleh
12,13,18
peningkatan tekanan intrakranial
.
Hipotensi dan Hipoksia
Terdapatnya cedera sistemik ganda
terutama yang berhubungan dengan hipoksia
sistemik dan hipotensi (tekanan sistolik < 90
mmHg),
memperburuk
prognosa
penyembuhan13. Miller dkk 19 menemukan 13%
penderita dengan hipotensi dan 30% dengan
hipoksia pada saat tiba di unit gawat darurat.
Diantara penderita cedera kepala, hipotensi
biasanya disebabkan kehilangan darah karena
cedera sistemik ; sebagian kecil mungkin karena
cedera
langsung
pada
pusat
refleks
kardiovaskular di medula oblongata20. Newfield
dkk20 mendapatkan angka mortalitas 83% pada
penderita – penderita dengan hipotensi sistemik
pada 24 jam setelah dirawat, dibandingkan
dengan angka mortalitas 45% dari penderita –
penderita tanpa hipotensi sistemik. Penambahan

Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006

309

Tinjauan Pustaka

morbiditas dari hipotesi sistemik bisa sebagai
akibat
cedera
iskemik
sekunder
dari
menurunnya perfusi serebral.
Hipotensi yang ditemukan mulai dari awal
cedera sampai selama perawatan penderita
merupakan faktor utama yang menentukan
outcome penderita – penderita cedera kepala
berat, dan merupakan satu – satunya faktor
penentu yang dapat dikoreksi dengan
medikamentosa. Adanya satu episode hipotensi
dapat menggandakan angka mortalitas dan
meningkatkan morbiditas ; koreksi terhadap
hipotensi terbukti akan menurunkan morbiditas
dan mortalitas 20.
Hipoksia sistemik sering terdapat pada
penderita – penderita dengan cedera kepala berat
dan mempunyai pengaruh terhadap prognosa 17.
Katsurada dkk 21 melaporkan bahwa diantara
penderita cedera kepala berat dalam keadaan
koma, 43% mendapat hipoksia arterial dibawah
70 mmHg, 51% mempunyai perbedaan oksigen
alveolar-arterial lebih dari 30% ; 14% mendapat
hiperkarbia lebih dari 45 mmHg. Miller dkk 19
mendapatkan bahwa 30% dari penderita ada
awalnya sudah menderita hipoksia . Hipoksia
sistemik dapat terjadi karena apnea yang tibatiba atau karena pola pernafasan abnormal
lainnya, hipoventilasi karena cedera sumsum
tulang belakang atau obstruksi jalan nafas
karena cedera kepala atau cedera leher, juga
karena cedera lansung pada dinding dada atau
paru , atau oleh emboli lemak di sirkulasi
pulmonal karena fraktur tulang panjang 17 .
Sangat sulit untuk menjelaskan efek hipoksia
sistemik pada manusia, tetapi tampaknya juga
memegang peranan didalam memperburuk
prognosa19.
Alkohol dan Efek Obat Lainnya
Kelly dkk22 menunjukkan bahwa kadar
alkohol yang tinggi pada saat terjadinya cedera
kepala berat berhubungan dengan skor SKG
awal yang rendah dan memperburuk
neuropsychologic outcome dibandingkan dengan
penderita tanpa alkohol pada saat terjadinya
cedera. Keadaaan ini menunjukkan adanya efek
adiksi
dari
obat

obat
terhadap
neuropsychologic outcome.
GAMBARAN KLINIK
Bersama-sama dengan faktor usia yang
bertambah, beratnya cedera otak primer
merupakan variabel yang paling penting lainnya
yang mempengaruhi prognosa. Ini akan tampak
jelas pada hasil pemeriksaan neurologik pada 24
jam pertama setelah cedera 9,14,18. Beberapa
310

komponen pemeriksaan sangat penting. Derajat
kesadaran seperti yang ditunjukkan oleh skor
Skala Koma Glasgow mempunyai nilai prediksi
yang sangat berguna, terutama pada komponen
motorik (best motor response) 10,14,16.Gangguan
fungsi batang otak bagian atas seperti anisokori
atau reaksi pupil yang negatif 23, pergerakan
ekstra-okular yang abnormal10 atau refleks
kornea yang negatif 17 juga sangat penting dalam
menentukan prognosa.
Skor Skala Koma Glasgow
Skala Koma Glasgow (SKG) diciptakan
oleh Jennett dan Teasdale 10 pada tahun 1974.
Sejak itu SKG merupakan tolok ukur klinis yang
digunakan untuk menilai beratnya cedera pada
cedera kepala berat. Skala Koma Glasgow
seharusnya telah diperiksa pada penderita –
penderita pada awal cedera terutama sebelum
mendapat obat – obat paralitik dan sebelum
intubasi ; skor ini disebut Skor Awal Skala
Koma Glasgow.
Derajat kesadaran tampaknya mempunyai
pengaruh yang kuat terhadap kesempatan hidup
dan penyembuhan. Skor Skala Koma Glasgow (
SKG )juga meupakan faktor prediksi yang kuat
dalam menentukan prognosa , suatu skor SKG
yang rendah pada awal cedera berhubungan
dengan prognosa yang buruk 1,9,10,18. Jennet
dkk10 melaporkan bahwa 82% dari penderita –
penderita dengan skor SKG 11 atau lebih, dalam
waktu 24 jam setelah cedera mempunyai good
outcome atau moderately disabled dan hanya
12% yang meninggal atau mendapat severe
disability. Outcome secara progresif akan
menurun kalau skor awal SKG menurun.
Diantara penderita–penderita dengan skor awal
SKG 3 atau 4 dalam 24 jam pertama setelah
cedera hanya 7% yang mendapat good outcome
atau moderate disability. Diantara penderita–
penderita denagn skor SKG 3 pada waktu masuk
dirawat, 87% akan meninggal 10,17,18,23.
Terdapat beberapa kontroversi didalam saat
menentukan SKG. Penentuan skor SKG sesudah
resusitasi kardiopulmonal, dapat mengurangi
nilai prediksi SKG. Pada beberapa penderita,
skor mata dan skor verbal sulit ditentukan pada
mata yang bengkak dan tindakan intubasi
endotrakeal. Skor motorik dapat menjadi
prediksi yang kuat ; penderita dengan skor
motorik 1 ( bilateral flaksid ) mempunyai
mortalitas 90% 24. Adanya skor motorik yang
rendah pada awal cedera dan usia diatas 60
tahun merupakan kombinasi yang mematikan 24.
Kehilangan kesadaran yang lama, dalam
banyak hal tidak prediktif terhadap outcome

Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006

Abdul Gofar Sastrodiningrat

yang buruk.
Groswasser dan Sazbon 25
melakukan tinjauan penyembuhan fungsional
dari 134 penderita dengan gangguan kesadaran
selama 30 hari. Hampir separuhnya mempunyai
ketergantungan total didalam aktifitas kehidupan
sehari – hari , dan 20% yang lain mempunyai
ketergantungan terbatas. Biasanya penderita
yang sembuh adalah pada usia dibawah 30 tahun
dengan fungsi batang otak yang baik .
Refleks-Refleks Batang Otak
Abnormalitas fungsi pupil, gangguan
gerakan ekstraokular, pola-pola respons motorik
yang abnormal seperti postur fleksor dan postur
ekstensor, semuanya memprediksikan outcome
yang buruk setelah cedera kepala berat
1,6,9,10,12,16,18.
.
Anisokori , refleks pupil yang tidak teratur
atau pupil yang tidak bereaksi terhadap rangsang
cahaya biasanya disebabkan karena kompresi
terhadap saraf otak ketiga atau terdapat cedera
pada batang otak bagian atas, biasanya karena
herniasi transtentorial 23. Dalam suatu tinjauan
terhadap 153 penderita dewasa dengan herniasi
transtentorial , hanya 18% yang mempunyai
penyembuhan yang baik. Diantara penderita
dengan anisokori pada waktu masuk dirawat
dengan batang otak yang tidak cedera, 27%
mencapai penyembuhan yang baik, akan tetapi
bila ditemukan pupil yang tak bergerak dan
berdilatasi bilateral, secara bermakna ditemukan
hanya 3.5% yang sembuh. Penderita – penderita
dengan pupil yang anisokor yang mendapat
penyembuhan baik cenderung berumur lebih
muda, dan refleks – refleks batang otak bagian
atas yang tidak terganggu 23. Sone dkk 26
melaporkan 10 dari 40 (25%) penderita dengan
satu pupil berdilatasi ipsilateral terhadap suatu
perdarahan
subdural
(PSD)
mencapai
penyembuhan fungsional. Seelig dkk 27
melaporkan hanya 6 dari 61 (10%) penderita
dengan dilatasi pupil bilateral yang mencapai
penyembuhan fungsional.Dengan demikian,
gangguam gerakan ekstraokular 10,27,28 dan
refleks pupil yang negatif juga berhubungan
dengan prognosa buruk 17.
Born dkk 28 menciptakan Skala Glasgow –
Liege yang mengkombinasikan Skor SKG
dangan fungsi batang otak (Tabel 2.). Angka
skala 3 – 20 memperlihatkan nilai tambah
didalam melakukan prediksi outcome terhadap
penderita – penderita cedera kepala berat bila
dibandingkan terhadak skor SKG saja.
Penggunaan
Skala
Glasgow

Liege
menghasilkan prediksi penyembuhan yang
akurat sebanyak 85%.

Memahami Faktor-Faktor...
Tabel 2.
Skala Glasgow – Liege
Area of Assessment

Score

Eye Opening
Spontaneously
To speech
To pain
No pesponse

4
3
2
1

Verbal Response
Oriented
Confused
Inappropriate
Incomprenhensible
No response

5
4
3
2
1

Motor Response
Obeys command
Localizes
Withdraws
Abnormal Flexion
Abnormal extention
No response

6
5
4
3
2
1

Brainstem Reflexes
Fronto-orbicular
Vertical oculovestibular
Pupillary light reflex
Horizontal oculovestibular
Oculocardiac

5
4
3
2
1

Diameter pupil dan reaksi pupil terhadap
cahaya adalah dua parameter yang banyak
diselidiki dan dapat menentukan prognosa
Didalam mengevaluasi pupil , trauma orbita
langsung harus disingkirkan dan hipotensi telah
diatasi sebelum mengevaluasi pupil , dan
pemeriksaan ulang harus sering dilakukan
setelah evakuasi hematoma intraserebral.
PEMERIKSAAN IMEJING DAN PROGNOSA
Computed Tomography (CT)
Penemuan awal pada computed tomography
penting dalam memperkirakan prognosa cedera
1,12,14,18
kepala berat
Suatu CT scan yang
normal pada waktu masuk dirawat pada
penderita – penderita cedera kepala berat
berhubungan dengan mortalitas yang lebih
rendah dan penyembuhan fungsional yang lebih
baik bila dibandingkan dengan penderita –
penderita yang mempunyai CT Scan abnormal,
walaupun pada penderita – penderita dengan
skor SKG awal 3 atau 4 29. Robertson dkk 30
melaporkan diantara 95 penderita cedera kepala
berat, 39% mempunyai CT scan normal ; 79%
dari penderita – penderita ini mencapai
penyembuhan yang baik, hanya 7% yang
mengalami cacat berat.
Hal diatas tidaklah berarti bahwa semua
penderita dengan CT scan yang relatif normal

Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006

311

Tinjauan Pustaka

akan menjadi lebih baik ; selanjutnya mungkin
terjadi peningkatan TIK dan dapat berkembang
lesi baru pada 40% dari penderita 30. Penderita –
penderita dengan DAI , mungkin hanya
mendapat sedikit perdarahan kortikal atau
terdapat edema difus atau CT Scan yang benar –
benar
normal
tetapi
menjadi
berat
penyakitnya18,30. Disamping itu pemeriksaan CT
scan tidak sensitif untuk lesi dibatang otak
karena kecilnya struktur area yang cedera dan
dekatnya struktur tersebut dengan tulang
disekitarnya. Lesi seperti ini sering berhubungan
dengan outcome yang buruk.
Terdapatnya hematoma intraserebral yang
harus dioperasi berhubungan dengan prognosa
yang lebih buruk sama halnya bila sisterna basal
tidak tampak atau adanya kompresi terhadap
sisterna basal1,9,14,31. Lesi massa terutama
hematoma subdural dan hematoma intraserebral
berhubungan denga meningkatnya mortalitas
dan menurunnya kemungkinan penyembuhan
fungsional 1,9,18,32.
Terdapat juga hubungan usia yang penting
antara temuan radiografik dan outcome.
Meningkatnya usia biasanya berhubungan
dengan meningkatnya frekwensi dan ukuran lesi
(terutama hematoma subdural) , midline shift
yang lebih jauh, lebih sering terjadi kompresi
terhadap sisterna basal dan meningkatnya
mortalitas.32 Penderita – penderita dengan lesi
ekstraserebral yang luas juga mempunyai
outcome yang buruk. Pada usia diantara 16 – 25
tahun 50% akan menjadi vegetatif atau
meninggal dan mereka yang berusia lebih dari
55 tahun 90% akan menjadi vegetatif atau
meninggal.32
Cedera Akson Difus pada CT Scan
Cedera akson difus (diffuse axonal injury ;
DAI) secara primer didasarkan atas perubahan
neuropatologik dengan ciri – ciri kerusakan
akson dan atau pembuluh – pembuluh darah
kecil yang luas .
Kriteria radiologik untuk DAI adalah
ditemukannya lesi – lesi perdarahan kecil di
cortico-medullary junction, korpus kalosum,
batang otak, dan kadang kadang terdapat juga
perdarahan intraventrikular 18. DAI kadang –
kadang tidak tampak bila terdapat edema
serebral yang luas.
Sisterna Basal pada CT Scan
Ditemukannya kompresi terhadap sisterna
basal atau pada CT scan tidak tampak sisterna
basal juga merupakan prediksi outcome yang
buruk setelah cedera kepala berat. Toutant dkk 33
312

melaporkan adanya hubungan yang kuat antara
kondisi sisterna basal pada CT scan awal dan
outcome. Outcome yang buruk terjadi pada 85%
dari penderita dimana sisterna basal tidak
tampak pada pemeriksaan CT scan awal, 65%
terjadi pada penderita dengan kompresi terhadap
sisterna basal dan 44% terjadi pada penderita
dengan sisterna basal yang normal, terlepas dari
ada atau tidaknya hematoma intrakranial.
Kemampuan prediktif dari CT scan lebih besar
pada penderita dengan skor SKG awal 6 – 8
daripada penderita dengan skor SKG awal 3 – 5.
Peneliti lain menemukan bahwa tidak
tampaknya gambaran sisterna basal pada CT
scan berhubungan dengan peningkatan tekanan
intrakranial (TIK) lebih besar dari 25 mmHg.34
Midline Shift pada CT Scan
Demikian juga halnya dengan midline shift
yang jauh, berhubungan dengan prognosa yang
lebih buruk, 9,18,31 terutama bila jauhnya
pergeseran tidak sebanding dengan luasnya
perdarahan intrakranial.31
Kenyataannya pemeriksaan CT scan awal
menunjukkan gambaran abnormal pada hampir
90% dari penderita cedera kepala berat.
Prognosa penderita – penderita cedera kepala
berat dengan gambaran patologis pada CT scan,
kurang menguntungkan dibandingkan dengan
penderita – penderita dengan CT scan normal.
Traumatic Subarachnoid Hemorrhage pada
CT Scan
Traumatic subarachnoid hemorrhage (tSAH)
adalah adanya darah diruang subarakhnoid baik
pada konveksitas otak maupun pada sisterna –
sisterna basal.Terdapat 26% - 53% tSAH pada
penderita dengan cedera kepala berat dan
kebanyakan berlokasi pada konveksitas otak.
Dengan adanya tSAH , angka mortalitas akan
meningkat dua kali lipat ; tSAH didalam sisterna
basal menyebabkan unfavorable outcome pada
70% dari penderita. tSAH adalah faktor
independen
yang
bermakna
didalam
menentukan prognosa 30.
Magnetic Resonance Imaging
Magnetic resonance imaging ( MRI ) juga
sangat berguna didalam menilai prognosa35. MRI
mampu menunjukkan lesi di substantia alba dan
batang otak yang sering luput pada pemeriksaan
CT scan. 35,36 Kerusakan akson yang luas di
substantia alba tampak pada pemeriksaan MRI
pada lebih dari 50 penderita dengan cedera
kepala berat dan lebih kurang pada 30 penderita
dengan cedera kepala yang ringan.36

Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006

Abdul Gofar Sastrodiningrat

Memahami Faktor-Faktor...

Wilberger dkk35
menemukan bahwa
penderita dengan lesi yang luas pada hemisfer
atau terdapat lesi batang otak pada pemeriksaan
MRI, mempunyai prognosa yang buruk untuk
pemulihan
kesadaran,
walaupun
hasil
pemeriksaan CT scan awal normal dan tekanan
intrakranial terkontrol baik.
Pemeriksaan Proton Magnetic Resonance
Spectroscopy (MRS) menambah dimensi baru
pada MRI dan telah terbukti merupakan metoda
yang sensitif untuk mendeteksi DAI. Cecil dkk 37
menemukan bahwa mayoritas penderita dengan
cedera kepala ringan sebagaimana halnya
dengan penderita cedera kepala yang lebih berat,
pada pemeriksaan MRS ditemukan adanya DAI
di korpus kalosum dan substantia alba.
Kepentingan yang nyata dari MRS didalam
menjajaki prognosa cedera kepala berat masih
harus ditentukan, tetapi hasilnya sampai saat ini
dapat menolong menjelaskan berlangsungnya
defisit neurologik dan gangguan kognitif pada
oenderita cedera kepala ringan.
GAMBARAN
BIOKIMIA

FISIOLOGIK

DAN

Monitoring Tekanan Intrakranial
Beberapa gambaran klinis lain juga penting
didalam menentukan prognosa cedera kepala
berat. Kebanyakan penderita cedera kepala berat
dimonitor untuk tekanan intrakranial (TIK)
dengan memakai berbagai teknik1,14,18 Hasil
monitoring TIK dan kemampuan spesialis bedah
saraf mengkontrol TIK sangat berguna bagi
meramalkan penyembuhan. Penderita –penderita
dengan TIK yang tetap meningkat atau tidak
terkontrol cenderung untuk memperoleh
outcome yang lebih buruk dibandingkan dengan
penderita – penderita dengan TIK yang tidak
pernah meningkat, atau penderita dengan TIK
yang mudah dikontrol dengan obat – obat
standar1,14,18,38. Pada 160 penderita dengan
cedera kepala berat, Miller dkk 39 menemukan
bahwa semua penderita dengan peningkatan
TIK yang abnormal berhubungan dengan
outcome yang buruk.Diantara penderita dengan
TIK yang tetap normal selama masa perawatan
78% mencapai good outcome atau moderately
disabled dan hanya 14% meninggal. Semua
penderita dengan TIK yang tidak terkontrol
meninggal. Pitt dkk 40 menunjukkan suatu
hubungan liniair yang bermakna antara TIK 6 –
24 jam setelah cedera dengan outcome 3 bulan
kemudian.
Kemampuan
untuk
mempertahankan
tekanan perfusi otak (Cerebral Perfusion

Pressure ; CPP) juga merupakan faktor yang
bermakna dalam menentukan prognosa.
McGraw dkk 41 menemukan bahwa jumlah dari
CPP rata – rata dan CPP terendah juga dapat
memprediksi sama baiknya dengan penilaian
TIK pada 98% penderita. Penderita – penderita
dimana CPP tidak dapat dipertahankan pada ≥
70 mmHg baik disebabkan karena peningkatan
TIK atau tekanan darah sistemik yang rendah ,
cenderung akan menjadi lebih buruk ketimbang
dimana CPP dapat dipertahankan pada level
normal atau lebih tinggi 38.
Cerebral Blood Flow dan Metabolisma
Masih ada beberapa metoda pemeriksaan
yang
dapat
menolong
memprediksi
penyembuhan , termasuk pengukuran aliran
darah serebral (Cerebral Blood Flow ; CBF),42
metabolisme oksigen dan arteriovenous oxygen
diffrence (AVDO2) 42,43. Abnormalitas pada
pengukuran – pengukuran ini menunjukkan
aliran darah yang berkurang, gangguan
metabolisme oksigen, episode – episode iskemia
serebral 43 , menunjukkan outcome yang buruk.
Le Roux dkk 43 menemukan bahwa walaupun
CPP berada dalam batas – batas yang cukup
baik, pengukuran AVDO2 dapat mendeteksi
adanya episode iskemia serebral yang
berhubungan dengan akan terbentuknya infark
serebral yang tentu saja akan memperburuk
prognosa.
Faktor-Faktor Biokimiawi
Faktor-faktor
biokimiawi
seperti
pengukuran katekolamin plasma 45, creatine
kinase BB isoenzyme 44 didalam cairan
serebrospinal dan faktor – faktor fibrinolitik
plasma7 dapat secara jelas mempertajam
penilaian outcome bila digunakan bersama –
sama faktor – faktor lain. Woolfe dkk 45
malaporkan hasil pengukuran katekolamin
plasma (norepinephrine, epinephrine dan
dopamine) dalam waktu 48 jam setelah cedera
menggambarkan beratnya kerusakan neurologik.
Peningkatan norepinephrine dan epinephrine
yang bermakna berhubungan dengan outcome
yang buruk atau kematian. Hans dkk 44
menunjukan bahwa bila dibandingkan terhadap
usia, skor Skala Glasgow-Liege, cedera sistemik
dan aktifitas creatine kinase BB isoenzyme
didalam cairan serebrospinal, secara bersama –
sama mempunyai kemampuan yang tinggi
dalam menentukan prognosa (67%).
Pemeriksaan awal faktor – faktor
fibrinolitik plasma termasuk alpha2-plasmininhibitor-plasmin complex (PIC) dan D-dimer

Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006

313

Tinjauan Pustaka

terbukti berkorelasi dengan outcome yang baik.
Bila kadar plasma PIC lebih tinggi dari 15
µg/mL atau D-dimer lebih tinggi dari 5 µg/mL,
92% meninggal terlepas dari nilai awal derajat
kesadarannya pada waktu dirawat. Bila PIC
kurang dari 2 µg/mL atau D-dimer kurang dari 1
µg/mL pada waktu masuk dirawat, semua
penderita mempunyai prognosa yang baik.
KESIMPULAN
Usia penderita (class I evidence) , skor awal
SKG (class I evidence) , diameter pupil dan
reaksinya terhadap cahaya (class I evidence),
keadaan hipotensi sistemik dan gambaran awal
CT scan (class I evidence and Class II evidence)
46
, merupakan faktor – faktor yang paling
penting dan dominan dalam memprediksi
prognosa penderita cedera kepala berat. Akan
tetapi banyak faktor termasuk diantaranya
mekanisme cedera, cedera awal jaringan otak,
hasil monitor TIK, dan pemeriksaan tambahan
lainnya dapat menambah kemampuan spesialis
bedah saraf dalam menentukan prognosa.Di
tahun 1979 Jennett dkk 16 hanya dengan
menggunakan data klinis, mereka melaporkan
mampu memprediksi outcome pada 68%
penderita pada hari ke 4 – 7 setelah cedera. Pada
tahun 1989 dengan menggunakan skor Skala
Glasgow-Liege dan pemeriksaan tambahan
seperti monitoring TIK , CSF creatine kinase
BB isoenzyme, mampu memprediksi prognosa
pada 91% penderita.44 Kita harus terus berusaha
kearah yang lebih akurat sehingga dapat
memberikan informasi pada keluarga, berusaha
terus bila masih ada harapan atau berhenti bila
penyembuhan menjadi tidak mungkin.
DAFTAR PUSTAKA
1. Alberico AM, Ward JD, Choi SC, et al.
Outcome after severe head injury.
Relationship to mass lesion, diffuse injury,
and ICP course in pediatric and adult
patients. J Neurosurg 1987; 67: 648 – 56.
2.

3.

4.

314

Dikemen S, Reitan RM, Temkin NR.
Neuropsychological recovery in head
injury. Arch Neurol 1993 ; 40 : 333 – 83.
Bruce DA, Schut L, Bruno LA, et al.
Outcome following severe head injury in
children. J Neurosurg 1987; 48: 679 – 88.
Clifton GL, Hayes RL, Levin HS. Et al .
Outcome measures for clinical trials
involving
traumatically
brain-injured

patients. Report of a conference.
Neurosurgery 1992; 31: 975 – 8.
5.

Jennett B, Bond M. Assessment of outcome
after severe brain damage. A practical scale.
Lancet 1975 ; 1 : 480 – 4.

6.

Becker DP, Miller JD, Ward JD, et al. The
outcome from severe head injury with early
diagnosis and intensive management . J
Neurosurg 1997; 47: 491 – 502.

7.

Takahashi H, Urano T, Takada Y, et al.
Fibrinolytics parameter as an admission
prognostic marker of head injury in patients
who talk and deteriorate. J Neurosurg. 1997
; 86 : 768 – 72.

8.

Luerssen TG, Klauber MR, Marshall LF.
Outcome from head injury related to
patient’s age . A longitudinal prospective
study of adult and pediatric head injury. J.
Neurosurg 1988 ; 68 : 409 – 16.

9.

Choi SC, Muizelaar JP, Barnes TY, et al.
Prediction Tree for severely head-injured
patients. J Neurosurg 1991 ; 75 : 251 – 5.

10. Jennett B, Teasdale G, Braakman R, et al.
Prognosis of patients with severe head
injury. Neurosurgery 1979 ; 4 : 282 – 9.
11. Volmerr DJ, Torner JC, et al. Age and
outcome following traumatic coma. Why do
older patients fare worse ? J Neurosurg
1991 ; 75 : 537 – 49.
12. Andrews BT, Ross AM, Pitts LH. Surgical
exploration before computed tomography
scanning in children with traumatic
transtentorial herniation. Surg Neurol 1989
32 : 434 – 8.
13. Bowers SA, Marshall LF. Outcome in 200
consecutive cases of severe head injury
treated in San Diego County. A prospective
study. Neurosurgery 1980 ; 6: 237 – 42
14. Choi SC, Narayan RK, Anderson RL, et al.
Enhanced specificity of prognosis in severe
head injury. J Neurosurg 1988; 69: 381 – 5.
15. Gutterman P, Shenkin HA. Prognostic
features in recovery from decerebration. J
Neurosurg 1979 ; 3 : 330 – 5.
16. Bricolo A, Turazzi S, Alexendere A, et al.
Decerebrate rigidity in acute head injury. J
Neurosurg 1977 ; 47 : 680 – 98.
17. Andrews BT, Pitts LH.
transtentorial
herniation

Traumatic
and
its

Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006

Abdul Gofar Sastrodiningrat

Memahami Faktor-Faktor...

management. Mount Kisco New York :
Futura Publishing Company. 1991.

head injury. Neurosurgery 1985 ; 16 : 595 –
601.

18. Narayan RK, Brennberg RP, Miller JD, et al
. Improved confidence of outcome
prediction in severe head injury. A
comparative
analysis
of
clinical
examination , multimodality evoked
potentials, CT Scanning, and intracranial
pressure. J Neurosurg 1981; 54 : 761 – 2.

29. Lobato RD, Sarabia R, Rivas JJ, et al.
Normal computerized tomography scans in
severe head injury. Prognostic and clinical
implications. J Neurosurg 1986 ; 65: 784 –
9.

19. Miller JD, Sweet RC, Narayan R, et al.
Early insult to injured brain JAMA 1978 ;
240 : 439 – 42.
20. Newfield P, Pitts KH, Kaktis J, et al. The
influence of shock on mortality after head
injury. Crit Care Med 1980 ; 8 : 254 – 5.
21. Katsurada K, Yamada R, Sugimoto T.
Respiratory insufficiency in patients of
severe head injury. Surgery 1993 ; 73 : 191
– 9.
22. Kelly MP, Johnson CT, Knoller N , et al.
Substance abuse, traumatic brain injury and
neuropsychological outcome. Brain Injury
1997 ; 11 : 391 – 402.
23. Andrews BT, Pitts L. Functional recovery
after traumatic transtentorial herniation.
Neurosurgery 1991 ; 29 : 227 – 31.
24. Kelly DF, Kordistani RK, Martin NA, et al.
Hyperemia following traumatic brain
injury.
Relationship
to
intracranial
hypertension and outcome. J Neurosurg
1996 ; 85 : 762 – 71.
25. Groswasser Z, Sazbon L. Outcome in 134
patients with prolonged posttraumatic
unawareness. Part 2 : Functional outcome
of 72 patients recovering consciousness. J
Neurosurg 1990 ; 72 : 81 – 4.
26. Stone JL, Rifai MHS, Sugar O, et al.
Subdural hematomas. Acute subdural
hematomas. Progress in definition, clinical
pathology and therapy. Surg Neurol 1983;
19: 216 – 31.
27. Seelig JM, Greenberger RP, Becker DP, et
al. Reversible brainstem dysfunction
following
acute
traumatic
subdural
hematoma.
A
clinical
and
electrophysiological study. J Neurosurg
1981 ; 55 : 516 – 23
28. Born JD, Albert A, Hans P, et al: Relative
prognostic value of best motor response and
brainstem reflexes in patients with severe

30. Roberson FC, Kishore PRS, Miller JD, et
al. The value of serial computerized
tomography in the management of severe
head injury. Surg Neurol 1997; 12:
161
– 8.
31. Quattrocchi KB, Prasad P, Willits NH, et al.
Quantification of midline shift as a
predictor of poor outcome following head
injury. Surg Neurol 1991 ; 35 : 185 – 8.
32. Jane JA, Francel PC. Age and outcome of
head injury. In : Narayan RK, Wilberger JE,
Povlishock JT , editors. Neurotrauma. New
York : McGraw Hill ; 1996. p. 793 – 804.
33. Toutant SM, Klauber MR, Marshall LF, et
al. Absent or compressed basal cistern on
first CT scan. Ominous predictors of
outcome in severe head injury. J Neurosurg
1984 ; 61 : 691 – 4.
34. Murphy A, Teasdale E, Matheson M, et al.
Relationship between CT indices of brain
swelling and intracranial pressure after head
injury. In : Ishii S, Nagai H, Brock M,
editors. Intracranial pressure V. Berlin:
Springer – Verlag; 1983.p.751 – 762.
35. Wilberger JE, Deeb Z, Rithfus W. Magnetic
resonance imaging in cases of severe head
injury. Neurosurgery 1983 ; 20 : 571 – 6.
36. Mittl RL, Grossman RI, Hiehle JF, et al.
Prevalence of MR evidence of diffuse
axonal injury in patients with mild head
injury and normal CT findings. AJNR Am J
Neuroradiol 1994 ; 15 : 1583 – 9.
37. Cecil KM, Hills EC, Sandel E, et al.Proton
magnetic resonance spectroscopy for
detection of axonal injury in the splenium
of corpus callosum of brain-injured patients.
J Neurosurg 1998 ; 88 : 795 – 801.
38. Rosner MJ, Rosner SD, Johnson AH.
Crebral perfusion pressure. Management
protocol and clinical result. J Neurosurg
1995 ; 83 : 949 – 962.
39. Miller JD, Becker DP, Ward JD, et al.
Significance of intracranial hypertension in

Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006

315

Tinjauan Pustaka

severe head injury. J Neurosurg 1977 ; 47 :
503 – 16.

outcome in patients with severe head injury.
J Neurosurg 1997 ; 87: 1 – 8.

40. Pitts LH, Kaktis JV, Juster L, et al. ICP and
outcome in patients with severe head injury.
In : Shulman K, Marmarou A, Miler JD, et
al , editors. Intracranial pressure IV. Berlin :
Springer – Verlag ; 1980.p.5 – 9.

44. Hans P, Alpert A, Franssen C, et al.
Improved outcome prediction based on CSF
extrapolated creatine kinase BB isoenzyme
activity and other risk factors in severe head
injury. J Neurosurg 1989 ; 71 : 54 – 8.

41. McGraw C, Shields CB, Gamel JW, et al.
Impact of cerebral perfusion pressure on
survival following head injury. In : Miller
JD, Teasdale GM, Rowan LO, et al ,
editors. Intracranial pressure VI. Berlin :
Springer – Verlag ; 1986.p. 667 – 670.

45. Woolf PD, Hamill RW, Lee LA, et al. The
predictive value of cathecolamine in
assessing outcome in traumatic brain injury.
J Neurosurg 1987 ; 66 : 875 – 882.

42. Jaggi JL, Obrist WD, Gennarelli TA, et al .
Relationship of early cerebral blood flow
and metabolism to outcome in acute head
injury. J Neurosurg 1990 ; 72 : 176 – 182.

46. American Association of Neurological
Surgeons. Management and prognosis of
severe traumatic brain injury. Part II : Early
indicators of prognosis in severe traumatic
brain injury. Brain Trauma Foundation
2000. ISBN 0-9703144-0-X.p. 15 – 65.

43. Le Roux PD, Newek PD, Lam AM, et al.
Cerebral arterio-venous oxygen difference.
A predictor of cerebral infarction and

316

Suplemen y Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006