Produksi Gas Selama Proses Biodegradasi Heavy Oil Waste dengan Teknik Landfarming
2
ABSTRAK
LENA ROSLINA. Produksi Gas Selama Proses Biodegradasi Heavy Oil Waste dengan
Teknik Landfarming. Dibimbing oleh CHARLENA dan MUHAMAD FARID.
Bioremediasi didefinisikan sebagai proses penguraian limbah organik atau
anorganik polutan secara biologi dalam kondisi terkendali dengan tujuan mengendalikan
dan mereduksi cemaran dari lingkungan. Pada penelitian ini, sampel yang digunakan
adalah tanah yang tercemar minyak bumi fraksi berat yang disebut dengan heavy oil
wastes (HOW). Teknik bioremediasi yang digunakan adalah bioremediasi ex-situ.
Penelitian ini bertujuan mengevaluasi produksi gas yang dihasilkan selama proses
biodegradasi limbah HOW berlangsung. Produksi gas CO2 yang memiliki rerata tertinggi
dihasilkan oleh perlakuan bioaugmentasi dengan penambahan kompos, yaitu sebesar
244,5 mg/m3. Produksi gas NH3 pada perlakuan bioaugmentasi HOW murni
menghasilkan gas NH3 paling tinggi dilihat dari reratanya, yaitu 155,6 g/m3. Perlakuan
yang menghasilkan gas NO2 paling tinggi, yaitu perlakuan bioaugmentasi dengan
penambahan kompos, sebesar 58,1 g/m3, dan untuk H2S, yaitu pada perlakuan
biostimulasi HOW murni sebesar 3337,2 g/m3. Gas SO2 bisa dikatakan hampir tidak ada
untuk semua perlakuan. Secara umum, grafik yang dihasilkan untuk setiap gas hampir
memiliki pola yang sama, yaitu sinusoidal. Dari gas yang dihasilkan ini dapat dikatakan
bahwa proses biodegradasi terhadap HOW berlangsung.
ABSTRACT
LENA ROSLINA. Gas Production During Biodegradation Process of Heavy Oil Waste
by Landfarming Technique. Supervised by CHARLENA and MUHAMAD FARID.
Bioremediation is defined as biological degradation process of organic or inorganic
wastes in a controlled condition to control and reduce their amount in the environment. In
this study, the soil which had been poluted by heavy petroleum oil fractions, i.e. heavy oil
waste (HOW), was used as sample. The bioremediation technique used in this study is an
ex-situ technique. This study was conducted to determine the amount of produced gases
during the HOW degaradation process. The highest CO2 production mean was obtained
from the bioaugmentation treatment with compost adding, i.e. 244,5 mg/m3. This
treatment also produced the highest NO2 production mean of 58,1 g/m3. While the
highest NH3 production was observed in pure HOW bioaugmentation treatment (155,6
g/m3), and H2S was produced in the highest amount in pure HOW biostimulation
treatment (3337,2 g/m3). The SO2 gas production was not obvious in all treatments.
Generally, all graphs of each gas production followed a similar sinusoidal pattern. From
these results it can be infered that the degradation process of HOW happened during the
treatments.
1
PENDAHULUAN
Pelepasan senyawa-senyawa organik dan
anorganik ke dalam lingkungan terjadi hampir
setiap tahun akibat dari aktivitas manusia. Jika
ditinjau secara kimia, maka senyawa organik
dan anorganik tersebut adalah limbah. Dalam
beberapa kasus, limbah tersebut dibuang
dengan sengaja, misalnya hasil industri, dan
dalam kasus lainnya adalah suatu kecelakaan,
misalnya tumpahan minyak. Senyawasenyawa tersebut adalah toksik dan
terakumulasi dalam lingkungan tanah dan
perairan. Kontaminasi
pada tanah,
permukaan, dan air bawah tanah merupakan
akibat adanya akumulasi yang terus menerus
dari senyawa toksik tersebut dengan jumlah
yang melewati ambang batas (Abraham
2008).
Kegiatan industri perminyakan, seperti
eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi
semakin
meningkat,
sejalan
dengan
peningkatan kebutuhan manusia terhadap
minyak bumi sebagai sumber energi. Proses
eksploitasi dari minyak bumi ini akan
menghasilkan produk berupa minyak dan gas.
Akan tetapi selain menghasilkan produk yang
bermanfaat juga dihasilkan sisa proses sebagai
limbah. Limbah minyak bumi atau produknya
juga dapat berasal dari kegiatan industri yang
umumnya terbuang ke sungai dan akan
mencemari lingkungan akuatik khususnya
laut, sedangkan limbah sisanya dapat
mencemari lingkungan lain, yaitu tanah dan
udara (Udiharto 1996). Bila dilihat dari
jenisnya, limbah minyak bumi ada beberapa
macam bergantung pada sumber minyak yang
dihasilkan. Salah satunya adalah limbah
minyak bumi yang berasal dari minyak fraksi
berat, yang terdiri atas hidrokarbon berantai
panjang yang sulit untuk didegradasi.
Pada awalnya cara penanganan limbah
minyak bumi ini adalah dengan cara dibuang
langsung ke lingkungan, karena berbagai
macam tuntutan pada zaman sekarang ini,
maka aspek lingkungan pun sangat penting
untuk diperhatikan. Salah satu penanganannya
adalah
dengan
cara
biologi,
yaitu
bioremediasi.
Bioremediasi
merupakan
alternatif
pengolahan limbah minyak bumi dengan cara
degradasi
oleh
mikroorganisme
yang
menghasilkan senyawa akhir yang stabil dan
tidak beracun. Proses degradasi ini relatif
murah, efektif, dan ramah lingkungan, namun
metode ini membutuhkan waktu yang lebih
lama dibandingkan dengan cara fisika atau
kimia. Bioremediasi mengandalkan reaksi
mikrobiologis di dalam tanah. Teknik ini
mengondisikan mikrob sedemikian rupa
sehingga
mampu
mengurai
senyawa
hidrokarbon yang terperangkap di dalam
tanah.
Pada penelitian ini, sampel yang
digunakan adalah tanah yang tercemar minyak
bumi fraksi berat yang disebut dengan heavy
oil waste (HOW). Teknik bioremediasi yang
digunakan adalah bioremediasi ex-situ karena
limbah tidak diperlakukan di tempat asalnya,
melainkan dipindahkan ke dalam suatu tempat
untuk mendapat perlakuan. Selama proses
degradasi limbah minyak bumi ini, terjadi
perubahan senyawa kimia dari yang bersifat
toksik menjadi lebih aman untuk dibuang ke
lingkungan. Dari proses biodegradasi ini,
senyawa hidrokarbon yang memiliki rantai
panjang dan bobot molekul yang tinggi
dipecah menjadi senyawa hidrokarbon dengan
bobot molekul lebih rendah. Selama proses ini
akan dihasilkan gas, yang merupakan indikasi
dari adanya proses degradasi. Oleh karena itu
perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui
gas apa saja yang dihasilkan dari adanya
proses biodegradasi ini. Eris (2006) pernah
melakukan penelitian terhadap pembentukan
gas yang dihasilkan pada proses biodegradasi
minyak diesel dengan menggunakan teknik
bioremediasi slurry bioreaktor, dan gas yang
berhasil diamati adalah CH4, CO, dan CO2.
Penelitian ini bertujuan mengevaluasi
produksi gas yang dihasilkan selama proses
biodegradasi limbah HOW berlangsung.
TINJAUAN PUSTAKA
Minyak Bumi
Minyak bumi adalah hasil proses alami
dari penguraian bahan-bahan organik berupa
hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan
suhu atmosfer berupa fase cair, padat, dan gas,
termasuk aspal, lilin mineral, atau ozokerit,
dan bitumen yang diperoleh dari proses
penambangan
(Keputusan
Menteri
Lingkungan Hidup Republik Indonesia 2003).
Berdasarkan Cookson (1995), minyak bumi
maupun produknya merupakan campuran
senyawa organik yang terdiri atas senyawa
hidrokarbon dan nonhidrokarbon. Senyawa
hidrokarbon merupakan komponen terbesar
dalam minyak bumi (lebih dari 90%)
sedangkan
sisanya
berupa
senyawa
nonhidrokarbon.
Senyawa hidrokarbon merupakan senyawa
organik yang terdiri atas karbon dan hidrogen.
1
PENDAHULUAN
Pelepasan senyawa-senyawa organik dan
anorganik ke dalam lingkungan terjadi hampir
setiap tahun akibat dari aktivitas manusia. Jika
ditinjau secara kimia, maka senyawa organik
dan anorganik tersebut adalah limbah. Dalam
beberapa kasus, limbah tersebut dibuang
dengan sengaja, misalnya hasil industri, dan
dalam kasus lainnya adalah suatu kecelakaan,
misalnya tumpahan minyak. Senyawasenyawa tersebut adalah toksik dan
terakumulasi dalam lingkungan tanah dan
perairan. Kontaminasi
pada tanah,
permukaan, dan air bawah tanah merupakan
akibat adanya akumulasi yang terus menerus
dari senyawa toksik tersebut dengan jumlah
yang melewati ambang batas (Abraham
2008).
Kegiatan industri perminyakan, seperti
eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi
semakin
meningkat,
sejalan
dengan
peningkatan kebutuhan manusia terhadap
minyak bumi sebagai sumber energi. Proses
eksploitasi dari minyak bumi ini akan
menghasilkan produk berupa minyak dan gas.
Akan tetapi selain menghasilkan produk yang
bermanfaat juga dihasilkan sisa proses sebagai
limbah. Limbah minyak bumi atau produknya
juga dapat berasal dari kegiatan industri yang
umumnya terbuang ke sungai dan akan
mencemari lingkungan akuatik khususnya
laut, sedangkan limbah sisanya dapat
mencemari lingkungan lain, yaitu tanah dan
udara (Udiharto 1996). Bila dilihat dari
jenisnya, limbah minyak bumi ada beberapa
macam bergantung pada sumber minyak yang
dihasilkan. Salah satunya adalah limbah
minyak bumi yang berasal dari minyak fraksi
berat, yang terdiri atas hidrokarbon berantai
panjang yang sulit untuk didegradasi.
Pada awalnya cara penanganan limbah
minyak bumi ini adalah dengan cara dibuang
langsung ke lingkungan, karena berbagai
macam tuntutan pada zaman sekarang ini,
maka aspek lingkungan pun sangat penting
untuk diperhatikan. Salah satu penanganannya
adalah
dengan
cara
biologi,
yaitu
bioremediasi.
Bioremediasi
merupakan
alternatif
pengolahan limbah minyak bumi dengan cara
degradasi
oleh
mikroorganisme
yang
menghasilkan senyawa akhir yang stabil dan
tidak beracun. Proses degradasi ini relatif
murah, efektif, dan ramah lingkungan, namun
metode ini membutuhkan waktu yang lebih
lama dibandingkan dengan cara fisika atau
kimia. Bioremediasi mengandalkan reaksi
mikrobiologis di dalam tanah. Teknik ini
mengondisikan mikrob sedemikian rupa
sehingga
mampu
mengurai
senyawa
hidrokarbon yang terperangkap di dalam
tanah.
Pada penelitian ini, sampel yang
digunakan adalah tanah yang tercemar minyak
bumi fraksi berat yang disebut dengan heavy
oil waste (HOW). Teknik bioremediasi yang
digunakan adalah bioremediasi ex-situ karena
limbah tidak diperlakukan di tempat asalnya,
melainkan dipindahkan ke dalam suatu tempat
untuk mendapat perlakuan. Selama proses
degradasi limbah minyak bumi ini, terjadi
perubahan senyawa kimia dari yang bersifat
toksik menjadi lebih aman untuk dibuang ke
lingkungan. Dari proses biodegradasi ini,
senyawa hidrokarbon yang memiliki rantai
panjang dan bobot molekul yang tinggi
dipecah menjadi senyawa hidrokarbon dengan
bobot molekul lebih rendah. Selama proses ini
akan dihasilkan gas, yang merupakan indikasi
dari adanya proses degradasi. Oleh karena itu
perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui
gas apa saja yang dihasilkan dari adanya
proses biodegradasi ini. Eris (2006) pernah
melakukan penelitian terhadap pembentukan
gas yang dihasilkan pada proses biodegradasi
minyak diesel dengan menggunakan teknik
bioremediasi slurry bioreaktor, dan gas yang
berhasil diamati adalah CH4, CO, dan CO2.
Penelitian ini bertujuan mengevaluasi
produksi gas yang dihasilkan selama proses
biodegradasi limbah HOW berlangsung.
TINJAUAN PUSTAKA
Minyak Bumi
Minyak bumi adalah hasil proses alami
dari penguraian bahan-bahan organik berupa
hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan
suhu atmosfer berupa fase cair, padat, dan gas,
termasuk aspal, lilin mineral, atau ozokerit,
dan bitumen yang diperoleh dari proses
penambangan
(Keputusan
Menteri
Lingkungan Hidup Republik Indonesia 2003).
Berdasarkan Cookson (1995), minyak bumi
maupun produknya merupakan campuran
senyawa organik yang terdiri atas senyawa
hidrokarbon dan nonhidrokarbon. Senyawa
hidrokarbon merupakan komponen terbesar
dalam minyak bumi (lebih dari 90%)
sedangkan
sisanya
berupa
senyawa
nonhidrokarbon.
Senyawa hidrokarbon merupakan senyawa
organik yang terdiri atas karbon dan hidrogen.
2
Senyawa-senyawa non hidrokarbon misalnya
nitrogen, belerang, oksigen, dan logam.
Produk pengolahan minyak bumi berupa gas,
bahan bakar cair bensin, kerosin, solar dan
produk lain seperti minyak bakar, minyak
pelumas, lilin parafin, dan aspal.
Heavy Oil Waste (HOW)
Limbah minyak bumi adalah sisa atau
residu yang terbentuk dari proses pengolahan
minyak mentah yang terdiri atas kontaminan
yang sudah ada di dalam minyak, maupun
kontaminan yang terkumpul dan terbentuk
dalam penanganan suatu proses, dan tidak
dapat digunakan kembali dalam proses
produksi. Pengolahan limbah minyak bumi
adalah proses untuk mengubah karakteristik
dan komposisi limbah minyak bumi untuk
menghilangkan dan atau mengurangi sifat
bahaya dan atau sifat racun (Keputusan
Menteri
Lingkungan
Hidup
Republik
Indonesia 2003).
Limbah minyak yang digunakan berasal
dari minyak fraksi berat atau disebut dengan
HOW. HOW merupakan limbah fraksi berat
minyak bumi yang berbentuk cairan sangat
kental, berwarna hitam pekat, dan tidak
mudah dialirkan. HOW memiliki viskositas
dan densitas yang lebih tinggi dibanding
minyak konvensional. Gambar dari heavy oil
seperti ditunjukkan pada Gambar 1 (Clark
2007). Menurut Chen (2006), hampir semua
minyak mentah memiliki densitas antara 30°
dan 40° yang telah ditetapkan American
Petroleum Institute (API).
Gambar 1 Heavy oil.
Heavy oil memiliki kekentalan yang tinggi.
HOW berdasarkan kekentalanya termasuk
dalam kelompok kelas B (extra heavy oil).
Heavy oil, extra-heavy oil, dan aspal
kekurangan akan hidrogen dan memiliki
kandungan karbon yang tinggi, belerang, dan
logam berat (Clark 2007).
Biodegradasi
Limbah minyak bumi dapat diolah
menjadi bahan yang bisa dibuang ke
lingkungan dengan proses biodegradasi
menggunakan mikroorganisme. Menurut
Sudrajat (1996), biodegradasi dapat diartikan
sebagai penguraian lengkap dari suatu
senyawa oleh mikroorganisme menjadi
karbondioksida, dan air. Senyawa kimia dapat
mengalami perubahan secara enzimatis dalam
proses degradasi. Enzim yang dapat
berpengaruh dalam peristiwa ini adalah enzim
oksidase
reduktase,
hidroksilase,
dekarboksilase, deaminase, dehalogenase, dan
lain sebagainya. Istilah biodegradasi ini sering
dihubungkan dengan ekologi, manajemen
limbah, dan remediasi lingkungan yang
dikenal dengan bioremediasi. Materi organik
dapat didegradasi secara aerobik dengan
oksigen atau secara anaerobik tanpa oksigen.
Tingkat biodegradasi hidrokarbon di
lingkungan
ditentukan
oleh
populasi
mikroorganisme pendegradasi hidrokarbon
yang berasal dari tanah itu sendiri,
kemampuan fisiologis dari populasi tersebut,
dan
berbagai
faktor
abiotik
yang
memengaruhi tingkat pertumbuhan dari
populasi mikrob pendegradasi hidrokarbon.
Kemampuan biodegradasi mikroorganisme
terhadap beberapa senyawa berbeda-beda
bergantung pada spesiesnya (Atlas 1991).
Stoner
(1994)
menyatakan
bahwa
hidrokarbon alifatik cenderung mudah
terdegradasi dibandingkan dengan senyawa
aromatik. Hidrokarbon alifatik rantai lurus
pada umumnya lebih mudah terdegradasi
daripada hidrokarbon rantai bercabang.
Hidrokarbon jenuh lebih mudah terdegradasi
daripada hidrokarbon tak jenuh dan
hidrokarbon rantai panjang lebih mudah
terdegradasi
daripada
rantai
pendek.
Hidrokarbon dengan panjang rantai kurang
dari sembilan karbon sukar didegradasi karena
senyawa
ini
bersifat
toksik
bagi
mikroorganisme.
Menurut Cookson (1995), n-alkana dapat
didegradasi melalui oksidasi monoterminal,
diterminal ( -oksidasi), atau subterminal.
Biodegradasi dari n-alkana pada umumnya
melalui modifikasi alkana menjadi alkohol
primer diikuti dengan oksidasi selanjutnya
menjadi aldehida dan asam monokarboksilat.
Degradasi asam karboksilat terjadi melalui oksidasi dengan pembentukan asetil koenzim
A. Asetil koenzim A didapatkan dari alkana
melalui central metabolic pathways yang akan
melepaskan CO2. Menurut Atlas dan Bartha
(1987) dalam proses biodegradasi, rantai
alkana dioksidasi membentuk alkohol,
aldehida, dan asam lemak. Setelah terbentuk
asam lemak, proses katabolisme terjadi secara
oksidasi. Rantai panjang dari asam lemak
dikonversi oleh asil koenzim A yang
merupakan enzim pembentuk asetil koenzim
3
A, dan rantai pendek asam lemak yang telah
berkurang dua unit gugus karbonnya yang
berlangsung secara berulang-ulang. Asetil
koenzim A diubah menjadi CO2 melalui siklus
asam sitrat.
Salah satu dari teknik biodegradasi adalah
bioremediasi. Bioremediasi adalah proses
pembersihan pencemaran tanah dengan
menggunakan
mikroorganisme
(jamur,
bakteri, atau enzim). Bioremediasi dapat
dikembangkan
untuk
menghilangkan
kontaminan
tanah,
seperti
degradasi
hidrokarbon oleh bakteri (PKSPL-IPB 2008).
Ada dua jenis remediasi tanah, yaitu insitu dan ex-situ. Pembersihan in-situ adalah
pembersihan
pada
lokasi
tercemar.
Pembersihan ini lebih murah dan lebih mudah,
terdiri atas pembersihan, venting (injeksi), dan
bioremediasi. Pembersihan ex-situ meliputi
penggalian tanah yang tercemar kemudian
dibawa ke daerah yang aman, lalu tanah
tersebut dibersihkan dari zat pencemar.
Caranya ialah tanah tersebut disimpan di bak
yang kedap, kemudian zat pembersih
dipompakan ke dalam bak tersebut.
Selanjutnya zat pencemar dipompakan keluar
dari bak yang kemudian diolah dengan
instalasi pengolah air limbah. Pembersihan exsitu ini jauh lebih mahal dan rumit. Dalam
penelitian ini jenis bioremediasi yang
digunakan adalah bioremediasi ex-situ dengan
perlakuan
secara
bioaugmentasi
dan
biostimulasi.
Berdasarkan CRA (2003), bioaugmentasi
dapat dilakukan dengan menambahkan kultur
mikrob untuk meningkatkan populasi mikrob
pada tempat perlakuan. Alasan rasional
penambahan
mikroorganisme
eksogen
pendegradasi hidrokarbon ialah populasi
mikroorganisme indigenus tidak mampu
mendegradasi substrat potensial yang terdapat
dalam campuran komplek seperti hidrokarbon.
Sementara biostimulasi adalah suatu teknik
dengan penambahan nutrien dan oksigen pada
tanah yang terkontaminasi untuk mendorong
pertumbuhan dan aktivitas bakteri yang ada
pada tanah tersebut.
Berdasarkan Evans dan Furlong (2003),
secara sederhana proses bioremediasi bagi
lingkungan dilakukan dengan mengaktifkan
bakteri alami pengurai minyak bumi yang ada
di dalam tanah. Bakteri ini kemudian akan
menguraikan limbah minyak bumi yang telah
dikondisikan sedemikian rupa sehingga sesuai
dengan kebutuhan hidup bakteri tersebut.
Bakteri mampu menggunakan sumber karbon
dan mendegradasi sejumlah kontaminan yang
khas sampai sejumlah besar yang biasanya
ditemukan
dalam
tanah.
Dengan
meningkatkan
dan
mengoptimumkan
kondisinya,
mikrob
dapat
melakukan
degradasi secara alami dengan lebih cepat dan
efisien.
Faktor lingkungan yang utama dalam
pelaksanaan bioremediasi adalah suhu, pH,
dan tipe tanah. Bioremediasi cenderung
mampu berjalan secara alami pada organisme
yang berasal dari tanah, juga perlakuan dapat
terjadi pada suhu 0-50 °C Bagaimanapun juga,
untuk lebih efisien, batas suhu yang ideal 2030 °C, hal ini cenderung dengan
pengoptimuman aktivitas enzim. Batas pH
ideal yang optimum, yaitu 6,5-7,5, meskipun
pada pH 5,0-9,0 juga masih dapat diterima,
bergantung pada spesies yang terlibat.
Teknik Landfarming
Ada beberapa macam metode bioremediasi
dan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah
teknik
landfarming.
Konsep
landfarming pertama kali dikembangkan dan
dilaksanakan oleh industri penyulingan
minyak Amerika Serikat sekitar tahun 1954.
Metode perlakuan secara biologi ini meliputi
aplikasi yang diamati dari banyak atau
sedikitnya akan ketersediaan limbah organik
dalam bentuk cair, semipadat, atau padat pada
permukaan tanah dan zona tanah yang
tercemar limbah (Genouw et al. 1994).
Pemilihan metode ini bergantung pada
kegunaan dan segi ekonomi dari teknologi ini
untuk pembersihan pada lahan yang spesifik.
Teknik landfarming ini membutuhkan
penggalian dan penempatan pada tumpukantumpukan. Tumpukan-tumpukan itu secara
berkala dicampur dan diatur kelembabannya.
Pengaturan pH tanah dan penambahan nutrisi
dibutuhkan untuk meningkatkan aktivitas
biologi (Poon 1996). Menurut Marin et al.
(2005), teknik landfarming merupakan
metode yang seringkali dipilih untuk tanah
yang terkontaminasi hidrokarbon karena
relatif lebih murah, dan memiliki potensi
untuk berhasil.
Mikroorganisme Pendegradasi
Hidrokarbon Minyak Bumi
Bioremediasi
menggunakan
mikroorganisme
untuk
menguraikan
atau
mendegradasi
limbah
minyak
bumi.
Mikroorganisme yang umum digunakan
dalam bioremediasi adalah bakteri, tetapi
jamur indigenus juga mempunyai peran yang
penting. Bakteri dan jamur pengurai
4
hidrokarbon banyak terdapat di tanah,
perairan laut maupun air tawar. Isolat yang
umum digunakan untuk mendegradasi
hidrokarbon
adalah
Pseudomonas,
Arthrobacter, Corynobacterium, Mycobacterium, dan Flavobacterium (Wong et al. 1997).
Penelitian Bartha dan Bossert (1984)
menjelaskan ada 22 jenis bakteri yang hidup
di lingkungan minyak bumi, isolat yang
mendominasi terdiri atas beberapa jenis, yaitu
Alcaligenes, Artrobacter, Acinetobacter,
Nocordia,
Achromobacter,
Bacillus,
Flavabacterium, dan Pseudomonas.
Penelitian dengan teknik landfarming ini
menggunakan bakteri konsorsium untuk
mendegradasi limbah minyak. Menurut
Prescott (2003), seluruh mikroorganisme
berada di alam membentuk populasi atau
merupakan
kumpulan
dari
sejumlah
organisme yang sejenis hingga membentuk
suatu komunitas dari sejumlah populasi yang
berbeda. Mikroorganisme dapat berasosiasi
dengan organisme lain secara fisik melalui
dua mekanisme, yaitu keberadaan suatu
organisme yang umumnya memiliki ukuran
lebih kecil pada permukaan organisme lainnya
yang umumnya berukuran lebih besar.
Simbiosis pada skala mikrob dikenal pula
dengan istilah konsorsium. Istilah konsorsium
dapat digunakan untuk mendeskripsikan suatu
interaksi fisik di antara mikrob. Pada
mekanisme
konsorsium,
tidak
selalu
menghasilkan pertukaran informasi di antara
mikrob tersebut. Secara umum, konsorsium
diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu
konsorsium yang sifatnya positif (mutualisme,
sintrofisme,
protokooperasi,
dan
komensalisme)
dan
negatif
(predasi,
parasitisme, amensalisme, dan kompetisi).
Hari dan Putra (2008) menerangkan bahwa
bioremediasi dapat memanfaatkan aktivitas
metabolisme konsorsium bakteri agen
bioremediasi yang terdiri atas bakteri
nitrifikasi, denitrifikasi, dan fotosintetik
anoksigenik. Pada teknologi bioremediasi ini
bakteri nitrifikasi akan mendegradasi amonia
menjadi nitrit dan nitrat, bakteri denitrifikasi
akan mendegradasi nitrat atau nitrit menjadi
gas nitrogen, sedangkan bakteri fotosintetik
anoksigenik akan mendegradasi senyawa
hidrogen sulfida menjadi unsur sulfur.
Sathiskumar et al. (2008), melaporkan
bahwa konsorsium bakteri yang mengandung
sejumlah mikroorganisme yang mensintesis
enzim pendegradasi telah dipertimbangkan
cocok untuk mendegradasi hidrokarbon
aromatik. Mikroorganisme tersebut tidak
terlibat secara langsung dalam proses
degradasi,
tetapi
berperan
dalam
memproduksi mikronutrien atau surfaktan
untuk melarutkan hidrokarbon aromatik
tersebut. Biodegradasi yang diakibatkan oleh
campuran
mikrob
ini
lebih
efektif
dibandingkan dengan yang diakibatkan oleh
kultur alami, yang paling utama karena
kompleksitas produk minyaknya. Berbagai
organisme
memiliki
kemampuan
mendegradasi
berbagai
bentuk
dari
hidrokarbon dan ketika konsorsium bakteri ini
diaplikasikan untuk mendegradasi berbagai
bentuk dari hidrokarbon seperti minyak
mentah, hasil total degradasinya lebih efektif.
Produksi Gas Selama Proses Biodegradasi
Selama
proses
biodegradasi,
akan
dihasilkan gas-gas yang sebagian merupakan
indikasi adanya proses biodegradasi. Menurut
Wahyuni et al. (2003), materi organik yang
mengandung karbon (C), nitrogen (N), dan
sulfur (S) pada proses dekomposisi akan
menghasilkan materi anorganik baik di
lingkungan aerobik maupun anaerobik. C
organik pada lingkungan aerobik akan
terdekomposisi menjadi CO2 dan pada
lingkungan anaerobik akan menjadi CH4. N
organik
pada
lingkungan
aerobik
terdekomposisi menjadi NO3- dan pada
lingkungan anaerobik menjadi NH3. S organik
pada lingkungan aerobik terdekomposisi
menjadi SO4-2 dan pada lingkungan anaerobik
menjadi H2S.
Sumarsih (2003) juga menyatakan bahwa
karbon didaur secara aktif antara CO2
anorganik dan macam-macam bahan organik
penyusun sel hidup. Metabolisme ototrof
jasad
fotosintetik
dan
kemolitotrof
menghasilkan produksi primer dari perubahan
CO2
anorganik
menjadi
C-organik.
Metabolisme respirasi dan fermentasi mikrob
heterotrof mengembalikan CO2 anorganik ke
atmosfer. Proses perubahan dari C-organik
menjadi anorganik pada dasarnya adalah
upaya mikrob dan jasad lain untuk
memperoleh energi.
Selama proses penguraian, mikrob akan
mengasimilasi sebagian C, N, P, S, dan unsur
lain untuk sintesis sel, jumlahnya berkisar 1070% bergantung pada sifat-sifat tanah dan
jenis-jenis mikrob yang aktif. Setiap 10 bagian
C diperlukan 1 bagian N (nisbah C/N=10)
untuk membentuk plasma sel. Hasil
perombakan mikrob proses aerobik meliputi
CO2, NH4, NO3, SO4, dan H2PO4. Pada proses
anaerobik dihasilkan asam-asam organik,
CH4, CO2, NH3, H2S, dan zat-zat lain yang
5
berupa senyawa tidak teroksidasi sempurna,
serta akan terbentuk biomassa tanah yang baru
maupun humus sebagai hasil dekomposisi
yang relatif stabil. Secara total, reaksi yang
terjadi adalah sebagai berikut:
(CH2O)x + O2 CO2 + H2O + hasil antara +
nutrien+ humus + sel + energi.
Baptista et al. (2005) menerangkan bahwa
adanya produksi CO2 merupakan penunjuk
dari
adanya
tingkat
respirasi
pada
mikroorganisme, yang diproduksi selama
proses bioremediasi. Peningkatan kelarutan
CO2 pada air dalam tanah menunjukkan
adanya proses biodegradasi. Degradasi pada
total
petroleum
hydrocarbon
(TPH)
berhubungan dengan respirasi mikrob dan
hasilnya ditunjukkan dengan terbentuknya gas
CO2 ini. Eris (2006) juga pernah melakukan
pengamatan terhadap pembentukan gas yang
dihasilkan pada proses biodegradasi, tetapi
dengan menggunakan teknik bioremediasi
slurry bioreaktor. Gas yang berhasil diamati
adalah CH4, CO, dan CO2. Penelitian Ramos
et al. (2009) menyebutkan bahwa dalam
proses biodegradasi dari tanah yang
terkontaminasi hidrokarbon juga dihasilkan
gas yang mengandung N anorganik seperti
amonia dan NO2, dan hal ini juga merupakan
suatu indikasi adanya proses biodegradasi.
Adanya penambahan nutrien seperti kompos
dan pupuk akan meningkatkan keluaran gas
yang dihasilkan.
Pengambilan sampel gas dilakukan
menggunakan suatu alat yang disebut
impinger. Teknik pengumpulan gas dengan
menggunakan peralatan impinger ini termasuk
pada
teknik
absorpsi,
yaitu
teknik
pengumpulan gas berdasarkan kemampuan
gas terabsorpsi atau bereaksi dengan larutan
pereaksi spesifik (larutan absorben). Pereaksi
kimia yang digunakan harus spesifik artinya
hanya dapat bereaksi dengan gas pencemar
tertentu yang akan di analisis. Efisiensi
pengumpulannya sangat dipengaruhi oleh
karakteristik dari gas, yaitu kemampuan
absorpsi zat pencemar pada larutan spesifik,
waktu kontak antara gas pereaksi spesifik, dan
luas permukaan bidang kontak atau ukuran
gelembung. Untuk melakukan pengumpulan
gas pencemar tersebut diperlukan alat
absorber, salah satunya ialah alat impinger
(Gambar 2). Dalam melakukan pengumpulan
gas pencemar dengan metode ini perlu
diperhatikan efisiensi pengumpulan gas
pencemar. Hal-hal yang harus diperhatikan
tersebut adalah dengan menggunakan alat
impinger, pereaksi kimia, waktu pencuplikan,
dan laju aliran yang sesuai dengan prosedur
standar yang ditetapkan (Harianti 2008).
→
Gambar 2 Peralatan pencuplikan gas.
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan adalah
HOW yang diperoleh dari ladang minyak
Duri, kompos, tanah liat yang didapat dari
Duri, konsorsium bakteri yang sudah dibuat
terlebih dahulu yang berasal dari kotoran sapi
dan kuda dari Fakultas Peternakan, larutan
penyerap TCM.
Alat-alat yang digunakan adalah peralatan
pencuplikan gas, botol film, flow meter, dan
spektrofotometer UV-VIS 1700 Shimadzu.
Metode Penelitian
Persiapan Sampel
Persiapan sampel meliputi beberapa
kegiatan, yaitu pengumpulan bahan baku,
penggilingan, dan pengeringan. Bahan baku
HOW (diperoleh dari ladang minyak Duri,
Riau), tanah liat, kompos, dan konsorsium
bakteri. Sampel digiling terlebih dahulu dan
tanah liat dikeringkan supaya mudah untuk
dihaluskan.
Sampel diberi perlakuan yang berbeda,
yang terdiri atas sampel (HOW), tanah liat,
dan kompos dengan nisbah yang berbeda-beda
dengan bobot keseluruhan 10 kg. Komposisi
perlakuan sampel seperti yang ditunjukkan
pada Tabel 1. Setiap perlakuan ada 2 buah
wadah
yang
diperlakukan
secara
bioaugmentasi dengan penambahan suspensi
bakteri ± 200 mL dan 1 buah wadah sebagai
kontrol yang diperlakukan secara biostimulasi.
5
berupa senyawa tidak teroksidasi sempurna,
serta akan terbentuk biomassa tanah yang baru
maupun humus sebagai hasil dekomposisi
yang relatif stabil. Secara total, reaksi yang
terjadi adalah sebagai berikut:
(CH2O)x + O2 CO2 + H2O + hasil antara +
nutrien+ humus + sel + energi.
Baptista et al. (2005) menerangkan bahwa
adanya produksi CO2 merupakan penunjuk
dari
adanya
tingkat
respirasi
pada
mikroorganisme, yang diproduksi selama
proses bioremediasi. Peningkatan kelarutan
CO2 pada air dalam tanah menunjukkan
adanya proses biodegradasi. Degradasi pada
total
petroleum
hydrocarbon
(TPH)
berhubungan dengan respirasi mikrob dan
hasilnya ditunjukkan dengan terbentuknya gas
CO2 ini. Eris (2006) juga pernah melakukan
pengamatan terhadap pembentukan gas yang
dihasilkan pada proses biodegradasi, tetapi
dengan menggunakan teknik bioremediasi
slurry bioreaktor. Gas yang berhasil diamati
adalah CH4, CO, dan CO2. Penelitian Ramos
et al. (2009) menyebutkan bahwa dalam
proses biodegradasi dari tanah yang
terkontaminasi hidrokarbon juga dihasilkan
gas yang mengandung N anorganik seperti
amonia dan NO2, dan hal ini juga merupakan
suatu indikasi adanya proses biodegradasi.
Adanya penambahan nutrien seperti kompos
dan pupuk akan meningkatkan keluaran gas
yang dihasilkan.
Pengambilan sampel gas dilakukan
menggunakan suatu alat yang disebut
impinger. Teknik pengumpulan gas dengan
menggunakan peralatan impinger ini termasuk
pada
teknik
absorpsi,
yaitu
teknik
pengumpulan gas berdasarkan kemampuan
gas terabsorpsi atau bereaksi dengan larutan
pereaksi spesifik (larutan absorben). Pereaksi
kimia yang digunakan harus spesifik artinya
hanya dapat bereaksi dengan gas pencemar
tertentu yang akan di analisis. Efisiensi
pengumpulannya sangat dipengaruhi oleh
karakteristik dari gas, yaitu kemampuan
absorpsi zat pencemar pada larutan spesifik,
waktu kontak antara gas pereaksi spesifik, dan
luas permukaan bidang kontak atau ukuran
gelembung. Untuk melakukan pengumpulan
gas pencemar tersebut diperlukan alat
absorber, salah satunya ialah alat impinger
(Gambar 2). Dalam melakukan pengumpulan
gas pencemar dengan metode ini perlu
diperhatikan efisiensi pengumpulan gas
pencemar. Hal-hal yang harus diperhatikan
tersebut adalah dengan menggunakan alat
impinger, pereaksi kimia, waktu pencuplikan,
dan laju aliran yang sesuai dengan prosedur
standar yang ditetapkan (Harianti 2008).
→
Gambar 2 Peralatan pencuplikan gas.
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan adalah
HOW yang diperoleh dari ladang minyak
Duri, kompos, tanah liat yang didapat dari
Duri, konsorsium bakteri yang sudah dibuat
terlebih dahulu yang berasal dari kotoran sapi
dan kuda dari Fakultas Peternakan, larutan
penyerap TCM.
Alat-alat yang digunakan adalah peralatan
pencuplikan gas, botol film, flow meter, dan
spektrofotometer UV-VIS 1700 Shimadzu.
Metode Penelitian
Persiapan Sampel
Persiapan sampel meliputi beberapa
kegiatan, yaitu pengumpulan bahan baku,
penggilingan, dan pengeringan. Bahan baku
HOW (diperoleh dari ladang minyak Duri,
Riau), tanah liat, kompos, dan konsorsium
bakteri. Sampel digiling terlebih dahulu dan
tanah liat dikeringkan supaya mudah untuk
dihaluskan.
Sampel diberi perlakuan yang berbeda,
yang terdiri atas sampel (HOW), tanah liat,
dan kompos dengan nisbah yang berbeda-beda
dengan bobot keseluruhan 10 kg. Komposisi
perlakuan sampel seperti yang ditunjukkan
pada Tabel 1. Setiap perlakuan ada 2 buah
wadah
yang
diperlakukan
secara
bioaugmentasi dengan penambahan suspensi
bakteri ± 200 mL dan 1 buah wadah sebagai
kontrol yang diperlakukan secara biostimulasi.
6
Tabel 1 Komposisi nisbah perlakuan sampel
Kode
A0
A11
A12
B0
B11
B12
C0
C11
C12
D0
D11
D12
Komposisi (kg)
Tanah
HOW
Kompos
Liat
10
0
0
10
0
0
10
0
0
5
0
5
5
0
5
5
0
5
5
5
0
5
5
0
5
5
0
5
2,5
2,5
5
2,5
2,5
5
2,5
2,5
!!!
Keterangan
Biostimulasi
Bioaugmentasi
Bioaugmentasi
Biostimulasi
Bioaugmentasi
Bioaugmentasi
Biostimulasi
Bioaugmentasi
Bioaugmentasi
Biostimulasi
Bioaugmentasi
Bioaugmentasi
Pencuplikan Gas
Peralatan pencuplikan disiapkan, tabung
impinger diisi dengan larutan penjerapnya
masing-masing sebanyak 10 mL. Laju alirnya
ditentukan dengan alat flow meter sebesar 0,2
L/menit. Pencuplikan dilakukan selama 1 jam,
dan setelah itu larutan penjerap yang telah
berisi gas dimasukkan ke dalam botol film,
lalu impinger dibilas dengan akuades.
Prosedur pengambilan gas seperti ditunjukkan
pada Gambar 3.
Keterangan:
A = mL HCl yang terpakai (blangko)
B = mL HCl yang terpakai (sampel)
V = Volume dalam liter [Laju alir x t (menit)]
= mg sampel yang didapat
Analisis Gas H2S (Modifikasi Eaton et al.
2005 dan Lodge 1989)
Gas H2S ditentukan dengan metode biru
metilena yang spesifik untuk sulfida pada
konsentrasi yang rendah. Prinsip dari metode
ini adalah mereaksikan gas H2S dengan pdimetilaminoanilina dan besi(III) dalam
suasana asam kuat sehingga membentuk
senyawa biru metilena yang akan diukur
serapannya dengan spektrofotometer pada
670 nm.
Larutan standar Na2S yang telah
distandardisasi dipipet ke dalam labu takar 25
mL masing-masing 0; 0,05; 0,1; 0,2; 0,3; 0,4;
0,8; 1; 2 mL, lalu ditambahkan larutan diamin
sebanyak 1 mL dan larutan feri klorida 25%
sebanyak 1,5 mL kemudian ditambahkan
larutan penjerap H2S sebanyak 10 mL, dan
ditepatkan
dengan
akuades.
Sampel
dimasukkan ke dalam labu takar 25 mL,
ditambahkan larutan diamin sebanyak 1 mL
dan larutan ferri klorida 25% sebanyak 1,5
mL, ditepatkan dengan akuades. Standar dan
sampel dibiarkan selama 15-30 menit
kemudian dibaca serapannya pada 670 nm
dengan spektrofotometer UV-Vis.
" #
$ %
!!!
Keterangan:
V = Volume dalam liter [Laju alir x t (menit)]
$ % = µg sampel yang didapat dari kurva
kalibrasi
Gambar 3 Pencuplikan gas.
Analisis Gas CO2 (Eaton et al. 2005)
Sampel yang berupa larutan penjerap
berisi gas dimasukkan ke dalam erlenmeyer
dan ditambahkan indikator PP, kemudian
dititrasi dengan HCl 0,025 N yang telah
distandardisasi terlebih dahulu. Larutan
penjerap CO2 dipipet sebanyak 10 mL ke
dalam erlenmeyer dan ditambahkan indikator
PP, kemudian dititrasi dengan HCl 0,025 N.
Larutan penjerap CO2 ini digunakan sebagai
blangko.
Analisis Gas NH3 (Lodge 1989)
Gas NH3 ditentukan dengan metode
indofenol, prinsipnya ialah mereaksikan gas
NH3 dengan senyawa fenol dan alkalin sitrat
yang akan memproduksi senyawa kompleks
biru indofenol yang akan diukur serapannya
dengan spektrofotometer pada
635,5 nm.
Deret standar dibuat dengan memipet
sebanyak 0; 0,05; 0,1; 0,2; 0,3; 0,4; 0,8; 1; 2
mL larutan induk standar dengan konsentrasi
2 mg/L ke dalam labu takar 25 mL. Larutan
penjerap NH3 ditambahkan sebanyak 5 mL,
natrium fenolat sebanyak 1 mL, larutan
nitroprussida sebanyak 1 mL dan larutan
pengoksidasi sebanyak 2,5 mL kemudian
7
ditepatkan
dengan
akuades.
Sampel
dimasukkan ke dalam labu takar 25 mL dan
diperlakukan sama seperti standar. Larutan
standar dan sampel dibiarkan selama 1 jam
dan dibaca nilai serapannya pada 635,5 nm.
&
'$(
!!!
Keterangan:
V = Volume dalam liter [Laju alir x t (menit)]
'$( = µg sampel yang didapat dari kurva
kalibrasi
Analisis Gas NO2 (Lodge 1989)
Gas NO2 yang dihasilkan dianalisis dengan
metode Griess-Saltzman. Prinsip dari metode
ini adalah reaksi diazotisasi asam sulfanilat
oleh nitrit dan reaksi kopling dengan naftilamina yang akan membentuk warna
merah yang akan diukur serapannya dengan
spektrofotometer pada 550 nm.
Larutan standar 1 mg/L dipipet ke dalam
labu takar 25 mL masing-masing sebanyak 0;
0,05; 0,1; 0,15; 0,2; 0,25; 0,3; 0,4; 0,5 mL
kemudian ditambahkan larutan penjerap NO2
sebanyak 10 mL dan ditepatkan dengan air
bebas ion. Sampel dimasukkan ke dalam labu
takar 25 mL kemudian ditepatkan dengan air
bebas ion. Standar dan sampel kemudian
dikocok lalu disimpan selama 15-30 menit
untuk kemudian dibaca serapannya pada 550
nm.
&
'
!!!
Keterangan:
V = Volume dalam liter [Laju alir x t (menit)]
= µg sampel yang didapat dari kurva
'
kalibrasi
Analisis Gas SO2 (Lodge 1989)
Gas SO2 yang dihasilkan, dianalisis
dengan metode Pararosanilin. Prinsipnya
adalah
akan
terbentuk
kompleks
monoklorosulfonatomerkurat ketika terjadi
oksidasi oleh oksigen di udara. EDTA akan
mengkompleks
logam
berat
yang
mengkatalisis oksidasi pada SO2 yang
dikumpulkan. Serapannya diukur dengan
spektrofotometer pada 540 nm.
Dibuat kurva standar dari larutan standar
yang telah distandardisasi dengan memipetnya
ke dalam labu takar 25 mL sebanyak 0; 0,05;
0,1; 0,2; 0,3; 0,4; 0,8; 1; 2 mL kemudian
ditambahkan larutan penjerap SO2 sebanyak
10 mL, asam sulfamat 0,6% sebanyak 1 mL,
dibiarkan dulu selama 5 menit, lalu
ditambahkan larutan formaldehida 0,2%
sebanyak 2 mL dan larutan pararosanilin
sebanyak 1 mL, ditepatkan dengan akuades.
Sampel dimasukkan ke dalam labu takar 25
mL dan diperlakukan seperti standar. Sampel
dan standar dibiarkan selama 15-30 menit dan
dibaca serapannya pada 540 nm.
"
%
!!!
Keterangan:
V = Volume dalam liter [Laju alir x t (menit)]
= µg sampel yang didapat dari kurva
%
kalibrasi
HASIL DAN PEMBAHASAN
Produksi Gas CO2
Pembentukan gas CO2 disebabkan
terjadinya
proses aerobik di
dalam
biodegradasi limbah tanah yang tercemar
minyak bumi ini. Proses ini terutama
dilakukan oleh bakteri aerobik. Berdasarkan
penelitian Eris (2006), terbentuknya gas CO2
ini merupakan akibat adanya aktivitas bakteri
dalam mendegradasi hidrokarbon. Secara
umum dapat diketahui bahwa produksi gas
CO2 mengalami naik turun. Grafik yang
dihasilkan secara umum berbentuk sinusoidal.
Hasilnya secara keseluruhan disajikan pada
Lampiran 5.
Perlakuan A0 merupakan HOW tanpa
dicampur dengan bahan lainnya, maupun
penambahan
bakteri,
jadi
hanya
mengandalkan bakteri indigenus yang berasal
dari HOW itu sendiri. Gas CO2 yang
dihasilkan pada perlakuan A0, mengalami naik
turun, seperti ditunjukkan pada Gambar 4.
Rerata gas CO2 yang dihasilkan pada
perlakuan ini, yaitu sebesar 160,8 mg/m3.
Adanya gas CO2 ini berhubungan dengan
respirasi dari bakteri yang mendegradasi.
Rerata gas yang dihasilkan pada perlakuan ini
termasuk kecil. Hal ini bisa diakibatkan
karena proses degradasi ini terjadi pada HOW
murni yang tidak dicampur dengan bahan
pengencer yang lainnya. Hal ini pernah
diungkapkan oleh Ramos et al. (2009), yang
menerangkan bahwa adanya produksi gas
pada tanah tercemar hidrokarbon yang tidak
dicampur dengan bahan pelarut yang lainnya
dan mengandung polyaromatic hydrocarbon
(PAH), tidak dihasilkan gas yang mengalami
peningkatan secara signifikan.
7
ditepatkan
dengan
akuades.
Sampel
dimasukkan ke dalam labu takar 25 mL dan
diperlakukan sama seperti standar. Larutan
standar dan sampel dibiarkan selama 1 jam
dan dibaca nilai serapannya pada 635,5 nm.
&
'$(
!!!
Keterangan:
V = Volume dalam liter [Laju alir x t (menit)]
'$( = µg sampel yang didapat dari kurva
kalibrasi
Analisis Gas NO2 (Lodge 1989)
Gas NO2 yang dihasilkan dianalisis dengan
metode Griess-Saltzman. Prinsip dari metode
ini adalah reaksi diazotisasi asam sulfanilat
oleh nitrit dan reaksi kopling dengan naftilamina yang akan membentuk warna
merah yang akan diukur serapannya dengan
spektrofotometer pada 550 nm.
Larutan standar 1 mg/L dipipet ke dalam
labu takar 25 mL masing-masing sebanyak 0;
0,05; 0,1; 0,15; 0,2; 0,25; 0,3; 0,4; 0,5 mL
kemudian ditambahkan larutan penjerap NO2
sebanyak 10 mL dan ditepatkan dengan air
bebas ion. Sampel dimasukkan ke dalam labu
takar 25 mL kemudian ditepatkan dengan air
bebas ion. Standar dan sampel kemudian
dikocok lalu disimpan selama 15-30 menit
untuk kemudian dibaca serapannya pada 550
nm.
&
'
!!!
Keterangan:
V = Volume dalam liter [Laju alir x t (menit)]
= µg sampel yang didapat dari kurva
'
kalibrasi
Analisis Gas SO2 (Lodge 1989)
Gas SO2 yang dihasilkan, dianalisis
dengan metode Pararosanilin. Prinsipnya
adalah
akan
terbentuk
kompleks
monoklorosulfonatomerkurat ketika terjadi
oksidasi oleh oksigen di udara. EDTA akan
mengkompleks
logam
berat
yang
mengkatalisis oksidasi pada SO2 yang
dikumpulkan. Serapannya diukur dengan
spektrofotometer pada 540 nm.
Dibuat kurva standar dari larutan standar
yang telah distandardisasi dengan memipetnya
ke dalam labu takar 25 mL sebanyak 0; 0,05;
0,1; 0,2; 0,3; 0,4; 0,8; 1; 2 mL kemudian
ditambahkan larutan penjerap SO2 sebanyak
10 mL, asam sulfamat 0,6% sebanyak 1 mL,
dibiarkan dulu selama 5 menit, lalu
ditambahkan larutan formaldehida 0,2%
sebanyak 2 mL dan larutan pararosanilin
sebanyak 1 mL, ditepatkan dengan akuades.
Sampel dimasukkan ke dalam labu takar 25
mL dan diperlakukan seperti standar. Sampel
dan standar dibiarkan selama 15-30 menit dan
dibaca serapannya pada 540 nm.
"
%
!!!
Keterangan:
V = Volume dalam liter [Laju alir x t (menit)]
= µg sampel yang didapat dari kurva
%
kalibrasi
HASIL DAN PEMBAHASAN
Produksi Gas CO2
Pembentukan gas CO2 disebabkan
terjadinya
proses aerobik di
dalam
biodegradasi limbah tanah yang tercemar
minyak bumi ini. Proses ini terutama
dilakukan oleh bakteri aerobik. Berdasarkan
penelitian Eris (2006), terbentuknya gas CO2
ini merupakan akibat adanya aktivitas bakteri
dalam mendegradasi hidrokarbon. Secara
umum dapat diketahui bahwa produksi gas
CO2 mengalami naik turun. Grafik yang
dihasilkan secara umum berbentuk sinusoidal.
Hasilnya secara keseluruhan disajikan pada
Lampiran 5.
Perlakuan A0 merupakan HOW tanpa
dicampur dengan bahan lainnya, maupun
penambahan
bakteri,
jadi
hanya
mengandalkan bakteri indigenus yang berasal
dari HOW itu sendiri. Gas CO2 yang
dihasilkan pada perlakuan A0, mengalami naik
turun, seperti ditunjukkan pada Gambar 4.
Rerata gas CO2 yang dihasilkan pada
perlakuan ini, yaitu sebesar 160,8 mg/m3.
Adanya gas CO2 ini berhubungan dengan
respirasi dari bakteri yang mendegradasi.
Rerata gas yang dihasilkan pada perlakuan ini
termasuk kecil. Hal ini bisa diakibatkan
karena proses degradasi ini terjadi pada HOW
murni yang tidak dicampur dengan bahan
pengencer yang lainnya. Hal ini pernah
diungkapkan oleh Ramos et al. (2009), yang
menerangkan bahwa adanya produksi gas
pada tanah tercemar hidrokarbon yang tidak
dicampur dengan bahan pelarut yang lainnya
dan mengandung polyaromatic hydrocarbon
(PAH), tidak dihasilkan gas yang mengalami
peningkatan secara signifikan.
400
500
300
400
CO2 (mg/m3)
CO2 (mg/m3)
8
200
100
0
0
2
4
4
6 8 10 12 14 16
Minggu
Perlakuan B1 merupakan campuran HOW
dengan kompos yang ditambah konsorsium
bakteri. Berdasarkan grafik dapat dilihat
bahwa rerata gas CO2 yang dihasilkan
memiliki nilai paling tinggi dibandingkan
perlakuan yang lainnya yaitu sebesar 244,5
mg/m3, grafiknya disajikan pada Gambar 7.
Tingginya produksi gas ini dapat disebabkan
oleh adanya penambahan kompos. Di dalam
kompos selain terdapat nutrien, juga terdapat
bakteri yang dapat menambah populasi
mikroorganisme di dalam limbah yang
didegradasi tersebut.
200
500
100
0
0
A1
2
Maks.
Rerata
B0
Rataan
Min.
Max.
Gambar 6 Produksi gas CO2 perlakuan
biostimulasi B0.
2
4
6 8 10 12 14 16
Minggu
Rerata
Rataan
Min.
Maks.
Max.
Gambar 5 Produksi gas CO2 perlakuan
bioaugmentasi A1.
Perlakuan B0 merupakan campuran HOW
dengan kompos. Adanya penambahan kompos
dapat meningkatkan populasi mikrob yang ada
di dalam tanah tersebut. Rerata gas yang
dihasilkan cukup tinggi, yaitu sebesar 190,7
mg/m3, grafiknya terdapat pada Gambar 6.
Adanya kompos ini bisa menjadi faktor yang
sangat mendukung untuk berlangsungnya
proses degradasi oleh bakteri, karena pada
kompos terdapat nutrien yang dapat dijadikan
sumber makanan bagi mikroorganisme.
CO2 (mg/m3)
CO2 (mg/m3)
300
100
0
Rerata
Maks.
A0
Rataan
Min.
Max.
Gambar 4 Produksi gas CO2 perlakuan
biostimulasi A0.
400
200
0
6 8 10 12 14 16
Minggu
Perlakuan A1 terdiri atas HOW tanpa
dicampur dengan bahan lainnya, tetapi
ditambahkan konsorsium bakteri, yang disebut
dengan bioaugmentasi. Gas yang dihasilkan
pada perlakuan ini juga mengalami fluktuasi
seperti pada perlakuan biostimulasi (Gambar
5). Rerata gas yang dihasilkan pada perlakuan
A1 ini lebih kecil dibandingkan dengan
perlakuan A0, yaitu sebesar 151,5 mg/m3.
Rerata gas yang kecil ini dapat terjadi karena
proses degradasi ini terjadi pada HOW murni.
300
400
300
200
100
0
0
B1
2
4
6 8 10 12 14 16
Minggu
Rerata
Rataan
Min.
Maks.
Max.
Gambar 7 Produksi gas CO2 perlakuan
bioaugmentasi B1.
Perlakuan C0 merupakan campuran HOW
dengan tanah liat. Adanya tanah liat ini
merupakan bahan untuk mengencerkan HOW.
Rerata gas yang dihasilkan cukup tinggi, yaitu
sebesar 180,2 mg/m3. Hal ini dapat terjadi
karena HOW yang telah diencerkan dengan
tanah liat, sehingga limbahnya tidak terlalu
pekat seperti semula. Grafik produksi gasnya
terdapat pada Gambar 8.
500
350
300
250
200
150
100
50
0
CO2 (mg/m3)
CO2 (mg/m3)
9
300
200
100
0
0
2
4
6 8 10 12 14 16
Minggu
Rerata
Rataan
C0
Min.
0
8 10 12 14 16
Minggu
Rerata
Maks.
D0
Rataan
Min.
Max.
Gambar 10 Produksi gas CO2 perlakuan
biostimulasi D0.
Maks.
Max.
Gambar 8 Produksi gas CO2 perlakuan
biostimulasi C0.
Perlakuan C1 terdiri atas HOW yang
dicampur dengan tanah liat dan ditambahkan
bakteri konsorsium. Rerata gas yang
dihasilkan lebih kecil jika dibandingkan
dengan perlakuan C0, yaitu sebesar 165,9
mg/m3. Produksi gas yang tidak terlalu tinggi
pada perlakuan C dapat dimungkinkan karena
tanah liat memiliki tingkat porositas yang
lebih kecil dibandingkan dengan kompos,
sehingga penyebaran nutrien tidak dapat
terjadi secara mudah. Grafik produksi gas
ditunjukkan pada Gambar 9.
300
200
100
0
0
C1
2
4
6 8 10 12 14 16
Minggu
Rerata
Rataan
Min.
Maks.
Max.
Gambar 9 Produksi gas CO2 perlakuan
bioaugmentasi C1.
Produksi gas pada perlakuan D0 cukup
tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang
lainnya jika dilihat dari reratanya, yaitu
sebesar 216,5 mg/m3. Perlakuan D0 terdiri atas
campuran HOW, tanah liat, dan kompos
dengan nisbah HOW dan campurannya adalah
1:1. Produksi gas yang cukup tinggi ini
kemungkinan dihasilkan karena HOW diberi
perlakuan dengan pengenceran oleh tanah liat,
kemudian adanya penambahan kompos yang
dapat membantu proses degradasi. Grafik
produksi gasnya terdapat pada Gambar 10.
2
4
6
Perlakuan D1 terdiri atas campuran HOW,
tanah liat, dan kompos, dengan penambahan
bakteri konsorsium. Rerata gas yang
dihasilkan lebih tinggi dibandingkan dengan
perlakuan D0, yaitu sebesar 228,9 mg/m3. Hal
ini karena pada perlakuan D1 adanya
penambahan bakteri, jadi menghasilkan gas
CO2 lebih banyak dibandingkan perlakuan D0.
Grafiknya seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 11.
CO2 (mg/m3)
400
CO2 (mg/m3)
400
400
350
300
250
200
150
100
50
0
0
2
4
6 8 10 12 14 16
Minggu
Maks.
Rerata
D1
Rataan
Min.
Max.
Gambar 11 Produksi gas CO2 perlakuan
bioaugmentasi D1.
Dari keseluruhan data yang didapatkan,
produksi gas CO2 yang paling tinggi terdapat
pada perlakuan B secara bioaugmentasi.
Baptista et al. (2005) menerangkan bahwa
adanya produksi CO2 merupakan penunjuk
dari
adanya
tingkat
respirasi
pada
mikroorganisme, yang diproduksi selama
proses bioremediasi. Kao dan Wang (2000)
juga
mengungkapkan
demikian
dan
menerangkan bahwa gas CO2 merupakan hasil
dari semua proses bioremediasi intrinsik.
Tingginya produksi gas yang dihasilkan bisa
menjadi petunjuk bahwa proses bioremediasi
intrinsik ini berlangsung. Peningkatan
kelarutan CO2 pada air dalam tanah
menunjukkan adanya proses biodegradasi.
10
μg/m3. Produksi gas yang cukup tinggi dapat
menandakan bahwa pada HOW yang
didegradasi mengandung jumlah N yang
cukup tinggi. Gambar 13 menunjukkan grafik
dari produksi gas yang dihasilkan untuk gas
NH3 ini.
NH3 ( g/m3)
300
250
200
150
100
50
0
0
500
400
300
200
100
0
2
A0
4
Rataan
Rerata
6
8 10 12 14 16
Minggu
Maks.
Min.
Max.
Gambar 13 Produksi gas NH3 perlakuan
biostimulasi A0.
0
2
4
6 8 10 12 14 16
Minggu
A0pola perlakuan
B1
Gambar 12 Kemiripan
secara grafis.
Produksi Gas NH3
Gas NH3 dihasilkan dari adanya proses
degradasi hidrokarbon yang mengandung
gugus N, karena seperti yang diketahui bahwa
minyak bumi tidak hanya mengandung unsur
karbon dan hidrogen, tetapi juga mengandung
unsur
nitrogen
sekitar
0,11–1,70%.
Terdeteksinya gas NH3 ini menunjukkan
bahwa terjadi proses anaerobik pada proses
biodegradasi
tersebut.
Penelitian
ini
sebenarnya berjalan secara aerobik, akan
tetapi gas-gas yang dihasilkan melalui proses
anaerobik, seperti H2S dan NH3 ikut
terdeteksi, dan hal ini menunjukkan terjadinya
juga proses anaerobik. Diperlukan adanya
inlet oksigen yang lebih banyak untuk
menjaga
agar
proses
aerobik
tetap
berlangsung, karena oksigen juga merupakan
salah satu faktor yang mendukung proses
biodegradasi ini.
Gas NH3 yang dihasilkan mengalami
fluktuasi dan secara umum grafik yang
dihasilkan berbentuk sinusoidal seperti halnya
pada produksi gas CO2. Hasilnya secara
keseluruhan terdapat pada Lampiran 6. Pada
perlakuan A0 gas yang dihasilkan cukup tinggi
dilihat dari reratanya, yaitu sebesar 129,4
Perlakuan A1 terdiri atas komposisi yang
sama dengan A0, tetapi dengan penambahan
konsorsium bakteri. Gas yang dihasilkan pada
perlakuan ini lebih tinggi dibandingkan
dengan perlakuan A0, reratanya sebesar 155,6
μg/m3. Sama seperti pada perlakuan A0,
kemungkinan kandungan nitrogen pada
limbah HOW cukup tinggi, kemudian juga
ditambah adanya aktivitas dari bakteri, yang
menjadikan keluaran gas NH3 pada perlakuan
A1 menjadi lebih tinggi. Grafiknya disajikan
pada Gambar 14.
NH3 ( g/m3)
CO2 (mg/m3)
Degradasi pada hidrokarbon berhubungan
dengan respirasi mikrob dan hasilnya
ditunjukkan dengan terbentuknya gas CO2 ini.
Dari semua data yang didapatkan untuk
produksi gas CO2, ada beberapa perlakuan
yang memiliki kemiripan pola diihat dari
grafik yang dihasilkan, yaitu A0 dengan B1, A0
dengan D1, A1 dengan B1, dan B1 dengan C1.
Di bawah ini adalah salah satu contoh
kemiripan pola yang terdapat pada perlakuan
A0 dengan B1, seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 12. Berdasarkan gambar tersebut
dapat dilihat bahwa perlakuan A0 memiliki
pola yang sama dengan B1, dilihat dari
fluktuasi yang terjadi pada setiap minggunya
untuk setiap perlakuan.
350
300
250
200
150
100
50
0
0
A1
2
4
6 8 10 12 14 16
Minggu
Maks.
Rerata
Rataan
Min.
Max.
Gambar 14 Produksi gas NH3 perlakuan
bioaugmentasi A1.
Produksi gas pada perlakuan B0 dapat
dikatakan kecil jik
ABSTRAK
LENA ROSLINA. Produksi Gas Selama Proses Biodegradasi Heavy Oil Waste dengan
Teknik Landfarming. Dibimbing oleh CHARLENA dan MUHAMAD FARID.
Bioremediasi didefinisikan sebagai proses penguraian limbah organik atau
anorganik polutan secara biologi dalam kondisi terkendali dengan tujuan mengendalikan
dan mereduksi cemaran dari lingkungan. Pada penelitian ini, sampel yang digunakan
adalah tanah yang tercemar minyak bumi fraksi berat yang disebut dengan heavy oil
wastes (HOW). Teknik bioremediasi yang digunakan adalah bioremediasi ex-situ.
Penelitian ini bertujuan mengevaluasi produksi gas yang dihasilkan selama proses
biodegradasi limbah HOW berlangsung. Produksi gas CO2 yang memiliki rerata tertinggi
dihasilkan oleh perlakuan bioaugmentasi dengan penambahan kompos, yaitu sebesar
244,5 mg/m3. Produksi gas NH3 pada perlakuan bioaugmentasi HOW murni
menghasilkan gas NH3 paling tinggi dilihat dari reratanya, yaitu 155,6 g/m3. Perlakuan
yang menghasilkan gas NO2 paling tinggi, yaitu perlakuan bioaugmentasi dengan
penambahan kompos, sebesar 58,1 g/m3, dan untuk H2S, yaitu pada perlakuan
biostimulasi HOW murni sebesar 3337,2 g/m3. Gas SO2 bisa dikatakan hampir tidak ada
untuk semua perlakuan. Secara umum, grafik yang dihasilkan untuk setiap gas hampir
memiliki pola yang sama, yaitu sinusoidal. Dari gas yang dihasilkan ini dapat dikatakan
bahwa proses biodegradasi terhadap HOW berlangsung.
ABSTRACT
LENA ROSLINA. Gas Production During Biodegradation Process of Heavy Oil Waste
by Landfarming Technique. Supervised by CHARLENA and MUHAMAD FARID.
Bioremediation is defined as biological degradation process of organic or inorganic
wastes in a controlled condition to control and reduce their amount in the environment. In
this study, the soil which had been poluted by heavy petroleum oil fractions, i.e. heavy oil
waste (HOW), was used as sample. The bioremediation technique used in this study is an
ex-situ technique. This study was conducted to determine the amount of produced gases
during the HOW degaradation process. The highest CO2 production mean was obtained
from the bioaugmentation treatment with compost adding, i.e. 244,5 mg/m3. This
treatment also produced the highest NO2 production mean of 58,1 g/m3. While the
highest NH3 production was observed in pure HOW bioaugmentation treatment (155,6
g/m3), and H2S was produced in the highest amount in pure HOW biostimulation
treatment (3337,2 g/m3). The SO2 gas production was not obvious in all treatments.
Generally, all graphs of each gas production followed a similar sinusoidal pattern. From
these results it can be infered that the degradation process of HOW happened during the
treatments.
1
PENDAHULUAN
Pelepasan senyawa-senyawa organik dan
anorganik ke dalam lingkungan terjadi hampir
setiap tahun akibat dari aktivitas manusia. Jika
ditinjau secara kimia, maka senyawa organik
dan anorganik tersebut adalah limbah. Dalam
beberapa kasus, limbah tersebut dibuang
dengan sengaja, misalnya hasil industri, dan
dalam kasus lainnya adalah suatu kecelakaan,
misalnya tumpahan minyak. Senyawasenyawa tersebut adalah toksik dan
terakumulasi dalam lingkungan tanah dan
perairan. Kontaminasi
pada tanah,
permukaan, dan air bawah tanah merupakan
akibat adanya akumulasi yang terus menerus
dari senyawa toksik tersebut dengan jumlah
yang melewati ambang batas (Abraham
2008).
Kegiatan industri perminyakan, seperti
eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi
semakin
meningkat,
sejalan
dengan
peningkatan kebutuhan manusia terhadap
minyak bumi sebagai sumber energi. Proses
eksploitasi dari minyak bumi ini akan
menghasilkan produk berupa minyak dan gas.
Akan tetapi selain menghasilkan produk yang
bermanfaat juga dihasilkan sisa proses sebagai
limbah. Limbah minyak bumi atau produknya
juga dapat berasal dari kegiatan industri yang
umumnya terbuang ke sungai dan akan
mencemari lingkungan akuatik khususnya
laut, sedangkan limbah sisanya dapat
mencemari lingkungan lain, yaitu tanah dan
udara (Udiharto 1996). Bila dilihat dari
jenisnya, limbah minyak bumi ada beberapa
macam bergantung pada sumber minyak yang
dihasilkan. Salah satunya adalah limbah
minyak bumi yang berasal dari minyak fraksi
berat, yang terdiri atas hidrokarbon berantai
panjang yang sulit untuk didegradasi.
Pada awalnya cara penanganan limbah
minyak bumi ini adalah dengan cara dibuang
langsung ke lingkungan, karena berbagai
macam tuntutan pada zaman sekarang ini,
maka aspek lingkungan pun sangat penting
untuk diperhatikan. Salah satu penanganannya
adalah
dengan
cara
biologi,
yaitu
bioremediasi.
Bioremediasi
merupakan
alternatif
pengolahan limbah minyak bumi dengan cara
degradasi
oleh
mikroorganisme
yang
menghasilkan senyawa akhir yang stabil dan
tidak beracun. Proses degradasi ini relatif
murah, efektif, dan ramah lingkungan, namun
metode ini membutuhkan waktu yang lebih
lama dibandingkan dengan cara fisika atau
kimia. Bioremediasi mengandalkan reaksi
mikrobiologis di dalam tanah. Teknik ini
mengondisikan mikrob sedemikian rupa
sehingga
mampu
mengurai
senyawa
hidrokarbon yang terperangkap di dalam
tanah.
Pada penelitian ini, sampel yang
digunakan adalah tanah yang tercemar minyak
bumi fraksi berat yang disebut dengan heavy
oil waste (HOW). Teknik bioremediasi yang
digunakan adalah bioremediasi ex-situ karena
limbah tidak diperlakukan di tempat asalnya,
melainkan dipindahkan ke dalam suatu tempat
untuk mendapat perlakuan. Selama proses
degradasi limbah minyak bumi ini, terjadi
perubahan senyawa kimia dari yang bersifat
toksik menjadi lebih aman untuk dibuang ke
lingkungan. Dari proses biodegradasi ini,
senyawa hidrokarbon yang memiliki rantai
panjang dan bobot molekul yang tinggi
dipecah menjadi senyawa hidrokarbon dengan
bobot molekul lebih rendah. Selama proses ini
akan dihasilkan gas, yang merupakan indikasi
dari adanya proses degradasi. Oleh karena itu
perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui
gas apa saja yang dihasilkan dari adanya
proses biodegradasi ini. Eris (2006) pernah
melakukan penelitian terhadap pembentukan
gas yang dihasilkan pada proses biodegradasi
minyak diesel dengan menggunakan teknik
bioremediasi slurry bioreaktor, dan gas yang
berhasil diamati adalah CH4, CO, dan CO2.
Penelitian ini bertujuan mengevaluasi
produksi gas yang dihasilkan selama proses
biodegradasi limbah HOW berlangsung.
TINJAUAN PUSTAKA
Minyak Bumi
Minyak bumi adalah hasil proses alami
dari penguraian bahan-bahan organik berupa
hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan
suhu atmosfer berupa fase cair, padat, dan gas,
termasuk aspal, lilin mineral, atau ozokerit,
dan bitumen yang diperoleh dari proses
penambangan
(Keputusan
Menteri
Lingkungan Hidup Republik Indonesia 2003).
Berdasarkan Cookson (1995), minyak bumi
maupun produknya merupakan campuran
senyawa organik yang terdiri atas senyawa
hidrokarbon dan nonhidrokarbon. Senyawa
hidrokarbon merupakan komponen terbesar
dalam minyak bumi (lebih dari 90%)
sedangkan
sisanya
berupa
senyawa
nonhidrokarbon.
Senyawa hidrokarbon merupakan senyawa
organik yang terdiri atas karbon dan hidrogen.
1
PENDAHULUAN
Pelepasan senyawa-senyawa organik dan
anorganik ke dalam lingkungan terjadi hampir
setiap tahun akibat dari aktivitas manusia. Jika
ditinjau secara kimia, maka senyawa organik
dan anorganik tersebut adalah limbah. Dalam
beberapa kasus, limbah tersebut dibuang
dengan sengaja, misalnya hasil industri, dan
dalam kasus lainnya adalah suatu kecelakaan,
misalnya tumpahan minyak. Senyawasenyawa tersebut adalah toksik dan
terakumulasi dalam lingkungan tanah dan
perairan. Kontaminasi
pada tanah,
permukaan, dan air bawah tanah merupakan
akibat adanya akumulasi yang terus menerus
dari senyawa toksik tersebut dengan jumlah
yang melewati ambang batas (Abraham
2008).
Kegiatan industri perminyakan, seperti
eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi
semakin
meningkat,
sejalan
dengan
peningkatan kebutuhan manusia terhadap
minyak bumi sebagai sumber energi. Proses
eksploitasi dari minyak bumi ini akan
menghasilkan produk berupa minyak dan gas.
Akan tetapi selain menghasilkan produk yang
bermanfaat juga dihasilkan sisa proses sebagai
limbah. Limbah minyak bumi atau produknya
juga dapat berasal dari kegiatan industri yang
umumnya terbuang ke sungai dan akan
mencemari lingkungan akuatik khususnya
laut, sedangkan limbah sisanya dapat
mencemari lingkungan lain, yaitu tanah dan
udara (Udiharto 1996). Bila dilihat dari
jenisnya, limbah minyak bumi ada beberapa
macam bergantung pada sumber minyak yang
dihasilkan. Salah satunya adalah limbah
minyak bumi yang berasal dari minyak fraksi
berat, yang terdiri atas hidrokarbon berantai
panjang yang sulit untuk didegradasi.
Pada awalnya cara penanganan limbah
minyak bumi ini adalah dengan cara dibuang
langsung ke lingkungan, karena berbagai
macam tuntutan pada zaman sekarang ini,
maka aspek lingkungan pun sangat penting
untuk diperhatikan. Salah satu penanganannya
adalah
dengan
cara
biologi,
yaitu
bioremediasi.
Bioremediasi
merupakan
alternatif
pengolahan limbah minyak bumi dengan cara
degradasi
oleh
mikroorganisme
yang
menghasilkan senyawa akhir yang stabil dan
tidak beracun. Proses degradasi ini relatif
murah, efektif, dan ramah lingkungan, namun
metode ini membutuhkan waktu yang lebih
lama dibandingkan dengan cara fisika atau
kimia. Bioremediasi mengandalkan reaksi
mikrobiologis di dalam tanah. Teknik ini
mengondisikan mikrob sedemikian rupa
sehingga
mampu
mengurai
senyawa
hidrokarbon yang terperangkap di dalam
tanah.
Pada penelitian ini, sampel yang
digunakan adalah tanah yang tercemar minyak
bumi fraksi berat yang disebut dengan heavy
oil waste (HOW). Teknik bioremediasi yang
digunakan adalah bioremediasi ex-situ karena
limbah tidak diperlakukan di tempat asalnya,
melainkan dipindahkan ke dalam suatu tempat
untuk mendapat perlakuan. Selama proses
degradasi limbah minyak bumi ini, terjadi
perubahan senyawa kimia dari yang bersifat
toksik menjadi lebih aman untuk dibuang ke
lingkungan. Dari proses biodegradasi ini,
senyawa hidrokarbon yang memiliki rantai
panjang dan bobot molekul yang tinggi
dipecah menjadi senyawa hidrokarbon dengan
bobot molekul lebih rendah. Selama proses ini
akan dihasilkan gas, yang merupakan indikasi
dari adanya proses degradasi. Oleh karena itu
perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui
gas apa saja yang dihasilkan dari adanya
proses biodegradasi ini. Eris (2006) pernah
melakukan penelitian terhadap pembentukan
gas yang dihasilkan pada proses biodegradasi
minyak diesel dengan menggunakan teknik
bioremediasi slurry bioreaktor, dan gas yang
berhasil diamati adalah CH4, CO, dan CO2.
Penelitian ini bertujuan mengevaluasi
produksi gas yang dihasilkan selama proses
biodegradasi limbah HOW berlangsung.
TINJAUAN PUSTAKA
Minyak Bumi
Minyak bumi adalah hasil proses alami
dari penguraian bahan-bahan organik berupa
hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan
suhu atmosfer berupa fase cair, padat, dan gas,
termasuk aspal, lilin mineral, atau ozokerit,
dan bitumen yang diperoleh dari proses
penambangan
(Keputusan
Menteri
Lingkungan Hidup Republik Indonesia 2003).
Berdasarkan Cookson (1995), minyak bumi
maupun produknya merupakan campuran
senyawa organik yang terdiri atas senyawa
hidrokarbon dan nonhidrokarbon. Senyawa
hidrokarbon merupakan komponen terbesar
dalam minyak bumi (lebih dari 90%)
sedangkan
sisanya
berupa
senyawa
nonhidrokarbon.
Senyawa hidrokarbon merupakan senyawa
organik yang terdiri atas karbon dan hidrogen.
2
Senyawa-senyawa non hidrokarbon misalnya
nitrogen, belerang, oksigen, dan logam.
Produk pengolahan minyak bumi berupa gas,
bahan bakar cair bensin, kerosin, solar dan
produk lain seperti minyak bakar, minyak
pelumas, lilin parafin, dan aspal.
Heavy Oil Waste (HOW)
Limbah minyak bumi adalah sisa atau
residu yang terbentuk dari proses pengolahan
minyak mentah yang terdiri atas kontaminan
yang sudah ada di dalam minyak, maupun
kontaminan yang terkumpul dan terbentuk
dalam penanganan suatu proses, dan tidak
dapat digunakan kembali dalam proses
produksi. Pengolahan limbah minyak bumi
adalah proses untuk mengubah karakteristik
dan komposisi limbah minyak bumi untuk
menghilangkan dan atau mengurangi sifat
bahaya dan atau sifat racun (Keputusan
Menteri
Lingkungan
Hidup
Republik
Indonesia 2003).
Limbah minyak yang digunakan berasal
dari minyak fraksi berat atau disebut dengan
HOW. HOW merupakan limbah fraksi berat
minyak bumi yang berbentuk cairan sangat
kental, berwarna hitam pekat, dan tidak
mudah dialirkan. HOW memiliki viskositas
dan densitas yang lebih tinggi dibanding
minyak konvensional. Gambar dari heavy oil
seperti ditunjukkan pada Gambar 1 (Clark
2007). Menurut Chen (2006), hampir semua
minyak mentah memiliki densitas antara 30°
dan 40° yang telah ditetapkan American
Petroleum Institute (API).
Gambar 1 Heavy oil.
Heavy oil memiliki kekentalan yang tinggi.
HOW berdasarkan kekentalanya termasuk
dalam kelompok kelas B (extra heavy oil).
Heavy oil, extra-heavy oil, dan aspal
kekurangan akan hidrogen dan memiliki
kandungan karbon yang tinggi, belerang, dan
logam berat (Clark 2007).
Biodegradasi
Limbah minyak bumi dapat diolah
menjadi bahan yang bisa dibuang ke
lingkungan dengan proses biodegradasi
menggunakan mikroorganisme. Menurut
Sudrajat (1996), biodegradasi dapat diartikan
sebagai penguraian lengkap dari suatu
senyawa oleh mikroorganisme menjadi
karbondioksida, dan air. Senyawa kimia dapat
mengalami perubahan secara enzimatis dalam
proses degradasi. Enzim yang dapat
berpengaruh dalam peristiwa ini adalah enzim
oksidase
reduktase,
hidroksilase,
dekarboksilase, deaminase, dehalogenase, dan
lain sebagainya. Istilah biodegradasi ini sering
dihubungkan dengan ekologi, manajemen
limbah, dan remediasi lingkungan yang
dikenal dengan bioremediasi. Materi organik
dapat didegradasi secara aerobik dengan
oksigen atau secara anaerobik tanpa oksigen.
Tingkat biodegradasi hidrokarbon di
lingkungan
ditentukan
oleh
populasi
mikroorganisme pendegradasi hidrokarbon
yang berasal dari tanah itu sendiri,
kemampuan fisiologis dari populasi tersebut,
dan
berbagai
faktor
abiotik
yang
memengaruhi tingkat pertumbuhan dari
populasi mikrob pendegradasi hidrokarbon.
Kemampuan biodegradasi mikroorganisme
terhadap beberapa senyawa berbeda-beda
bergantung pada spesiesnya (Atlas 1991).
Stoner
(1994)
menyatakan
bahwa
hidrokarbon alifatik cenderung mudah
terdegradasi dibandingkan dengan senyawa
aromatik. Hidrokarbon alifatik rantai lurus
pada umumnya lebih mudah terdegradasi
daripada hidrokarbon rantai bercabang.
Hidrokarbon jenuh lebih mudah terdegradasi
daripada hidrokarbon tak jenuh dan
hidrokarbon rantai panjang lebih mudah
terdegradasi
daripada
rantai
pendek.
Hidrokarbon dengan panjang rantai kurang
dari sembilan karbon sukar didegradasi karena
senyawa
ini
bersifat
toksik
bagi
mikroorganisme.
Menurut Cookson (1995), n-alkana dapat
didegradasi melalui oksidasi monoterminal,
diterminal ( -oksidasi), atau subterminal.
Biodegradasi dari n-alkana pada umumnya
melalui modifikasi alkana menjadi alkohol
primer diikuti dengan oksidasi selanjutnya
menjadi aldehida dan asam monokarboksilat.
Degradasi asam karboksilat terjadi melalui oksidasi dengan pembentukan asetil koenzim
A. Asetil koenzim A didapatkan dari alkana
melalui central metabolic pathways yang akan
melepaskan CO2. Menurut Atlas dan Bartha
(1987) dalam proses biodegradasi, rantai
alkana dioksidasi membentuk alkohol,
aldehida, dan asam lemak. Setelah terbentuk
asam lemak, proses katabolisme terjadi secara
oksidasi. Rantai panjang dari asam lemak
dikonversi oleh asil koenzim A yang
merupakan enzim pembentuk asetil koenzim
3
A, dan rantai pendek asam lemak yang telah
berkurang dua unit gugus karbonnya yang
berlangsung secara berulang-ulang. Asetil
koenzim A diubah menjadi CO2 melalui siklus
asam sitrat.
Salah satu dari teknik biodegradasi adalah
bioremediasi. Bioremediasi adalah proses
pembersihan pencemaran tanah dengan
menggunakan
mikroorganisme
(jamur,
bakteri, atau enzim). Bioremediasi dapat
dikembangkan
untuk
menghilangkan
kontaminan
tanah,
seperti
degradasi
hidrokarbon oleh bakteri (PKSPL-IPB 2008).
Ada dua jenis remediasi tanah, yaitu insitu dan ex-situ. Pembersihan in-situ adalah
pembersihan
pada
lokasi
tercemar.
Pembersihan ini lebih murah dan lebih mudah,
terdiri atas pembersihan, venting (injeksi), dan
bioremediasi. Pembersihan ex-situ meliputi
penggalian tanah yang tercemar kemudian
dibawa ke daerah yang aman, lalu tanah
tersebut dibersihkan dari zat pencemar.
Caranya ialah tanah tersebut disimpan di bak
yang kedap, kemudian zat pembersih
dipompakan ke dalam bak tersebut.
Selanjutnya zat pencemar dipompakan keluar
dari bak yang kemudian diolah dengan
instalasi pengolah air limbah. Pembersihan exsitu ini jauh lebih mahal dan rumit. Dalam
penelitian ini jenis bioremediasi yang
digunakan adalah bioremediasi ex-situ dengan
perlakuan
secara
bioaugmentasi
dan
biostimulasi.
Berdasarkan CRA (2003), bioaugmentasi
dapat dilakukan dengan menambahkan kultur
mikrob untuk meningkatkan populasi mikrob
pada tempat perlakuan. Alasan rasional
penambahan
mikroorganisme
eksogen
pendegradasi hidrokarbon ialah populasi
mikroorganisme indigenus tidak mampu
mendegradasi substrat potensial yang terdapat
dalam campuran komplek seperti hidrokarbon.
Sementara biostimulasi adalah suatu teknik
dengan penambahan nutrien dan oksigen pada
tanah yang terkontaminasi untuk mendorong
pertumbuhan dan aktivitas bakteri yang ada
pada tanah tersebut.
Berdasarkan Evans dan Furlong (2003),
secara sederhana proses bioremediasi bagi
lingkungan dilakukan dengan mengaktifkan
bakteri alami pengurai minyak bumi yang ada
di dalam tanah. Bakteri ini kemudian akan
menguraikan limbah minyak bumi yang telah
dikondisikan sedemikian rupa sehingga sesuai
dengan kebutuhan hidup bakteri tersebut.
Bakteri mampu menggunakan sumber karbon
dan mendegradasi sejumlah kontaminan yang
khas sampai sejumlah besar yang biasanya
ditemukan
dalam
tanah.
Dengan
meningkatkan
dan
mengoptimumkan
kondisinya,
mikrob
dapat
melakukan
degradasi secara alami dengan lebih cepat dan
efisien.
Faktor lingkungan yang utama dalam
pelaksanaan bioremediasi adalah suhu, pH,
dan tipe tanah. Bioremediasi cenderung
mampu berjalan secara alami pada organisme
yang berasal dari tanah, juga perlakuan dapat
terjadi pada suhu 0-50 °C Bagaimanapun juga,
untuk lebih efisien, batas suhu yang ideal 2030 °C, hal ini cenderung dengan
pengoptimuman aktivitas enzim. Batas pH
ideal yang optimum, yaitu 6,5-7,5, meskipun
pada pH 5,0-9,0 juga masih dapat diterima,
bergantung pada spesies yang terlibat.
Teknik Landfarming
Ada beberapa macam metode bioremediasi
dan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah
teknik
landfarming.
Konsep
landfarming pertama kali dikembangkan dan
dilaksanakan oleh industri penyulingan
minyak Amerika Serikat sekitar tahun 1954.
Metode perlakuan secara biologi ini meliputi
aplikasi yang diamati dari banyak atau
sedikitnya akan ketersediaan limbah organik
dalam bentuk cair, semipadat, atau padat pada
permukaan tanah dan zona tanah yang
tercemar limbah (Genouw et al. 1994).
Pemilihan metode ini bergantung pada
kegunaan dan segi ekonomi dari teknologi ini
untuk pembersihan pada lahan yang spesifik.
Teknik landfarming ini membutuhkan
penggalian dan penempatan pada tumpukantumpukan. Tumpukan-tumpukan itu secara
berkala dicampur dan diatur kelembabannya.
Pengaturan pH tanah dan penambahan nutrisi
dibutuhkan untuk meningkatkan aktivitas
biologi (Poon 1996). Menurut Marin et al.
(2005), teknik landfarming merupakan
metode yang seringkali dipilih untuk tanah
yang terkontaminasi hidrokarbon karena
relatif lebih murah, dan memiliki potensi
untuk berhasil.
Mikroorganisme Pendegradasi
Hidrokarbon Minyak Bumi
Bioremediasi
menggunakan
mikroorganisme
untuk
menguraikan
atau
mendegradasi
limbah
minyak
bumi.
Mikroorganisme yang umum digunakan
dalam bioremediasi adalah bakteri, tetapi
jamur indigenus juga mempunyai peran yang
penting. Bakteri dan jamur pengurai
4
hidrokarbon banyak terdapat di tanah,
perairan laut maupun air tawar. Isolat yang
umum digunakan untuk mendegradasi
hidrokarbon
adalah
Pseudomonas,
Arthrobacter, Corynobacterium, Mycobacterium, dan Flavobacterium (Wong et al. 1997).
Penelitian Bartha dan Bossert (1984)
menjelaskan ada 22 jenis bakteri yang hidup
di lingkungan minyak bumi, isolat yang
mendominasi terdiri atas beberapa jenis, yaitu
Alcaligenes, Artrobacter, Acinetobacter,
Nocordia,
Achromobacter,
Bacillus,
Flavabacterium, dan Pseudomonas.
Penelitian dengan teknik landfarming ini
menggunakan bakteri konsorsium untuk
mendegradasi limbah minyak. Menurut
Prescott (2003), seluruh mikroorganisme
berada di alam membentuk populasi atau
merupakan
kumpulan
dari
sejumlah
organisme yang sejenis hingga membentuk
suatu komunitas dari sejumlah populasi yang
berbeda. Mikroorganisme dapat berasosiasi
dengan organisme lain secara fisik melalui
dua mekanisme, yaitu keberadaan suatu
organisme yang umumnya memiliki ukuran
lebih kecil pada permukaan organisme lainnya
yang umumnya berukuran lebih besar.
Simbiosis pada skala mikrob dikenal pula
dengan istilah konsorsium. Istilah konsorsium
dapat digunakan untuk mendeskripsikan suatu
interaksi fisik di antara mikrob. Pada
mekanisme
konsorsium,
tidak
selalu
menghasilkan pertukaran informasi di antara
mikrob tersebut. Secara umum, konsorsium
diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu
konsorsium yang sifatnya positif (mutualisme,
sintrofisme,
protokooperasi,
dan
komensalisme)
dan
negatif
(predasi,
parasitisme, amensalisme, dan kompetisi).
Hari dan Putra (2008) menerangkan bahwa
bioremediasi dapat memanfaatkan aktivitas
metabolisme konsorsium bakteri agen
bioremediasi yang terdiri atas bakteri
nitrifikasi, denitrifikasi, dan fotosintetik
anoksigenik. Pada teknologi bioremediasi ini
bakteri nitrifikasi akan mendegradasi amonia
menjadi nitrit dan nitrat, bakteri denitrifikasi
akan mendegradasi nitrat atau nitrit menjadi
gas nitrogen, sedangkan bakteri fotosintetik
anoksigenik akan mendegradasi senyawa
hidrogen sulfida menjadi unsur sulfur.
Sathiskumar et al. (2008), melaporkan
bahwa konsorsium bakteri yang mengandung
sejumlah mikroorganisme yang mensintesis
enzim pendegradasi telah dipertimbangkan
cocok untuk mendegradasi hidrokarbon
aromatik. Mikroorganisme tersebut tidak
terlibat secara langsung dalam proses
degradasi,
tetapi
berperan
dalam
memproduksi mikronutrien atau surfaktan
untuk melarutkan hidrokarbon aromatik
tersebut. Biodegradasi yang diakibatkan oleh
campuran
mikrob
ini
lebih
efektif
dibandingkan dengan yang diakibatkan oleh
kultur alami, yang paling utama karena
kompleksitas produk minyaknya. Berbagai
organisme
memiliki
kemampuan
mendegradasi
berbagai
bentuk
dari
hidrokarbon dan ketika konsorsium bakteri ini
diaplikasikan untuk mendegradasi berbagai
bentuk dari hidrokarbon seperti minyak
mentah, hasil total degradasinya lebih efektif.
Produksi Gas Selama Proses Biodegradasi
Selama
proses
biodegradasi,
akan
dihasilkan gas-gas yang sebagian merupakan
indikasi adanya proses biodegradasi. Menurut
Wahyuni et al. (2003), materi organik yang
mengandung karbon (C), nitrogen (N), dan
sulfur (S) pada proses dekomposisi akan
menghasilkan materi anorganik baik di
lingkungan aerobik maupun anaerobik. C
organik pada lingkungan aerobik akan
terdekomposisi menjadi CO2 dan pada
lingkungan anaerobik akan menjadi CH4. N
organik
pada
lingkungan
aerobik
terdekomposisi menjadi NO3- dan pada
lingkungan anaerobik menjadi NH3. S organik
pada lingkungan aerobik terdekomposisi
menjadi SO4-2 dan pada lingkungan anaerobik
menjadi H2S.
Sumarsih (2003) juga menyatakan bahwa
karbon didaur secara aktif antara CO2
anorganik dan macam-macam bahan organik
penyusun sel hidup. Metabolisme ototrof
jasad
fotosintetik
dan
kemolitotrof
menghasilkan produksi primer dari perubahan
CO2
anorganik
menjadi
C-organik.
Metabolisme respirasi dan fermentasi mikrob
heterotrof mengembalikan CO2 anorganik ke
atmosfer. Proses perubahan dari C-organik
menjadi anorganik pada dasarnya adalah
upaya mikrob dan jasad lain untuk
memperoleh energi.
Selama proses penguraian, mikrob akan
mengasimilasi sebagian C, N, P, S, dan unsur
lain untuk sintesis sel, jumlahnya berkisar 1070% bergantung pada sifat-sifat tanah dan
jenis-jenis mikrob yang aktif. Setiap 10 bagian
C diperlukan 1 bagian N (nisbah C/N=10)
untuk membentuk plasma sel. Hasil
perombakan mikrob proses aerobik meliputi
CO2, NH4, NO3, SO4, dan H2PO4. Pada proses
anaerobik dihasilkan asam-asam organik,
CH4, CO2, NH3, H2S, dan zat-zat lain yang
5
berupa senyawa tidak teroksidasi sempurna,
serta akan terbentuk biomassa tanah yang baru
maupun humus sebagai hasil dekomposisi
yang relatif stabil. Secara total, reaksi yang
terjadi adalah sebagai berikut:
(CH2O)x + O2 CO2 + H2O + hasil antara +
nutrien+ humus + sel + energi.
Baptista et al. (2005) menerangkan bahwa
adanya produksi CO2 merupakan penunjuk
dari
adanya
tingkat
respirasi
pada
mikroorganisme, yang diproduksi selama
proses bioremediasi. Peningkatan kelarutan
CO2 pada air dalam tanah menunjukkan
adanya proses biodegradasi. Degradasi pada
total
petroleum
hydrocarbon
(TPH)
berhubungan dengan respirasi mikrob dan
hasilnya ditunjukkan dengan terbentuknya gas
CO2 ini. Eris (2006) juga pernah melakukan
pengamatan terhadap pembentukan gas yang
dihasilkan pada proses biodegradasi, tetapi
dengan menggunakan teknik bioremediasi
slurry bioreaktor. Gas yang berhasil diamati
adalah CH4, CO, dan CO2. Penelitian Ramos
et al. (2009) menyebutkan bahwa dalam
proses biodegradasi dari tanah yang
terkontaminasi hidrokarbon juga dihasilkan
gas yang mengandung N anorganik seperti
amonia dan NO2, dan hal ini juga merupakan
suatu indikasi adanya proses biodegradasi.
Adanya penambahan nutrien seperti kompos
dan pupuk akan meningkatkan keluaran gas
yang dihasilkan.
Pengambilan sampel gas dilakukan
menggunakan suatu alat yang disebut
impinger. Teknik pengumpulan gas dengan
menggunakan peralatan impinger ini termasuk
pada
teknik
absorpsi,
yaitu
teknik
pengumpulan gas berdasarkan kemampuan
gas terabsorpsi atau bereaksi dengan larutan
pereaksi spesifik (larutan absorben). Pereaksi
kimia yang digunakan harus spesifik artinya
hanya dapat bereaksi dengan gas pencemar
tertentu yang akan di analisis. Efisiensi
pengumpulannya sangat dipengaruhi oleh
karakteristik dari gas, yaitu kemampuan
absorpsi zat pencemar pada larutan spesifik,
waktu kontak antara gas pereaksi spesifik, dan
luas permukaan bidang kontak atau ukuran
gelembung. Untuk melakukan pengumpulan
gas pencemar tersebut diperlukan alat
absorber, salah satunya ialah alat impinger
(Gambar 2). Dalam melakukan pengumpulan
gas pencemar dengan metode ini perlu
diperhatikan efisiensi pengumpulan gas
pencemar. Hal-hal yang harus diperhatikan
tersebut adalah dengan menggunakan alat
impinger, pereaksi kimia, waktu pencuplikan,
dan laju aliran yang sesuai dengan prosedur
standar yang ditetapkan (Harianti 2008).
→
Gambar 2 Peralatan pencuplikan gas.
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan adalah
HOW yang diperoleh dari ladang minyak
Duri, kompos, tanah liat yang didapat dari
Duri, konsorsium bakteri yang sudah dibuat
terlebih dahulu yang berasal dari kotoran sapi
dan kuda dari Fakultas Peternakan, larutan
penyerap TCM.
Alat-alat yang digunakan adalah peralatan
pencuplikan gas, botol film, flow meter, dan
spektrofotometer UV-VIS 1700 Shimadzu.
Metode Penelitian
Persiapan Sampel
Persiapan sampel meliputi beberapa
kegiatan, yaitu pengumpulan bahan baku,
penggilingan, dan pengeringan. Bahan baku
HOW (diperoleh dari ladang minyak Duri,
Riau), tanah liat, kompos, dan konsorsium
bakteri. Sampel digiling terlebih dahulu dan
tanah liat dikeringkan supaya mudah untuk
dihaluskan.
Sampel diberi perlakuan yang berbeda,
yang terdiri atas sampel (HOW), tanah liat,
dan kompos dengan nisbah yang berbeda-beda
dengan bobot keseluruhan 10 kg. Komposisi
perlakuan sampel seperti yang ditunjukkan
pada Tabel 1. Setiap perlakuan ada 2 buah
wadah
yang
diperlakukan
secara
bioaugmentasi dengan penambahan suspensi
bakteri ± 200 mL dan 1 buah wadah sebagai
kontrol yang diperlakukan secara biostimulasi.
5
berupa senyawa tidak teroksidasi sempurna,
serta akan terbentuk biomassa tanah yang baru
maupun humus sebagai hasil dekomposisi
yang relatif stabil. Secara total, reaksi yang
terjadi adalah sebagai berikut:
(CH2O)x + O2 CO2 + H2O + hasil antara +
nutrien+ humus + sel + energi.
Baptista et al. (2005) menerangkan bahwa
adanya produksi CO2 merupakan penunjuk
dari
adanya
tingkat
respirasi
pada
mikroorganisme, yang diproduksi selama
proses bioremediasi. Peningkatan kelarutan
CO2 pada air dalam tanah menunjukkan
adanya proses biodegradasi. Degradasi pada
total
petroleum
hydrocarbon
(TPH)
berhubungan dengan respirasi mikrob dan
hasilnya ditunjukkan dengan terbentuknya gas
CO2 ini. Eris (2006) juga pernah melakukan
pengamatan terhadap pembentukan gas yang
dihasilkan pada proses biodegradasi, tetapi
dengan menggunakan teknik bioremediasi
slurry bioreaktor. Gas yang berhasil diamati
adalah CH4, CO, dan CO2. Penelitian Ramos
et al. (2009) menyebutkan bahwa dalam
proses biodegradasi dari tanah yang
terkontaminasi hidrokarbon juga dihasilkan
gas yang mengandung N anorganik seperti
amonia dan NO2, dan hal ini juga merupakan
suatu indikasi adanya proses biodegradasi.
Adanya penambahan nutrien seperti kompos
dan pupuk akan meningkatkan keluaran gas
yang dihasilkan.
Pengambilan sampel gas dilakukan
menggunakan suatu alat yang disebut
impinger. Teknik pengumpulan gas dengan
menggunakan peralatan impinger ini termasuk
pada
teknik
absorpsi,
yaitu
teknik
pengumpulan gas berdasarkan kemampuan
gas terabsorpsi atau bereaksi dengan larutan
pereaksi spesifik (larutan absorben). Pereaksi
kimia yang digunakan harus spesifik artinya
hanya dapat bereaksi dengan gas pencemar
tertentu yang akan di analisis. Efisiensi
pengumpulannya sangat dipengaruhi oleh
karakteristik dari gas, yaitu kemampuan
absorpsi zat pencemar pada larutan spesifik,
waktu kontak antara gas pereaksi spesifik, dan
luas permukaan bidang kontak atau ukuran
gelembung. Untuk melakukan pengumpulan
gas pencemar tersebut diperlukan alat
absorber, salah satunya ialah alat impinger
(Gambar 2). Dalam melakukan pengumpulan
gas pencemar dengan metode ini perlu
diperhatikan efisiensi pengumpulan gas
pencemar. Hal-hal yang harus diperhatikan
tersebut adalah dengan menggunakan alat
impinger, pereaksi kimia, waktu pencuplikan,
dan laju aliran yang sesuai dengan prosedur
standar yang ditetapkan (Harianti 2008).
→
Gambar 2 Peralatan pencuplikan gas.
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan adalah
HOW yang diperoleh dari ladang minyak
Duri, kompos, tanah liat yang didapat dari
Duri, konsorsium bakteri yang sudah dibuat
terlebih dahulu yang berasal dari kotoran sapi
dan kuda dari Fakultas Peternakan, larutan
penyerap TCM.
Alat-alat yang digunakan adalah peralatan
pencuplikan gas, botol film, flow meter, dan
spektrofotometer UV-VIS 1700 Shimadzu.
Metode Penelitian
Persiapan Sampel
Persiapan sampel meliputi beberapa
kegiatan, yaitu pengumpulan bahan baku,
penggilingan, dan pengeringan. Bahan baku
HOW (diperoleh dari ladang minyak Duri,
Riau), tanah liat, kompos, dan konsorsium
bakteri. Sampel digiling terlebih dahulu dan
tanah liat dikeringkan supaya mudah untuk
dihaluskan.
Sampel diberi perlakuan yang berbeda,
yang terdiri atas sampel (HOW), tanah liat,
dan kompos dengan nisbah yang berbeda-beda
dengan bobot keseluruhan 10 kg. Komposisi
perlakuan sampel seperti yang ditunjukkan
pada Tabel 1. Setiap perlakuan ada 2 buah
wadah
yang
diperlakukan
secara
bioaugmentasi dengan penambahan suspensi
bakteri ± 200 mL dan 1 buah wadah sebagai
kontrol yang diperlakukan secara biostimulasi.
6
Tabel 1 Komposisi nisbah perlakuan sampel
Kode
A0
A11
A12
B0
B11
B12
C0
C11
C12
D0
D11
D12
Komposisi (kg)
Tanah
HOW
Kompos
Liat
10
0
0
10
0
0
10
0
0
5
0
5
5
0
5
5
0
5
5
5
0
5
5
0
5
5
0
5
2,5
2,5
5
2,5
2,5
5
2,5
2,5
!!!
Keterangan
Biostimulasi
Bioaugmentasi
Bioaugmentasi
Biostimulasi
Bioaugmentasi
Bioaugmentasi
Biostimulasi
Bioaugmentasi
Bioaugmentasi
Biostimulasi
Bioaugmentasi
Bioaugmentasi
Pencuplikan Gas
Peralatan pencuplikan disiapkan, tabung
impinger diisi dengan larutan penjerapnya
masing-masing sebanyak 10 mL. Laju alirnya
ditentukan dengan alat flow meter sebesar 0,2
L/menit. Pencuplikan dilakukan selama 1 jam,
dan setelah itu larutan penjerap yang telah
berisi gas dimasukkan ke dalam botol film,
lalu impinger dibilas dengan akuades.
Prosedur pengambilan gas seperti ditunjukkan
pada Gambar 3.
Keterangan:
A = mL HCl yang terpakai (blangko)
B = mL HCl yang terpakai (sampel)
V = Volume dalam liter [Laju alir x t (menit)]
= mg sampel yang didapat
Analisis Gas H2S (Modifikasi Eaton et al.
2005 dan Lodge 1989)
Gas H2S ditentukan dengan metode biru
metilena yang spesifik untuk sulfida pada
konsentrasi yang rendah. Prinsip dari metode
ini adalah mereaksikan gas H2S dengan pdimetilaminoanilina dan besi(III) dalam
suasana asam kuat sehingga membentuk
senyawa biru metilena yang akan diukur
serapannya dengan spektrofotometer pada
670 nm.
Larutan standar Na2S yang telah
distandardisasi dipipet ke dalam labu takar 25
mL masing-masing 0; 0,05; 0,1; 0,2; 0,3; 0,4;
0,8; 1; 2 mL, lalu ditambahkan larutan diamin
sebanyak 1 mL dan larutan feri klorida 25%
sebanyak 1,5 mL kemudian ditambahkan
larutan penjerap H2S sebanyak 10 mL, dan
ditepatkan
dengan
akuades.
Sampel
dimasukkan ke dalam labu takar 25 mL,
ditambahkan larutan diamin sebanyak 1 mL
dan larutan ferri klorida 25% sebanyak 1,5
mL, ditepatkan dengan akuades. Standar dan
sampel dibiarkan selama 15-30 menit
kemudian dibaca serapannya pada 670 nm
dengan spektrofotometer UV-Vis.
" #
$ %
!!!
Keterangan:
V = Volume dalam liter [Laju alir x t (menit)]
$ % = µg sampel yang didapat dari kurva
kalibrasi
Gambar 3 Pencuplikan gas.
Analisis Gas CO2 (Eaton et al. 2005)
Sampel yang berupa larutan penjerap
berisi gas dimasukkan ke dalam erlenmeyer
dan ditambahkan indikator PP, kemudian
dititrasi dengan HCl 0,025 N yang telah
distandardisasi terlebih dahulu. Larutan
penjerap CO2 dipipet sebanyak 10 mL ke
dalam erlenmeyer dan ditambahkan indikator
PP, kemudian dititrasi dengan HCl 0,025 N.
Larutan penjerap CO2 ini digunakan sebagai
blangko.
Analisis Gas NH3 (Lodge 1989)
Gas NH3 ditentukan dengan metode
indofenol, prinsipnya ialah mereaksikan gas
NH3 dengan senyawa fenol dan alkalin sitrat
yang akan memproduksi senyawa kompleks
biru indofenol yang akan diukur serapannya
dengan spektrofotometer pada
635,5 nm.
Deret standar dibuat dengan memipet
sebanyak 0; 0,05; 0,1; 0,2; 0,3; 0,4; 0,8; 1; 2
mL larutan induk standar dengan konsentrasi
2 mg/L ke dalam labu takar 25 mL. Larutan
penjerap NH3 ditambahkan sebanyak 5 mL,
natrium fenolat sebanyak 1 mL, larutan
nitroprussida sebanyak 1 mL dan larutan
pengoksidasi sebanyak 2,5 mL kemudian
7
ditepatkan
dengan
akuades.
Sampel
dimasukkan ke dalam labu takar 25 mL dan
diperlakukan sama seperti standar. Larutan
standar dan sampel dibiarkan selama 1 jam
dan dibaca nilai serapannya pada 635,5 nm.
&
'$(
!!!
Keterangan:
V = Volume dalam liter [Laju alir x t (menit)]
'$( = µg sampel yang didapat dari kurva
kalibrasi
Analisis Gas NO2 (Lodge 1989)
Gas NO2 yang dihasilkan dianalisis dengan
metode Griess-Saltzman. Prinsip dari metode
ini adalah reaksi diazotisasi asam sulfanilat
oleh nitrit dan reaksi kopling dengan naftilamina yang akan membentuk warna
merah yang akan diukur serapannya dengan
spektrofotometer pada 550 nm.
Larutan standar 1 mg/L dipipet ke dalam
labu takar 25 mL masing-masing sebanyak 0;
0,05; 0,1; 0,15; 0,2; 0,25; 0,3; 0,4; 0,5 mL
kemudian ditambahkan larutan penjerap NO2
sebanyak 10 mL dan ditepatkan dengan air
bebas ion. Sampel dimasukkan ke dalam labu
takar 25 mL kemudian ditepatkan dengan air
bebas ion. Standar dan sampel kemudian
dikocok lalu disimpan selama 15-30 menit
untuk kemudian dibaca serapannya pada 550
nm.
&
'
!!!
Keterangan:
V = Volume dalam liter [Laju alir x t (menit)]
= µg sampel yang didapat dari kurva
'
kalibrasi
Analisis Gas SO2 (Lodge 1989)
Gas SO2 yang dihasilkan, dianalisis
dengan metode Pararosanilin. Prinsipnya
adalah
akan
terbentuk
kompleks
monoklorosulfonatomerkurat ketika terjadi
oksidasi oleh oksigen di udara. EDTA akan
mengkompleks
logam
berat
yang
mengkatalisis oksidasi pada SO2 yang
dikumpulkan. Serapannya diukur dengan
spektrofotometer pada 540 nm.
Dibuat kurva standar dari larutan standar
yang telah distandardisasi dengan memipetnya
ke dalam labu takar 25 mL sebanyak 0; 0,05;
0,1; 0,2; 0,3; 0,4; 0,8; 1; 2 mL kemudian
ditambahkan larutan penjerap SO2 sebanyak
10 mL, asam sulfamat 0,6% sebanyak 1 mL,
dibiarkan dulu selama 5 menit, lalu
ditambahkan larutan formaldehida 0,2%
sebanyak 2 mL dan larutan pararosanilin
sebanyak 1 mL, ditepatkan dengan akuades.
Sampel dimasukkan ke dalam labu takar 25
mL dan diperlakukan seperti standar. Sampel
dan standar dibiarkan selama 15-30 menit dan
dibaca serapannya pada 540 nm.
"
%
!!!
Keterangan:
V = Volume dalam liter [Laju alir x t (menit)]
= µg sampel yang didapat dari kurva
%
kalibrasi
HASIL DAN PEMBAHASAN
Produksi Gas CO2
Pembentukan gas CO2 disebabkan
terjadinya
proses aerobik di
dalam
biodegradasi limbah tanah yang tercemar
minyak bumi ini. Proses ini terutama
dilakukan oleh bakteri aerobik. Berdasarkan
penelitian Eris (2006), terbentuknya gas CO2
ini merupakan akibat adanya aktivitas bakteri
dalam mendegradasi hidrokarbon. Secara
umum dapat diketahui bahwa produksi gas
CO2 mengalami naik turun. Grafik yang
dihasilkan secara umum berbentuk sinusoidal.
Hasilnya secara keseluruhan disajikan pada
Lampiran 5.
Perlakuan A0 merupakan HOW tanpa
dicampur dengan bahan lainnya, maupun
penambahan
bakteri,
jadi
hanya
mengandalkan bakteri indigenus yang berasal
dari HOW itu sendiri. Gas CO2 yang
dihasilkan pada perlakuan A0, mengalami naik
turun, seperti ditunjukkan pada Gambar 4.
Rerata gas CO2 yang dihasilkan pada
perlakuan ini, yaitu sebesar 160,8 mg/m3.
Adanya gas CO2 ini berhubungan dengan
respirasi dari bakteri yang mendegradasi.
Rerata gas yang dihasilkan pada perlakuan ini
termasuk kecil. Hal ini bisa diakibatkan
karena proses degradasi ini terjadi pada HOW
murni yang tidak dicampur dengan bahan
pengencer yang lainnya. Hal ini pernah
diungkapkan oleh Ramos et al. (2009), yang
menerangkan bahwa adanya produksi gas
pada tanah tercemar hidrokarbon yang tidak
dicampur dengan bahan pelarut yang lainnya
dan mengandung polyaromatic hydrocarbon
(PAH), tidak dihasilkan gas yang mengalami
peningkatan secara signifikan.
7
ditepatkan
dengan
akuades.
Sampel
dimasukkan ke dalam labu takar 25 mL dan
diperlakukan sama seperti standar. Larutan
standar dan sampel dibiarkan selama 1 jam
dan dibaca nilai serapannya pada 635,5 nm.
&
'$(
!!!
Keterangan:
V = Volume dalam liter [Laju alir x t (menit)]
'$( = µg sampel yang didapat dari kurva
kalibrasi
Analisis Gas NO2 (Lodge 1989)
Gas NO2 yang dihasilkan dianalisis dengan
metode Griess-Saltzman. Prinsip dari metode
ini adalah reaksi diazotisasi asam sulfanilat
oleh nitrit dan reaksi kopling dengan naftilamina yang akan membentuk warna
merah yang akan diukur serapannya dengan
spektrofotometer pada 550 nm.
Larutan standar 1 mg/L dipipet ke dalam
labu takar 25 mL masing-masing sebanyak 0;
0,05; 0,1; 0,15; 0,2; 0,25; 0,3; 0,4; 0,5 mL
kemudian ditambahkan larutan penjerap NO2
sebanyak 10 mL dan ditepatkan dengan air
bebas ion. Sampel dimasukkan ke dalam labu
takar 25 mL kemudian ditepatkan dengan air
bebas ion. Standar dan sampel kemudian
dikocok lalu disimpan selama 15-30 menit
untuk kemudian dibaca serapannya pada 550
nm.
&
'
!!!
Keterangan:
V = Volume dalam liter [Laju alir x t (menit)]
= µg sampel yang didapat dari kurva
'
kalibrasi
Analisis Gas SO2 (Lodge 1989)
Gas SO2 yang dihasilkan, dianalisis
dengan metode Pararosanilin. Prinsipnya
adalah
akan
terbentuk
kompleks
monoklorosulfonatomerkurat ketika terjadi
oksidasi oleh oksigen di udara. EDTA akan
mengkompleks
logam
berat
yang
mengkatalisis oksidasi pada SO2 yang
dikumpulkan. Serapannya diukur dengan
spektrofotometer pada 540 nm.
Dibuat kurva standar dari larutan standar
yang telah distandardisasi dengan memipetnya
ke dalam labu takar 25 mL sebanyak 0; 0,05;
0,1; 0,2; 0,3; 0,4; 0,8; 1; 2 mL kemudian
ditambahkan larutan penjerap SO2 sebanyak
10 mL, asam sulfamat 0,6% sebanyak 1 mL,
dibiarkan dulu selama 5 menit, lalu
ditambahkan larutan formaldehida 0,2%
sebanyak 2 mL dan larutan pararosanilin
sebanyak 1 mL, ditepatkan dengan akuades.
Sampel dimasukkan ke dalam labu takar 25
mL dan diperlakukan seperti standar. Sampel
dan standar dibiarkan selama 15-30 menit dan
dibaca serapannya pada 540 nm.
"
%
!!!
Keterangan:
V = Volume dalam liter [Laju alir x t (menit)]
= µg sampel yang didapat dari kurva
%
kalibrasi
HASIL DAN PEMBAHASAN
Produksi Gas CO2
Pembentukan gas CO2 disebabkan
terjadinya
proses aerobik di
dalam
biodegradasi limbah tanah yang tercemar
minyak bumi ini. Proses ini terutama
dilakukan oleh bakteri aerobik. Berdasarkan
penelitian Eris (2006), terbentuknya gas CO2
ini merupakan akibat adanya aktivitas bakteri
dalam mendegradasi hidrokarbon. Secara
umum dapat diketahui bahwa produksi gas
CO2 mengalami naik turun. Grafik yang
dihasilkan secara umum berbentuk sinusoidal.
Hasilnya secara keseluruhan disajikan pada
Lampiran 5.
Perlakuan A0 merupakan HOW tanpa
dicampur dengan bahan lainnya, maupun
penambahan
bakteri,
jadi
hanya
mengandalkan bakteri indigenus yang berasal
dari HOW itu sendiri. Gas CO2 yang
dihasilkan pada perlakuan A0, mengalami naik
turun, seperti ditunjukkan pada Gambar 4.
Rerata gas CO2 yang dihasilkan pada
perlakuan ini, yaitu sebesar 160,8 mg/m3.
Adanya gas CO2 ini berhubungan dengan
respirasi dari bakteri yang mendegradasi.
Rerata gas yang dihasilkan pada perlakuan ini
termasuk kecil. Hal ini bisa diakibatkan
karena proses degradasi ini terjadi pada HOW
murni yang tidak dicampur dengan bahan
pengencer yang lainnya. Hal ini pernah
diungkapkan oleh Ramos et al. (2009), yang
menerangkan bahwa adanya produksi gas
pada tanah tercemar hidrokarbon yang tidak
dicampur dengan bahan pelarut yang lainnya
dan mengandung polyaromatic hydrocarbon
(PAH), tidak dihasilkan gas yang mengalami
peningkatan secara signifikan.
400
500
300
400
CO2 (mg/m3)
CO2 (mg/m3)
8
200
100
0
0
2
4
4
6 8 10 12 14 16
Minggu
Perlakuan B1 merupakan campuran HOW
dengan kompos yang ditambah konsorsium
bakteri. Berdasarkan grafik dapat dilihat
bahwa rerata gas CO2 yang dihasilkan
memiliki nilai paling tinggi dibandingkan
perlakuan yang lainnya yaitu sebesar 244,5
mg/m3, grafiknya disajikan pada Gambar 7.
Tingginya produksi gas ini dapat disebabkan
oleh adanya penambahan kompos. Di dalam
kompos selain terdapat nutrien, juga terdapat
bakteri yang dapat menambah populasi
mikroorganisme di dalam limbah yang
didegradasi tersebut.
200
500
100
0
0
A1
2
Maks.
Rerata
B0
Rataan
Min.
Max.
Gambar 6 Produksi gas CO2 perlakuan
biostimulasi B0.
2
4
6 8 10 12 14 16
Minggu
Rerata
Rataan
Min.
Maks.
Max.
Gambar 5 Produksi gas CO2 perlakuan
bioaugmentasi A1.
Perlakuan B0 merupakan campuran HOW
dengan kompos. Adanya penambahan kompos
dapat meningkatkan populasi mikrob yang ada
di dalam tanah tersebut. Rerata gas yang
dihasilkan cukup tinggi, yaitu sebesar 190,7
mg/m3, grafiknya terdapat pada Gambar 6.
Adanya kompos ini bisa menjadi faktor yang
sangat mendukung untuk berlangsungnya
proses degradasi oleh bakteri, karena pada
kompos terdapat nutrien yang dapat dijadikan
sumber makanan bagi mikroorganisme.
CO2 (mg/m3)
CO2 (mg/m3)
300
100
0
Rerata
Maks.
A0
Rataan
Min.
Max.
Gambar 4 Produksi gas CO2 perlakuan
biostimulasi A0.
400
200
0
6 8 10 12 14 16
Minggu
Perlakuan A1 terdiri atas HOW tanpa
dicampur dengan bahan lainnya, tetapi
ditambahkan konsorsium bakteri, yang disebut
dengan bioaugmentasi. Gas yang dihasilkan
pada perlakuan ini juga mengalami fluktuasi
seperti pada perlakuan biostimulasi (Gambar
5). Rerata gas yang dihasilkan pada perlakuan
A1 ini lebih kecil dibandingkan dengan
perlakuan A0, yaitu sebesar 151,5 mg/m3.
Rerata gas yang kecil ini dapat terjadi karena
proses degradasi ini terjadi pada HOW murni.
300
400
300
200
100
0
0
B1
2
4
6 8 10 12 14 16
Minggu
Rerata
Rataan
Min.
Maks.
Max.
Gambar 7 Produksi gas CO2 perlakuan
bioaugmentasi B1.
Perlakuan C0 merupakan campuran HOW
dengan tanah liat. Adanya tanah liat ini
merupakan bahan untuk mengencerkan HOW.
Rerata gas yang dihasilkan cukup tinggi, yaitu
sebesar 180,2 mg/m3. Hal ini dapat terjadi
karena HOW yang telah diencerkan dengan
tanah liat, sehingga limbahnya tidak terlalu
pekat seperti semula. Grafik produksi gasnya
terdapat pada Gambar 8.
500
350
300
250
200
150
100
50
0
CO2 (mg/m3)
CO2 (mg/m3)
9
300
200
100
0
0
2
4
6 8 10 12 14 16
Minggu
Rerata
Rataan
C0
Min.
0
8 10 12 14 16
Minggu
Rerata
Maks.
D0
Rataan
Min.
Max.
Gambar 10 Produksi gas CO2 perlakuan
biostimulasi D0.
Maks.
Max.
Gambar 8 Produksi gas CO2 perlakuan
biostimulasi C0.
Perlakuan C1 terdiri atas HOW yang
dicampur dengan tanah liat dan ditambahkan
bakteri konsorsium. Rerata gas yang
dihasilkan lebih kecil jika dibandingkan
dengan perlakuan C0, yaitu sebesar 165,9
mg/m3. Produksi gas yang tidak terlalu tinggi
pada perlakuan C dapat dimungkinkan karena
tanah liat memiliki tingkat porositas yang
lebih kecil dibandingkan dengan kompos,
sehingga penyebaran nutrien tidak dapat
terjadi secara mudah. Grafik produksi gas
ditunjukkan pada Gambar 9.
300
200
100
0
0
C1
2
4
6 8 10 12 14 16
Minggu
Rerata
Rataan
Min.
Maks.
Max.
Gambar 9 Produksi gas CO2 perlakuan
bioaugmentasi C1.
Produksi gas pada perlakuan D0 cukup
tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang
lainnya jika dilihat dari reratanya, yaitu
sebesar 216,5 mg/m3. Perlakuan D0 terdiri atas
campuran HOW, tanah liat, dan kompos
dengan nisbah HOW dan campurannya adalah
1:1. Produksi gas yang cukup tinggi ini
kemungkinan dihasilkan karena HOW diberi
perlakuan dengan pengenceran oleh tanah liat,
kemudian adanya penambahan kompos yang
dapat membantu proses degradasi. Grafik
produksi gasnya terdapat pada Gambar 10.
2
4
6
Perlakuan D1 terdiri atas campuran HOW,
tanah liat, dan kompos, dengan penambahan
bakteri konsorsium. Rerata gas yang
dihasilkan lebih tinggi dibandingkan dengan
perlakuan D0, yaitu sebesar 228,9 mg/m3. Hal
ini karena pada perlakuan D1 adanya
penambahan bakteri, jadi menghasilkan gas
CO2 lebih banyak dibandingkan perlakuan D0.
Grafiknya seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 11.
CO2 (mg/m3)
400
CO2 (mg/m3)
400
400
350
300
250
200
150
100
50
0
0
2
4
6 8 10 12 14 16
Minggu
Maks.
Rerata
D1
Rataan
Min.
Max.
Gambar 11 Produksi gas CO2 perlakuan
bioaugmentasi D1.
Dari keseluruhan data yang didapatkan,
produksi gas CO2 yang paling tinggi terdapat
pada perlakuan B secara bioaugmentasi.
Baptista et al. (2005) menerangkan bahwa
adanya produksi CO2 merupakan penunjuk
dari
adanya
tingkat
respirasi
pada
mikroorganisme, yang diproduksi selama
proses bioremediasi. Kao dan Wang (2000)
juga
mengungkapkan
demikian
dan
menerangkan bahwa gas CO2 merupakan hasil
dari semua proses bioremediasi intrinsik.
Tingginya produksi gas yang dihasilkan bisa
menjadi petunjuk bahwa proses bioremediasi
intrinsik ini berlangsung. Peningkatan
kelarutan CO2 pada air dalam tanah
menunjukkan adanya proses biodegradasi.
10
μg/m3. Produksi gas yang cukup tinggi dapat
menandakan bahwa pada HOW yang
didegradasi mengandung jumlah N yang
cukup tinggi. Gambar 13 menunjukkan grafik
dari produksi gas yang dihasilkan untuk gas
NH3 ini.
NH3 ( g/m3)
300
250
200
150
100
50
0
0
500
400
300
200
100
0
2
A0
4
Rataan
Rerata
6
8 10 12 14 16
Minggu
Maks.
Min.
Max.
Gambar 13 Produksi gas NH3 perlakuan
biostimulasi A0.
0
2
4
6 8 10 12 14 16
Minggu
A0pola perlakuan
B1
Gambar 12 Kemiripan
secara grafis.
Produksi Gas NH3
Gas NH3 dihasilkan dari adanya proses
degradasi hidrokarbon yang mengandung
gugus N, karena seperti yang diketahui bahwa
minyak bumi tidak hanya mengandung unsur
karbon dan hidrogen, tetapi juga mengandung
unsur
nitrogen
sekitar
0,11–1,70%.
Terdeteksinya gas NH3 ini menunjukkan
bahwa terjadi proses anaerobik pada proses
biodegradasi
tersebut.
Penelitian
ini
sebenarnya berjalan secara aerobik, akan
tetapi gas-gas yang dihasilkan melalui proses
anaerobik, seperti H2S dan NH3 ikut
terdeteksi, dan hal ini menunjukkan terjadinya
juga proses anaerobik. Diperlukan adanya
inlet oksigen yang lebih banyak untuk
menjaga
agar
proses
aerobik
tetap
berlangsung, karena oksigen juga merupakan
salah satu faktor yang mendukung proses
biodegradasi ini.
Gas NH3 yang dihasilkan mengalami
fluktuasi dan secara umum grafik yang
dihasilkan berbentuk sinusoidal seperti halnya
pada produksi gas CO2. Hasilnya secara
keseluruhan terdapat pada Lampiran 6. Pada
perlakuan A0 gas yang dihasilkan cukup tinggi
dilihat dari reratanya, yaitu sebesar 129,4
Perlakuan A1 terdiri atas komposisi yang
sama dengan A0, tetapi dengan penambahan
konsorsium bakteri. Gas yang dihasilkan pada
perlakuan ini lebih tinggi dibandingkan
dengan perlakuan A0, reratanya sebesar 155,6
μg/m3. Sama seperti pada perlakuan A0,
kemungkinan kandungan nitrogen pada
limbah HOW cukup tinggi, kemudian juga
ditambah adanya aktivitas dari bakteri, yang
menjadikan keluaran gas NH3 pada perlakuan
A1 menjadi lebih tinggi. Grafiknya disajikan
pada Gambar 14.
NH3 ( g/m3)
CO2 (mg/m3)
Degradasi pada hidrokarbon berhubungan
dengan respirasi mikrob dan hasilnya
ditunjukkan dengan terbentuknya gas CO2 ini.
Dari semua data yang didapatkan untuk
produksi gas CO2, ada beberapa perlakuan
yang memiliki kemiripan pola diihat dari
grafik yang dihasilkan, yaitu A0 dengan B1, A0
dengan D1, A1 dengan B1, dan B1 dengan C1.
Di bawah ini adalah salah satu contoh
kemiripan pola yang terdapat pada perlakuan
A0 dengan B1, seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 12. Berdasarkan gambar tersebut
dapat dilihat bahwa perlakuan A0 memiliki
pola yang sama dengan B1, dilihat dari
fluktuasi yang terjadi pada setiap minggunya
untuk setiap perlakuan.
350
300
250
200
150
100
50
0
0
A1
2
4
6 8 10 12 14 16
Minggu
Maks.
Rerata
Rataan
Min.
Max.
Gambar 14 Produksi gas NH3 perlakuan
bioaugmentasi A1.
Produksi gas pada perlakuan B0 dapat
dikatakan kecil jik