Pemilihan Karakter Seleksi Berdasarkan Analisis Biometrik dan Molekuler untuk Merakit Kedelai Toleran Intensitas Cahaya Rendah

(1)

UNTUK MERAKIT KEDELAI TOLERAN

INTENSITAS CAHAYA RENDAH

DESTA WIRNAS

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

ABSTRACT

DESTA WIRNAS. Selection Character for Low-Light Tolerance in Soybean Based

on Biometric and Molecular Analysis under the direction of Didy Sopandie, Trikoesoemaningtyas and Sobir.

Soybean is a high value commodity because it is the primary source of protein for the people of Indonesia. The increase of the domestic soybean production is important to fulfill soybean consumption. The increase of the domestic production could be reached by extensification of harvesting area and improvement of productivity. One of the alternatives for extensification of soybean production is growing soybean as intercrop with estate crops. The main problem in growing soybean as intercrop with estate crops is low light intensity. The problem of low light intensity in the intercropping of soybean with estate crops should be overcome by developing tolerant soybean varieties. Developing tolerant soybean varieties to low light intensity needs genetic markers as spesific selection criteria or marker assisted selection.

The objective of this study was to develop selection criteria for low light intensity tolerance in soybean based on quantitative and molecular analysis. Quantitative analysis was conducted to estimate the inheritance pattern of agronomic traits under low light intensity which was conducted in a diallel matting design; whereas, the molecular analysis was conducted to identify RAPD markers linked to QTL related to agronomic traits under low-light intensity condition. Four parental lines were used in the diallel crossing, namely, Ceneng, Godek (tolerant parents), Slamet and Pangrango (sensitive parents). The genetic materials used in the QTL analysis based on RAPD markers were Ceneng, Godek and F6 Recombinant Inbred Lines derived from the hybridization between Ceneng and Godek.

The diallel analysis revealed that the additive-dominant gene action was sufficient to explain the variability of agronomic traits of soybean under low light intensity condition except for the number of total pod per plant. The allelic interaction for plant height, number of productive branch, number of total node and number of filled pod was over dominance; whereas, number of unfilled pod, number of total pod, percentage of filled fod and seed weight were controlled by partial-dominant gene action. The broad-sense heritabilities were high for all of the traits (0.75-0.96); whereas, narrow sense heritabilities were high for the number of unfilled pod, percentage of filled fod and seed weight. The results suggested that seed weight is the selection criteria for yield improvement of soybean under low light intensity condition.

The results of molecular analysis show that 9 primers were polymorphic and linked to the tolerant parent (Ceneng). The Primers only produced 14 RAPD markers which were polymorphic and linked to the tolerant parent. The markers are distributed into a linkage group containing seven markers. RAPD markers (OPE15-800, OPM20-800) is linked to two QTLs controlling number of productive node and seed weight, respectively. The Marker linked to QTL controlling seed weight could be used in a marker assisted selection for tolerant soybean lines to low light intensity.


(3)

ABSTRAK

DESTA WIRNAS. Pemilihan Karakter Seleksi Berdasarkan Analisis Biometrik dan

Molekuler untuk Merakit Kedelai Toleran Intensitas Cahaya Rendah. Dibimbing oleh Didy Sopandie, Trikoesoemaningtyas dan Sobir.

Kedelai adalah komoditi yang bernilai ekonomi tinggi karena merupakan sumber utama protein nabati bagi bangsa Indonesia. Peningkatan produksi kedelai sangat penting dilakukan untuk memenuhi kebutuhan kedelai nasional melalui perluasan areal panen dan peningkatan produktivitas. Perluasan areal panen dapat dilakukan dengan memanfaatkan lahan yang ada di bawah tegakan tanaman perkebunan ( kondisi intensitas cahaya rendah). Kendala utama budidaya kedelai di bawah tegakan adalah berkurangnya intensitas cahaya yang diterima oleh tanaman sehingga perlu tersedia varietas yang adaptif dan berdaya hasil tinggi dalam kondisi intensitas cahaya rendah.

Tujuan penelitian ini adalah memilih karakter seleksi bagi kedelai toleran intensitas cahaya rendah melalui analisis kuantitatif dan molekuler. Analisis kuantitatif dilakukan berdasarkan analisis dialel yang bertujuan untuk mengetahui pola pewarisan karakter agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah. Bahan tanaman yang digunakan dalam analisis dialel adalah empat tetua yaitu Ceneng dan Pangrango (tetua toleran) serta Slamet dan Godek (tetua peka), dan F1 hasil persilangan di antara keempat tetua. Analisis molekuler dilakukan melalui analisis QTL yang bertujuan untuk mendapatkan marka molekuler yang terpaut dengan QTL yang mengendalikan daya hasil pada kondisi intensitas cahaya rendah. Bahan tanaman yang digunakan dalam analisis QTL adalah Ceneng, Godek dan

rekombinant inbreed lines generasi F6 hasil persilangan kedua tetua.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa model genetik aditif-dominan mampu menjelaskan keragaman karakter agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah kecuali karakter jumlah polong total. Ragam aditif berpengaruh nyata untuk karakter jumlah polong hampa, persentase polong isi dan daya hasil sedangkan ragam dominan berpengaruh nyata untuk semua karakter yang diamati. Nilai heritabilitas arti luas tergolong tinggi untuk semua karakter yaitu berkisar antara 75.0–96.0%, sedangkan nilai heritabilitas arti sempit tergolong tinggi hanya pada karakter jumlah polong hampa, persentase polong isi dan daya hasil Berdasarkan hasil penelitian ini maka karakter seleksi untuk perbaikan daya hasil kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah adalah daya hasil.

Hasil yang diperoleh dari analisis molekuler adalah 9 primer RAPD yang menghasilkan 14 marka polimorfik dan terpaut dengan tetua toleran terhadap intensitas cahaya rendah. Konstruksi peta pautan dibuat dengan menggunakan 14 marka RAPD tersebut menghasilkan satu kelompok pautan yang mengandung tujuh marka. Dalam penelitian ini diperoleh dua QTL yang masing-masing mengendalikan karakter jumlah buku total dan daya hasil. Marka yang terpaut dengan QTL yang mengendalikan karakter jumlah buku total adalah OPE15-800, sedangkan marka RAPD yang terpaut dengan QTL yang mengendalikan karakter daya hasil adalah OPM20-800. Berdasarkan hasil penelitian ini maka disarankan untuk menggunakan marker yang terpaut dengan QTL yang mengendalikan daya hasil sebagai alat bantu seleksi bagi kedelai toleran terhadap intensitas cahaya rendah.


(4)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya, bahwa segala pernyataan dalam disertasi yang berjudul :

PEMILIHAN KARAKTER SELEKSI BERDASARKAN ANALISIS BIOMETRIK DAN MOLEKULER UNTUK MERAKIT KEDELAI

TOLERAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH

adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah dipublikasikan. Semua data dan informasi yang dikutip dari karya yang diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka.

Bogor, 23 Agustus 2007

Desta Wirnas A361030041


(5)

©Hak cipta milik

Institut Pertanian Bogor

, tahun 2007

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk


(6)

PEMILIHAN KARAKTER SELEKSI BERDASARKAN ANALISIS

BIOMETRIK DAN MOLEKULER BAGI KEDELAI TOLERAN

INTENSITAS CAHAYA RENDAH

OLEH:

DESTA WIRNAS

A361030041

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada Program Studi Agronomi

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(7)

Judul : Pemilihan Karakter Seleksi Berdasarkan Analisis Biometrik dan Molekuler untuk Merakit Varietas Kedelai Toleran Intensitas Cahaya Rendah

Nama Mahasiswa : Desta Wirnas

Nomor Pokok : A361030041

Menyetujui: Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, MAgr Ketua

Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc Anggota

Dr. Ir. Sobir, MS Anggota

Mengetahui:

Ketua Program Studi Agronomi

Dr. Ir. Satriyas Ilyas, MSc

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MSc


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kampung Baru, Sumatera Barat pada tanggal 28 Desember 1970 sebagai anak kedua dari pasangan M. Said Pk. Sati dan Rosanah (alm.). Penulis telah menikah dengan Ir. Saiful, MM dan telah dikaruniai tiga orang putra dan putri yaitu Muhammad Hanif Saiful (9 tahun), Ghania Sakira Saiful (5 tahun) dan Hadin Harridhy Saiful (4 tahun).

Pendidikan sarjana pertanian di bidang Ilmu dan Teknologi Benih ditempuh di Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada tahun 1990. Pada tahun 1996 penulis melanjutkan program master di bidang Pemuliaan Tanaman, Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan program doktor di bidang Pemuliaan Tanaman penulis peroleh tahun 2003 atas beasiswa dari Departemen Pendidikan Nasional RI. Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada laboratorium Genetika dan Pemuliaan Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor sejak 1999 sampai sekarang.

Karya ilmiah yang merupakan bagian dari disertasi penulis telah dipublikasikan pada Buletin Agronomi dengan judul Pemilihan Karakter Agronomi untuk Menyusun Indeks Seleksi pada 11 Populasi Kedelai Generasi F6 pada edisi 34 (1):19-24 tahun 2006 dan juga telah dipresentasikan pada Seminar Hasil-Hasil Penelitian Fakultas Pertanian, IPB bulan September 2005 dengan judul Seleksi Secara Simultan Terhadap Hasil Dalam Rangka Mengembangkan Varietas Kedelai Toleran Naungan.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Penelitian yang berjudul Pemilihan Karakter Seleksi Berdasarkan Analisis Biometrik dan Molekuler untuk

Merakit Kedelai Toleran Intensitas Cahaya Rendah telah diselesaikan dalam

waktu 20 bulan di bawah bimbingan dan dukungan komisi pembimbing yaitu Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, MAgr, Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc dan Dr. Ir. Sobir, MS.

Penelitian dan penulisan disertasi ini dapat diselesaikan berkat bantuan dari Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional melalui beasiswa BPPS tahun 2003-2006 dan Hibah Tim Penelitian Pascasarjana tahun 2004-2005 serta bantuan biaya penelitian dari L’Oreal Indonesia-Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO.

Bantuan dan dukungan dari berbagai pihak berupa material maupun non material merupakan karunia Allah SWT kepada Penulis, untuk itu penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang tak terhingga kepada:

1. Tim BPPS, Dirjen Pendidikan Tinggi yang telah memberikan beasiswa kepada penulis untuk mengikuti program doktor di IPB

2. Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, MAgr sebagai Ketua Komisi Pembimbing serta Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc dan Dr. Ir. Sobir, MS, sebagai Anggota Komisi Pembimbing

3. Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, MAgr, Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc dan Dr. Ir. Nurul Khumaida, MS yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk bergabung dalam Hibah Tim Penelitian Pascasarjana pada tahun 2004-2005

4. Dr. Yudiwanti sebagai penguji pada saat ujian tertutup serta Dr. Sriani Sutjiprihati dan Dr. Darman M.Arsyad sebagai penguji luar komisi pada saat ujian terbuka

5. L’Oreal Indonesia-Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO atas bantuan dana penelitian

6. Yayasan Damandiri, Bank BUKOPIN yang telah memberikan dana bantuan untuk penulisan disertasi


(10)

7. Kepala dan staf Kebun Percobaan Balai Besar Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik, Cimanggu Bogor

8. Kepala Pusat Penelitian Bioteknologi Perkebunan, Bogor serta Kepala dan staf Lab. Molekuler Tanaman khususnya Dr. Nurhaimi, Nani, Nurul dan Yadi

9. Kepala dan staf Lab. RGCI, Dept. Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB

10.Rektor IPB yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan doktor di IPB

11.Sekolah Pascasarjana dan PS Agronomi IPB yang telah menerima penulis sebagai mahasiswa SPs IPB

12.Ketua dan Staf Pengajar Dept. Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB atas segala dukungan yang diberikan

13.Staf Bagian Genetika dan Pemuliaan Tanaman atas dukungan dan bantuan dana yang diberikan

14.Orang tua dan kerabat penulis yang selalu memberikan motivasi dan do’a selama penulis mengikuti program doktor di IPB

15.Suami dan anak-anak tercinta yang telah memberikan cinta, pengertian serta do’a dan dukungan selama menyelesaikan pendidikan

16.Teman-teman staf AGH angkatan 2003 (Dini Dinarti, Dewi Sukma dan M. Syukur) atas kebersamaan selama menjalani program S3 di IPB

17.Teman-teman di SPs PS Agronomi khususnya Tim HPTP (La Muhuria, Kisman, Imam Widodo, Ika kartika, Tri Lestari) atas dukungan dan kerjasama selama pelaksaan penelitian

18. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu

Akhir kata semoga Allah SWT berkenan membalas budi baik Bapak dan Ibu semua. Mudah-mudahan karya ilmiah ini dapat memperkaya keilmuan dan bermanfaat bagi semua.

Bogor, 23 Agustus 2007


(11)

DAFTAR ISI

PENDAHULUAN ...Error! Bookmark not defined. Latar Belakang ...Error! Bookmark not defined.

Tujuan...Error! Bookmark not defined.

TINJAUAN PUSTAKA ...Error! Bookmark not defined. Arah Pengembangan Kedelai ...Error! Bookmark not defined.

Pertumbuhan dan Produksi Kedelai ...Error! Bookmark not defined.

Pemuliaan bagi Lingkungan Bercekaman ...Error! Bookmark not defined.

Perakitan Varietas Kedelai Toleran Intensitas Cahaya RendahError! Bookmark not defined.

Pembentukan Karakter seleksi ...Error! Bookmark not defined.

Analisis QTL ...Error! Bookmark not defined.

PEWARISAN KARAKTER AGRONOMI KEDELAI PADA KONDISI

INTENSITAS CAHAYA RENDAH ...Error! Bookmark not defined.

PENDAHULUAN...Error! Bookmark not defined.

Latar Belakang ...Error! Bookmark not defined.

Tujuan...Error! Bookmark not defined.

BAHAN DAN METODE ...Error! Bookmark not defined.

Waktu dan Tempat Penelitian ...Error! Bookmark not defined.

Metode...Error! Bookmark not defined.

Analisa Data ...Error! Bookmark not defined.

HASIL DAN PEMBAHASAN ...Error! Bookmark not defined.

KESIMPULAN DAN SARAN ...Error! Bookmark not defined.

Kesimpulan...Error! Bookmark not defined.

Saran...Error! Bookmark not defined.

ANALISIS QTL YANG MENGENDALIKAN KARAKTER AGRONOMI

KEDELAI PADA KONDISI INTENSITAS CAHAYA RENDAH ...Error!

Bookmark not defined.

PENDAHULUAN...Error! Bookmark not defined.

Latar Belakang ...Error! Bookmark not defined.

Tujuan...Error! Bookmark not defined.

BAHAN DAN METODE ...Error! Bookmark not defined.

1. Pembentukan Populasi Pemetaan: Pembentukan RILs F6Error! Bookmark not defined.

2. Analisis Fenotipe Tetua dan RILs F6...Error! Bookmark not defined.

3. Konstruksi Peta Pautan Toleransi terhadap Intensitas Cahaya RendahError! Bookmark not defined.

HASIL DAN PEMBAHASAN ...Error! Bookmark not defined.

1. Pembentukan RILs F6 ...Error! Bookmark not defined.

2. Analisis Fenotipe Rils F6 pada Kondisi Intensitas Cahaya Rendah Error! Bookmark not defined.

3. Konstruksi Peta Pautan Toleransi terhadap Intensitas Cahaya RendahError! Bookmark not defined.


(12)

Kesimpulan...Error! Bookmark not defined.

Saran...Error! Bookmark not defined.

PEMBAHASAN UMUM ...Error! Bookmark not defined.

KESIMPULAN DAN SARAN ...Error! Bookmark not defined.

DAFTAR PUSTAKA ...Error! Bookmark not defined.


(13)

DAFTAR TABEL

No Halaman

1. Rekapitulasi hasil analisis ragam pengaruh genotipe terhadap karakter

agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendahError! Bookmark not defined.

2. Hasil pengujian kesesuaian model aditif-dominan bagi karakter agronomi kedelai kondisi intensitas cahaya rendah...Error! Bookmark not defined.

3. Ragam dan peragam array karakter tinggi tanaman saat panen pada kondisi intensitas cahaya rendah ...Error! Bookmark not defined.

4. Ragam dan peragam array karakter jumlah cabang produktif pada kondisi intensitas cahaya rendah...Error! Bookmark not defined.

5. Ragam dan peragam array karakter jumlah buku total pada kondisi intensitas cahaya rendah...Error! Bookmark not defined.

6. Ragam dan peragam array karakter jumlah polong isi pada kondisi intensitas cahaya rendah...Error! Bookmark not defined.

7. Ragam dan peragam array karakter jumlah polong hampa pada kondisi intensitas cahaya rendah...Error! Bookmark not defined.

8. Ragam dan peragam array karakter jumlah polong total pada kondisi intensitas cahaya rendah...Error! Bookmark not defined.

9. Ragam dan peragam array karakter persentase polong isi pada kondisi intensitas cahaya rendah...Error! Bookmark not defined.

10. Ragam dan peragam array karakter daya hasil pada kondisi intensitas cahaya rendah ...Error! Bookmark not defined.

11. Nilai pengaruh ragam aditif, ragam dominan dan rata-rata peragam aditif dan dominan terhadap karakter agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah ...Error! Bookmark not defined.

12. Distribusi gen pada tetua dan pengaruh dominansi (h2) terhadap karakter

agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendahError! Bookmark not defined.

13. Rata-rata derajat dominansi ((H1/D)0.5), proporsi gen yang memberikan efek positif dan negatif dalam tetua (H2/4H1), proporsi gen dominan dan


(14)

resesif dalam tetua (KD/KR) serta jumlah kelompok gen yang memberikan efek dominansi (h2/H2) ...Error! Bookmark not defined.

14. Nilai heritabilitas arti luas dan heritabilitas arti sempit karakter agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendahError! Bookmark not defined.

15. Respon seleksi karakter agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah ...Error! Bookmark not defined.

16. Hasil pengukuran efektivitas seleksi untuk daya hasil kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah...Error! Bookmark not defined.

17. Sumber keragaman pengaruh genotipe terhadap karakter agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendahError! Bookmark not defined.

18. Keragaan karakter tinggi saat panen, jumlah cabang produktif, jumlah buku total, jumlah polong isi, dan jumlah polong hampa generasi F5 pada kondisi intensitas cahaya penuh...Error! Bookmark not defined.

19. Keragaan karakter jumlah polong isi, jumlah polong hampa, persen polong isi, dan daya hasil Generasi F5 pada kondisi intensitas cahaya penuh ...Error! Bookmark not defined.

20. Nilai parameter genetik kedelai generasi F5 hasil persilangan tetua Ceneng dan Godek ...Error! Bookmark not defined.

21. Hasil uji nilai tengah antara tetua Ceneng dan GodekError! Bookmark not defined.

22. Uji kenormalan shapiro-wilk untuk populasi F6 hasil persilangan Ceneng dan Godek pada kondisi intenistas cahaya rendahError! Bookmark not defined.

23. Rekapitulasi analisis sidik ragam pengaruh genotipe terhadap karakter

agronomi kedelai generasi F7 pada kondisi intensitas cahaya rendahError! Bookmark not defi

24. Nilai ragam fenotipe, ragam lingkungan, ragam genotipe, dan nilai

heritabilitas kedelai generasi F6 pada kondisi intensitas cahaya rendahError! Bookmark not d

25. Hasil pengujian DNA tetua Ceneng dan Godek menggunakan spekrofotometer...Error! Bookmark not defined.

26. Acuan penyiapan konsentrasi DNA tetua yang diperlukan dalam seleksi primer ...Error! Bookmark not defined.

27. Daftar primer dan marka yang digunakan analisis QTL yang

mengendalikan toleransi terhadap intensitas cahaya rendah pada kedelaiError! Bookmark not d

28. Rekapitulasi hasil seleksi primer ...Error! Bookmark not defined.

29. QTL yang terpaut mengendalikan karakter agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah...Error! Bookmark not defined.


(15)

30. Perbandingan nilai tengah dan nilai diferensial seleksi yang diperoleh dengan menggunakan marker assisted selectionError! Bookmark not defined.

LAMPIRAN

No Halaman

1. Daftar primer yang diseleksi untuk mendapatkan primer yang polimorfik dan terpaut dengan tetua toleran...Error! Bookmark not defined.

2. Hasil pengukuran dengan spektrofotometer DNA RILs F6 kedelai hasil persilangan Ceneng dan Godek ...Error! Bookmark not defined.


(16)

DAFTAR GAMBAR

No Halaman

Gambar 1. Bagan alir rencana penelitian ...Error! Bookmark not defined.

Gambar 2. Hubungan ragam (Vr) dan peragam (Wr) serta sebaran array karakter tinggi tanaman saat panen pada kondisi intensitas cahaya rendah ...Error! Bookmark not defined.

Gambar 3. Hubungan ragam (Vr) dan peragam (Wr) serta sebaran array

karakter jumlah cabang total pada kondisi intensitas cahaya rendahError! Bookmark not

Gambar 4. Hubungan ragam (Vr) dan peragam (Wr) serta sebaran array

karakter jumlah buku total pada kondisi intensitas cahaya rendahError! Bookmark not de

Gambar 5. Hubungan ragam (Vr) dan peragam (Wr) serta sebaran array

karakter jumlah polong isi pada kondisi intensitas cahaya rendahError! Bookmark not d

Gambar 6. Hubungan ragam (Vr) dan peragam (Wr) serta sebaran array karakter jumlah polong hampa pada kondisi intensitas cahaya rendah ...Error! Bookmark not defined.

Gambar 7. Hubungan ragam (Vr) dan peragam (Wr) serta sebaran array

karakter jumlah polong total pada kondisi intensitas cahaya rendahError! Bookmark not

Gambar 8. Hubungan ragam (Vr) dan peragam (Wr) serta sebaran array karakter persentase polong isi pada kondisi intensitas cahaya rendah ...Error! Bookmark not defined.

Gambar 9. Hubungan ragam (Vr) dan peragam (Wr) serta sebaran array karakter daya hasil per tanama pada kondisi intensitas cahaya rendah ...Error! Bookmark not defined.

Gambar 10. Grafik sebaran tinggi tanaman saat panen (TSP), jumlah cabang produktif (JCP), jumlah buku total (JBT), jumlah polong isi (JPI) pada kondisi intensitas cahaya rendah.Error! Bookmark not defined.

Gambar 11. Grafik sebaran jumlah polong hampa (JPH), jumlah polong total (JPT), persentase polong isi (C_PI), daya hasil (BBT/TAN) pada kondisi intensitas cahaya rendah.Error! Bookmark not defined.


(17)

(18)

Kedelai adalah komoditi yang bernilai ekonomi tinggi karena merupakan sumber utama protein nabati bagi bangsa Indonesia (Nugraha et al. 2002). Permintaan pasar terhadap kedelai terus meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk yang ditandai dengan peningkatan impor kedelai dari tahun ke tahun (Balitbang Deptan 2005a). Menurut Balitbang Deptan (2005b), konsumsi kedelai tahun 2004 adalah 2.015 juta ton, sedangkan produksi kedelai nasional hanya 0.707 juta ton sehingga Indonesia harus impor kedelai sebanyak 1.307 juta ton.

Peningkatan produksi kedelai merupakan langkah strategis yang harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan kedelai nasional melalui perluasan areal panen dan peningkatan produktivitas. Salah satu alternatif untuk perluasan areal panen adalah dengan memanfaatkan lahan yang ada di bawah tegakan karet yang belum menghasilkan sehingga perlu tersedia varietas adaptif dan berdaya hasil tinggi di bawah tegakan karet. Pengembangan kedelai sebagai tanaman sela di bawah tegakan tanaman karet sangat potensial mengingat lahan yang tersedia cukup luas. Menurut Balitbang Deptan (2005a), potensi lahan di bawah tegakan tanaman perkebunan adalah sebesar 12.1 juta hektar, 3-4 % diantaranya merupakan areal tanaman baru yang belum menghasilkan (TBM) yang dapat dimanfaatkan untuk pertanaman kedelai dengan pola tumpang sari.

Kendala utama budidaya kedelai di bawah tegakan karet adalah berkurangnya intensitas cahaya yang diterima oleh tanaman. Pengurangan intensitas cahaya dapat mencapai 75% pada tegakan karet yang berumur 4 tahun. Agar dapat memanfaatkan lahan yang ada di bawah tegakan tanaman perkebunan maka diperlukan pengembangan varietas yang mampu tumbuh sehingga dapat berproduksi dengan baik pada kondisi intensitas cahaya rendah (Sopandie et al. 2003a; Sopandie et al. 2003b; Sopandie et al. 2003c).

Peningkatan produktivitas merupakan tujuan utama pemuliaan kedelai yang dapat dicapai melalui seleksi untuk perbaikan daya hasil. Menurut Wricke dan Weber (1986), Conner et al. (1998) serta Falconer dan Mackay (1996), seleksi


(19)

untuk perbaikan potensi hasil dapat dilakukan secara langsung terhadap daya hasil atau tidak langsung melalui karakter yang lain.

Masalah yang dihadapi dalam pengembangan kedelai untuk toleransi terhadap intensitas cahaya rendah adalah belum ditentukan karakter seleksi yang tepat bagi perbaikan daya hasil kedelai dalam kondisi intensitas cahaya rendah. Penentuan karakter seleksi dapat dilakukan berdasarkan pola pewarisan dari karakter yang ingin diperbaiki. Berdasarkan hasil studi pola pewarisan yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya ternyata belum dapat dipastikan karakter seleksi yang tepat bagi kedelai toleran intensitas cahaya rendah. Hal ini disebabkan oleh hasil studi pola pewarisan berbagai karakter kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah menunjukkan hasil yang berbeda-beda, namun terdapat kecenderungan bahwa daya hasil mempunyai nilai heritabilitas lebih tinggi dibandingkan dengan karakter lainnya (Sopandie et al. 2003c; Handayani 2003; La Muhuria 2007; Kisman 2007).

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari hasil penelitian terdahulu maka terdapat peluang untuk menggunakan karakter komponen hasil maupun hasil sebagai karakter seleksi. Menurut Austin (1993), seleksi berdasarkan daya hasil pada lingkungan bercekaman menghadapi kendala karena sulit memisahkan faktor-faktor yang menyebabkan penurunan daya hasil. Hal ini didukung oleh Tester dan Bacic (2005) serta Ceccareli et al. (2007) bahwa kesulitan seleksi pada kondisi bercekaman adalah adanya interaksi genotipe dan lingkungan yang bersifat kualitatif.

Selain itu, seleksi berdasarkan daya hasil untuk perbaikan produktivitas kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah harus dilakukan di lingkungan target. Seleksi untuk perbaikan produktivitas kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah harus dilakukan di bawah tegakan karet atau lingkungan buatan yang menyerupai lingkungan di bawah tegakan yaitu di bawah naungan paranet. Seleksi pada lingkungan target tidak mudah karena sulit mendapatkan lingkungan yang dapat memberikan tingkat dan waktu cekaman yang sesuai.

Guna mengatasi kendala seleksi perbaikan produktivitas kedelai dalam kondisi intensitas cahaya rendah maka diperlukan pembentukan marka seleksi bagi daya hasil pada kondisi intensitas cahaya rendah. Marka seleksi yang


(20)

diinginkan adalah marka yang tidak dipengaruhi oleh lingkungan sehingga seleksi tidak perlu dilakukan di bawah naungan paranet atau tegakan karet. Menurut Mohan, et al. (1997) serta Farroq dan Azam (2002), salah satu marka yang dapat dimanfaatkan sebagai marka seleksi adalah marka molekuler yang terpaut dengan QTL yang mengendalikan daya hasil. Melalui pemanfaatan marka molekuler sebagai alat bantu seleksi maka sangat memungkinkan melakukan seleksi secara tidak langsung tanpa dipengaruhi oleh lingkungan dan seleksi tidak perlu dilakukan di lingkungan target.

Tujuan umum penelitian ini adalah menentukan karakter seleksi untuk meningkatkan akurasi seleksi sehingga dapat memaksimalkan kemajuan genetik yang diperoleh dalam pengembangan kedelai toleran intensitas cahaya rendah. Kegiatan yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari studi pola pewarisan dan identifikasi marka RAPD yang terpaut dengan toleransi terhadap intensitas cahaya rendah (Gambar 1).

Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan bahwa di antara karakter hasil dan komponen hasil yang dipelajari, ternyata daya hasil dapat digunakan sebagai karakter seleksi bagi perakitan varietas kedelai toleran intensitas cahaya rendah karena daya hasil mempunyai nilai heritabilitas arti sempit yang cukup tinggi. Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa daya hasil mempunyai nilai heritabilitas arti luas maupun arti sempit lebih tinggi dibandingkan dengan karakter lainnya. Dalam pengembangan marka seleksi bagi daya hasil tinggi pada kedelai dalam kondisi intensitas cahaya rendah diperoleh dua marka RAPD yang terpaut masing-masing dengan QTL yang mengendalikan jumlah buku produktif dan daya hasil.

Hasil penelitian ini sangat bermanfaat untuk merencanakan dan melaksanakan kegiatan pemuliaan yang efisien untuk mengembangkan kedelai toleran intensitas cahaya rendah terutama yang berhubungan dengan kegiatan seleksi. Dengan mengintegrasikan teknik konvensional dengan teknik molekuler maka kegiatan pemuliaan kedelai toleran intensitas cahaya rendah bisa dipercepat. Diharapkan kegiatan pemuliaan untuk perakitan varietas kedelai toleran intensitas cahaya rendah pada masa yang akan datang akan menjadi lebih efisien.


(21)

Tujuan

Tujuan umum penelitian ini adalah mengembangkan karakter seleksi yang sesuai bagi kedelai toleran intensitas cahaya rendah sehingga akan memaksimalkan kemajuan genetik yang diperoleh, namun secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:

1. Memperoleh informasi tentang pola pewarisan karakter agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah

2. Mengidentifikasi QTL yang mengendalikan karakter agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah.

Gambar 1. Bagan alir rencana penelitian Ceneng, Godek, Slamet

dan Pangrango

Analisis dialel

Parameter genetik

Analisis QTL

Karakter seleksi untuk kedelai toleran intensitas cahaya rendah Genotipe terpilih

Marka molekuler terpaut QTL Pembentukan

RILs F6 Pembentukan F1

diallel lengkap


(22)

TINJAUAN PUSTAKA

Arah Pengembangan Kedelai

Tujuan pemuliaan adalah meningkatkan nilai ekonomi tanaman melalui peningkatan produktivitas atau kualitas produk yang dihasilkan sehingga menjadi lebih bermanfaat bagi kehidupan manusia. Seringkali produktivitas tinggi tidak cukup untuk meningkatkan peneriman petani atau konsumen terhadap varietas yang dihasilkan sehingga peningkatan produktivitas harus diikuti dengan peningkatan kualitas seperti komposisi gizi atau bentuk dan warna (Chahal dan Gosal 2003).

Prioritas arah pemuliaan kedelai di Indonesia pada masa yang akan datang adalah peningkatan produktivitas tanaman untuk mendukung pengembangan kedelai yang sesuai bagi agroekosistem lahan kering beriklim basah dan lahan kering beriklim sedang (Sumarno et al. 2000; Arsyad 2000). Menurut Pinem (2000), pengembangan kedelai diarahkan untuk peningkatan produktivitas lahan beririgasi intensif, lahan kering bereaksi masam, lahan gambut, lahan pasang surut, serta lahan perkebunan rakyat, lahan perkebunan swasta atau BUMN, dan lahan hutan sosial.

Menurut Balitbang Deptan (2005b), peningkatan produksi kedelai dilakukan melalui peningkatan produktivitas dan perluasan areal panen. Peningkatan produktivitas dapat dicapai dengan pemanfaatan varietas unggul berdaya hasil tinggi terutama diarahkan untuk daerah yang telah menjadi sentra produksi kedelai, tetapi produktivitas masih rendah seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, NTB, Jawa Barat, Lampung, Sumatra Utara, dan Sulawesi Selatan.

Potensi lahan untuk pengembangan kedelai adalah 1.7 juta hektar berupa lahan sawah, lahan kering, lahan pasang surut, lahan di bawah tegakan tanaman perkebunan dan lahan bukaan baru (Balitbang Deptan 2005b. Lahan di bawah tegakan perkebunan yang belum menghasilkan adalah salah satu lahan yang berpotensi untuk perluasan areal tanam kedelai melalui pola tumpangsari (Sopandie et al. 2003c). Menurut Balitbang Deptan (2005a), potensi lahan di bawah tegakan tanaman perkebunan adalah sebesar 12.1 juta hektar, 3-4 % di antaranya merupakan areal tanaman baru yang belum menghasilkan (TBM) yang dapat dimanfaatkan untuk pertanaman kedelai dengan pola tumpang sari.


(23)

Kendala yang dihadapi dalam pemanfaatan lahan di bawah tegakan tanaman perkebunan adalah rendahnya intensitas cahaya yang diterima oleh tanaman sehingga mengganggu pertumbuhan dan produksi tanaman. Pemanfaatan lahan yang ada di bawah tegakan perkebunan perlu didukung oleh ketersediaan varietas yang toleran dan berdaya hasil baik pada kondisi di bawah tegakan tanaman perkebunan (Sopandie et al. 2003c; Sopandie et al. 2006; Sopandie 2006).

Pertumbuhan dan Produksi Kedelai pada Kondisi Intensitas Cahaya Rendah

Cahaya matahari mempunyai peran penting dalam proses fisiologi tanaman seperti fotosintesis, menutup dan membukanya stomata, pertumbuhan dan perkembangan, serta perkecambahan tanaman. Ketersediaan cahaya matahari sangat menentukan tingkat produksi tanaman. Tanaman menangkap cahaya matahari yang selanjutnya digunakan dalam proses fotosintesis sehingga intensitas cahaya matahari merupakan salah faktor yang membatasi proses fotosintesis (Levitt 1980; Taiz dan Zeiger 1991; Salisbury dan Ross 1992).

Kebutuhan cahaya bagi tanaman kedelai untuk mencapai fotosintesis maksimal adalah berkisar antara 0.3-0.8 kal/cm2/menit atau setara dengan 432-1152 kal/cm2/hari (Salisbury dan Ross 1992). Nilai rata-rata intensitas cahaya matahari pada areal terbuka adalah 398.4 kal/cm2/hari, sedangkan nilai rata-rata intensitas cahaya matahari di bawah tegakan karet berumur 1, 2, 3 dan 4 tahun masing-masing adalah 326.7 kal/cm2/hari, 237.6 kal/cm2/hari dan 109.2 kal/cm2/hari, dan 38.2 kal/cm2/hari (Sopandie et al. 2002). Nilai intensitas cahaya di bawah tegakan karet umur 2 tahun setara dengan intensitas cahaya di bawah naungan paranet 25% dan umur 3 tahun setara dengan intensitas cahaya di bawah paranet 50%, sedangkan umur 4 tahun sudah kurang dari intensitas cahaya di bawah naungan paranet 75% (Chozin et al. 1998; Chozin et al. 1999).

Penurunan intensitas cahaya akan mempengaruhi pertumbuhan dan hasil tanaman. Beberapa hasil penelitian tentang pengaruh intensitas cahaya matahari menunjukkan bahwa penurunan intensitas cahaya mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan penurunan hasil (Daubenmire 1974; Baharsjah 1980; Anderson dan Osmond 1987; Chaturvedi et al. 1996; Chozin et al. 1999). Di alam tanaman


(24)

akan memberikan respon terhadap intensitas cahaya rendah. Hasil penelitian Baharsjah (1980), Asadi et al. (1997), Elfarisna (2000), Khumaida (2002), Handayani (2003), La Muhuria (2007), dan Kisman (2007) menunjukkan bahwa pada kedelai terjadi perubahan karakter agronomi, morfologi, anatomi, fisiologi, dan molekuler sebagai akibat penurunan intensitas cahaya.

Perubahan morfologi dan agronomi kedelai akibat penurunan intensitas cahaya sampai 40% setelah perkecambahan mengakibatkan penurunan jumlah buku, jumlah cabang, diameter batang, jumlah polong, serta hasil biji pada tanaman kedelai. Penurunan intensitas cahaya menjadi 40% sejak pengisian polong menyebabkan penurunan jumlah polong, hasil biji, dan kadar protein kedelai (Baharsjah 1980). Hasil pengujian pada 28 galur kedelai di bawah naungan paranet 33% menunjukkan penurunan daya hasil berkisar antara 2-45% dibandingkan dengan hasil kondisi tanpa naungan atau intensitas cahaya penuh (Asadi et al. 1997). Intensitas cahaya rendah menyebabkan peningkatan tinggi tanaman serta penurunan jumlah cabang, jumlah buku, jumlah polong isi dan daya hasil (Handayani 2003). Sopandie et al (2002) melaporkan bahwa kedelai yang ditanam di bawah naungan paranet 50% mengalami penurunan hasil biji sampai 60% dibandingkan dengan kondisi tanpa naungan (Sopandie et al. 2002, Sopandie et al. 2003c).

Perubahan anatomi meliputi peningkatan luas daun, kandungan klorofil a, kandungan klorofil b, namun terjadi penurunan kerapatan trikoma, tebal daun, lapisan palisade dan rasio klorofil a dan b (Elfarisna 2000; Handayani 2003; La Muhuria 2007; Kisman 2007). Perubahan fisiologi meliputi penurunan aktivitas berbagai enzim yang berhubungan dengan fotosintesis seperti ribulaose biphosphate carboxylase/oxygenase (Rubisco), sucrose phosphate synthase (SPS),

malatedehydrogenase (MDH), dan asam invertase (AI). Penurunan intensitas cahaya juga mengakibatkan penurunan laju fotosintesis maksimum dan laju transpor elektron maksimum, laju respirasi gelap dan titik kompensasi cahaya serta penurunan kandungan sukrosa dan pati (La Muhuria 2007).

Perubahan molekuler berhubungan dengan peningkatan ekspresi gen-gen yang mengendalikan fotosíntesis kedelai dalam kondisi intensitas cahaya rendah. Khumaida (2002) telah melaporkan ekspresi gen-gen fotosíntesis seperti gen lhcp


(25)

(light harvesting complex binding protein) dan gen Rubisco meningkat sejalan dengan bertambah lamanya perlakuan naungan meskipun kedua gen ini belum dapat membedakan genotipe toleran dengan genotipe peka terhadap intensitas cahaya rendah. Khumaida (2002) juga melaporkan adanya kandidat gen-gen fotosíntesis pada kedelai seperti gen JJ3, CAB-3, phyB dan ATHB-2. Hasil analisis ekspresi kandidat gen ini yang dilakukan oleh Kisman (2007) menunjukkan bahwa pada genotipe kedelai yang toleran intensitas cahaya rendah, kandidat gen JJ3, phyB dan ATHB-2 terekspresi lebih kuat dibandingkan dengan genotipe peka.

Perubahan-perubahan spesifik yang terjadi pada kedelai dalam kondisi intensitas cahaya rendah pada berbagai tingkatan merupakan bentuk adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah. Secara umum kemampuan tanaman untuk tumbuh dan berproduksi dengan baik pada kondisi intensitas cahaya rendah tergantung pada kemampuan tanaman untuk beradaptasi pada kondisi intensitas cahaya rendah. Adaptasi tanaman terhadap intensitas cahaya rendah ditentukan oleh kemampuan tanaman untuk melakukan fotosintesis pada kondisi defisit cahaya (Sopandie 2006).

Menurut Hale dan Orcut (1987), adaptasi tanaman terhadap intensitas cahaya rendah pada dasarnya dilakukan dengan dua cara melalui peningkatan luas daun untuk meningkatkan jumlah cahaya yang ditangkap dan mengurangi jumlah cahaya yang ditransmisikan dan direfleksikan. Levitt (1980) menyatakan bahwa adaptasi tanaman terhadap intensitas cahaya rendah dicapai melalui mekanisme penghindaran (avoidance), berkaitan dengan perubahan anatomi dan morfologi yang dilakukan oleh daun guna meningkatkan efisiensi fotosintesis dan mekanisme toleran, berkaitan dengan penurunan titik kompensasi cahaya dan respirasi.

Mekanisme penghindaran dilakukan melalui peningkatan luas daun untuk meningkatkan jumlah cahaya yang ditangkap serta mengurangi jumlah cahaya yang ditransmisikan dan refleksikan sehingga jumlah cahaya yang digunakan oleh tanaman untuk melakukan fotosintesis meningkat. Struktur anatomi yang mendukung mekanisme penghindaranadalah kutikula, lapisan lilin dan bulu daun yang kurang berkembang (Levitt 1980).


(26)

Mekanisme toleransi tanaman terhadap intensitas cahaya rendah berhubungan dengan penurunan laju respirasi dan titik kompensasi cahaya. Titik kompensasi cahaya adalah kondisi yang menunjukkan laju asimilasi CO2

sama dengan laju evolusi O2 dalam proses respirasi. Tanaman yang toleran

terhadap intensitas cahaya rendah akan menurunkan titik kompensasi cahaya dan laju respirasi sehingga produk fotosintesis dapat terakumulasi (Levitt 1980).

Mekanisme penghindaran pada kedelai merupakan mekanisme untuk meningkatkan jumlah cahaya yang ditangkap meliputi peningkatan luas daun, pengurangan ketebalan daun, pengurangan kepadatan trikoma dan peningkatan kandungan pigmen fotosintesis. Sampai saat ini mekanisme untuk mengurangi cahaya yang ditransmisikan dan direfleksikan belum dilaporkan pada kedelai (Khumaida 2002; Sopandie et al. 2002; La Muhuria 2007; Kisman 2007).

Mekanisme toleransi terhadap intensitas cahaya rendah pada kedelai meliputi peningkatan laju fotosintesis maksimum serta penurunan laju respirasi gelap dan titik kompensasi cahaya. Dalam kondisi intensitas cahaya rendah genotipe toleran memiliki laju fotosintesis maksimum lebih tinggi serta laju respirasi gelap dan titik kompensasi cahaya lebih rendah. Peningkatan laju fotosintesis serta penurunan laju respirasi gelap dan titik kompensasi cahaya ditunjukkan oleh kandungan sukrosa dan pati yang lebih tinggi pada genotipe toleran dibandingkan genotipe dalam kondisi intensitas cahaya rendah (La Muhuria 2007).

Berdasarkan hasil studi fisiologi terhadap respon dan mekanisme adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah sangat memungkinkan melakukan perbaikan daya hasil kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah. Perbaikan tanaman untuk meningkatkan produktivitas di lahan marjinal dapat diupayakan melalui perbaikan adaptasi terhadap cekaman abiotik untuk mencegah penurunan hasil (Sopandie 2006).

Pemuliaan bagi Lingkungan Bercekaman

Lingkungan bercekaman adalah lingkungan suboptimum bagi pertumbuhan dan produksi tanaman. Lingkungan suboptimum merupakan lingkungan yang beragam dan tidak sama tingkat cekamannya. Tujuan pemuliaan untuk perbaikan


(27)

produktivitas tanaman pada lingkungan bercekaman ditentukan oleh tingkat

cekaman pada lingkungan target (Sopandie et al. 2004; Sopandie 2006). Perbaikan produktivitas tanaman di lahan bercekaman dapat dilakukan melalui

perbaikan potensi hasil untuk mendapatkan varietas berdaya hasil tinggi dan perbaikan daya adaptasi tanaman untuk mendapatkan varietas yang toleran (Accevedo dan Fereres 1993). Menurut Baker (1993), produktivitas tanaman pada kondisi bercekaman ditentukan oleh potensi hasil tanaman serta daya

adaptasi tanaman terhadap cekaman.

Perbaikan potensi hasil merupakan upaya untuk meningkatkan produktivitas tanaman pada kondisi cekaman ringan atau sedang. Adanya interaksi genotipe dengan lingkungan dalam kondisi cekaman ringan atau sedang tidak menyebabkan perubahan rangking genotipe. Perbaikan potensi hasil dapat dilakukan melalui perbaikan kapasitas fotosintesis dan respirasi untuk meningkatkan biomassa tanaman dan perbaikan sink capacity dan partisi fotosintat (Accevedo dan Fereres 1993).

Upaya lain untuk perbaikan produktivitas tanaman pada tingkat cekaman ringan adalah pembentukan idiotype breeding (Romagosa dan Fox 1993).

Idiotype breeding adalah perbaikan tanaman dengan mengembangkan kombinasi karakter yang mendukung fotosintesis, pertumbuhan dan produksi tanaman. Keuntungan dari idiotype breeding adalah pemulia akan mempunyai gambaran yang jelas dalam menyeleksi karakter tanaman yang mendukung peningkatan potensi hasil (Romagosa dan Fox 1993;Sopandie 2006).

Perbaikan adaptasi tanaman merupakan upaya untuk perbaikan produktivitas tanaman pada kondisi cekaman berat (Romagosa dan Fox 1993). Kendala yang dihadapi dalam perbaikan produktivitas tanaman untuk lingkungan bercekaman berat adalah adanya interaksi genotipe dengan lingkungan. Interaksi genotipe dengan lingkungan terjadi jika genotipe memperlihatkan respon yang berbeda pada kondisi lingkungan yang berbeda.

Interaksi genotipe dengan lingkungan dikelompokkan menjadi dua yaitu interaksi yang bersifat kuantitatif dan interaksi yang bersifat kualitatif. Interaksi genotipe dengan lingkungan yang bersifat kuantitatif tidak menyebabkan perubahan rangking genotipe. Genotipe yang unggul pada satu lingkungan tetap


(28)

unggul pada lingkungan yang berbeda. Interaksi genotipe lingkungan yang bersifat kualitatif merupakan kendala dalam pemuliaan bagi lingkungan bercekaman berat karena mengakibatkan perubahan rangking genotipe. Genotipe berdaya hasil tinggi pada satu lingkungan bisa mengalami penurunan hasil yang cukup tajam pada lingkungan berbeda akibat pengaruh cekaman (Romagosa dan Fox 1993; Roy 2000; Bernardo 2002; Chahal dan Gosal 2003).

Menurut Ceccareli (1996), interaksi genotipe dengan lingkungan yang bersifat kualitatif merupakan salah satu kesulitan dalam pemuliaan untuk lingkungan bercekaman terutama pada saat melakukan seleksi. Menurut Ceccareli et al. (2007), seleksi pada lingkungan bercekaman harus dilakukan di lingkungan target sehingga dapat memaksimalkan ekspresi gen-gen yang mengendalikan daya hasil maupun daya adaptasi tanaman terhadap cekaman.

Interaksi genotipe lingkungan menyebabkan seleksi untuk perbaikan daya hasil pada kondisi bercekaman tidak mudah karena daya hasil sangat dipengaruhi oleh lingkungan sehingga daya hasil mempunyai nilai heritabilitas yang rendah (Ceccareli 1994). Agar seleksi menjadi lebih efisien maka diperlukan penetapan karakter seleksi yang tepat untuk memilih genotipe yang dapat mempertahankan daya hasil pada lingkungan bercekaman.

Seleksi pada kondisi bercekaman dapat dilakukan berdasarkan fenotipe, marka molekular, dan gabungan antara fenotipe dan marka molekuler (Bernardo 2002). Seleksi berdasarkan fenotipe menjadi sulit karena nilai heritabilitas yang rendah dan adanya interaksi antara genotipe dan lingkungan yang bersifat kualitatif. Untuk meningkatkan efisiensi seleksi maka seleksi dapat dilakukan menggunakan marka molekuler. Marka molekuler yang terpaut dengan QTL atau yang mengendalikan daya hasil pada kondisi bercekaman serta QTL yang mengendalikan toleransi terhadap cekaman merupakan salah satu marka yang dapat dijadikan alat bantu seleksi (Forster et al. 2000; Hussain 2006).

Perakitan Varietas Kedelai Toleran Intensitas Cahaya Rendah

Upaya peningkatan produksi kedelai sebagai tanaman sela di bawah tegakan perkebunan menghadapi kendala yaitu rendahnya intensitas cahaya akibat naungan kanopi tanaman utama. Oleh karena itu diperlukan varietas kedelai yang


(29)

adaptif dan berproduksi tinggi pada kondisi intensitas cahaya rendah (naungan). Upaya pengembangan kedelai toleran intensitas cahaya rendah telah berhasil dilakukan, tetapi masih terbatas pada tingkat cekaman ringan (naungan 33%) yaitu pola tumpangsari kedelai dengan jagung (Asadi et al. 1997). Upaya pengembangan kedelai toleran intensitas cahaya rendah dengan tingkat cekaman berat yaitu dalam pola tumpangsari dengan tanaman perkebunan telah dilakukan oleh Sopandie et al. (2002), Sopandie et al. (2003c) serta Sopandie et al. (2006).

Pengembangan kedelai toleran intensitas cahaya rendah dimulai dengan melakukan karakterisasi pada plasma nutfah yang tersedia untuk mendapatkan informasi tentang keragaman dari karakter yang akan diperbaiki. Menurut Makmur (1992), keberhasilan program pemuliaan sangat ditentukan oleh ketersediaan keragaman genetik.

Asadi et al. (1997) melaporkan bahwa terdapat keragaman yang cukup tinggi dalam plasma nutfah kedelai ketika ditanam pada kondisi naungan ringan yaitu pola tumpangsari dengan jagung. Sampai saat ini varietas Pangrango adalah salah satu varietas kedelai yang toleran untuk kondisi naungan ringan (naungan 33%) yaitu pola tumpangsari dengan jagung.

Sopandie et al. (2002) juga melaporkan bahwa terdapatnya perbedaan respon antara berbagai genotipe kedelai yang menunjukkan adanya keragaman genotipe kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah. Dalam kondisi naungan berat terdapat beberapa genotipe seperti Godek A dan Klungkung mengalami penurunan hasil sampai 50%, sedangkan genotipe Wilis hanya mengalami penurunan hasil sekitar 20%. Genotipe Ceneng memiliki daya hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe lainnya dan tergolong genotipe yang mempunyai daya adaptasi baik karena memiliki daya hasil lebih tinggi dibandingkan dengan daya hasil pada kondisi intensitas cahaya penuh.

Selain oleh ketersediaan keragaman genetik maka keberhasilan pemuliaan juga ditentukan oleh pemilihan metode seleksi yang tepat. Pemilihan metode seleksi dilakukan berdasarkan sistem penyerbukan tanaman dan pola pewarisan dari karakter yang akan diperbaiki. Berdasarkan informasi tentang pola pewarisan maka dapat juga ditentukan karakter seleksi yang tepat (Roy, 2000; Chahal dan Gosal 2003; Iqbal et al. 2003; Silva et al. 2004; Saleem et al. 2005). Dengan


(30)

memilih metode dan karakter seleksi yang tepat maka perencanan dan pelaksanaan program pemuliaan akan menjadi lebih efisien.

Menurut Chahal dan Ghosal (2003), beberapa teori dasar tentang seleksi adalah seleksi hanya efektif pada karakter yang dikendalikan oleh faktor genetik. Seleksi dilakukan untuk memilih genotipe, bukan untuk memilih gen-gen yang diinginkan. Seleksi akan menghasilkan kombinasi gen-gen yang baru bukan menghasilkan gen-gen baru.

Secara umum pemuliaan tanaman menyerbuk sendiri diarahkan untuk membentuk galur murni. Dasar genetik pembentukan galur murni pada tanaman menyerbuk sendiri adalah bahwa penyerbukan sendiri pada tanaman homozigot akan menghasilkan genotipe homozigot dan segregasi pada tanaman heterozigot akan meningkatkan proporsi genotipe homozigot dan menurunkan proporsi heterozigot (Chalal dan Gosal 2003).

Metode seleksi yang digunakan untuk tanaman menyerbuk sendiri seperti kedelai adalah pedigree, bulk, silang balik, single seed descent dan back cross.

Berdasarkan pola pewarisannya maka metode pedigree banyak digunakan untuk seleksi pada karakter kualitatif atau karakter kuantitatif yang mempunyai nilai heritabilitas yang tergolong tinggi sehingga seleksi dapat dilakukan pada generasi awal (Moreno-Gonzales dan Cubero 1993; Roy 2000; Chahal dan Gosal, 2003).

Metode silang balik diterapkan dengan tujuan memasukkan satu atau dua karakter pada varietas atau genotipe yang sudah mempunyai daya adaptasi atau karakter agronomi yang sudah baik. Metode bulk dan single seed descent umum digunakan untuk seleksi pada karakter kuantitatif atau karakter yang mempunyai nilai heritabilitas yang tergolong rendah atau sedang sehingga seleksi dilakukan pada generasi lanjut yaitu F5 atau F6. Dalam metode single seed descent hanya satu benih yang diambil secara acak dari setiap tanaman untuk ditanam pada generasi berikutnya (Poespodarsono 1988; Stoskopf et al. 1993; Roy 2000; Chalal dan Ghosal 2003 ).

Di samping untuk menentukan metode seleksi, maka informasi tentang pola pewarisan sangat diperlukan dalam memilih karakter seleksi karena tercapainya tujuan pemuliaan ditentukan metode dan karakter seleksi yang digunakan. Seleksi adalah kegiatan utama dalam pemuliaan tanaman yang bertujuan untuk


(31)

mendapatkan genotipe yang membawa gen-gen yang mengendalikan karakter yang diinginkan sehingga seleksi mengakibatkan peningkatan frekuensi gen pada generasi berikutnya. Seleksi akan efektif jika dilakukan pada populasi yang memiliki keragaman genetik (Roy 2000).

Berbagai hasil penelitian tentang pola pewarisan kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah telah dilaporkan oleh Wijayanti (2002), Rostini et al. (2002), Wibowo (2002), Handayani (2003), La Muhuria (2007), dan Kisman (2007). Hasil penelitian Wijayanti (2002) dan Wibowo (2002) menyimpulkan bahwa tidak terdapat pengaruh tetua betina dalam pewarisan beberapa karakter agronomi seperti tinggi tanaman, jumlah polong hampa dan persentase polong isi. Hal yang sama juga dilaporkan pada kedelai bahwa tidak terdapat pengaruh tetua betina dalam pewarisan karakter sifat kandungan klorofil (Rostini et al. 2002; Handayani 2003). La Muhuria (2007) melaporkan bahwa tidak terdapat pengaruh tetua betina dalam pewarisan karakter daya hasil pada kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah. Dengan demikian dalam kondisi intensitas cahaya rendah tidak terdapat pengaruh tetua betina dalam pewarisan karakter kandungan klorofil dan daya hasil. Hal ini menunjukkan bahwa karakter tersebut dikendalikan oleh gen-gen yang terdapat di inti.

Hasil penelitian La Muhuria (2007) pada karakter anatomi serta agronomi menunjukkan bahwa karakter kerapatan trikoma, klorofil a, dan klorofil b diwariskan dengan nilai heritabilitas arti sempit lebih rendah dibandingkan dengan karakter daya hasil. Kisman (2007) menyatakan bahwa karakter daya hasil diwariskan dengan nilai heritabilitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan karakter luas daun.

Berbagai karakter morfologi dan agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah diwariskan dengan nilai heritabilitas arti luas tergolong rendah sampai sedang. Karakter agronomi kedelai seperti tinggi tanaman, jumlah cabang, jumlah polong, persentase polong isi dan hasil pada populasi persilangan antara tetua Pangrango dan Ceneng dalam kondisi intensitas cahaya rendah memiliki nilai heritabilitas yang rendah yaitu berkisar antara 0.21-0.34 (Wibowo 2002). Handayani (2003) melaporkan nilai heritabilitas kandungan klorofil dan jumlah cabang tergolong tinggi, masing-masing 54.00%. Wirnas et al. (2005)


(32)

melaporkan bahwa karakter hasil dan komponen hasil diwariskan dengan nilai heritabilitas antara 2.57 sampai 55.56%.

Adanya keragaman pada karakter morfologi dan agronomi kedelai memberi peluang untuk menggunakan karakter morfologi dan agronomi sebagai krtiteria seleksi. Nilai heritabilitas daya hasil yang lebih tinggi memungkinkan menggunakan daya hasil sebagai karakter seleksi untuk perbaikan potensi hasil kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah. Sampai sejauh ini informasi yang lebih lengkap tentang dasar genetik dan pola pewarisan sifat karakter morfologi dan agronomi pada kondisi intensitas cahaya rendah belum banyak dilaporkan. Hal ini mennyebabkan belum ada metode pemuliaan yang tepat untuk mengembangkan kedelai toleran intensitas cahaya rendah.

Pemilihan Karakter Seleksi

Selain menentukan metode seleksi yang tepat, keberhasilan program pemuliaan dapat dipercepat dengan pemilihan karakter seleksi yang tepat. Seleksi dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Seleksi langsung hanya efisien jika karakter yang ingin diperbaiki mempunyai nilai heritabilitas yang tinggi. Namun jika karakter yang ingin diperbaiki mempunyai nilai heritabilitas yang rendah maka seleksi tidak langsung menggunakan satu atau beberapa karakter akan lebih efisien.

Pemilihan karakter yang akan digunakan sebagai karakter seleksi tidak langsung memerlukan informasi tentang pola pewarisan dan keeratan hubungannya dengan karakter yang ingin diperbaiki dengan daya hasil. Pola pewarisan dapat diketahui dengan mempelajari aksi gen yang mengendalikan karakter yang ingin diperbaiki. Aksi gen tersebut diduga berdasarkan model genetik yang menyertakan parameter aksi gen dan interaksinya. Besarnya pengaruh gen dan lingkungan terhadap suatu karakter diduga berdasarkan nilai heritabilitas (Trikoesoemaningtyas 2002).

Heritabilitas arti luas adalah proporsi ragam genetik total yang mempengaruhi keragaman fenotipe. Ragam genetik terdiri dari ragam aditif, ragam dominan, dan ragam epistasis yang masing-masing disebabkan oleh aksi gen aditif, aksi gen dominan dan aksi gen epistasis. Ragam aditif adalah ragam


(33)

yang disebabkan oleh alel yang terdapat dalam lokus, ragam dominan adalah ragam yang disebabkan oleh interaksi antar alel dalam satu lokus, sedangkan ragam epistasis adalah ragam yang disebabkan oleh interaksi antar alel dari lokus yang berbeda (Falconer dan Mackay 1996).

Terdapat dua tipe heritabilitas yaitu heritabilitas arti luas dan heritabilitas arti sempit. Heritabilitas arti luas merupakan proporsi ragam genetik total terhadap ragam fenotipe, sedangkan heritabilitas arti sempit merupakan proporsi ragam aditif terhadap ragam fenotipe. Nilai heritabilitas dapat diduga secara langsung melalui pendugaan komponen ragam serta secara tidak langsung melalui regresi antara tetua dengan turunannya dan respon seleksi. Pendugaan komponen ragam dapat dilakukan dengan menggunakan populasi dari berbagai rancangan persilangan (Roy 2000).

Salah satu rancangan persilangan yang dapat digunakan adalah persilangan diallel. Persilangan diallel adalah semua kemungkinan kombinasi persilangan di antara beberapa genotipe (Hayman 1954; Roy 2000). Dengan membuat persilangan diallel maka sangat memungkinkan melakukan analisis genetik yang lebih luas untuk menduga nilai parameter genetik yang meliputi komponen ragam, aksi gen, jumlah gen dan nilai heritabilitas yang mengendalikan suatu karakter berdasarkan pendekatan yang dikembangkan oleh Hayman. Disamping itu persilangan diallel memungkinkan juga analisa daya gabung antar tetua baik daya gabung umum maupun daya gabung khusus menggunakan rumus yang dikembangkan oleh Griffing (Griffing 1956). Asumsi yang harus dipenuhi dalam analisis diallel adalah tetua homozigot, segregasi merupakan segregasi diploid, FI dan resiproknya tidak berbeda atau tidak ada efek maternal, tidak terdapat interaksi antara gen dari alel yang berbeda (epistasis), tidak ada peristiwa multialel, dan gen-gen tersebar secara merata di antara tetua (Hayman 1954; Griffing 1956; Singh dan Choudhary 1976).

Pemilihan metode seleksi dan karakter seleksi yang tepat merupakan kunci keberhasilan pemuliaan tanaman. Informasi yang diperoleh dari analisis silang diallel dapat digunakan untuk menentukan metode dan karakter seleksi. Informasi penting yang diperoleh dalam analisis diallel adalah nilai heritabilitas arti luas dan nilai heritabilitas arti sempit. Nilai heritabilitas arti luas hanya dapat


(34)

digunakan untuk populasi yang diduga, sedangkan nilai heritabilitas arti sempit dapat digunakan untuk seleksi pada populasi progeninya. Dengan demikian hanya nilai heritabilitas arti sempit yang dapat digunakan untuk menduga kemajuan genetik yang diperoleh pada progeninya (Griffing 1956).

Dibandingkan dengan rancangan persilangan yang lain, maka disain persilangan diallel dapat diterapkan lebih luas karena dalam persilangan diallel memungkinkan terjadinya semua kombinasi persilangan seperti yang terjadi pada populasi kawin acak di alam. Dengan demikian informasi yang diperoleh dapat diterapkan untuk berbagai genotipe, tidak terbatas pada genotipe yang dianalisis.

Selain informasi yang diperoleh lebih banyak dan penerapannya juga lebih luas, keuntungan lain menggunakan analisis silang diallel adalah parameter genetik dapat diduga pada generasi awal. Kelemahan analisis silang diallel pada tanaman menyerbuk sendiri adalah jumlah genotipe yang dapat digunakan sangat tergantung pada kemampuan melakukan hibridisasi (Hayman 1954; Roy 2000; Saleem et al. 2005).

Beberapa hasil penelitian tentang analisis silang diallel pada kedelai untuk karakter kandungan nutrisi maupun ketahanan terhadap cekaman biotik seperti penyakit sudah banyak dilaporkan (Cho dan Scott 2000; Tukamuhabwa et al. 2002; Fronza et al. 2004; Gesteira et al. 2003), namun ketahanan terhadap cekaman abiotik, khususnya intensitas cahaya rendah belum banyak dilaporkan.

Produksi dan vigor benih pada kedelai dikendalikan oleh aksi gen aditif dan non aditif. Pengaruh ragam aditif lebih besar dari ragam non aditif terhadap produksi dan vigor benih (Pantalone et al. 1996; Cho dan Scott 2000). Tukamuhabwa et al. (2002) melaporkan hasil analisis silang diallel dengan menggunakan populasi setengah diallel untuk mempelajari karakter pecah polong pada kedelai. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat interaksi antar lokus (epistasis) pada gen yang mengendalikan karakter pecah polong. Disamping itu disimpulkan juga bahwa gen yang mengendalikan karakter pecah polong bersifat dominan parsial.

Ketahanan terhadap penyakit akar merah yang disebabkan oleh Fusarium solani f.sp. glycines bersifat over dominance serta dikendalikan paling tidak oleh tiga gen dominan. Nilai heritabilitas arti sempit untuk ketahanan terhadap


(35)

penyakit akar merah berkisar antara 48.0-62.0%, sedangkan heritabilitas arti luas berkisar antara 90.0-95.0% (Vello dan Luis 2004).

Analisis diallel dilakukan berdasarkan dua pendekatan yaitu pendekatan Griffing dan pendekatan Hayman (Hayman 1954; Griffing 1956). Dalam analisis diallel aksi gen yang mengendalikan suatu karakter diduga dari model genetik aditif dominan serta ada atau tidak epistasis, tetapi jenis interaksi tidak dapat diketahui. Jika dibandingkan dengan pendekatan Griffing, maka pendekatan Hayman lebih menguntungkan dalam pendugaan parameter genetik karena terdapat uji validitas model genetik yang diajukan. Pendekatan Griffing lebih banyak digunakan untuk menduga daya gabung umum dan daya gabung khusus di antara tetua.

Informasi yang diperoleh dari hasil analisis diallel sangat berguna untuk memilih satu atau beberapa karakter untuk dijadikan karakter seleksi. Nilai parameter genetik yang diperhatikan dalam memilih karakter seleksi adalah nilai komponen ragam dan heritabilitas. Karakter seleksi yang baik untuk seleksi progeni adalah karakter yang lebih dipengaruhi oleh ragam aditif atau yang mempunyai nilai heritabilitas arti sempit yang tergolong tinggi. Setelah karakter seleksi ditetapkan maka dapat diduga kemajuan seleksi atau respon seleksi dari karakter yang diinginkan (Falconer dan Mackay 1996).

Keberhasilan seleksi dengan menggunakan karakter kuantitatif diduga dengan menghitung nilai diferensial seleksi dan kemajuan seleksi. Diferensial seleksi adalah selisih nilai tengah genotipe terseleksi dengan nilai tengah populasi asal genotipe terseleksi, sedangkan kemajuan seleksi adalah selisih nilai tengah turunan hasil seleksi dengan nilai tengah dari populasi yang telah diseleksi. Jika seleksi dilakukan secara tidak langsung maka efektivitas seleksi dapat diukur dengan menghitung respon terkorelasi masing-masing karakter terhadap daya hasil (Falconer dan Mackay 1996).

Kelemahan seleksi menggunakan karakter kuantitatif adalah pengaruh lingkungan tidak bisa dihindari terutama pada kondisi bercekaman sehingga kemajuan seleksi yang diperoleh menjadi lebih kecil. Selain itu seleksi juga tergantung pada umur tanaman, misal untuk daya hasil, seleksi baru bisa dilakukan setelah panen serta harus di lingkungan target. Namun seleksi


(36)

berdasarkan karakter kuantitatif juga memiliki beberapa keuntungan seperti lebih murah bahkan lebih mudah dari segi teknik pengerjaan.

Analisis QTL

Umumnya sifat agronomi yang bernilai ekonomi tinggi yang dimiliki oleh tanaman, seperti daya hasil, ketahanan terhadap cekaman biotik seperti hama dan penyakit, maupun ketahanan terhadap cekaman abiotik seperti kekeringan, salinitas, suhu rendah, dan pH dikendalikan oleh banyak gen sehingga disebut karakter kuantitatif (Falconer dan Mackay 1996). Karakter kuantitatif diterjemahkan sebagai karakter dengan nilai yang mempunyai distribusi kontinyu yang diperoleh dari hasil pengukuran atau penghitungan. Karakter kuantitatif dikontrol oleh banyak gen dan masing-masing gen bersifat aditif terhadap karakter tersebut. Ekspresi gen-gen yang mengendalikan karakter kuantitatif sangat dipengaruhi oleh lingkungan (Bernardo 2002). Pengaruh lingkungan yang besar terhadap keragaman karakter kuantitatif merupakan salah satu kesulitan yang dihadapi pemulia dalam melakukan seleksi.

Pada kondisi lingkungan bercekaman nilai heritabilitas daya hasil lebih rendah dibandingkan dengan kondisi optimum karena lingkungan bercekaman sangat mempengaruhi daya hasil. Hal ini mengakibatkan seleksi terhadap daya hasil akan memberikan kemajuan genetik yang rendah untuk meningkatkan daya hasil (Ceccareli 1994). Dengan demikian diperlukan karakter seleksi selain daya hasil yang dapat digunakan sebagai alat bantu seleksi untuk memperbaiki daya hasil pada kondisi bercekaman.

Alat bantu seleksi yang diharapkan adalah berupa marka yang mempunyai nilai heritabilitas tinggi atau pengaruh lingkungan kecil. Alat bantu seleksi yang tidak dipengaruhi oleh lingkungan adalah marka molekuler. Pemanfaatan marka molekuler sebagai alat bantu didasarkan pada polimorfik yang ditemui pada tingkat DNA. Menurut Brar (2002), penggunaan marka molekuler sebagai alat bantu seleksi dapat meningkatkan akurasi seleksi karena marka molekuler tidak dipengaruhi oleh lingkungan, stabil dan terekspresi pada semua stadia pertumbuhan tanaman. Di samping nilai heritabilitas yang tinggi, keuntungan menggunakan marka molekuler sebagai karakter seleksi adalah jumlahnya tidak


(37)

terbatas (Gupta et al. 2002). Teknik yang merupakan kombinasi antara pemuliaan konvensional dan bioteknologi yang berbasis marka molekuler dapat meningkatkan akurasi seleksi atau mempersingkat waktu pencapaian tujuan pemuliaan. Strategi potensial pemanfaatan bioteknologi dalam bidang pemuliaan adalah melalui marka assisted selection (MAS) (Bernardo 2002).

Sampai sejauh ini sudah tersedia banyak jenis marka molekuler yang dapat digunakan. Masing-masing marka molekuler mempunyai keuntungan dan kesulitan yang berbeda dari segi teknik, fasilitas dan biaya yang diperlukan. Salah satu marka molekuler yang murah dan mudah secara teknik adalah RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA). Random Amplified Polymorphic DNA adalah teknik untuk mengamplifikasi DNA dengan mesin PCR menggunakan primer tunggal berukuran 10 nukleotida. Primer yang digunakan merupakan primer acak yang mengamplifikasi genom target secara acak. Primer acak yang dicampurkan dengan reaksi amplifikasi akan berikatan dengan sekuens komplemen di sepanjang genom target. Selanjutnya sekuens target akan teramplifikasi yang dapat divisualisasikan pada gel agarose yang diwarnai dengan

ethidium bromida.

Dibandingkan dengan teknik molekuler yang lain, teknik RAPD lebih sederhana karena tidak memerlukan informasi tentang genom, DNA tidak perlu dipotong dengan enzim restriksi, tidak perlu pelabelan dengan radioisotope, jumlah DNA yang diperlukan lebih sedikit dan jumlah lokus yang diketahui lebih banyak yaitu 1-10 lokus. Kelemahan teknik RAPD adalah tingkat reprodusibilitasnya sangat rendah sehingga sering memberikan hasil yang tidak konsisten (Gupta et al. 2002; Toruan-Mathius dan Hutabarat 2003).

Dalam marka RAPD, alel yang berbeda pada lokus yang sama ditandai dengan ada atau tidaknya pita hasil amplifikasi. Individu tanaman dibedakan berdasarkan ada atau tidak pita hasil amplikasi. Jika muncul pita maka genotipe individu adalah homozigot dominan atau heterozigot. Jika pita tidak muncul untuk lokus yang sama maka individu tanaman adalah homozigot resesif. Marka RAPD merupakan marka dominan sehingga individu homozigot dan heterozigot tidak dapat dibedakan, tetapi dapat membedakan individu homozigot dominan atau heterozigot dengan individu homozigot resesif dalam populasi yang masih


(38)

bersegregasi. Individu homozigot dan heterozigot akan menghasilkan pita amplifikasi yang sama (Liu 1998).

Marka RAPD merupakan salah satu marka molekuler yang banyak digunakan dalam membuat peta genetik. Pemilihan marka sangat ditentukan oleh komposisi genotipe dalam populasi atau tujuan penelitian. Marka RAPD sangat sesuai untuk diaplikasikan pada populasi double haploid (DH) dan recombinant inbreed lines (RILs). Dalam populasi DH atau RILs sebagian besar genotipe terdiri dari genotipe homozigot dominan atau homozigot resesif (Liu 1998; Gupta

et al. 2002).

Beberapa tahun terakhir pengembangan alat bantu seleksi dalam pemuliaan tanaman banyak dilakukan melalui analisis molekuler dengan pemetaan marka molekuler yang terpaut dengan QTL (Quantitative Trait Loci) yang mengendalikan karakter yang akan diperbaiki. Penggunaan marka molekuler yang terpaut dengan QTL yang mengendalikan karakter yang akan diperbaiki dikenal dengan marker assisted selection (MAS) atau marker assisted breeding

(MAB) (Arus dan Moreno-Gonzales 1993).

Agar dapat memanfaatkan marka molekuler sebagai MAS dalam program seleksi terhadap karakter yang diinginkan maka marka yang berasosiasi dengan QTL yang mengendalikan karakter tersebut harus diidentifikasi terlebih dahulu. Indentifikasi marka yang berasosiasi dengan QTL dapat dilakukan melalui analisis dan pemetaan QTL (Azrai et al. 2002; Ruswandi et al. 2002).

Quantitative Trait Loci (QTL) adalah lokus yang mengendalikan karakter kuantitatif. Pemetaan QTL merupakan kombinasi antara analisis pautan kualitatif dengan analisis genetika kuantitatif. Pemetaan QTL meliputi konstruksi pemetaan genom dan penelusuran hubungan antara karakter kuantitatif dengan marka polimorfik. Hasil pemetaan QTL dapat menyediakan informasi tentang jumlah dan aksi gen yang mengontrol suatu karakter serta lokasinya pada kromosom. Peta QTL dapat juga dijadikan informasi awal bagi kegiatan kloning yaitu kloning berbasis pemetaan dari suatu gen yang berasosiasi dengan karakter tertentu (Liu 1998; Surahman 2002; Winicov 2002).

Dengan memanfaatkan marka molekuler yang terpaut dengan QTL sebagai MAS maka seleksi dapat dilakukan pada generasi awal dan langsung pada


(39)

individu tanaman sehingga hasil yang diperoleh lebih akurat dalam waktu yang lebih cepat. Pemanfaatan marka yang berasosiasi dengan QTL merupakan salah satu strategi yang efisien untuk mendapatkan varietas baru yang berdaya hasil tinggi dan sekaligus membawa satu sifat ketahanan terhadap cekaman biotik maupun abiotik (Terry et al. 2000; Korzun 2004).

Pemuliaan konvensional untuk karakter kuantitatif memerlukan waktu lebih lama karena karakter kuantitatif dikendalikan oleh banyak gen. Karakter kuantitatif seperti daya hasil cenderung mempunyai nilai heritabilitas yang rendah sehingga seleksi pada populasi hasil persilangan baru dapat dimulai pada generasi lanjut karena gen-gen yang mengendalikan karakter kuantitatif telah terfiksasi dengan baik pada generasi lanjut (Wricke dan Weber 1986; Falconer dan Mackay 1996).

Informasi tentang QTL yang mengontrol berbagai karakter pada kedelai telah banyak dilaporkan, misalnya QTL yang mengendalikan daya hasil (Reyna dan Sneller 2001; Teng et al. 2004; Wang et al. 2004; Vieira et al. 2006). QTL yang mengendalikan kandungan sukrosa (Maughan et al. 2003), QTL daya hasil dan ketahanan terhadap penyakit suddendeath syndrome (SDS) (Iqbal et al. 2001; Yuan et al. 2003), QTL ketahanan terhadap Phytophthora (Burnham et al. 2003) serta QTL yang mengontrol ukuran benih dianalisis oleh Hoeck et al. (2003). Beberapa QTL yang mengontrol daya hasil maupun ketahanan terhadap cekaman abiotik seperti suhu rendah, perubahan cuaca, aluminium dan kekeringan pada kedelai juga telah dilaporkan (Specht et al. 2001; Ishitani et al. 2004; Funatsuki


(40)

PEWARISAN KARAKTER AGRONOMI KEDELAI PADA KONDISI INTENSITAS CAHAYA RENDAH

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan informasi tentang pola pewarisan karakter agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah. Bahan tanaman yang digunakan adalah empat tetua yaitu Ceneng dan Pangrango (tetua toleran) serta Godek dan Slamet (tetua peka) dan F1 hasil persilangan dari keempat tetua. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model genetik aditif-dominan mampu menjelaskan keragaman karakter agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah kecuali untuk karakter jumlah polong total. Aksi gen over dominance

mengendalikan karakter tinggi tanaman saat panen, jumlah cabang produktif, jumlah buku total, sedangkan karakter jumlah polong isi, jumlah polong hampa, jumlah polong total, dan daya hasil dikendalikan oleh aksi gen dominan parsial. Ragam aditif berpengaruh nyata untuk karakter jumlah polong hampa, persentase polong isi dan daya hasil, sedangkan ragam dominan berpengaruh nyata untuk semua karakter yang diamati. Nilai heritabilitas arti luas tergolong tinggi untuk semua karakter yaitu berkisar antara 75.0–96.0%, sedangkan nilai heritabilitas arti sempit tergolong tinggi hanya pada karakter jumlah polong hampa, persentase polong isi dan daya hasil. Berdasarkan hasil penelitian ini maka karakter seleksi untuk perbaikan produktivitas kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah adalah daya hasil.

Kata Kunci: kedelai, analisis diallel, daya hasil, intensitas cahaya rendah INHERITANCE STUDY OF AGRONOMIC TRAITS UNDER LOW

LIGHT INTENSITY CONDITION ABSTRACT

The objective of this study was to estimate the inheritance of agronomic traits which was conducted in a diallel matting design. Fourparental lines were used in a diallel crossing, namely, Ceneng, Godek (tolerant parents), Slamet and Pangrango (sensitive parents). The diallel analysis revealed that the additive-dominant gene action was sufficient to explain the variability of agronomic traits of soybean under low light intensity condition except for the number of total pod per plant. The allelic interaction for plant height, number of productive branch, number of total node and number of filled pod was over dominance; whereas, number of unfilled pod, number of total pod, percentage of filled fod and seed weight were controlled by partial-dominant gene action. The broad-sense heritabilities were high for all of the traits (0.75-0.96); whereas, narrow sense heritabilities were high for the number of unfilled pod, percentage of filled fod and seed weight. The results suggested that seed weight is the best selection character for yield improvement of soybean under low light intensity condition. Key words: soybean, diallel analysis, heritability, seed weight, low light intensity


(41)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perencanaan dan pelaksanaan program pemuliaan untuk pengembangan kedelai toleran intensitas cahaya rendah membutuhkan informasi tentang pola pewarisan karakter-karakter yang ingin diperbaiki. Berdasarkan informasi pola pewarisan dapat ditentukan metode dan karakter seleksi yang tepat sehingga dapat memaksimalkan kemajuan seleksi dan mempercepat proses pemuliaan. Seleksi merupakan kegiatan penting dalam pemuliaan tanaman karena sangat menentukan tercapainya tujuan pemuliaan. Keberhasilan seleksi diduga dengan menghitung respon seleksi yang menunjukkan kemajuan genetik yang diperoleh setelah dilakukan seleksi.

Umumnya pembentukan varietas baru pada tanaman menyerbuk sendiri seperti kedelai diarahkan untuk membentuk galur murni yang didasarkan atas aksi gen aditif karena hanya aksi gen aditif yang diwariskan. Proporsi ragam yang disebabkan oleh aksi gen aditif terhadap ragam fenotipe disebut dengan nilai heritabilitas arti sempit. Nilai heritabilitas arti sempit sangat penting untuk menduga kemajuan genetik setelah seleksi karena kemajuan genetik berbanding lurus dengan nilai heritabilitas arti sempit. Guna memaksimalkan perolehan kemajuan genetik maka sangat perlu memilih karakter yang mempunyai nilai heritabilitas arti sempit yang tergolong tinggi di antara karakter yang diamati untuk dijadikan karakter seleksi (Roy 2000; Chahal dan Gosal 2003).

Seleksi dapat dilakukan pada generasi awal atau generasi lanjut tergantung pada aksi gen atau nilai heritabilitas dari karakter yang ingin diperbaiki. Jika karakter yang ingin diperbaiki mempunyai nilai heritabilitas arti sempit yang besar maka seleksi akan efisien dilakukan pada generasi awal, sedangkan jika nilai heritabilitas arti sempit tergolong kecil maka seleksi harus ditunda sampai generasi lanjut agar gen-gen aditif sudah terfiksasi dengan baik.

Salah satu tujuan pemuliaan kedelai adalah perbaikan daya hasil tanaman. Seleksi untuk perbaikan daya hasil dapat dilakukan berdasarkan karakter primer yaitu seleksi langsung terhadap daya hasil atau berdasarkan karakter sekunder yaitu seleksi berdasarkan karakter selain daya hasil. Seleksi berdasarkan karakter


(42)

primer akan efektif jika karakter primer mempunyai nilai heritabilitas arti sempit yang tergolong tinggi. Jika karakter primer mempunyai nilai heritabilitas lebih rendah dari karakter sekunder maka seleksi berdasarkan karakter sekunder akan lebih efektif. Selain mempertimbangkan nilai heritabilitas, untuk memilih karakter sekunder yang paling efektif untuk dijadikan karakter seleksi juga harus memperhatikan nilai respon terkorelasi antara karakter sekunder dengan karakter primer (Falconer dan Mackay 1996). Karakter sekunder dapat dijadikan karakter seleksi jika mempunyai respon terkorelasi lebih besar dari satu (Roy 2000).

Hasil studi pola pewarisan pada beberapa populasi hasil hibridisasi di antara dua tetua menunjukkan bahwa karakter hasil dan komponen hasil dalam kondisi intensitas cahaya rendah diwariskan dengan nilai heritabilitas yang rendah (Wibowo 2002; Trikoesoemaningtyas et al. 2004; Wirnas et al. 2005). Hasil penelitian yang lain menunjukkan bahwa karakter hasil mempunyai nilai heritabilitas arti sempit dan heritabilitas arti luas lebih besar dari karakter anatomi pada kedelai seperti luas daun, bobot daun spesifik, kerapatan trikoma, kandungan klorofil a dan kandungan klorofil b dalam kondisi cekaman intensitas cahaya rendah (Sopandie et al. 2003c; Handayani 2003; La Muhuria 2007; Kisman 2007).

Hasil penelitian terdahulu menunjukkan adanya perbedaan hasil di antara berbagai studi pewarisan pada berbagai karakter kedelai dalam kondisi intensitas cahaya rendah. Beberapa hasil penelitian sebelumnya menunjukkan adanya kecenderungan bahwa karakter hasil pada kedelai mempunyai nilai heritabilitas arti luas maupun arti sempit lebih tinggi daripada karakter anatomi maupun morfologi dalam kondisi intensitas cahaya rendah. Hal ini menunjukkan adanya peluang untuk menggunakan karakter hasil atau komponen hasil sebagai karakter seleksi. Namun, sampai sejauh ini belum banyak dilaporkan informasi tentang pola pewarisan karakter hasil dan komponen hasil pada kedelai dalam kondisi intensitas cahaya rendah.

Sampai sejauh ini informasi tentang pola pewarisan yang lebih lengkap terutama tentang aksi gen yang mengendalikan karakter agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah masih sangat terbatas sehingga penelitian ini masih perlu dan penting untuk dilakukan. Salah satu pendekatan yang dapat


(1)

(2)

Tabel Lampiran 1. Daftar primer yang diseleksi untuk mendapatkan primer yang polimorfik dan terpaut dengan tetua toleran

No. Primer Sekuens No. Primer Sekuens

1 OPE01 5’CCCAAGGTCC’3 31 OPH11 5’CTTCCGCATG’3

2 OPE02 5’GGTGCGGGAA’3 32 OPH12 5’ACGCGCATGT’3

3 OPE03 5’CCAGATGCAC’3 33 OPH13 5’GACGCCACAC’3 4 OPE04 5’GTGACATGCC’3 34 OPH14 5’ACCAGGTTGG’3

5 OPE05 5’TCAGGGAGGT’3 35 OPH15 5’AATGGCGCAG’3

6 OPE06 5’AAGACCCCTC’3 36 OPH16 5’TCTCAGCTGG’3

7 OPE07 5’AGATGCAGCC’3 37 OPH17 5’CACTCTCCTC’3

8 OPE08 5’TCACCACGGT’3 38 OPH18 5’GAATCGGCCA’3 9 OPE09 5’CTTCACCCGA’3 39 OPH19 5’CTGACCAGCC’3

10 OPE10 5’CACCAGGTGA’3 40 OPH20 5’GGGAGACATC’3

11 OPE11 5’GAGTCTCAGG’3 41 OPM01 5’GTTGGTGGCT’3 12 OPE12 5’TTATCGCCCC’3 42 OPM02 5’ACAACGCCTC’3 13 OPE13 5’CCCGATTCGG’3 43 OPM03 5’GGCGGATGAG’3 14 OPE14 5’TGCGGCTGAG’3 44 OPM04 5’GGCGGTTGTC’3

15 OPE15 5’ACGCACAACC’3 45 OPM05 5’GGGAACGTGT’3

16 OPE16 5’GGTGACTGTG’3 46 OPM06 5’CTGGGCAACT’3 17 OPE17 5’CTACTGCCGT’3 47 OPM07 5’CCGTGACTAC’3

18 OPE18 5’GGACTGCAGA’3 48 OPM08 5’TCTGTTCCCC’3

19 OPE19 5’ACGGCGTATG’3 49 OPM09 5’GTCTTGCGGA’3

20 OPE20 5’AACGGTGACC’3 50 OPM10 5’TCTGGCGCAC’3

21 OPH01 5’GGTCGGAGAA’3 51 OPM11 5’GTCCACTGTG’3

22 OPH02 5’TCGGACGTGA’3 52 OPM12 5’GGGACGTTGG’3 23 OPH03 5’AGACGTCCAC’3 53 OPM13 5’GGTGGTCAAG’3

24 OPH04 5’GGAAGTCGCC’3 54 OPM14 5’AGGGTACCAC’3

25 OPH05 5’AGTCGTCCCC’3 55 OPM15 5’GACCTACCAC’3 26 OPH06 5’ACGCATCGCA’3 56 OPM16 5’GTAACCAGCC’3 27 OPH07 5’CTGCATCGTG’3 57 OPM17 5’TCAGTCCGGG’3

28 OPH08 5’GAAACACCCC’3 58 OPM18 5’CACCATCCGT’3

29 OPH09 5’TGTAGCTGGG’3 59 OPM19 5’CCTCCAGGCA’3 30 OPH10 5’CCTACGTCAC’3 60 OPM20 5’AGGTCTTGGG’3


(3)

Tabel Lampiran 2. Hasil pengukuran dengan spektrofotometer DNA RILs F6 kedelai hasil persilangan Ceneng dan Godek

No. genotipe λ1 λ2 λ1/λ2 Konsentrasi DNA (ng/µL)

V1 (µL)

V2 (µL)

1 CG-30-10 0.080 0.044 1.82 600.0 4.2 95.8

2 CG-28-3 0.190 0.100 1.90 1425.0 1.8 98.2

3 CG-2-2 0.053 0.029 1.83 397.5 6.3 93.7

4 CG-26-4 0.115 0.056 2.05 862.5 2.9 97.1

5 CG-56-3 0.047 0.026 1.81 352.5 7.1 92.9

6 CG-31-7 0.100 0.053 1.89 750.0 3.3 96.7

7 CG-69-8 0.144 0.072 2.00 1080.0 2.3 97.7

8 CG-69-3 0.088 0.047 1.87 660.0 3.8 96.2

9 CG-2-1 0.121 0.064 1.89 907.5 2.8 97.2

10 CG-43-6 0.193 0.102 1.89 1447.5 1.7 98.3

11 CG-60-1 0.141 0.070 2.01 1057.5 2.4 97.6

12 CG-57-8 0.055 0.030 1.83 412.5 6.1 93.9

13 CG-13-6 0.065 0.036 1.81 487.5 5.1 94.9

14 CG-31-4 0.122 0.062 1.97 915.0 2.7 97.3

15 CG-63-1 0.096 0.053 1.81 720.0 3.5 96.5

16 CG-45-2 0.106 0.053 2.00 795.0 3.1 96.9

17 CG-5-8 0.186 0.091 2.04 1395.0 1.8 98.2

18 CG-43-10 0.224 0.124 1.81 1680.0 1.5 98.5

19 CG-60-4 0.114 0.055 2.07 855.0 2.9 97.1

20 CG-9-2 0.106 0.052 2.04 795.0 3.1 96.9

21 CG-22-6 0.181 0.095 1.91 1357.5 1.8 98.2

22 CG-49-6 0.066 0.036 1.83 495.0 5.1 94.9

23 CG-18-5 0.211 0.106 1.99 1582.5 1.6 98.4

24 CG-32-4 0.208 0.108 1.93 1560.0 1.6 98.4

25 CG-30-4 0.247 0.129 1.91 1852.5 1.3 98.7

26 CG-27-8 0.196 0.096 2.04 1470.0 1.7 98.3

27 CG-74-10 0.063 0.034 1.85 472.5 5.3 94.7

28 CG-9-5 0.101 0.050 2.02 757.5 3.3 96.7

29 CG- 46-2 0.246 0.128 1.92 1845.0 1.4 98.6

30 CG- 22-4 0.064 0.036 1.78 480.0 5.2 94.8

31 CG-23-10 0.075 0.036 2.08 562.5 4.4 95.6

32 CG-14-8 0.163 0.078 2.09 1222.5 2.0 98.0

33 CG-17-7 0.147 0.075 1.96 1102.5 2.3 97.7

34 CG-57-4 0.093 0.049 1.90 697.5 3.6 96.4

35 CG-38-2 0.085 0.045 1.89 637.5 3.9 96.1

36 CG-3-7 0.222 0.114 1.95 1665.0 1.5 98.5

37 CG-66-8 0.084 0.038 2.21 630.0 4.0 96.0

38 CG-44-9 0.231 0.116 1.99 1732.5 1.4 98.6

39 CG-17-6 0.112 0.053 2.11 840.0 3.0 97.0

40 CG-6-2 0.255 0.135 1.89 1912.5 1.3 98.7


(4)

Tabel Lampiran 2. Hasil pengukuran dengan spektrofotometer DNA RILs F6 kedelai hasil persilangan Ceneng dan Godek (lanjutan)

No. genotipe λ1 λ2 λ1/λ2 Konsentrasi DNA (ng/µL)

V1 (µL)

V2 (µL)

42 CG-80-5 0.137 0.068 2.01 1027.5 2.4 97.6

43 CG-29-2 0.144 0.073 1.97 1080.0 2.3 97.7

44 CG-23-7 0.122 0.060 2.03 915.0 2.7 97.3

45 CG-53-9 0.055 0.028 1.96 412.5 6.1 93.9

46 CG-21-1 0.123 0.061 2.02 922.5 2.7 97.3

47 CG-29-4 0.095 0.045 2.11 712.5 3.5 96.5

48 CG-76-7 0.109 0.060 1.82 817.5 3.1 96.9

49 CG-76-10 0.163 0.084 1.94 1222.5 2.0 98.0

Keterangan :

V1= volume DNA yang diperlukan untuk menyiapkan larutan DNA dengan konsentrasi 25 ng/µL

V2= volume H2O yang diperlukan untuk memyiapkan 100 µL larutan DNA dengan konsentrasi 25 ng/µL


(5)

ABSTRACT

DESTA WIRNAS. Selection Character for Low-Light Tolerance in Soybean Based on Biometric and Molecular Analysis under the direction of Didy Sopandie, Trikoesoemaningtyas and Sobir.

Soybean is a high value commodity because it is the primary source of protein for the people of Indonesia. The increase of the domestic soybean production is important to fulfill soybean consumption. The increase of the domestic production could be reached by extensification of harvesting area and improvement of productivity. One of the alternatives for extensification of soybean production is growing soybean as intercrop with estate crops. The main problem in growing soybean as intercrop with estate crops is low light intensity. The problem of low light intensity in the intercropping of soybean with estate crops should be overcome by developing tolerant soybean varieties. Developing tolerant soybean varieties to low light intensity needs genetic markers as spesific selection criteria or marker assisted selection.

The objective of this study was to develop selection criteria for low light intensity tolerance in soybean based on quantitative and molecular analysis. Quantitative analysis was conducted to estimate the inheritance pattern of agronomic traits under low light intensity which was conducted in a diallel matting design; whereas, the molecular analysis was conducted to identify RAPD markers linked to QTL related to agronomic traits under low-light intensity condition. Four parental lines were used in the diallel crossing, namely, Ceneng, Godek (tolerant parents), Slamet and Pangrango (sensitive parents). The genetic materials used in the QTL analysis based on RAPD markers were Ceneng, Godek and F6 Recombinant Inbred Lines derived from the hybridization between Ceneng and Godek.

The diallel analysis revealed that the additive-dominant gene action was sufficient to explain the variability of agronomic traits of soybean under low light intensity condition except for the number of total pod per plant. The allelic interaction for plant height, number of productive branch, number of total node and number of filled pod was over dominance; whereas, number of unfilled pod, number of total pod, percentage of filled fod and seed weight were controlled by partial-dominant gene action. The broad-sense heritabilities were high for all of the traits (0.75-0.96); whereas, narrow sense heritabilities were high for the number of unfilled pod, percentage of filled fod and seed weight. The results suggested that seed weight is the selection criteria for yield improvement of soybean under low light intensity condition.

The results of molecular analysis show that 9 primers were polymorphic and linked to the tolerant parent (Ceneng). The Primers only produced 14 RAPD markers which were polymorphic and linked to the tolerant parent. The markers are distributed into a linkage group containing seven markers. RAPD markers (OPE15-800, OPM20-800) is linked to two QTLs controlling number of productive node and seed weight, respectively. The Marker linked to QTL controlling seed weight could be used in a marker assisted selection for tolerant soybean lines to low light intensity. Key words: soybean, low-light intensity tolerance, heritability, QTL, RAPD


(6)

ABSTRAK

DESTA WIRNAS. Pemilihan Karakter Seleksi Berdasarkan Analisis Biometrik dan Molekuler untuk Merakit Kedelai Toleran Intensitas Cahaya Rendah. Dibimbing oleh Didy Sopandie, Trikoesoemaningtyas dan Sobir.

Kedelai adalah komoditi yang bernilai ekonomi tinggi karena merupakan sumber utama protein nabati bagi bangsa Indonesia. Peningkatan produksi kedelai sangat penting dilakukan untuk memenuhi kebutuhan kedelai nasional melalui perluasan areal panen dan peningkatan produktivitas. Perluasan areal panen dapat dilakukan dengan memanfaatkan lahan yang ada di bawah tegakan tanaman perkebunan ( kondisi intensitas cahaya rendah). Kendala utama budidaya kedelai di bawah tegakan adalah berkurangnya intensitas cahaya yang diterima oleh tanaman sehingga perlu tersedia varietas yang adaptif dan berdaya hasil tinggi dalam kondisi intensitas cahaya rendah.

Tujuan penelitian ini adalah memilih karakter seleksi bagi kedelai toleran intensitas cahaya rendah melalui analisis kuantitatif dan molekuler. Analisis kuantitatif dilakukan berdasarkan analisis dialel yang bertujuan untuk mengetahui pola pewarisan karakter agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah. Bahan tanaman yang digunakan dalam analisis dialel adalah empat tetua yaitu Ceneng dan Pangrango (tetua toleran) serta Slamet dan Godek (tetua peka), dan F1 hasil persilangan di antara keempat tetua. Analisis molekuler dilakukan melalui analisis QTL yang bertujuan untuk mendapatkan marka molekuler yang terpaut dengan QTL yang mengendalikan daya hasil pada kondisi intensitas cahaya rendah. Bahan tanaman yang digunakan dalam analisis QTL adalah Ceneng, Godek dan rekombinant inbreed lines generasi F6 hasil persilangan kedua tetua.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa model genetik aditif-dominan mampu menjelaskan keragaman karakter agronomi kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah kecuali karakter jumlah polong total. Ragam aditif berpengaruh nyata untuk karakter jumlah polong hampa, persentase polong isi dan daya hasil sedangkan ragam dominan berpengaruh nyata untuk semua karakter yang diamati. Nilai heritabilitas arti luas tergolong tinggi untuk semua karakter yaitu berkisar antara 75.0–96.0%, sedangkan nilai heritabilitas arti sempit tergolong tinggi hanya pada karakter jumlah polong hampa, persentase polong isi dan daya hasil Berdasarkan hasil penelitian ini maka karakter seleksi untuk perbaikan daya hasil kedelai pada kondisi intensitas cahaya rendah adalah daya hasil.

Hasil yang diperoleh dari analisis molekuler adalah 9 primer RAPD yang menghasilkan 14 marka polimorfik dan terpaut dengan tetua toleran terhadap intensitas cahaya rendah. Konstruksi peta pautan dibuat dengan menggunakan 14 marka RAPD tersebut menghasilkan satu kelompok pautan yang mengandung tujuh marka. Dalam penelitian ini diperoleh dua QTL yang masing-masing mengendalikan karakter jumlah buku total dan daya hasil. Marka yang terpaut dengan QTL yang mengendalikan karakter jumlah buku total adalah OPE15-800, sedangkan marka RAPD yang terpaut dengan QTL yang mengendalikan karakter daya hasil adalah OPM20-800. Berdasarkan hasil penelitian ini maka disarankan untuk menggunakan marker yang terpaut dengan QTL yang mengendalikan daya hasil sebagai alat bantu seleksi bagi kedelai toleran terhadap intensitas cahaya rendah.