Perencanaan Pengembangan Peternakan Sapi Potong Perkotaan Dalam Rangka Pengembangan Wilayah Di Kota Tangerang Selatan

PERENCANAAN PENGEMBANGAN PETERNAKAN SAPI POTONG
PERKOTAAN DALAM RANGKA PENGEMBANGAN WILAYAH
DI KOTA TANGERANG SELATAN

PIPIT SURYA YUNIAR

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Perencanaan
Pengembangan Peternakan Sapi Potong Perkotaan Dalam Rangka Pengembangan
Wilayah Di Kota Tangerang Selatan adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2016
Pipit Surya Yuniar
A156140274

RINGKASAN
PIPIT SURYA YUNIAR. Perencanaan Pengembangan Peternakan Sapi Potong
Perkotaan Dalam Rangka Pengembangan Wilayah Di Kota Tangerang Selatan.
Dibimbing oleh WIDIATMAKA dan ASNATH MARIA FUAH.
Pertanian kota secara umum dapat digambarkan sebagai kegiatan
budidaya, pengolahan dan distribusi tanaman pangan dan non pangan, pohon dan
peternakan yang secara langsung dapat memenuhi pasar perkotaan baik di dalam
maupun di sekitar wilayah perkotaan. Dibalik peluang usaha peternakan yang
cukup besar ini ternyata mendapat kendala dengan keadaan terbatasnya alokasi
lahan guna pengembangan usaha peternakan khususnya ternak sapi potong.
Tujuan utama dari penelitian ini adalah menyusun perencanaan pengembangan
peternakan sapi potong di Kota Tangerang Selatan berdasarkan pola pemusatan
ternak sapi potong, kesesuaian ekologis ternak sapi potong, daya dukung hijauan
makanan ternak dan faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan peternakan
sapi potong. Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai dengan Desember

2015, berlokasi di Kota Tangerang Selatan. Data primer diperoleh dari wawancara
langsung dengan stakeholders, data sekunder diperoleh dari instansi terkait.
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini antara lain LQ dan SSA,
analisis kesesuaian lingkungan ekologis ternak sapi potong, analisis kesesuaian
lahan dan analisis daya dukung hijauan makanan ternak, AHP, TOPSIS dan
SWOT.
Hasil analisis LQ dan SSA menunjukkan bahwa wilayah basis ternak sapi
potong berada di Kecamatan Serpong, Pamulang dan Setu. Analisis kesesuaian
lingkungan ekologis ternak sapi potong menunjukkan bahwa 3 174 ha wilayah
Kota Tangerang Selatan memiliki kriteria Sesuai (S). Analisis kesesuaian lahan
dan analisis daya dukung hijauan makanan ternak menunjukkan bahwa luas
kesesuaian lahan untuk hijauan makanan ternak sebesar 3 881 ha dan wilayah
Kota Tangerang Selatan masih memiliki daya dukung ternak sebesar 18 645.46
ST. Prioritas arahan pengembangan ternak sapi potong berturut-turut adalah
Kecamatan Serpong, Kecamatan Pamulang, Kecamatan Setu, Kecamatan Pondok
Aren, Kecamatan Ciputat, Kecamatan Serpong Utara dan Kecamatan Ciputat
Timur. Faktor yang paling berpengaruh dalam pengembangan ternak sapi potong
di Kota Tangerang Selatan secara berurutan adalah lahan, modal, pasar,
sumberdaya manusia dan teknologi. Strategi yang digunakan dalam perencanaan
pengembangan peternakan sapi potong di Kota Tangerang Selatan menggunakan

strategi ST (Strengths-Threats) sebagai strategi utama yaitu mengoptimalkan
potensi pasar, sumberdaya manusia dan dukungan pemerintah daerah serta
mengurangi ancaman berupa efek negatif terhadap lingkungan dikarenakan lahan
yang terbatas.
Kata kunci : Daya dukung, kesesuaian lahan, perencanaan pengembangan, sapi
potong.

SUMMARY
PIPIT SURYA YUNIAR. Urban Beef Cattle Development Planning In The
Context Of The Regional Development In South Tangerang. Supervised by
WIDIATMAKA and ASNATH MARIA FUAH.
Urban Agriculture can be described as the growing processing and
distribution of food and nonfood plant and tree crops and the raising of livestock,
directly for the urban market, both within and on the fringe of urban area. Beside
the good opportunity of livestock business, there is still a problem about limited
land. The main aim of this research was to arrange beef cattle development
planning in South Tangerang based on the centralized pattern of beef cattle
development areas, the suitability of the ecological environment for the
development of beef cattle, carrying capacity based on the avialibility of forages
for beef cattle and the influences factors in the beef cattle development. The

research was carried out from April to Desember 2015 in South Tangerang. Data
were obtained from the interview with stakeholders as primary data, while
secondary data were obtained from related institutions. The method used in this
study were : LQ and SSA, beef cattle ecological environmental suitability analysis,
land suitability for forage and carrying capacity, AHP (Analytic Hierarchy
Process) analysis, TOPSIS (Technique for Order Preference by Similarity to Ideal
Solution) analysis, and SWOT (Strength Weakness Opportunity Threats) analysis.
The calculation of Location Quotient (LQ) indicates that there were 3
(three) districts which have LQ>1 i.e. Serpong, Pamulang and Setu. The land
suitability for cattle in South Tangerang was 3 174 ha. The size of forage
suitability for cattle feed was 3 881 ha and forage support capacity in South
Tangerang was categorized as safe, that was 18 645.46 AU. The priority of region
for beef cattle development based on order of most suitable were Serpong,
Pamulang, Setu, Pondok Aren, Ciputat, Serpong Utara and Ciputat Timur. The
influencing factors for beef cattle development were land, capital, market, human
resources and technology. Strategy for beef cattle development in South
Tangerang were the optimalization of marketing system, human resources
improvement, support of the local govement and reduces the negative effect of
environment because of the limited land resources.
Key words : support capacity, land suitability, development planning, beef cattle.


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PERENCANAAN PENGEMBANGAN PETERNAKAN SAPI POTONG
PERKOTAAN DALAM RANGKA PENGEMBANGAN WILAYAH
DI KOTA TANGERANG SELATAN

PIPIT SURYA YUNIAR

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains

pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:

Dr Ir Setia Hadi MS

PRAKATA
Alhamdulillah, Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu
wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.
Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2015 ini
ialah perencanaan wilayah, dengan judul Perencanaan Pengembangan Peternakan
Sapi Potong Perkotaan dalam Rangka Pengembangan Wilayah Di Kota Tangerang
Selatan. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan
yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Dr Ir Widiatmaka DEA sebagai ketua komisi pembimbing dengan
kesabaran dan keikhlasannya telah meluangkan waktu untuk mengarahkan
dan membuka wawasan penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
2. Ibu Dr Ir Asnath Maria Fuah MS sebagai anggota komisi pembimbing yang
juga dengan kesabaran dan keikhlasannya telah meluangkan waktu untuk
mengarahkan dan membuka wawasan penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
3. Bapak Dr Ir Setia Hadi MS selaku dosen penguji luar komisi atas masukan
dan sarannya.
4. Segenap dosen dan staf manajemen Program Studi Ilmu Perencanaan
Wilayah IPB yang telah mengajar dan membantu penulis selama mengikuti
studi.
5. Pimpinan dan staf Pusbindiklatren Bappenas atas kesempatan beasiswa yang
diberikan kepada penulis.
6. Walikota, Sekretaris Daerah, Kepala Badan Kepegawaian Daerah, serta
Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Tangerang Selatan yang
telah memberikan ijin serta dukungan untuk mengikuti tugas belajar pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB.
7. Ayah Ibunda terkasih serta Istri Anak tercinta yang telah memberikan ridho,
ijin serta dorongan semangat sehingga memberikan kekuatan yang besar
kepada penulis.

8. Rekan-rekan PWL IPB 2014 baik kelas khusus Bappenas maupun reguler
yang juga memberikan dorongan moral untuk kesuksesan penulis.
9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas bantuan baik
moril maupun materiil selama studi dan penulisan tesis ini
Penulis sepenuhnya menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan
dan ketidaksempurnaan. Kritik dan saran yang bermanfaat sangat diharapkan
penulis untuk lebih menyempurnakan karya tulis ini. Semoga memberikan
manfaat.

Bogor, Maret 2016
Pipit Surya Yuniar
NRP. A156140274

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah

Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Kerangka Pemikiran
2 TINJAUAN PUSTAKA
Kawasan Pengembangan Peternakan
Hijauan Makanan Ternak Ruminansia
Evaluasi Sumberdaya Fisik Wilayah Peternakan
Sistem Informasi Geografis
3 METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Bahan dan Alat
Teknik Pengumpulan Data
Prosedur Analisis Data
Identifikasi Pola Pemusatan Ternak Sapi Potong
Analisis Wilayah yang Tersedia dan Sesuai dengan Lingkungan
Potensial untuk Pengembangan Ternak Sapi Potong
Analisis Kesesuaian Lahan Hijauan Makanan Ternak dan Daya
Dukung Lahan yang Sesuai Bagi Pengembangan Peternakan Sapi
Potong
Analisis Wilayah yang Menjadi Prioritas Pengembangan

Peternakan Sapi Potong Berdasar Karakteristik Fisik Wilayah
Penilaian Faktor-Faktor Pengembangan Peternakan Sapi Potong
Perkotaan
Penyusunan Perencanaan Pengembangan Peternakan Sapi Potong
di Koa Tangerang Selatan
Analisis A‟WOT
Analisis Faktor Strategi Internal dan Eksternal
Analisis Matriks Internal Eksternal (IE)
Analisis Matriks Space
Analisis SWOT
4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
Kondisi Fisik Wilayah
Geografi dan Administrasi
Iklim
Geologi dan Jenis Tanah
Penggunaan Lahan
Kondisi Peternakan
Kondisi Sosial Wilayah
Demografi
Tingkat Pendidikan dan Ketenagakerjaan


vi
viii
ix
1
1
3
4
5
5
7
7
10
11
12
13
13
13
14
15
18
19

20
23
25
28
28
29
31
31
33
33
34
34
35
35
35
37
37
37
38

Kondisi Perekonomian Wilayah
39
Pendapatan Regional
39
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
40
Identifikasi Pola Pemusatan Ternak Sapi Potong
40
Analisis Wilayah yang Tersedia dan Sesuai dengan Lingkungan
Potensial untuk Pengembangan Ternak Sapi Potong
43
Ketersediaan Lahan Potensial Dikembangkan Ternak Sapi Potong
43
Kesesuaian Lahan Potensial Dikembangkan Ternak Sapi Potong
47
Analisis Kesesuaian Lahan Hijauan Makanan Ternak dan Daya
Dukung Lahan yang Sesuai Bagi Pengembangan Peternakan Sapi
Potong
49
Kesesuaian Lahan Tanaman Padi (Oriza sativa)
50
Kesesuaian Lahan Tanaman Ubi Jalar (Ipomoea batatas)
51
Kesesuaian Lahan Tanaman Rumput Gajah (Pennisetum
purpureum)
52
Kesesuaian Lahan Tanaman Rumput Setaria (Setaria spachelata)
54
Kesesuaian Lahan Kelompok Leguminosa
55
Kesesuaian Lahan Rumput Alam
56
Kesesuaian Hijauan Makanan Ternak
58
Daya Dukung Hijauan Makanan Ternak
59
Analisis Wilayah yang Menjadi Prioritas Pengembangan Peternakan
Sapi Potong Berdasar Karakteristik Fisik Wilayah Kota Tangerang
60
Selatan
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengembangan Peternakan Sapi
Potong
65
Persepsi Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kota
Tangerang Selatan
65
Persepsi Pemangku Kepentingan terhadap Usaha Peternakan
67
Persepsi Balai Pengembangan Peternakan Provinsi Banten
68
Persepsi Seluruh Responden
70
Perencanaan Strategi Pengembangan Peternakan Sapi Potong di Kota
Tangerang Selatan
71
Analisis Faktor Strategi Internal
73
Analisis Faktor Strategi Eksternal
74
Analisis Matriks Internal Eksternal
75
Analisis Matriks Space
76
Tahap Pengambilan Keputusan dengan Analisis SWOT
77
Rencana Implementasi
79
6 SIMPULAN DAN SARAN
80
Simpulan
80
Saran
81
DAFTAR PUSTAKA
81
DAFTAR SINGKATAN
86
LAMPIRAN
87
RIWAYAT HIDUP
110

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31

Jenis dan sumber data
Jenis analisis dan tujuan penggunaan data primer
Matriks pencapaian tujuan
Kriteria penilaian kesesuaian lingkungan ekologis untuk ternak
sistem pemeliharaan dikandangkan
Kriteria indeks daya dukung hijauan makanan ternak
Skala dasar ranking Analytical Hierarchy Process (AHP)
Matriks Internal Strategic Factor Analysis Summary (IFAS)
Matriks Eksternal Strategic Factor Analysis Summary (EFAS)
Potensi fisik dasar Kota Tangerang Selatan
Luas wilayah berdasarkan kecamatan Kota Tangerang Selatan
Penggunaan lahan Kota Tanerang Selatan
Data peternakan di Kota Tangerang Selatan
Komposisi penduduk Kota Tangerang Selatan menurut jenis
kelamin tahun 2013
Komposisi penduduk Kota Tangerang Selatan berdasarkan tingkat
pendidikan tahun 2013
Jumlah penduduk yang bekerja menurut lapangan pekerjaan utama
tahun 2013
Gambaran PDRB Kota Tangerang Selatan dari tahun 2010-2013
Nilai LQ kepadatan ternak Kota Tangerang Selatan tahun 2014
Nilai komponen differential shift kepadatan ternak Kota
Tangerang Selatantahun 2011 dan 2014
Keunggulan komparatif tiap kecamatan di Kota Tangerang Selatan
berdasarkan nilai LQ kepadatan ternak tahun 2014
Luas peruntukan wilayah menurut RTRW Kota Tangerang Selatan
2011-2031
Matriks analisis ketersediaan lahan peternakan
Luas lahan yang tersedia untuk pengembangan sapi potong di
Kota Tangerang Selatan pada berbagai penggunaan lahan
Data pengambilan sampel pH air di 7 kecamatan di Kota
Tangerang Selatan
Luas kesesuaian lingkungan ekologis ternak sapi potong sistem
kandang per kecamatan di Kota Tangerang Selatan
Luas kesesuaian lahan sawah di Kota Tangerang Selatan
Luas kesesuaian lahan tanaman ubi jalar di Kota Tangerang
Selatan
Luas kesesuaian lahan tanaman rumput gajah di Kota Tangerang
Selatan
Luas kesesuaian lahan tanaman rumput setaria di Kota Tangerang
Selatan
Luas kesesuaian lahan tanaman kelompok leguminosa di Kota
Tangerang Selatan
Luas kesesuaian lahan tanaman rumput alam di Kota Tangerang
Selatan
Luas kesesuaian lahan hijauan makanan ternak di Kota Tangerang

14
14
15
20
22
27
30
30
34
34
36
37
37
38
39
40
41
41
42
44
46
46
48
48
50
52
53
54
55
57

32
33
34
35
36
37
38

Selatan
Indeks daya dukung hijauan makanan ternak masing-masing
kecamatan di Kota Tangerang Selatan
Prediksi kapasitas tampung ternak sapi potong di Kota Tangerang
Selatan
Hasil pembobotan kriteria dan nilai concistency index (CI)
berdasarkan analisis AHP
Arahan pengembangan peternakan sapi potong di Kota Tangerang
Selatan
Faktor-faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman
Hasil analisis matriks Internal Strategic Factor Analysis Summary
(IFAS)
Hasil analisis matriks External Strategic Factor Analysis Summary
(EFAS)

58
59
60
62
64
72
73
74

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22

Kerangka pikir penelitian
Peta lokasi penelitian
Diagram alir pembuatan peta penggunaan lahan
Diagram alir pembuatan peta satuan lahan Kota Tangerang Selatan
Diagram alir penelitian
Struktur hierarki AHP dalam penilaian faktor-faktor
pengembangan peternakan sapi potong perkotaan
Model matriks internal eksternal
Model matriks space
Model matriks SWOT
Peta penggunaan lahan Kota Tangerang Selatan tahun 2014
Matrik kuadran LQ dan SSA
Peta kecamatan basis/nonbasis bagi komoditas ternak sapi potong
di Kota Tangerang Selatan
Peta pola ruang berdasarkan RTRW Kota Tangerang Selatan tahun
2011-2031
Peta ketersediaan lahan pengembangan ternak sapi potong
Peta kesesuaian ekologis ternak sapi potong yang dikandangkan di
Kota Tangerang Selatan
Peta kelas kesesuaian lahan sawah Kota Tangerang Selatan
Peta kelas kesesuaian lahan tanaman ubi jalar Kota Tangerang
Selatan
Peta kelas kesesuaian lahan tanaman rumput gajah Kota
Tangerang Selatan
Peta kelas kesesuaian lahan tanaman rumput setaria Kota
Tangerang Selatan
Peta kelas kesesuaian lahan tanaman kelompok leguminosa Kota
Tangerang Selatan
Peta kelas kesesuaian lahan tanaman rumput alam Kota Tangerang
Selatan
Peta kelas kesesuaian lahan hijauan makanan ternak di Kota

7
13
16
17
18
28
31
32
33
36
42
43
45
47
49
51
52
53
55
56
57

23
24
25
26

27
28

29
30
31
32
33
34
35

Tangerang Selatan
Grafik Ranking of Alternatives kecamatan prioritas pengembangan
ternak sapi potong berdasarkan analisis TOPSIS
Peta prioritas arahan pengembangan ternak sapi potong di Kota
Tangerang Selatan
Hasil analisis AHP (faktor utama) berdasarkan persepsi Badan
Perencanaan Pembanguan Daerah Kota Tangerang Selatan
Hasil analisis AHP (kriteria dari faktor utama) berdasarkan
persepsi Badan Perencanaan Pembanguan Daerah Kota Tangerang
Selatan
Hasil analisis AHP (faktor utama) berdasarkan persepsi Dinas
Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Tangerang Selatan
Hasil analisis AHP (kriteria dari faktor utama) berdasarkan
persepsi Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Tangerang
Selatan
Hasil analisis AHP (faktor utama) berdasarkan persepsi Balai
Pengembangan Peternakan Provinsi Banten
Hasil analisis AHP (kriteria dari faktor utama) berdasarkan
persepsi Balai Pengembangan Peternakan Provinsi Banten
Hasil analisis AHP (faktor utama) berdasarkan persepsi semua
responden
Hasil analisis AHP (kriteria dari faktor utama) berdasarkan
persepsi semua responden
Hasil analisis matriks internal eksternal
Hasil analisis matriks space
Hasil analisis matriks SWOT

58
63
64
66

66
67

68
69
69
70
71
75
76
78

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17

Kriteria kesesuaian lahan padi sawah irigasi
Kriteria kesesuaian lahan ubi jalar
Kriteria kesesuaian lahan rumput gajah
Kriteria kesesuaian lahan rumput setaria
Kriteria kesesuaian lahan tanaman kelompok leguminosa
Kriteria kesesuaian lahan rumput alam
Kelas kesesuaian lahan berdasarkan satuan peta tanah
Pembobotan
faktor-faktor
utama
yang
mempengaruhi
pengembangan ternak sapi potong
Pembobotan kriteria-kriteria pada faktor utama lahan
Pembobotan kriteria-kriteria pada faktor utama sumberdaya
manusia
Pembobotan kriteria-kriteria pada faktor utama pasar
Pembobotan kriteria-kriteria pada faktor utama modal
Pembobotan kriteria-kriteria pada faktor utama teknologi
Pembobotan faktor-faktor strategi internal kekuatan
Pembobotan faktor-faktor strategi internal kelemahan
Pembobotan faktor-faktor strategi eksternal peluang
Pembobotan faktor-faktor strategi eksternal ancaman

87
88
89
90
91
92
93
96
98
99
100
102
103
104
106
107
108

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Menurut Badan Pusat Statistik, sektor pertanian adalah salah satu sektor
dari sembilan sektor lapangan usaha dalam penghitungan produk domestik
regional bruto (PDRB), meliputi Sektor Pertanian, Pertambangan dan Penggalian,
Industri Pengolahan, Listrik, Gas, dan Air Bersih, Konstruksi, Perdagangan, Hotel,
dan Restoran, Angkutan dan Komunikasi, Keuangan, Persewaan, dan Jasa
Perusahaan, dan Jasa-jasa. Berdasarkan definisi BPS tersebut, sektor pertanian
terdiri dari 4 subsektor meliputi Subsektor pertanian itu sendiri, Subsektor
Peternakan, Subsektor Kehutanan, dan Subsektor Perikanan (BPS Kota Tangerang
Selatan 2014). Indonesia adalah negara agraris dengan ketersediaan lahan
pertanian yang secara umum cukup luas, tak terkecuali untuk usaha
pengembangan peternakan. Subsektor peternakan mencakup produksi ternak besar,
ternak kecil, unggas maupun hasil ternak, seperti sapi, kerbau, babi, kambing.
domba, telur, susu segar, serta hasil pemotongan ternak. Namun, pengembangan
usaha peternakan pada saat ini banyak terpusat di pulau Jawa. Maraknya kegiatan
pembangunan, terutama pembangunan infrastruktur dan lahan-lahan terbangun
membuat laju perkembangan daerah perkotaan di pulau Jawa semakin cepat. Hal
ini menyebabkan masalah ketersediaan lahan untuk usaha peternakan semakin
terbatas sehingga munculah konsep pertanian dalam kota.
Pertanian dalam kota (Urban farming) didefinisikan sebagai suatu
aktivitas pertanian di dalam atau di sekitar perkotaan yang melibatkan
keterampilan, keahlian dan inovasi dalam budidaya dan pengolahan bahan
makanan (Enciety 2011). Hal utama yang menyebabkan munculnya aktivitas ini
adalah upaya memberikan kontribusi pada ketahanan pangan, menambah
penghasilan masyarakat sekitar dan sebagai sarana rekreasi dan hobi. Pertanian
kota secara umum dapat digambarkan sebagai kegiatan budidaya, pengolahan dan
distribusi tanaman pangan dan non pangan, pohon dan peternakan yang secara
langsung untuk memenuhi pasar perkotaan baik di dalam maupun di sekitar
wilayah perkotaan (Mougeot 2006). Semua kegiatan dilakukan dengan metoda
using dan re-using sumber alam dan limbah perkotaan. Definisi pertanian kota
(urban farming) telah berkembang dan bervariasi dalam literatur namun dari
berbagai definisi yang dikembangkan tersebut, pertanian kota (selain urban
farming juga ada yang mengistilahkan dengan Urban Agriculture) didefinisikan
sebagai usaha tani, pengolahan dan distribusi dari berbagai komoditas pangan,
termasuk sayuran dan peternakan di dalam atau pinggir kota di daerah perkotaan
(Smit et al 1996, Nugent 2000, Hanani 2009 dalam Maharisi et al. 2014). Konsep
seperti inilah yang akhir-akhir ini semakin berkembang di masyarakat daerah
perkotaan dalam membantu ketersediaan bahan pangan khususnya produk
peternakan. Masyarakat memiliki kesempatan untuk berperan seluas – luasnya
dalam mewujudkan kecukupan produk peternakan, dapat berupa melaksanakan
produksi, perdagangan dan distribusi produk peternakan dibalik tantangan
keterbatasan lahan.
Kota Tangerang Selatan merupakan daerah otonom baru yang sebelumnya
merupakan bagian dari Kabupaten Tangerang. Sebagai wilayah perkotaan dengan

2

luas yang relatif kecil dan jumlah penduduk yang besar, sektor tersier memberikan
kontribusi paling besar terhadap perekonomian. Sektor primer yang terdiri dari
pertanian dalam arti luas dan pertambangan memberikan kontribusi yang paling
kecil. Masuknya berbagai industri ke Kota Tangerang Selatan yang merupakan
daerah penyangga DKI Jakarta, maka banyak masyarakat yang beralih mata
pencaharian dari petani menjadi karyawan. Hal ini dibuktikan dengan semakin
menurunnya rumah tangga pertanian di kota ini. Menurut data Badan Pusat
Statistik Kota Tangerang Selatan (BPS Kota Tangerang Selatan 2014) melalui
Sensus Pertanian yang dilaksanakan pada bulan Mei 2013, jumlah rumah tangga
usaha pertanian mengalami penurunan sebanyak 16 496 rumah tangga dari 21 457
rumah tangga pada tahun 2003 menjadi 4 961 pada tahun 2013. Hal ini berarti
rumah tangga usaha pertanian mengalami penurunan sebesar 76.88% selama 10
tahun. Data dari Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Tangerang Selatan,
luas panen padi sawah berkurang dari 305 ha pada tahun 2012 menjadi 190 ha
tahun 2013, artinya terjadi konversi lahan pertanian sebesar 37.7% dalam setahun
(BPS Kota Tangerang Selatan 2014). Penurunan luas areal pertanian di Kota
Tangerang Selatan ternyata tidak menurunkan antusiasme sebagian masyarakat
terutama di sektor peternakan. Hal ini dibuktikan dengan jumlah usulan bantuan
ternak sapi potong ke pemerintah Kota Tangerang Selatan melalui Dinas
Pertanian dan Ketahanan Pangan yang tinggi. Data usulan bantuan ternak sapi
potong dari Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Tangerang Selatan
menunjukkan peningkatan yang signifikan selama dua tahun terakhir, dari 16 dan
39 ekor pada tahun 2011 dan 2012 menjadi 304 dan 254 ekor pada tahun 2013
dan 2014 (DPKP 2014a). Jumlah kelompok ternak yang mengusahakan ternak
sapi potong juga mengalami peningkatan dari 3 kelompok pada tahun 2011
menjadi 12 kelompok pada tahun 2014 dengan rata-rata jumlah kelompok 10
orang (DPKP 2014b).
Peternakan kota merupakan bagian dari usaha pertanian di daerah
perkotaan yang mempunyai potensi untuk dikembangkan guna memenuhi
kebutuhan masyarakat terhadap produk yang berasal dari ternak. Jumlah
penduduk dan sektor perekonomian yang terus meningkat di wilayah perkotaan
menjadikan kebutuhan akan produk-produk peternakan sebagai sumber protein
hewani juga meningkat. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya jumlah produksi
daging (dalam hal ini daging sapi) yang dihasilkan Rumah Potong Hewan (RPH)
di wilayah Kota Tangerang Selatan. Jumlah produksi daging sapi yang berasal
dari RPH di wilayah Kota Tangerang Selatan masih belum mampu mencukupi
kebutuhan konsumsi masyarakat. Jumlah produksi daging dari RPH yang ada di
Kota Tangerang Selatan pada tahun 2014 adalah 4 894 628 kg sedangkan
konsumsi daging masyarakat mencapai 28 061 416 kg (DPKP 2014b) sehingga
masih kekurangan 23 166 788 kg setiap tahunnya. Kekurangan kebutuhan daging
tersebut didatangkan dari luar daerah Kota Tangerang Selatan. Adanya peternakan
perkotaan ini akan dapat mengurangi ketergantungan pemenuhan kebutuhan
daging. Usaha peternakan di Kota Tangerang Selatan masih bersifat konvensional.
Memperhatikan kebutuhan terhadap daging tang tinggi dan potensi usaha
peternakan saat ini maka peluang untuk mengembangkan usaha peternakan sapi
potong yang lebih produktif baik sebagai usaha pokok atau sampingan dapat
membuka lapangan kerja dan menambah penghasilan peternak.

3

Peternakan sapi potong yang ada di Kota Tangerang Selatan masih berupa
peternakan tradisional dengan tiap rumah tangga peternak mengusahakan
beberapa ekor ternak. Namun karena lahan yang terbatas, maka pemeliharaan
dilakukan secara intensif atau dikandangkan. Pakan disediakan secara teratur oleh
peternak dari sumber hijauan makanan ternak yang berada di sekitar tempat
tinggal mereka.
Berdasarkan RTRW Kota Tangerang Selatan Tahun 2011 – 2031, salah
satu misinya adalah mengembangkan sektor pertanian perkotaan, peternakan dan
meningkatkan ketersediaan pangan dengan fokus sasaran meningkatkan jumlah
wirausaha agribisnis, meningkatkan potensi produksi perikanan dan terjaminnya
ketersediaan pangan. Dokumen RPJMD Kota Tangerang Selatan Tahun 2011 –
2015 menyebutkan pembangunan sektor pertanian diarahkan untuk mendukung
kesejahteraan masyarakat (Bappeda Kota Tangerang Selatan 2011). Dalam rangka
meningkatkan perannya dalam perekonomian dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat Kota Tangerang Selatan, pembangunan sektor pertanian yang selama
ini telah berjalan dapat lebih diarahkan kepada pengembangan pertanian kota
sesuai dengan karakteristik wilayahnya. Pendekatan pembangunan sektor
pertanian di Kota Tangerang Selatan berbeda dengan daerah lainnya yang masih
memiliki lahan pertanian yang cukup luas. Praktek pertanian kota di Kota
Tangerang Selatan juga dibatasi oleh aturan yang ada seperti Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Kota Tangerang Selatan yang membatasi kawasan peternakan
tidak berada pada kawasan perumahan/permukiman (Maharisi et al. 2014).
Praktek-praktek pertanian di wilayah perkotaan tentunya berbeda dengan
pertanian secara umum. Pertanian di wilayah perkotaan biasanya bersifat
oportunistis (UNDP 1996 dalam Mougeot 2006).
Tingginya antusiasme masyarakat dalam beternak serta kebutuhan akan
daging yang cukup tinggi memberikan tantangan besar dikarenakan ketersediaan
lahan yang sempit. Penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan arahan
pengembangan peternakan, khususnya ternak sapi potong yang berdasar kepada
sektor basis keunggulan komparatif dan kesesuaian karakteristik fisik wilayah di
Kota Tangerang Selatan.

Perumusan Masalah
Pada penyusunan rencana tata ruang Kota Tangerang Selatan, alokasi untuk
sektor primer masih belum berdasarkan evaluasi kesesuaian lahan. Evaluasi lahan
merupakan proses penilaian potensi suatu lahan untuk penggunaan-penggunaan
tertentu. Hasil evaluasi lahan digambarkan dalam bentuk peta sebagai dasar untuk
perencanaan tata guna lahan yang rasional sehingga tanah dapat digunakan secara
optimal dan lestari. Penggunaan lahan yang optimal dapat memberi keuntungan
yang tinggi tanpa merusak lahannya sendiri dan lingkungan (Hardjowigeno dan
Widiatmaka 2011). Sektor pertanian sub sektor peternakan belum mendapatkan
perhatian khusus, sementara keinginan masyarakat untuk beternak masih cukup
tinggi. Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya permintaan bantuan ternak
dari kelompok-kelompok ternak kepada pemerintah daerah melalui kegiatan
musyawarah rencana pembangunan (musrenbang) baik tingkat kelurahan maupun
kecamatan.

4

Para pelaku usaha peternakan masih mengalami kendala dan
ketidakpastian hukum mengenai usaha mereka. Informasi mengenai potensi dan
kesesuaian lahan untuk usaha mereka dari pemerintah sangat terbatas. Peternakan
bukan merupakan sektor potensial di Kota Tangerang Selatan, namun perlu
diketahui daerah-daerah yang memiliki sektor basis peternakan khususnya dalam
hal ini ternak sapi potong. Selain itu perlu diketahui keunggulan kompetitif dari
struktur usaha ternak sapi potong sehingga memberikan gambaran prospek ke
depan. Kepastian hukum berupa zonasi wilayah dalam RTRW Kota Tangerang
Selatan yang dapat dialokasikan sebagai peruntukan pertanian pada umumnya dan
sub sektor peternakan pada khususnya menjadi isu yang sangat penting. Hal ini
dapat berguna untuk melindungi keberlanjutan usaha peternakan yang telah
maupun akan diusahakan di wilayah yang ditetapkan di RTRW Kota Tangerang
Selatan.
Ketersediaan lahan yang sempit menyebabkan perlunya dilakukan evaluasi
terhadap potensi pengembangan peternakan berbasis sumber daya lahan dan
sumber daya lainnya sehingga sektor ini dapat terus berkembang. Adanya evaluasi
potensi dan kesesuaian lahan maka akan tercipta kawasan peternakan yang
berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Begitu pula dengan daya dukung
hijauan yang merupakan pakan ternak sapi potong harus diperhatikan dan
dievaluasi berdasarkan kesesuaian lahan. Berdasarkan hasil evaluasi lahan dan
penentuan wilayah basis ternak sapi potong, dapat disusun arahan prioritas
wilayah pengembangan ternak sapi potong tanpa mengesampingkan faktor-faktor
lain yang mempengaruhi pengembangan ternak sapi potong.
Hasil evaluasi akan menjawab berbagai isu yang ada dan menentukan
tingkat kelanjutan usaha peternakan di Kota Tangerang Selatan. Untuk itu, perlu
dirumuskan suatu perencanaan pengembangan peternakan sapi potong di Kota
Tangerang Selatan sehingga disusun beberapa pertanyaan yang mencakup :
1. Di wilayah mana sajakah pemusatan peternakan sapi potong di Kota
Tangerang Selatan?
2. Di daerah manakah wilayah yang memiliki lingkungan potensial
dikembangkan ternak sapi potong di Kota Tangerang Selatan?
3. Di daerah manakah lahan yang sesuai untuk hijauan makanan ternak sapi
potong dan daya dukung lahan yang sesuai bagi pengembangan peternakan
sapi potong di Kota Tangerang Selatan?
4. Di daerah manakah prioritas pengembangan peternakan sapi potong berdasar
karakteristik fisik wilayah?
5. Apa saja faktor-faktor yang menentukan pengembangan peternakan sapi
potong di Kota Tangerang Selatan?

Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang ada, dirumuskan
tujuan utama dari penelitian ini adalah menyusun perencanaan pengembangan
peternakan sapi potong di Kota Tangerang Selatan. Guna mencapai tujuan utama
tersebut perlu ditetapkan tujuan-tujuan khusus diantaranya sebagai berikut :
1. Mengidentifikasi pola pemusatan ternak sapi potong di Kota Tangerang
Selatan

5

2. Menganalisis wilayah yang tersedia dan sesuai untuk pengembangan ternak
sapi potong di Kota Tangerang Selatan
- Menentukan ketersediaan lahan potensial dikembangkan ternak sapi
potong
- Menentukan lahan yang sesuai lingkungan ekologis ternak sapi potong
3. Menganalisis kesesuaian lahan hijauan makanan ternak sapi potong dan daya
dukung lahan yang sesuai bagi pengembangan peternakan sapi potong di Kota
Tangerang Selatan
4. Menganalisis wilayah yang menjadi prioritas pengembangan peternakan sapi
potong berdasar karakteristik fisik wilayah Kota Tangerang Selatan
5. Menganalisis faktor-faktor yang menentukan pengembangan peternakan sapi
potong di Kota Tangerang Selatan
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat memiliki manfaat :
1. Memberikan masukan terhadap Pemerintah Kota Tangerang Selatan mengenai
potensi wilayah yang sesuai untuk sektor peternakan dalam menentukan
rencana tata ruang ataupun revisinya.
2. Memberikan informasi dan kepastian usaha dari para pelaku usaha peternakan
sehingga meraka mampu meningkatkan usahanya.
3. Berkontribusi dengan sumber informasi tentang lahan-lahan yang potensial
untuk penentuan rencana tata ruang di Kota Tangerang Selatan.
Kerangka Pemikiran
Subsektor peternakan khususnya komoditas daging memiliki peranan yang
sangat penting dalam ketahanan nasional, mewujudkan ketahanan pangan,
pemenuhan gizi terutama protein hewani dan penyerapan tenaga kerja. Konsumsi
daging sapi per kapita bangsa Indonesia saat ini mencapai 0.261 kg/tahun (BPS
2014). Angka ini termasuk rendah bila dibandingkan dengan negara-negara lain di
Asia Tenggara. Produksi daging sapi dalam negeri baru dapat memenuhi 85% dari
kebutuhan tersebut dan sisanya masih berasal dari impor negara lain. Hal ini
menyebabkan kemandirian dan kedaulatan pangan hewani, khususnya daging sapi,
semakin jauh dari harapan dan Indonesia masuk dalam perangkap pangan (food
trap) negara eksportir. Kondisi tersebut mendorong seluruh pelaku usaha
peternakan di berbagai daerah untuk mengurangi ketergantungan suplai daging
sapi dari daerah lain. Ancaman alih fungsi atau konversi lahan yang tinggi serta
semakin menurunnya daya dukung lahan terhadap peternakan di perkotaan
merupakan alasan mendasar yang menuntut setiap daerah agar mampu
mewujudkan kemandirian dan kedaulatan pangan di daerahnya.
Kota Tangerang Selatan merupakan daerah perkotaan dengan tingkat
perekonomian yang terus meningkat semenjak malakukan pemekaran dari
Kabupaten Tangerang. Hal ini menjadi daya pikat bagi orang-orang untuk
berpindah ke daerah tersebut sehingga menambah jumlah populasi penduduknya.
Bertambahnya jumlah penduduk maka kebutuhan akan produk pertanian
khususnya produk peternakan dari masyarakatnya sangat tinggi. Sebagai daerah

6

perkotaan baru yang terus berkembang, laju konversi lahan pertanian ke areal
terbangun sangat tinggi. Lahan yang sempit dan kebutuhan produk pertanian
secara umum yang tinggi membuat konsep pertanian perkotaan sangat cocok
diterapkan di wilayah Kota Tangerang Selatan ini.
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 41/Permentan/OT.140/9/2009
Tentang Kriteria Teknis Kawasan Peruntukan Pertanian disebutkan bahwa
kawasan pertanian harus : (a) lokasi mengacu pada RTRW provinsi dan
kabupaten/kota dan mengacu pada kesesuaian lahan, (b) dibangun dan
dikembangkan oleh pemerintah, pemerintah daerah, swasta dan/atau masyarakat
sesuai dengan kondisi biofisik, sosial ekonomi dan lingkungan, (c) berbasis pada
komoditas ternak unggulan nasional dan daerah dan/atau komoditas ternak
strategis, (d) pengembangan kelompok tani menjadi kelompok usaha, (e) dapat
diintegrasikan pada kawasan budidaya lainnya, (f) didukung oleh ketersediaan
sumber air, pakan, teknologi, kelembagaan dan pasar. Berdasarkan peraturan
tersebut perlu dilakukan analisis untuk mengetahui basis wilayah kecamatan untuk
pengembangan peternakan sapi potong di Kota Tangerang Selatan. Pemusatan
aktifitas ekonomi terkait dengan komoditas ternak sapi potong di masing-masing
kecamatan sangat penting dalam rangka mendukung pertumbuhan wilayah. Hal
ini diperlukan agar wilayah yang satu berfungsi sebagai pendorong bagi wilayah
disekitarnya. Selain itu perlu juga dilakukan analisis kesesuaian lahan untuk
lingkungan ekologis ternak sapi potong dan evaluasi ketersediaan hijauan dan
limbah pertanian.
Kesesuaian lahan fisik untuk ternak sapi potong merupakan salah satu
faktor penunjang keberhasilan dalam peningkatan produksi dan produktifitas
ternak. Ternak yang berada di wilayah dengan kondisi lingkungan fisik yang
sesuai akan memperlihatkan pertambahan bobot badan yang optimal karena stres
akibat lingkungan dapat dikurangi (Morrison 1983, Silanikove 2000). Evaluasi
ketersediaan hijauan dan limbah pertanian dilakukan untuk mengetahui daya
dukung wilayah terhadap hijauan makanan ternak. Dalam penelitian ini juga
dilakukan survei dan wawancara untuk menentukan faktor-faktor yang
mempengaruhi pengembangan peternakan sapi potong di Kota Tangerang Selatan.
Setelah diketahui lahan-lahan yang Sesuai (S) berdasarkan lingkungan
ekologis peternakan maupun hijauan makanan ternak dan daya dukung hijauan
makanan ternak, serta faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan
peternakan di Kota Tangerang Selatan maka dilakukan penyusunan perencanaan
pengembangan peternakan sapi potong di Kota Tangerang Selatan. Secara ringkas
uraian tersebut dituangkan dalam alur kerangka pemikiran pada Gambar 1.

7

Tingginya kebutuhan
konsumsi daging masyarakat
Kota Tangerang Selatan

Keinginan beternak
masyarakat Kota Tangerang
Selatan yang masih tinggi

Kebutuhan lahan yang semakin terbatas
Ketersediaan lahan untuk
lingkungan ternak

Ketersediaan lahan untuk
hijauan pakan ternak

Lahan yang sesuai untuk
lingkungan ternak

Lahan yang sesuai untuk
hijauan pakan ternak

Ketergantungan suplai
daging dari daerah lain

Fakto-faktor yang mempengaruhi
pengembangan peternakan

Adanya pemusatan
komoditas ternak

Perlunya disusun strategi perencanaan pengembangan peternakan
sapi potong di Kota Tangerang Selatan
Gambar 1 Kerangka pikir penelitian.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Kawasan Pengembangan Peternakan
Pelaksanaan penyebaran dan pengembangan ternak di suatu wilayah harus
melalui analisis terhadap potensi yang dimiliki wilayah tersebut berkenaan dengan
komoditi yang akan disebarkan dan dikembangkan. Pengembangan tersebut
dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain ketersediaan pakan, ketersediaan lahan,
PDRB, sarana dan prasarana pendukung/kelembagaan, dan lain-lain (Mukson et al.
2005). Penyebaran dan pengembangan ternak di daerah bertujuan untuk
membentuk kawasan peternakan, keseimbangan pembangunan antar wilayah,
optimalisasi sumberdaya untuk meningkatkan pendapatan peternak, populasi dan
produksi, dalam rangka pemberdayaan masyarakat peternak. Visi pembangunan
peternakan telah ditetapkan yaitu terwujudnya masyarakat yang sehat dan
produktif serta kreatif melalui pembangunan peternakan tangguh berbasis
sumberdaya lokal. Sedangkan misinya adalah sebagai berikut:
 Menyediakan pangan asal ternak yang cukup baik kuantitas maupun kualitas
 Memberdayakan sumberdaya manusia peternakan agar dapat menghasilkan
produk yang berdaya saing tinggi
 Menciptakan peluang ekonomi untuk meningkatkan pendapatan peternak
 Menciptakan lapangan kerja di bidang agribisnis peternakan
 Melestarikan dan memanfaatkan sumberdaya alam pendukung peternakan
Untuk mewujudkan visi dan misi tersebut grand strategy yang ditempuh
adalah melalui pembangunan totalitas seluruh sistem dan usaha agribisinis
peternakan mulai dari subsistem hulu, subsistem budidaya, subsistem hilir dan
subsistem jasa-jasa pendukung. Dengan dikeluarkannya UU No. 22 tahun 1999
dan PP No. 25 tahun 2000 tentang Otonomi Daerah maka peran pemerintah
provinsi, kabupaten dan kota semakin penting dalam mewujudkan cita-cita
pembangunan agribisnis peternakan di Indonesia (Makka 2004).

8

Analisis potensi wilayah penyebaran dan pengembangan peternakan adalah
kegiatan karakterisasi komponen-komponen peternakan dalam proses strategi
pengembangan peternakan bagi pembangunan. Komponen-komponen tersebut
meliputi sumberdaya manusia, lahan, tanaman sebagai sumber pakan dan ternak
yang harus ditingkatkan peranannya. Adapun yang dimaksud dengan penyebaran
ternak adalah usaha pemerintah dalam meningkatkan peran ternak melalui
peningkatan sebaran pemilikan maupun intensitas pemilikan ternak dengan
berbagai bentuk transaksi yang sifatnya membantu petani. Pengembangan
peternakan adalah usaha-usaha pemerintah dalam membantu petani, berupa
pembinaan pengembangan komponen-komponen peternakan, baik ternak yang
disebarkan oleh pemerintah untuk rakyat maupun ternak yang telah dimiliki oleh
rakyat (Ditjen Peternakan dan Balitnak 1995).
Penataan ruang membagi wilayah menjadi kawasan lindung dan kawasan
budidaya. Menurut Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang, kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama lindung atau budidaya.
Kawasan lindung adalah kawasn yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi
kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya
buatan. Sedangkan kawasan budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan
fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya
alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan Keputusan Menteri Pertanian
Nomor : 417/Kpts/OT.210/7/2001 menyebutkan bahwa lokasi penyebaran dan
pengembangan ternak adalah suatu tempat di wilayah penyebaran dan
pengembangan ternak, terdiri dari satu desa atau lebih dalam satu kecamatan yang
diprioritaskan untuk penyebaran dan pengembangan ternak. Kawasan penyebaran
dan pengembangan peternakan adalah konsentrasi penyebaran dan pengembangan
peternakan yang terdiri dari beberapa lokasi dalam satu kabupaten. Wilayah
penyebaran dan pengembangan ternak adalah suatu kawasan yang potensial untuk
penyebaran dan pengembangan ternak yang terdiri dari satu kabupaten atau lebih
dalam satu propinsi.
Daging, susu dan telur adalah produk pangan asal ternak yang sangat
penting dalam memenuhi gizi dan mencerdaskan masyarakat, di samping itu juga
adalah komoditas ekonomi yang strategis. Daging asal ternak diperoleh dari
berbagai sumber yaitu (i) unggas, (ii) ruminansia besar, (iii) ruminansia kecil dan
(iv) ternak lain. Sementara itu susu diperoleh dari ruminansia besar dan
ruminansia kecil, dan telur diperoleh dari unggas. Daging asal ruminansia besar
paling banyak disumbangkan oleh sapi potong, diikuti oleh kerbau dan sapi perah
(sapi jantan dan betina afkir). Total sumbangannya mencapai 24 persen dari total
konsumsi daging nasional (Ditjenak 2006 dalam Thalib et al. 2007). Secara
umum daging tersebut, walaupun berasal dari ketiga jenis ternak yang berbeda, di
pasar hanya dikenal sebagai daging sapi. Hanya sebagian kecil masyarakat
Indonesia yang mengakui adanya daging kerbau, walaupun kerbau dipotong
hampir di seluruh wilayah Indonesia. Sayangnya untuk daging sapi Indonesia
belum berswasembada, bahkan harus mengeluarkan devisa yang cukup besar
untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri bahkan jumlahnya terus meningkat dari
tahun ke tahun akibat kesadaran gizi dan peningkatan pendapatan (Talib 2006).
Sumber pakan utama sapi potong berupa hijauan cukup banyak tersedia
hanya perlu ditata berdasarkan kawasan agar dapat memudahkan sistem panen.

9

Hijauan tersebut dapat berupa rumput pastura (alam), rumput budidaya, lahan
sawah/pasang surut, kebun sawit, kebun tebu, kebun jagung dan kedelai.
Di kawasan pengembangan peternakan yang berintegrasi dengan subsektor
lainnya pengembangan ternak ruminansia baik ruminansia besar seperti sapi dan
kerbau maupun ruminansia kecil seperti kambing dan domba dapat memanfaatkan
limbah yang tersedia dari kegiatan di subsektor lainnya seperti tanaman pangan,
hortikultura dan perkebunan, maupun kehutanan dan perikanan sebagai pakan
ternak. Seperti diketahui biaya operasional terbesar dalam peternakan adalah
biaya pakan dan tenaga kerja. Dengan jalan mengintegrasikan kegiatan
pemeliharaan ternak dengan kegiatan usaha tani lainnya akan dihasilkan efisiensi
biaya produksi yang tinggi. Selain itu ternak ruminansia dapat menghasilkan
kotoran ternak dalam jumlah yang cukup banyak. Dengan pengolahan secara
sederhana kotoran tersebut dapat diubah menjadi pupuk organik yang sangat
bermanfaat bagi peningkatan kesuburan tanah. Selain digunakan untuk kebutuhan
sendiri pupuk kandang dapat dijual dengan harga yang lumayan. Sehingga secara
keseluruhan kombinasi kegiatan pemeliharan ternak ruminansia dan bercocok
tanam akan sangat menguntungkan petani dengan jalan pengurangan biaya
produksi dan peningkatan penghasilan.
Secara terperinci manfaat sistem tanaman dan ternak antara lain: (i)
meningkatkan akses terhadap kotoran ternak; (ii) peningkatan nilai tambah dari
tanaman atau hasil ikutannya; (iii) mempunyai potensi mempertahankan
kesehatan dan fungsi ekosistem; dan (iv) mempunyai kemandirian yang tinggi
dalam penggunaan sumberdaya mengingat nutrisi dan energi saling mengalir
antara tanaman dan ternak. Berbagai pilihan model pengembangan dapat
diterapkan (Thalib et al. 2007), diantaranya :
1. Integrasi jagung-kedelai dengan ayam ras dan sapi potong di perkebunan
jagung-kedelai. Perkebunan menghasilkan biji jagung dan kedelai untuk
konsumsi ayam dan penggemukan sapi, jerami jagung dan jerami kedelai
dapat digunakan untuk pakan sapi. Kotoran ternak dapat digunakan sebagai
biogas untuk pengeringan jagung dan kedelai agar berkualitas bagus ataupun
untuk keperluan lainnya, sisa biogas dapat digunakan untuk kompos pada
perkebunan.
2. Integrasi padi dengan ayam ras dan sapi potong di lahan sawah/pasang surut.
Lahan akan menghasilkan beras, dedak dan sekam, serta jerami padi. Dedak
dan jerami untuk konsumsi ternak, sekam untuk alas kandang. Kotoran ternak
dapat digunakan sebagai biogas untuk pengeringan padi agar berkualitas bagus
ataupun untuk keperluan lainnya, sisa biogas dapat digunakan untuk kompos
pada lahan tanam.
3. Integrasi sapi pada perkebunan sawit. Perkebunan dan industri perkebunan
menghasilkan daun, pelepah dan tandan sawit serta limbah sawit yang
merupakan pakan sapi. Kotoran sapi dapat digunakan sebagai pupuk pada
lahan perkebunan.
4. Integrasi sapi dengan perkebunan tebu. Perkebunan tebu dan industri gula
akan menghasilkan pucuk tebu, ampas tebu dan tetes yang semuanya dapat
dimakan sapi, sedangkan kotoran sapi dapat digunakan untuk biogas dan
pupuk.
5. Peternakan sapi di padang rumput dengan sistem penggembalaan maupun cut
and carry yang hanya dapat dilakukan pada lahan-lahan terbuka yang memang

10

sudah ditetapkan statusnya sebagai lahan peternakan. Tanpa adanya penetapan
status lahan maka pasti akan hilang.
6. Peternakan sapi di kandang komunal atau pada kawasan peternakan yang
sesuai dengan kondisi setempat.
Model-model integrasi butir 1-4 dapat dibangun oleh swasta secara mandiri
maupun dalam sistem inti-plasma dengan penerapan fairness policy dalam berbagi
keuntungan dan risiko secara proporsional. Sedangkan untuk wilayah dengan
lahan sempit lebih tepat menggunakan model butir 6 (Thalib et al. 2007).
Hijauan Makanan Ternak Ruminansia
Pakan merupakan salah satu input produksi yang sangat menentukan
keberhasilan usaha peternakan karena secara langsung mempengaruhi
produktivitas dan efisiensi. Pada ternak ruminansia, hijauan pakan masih
merupakan komponen utama dalam sistem pakan dan merupakan sumber pakan
yang relatif murah disebagian besar agro-ekositem di Indonesia. Hijauan pakan di
daerah tropis seperti Indonesia cenderung memiliki kualitas nutrisi yang lebih
rendah dibandingkan dengan hijauan di daerah beriklim sedang, karena proporsi
serat yang tinggi, kandungan protein yang rendah serta potensi defisiensi beberapa
unsur mineral. Disamping itu, ketersediaannya cukup berfluktuasi, terutama akibat
pengaruh curah hujan. Kuantitas dan kualitas hijauan pakan akan menurun selama
musim kemarau dan menyebabkan produksi ternak dapat menurun secara drastis.
Ketersediaan tanaman pakan yang memiliki kualitas nutrisi tinggi dan mampu
tumbuh sepanjang tahun diharapkan dapat mengatasi fluktuasi tersebut (Haryono
2013). Di lain pihak, ternak ruminansia dapat memanfaatkan sisa hasil pertanian
dan hasil ikutannya yang berupa hijauan dari tanaman semusim untuk memenuhi
kebutuhan pakannya. Dengan pengelolaan sistem usaha tani yang baik, maka
sebagian pakan dapat terpenuhi dari lahan usaha tani. Lubis et al. 1991 dalam
Diwyanto et al. (2002) menyatakan bahwa berdasarkan kebutuhan ternak dan
produksi hijauan sisa panen, setiap satu hektar lahan kering dapat menunjang
kebutuhan 2-6 ekor sapi atau 16-30 ekor domba/kambing, tergantung pada pola
tanam yang diterapkan.
Dengan terkonsentrasinya sebagian besar penduduk Indonesia di Pulau
Jawa, Bali dan Lombok, menjadikan lahan yang tersedia untuk peningkatan
produksi pertanian, khususnya tanaman semusim sangat terbatas. Keterbatasan
luas lahan ini telah mendorong eksploitasi lahan secara intensif dengan
penggunaan pupuk an-organik (urea, TSP, KCl) yang semakin banyak.
Penggunaan pupuk an-organik secara berlebihan dalam waktu yang lama
menyebabkan kondisi fisik tanah semakin buruk di mana bahan organiknya
menjadi sangat rendah. Akibatnya lahan tersebut menjadi kurang responsif
terhadap aplikasi pemupukan an-organik, sehingga lahan menjadi “sakit”. Dalam
keadaan demikian, maka pemberian bahan organik seperti pupuk kandang sudah
merupakan keharusan yang tidak dapat ditawar lagi. Pupuk organik yang berasal
dari kotoran ternak dapat memperbaiki sifat fisik tanah karena perbaikan aerasi
tanah dan peningkatan ketersediaan unsur-unsur hara yang terikat dengan koloid
tanah, sehingga juga akan memperbaiki nisbah karbon terhadap nitrogen dalam
tanah (Soepardi 1979 dalam Diwyanto 2002). Dengan membaiknya kondisi fisik

11

tanah dapat diharapkan produksi tanaman per satuan luas juga akan meningkat,
dan pada saatnya nanti pendapatan petani juga meningkat.
Pemilikan ternak (khususnya ruminansia) pada setiap keluarga tani pada
umumnya terbatas hanya 3 – 5 ekor domba/kambing atau 1 – 2 ekor sapi/kerbau
dan hal ini berkaitan dengan keterbatasan pemilikan lahan dan modal. Kalaupun
bermodal cukup, ketersediaan tenaga kerja rumah tangga akan membatasi
peningkatan jumlah pemeliharaan ternak, yang dalam hal ini terjadi persaingan
antara tenaga pencari pakan hijauan dengan tenaga untuk aktivitas pertanaman.
Sehubungan dengan hal tersebut, perlu difikirkan suatu upaya yang dapat
mengefisienkan sistem dan siklus produksi tanaman dan ternak, misalnya dengan
menyimpan dan mengolah limbah pertanian sebagai sumber pakan utama
(Diwyanto 2002).
Evaluasi Sumberdaya Fisik Kawasan Peternakan
Lahan adalah bagian dari bentang alam