Status Keberlanjutan Wilayah Peternakan Sapi Potong di Kabupaten Bondowoso untuk Pengembangan Kawasan Agropolitan

(1)

STATUS KEBERLANJUTAN WILAYAH PETERNAKAN

SAPI POTONG DI KABUPATEN BONDOWOSO UNTUK

PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN

DEAR RAHMATULLAH RAMADHAN

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(2)

(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Status Keberlanjutan Wilayah Peternakan Sapi Potong di Kabupaten Bondowoso untuk Pengembangan Kawasan Agropolitan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2013

Dear Rahmatullah Ramadhan


(4)

ABSTRAK

DEAR RAHMATULLAH RAMADHAN. Status Keberlanjutan Wilayah Peternakan Sapi Potong di Kabupaten Bondowoso untuk Pengembangan Kawasan Agropolitan. Dibimbing oleh NINDYANTORO.

Kabupaten Bondowoso merupakan daerah yang berpotensi untuk pengembangan kawasan agropolitan berbasiskan peternakan sapi potong. Sebelum dikembangkan menjadi kawasan agropolitan berbasiskan peternakan sapi potong perlu dilakukan penetapan status keberlanjutan wilayah. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis indeks dan status keberlanjutan wilayah Kabupaten Bondowoso dari lima dimensi keberlanjutan untuk pengembangan kawasan agropolitan. Penetapan status keberlanjutan menggunakan metode analisis

Multidimensional Scaling (MDS) dengan pendekatan Rapid Appraisal

Agropolitan Sapi Potong (Rap-AGROSAPOT) dan hasilnya dinyatakan dalam bentuk indeks dan status keberlanjutan. Atribut sensitif berpengaruh pada indeks keberlanjutan dan pengaruh error ditentukan berdasarkan hasil analisis Leverage

dan uji Monte Carlo. Penentuan faktor kunci keberlanjutan diperoleh berdasarkan hasil analisis prospektif. Hasil analisis keberlanjutan menunjukkan bahwa dimensi ekologi (41.61%) dan infrastruktur-teknologi (47.05%) berstatus kurang berkelanjutan, dimensi ekonomi (57.73%) dan sosial-budaya (58.05%) berstatus cukup berkelanjutan serta dimensi hukum-kelembagaan (75.46%) berstatus baik. Sebanyak 70 atribut yang dianalisis, 24 atribut sensitif perlu diperbaiki karena berpengaruh terhadap peningkatan nilai indeks keberlanjutan. Hasil analisis prospektif menghasilkan lima faktor kunci keberlanjutan wilayah, antara lain: ketersediaan sarana dan prasarana agribisnis peternakan; sistem pemeliharaan ternak; ketersediaan pasar agroindustri peternakan; ketersediaan industri pakan; dan koperasi ternak sapi potong. Faktor kunci tersebut harus segera diperbaiki agar Kabupaten Bondowoso layak dikembangkan menjadi kawasan agropolitan berbasiskan peternakan sapi potong.

Kata kunci: sapi potong, keberlanjutan, agropolitan, Kabupaten Bondowoso

ABSTRACT

DEAR RAHMATULLAH RAMADHAN. Sustainability Status Beef Cattle Ranch area in the Bondowoso Regency for Regional Development Agropolitan. Supervised by NINDYANTORO.

Bondowoso Regency is a potential area for development agropolitan based beef cattle farms. Before the development of a region-based beef cattle Agropolitan necessary to the determination of the status of the area of sustainability. This study aim to analyze the status of the sustainability index and the Bondowoso Regency area of the five dimensions of sustainability for development agropolitan. Determination of the status of sustainability analysis using Multidimensional Scaling (MDS) with Rapid Appraisal approach


(5)

Agropolitan Beef Cattle (Rap-AGROSAPOT) and the results are expressed in terms of sustainability indexes and status. Sensitive attributes affect the sustainability index and the effect of the error is determined based on the analysis Leverage and Monte Carlo test. Determination of key sustainability factors obtained by prospective analysis. Sustainability analysis results showed that the ecological dimension (41.61%) and infrastructure-technology (47.05%) less sustainable status, the economic dimension (57.73%) and socio-cultural (58.05%) as well as the status of sustainable enough legal-institutional dimension (75.46%) good status . 70 attributes that were analyzed, 24 sensitive attributes need to be repaired because of an effect on increasing the sustainability index value. Results of a prospective analysis produced five key factors of sustainability areas, among others: availability of facilities and infrastructure agribusiness farm; livestock rearing systems; availability of agro-livestock market; availability of feed industry, and cooperative cattle. The key factors to be corrected in order to be developed into a viable regency agropolitan-based beef cattle farms.


(6)

wilayah perdesaan, yaitu meningkatkan taraf kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Tujuan tersebut dapat tercapai melalui pengembangan kawasan potensial berbasiskan perdesaan sebagai pusat pertumbuhan dengan merubah perdesaan menjadi kota-kota pertanian atau dikenal dengan Pengembangan Kawasan Agropolitan. Kabupaten Bondowoso merupakan daerah yang berpotensi untuk pengembangan kawasan agropolitan berbasiskan peternakan sapi potong. Sebelum dikembangkan menjadi kawasan agropolitan berbasiskan peternakan sapi potong perlu dilakukan penetapan status keberlanjutan wilayah.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis indeks dan status keberlanjutan wilayah Kabupaten Bondowoso dari lima dimensi keberlanjutan untuk pengembangan kawasan agropolitan. Penetapan status keberlanjutan menggunakan metode analisis Multidimensional Scaling (MDS) dengan pendekatan Rapid Appraisal Agropolitan Sapi Potong (Rap-AGROSAPOT) dan hasilnya dinyatakan dalam bentuk indeks dan status keberlanjutan. Atribut sensitif berpengaruh pada indeks keberlanjutan dan pengaruh error ditentukan berdasarkan hasil analisis

Leverage dan uji Monte Carlo. Penentuan faktor kunci keberlanjutan diperoleh berdasarkan hasil analisis prospektif. Hasil analisis keberlanjutan menunjukkan bahwa dimensi ekologi (41.61%) dan infrastruktur-teknologi (47.05%) berstatus kurang berkelanjutan, dimensi ekonomi (57.73%) dan sosial-budaya (58.05%) berstatus cukup berkelanjutan serta dimensi hukum-kelembagaan (75.46%) berstatus baik. Sebanyak 70 atribut yang dianalisis, 24 atribut sensitif perlu diperbaiki karena berpengaruh terhadap peningkatan nilai indeks keberlanjutan. Hasil analisis prospektif menghasilkan lima faktor kunci keberlanjutan wilayah, antara lain: ketersediaan sarana dan prasarana agribisnis peternakan; sistem pemeliharaan ternak; ketersediaan pasar agroindustri peternakan; ketersediaan industri pakan; dan koperasi ternak sapi potong. Faktor kunci tersebut harus segera diperbaiki agar Kabupaten Bondowoso layak dikembangkan menjadi kawasan agropolitan berbasiskan peternakan sapi potong.


(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

STATUS KEBERLANJUTAN WILAYAH PETERNAKAN

SAPI POTONG DI KABUPATEN BONDOWOSO UNTUK

PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN

DEAR RAHMATULLAH RAMADHAN

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(8)

Judul Skripsi : Status Keberlanjutan Wilayah Peternakan Sapi Potong di Kabupaten Bondowoso untuk Pengembangan Kawasan Agropolitan

Nama : Dear Rahmatullah Ramadhan NIM : H44090050

Disetujui oleh

Ir. Nindyantoro, MSP Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT Ketua Departemen


(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2012 ini ialah keberlanjutan peternakan sapi potong, dengan judul Status Keberlanjutan Wilayah Berbasiskan Peternakan Sapi Potong di Kabupaten Bondowoso untuk Pengembangan Kawasan Agropolitan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Ir. Nindyantoro, MSP selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dalam penulisan karya ilmiah ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Ibu Drh. Lilik Sulistyowati selaku Kepala Bagian Peternakan Kabupaten Bondowoso dan kepada para pihak yang telah membantu selama pengumpulan data penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2013


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ...viii

DAFTAR GAMBAR ………. ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

I PENDAHULUAN……….. 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan ... 4

1.4 Ruang Lingkup Penelitian ... 4

II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Konsep Kawasan Agropolitan... 5

2.3 Pendekatan Agribisnis ... 5

2.4 Pembangunan Usaha Peternakan Berkelanjutan ... 6

III KERANGKA PEMIKIRAN ... 10

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ... 10

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional ... 11

IV METODE PENELITIAN ... 14

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 14

4.2 Metode Pengumpulan Data ... 14

4.3 Jenis dan Sumber Data ... 14

4.4 Teknik Penentuan Responden ... 15

4.5 Metode Analisis Data ... 17

V GAMBARAN UMUM... 23

5.1 Kondisi Umum Wilayah Kabupaten Bondowoso ... 23

5.2 Gambaran Umum Peternakan Sapi Potong Kabupaten Bondowoso ... 25

VI HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29

6.1 Status Keberlanjutan Wilayah ... 29

6.2 Analisis Prospektif Pengembangan Kawasan Agropolitan ... 43

VII SIMPULAN DAN SARAN ... 51

7.1 Simpulan ... 51


(11)

DAFTAR PUSTAKA ... 53

LAMPIRAN ... 56


(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1 Jenis dan sumber data penelitian ... 15 2 Penentuan teknik pengambilan contoh dan jumlah responden ... 16 3 Kategori status keberlanjutan pengembangan kawasan berdasarkan nilai

indeks hasil analisis Rap-AGROSAPOT ... 19 4 Pedoman penilaian prospektif dalam pengembangan kawasan

agropolitan berbasiskan peternakan sapi potong ... 21 5 Pengaruh antar faktor dalam pengembangan kawasan agropolitan ... 21 6 Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis Monte Carlo dengan

analisis Rap-AGROSAPOT ... 42 7 Hasil analisis Rap-AGROSAPOT untuk nilai stress dan koefisien


(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1 Lingkup pembangunan agribisnis peternakan ... 6 2 Usaha agribisnis peternakan ramah lingkungan ... 8 3 Kerangka pemikiran status keberlanjutan wilayah berbasiskan

peternakan sapi potong untuk pengembangan kawasan agropolitan ... 13 4 Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam sistem ... 21 5 Diagram layang (kite diagram) nilai indeks keberlanjutan wilayah

Kabupaten Bondowoso ... 29 6 Peran masing-masing atribut aspek ekologi yang dinyatakan dalam

bentuk nilai perubahan RMS ... 30 7 Peran masing-masing atribut aspek ekonomi yang dinyatakan dalam

bentuk nilai perubahan RMS ... 35 8 Peran masing-masing atribut aspek sosial budaya yang dinyatakan

dalam bentuk nilai perubahan RMS ... 37 9 Peran masing-masing atribut aspek infrastruktur dan teknologi yang

dinyatakan dalam bentuk nilai perubahan RMS ... 39 10 Peran masing-masing atribut aspek hukum dan kelembagaan yang

dinyatakan dalam bentuk nilai perubahan RMS ... 41 11 Indeks keberlanjutan multidimensi wilayah Kabupaten Bondowoso ... 42 12 Pola usahatani peternakan sapi potong terpadu dengan tanaman


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

13 Nilai skor dimensi keberlanjutan wilayah berbasiskan peternakan sapi potong di Kabupaten Bondowoso ... 56 14 Nilai Indeks lima dimensi keberlanjutan wilayah berbasiskan

peternakan sapi potong di Kabupaten Bondowoso ... 60 15 Hasil analisis tingkat kepentingan atribut-atribut yang berpengaruh

pada sistem yang dikaji ... 62 16 Peta lokasi penelitian di Kabupaten Bondowoso ... 64


(15)

(16)

I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Pembangunan pertanian harus mampu bersinergi dengan tujuan pembangunan wilayah perdesaan, yaitu meningkatkan taraf kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Tujuan tersebut dapat tercapai melalui pengembangan kawasan potensial berbasiskan perdesaan sebagai pusat pertumbuhan dengan merubah perdesaan menjadi kota-kota pertanian atau dikenal dengan Pengembangan Kawasan Agropolitan merupakan salah satu pilihan strategis yang tepat. Agropolitan diartikan sebagai kota pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem agribisnis serta mampu melayani, mendorong, menarik, dan menghela kegiatan pembangunan pertanian di wilayah sekitar (Deptan 2002). Kabupaten Bondowoso merupakan daerah agraris. Beberapa tahun terakhir lahan pertanian di kabupaten itu menghadapi permasalahan serius, yaitu berkurangnya ketersediaan pasokan air dari sungai-sungai irigasi sebagai sumber pengairan lahan pertanian. Permasalahan ini terjadi karena kerusakan hutan di daerah hulu sungai. Petani yang sebelumnya mampu bercocok tanam sepanjang tahun (3 kali per tahun), saat ini hanya mampu bercocok tanam sebanyak 1-2 kali dalam setahun. Berkurangnya aktivitas bercocok tanam mengurangi penerimaan para petani. Untuk mengatasi hal itu banyak petani yang beternak secara tradisional (ekstensif) maupun semi intensif dalam rangka peningkatan penerimaan.

Antusiasme masyarakat Kabupaten Bondowoso sangat tinggi terhadap sub-sektor peternakan, khususnya peternakan sapi potong (Sapi Simental,

Hereford, Limousin, Brahman, Brangus, dan Peranakan Onggole). Keuntungan dari usaha ternak sapi potong cukup menjanjikan jika dibandingkan dengan keuntungan dari bercocok tanam. Selain itu, harga sarana produksi pertanian yang semakin meningkat dan ketersediaan lahan pertanian yang semakin berkurang membuat usaha ternak sapi potong semakin menarik untuk dilakukan. Populasi ternak sapi potong dalam kurun waktu tiga tahun terakhir mulai dari tahun 2009-2011 menunjukkan peningkatan, yaitu: 135 093, 141 792, dan 203 794 ekor (BPS Kabupaten Bondowoso 2012).


(17)

Di Kabupaten Bondowoso peternakan sapi potong mempunyai potensi untuk dikembangkan. Hal tersebut, didasarkan pada enam fakta di lapangan. Pertama, permintaan pasar terhadap komoditas peternakan khususnya ternak sapi potong cukup tinggi. Hal ini tercermin oleh banyaknya ternak sapi potong yang dikirim keluar daerah setiap tahunnya. Kedua, potensi lahan yang tersedia dan ketersediaan sumber pakan sangat mendukung untuk pengembangan usaha peternakan. Ketiga, budaya masyarakat dan tenaga kerja yang terdapat di daerah ini cukup mendukung pengembangan usaha peternakan. Keempat, kesesuaian kondisi agroklimat. Kelima, dukungan pemerintah daerah terhadap sektor peternakan cukup baik. Keenam, kontribusi sektor peternakan dan hasil-hasilnya pada tahun 2011 dapat menyumbangkan produk domestik regional bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku sebanyak 7.38% atau sebesar 577 989.57 (BPS Kabupaten Bondowoso 2012).

Manfaat optimal diperoleh apabila pengembangan pengelolaan peternakan memenuhi kriteria pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang mempersekutukan antara kepentingan ekonomi, sosial budaya, dan kelestarian ekologi (Saragih dan Sipayung 2002). Berdasarkan kondisi terkini dan potensi wilayah Kabupaten Bondowoso maka diperlukan analisis status keberlanjutan wilayah berbasiskan peternakan sapi potong untuk mengetahui status keberlanjutan wilayah dalam rangka pengembangan Kabupaten Bondowoso menjadi kawasan agropolitan sapi potong. Hasil analisis status keberlanjutan akan menghasilkan atribut sensitif yang harus diperbaiki oleh pihak terkait (stakeholder) sehingga diharapkan mampu menjadi acuan kebijakan pembangunan wilayah yang efektif dan efiesien dalam rangka pengembangan kawasan agropolitan berbasiskan peternakan sapi potong di Kabupaten Bondowoso.


(18)

1.2Perumusan Masalah

Tujuan pembangunan subsektor peternakan dengan menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan multidimensi (multi objective) adalah mewujudkan kelestarian (sustainability) sistem budidaya peternakan baik secara ekologis, ekonomi, sosial budaya, infrastruktur teknologi, maupun hukum dan kelembagaan. Implikasinya memang lebih menantang dan kompleks jika dibandingkan dengan sistem pembangungan konvensional yang hanya bertujuan mengejar pertumbuhan ekonomi. Keberhasilan membangun sistem peternakan sapi potong berkelanjutan akan menciptakan kehidupan manusia yang lebih sejahtera dan damai dalam lingkungan hidup yang sehat, bersih dan indah.

Peternakan sapi potong merupakan salah satu komoditas unggulan di Kabupaten Bondowoso yang perlu dibangun. Salah satu konsep pembangungan peternakan sapi potong adalah kawasan agropolitan sapi potong. Pengembangan kawasan agropolitan sapi potong harus memperhatikan lima dimensi pembangunan keberlanjutan (ekologi, ekonomi, sosial budaya, infrastruktur teknologi dan hukum kelembagaan) untuk memperoleh manfaat optimal dari pembangunan seperti peningkatan pendapatan asli daerah (PAD), penyerapan tenaga kerja yang lebih baik, peningkatan kepatuhan terhadap hukum, keefektifan lembaga sosial dan lain sebagainya.

Kondisi pengelolaan peternakan sapi potong di Kabupaten Bondowoso saat ini belum menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan. Hal ini berdampak pada tidak optimalnya manfaat yang diperoleh dari pembangunan peternakan sapi potong. Berdasarkan permasalahan tersebut, tingkat keberlanjutan wilayah berbasis peternakan sapi potong di Kabupaten Bondowoso perlu diketahui untuk menunjang pembangunan peternakan sapi potong berupa pengembangan kawasan agropolitan ditinjau dari lima dimensi pembangunan berkelanjutan. Selain itu, diperlukan identifikasi faktor kunci yang menentukan keberlanjutan kawasan agar kebijakan pembangunan peternakan sapi potong tepat sasaran dalam rangka pengembangan kawasan agropolitan sapi potong di Kabupaten Bondowoso.


(19)

1.3Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah menilai dan menganalisis status keberlanjutan kawasan berbasis peternakan sapi potong dari lima dimensi keberlanjutan (dimensi ekologi, ekonomi, sosial dan budaya, infrastruktur-teknologi, dan hukum-kelembagaan) serta menentukan faktor kunci keberlanjutan pengembangan kawasan agropolitan sapi potong di Kabupaten Bondowoso. Dengan mengetahui status keberlanjutan wilayah dari lima dimensi, akan memudahkan dalam melakukan perbaikan-perbaikan terhadap atribut sensitif berpengaruh pada peningkatan status keberlanjutan wilayah terutama pada dimensi keberlanjutan dengan status rendah untuk mendukung pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong ke depan.

1.4Ruang Lingkup Penelitian

Kajian keberlanjutan wilayah untuk pengembangan kawasan agropolitan sapi potong memiliki cakupan permasalahan yang sangat luas. Ruang lingkup penelitian ini, antara lain:

1 Penelitian ini dilakukan pada wilayah yang berpotensi dikembangkan menjadi kawasan agropolitan sapi potong, yaitu di daerah Kabupaten Bondowoso. 2 Penentuan status keberlanjutan dinilai berdasarkan lima dimensi pembangunan

keberlanjutan (dimensi ekologi, ekonomi, sosial dan budaya, infrastruktur-teknologi, dan hukum-kelembagaan) untuk pengembangan kawasan agropolitan sapi potong.

3 Masyarakat yang dikaji dalam penelitian adalah peternak sapi potong yang tersebar di lima kecamatan (Kecamatan Cermee, Tapen, Botolinggo, Maesan dan Wringin).


(20)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1Konsep Kawasan Agropolitan

Menurut Departemen Pertanian (2002), agropolitan berasal dari kata agro

berarti pertanian dan politan berarti kota, yaitu kota pertanian yang tumbuh dan berkembang serta mampu memacu berkembangnya sistem dan usaha agribisnis sehingga dapat melayani, mendorong, dan menarik kegiatan pembangunan pertanian di wilayah sekitarnya. Menurut Rustiadi et al. (2006) pengembangan kawasan agropolitan bertujuan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat melalui percepatan pembangunan wilayah dan peningkatan keterkaitan desa dan kota dengan mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis berdayasaing. Sasaran pengembangan kawasan agropolitan adalah mengembangkan kawasan pertanian yang berpotensi menjadi kawasan agropolitan, melalui:

1 Pemberdayaan masyarakat pelaku agribisnis agar mampu meningkatkan produksi, produktivitas komoditi pertanian serta produk-produk olahan pertanian, yang dilakukan dengan pengembangan sistem dan usaha agribisnis yang efisien.

2 Penguatan kelembagaan petani.

3 Pengembangan kelembagaan agribisnis (penyedia agroinput, pengelolaan hasil, pemasaran, dan penyedia jasa).

4 Pengembangan kelembagaan penyuluhan pembangunan terpadu dan pengembangan iklim kondusif bagi usaha dan investasi.

2.2Pendekatan Agribisnis

Menurut Djajalogawa dan Pambudy (2003), agribisnis peternakan diartikan sebagai kegiatan bidang usaha peternakan yang menangani seluruh aspek siklus produksi secara seimbang dalam suatu paket kebijakan utuh melalui pengelolaan pengadaan, penyediaan dan penyaluran sarana produksi, kegiatan budidaya, pengelolaan pemasaran dengan melibatkan semua stakeholders


(21)

dan proporsional bagi kedua belah pihak (petani-peternak dan perusahaan swasta). Sistem agribisnis peternakan merupakan kegiatan mengintegrasikan pembangunan sektor pertanian secara simultan (dalam arti luas) dengan industri dan jasa dalam suatu kluster industri peternakan yang mencakup empat subsistem. Menurut Departemen Pertanian (2002) sebagai suatu sistem, keempat subsistem agribisnis peternakan beserta usaha-usaha di dalamnya berkembang secara simultan dan harmonis (Gambar 1).

2.3 Pembangunan Usaha Peternakan secara Berkelanjutan

Konsep pembangunan berkelanjutan akhir-akhir ini menjadi konsep pembangunan yang diterima oleh semua negara di dunia untuk mengelola sumberdaya alam agar tidak mengalami kehancuran dan kepunahan. Konsep ini berlaku untuk seluruh sektor pembangunan termasuk pembangunan sektor peternakan. Konsep pembangunan berkelanjutan bersifat multidisiplin karena banyaknya aspek pembangunan yang harus dipertimbangkan, antara lain aspek ekologi, ekonomi, sosial-budaya, hukum dan kelembagaan.

Subsistem Agribisnis

Hulu Sistem produksi dan distribusi sarana dan alat-alat peternakan: - Bibit/induk/semen - Pakan/konsentrat Subsistem Agribisnis Budidaya

Sistem kegiatan produksi peternakan primer, penanganan dan pemasaran produk-produk primer:

- Antisipasi iklim/cuaca

- Pencegahan penyakit

- Pembelian sapronak

- Manajemen

- Kegiatan produksi

Subsistem Agribisnis Hilir

Sistem pengumpulan

produk primer peternakan,

Pengolahan produk, Distribusi dan pemasaran produk (segar, beku, kaleng, dan sebagainya) sampai ke konsumen Subsistem Lembaga Penunjang

- Prasarana (jalan, pasar, kelompok peternak, koperasi, dan lembaga keuangan).

- Sarana (transportasi, informasi, kredit, peralatan, dan lain-lain). - Kebijakan (RUTR, makro, mikro, dan lain-lain).

- Penyuluhan.

Gambar 1 Lingkup pembangunan agribisnis peternakan Sumber: Departemen Pertanian 2002


(22)

Konsep pembangunan berkelanjutan memadukan dua kata kontradiktif yaitu pembangunan (development) yang menuntut perubahan dan pemanfaatan sumberdaya alam, dan keberlanjutan (sustainabilitas) yang bermakna tidak mengubah sumberdaya alam dalam proses pembangunan. Persekutuan antara kedua kepentingan ini pada dasarnya mengembalikan ”developmentalis”

dan ”environmentalis” back to basic yaitu oikos dimana kepentingan ekonomi dan lingkungan hidup disetarakan (Saragih dan Sipayung 2002).

Kay dan Alder (1999), mengemukakan adanya tiga hal yang terkandung dalam definisi pembangunan berkelanjutan, yaitu: integritas lingkungan, efisiensi ekonomi, dan keadilan kesejahteraan. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Munasinghe (1993) yang menyatakan pembangunan tergolong berkelanjutan jika memenuhi tiga dimensi, yaitu: secara ekonomi dapat efisien serta layak, secara sosial berkeadilan, dan secara ekologis lestari. Makna dari pembangunan berkelanjutan dari dimensi ekologi memberikan penekanan pada pentingnya menjamin dan meneruskan kepada generasi mendatang sejumlah modal alam (natural capital) yang menyediakan suatu hasil keberlanjutan secara ekonomis dan jasa lingkungan.

Departemen Pertanian (2001) mengemukakan bahwa dalam pengembangan usaha agribisnis termasuk usaha budidaya peternakan, perlu menerapkan prinsip berkelanjutan. Prinsip ini mengandung ciri bahwa dalam pengembangan usaha budidaya peternakan harus memiliki kemampuan merespon perubahan pasar, inovasi teknologi terus-menerus, mengupayakan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup serta menggunakan teknologi ramah lingkungan seperti yang terlihat pada Gambar 2.


(23)

Penerapan konsep pembangunan berkelanjutan dalam budidaya peternakan dikategorikan berkelanjutan jika memenuhi kriteria dari masing-masing dimensi pembangunan berkelanjutan, yaitu: dimensi ekologi, ekonomi, sosial-budaya, teknologi, hukum, dan kelembagaan. Suatu sistem budidaya peternakan dikategorikan memenuhi dimensi ekologis dalam konsep pembangunan berkelanjutan jika sistem tersebut tidak melakukan eksploitasi berlebih terhadap sumberdaya peternakan, tidak terjadi pembuangan limbah yang melampaui kapasitas asimilasi lingkungan sehingga menimbulkan pencemaran, dan menerapkan sistem manajemen lingkungan dalam melakukan kegiatan usaha. Suatu sistem budidaya peternakan dikatakan memenuhi dimensi ekonomi dalam konsep pembangunan berkelanjutan jika sistem tersebut mampu menghasilkan

Usaha Peternakan

(Sapi, Domba, Kambing, Ayam, dsb)

Daging, Susu, Telur, dan Produk Peternakan Olahan (Sosis, Dendeng, Abon, Yoghurt, Skeam, Keju, Telur Asin, dsb)

Feses (Kotoran Ternak)

Kompos Pupuk Organik

Pertanian Organik

Bio Gas

Peningkatan Pendapatan Petani/Peternak Limbah

Budidaya Ternak

Gambar 2 Usaha agribisnis peternakan ramah lingkungan Sumber: Santosa 2001


(24)

ternak dan produk peternakan secara berkesinambungan, sehingga terjadi peningkatan dinamika ekonomi daerah yang ditandai dengan peningkatan pendapatan peternak, penyerapan tenaga kerja, dan tumbuhnya berbagai kegiatan usaha pendukung. Sistem budidaya peternakan dikategorikan memenuhi dimensi sosial-budaya dalam konsep pembangunan berkelanjutan jika sistem tersebut dapat mendukung pemenuhan kebutuhan dasar (pangan, sandang, perumahan, kesehatan, dan pendidikan), terjadi pemerataan dan terciptanya akuntabilitas serta partisipasi masyarakat.

Keberlanjutan dari dimensi teknologi dicerminkan oleh seberapa jauh pengembangan dan penggunaan teknologi dapat meningkatkan produktivitas dan nilai tambah usaha serta meminumkan kemungkinan dampak yang merugikan sumberdaya alam dan lingkungan. Penerapan teknologi inseminasi buatan (IB), kesehatan hewan, teknologi pengolahan limbah, teknologi pakan, teknologi pengolahan hasil, dan teknologi informasi dapat digunakan untuk menilai keberlanjutan dimensi ini. Penilaian keberlanjutan dari dimensi hukum dan kelembagaan ditentukan dengan cara melihat seberapa jauh perangkat hukum dan kelembagaan beserta penegakan dan kepatuhannya yang dapat mendorong keberlanjutan sistem budidaya peternakan. Namun kunci dari semua atribut hukum-kelembagaan adalah kepatuhan masyarakat terhadap peraturan perundangan dan aturan adat yang berlaku (Suyitman 2010).

Berdasarkan uraian sebelumnya, tujuan pembangunan sistem budidaya peternakan dengan menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan bersifat multidimensi (multi objective) yaitu mewujudkan kelestarian (sustainability)

sistem budidaya peternakan baik secara ekologis, ekonomi, sosial budidaya, teknologi maupun hukum, dan kelembagaan. Implikasinya lebih menantang dan kompleks jika dibandingkan dengan sistem konvensional yang hanya mengejar satu tujuan yakni pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi jika berhasil membangun sistem ini dan terwujud kelima dimensi (tujuan) pembangunan berkelanjutan secara seimbang sesuai dengan kondisi biofisik dan sosio kultural suatu kawasan, maka kita dapat menyaksikan kehidupan manusia yang lebih sejahtera dan damai dalam lingkungan hidup yang lebih ramah, sehat, bersih, dan indah (Mersyah 2005).


(25)

III KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis

Pengembangan kawasan agropolitan dirancang dan dilaksanakan dengan mensinergikan berbagai potensi di masyarakat, pengusaha, dan pemerintah. Tanggung jawab keberhasilan dan pengembangan kawasan agropolitan terletak dari kemampuan pemerintah daerah dalam hal ini pemerintah kabupaten/kota untuk dapat tumbuh sebagai inisiator dan motivator dalam menggali dan mengembangkan semua potensi di masyarakat, sedangkan pemerintah provinsi dan pusat lebih berperan membantu fasilitas yang diperlukan dalam pengembangan kawasan agropolitan.

Kawasan agropolitan juga dicirikan dengan kawasan pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis, di pusat agropolitan yang diharapkan dapat melayani dan mendorong kegiatan-kegiatan pembangunan agribisnis di wilayah sekitarnya. Menurut Deptan (2004) suatu kawasan agropolitan yang sudah berkembang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1 Sebagian besar masyarakat di kawasan tersebut memperoleh pendapatan dari

kegiatan pertanian.

2 Sebagian besar kegiatan di kawasan tersebut didominasi oleh kegiatan pertanian, termasuk di dalamnya usaha industri (pengolahan) pertanian, perdagangan hasil pertanian untuk kegiatan ekspor, perdagangan agribisnis hulu (sarana pertanian dan permodalan), agrowisata, dan jasa pelayanan. 3 Hubungan antara kota dan daerah-daerah hinterland bersifat

interdependensi/timbal balik yang harmonis, dan saling membutuhkan. Kawasan pertanian mengembangkan usaha budidaya (on farm) dan produk olahan skala rumah tangga (off farm), sebaliknya kota menyediakan fasilitas untuk berkembangnya usaha agribisnis seperti penyediaan sarana pertanian, modal, teknologi, informasi pengolahan hasil dan pemasaran hasil produksi pertanian.


(26)

4 Kehidupan masyarakat di kawasan agropolitan memiliki kemiripan dengan susasana kota dikarenakan keadaan sarana yang ada di kawasan agropolitan tidak jauh berbeda dengan perkotaan.

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional

Kebijakan pembangunan nasional bertujuan mendayagunakan sumberdaya alam sebagai inti kemakmuran rakyat yang dilakukan secara terencana, rasional optimal bertanggungjawab, sesuai dengan kemampuan daya dukung lingkungan, memperhatikan fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup bagi pembangunan yang berkelanjutan. Pada saat ini, proses pembangunan memberikan dampak positif seperti tercapainya tujuan pembangunan nasional namun, disisi lain telah menimbulkan masalah terhadap kelestarian lingkungan.

Pendekatan pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi secara cepat tidak bisa dipungkiri mengakibatkan kesenjangan pembangunan antar wilayah, dimana investasi dan sumberdaya terserap serta terkonsentrasi di perkotaan dan pusat-pusat pertumbuhan, sementara wilayah-wilayah perdesaan

(hinterland) mengalami pengurasan sumberdaya berlebihan. Ketidakseimbangan pembangunan antar wilayah berdampak terhadap buruknya distribusi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya sehingga menciptakan inefisiensi dan tidak optimalnya sistem ekonomi, serta potensi konflik yang cukup besar, dimana wilayah yang dahulu kurang tersentuh pembangunan mulai menuntut hak-haknya. Di sisi lain, akumulasi pembangunan wilayah perkotaan dan pusat-pusat pertumbuhan mendorong terjadinya migrasi penduduk ke perkotaan, sehingga kota-kota dan pusat-pusat pertumbuhan mengalami tingkat urbanisasi berlebihan (over urbanization), sementara di wilayah perdesaan mengalami krisis tenaga kerja akibat arus urbanisasi yang cukup besar.

Ketidakseimbangan pembangunan yang terjadi membuat pemerintah menyelenggarakan berbagai program pengembangan wilayah/kawasan yang didasarkan atas keunggulan komparatif (comparative advantages) berupa upaya-upaya peningkatan produksi dan produktivitas kawasan yang didasarkan atas pertimbangan optimalisasi daya dukung (carryng capacity), kapabilitas (capability),


(27)

dan kesesuaian (suitability) sumberdaya wilayah diantaranya pembangunan wilayah melalui pengembangan kawasan agropolitan (Rustiadi et al. 2003).

Konsep pengembangan agropolitan pertama kali diperkenalkan Friedmann dan Douglass (1976) sebagai siasat pengembangan perdesaan. Konsep ini pada dasarnya memberikan pelayanan perkotaan di kawasan perdesaan (kota ladang), dengan demikian petani atau masyarakat desa tidak perlu ke kota untuk mendapatkan pelayanan yang berhubungan dengan kebutuhan sosial budaya dan kehidupan sehari-hari. Peran agropolitan adalah melayani kawasan produksi pertanian di sekitarnya sebagai tempat berlangsungnya kegiatan agribisnis. Departeman Pertanian dan Departemen Kimpraswil untuk tahun anggaran 2002 menjadikan agropolitan sebagai isu nasional dalam mengembangkan sistem agribisnis, mendorong dan meningkatkan percepatan pembangunan wilayah, serta meningkatkan keterkaitan desa dan kota di daerah calon kawasan agropolitan.

Pengembangan kawasan agropolitan harus memperhatikan aspek keberlanjutan pembangunan multidimensi agar manfaat yang muncul dapat dioptimalkan. Keberhasilan mengidentifikasi status keberlanjutan pembangunan akan mengarahkan stakeholder merumuskan kebijakan pembangunan wilayah yang tepat sesuai kebutuhan dan potensi wilayah tersebut.


(28)

Gambar 3 Kerangka pemikiran penelitian status keberlanjutan kawasan agropolitan berbasis peternakan sapi potong

Pembangunan Wilayah

Wilayah Perkotaan :

- Pusat Pertumbuhan Ekonomi

- Infrastruktur Lengkap, SDM Tinggi

- Pusat Industri, Perdagangan, dan Jasa

Ketimpangan Pembangunan

Wilayah Perdesaan : - Backwash Effect

- Infrastruktur Tidak Lengkap

- Kemiskinan Tinggi, SDM Rendah

Pengembangan Kawasan Agropolitan Berkelanjutan Berbasis Peternakan Sapi Potong

Analisis Keberlanjutan Kawasan (Menentukan Indeks Keberlanjutan Wilayah Berbasis

Peternakan Sapi Potong) Kebijakan Pembangunan Wilayah


(29)

IV METODE PENELITIAN

4.1Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian berada pada lima kecamatan di Kabupaten Bondowoso Propinsi Jawa Timur. Penetapan lokasi penelitian tersebut didasarkan atas: populasi ternak sapi potong, ketersediaan sumber pakan dan aksesibilitas kawasan. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka terpilih lima kecamatan yang ditetapkan sebagai lokasi penelitian, yaitu: Kecamatan Cermee, Wringin, Maesan, Botolinggo, dan Maesan.

Pengumpulan data dilaksanakan mulai bulan Oktober 2012 sampai dengan bulan Februari 2013, terhitung sejak penyusunan proposal penelitian sampai pelaksanaan penelitian.

4.2Metode Pengumpulan Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer berupa nilai atribut-atribut terkait dengan lima dimensi keberlanjutan pembangunan yaitu: dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi/infrastruktur, serta hukum/kelembagaan. Data primer diperoleh dari para responden dan pakar terpilih, serta hasil pengamatan langsung di lokasi penelitian. Data sekunder diperoleh dengan cara mencari dari berbagai sumber seperti penelitian terdahulu, hasil studi pustaka, dan dokumen dari berbagai instansi yang berhubungan dengan bidang penelitian.

4.3 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder, yang bersumber dari responden dan pakar dalam budidaya sapi potong. Pada Tabel 1 disajikan secara rinci jenis dan sumber data yang diperlukan dalam penelitian.


(30)

Tabel 1 Jenis dan sumber data penelitian

Jenis Data Sumber Data

a Data Primer aSosial-Ekonomi

bInformasi kondisi atribut-atribut keberlanjutan cTingkat kepentingan faktor-faktor strategis

Peternak

Peternak dan Pakar Pakar

b Data Sekunder 1Populasi ternak 2Jumlah pemotongan

3Jumlah ternak keluar daerah 4Pendapatan asli daerah (PAD) 5Populasi penduduk dan 6Kondisi sosial ekonomi 7Pola penggunaan lahan

8Jumlah angkatan pencari kerja 9Kondisi sarana dan prasarana umum

Badan Pusat Statistik Kabupaten Bondowoso, Propinsi Jawa Timur

4.4Teknik Penentuan Responden

Teknik penentuan responden dalam rangka menggali informasi dan pengetahuannya ditentukan dengan menggunakan metode pengambilan sampel acak (random sampling) dan pengambilan sampel disengaja (purposive sampling). Responden dalam penelitian ini adalah responden yang dianggap mewakili dan memahami permasalahan yang diteliti. Penentuan responden dilakukan dua cara: 1 Responden peternak pada lokasi penelitian dipilih berdasarkan metode random

sampling dengan rumus sebagai berikut (Thamrin 2008):

�= �

1 +��2

Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan rumus di atas, total responden peternak berjumlah 463 responden. Jumlah responden pada tiap kecamatan adalah sebagai berikut: Kecamatan Cermee 99 responden, Wringin 68

Keterangan : n = Jumlah responden

N = Jumlah populasi (kepala keluarga peternak) e = Galat (error) yang dapat diterima (10%)


(31)

responden, Botolinggo 99 responden, Maesan 99 responden, Tapen 98 responden.

2 Responden dari kalangan pakar dipilih secara sengaja (purposive sampling).

Pertimbangan dalam menentukan pakar yang dijadikan responden berdasarkan kriteria, sebagai berikut:

a. Mempunyai pengalaman dan kompetensi sesuai bidang yang dikaji. b. Memiliki reputasi, kedudukan/jabatan dalam kompetensinya dengan

bidang yang dikaji dan telah menunjukkan kredibilitasnya sebagai ahli/ pakar pada bidang yang diteliti.

c. Mempunyai komitmen terhadap permasalahan yang dikaji. d. Bersifat netral dan bersedia menerima pendapat responden lain. e. Bersedia dimintai pendapat dan berada pada lokasi penelitian.

Pakar yang menjadi responden berjumlah 31 orang terdiri dari pihak terkait (stakeholder) dalam bidang peternakan sapi potong seperti: ketua kelompok tani, pengusaha sapi potong, petugas dan Kepala Pos Keswan, petugas inseminasi buatan (IB), petugas penyuluh pertanian, Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bondowoso serta Kepala Bagian Peternakan Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bondowoso. Rincian jumlah responden penelitian disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Penentuan teknik pengambilan contoh dan jumlah responden

No Responden Teknik Pengambilan

Contoh Jumlah Contoh 1 2 Pakar

1 Ketua Kelompok Tani 2 Pengusaha sapi potong 3 Petugas Pos Keswan 4 Kepala Pos Keswan 5 Petugas IB

6 Petugas Penyuluh Pertanian 7 Kepala Dinas Peternakan 8 Kepala Bagian Peternakan Peternak Purposive Purposive Purposive Purposive Purposive Purposive Purposive Purposive Random 9 orang 1 orang 6 orang 2 orang 6 orang 5 orang 12 orang 1 orang 463 orang

Total 494 orang


(32)

4.5 Metode Analisis Data

4.5.1 Analisis Multidimensional Scaling (MDS)

Analisis keberlanjutan pengembangan kawasan agropolitan dilakukan dengan pendekatan multidimensional scaling (MDS) yang disebut dengan pendekatan Rap-AGROSAPOT (Rapid Appraisal Agropolitan Sapi Potong). Metode ini adalah pengembangan dari metode Rapfish yang digunakan untuk menilai status keberlanjutan perikanan tangkap (Kavanagh 2001). Penggunaan teknis MDS mempunyai berbagai keunggulan seperti sederhana, mudah dinilai, cepat dan berbiaya murah (Pitcher 1999). Hasil analisis keberlanjutan dengan menggunakan teknik multidimensional scaling dinyatakan dalam Indeks Keberlanjutan Agropollitan Sapi Potong (ikb-AGROSAPOT). Analisis dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu:

a. Penentuan atribut kawasan peternakan sapi potong secara berkelanjutan yang mencakup lima dimensi, yaitu: ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi/infrastruktur, serta hukum/kelembagaan (Lampiran 1). Atribut-atribut yang dikaji ditentukan melalui diskusi dengan para pakar dan informasi dari berbagai sumber terkait.

b. Penilaian setiap atribut dalam skala ordinal berdasarkan kriteria keberlanjutan setiap dimensi.

c. Penyusunan indeks dan status keberlanjutan kawasan berbasis peternakan sapi potong baik secara multidimensi maupun pada setiap dimensi.

d. Analisis kepekaan (leverage analysis) untuk menentukan peubah sensitif mempengaruhi keberlanjutan.

e. Analisis Monte Carlo untuk memperhitungkan aspek ketidakpastian.

Pendekatan MDS dalam Rapfish memberikan hasil yang stabil (Pitcher and Preikshot 2001 dalam Fauzi dan Anna 2005) dibandingkan dengan metode analisis peubah ganda yang lain (misal Analisis Faktor). Seluruh data dari atribut keberlanjutan selanjutnya dianalisis secara multidimensional untuk menentukan titik yang mencerminkan posisi keberlanjutan relatif terhadap dua titik acuan, yaitu titik “baik” (good) dan “buruk” (bad). Posisi titik keberlanjutan pembangunan ini secara visual sulit dipetakan. Oleh karena itu, untuk


(33)

memudahkan visualisasi posisi ini digunakan analisis ordinasi dengan metode

muldimensional scaling (MDS). Menurut Fauzi dan Anna (2002), MDS pada

Rapfish diterapkan dengan menghitung jarak terdekat dari Euclidean distance pada persamaan (1.1) berikut:

Jarak Euclidean multidimensi antara dua titik tersebut (d12) kemudian

diproyeksikan ke dalam jarak Euclidean dua dimensi (D12) berdasarkan rumus

regresi pada persamaan (1.2) berikut:

Regresi tersebut menerapkan algoritma ALSCAL yang prinsipnya membuat pengulangan (iterasi) proses regresi di atas sedemikian sehingga menghasilkan nilai error terkecil. Algoritma ALSCAL yang diterapkan untuk Rapfish menurut Kavanagh (2001) memaksa nilai intercept pada persamaan (1.2) bernilai nol sehingga persamaan regresi berubah menjadi persamaan (1.3) berikut:

Proses iterasi berhenti jika nilai stress < 0.25 (Fauzi dan Anna 2002). Nilai

Stress dirumuskan dalam persamaan (1.4) berikut:

Kavanagh (2001) menyatakan bahwa iterasi berhenti jika S-stress < 0.005. Nilai S-stress merupakan akar kuadrat nilai stress sehingga nilai stress juga bisa diperoleh dengan rumus berikut:

………...……… …(1.1)

………...……… …(1.2)

………...………..…...…… (1.3)

…...……….………… …(1.4)

Str ess =

…...……….……….…… …(1.4)


(34)

Metode MDS merupakan salah satu metode ordinasi pada ruang (dimensi) yang diperkecil. Ordinasi objek pengamatan diukur dengan menggunakan banyak variabel sehingga sulit dilihat secara visual mengingat objek di dalam ruang berdimensi lebih dari 3 tidak mungkin digambarkan. Metode MDS memiliki tahapan sebagai berikut:

1 Standarisasi variabel yang memiliki unit dan besaran yang berbeda harus distandarisasi terlebih dahulu.

2 Pengukuran jarak multidimensi. 3 Analisis reduksi dimensi. 4 Pengukuran jarak dua dimensi. 5 Pengukuran nilai stress.

Goodness of fit dalam MDS dicerminkan dari besaran nilai stress dan R2 (Malhotra 2006). Model yang baik ditunjukkan dengan nilai stress yang lebih kecil dari 0.25 atau S < 0.25 dan R2 yang mendekati 1. Skala indeks keberlanjutan sistem yang dikaji mempunyai selang 0 persen - 100 persen. Dalam penelitian ini ada empat kategori status keberlanjutan seperti yang terlihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Kategori status keberlanjutan pengembangan kawasan berdasarkan nilai indeks hasil analisis Rap-AGROSAPOT

Nilai Indeks Kategori

0-25 26-50 51-74 75-100

Buruk Kurang

Cukup Baik Sumber: Kavanagh 2001

Hasil lain yang diperoleh dalam analisis MDS adalah penentuan faktor pengungkit (leverage factors) untuk pegembangan kawasan agropolitan sapi potong yang merupakan faktor-faktor strategis dalam pengelolaan kawasan agropolitan sapi potong di masa depan. Analisis leverage bertujuan melihat perubahan nilai keberlanjutan apabila satu atribut dikeluarkan dari analisis. Menurut Pitcher et al. (2002), analisis sensitivitas atau analisis leverage dilakukan terhadap seluruh atribut masing-masing dimensi. Perhitungan dilakukan dengan metode stepwise yaitu dengan membuang setiap atribut secara berurutan satu persatu kemudian menghitung nilai error atau root mean square (RMS) dibandingkan dengan nilai RMS yang dihasilkan pada saat seluruh atribut


(35)

dianalisis. Penerapan metode ini dalam statistika dikenal sebagai metode Jackknife

(Kavanagh 2001).

Evaluasi pengaruh galat (error) pada proses pendugaan nilai ordinasi analisis status keberlanjutan wilayah agropolitan berbasiskan peternakan sapi potong dilakukan dengan menggunakan analisis ”Monte Carlo”. Menurut

Kavanagh (2001) dan Fauzi dan Anna (2005) analisis ”Monte Carlo” berguna untuk mempelajari hal-hal berikut ini.

1 Pengaruh kesalahan pembuatan skor atribut yang disebabkan oleh pemahaman kondisi lokasi penelitian yang belum sempurna atau kesalahan pemahaman terhadap atribut atau cara pembuatan skor atribut.

2 Pengaruh variasi pemberian skor akibat perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti berbeda.

3 Stabilitas proses analisis MDS yang berulang-ulang (iterasi).

4 Kesalahan pemasukan data atau adanya data yang hilang (missing data).

4.5.2 Analisis Prospektif

Analisis prospektif merupakan suatu upaya untuk mengeksplorasi kemungkinan di masa depan. Hasil analisis akan memberikan informasi mengenai faktor kunci dan tujuan strategis apa saja yang berperan dalam pengembangan sistem budidaya sapi potong berkelanjutan di Kabupaten Bondowoso sesuai dengan kebutuhan para pelaku dalam sistem budidaya tersebut. Faktor kunci tersebut digunakan untuk mendeskripsikan kemungkinan masa depan bagi pengembangan kawasan agropolitan berbasiskan peternakan sapi potong di Kabupaten Bondowoso. Penentuan faktor kunci dan tujuan strategis tersebut sangat penting, dan sepenuhnya merupakan pendapat dari para pihak yang berkompeten (expert) sebagai ahli dalam bidang agribisnis sapi potong.

Penentuan faktor kunci keberlanjutan pengembangan kawasan agropolitan sapi potong dilakukan dengan analisis prospektif. Pada tahapan ini faktor penting yang diperoleh dari faktor pengungkit hasil analisis MDS dikumpulkan untuk kemudian dinilai oleh pakar terpilih. Penilaian faktor penting dilakukan dengan mempertimbangkan dampak langsung faktor pengungkit terhadap faktor


(36)

pengungkit lainnya. Pengaruh antar faktor diberikan skor oleh pakar terpilih dengan menggunakan pedoman penilaian analisis prospektif (Tabel 4).

Tabel 4 Pedoman penilaian prospektif dalam pengembangan kawasan agropolitan berbasiskan peternakan sapi potong

Skor Keterangan Skor Keterangan

0 1

Tidak ada pengaruh Berpengaruh kecil

2 3

Berpengaruh sedang Berpengaruh sangat kuat

Adapun pedoman pengisian pengaruh langsung antar faktor berdasarkan pedoman penilaian dalam analisis prospektif adalah sebagai berikut:

a Mengidentifikasi faktor-faktor yang memiliki kemungkinan menjadi faktor kunci dalam keberlanjutan wilayah berbasiskan peternakan sapi potong. Faktor-faktor tersebut diperoleh dari hasil analisis leverage.

b Dilihat dahulu apakah faktor tersebut tidak ada pengaruhnya terhadap faktor lain, jika benar maka diberi nilai 0.

c Jika tidak, selanjutnya dilihat apakah pengaruh faktor tersebut sangat kuat, jika ya diberi nilai 3.

d Jika tidak, dipertimbangkan apakah berpengaruh faktor tersebut tergolong kecil (1), atau tergolong berpengaruh sedang (2).

Penilaian langsung dalam pengaruh antar faktor, selanjutnya disusun dengan menggunakan matriks seperti Tabel 5 berikut ini.

Tabel 5 Pengaruh antar faktor dalam pengembangan kawasan agropolitan Dari

Terhadap A B C

A B C Sumber: Hartrisari 2002


(37)

Kemungkinan-kemungkinan masa depan terbaik dapat ditentukan berdasarkan hasil penentuan elemen kunci masa depan dari beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap pengembangan kawasan agropolitan berbasis peternakan yang menuntut untuk segera dilaksanakan tindakan. Adapun cara menemukan elemen kunci dapat dilihat seperti Gambar 4 berikut ini.

Penentuan Elemen Kunci

Gambar 4 Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam sistem Hasil analisis berbagai faktor atau variabel seperti pada Gambar 4 di atas menunjukkan bahwa faktor-faktor atau variabel-variabel yang berada pada:

a Kuadran I (input), memuat faktor-faktor yang mempunyai pengaruh kuat dengan tingkat ketergantungan yang kurang kuat. Faktor pada kuadran ini merupakan faktor penentu atau penggerak (driving variabels) yang paling kuat dalam sistem.

b Kuadran II (stakes), memuat faktor-faktor yang mempunyai pengaruh dan ketergantungan yang kuat (leverage variables). Faktor pada kuadran ini dianggap peubah yang kuat.

c Kuadran III (output), memuat faktor-faktor yang mempunyai pengaruh kecil, namun ketergantungannya tinggi.

d Kuadran IV (unused), memuat faktor-faktor yang mempunyai pengaruh dan ketergantungan kecil (rendah).

Ketergantungan Faktor Penentu

(Input)

Faktor Terikat (Output) Faktor Penghubung

(Stake) Fakor Bebas

(Unused)

P

enga

ruh


(38)

V GAMBARAN UMUM

5.1 Kondisi Umum Wilayah Kabupaten Bondowoso 5.1.1 Kondisi Geografis Wilayah

Kabupaten Bondowoso secara geografis berada di wilayah bagian timur Propinsi Jawa Timur dengan jarak sekitar 200 km dari ibukota Propinsi Jawa Timur, Surabaya. Luas wilayah Kabupaten Bondowoso mencapai 1 560.10 km2 atau sekitar 3.26 persen dari total luas Propinsi Jawa Timur. Kabupaten Bondowoso terbagi dalam 23 Kecamatan, 209 desa dan 10 kelurahan. Ketinggian dari permukaan laut rata-rata mencapai ± 253 meter di atas permukaan laut dengan wilayah tertinggi ± 3.287 meter dan terendah ± 73 meter. Kondisi dataran di Kabupaten Bondowoso terdiri atas pegunungan dan perbukitan seluas 44.4%, dataran tinggi 24.9% dan dataran rendah 30.7% dari luas wilayah secara keseluruhan. Penelitian status keberlanjutan wilayah berbasiskan peternakan sapi potong untuk pengembangan kawasan agropolitan di Kabupaten Bondowoso menetapkan lima kecamatan sebagai lokasi penelitian, yaitu: Kecamatan Cermee, Botolinggo, Tapen, Wringin, dan Maesan.

5.1.2Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Budaya

Pembangunan wilayah Kabupaten Bondowoso sampai saat ini agak lamban dibandingkan dengan kabupaten lain di Propinsi Jawa Timur. Fakta menunjukkan adanya kesenjangan dari aspek sosial, ekonomi, budaya, dan infrastruktur. Produksi sub sektor peternakan tiap tahun menunjukkan perkembangan positif. Populasi ternak tahun 2009-2011 menunjukkan peningkatan. Jumlah ternak sapi meningkat dari 135 093 ekor menjadi 203 794 ekor, ternak kambing meningkat dari 31 036 ekor menjadi 31 312 ekor dan ternak domba meningkat dari 24 669 ekor mejadi 24 871 ekor. Hal selaras juga tercermin dari produksi sektor peternakan tahun 2010-2011, produksi daging meningkat dari 1 960 954 kg menjadi 2 153 966 kg (naik 9.84%), produksi telur meningkat dari 986 075 kg menjadi 1 040 220 kg (naik 5.49%), kulit sapi meningkat dari 12 135 lembar menjadi 12 609 lembar (naik 3.91%), dan kulit domba meningkat dari 10 817


(39)

lembar menjadi 23 806 lembar (naik 120.07%). Kontribusi sektor peternakan dan hasil-hasilnya pada tahun 2011 dapat menyumbangkan produk domestik regional bruto (PDRB) sebanyak 44.34 % atau sebesar Rp968 394 446 800,- juta (BPS Kabupaten Bondowoso 2012).

Ditinjau dari aspek budaya, Kabupaten Bondowoso didominasi oleh Suku Madura, dan Jawa, serta sebagian kecil Suku Sunda, Minangkabau, Bugis, dan Cina. Salah satu sifat Suku Madura yang dikenal masyarakat umum adalah kecintaannya terhadap ternak, terutama ternak sapi telah membantu perkembangan peningkatan populasi ternak sapi di Kabupaten Bondowoso.

Usaha ternak sapi potong dahulu bersifat ekstensif dan sebagai tabungan, akhir-akhir ini berkembang cukup pesat dengan digiatkannya program inseminasi buatan (IB). Penampilan menarik dan bobot badan dewasa mencapai lebih 1 000 kg/ekor serta harga jual tinggi menjadi alasan peternak semakin intensif memelihara jenis ternak sapi potong. Laporan Dinas Peternakan (2012) menyatakan bahwa Kabupaten Bondowoso merupakan salah satu lumbung ternak sapi potong di Propinsi Jawa Timur.

Hasil perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS), penduduk Kabupaten Bondowoso pada tahun 2011 mencapai 745 267 jiwa, terdiri atas 364 491 penduduk laki-laki dan 380 776 penduduk perempuan. Perbandingan antara penduduk laki-laki dan perempuan atau sex ratio sebesar 95.72 %.

Tingkat pendidikan masyarakat di Kabupaten Bondowoso pada umumnya belum tamat sekolah dasar. Jumlah persentase penduduk berumur di atas 10 tahun berdasarkan tingkat pendidikan adalah sebagai berikut: tidak tamat Sekolah Dasar 40.61%, tamat Sekolah Dasar 30.66%, tamat SLTP 12.52%, tamat SLTA 11.78%, dan tamat Diploma I/II 1.21%, tamat Akademi 0.53%, tamat Perguruan Tinggi 2.68%.

5.1.3 Kondisi Infrastruktur

Sarana transportasi yang menghubungkan antar daerah baik antar desa, kecamatan, maupun antar kota seluruhnya dapat dilalui dengan jalan darat. Panjang jalan di Kabupaten Bondowoso dibedakan atas Jalan Propinsi dan Jalan Kabupaten. Panjang Jalan Propinsi sepanjang 64.73 km dengan status kondisi


(40)

jalan baik dan panjang Jalan Kabupaten sepanjang 1 318 km terbagi menjadi dua yaitu jalan berstatus baik sepanjang 448.76 km dan jalan berstatus sedang sepanjang 405.11 km.

Akses jalan di lokasi penelitian (antara kecamatan satu dengan lainnya) telah mempunyai akses jalan resmi menghubungkan kelima kecamatan tersebut dari ibukota Propinsi (Surabaya) ke ibukota kabupaten. Aksesibilitas beberapa desa di lokasi penelitian sudah cukup memadai, karena setiap desa mempunyai jalan/akses ke masing-masing ibukota kecamatan. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi pembangunan infrastruktur jalan sudah cukup memadai. Seluruh desa di Kabupaten Bondowoso sudah mendapatkan jaringan listrik. Sumberdaya listrik sebagian masih menggunakan bahan bakar minyak, yang disuplai oleh PLTD di bawah unit kerja PT (Persero) PLN dan sebagian dari PLTU Paiton.

Pemerintah Kabupaten Bondowoso secara bertahap berupaya memprioritaskan pembangunan sarana dan prasarana air bersih di tiap kecamatan. Pendistibusian air bersih selama tahun 2011 adalah sebanyak 2 907 353.96 m3 yang digunakan oleh 13 465 pelanggan. Jumlah pelanggan air bersih pada umumnya banyak terdapat di daerah perkotaan, sedangkan di daerah perdesaan umumnya menggunakan sumur pompa, sumur gali, dan mata air. Pada lokasi penelitian hanya tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Wringin, Maesan dan Tapen yang terlayani jaringan air bersih perusahaan daerah air minum (PDAM).

5.2Kondisi Umum Peternakan Sapi Potong Kabupaten Bondowoso

5.2.1 Sistem Budidaya Ternak Sapi Potong

Tujuan utama beternak sapi potong di Kabupaten Bondowoso adalah untuk tabungan keluarga, tabungan tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang mendesak. Kebutuhan mendesak yang dimaksud seperti biaya pendidikan anak, biaya membangun rumah, biaya menunaikan ibadah haji dan biaya pernikahan anak. Sistem pemeliharaan ternak di Kabupaten Bondowoso sebagian besar masih menerapkan sistem pemeliharaan dengan tipe manajemen ekstensif. Hanya sebagian kecil dari peternak yang menerapkan sistem pemeliharaan semi intensif dan intensif.


(41)

Peternak yang memiliki kandang menerapkan sistem pemeliharaan dengan manajemen semi intensif dan intensif. Secara semi intensif ternak digembalakan pada pagi sampai siang hari di padang penggembalaan, kemudian pada sore hari dimasukkan ke dalam kandang. Pada saat ternak digembalakan, semua proses makan berlangsung di padang penggembalaan dan dikontrol oleh peternak. Secara intensif, ternak berada di dalam kandang sepanjang hari dan diberi pakan berupa hijauan dan konsentrat.

Pakan merupakan hal terpenting dalam usaha ternak sapi potong. Pakan yang memiliki nutrisi baik akan menunjang kesehatan, pertumbuhan dan reproduksi. Sumber pakan terdiri atas: hijauan makanan ternak (HMT) berupa rumput dan leguminosa, konsentrat, dan limbah pertanian. Jenis hijauan yang dapat diberikan bagi ternak sapi potong dalam bentuk hijauan segar, hijauan kering (hay), hijauan olahan atau hasil fermentasi yang disebut silase. Di Kabupaten Bondowoso pakan hijauan tersebar di berbagai areal, yakni areal padang penggembalaan, lahan hutan dan lahan tanaman pertanian pangan di pinggir jalan sepanjang jalan umum. Berdasarkan hasil pengamatan, jenis hijauan yang ada di lokasi penelitian terdiri atas: rumput lapangan (Natural grass), rumput gajah (Pennisetum purpureum), rumput raja (Pennisetum purpuphoides), rumput setaria (Setaria sphacelata), lamtoro/petai cina (Leucaena glauca), dan alang-alang (Imperata cylindrica).

Makanan penguat/konsentrat masih jarang dipergunakan peternak. Hal ini dikarenakan pakan konsentrat diperoleh dengan cara membeli ke pedagang sapronak dan harga pakan konsentrat tergolong mahal bagi peternak. Hal tersebut mengakibatkan hanya peternak bermodal besar saja yang mempergunakan pakan konsentrat. Pakan konsentrat di Kabupaten Bondowoso berasal dari pabrik pakan yang ada di Kabupaten Situbondo dan Jember sehingga ketersediaan pakan konsentrat sangat bergantung pada pasokan dari kedua daerah tersebut.

Limbah pertanian dimanfaatkan oleh para peternak sebagai salah satu alternatif pakan pada musim kemarau. Limbah pertanian juga dapat dikombinasikan dengan pakan hijauan lainnya. Beberapa jenis jerami yang diberikan untuk pakan sapi potong antara lain: jerami padi, jagung, kacang tanah, pucuk tebu, kacang kedelai, dan ketela pohon. Potensi limbah pertanian di Kabupaten Bondowoso tersedia cukup dan melimpah saat musim panen.


(42)

5.2.2Kondisi Sistem Agribisnis Kawasan

Subsistem agribisnis hulu, yaitu kegiatan ekonomi yang menghasilkan sarana produksi ternak. Kondisi sarana dan prasarana pada subsistem ini seperti ketersediaan kios sapronak, bibit ternak/IB, obat-obatan/vitamin, dan pakan konsentrat tersedia pada kota kecamatan, sedangkan untuk gudang peralatan dan mesin bersifat individual maupun secara berkelompok. Pos Keswan tersedia pada setiap kecamatan yang melayani penyediaan bibit ternak sapi potong melalui IB dan pengobatan ternak. Pelayanan ini dilakukan oleh 2 (dua) orang mantri hewan untuk satu kecamatan. Pakan konsentrat diperoleh pada kios sapronak maupun di pabrik agroindustri, seperti: konsentrat, ampas tahu, dedak padi. Industri pakan ternak masih belum tersedia di kawasan ini, sehingga peternak mencari bahan baku sendiri dan mencampurnya kemudian diberikan kepada ternak.

Subsistem agribisnis budidaya peternakan adalah kegiatan berternak yang menghasilkan produk peternakan primer, seperti: daging, susu, dan telur serta hasil ikutannya dengan tujuan memenuhi kebutuhan hidup manusia. Pemeliharaan ternak sapi potong di lokasi penelitian dilakukan secara ekstensif dan semi intensif. Penerapan program panca usaha ternak potong (PUTP), seperti: perbaikan mutu bibit, pakan, penanganan kesehatan ternak, pemeliharaan, dan reproduksi ternak belum sepenuhnya dilaksanakan. Pakan yang diberikan sebagian besar dalam bentuk hijauan dan limbah pertanian, berupa: jerami padi, daun jagung, daun ketela pohon, daun kedelai, daun kacang tanah, dan pucuk tebu, serta limbah agroindustri (dedak padi dan ampas tahu).

Lokasi kandang ternak umumnya berkumpul dengan rumah atau menjadi satu dengan tempat tinggal. Kondisi ini mengganggu kesehatan masyarakat demikian juga bau yang ditimbulkan, sehingga mengganggu kenyamanan masyarakat. Kebersihan kandang umumnya kurang diperhatikan, sehingga kotoran ternak cukup banyak menumpuk dan hanya sebagian kecil saja yang dimanfaatkan menjadi pupuk organik. Pengelolaan reproduksi ternak umumnya memanfaatkan teknologi inseminasi buatan (IB) yang tersedia dan berjalan sangat baik. Hal yang sama juga terjadi pada penanganan kesehatan ternak, karena di setiap kecamatan sudah dibangun pos kesehatan hewan (Pos Keswan) dengan dukungan tenaga memadai, seperti: mantri hewan dan petugas penyuluh


(43)

peternakan (PPL). Air baku yang digunakan dalam usaha ternak umumnya bersumber dari sumur dan sungai. Kondisi jalan usahatani umumnya dilapisi aspal namun sebagian besar mengalami kerusakan dan memerlukan perbaikan untuk memperlancar transportasi pertanian.

Subsistem agribisnis hilir adalah kegiatan ekonomi mengolah dan memperdagangkan hasil usaha ternak. Subsistem ini terkait industri pemotongan ternak, industri pengalengan dan pengolahan daging, serta industri pengolahan kulit. Pada lokasi penelitian, industri pengolahan hasil ternak minim tersedia, jika ada hanya sebatas industri rumah tangga, seperti pembuatan bakso daging sapi, dendeng, abon, dan kerupuk kulit. Jenis produk yang dihasilkan dalam usaha peternakan umumnya berbentuk produk primer peternakan seperti anak sapi (pedet), daging, telur dan susu, sedangkan produk olahan hasil ternak produk sekunder peternakan sangat sedikit. Jumlah agroindustri peternakan yang belum berkembang, mengakibatkan kontribusi dari subsektor peternakan belum optimal memberikan sumbangan PDRB terhadap daerah Kabupaten Bondowoso. Pasar ternak di lokasi penelitian baru tersedia dua unit berskala pasar kecamatan yang terletak di Kecamatan Kedemangan dan Wonosari demikian juga ketersediaan rumah potong hewan (RPH) tidak tersedia di tiap kecamatan dan hanya tersedia 10 unit di kecamatan tertentu saja.

Subsistem jasa penunjang agribisnis yaitu kegiatan yang menyediakan jasa agribisnis ternak, seperti: perbankan, asuransi, koperasi, transportasi, penyuluhan, Pos Keswan, kebijakan pemerintah, lembaga pendidikan serta penelitian, dan lain-lain. Kondisi subsistem jasa penunjang di lokasi penelitian belum memadai. Lembaga penyuluhan pertanian/balai penyuluhan pertanian (BPP), sudah tersedia namun perlu ditingkatkan lagi aktifitasnya terutama dalam frekuensi penyuluhan dan pelatihan terhadap pengelolaan usaha peternakan agar secara bertahap mengubah perilaku peternak dalam mengelola usaha peternakan ke arah yang lebih maju/intensif dan berkelanjutan. Ketersediaan lembaga keuangan mikro (LKM) sangat sedikit, dalam rangka meningkatkan pengembangan usaha peternakan, keberadaan LKM sangat dibutuhkan untuk mempermudah pelayanan kegiatan ekonomi masyarakat.


(44)

6.1Status Keberlanjutan Wilayah

Penentuan indeks keberlanjutan wilayah berbasiskan peternakan sapi potong di Kabupaten Bondowoso berdasarkan pada lima dimensi keberlanjutan, yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial dan budaya, infrastruktur dan teknologi, serta hukum dan kelembagaan dengan atribut dan nilai keberlanjutan tiap dimensi pada Lampiran 1. Berdasarkan hasil analisis menggunakan pendekatan Rapid Appraisal Agropolitan Sapi Potong (Rap-AGROSAPOT), nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekologi sebesar 41.61% dengan status kurang berkelanjutan, dimensi ekonomi 57.73% dengan status cukup berkelanjutan, dimensi hukum dan kelembagaan sebesar 75.46% dengan status baik, dimensi sosial budaya sebesar 58.05% dengan status cukup berkelanjutan serta dimensi infrastruktur dan teknologi sebesar 47.05% dengan status kurang berkelanjutan. Peningkatan nilai indeks keberlanjutan di masa depan dapat dilakukan dengan perbaikan atribut sensitif berpengaruh pada nilai indeks keberlanjutan lima dimensi tersebut. Adapun nilai indeks lima dimensi keberlanjutan hasil analisis

Rap-AGROSAPOT seperti diperlihatkan pada Gambar 5 dan Lampiran 2.

Gambar 5 Diagram layang (kite diagram) nilai indeks keberlanjutan wilayah Kabupaten Bondowoso

6.1.1 Dimensi Ekologi


(45)

0.12 0.59 1.76 0.58 0.96 1.31 2.76 2.72 2.94 3.10 1.78 2.64 3.06 2.54 1.65 1.49 0.96 1.41 0.22 3.36

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5

Pemanfaatan limbah peternakan untuk pupuk organik Pemanfaatan limbah pertanian untuk pakan ternak Sistem pemeliharaan ternak sapi potong Lahan (kesuburan tanah) Kapasitas tampung padang penggembalaan Kegiatan Ladang Berpindah Ketersediaan pakan ternak sapi potong Kebersihan Kandang Ketersediaan IPAL Agroindustri hasil Ternak Ketersediaan rumah potong hewan (RPH) Ketersediaan instalasi pengolahan limbah RPH Jenis pakan ternak Ketersediaan lahan HMT unggul Kuantitas limbah peternakan Jarak lokasi usaha peternakan dengan permukiman Kejadian kekeringan Frekuensi kejadian banjir Curah hujan Kondisi prasarana jalan usahatani Kondisi prasarana jalan desa

A tt r ib u te

Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan pada dimensi ekologi terdiri atas 20 (dua puluh) atribut. Berdasarkan Gambar 5 nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi adalah 41.61% berkategori kurang berkelanjutan. Hasil analisis leverage dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Peran masing-masing atribut aspek ekologi yang dinyatakan dalam bentuk nilai perubahan RMS

Analisis sensitivitas dimensi ekologi dengan metode analisis leverage pada

Rapfish memperlihatkan 10 (sepuluh) atribut sensitif terhadap nilai indeks Sumber: Data Primer (diolah)


(46)

keberlanjutan. Perubahan sedikit saja pada atribut tersebut berdampak besar terhadap status keberlanjutan pada dimensi ekologi. Hal ini ditunjukkan dari nilai perubahan galat (error) atau root mean square (RMS) sepuluh atribut tersebut dua bahkan tiga kali lebih tinggi dibandingkan dengan atribut lainnya (Gambar 6). Atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi, yaitu: 1 Sistem pemeliharaan ternak sapi potong. Sistem pemeliharaan sapi potong

dilakukan dengan cara ekstensif, yaitu mengikat ternak sapi pada ruang terbuka seperti padang penggembalaan atau pekarangan rumah tanpa dikandangkan sehingga ternak sapi sulit diawasi, rawan terkena penyakit dan gangguan lainnya. Pemberian pakan dilakukan dengan cara melepas ternak sapi di padang penggembalaan atau meletakkan hijauan kering (hay) pada tempat yang mudah dijangkau oleh ternak sapi. Masyarakat setempat sebagian besar menerapkan sistem pemeliharan ini karena enggan mengeluarkan biaya tambahan untuk membuat dan merawat kandang ternak sapi. Selain itu, sistem pemeliharaan ternak ekstensif merupakan budaya warisan leluhur sehingga sulit dilakukan perubahan sistem pemeliharaan ternak menjadi semi intensif atau intensif.

2 Ketersediaan pakan ternak sapi potong. Saat ini ketersediaan pakan masih mencukupi kebutuhan dan cenderung berlebih. Dalam rangka pengembangan ternak ruminansia, daya dukung pakan harus dipertahankan agar ternak sapi potong dapat berkembang dengan baik. Limbah pertanian, seperti: jerami padi, jagung, kacang tanah, dan pucuk tebu serta limbah agroindustri (dedak padi, tongkol jagung, ampas tahu, bungkil kelapa dan ampas tebu) yang cukup banyak di daerah ini, membantu ketersediaan pakan ternak sapi potong. 3 Kebersihan kandang belum sepenuhnya diperhatikan oleh peternak. Kotoran

ternak dibiarkan menumpuk dalam kandang selama beberapa hari sebelum dikumpulkan pada suatu tempat. Kondisi ini dikhawatirkan menyebabkan gangguan lingkungan dan kesehatan. Penyuluhan kepada peternak sangat diperlukan dalam rangka menanamkan kesadaran untuk menjaga kebersihan kandang, agar kekhawatiran seperti hal tersebut dapat dicegah.

4 Ketersediaan IPAL agroindustri hasil ternak belum tersedia, sehingga perlu disediakan mulai sekarang karena pembuangan limbah agroindustri hasil


(47)

ternak yang sembarangan menimbulkan pencemaran lingkungan dan gangguan kesehatan bagi masyarakat setempat. Saat ini, limbah agroindustri peternakan dibuang tanpa melalui proses pengolahan lebih lanjut ke sungai atau saluran pembuangan limbah rumah tangga. Hal ini menimbulkan bau menyengat dan pencemaran air yang berada di sekitar lokasi agroindustri hasil ternak.

5 Ketersediaan RPH masih terbatas di beberapa kecamatan dan berkategori C. Seharusnya ketersediaan RPH ditambah khususnya di kecamatan dengan populasi ternak sapi potong lebih dari 10 000 ekor. Selain itu, peningkatan kategori RPH menjadi B atau A harus menjadi prioritas. RPH berkategori C adalah RPH dengan fasilitas pemotongan sederhana sehingga jumlah ternak yang dipotong berkisar 5-10 ekor/hari. Pada masa yang akan datang jumlah ketersediaan rumah potong hewan perlu ditambah demikian juga kategorinya ditingkatkan menjadi type B atau A sesuai dengan jumlah pemotongan ternak dan target pasar yang dituju.

6 Ketersediaan instalasi pengelolaan limbah RPH masih belum tersedia, sehingga perlu disediakan karena pembuangan limbah pemotongan ternak saat ini langsung dibuang ke sungai sehingga menimbulkan pencemaran dan ekternalitas negatif.

7 Jenis pakan ternak yang diberikan sebatas rumput hijauan dengan jerami pertanian. Makanan tambahan seperti konsentrat diperlukan ternak untuk mempercepat proses pertumbuhan dan penggemukan ternak sapi, namun harga konsentrat relatif mahal bagi peternak mengakibatkan pakan konsentrat jarang diberikan. Selain itu, tidak tersedianya pabrik pakan berdampak pada sulitnya pakan konsentrat diperoleh para peternak sapi potong.

8 Ketersediaan lahan HMT unggul masih mencukupi untuk mendukung usaha peternakan sapi potong. Masyarakat setempat memanfaatkan lahan kosong seperti tegalan, lahan pinggir jalan, sepadan sungai, lahan pinggiran hutan dan lain sebagainya untuk ditanami rumput unggul seperti rumput Bengggala (Panicum maximum), Raja (Pennisetum purpuphoides) dan Gajah (Pennisetum purpureum). Pertumbuhan penduduk dan ternak sapi potong yang meningkat setiap tahunnya tanpa diikuti dengan pertumbuhan lahan berpotensi


(48)

mengancam status ketersediaan lahan pakan ternak sapi potong. Oleh karena itu, industri pakan perlu segera dibagun untuk keterjaminan pakan di masa datang.

9 Kuantitas limbah peternakan (feses) pada umumnya cukup banyak dan hanya sebagian kecil dimanfaatkan untuk pupuk organik. Pemanfaatan limbah peternakan untuk dijadikan pupuk organik belum memasyarakat, karena petani setempat sebagian besar lebih menyukai menggunakan pupuk anorganik dibandingkan pupuk organik/pupuk kandang. Kelemahan pupuk organik, seperti: a) kandungan hara rendah, b) jumlah pupuk organik yang dibutuhkan sangat banyak menyulitkan transportasi sehingga kurang ekonomis, c) perhitungan dosis tidak bisa tepat dan respon tanaman lebih lambat dibanding pupuk buatan, d) mudah terurai, dan e) pupuk organik dapat menjadi inang bagi hama dan penyakit akar tanaman. Kekurangan yang dimiliki pupuk organik tersebut mengakibatkan beberapa petani lebih menyukai menggunakan pupuk buatan.

10 Jarak lokasi usaha peternakan dengan permukiman penduduk perlu diperhatikan. Kandang ternak yang berkumpul dengan tempat tinggal atau terlalu dekat dengan rumah penduduk mengganggu kesehatan dan kenyamanan masyarakat. Kondisi ini perlu diantisipasi, misalnya dengan cara membuat kandang kolektif yang terpisah dari pemukiman dan tidak terlalu jauh dari tempat tinggal penduduk, sehingga efek negatif dapat dikurangi. Pembuatan kandang kolektif memudahkan dalam pengelolaan ternak, misalnya: dalam pelaksanaan IB, pengawasan penyakit, pengumpulan limbah ternak (feses), pembuatan pupuk organik, keamanan ternak, dan pemasaran ternak. Dengan demikian jika setiap atribut tersebut dikelola dengan baik, maka indeks keberlanjutan dimensi ekologi di masa yang akan datang akan lebih meningkat statusnya.


(49)

6.1.2 Dimensi Ekonomi

Jumlah atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan dimensi ekonomi terdiri dari 17 (tujuh belas) atribut. Berdasarkan Gambar 5 nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi adalah 57.73% berkategori cukup berkelanjutan. Analisis sensitivitas dimensi ekonomi dengan metode analisis leverage pada Rapfish memperlihatkan 3 (tiga) atribut sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan. Perubahan sedikit saja pada atribut tersebut berdampak besar terhadap status keberlanjutan pada dimensi ekonomi. Hal ini ditunjukkan dari nilai perubahan root mean square change (Gambar 7) tiga atribut tersebut dua bahkan tiga kali lebih tinggi dibandingkan dengan atribut-atribut lainnya. Atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi, yaitu:

1 Ketersediaan industri pakan di Kabupaten Bondowoso masih belum tersedia. Kebutuhan pakan yang berasal dari industri pakan seperti konsentrat diperoleh dari Kota Jember dan Situbondo. Hal ini mengakibatkan ketersediaan pakan konsentrat tidak menentu tergantung pasokan dari distributor pakan sehingga kebanyakan peternak setempat memilih pakan hijauan yang tersedia di wilayahnya. Ketergantungan pada pakan hijauan menghadapi kendala saat musim kering/kemarau tiba. Dalam rangka menjamin ketersediaan pakan dan kecukupan gizi ternak, pembangunan industri pakan sangat dibutuhkan di daerah ini, apalagi ketersediaan produk pertanian (jagung) dan limbah pertanian (jerami padi, daun jagung, daun ketela pohon, daun kacang tanah, dan pucuk tebu) serta limbah industri pertanian (dedak padi, ampas tahu, molasses/tetes, ampas tebu, dan tongkol jagung) yang bisa dimanfaatkan untuk pakan ternak cukup banyak tersedia.

2 Pasar produk agroindustri peternakan masih bersifat lokal. Hal ini disebabkan, ketersediaan agroindustri peternakan di wilayah ini sangat minim/sedikit kalaupun ada hanya sebatas home industri (industri rumah tangga), seperti pembuatan bakso daging sapi, dendeng, abon, dan kerupuk kulit yang jumlahnya terbatas. Jenis produk yang dihasilkan dalam usaha peternakan sapi potong pada umumnya dalam bentuk produk primer peternakan. Kondisi ini harus diperbaiki, dengan membangun beberapa agroindustri peternakan dan menciptakan kondisi yang mendukung serta meningkatkan penyediaan


(50)

0.44 0.89 1.46 2.77 2.69 4.67 0.91 5.37 0.77 3.98 1.93 2.45 2.50 0.76 0.05 0.98 0.03

0 1 2 3 4 5 6

Keuntungan (profit) dalam budidaya peternakan Kontribusi terhadap PDRB Kontribusi terhadap PAD bidang pertanian Rataan penghasilan peternak terhadap UMK Bondowoso Transfer keuntungan Pasar Produk Agroindustri Peternakan Ketersediaan Pasar Ternak Ketersediaan Industri Pakan Tempat Peternak Menjual Ternak Perubahan nilai APBD bidang peternakan (5 thn terakhir) Subsidi usaha ternak sapi potong Persentase penduduk miskin Rata-rata harga jual ternak sapi potong Jumlah tenaga kerja pertanian Jenis komoditas unggulan Kelayakan usaha agroindustri Tingkat ketergantungan konsumen

A tt r ib u te

Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)

sarana dan prasarana agribisnis/infrastruktur penunjang yang lebih baik sehingga pembeli dari beberapa daerah datang ke Kabupaten Bondowoso untuk membeli produk-produk agroindustri peternakan.

3 Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) bidang peternakan selama 5 tahun terakhir selalu bertambah. Hal ini bertujuan untuk membiayai sarana dan prasarana agribisnis usaha ternak sapi potong. Namun, penggunaan APBD bidang peternakan ini dinilai masih belum digunakan secara optimal. Hal ini terlihat dengan minimnya fasilitas yang tersedia untuk mendukung sektor usaha peternakan sapi potong seperti minimnya fasilitas kesehatan yang dimiliki Pos Keswan, tidak tersedianya RPH di tiap kecamatan, minimnya fasilitas yang dimiliki untuk menunjang kegiatan petugas IB dan kurangnya pemberian insentif berupa dana bantuan usaha ternak. Nilai APBD yang besar seharusnya digunakan secara optimal dengan memperhatikan kebutuhan para peternak dan pihak terkait lain.

Gambar 7 Peran masing-masing atribut aspek ekonomi yang dinyatakan dalam bentuk nilai perubahan RMS


(51)

6.1.3 Dimensi Sosial Budaya

Jumlah atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan dimensi sosial budaya berjumlah 13 (tiga belas). Berdasarkan Gambar 5 nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya adalah 58.05% berkategori cukup berkelanjutan. Hasil analisis leverage dapat dilihat pada Gambar 8. Sebanyak 5 (lima) atribut sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya, yaitu:

1 Peran masyarakat dalam usaha peternakan yang relatif rendah selama ini perlu ditingkatkan agar pertumbuhan dan perkembangan agroindustri peternakan di daerah ini lebih maju lagi. Rendahnya peran masyarakat dalam bidang usaha peternakan mengakibatkan ketersediaan jumlah agroindustri peternakan sangat sedikit yang pada akhirnya berdampak terhadap jumlah penduduk yang bekerja di bidang agroindustri peternakan juga masih sedikit. Keterkaitan antara ketersediaan agroindustri, peran masyarakat, jumlah penduduk yang terlibat, partisipasi keluarga serta alokasi waktu yang digunakan untuk usaha agroindustri peternakan sangat erat kaitannya dan saling mempengaruhi. 2 Partisipasi keluarga dalam usaha peternakan di daerah ini masih rendah.

Umumnya, partisipasi aktif keluarga hanya tercermin dalam kegiatan budidaya (onfarm) sapi potong seperti membantu memandikan sapi, mencari rumput pakan dan memasukkan sapi ke kandang dan hal tersebut hanya dilakukan oleh anak laki-laki dalam keluarga. Keadaan ini harus dirubah dan diperbaiki agar dimasa yang akan datang seluruh keluarga mampu berpartsipasi dalam pengelolaan usaha peternakan, sehingga usaha agribisnis peternakan di daerah ini semakin maju dan pesat.

3 Tingkat penyerapan tenaga kerja peternakan masih tergolong rendah dikarenakan sektor peternakan hanya dijadikan sebagai usaha sambilan selain kegiatan bercocok tanam. Hal tersebut harus diperbaiki dengan meningkatkan penyerapan tenaga kerja sektor peternakan melalui pemberian insentif beternak khususnya ternak sapi potong.

4 Frekuensi pelatihan dan penyuluhan di daerah ini digolongkan jarang. Kabupaten Bondowoso rata-rata mengadakan pelatihan dan penyuluhan kepada masyarakat di kecamatan maksimal 3 kali setahun dan minimal 1 kali


(1)

60

Rap-AGROSAPOT Ecology Ordination

41.61 DOWN UP BAD GOOD -60 -40 -20 0 20 40 60

0 20 40 60 80 100 120

Beef Cattle Breeding Sustainability

O th er D is ti ng is hi ng Fe at ur es Real Breeder References Anchors

Rap-AGROSAPOT Economic Ordination

57.73 DOWN UP BAD GOOD -60 -40 -20 0 20 40 60

0 20 40 60 80 100 120

Beef Cattle Breeder Sustainability

O th er D is ti ng is hi ng Fe at ur es Real Breeder References Anchors

Lampiran 2 Nilai indek lima dimensi keberlanjutan wilayah berbasiskan peternakan sapi potong di Kabupaten Bondowoso

A Dimensi Ekologi

B Dimensi Ekonomi

Sumber: Data Primer (diolah)


(2)

61

Rap-AGROSAPOT Culture Ordination

58.05 DOWN UP BAD GOOD -60 -40 -20 0 20 40 60

0 20 40 60 80 100 120

Beef Cattle Breeder Sustainability

O th er D is ti ng is hi ng Fe at ur es Real Breeder References Anchors

Rap-AGROSAPOT Technology Ordination

47.05 DOWN UP BAD GOOD -60 -40 -20 0 20 40 60

0 20 40 60 80 100 120

Beef Cattle Breeder Sustainability

O th er D is ti n g is h in g Fe a tu re s Real Breeder References Anchors

C Dimensi Sosial Budaya

D Dimensi Infrastruktur Teknologi Sumber: Data Primer (diolah)


(3)

62 Ketersediaan IPAL RPH Ketersedian RPH Kuantitas Limbah Peternakan Ketersediaan IPAL agroindustri hasil ternak Kebersihan kandang Daya dukung pakan Ketersedian lahan untuk pakan Jarak lokasi usaha

peternakan dengan pemukiman

Jenis pakan ternak

Sistem pemeliharaan ternak sapi potong

Ketersediaan industri pakan Ketersediaan pasar produk peternakan sapi potong Perubahan nilai APBD (5 tahun

terakhir) Koperasi ternak sapi potong Ketersediaan sarana dan prasarana agribisnis peternakan sapi potong Peran masyarakat dalam usaha peternakan Frekuensi penyuluhan dan pelatihan Partisipasi keluarga dalam

usaha peternakan Lembaga

Keuangan mikro Badan pengelola kawasan agropolitan Ketersediaan Lembaga sosial Lembaga penyuluhan

pertanian Kelayakan finansial Sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah

-0.50

1.00

1.50

2.00

2.50

-

0.50

1.00

1.50

2.00

2.50

P

e

ngar

uh

Ketergantungan

Gambaran Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor

yang Berpengaruh

Rap-AGROSAPOT Institutional Ordination

75.46 DOWN UP BAD GOOD -60 -40 -20 0 20 40 60

0 20 40 60 80 100 120

Beef Cattle Breeder Sus tainability

O th er D is ti ng is hi ng Fe at ur es Real Breeder References Anchors

E Dimensi Hukum dan Kelembagaan

Lampiran 3 Hasil analisis tingkat kepentingan atribut-atribut yang berpengaruh pada sistem yang dikaji

Sumber: Data Primer (diolah)


(4)

(5)

Lampiran 4 Peta lokasi penelitian di Kabupaten Bondowoso

63


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Situbondo, Jawa Timur pada tanggal 04 April 1991 sebagai putra sulung dari dua bersaudara pasangan Dr. Ir. Suyitman, M.Sc. dan Dra. Retno Palupi. Pada tahun 1998 penulis memulai pendidikan dasar di Sekolah Dasar Negeri 15 Ulu Gadut, Padang dan lulus pada tahun 2003. Penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menegah Pertama Negeri 8 Padang dan lulus pada tahun 2006. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Korpri Dharma Wanita (KORNITA) Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 2009. Pada tahun yang sama, penulis masuk sebagai salah satu mahasiswa Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis berhasil menyelesaikan pendidikan sarjana pada tahun 2013.

Selama masa kuliah, penulis aktif dalam berbagai kegiatan organisasi kemahasiswaan intra kampus. Tercatat penulis pernah menjadi anggota Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) Kabinet Sinergi sebagai bendahara Departemen Pengembangan Sumberdaya Mahasiswa (PSDM) tahun 2011. Penulis juga tercatat sebagai anggota Himpunan Profesi (HIMPRO) Resource and Environmental Economics Student Association (RESSA) Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan tahun 2010 sampai sekarang. Selain itu, penulis aktif sebagai panitia kegiatan kemahasiswaan dan peserta pada berbagai kegiatan seminar terkait keilmuan penulis.