Kajian pemanfaatan ruang dalam kaitannya dengan resiko banjir di Kabupaten Bandung

KAJIAN PEMANFAATAN RUANG DALAM KAITANNYA
DENGAN RESIKO BANJIR DI KABUPATEN BANDUNG

SEKOLAH PASCASARJANA
XNSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Pemanfaatan Ruang dalam
Kaitannya dengan Resiko Banjir di Kabupaten Bandung adalah karya saya sendiri
dan belurn diajukan dalarn bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Maret 2007

ASRl SAVITRI
NRP A253050354

;


ABSTRAK

ASRI SAVITRI. Kajian Pemanfaatan Ruang Dalam Kaitannya dengan Resiko
Banjir di Kabupaten Bandung. Dibiibing oleh BABA BARUS, SUDARMO dan
BOEDI TJAHJONO.
Banjir merupakan fenomena yang selalu terjadi d a i melanda daerah rawan
banjir di cekungan Bandung pada tiap musim hujan. am& dalam betierapa
tahun terakhir, banjir yang melanda Kabupaten Bandung telah menimbulkan
kerugian yang sangat besar hingga melumpuhkan kegiatan ekonomi. Pemerintah
setempat sebagai pengelola wilayah telah berupaya secara struktmd maupun non
struklural untuk mengendalikan.banjir. Penataan ruang sebagai sal& satu upaya
non struktur dalam mitigasi Kencana belum .berhasil menangani resiko akibat
banjir di Kabupaten Bandung terbukti masih besarnya kerugian dan masalah sosia
pasca banjir.
Tujuan penelitian ini adalah: (1) menganalisis realisasi pemanfaatan mang
di Kah~patenBandung,. (2) membuat peta bahaya dan resiko banjir Kabupaten
Bandung, (3) mengetahui kaitan spasid pemanfaatan lahan dengan banjir di
Kabupaten Bandung, (4) mengetahui persepsi masyarakat terhadap banjir dan
penataan ruang, dan (5) memberi masukan upaya penataan ruang dalam

mengurangi resiko banjir di Kabupaten Bandung.
Data yang digunakan berasal dari data primer seperti penggunaan lahan
dan persepsi masyarakat yang diperoleh menggunakan GPS dan kuesioner,. serta
data sekunder berupa peta-peta tematik maupun data-data sosial ekonomi yang
dikumpulkan dari instansi terkait. Analisis data yang dipakai adalah analisis
spasial dari Sistem Informasi Geografis yang kemudian dilanjutkan dengan
analisis deskripsi. Metode yang dilakukan meliputi wawancarauntuk persepsi
masyarakat, tumpang tindii pem untuk menghasilkan peta kontrol pemanfaatan
ruang serta peta bahaya dan resiko banjir, dan pengharkatan dalam
pengelompokan data.
Hasil analisis menunjukkan penyimpangan tata ruang di Kabupaten
Bandung cukup tinggi yaitu 73%, namun penggunaanlpenutupan lahan hutan
(23.4%) dan perkebunan PTP (0.8%) mendekati luas peruntukan, sedangkan luas
kebun campuran melebihi luis peruntukan (32.6%), dan sawah kurang dari
peruntukan (5.6%). Berdasarkin peta bahaya banjir, daerah bahaya banjir di
Kabupaten Bandung terdiri dari bahaya tinggi (2 416.5 ha), bahaya sedang (2
767.2 ha), bahaya rendah (8 338.8 ha) dan tidak bahaya (293 848.5 ha) yang
termasuk pada sub DAS Cikapundung, Citarik, Cirasea, Cisangkuy, dan Ciwidey.
Peta resiko banjir dikelompokan atas resiko tinggi (159.5 ha), resiko sedang (3
971.6 ha), resiko rendah (9 391.3 ha), dan tidak beresiko (293 848.5 ha).

Mayoritas responden tidak mengetahui teknik-teknik konservasi d G informasi
tentang penataan mang, tapi mempunyai keinginan untuk berperan serta dalarn
kegiatan penataan ruang. Karena itu diperlukan penataan ruang yang
memperhatikan aspek resiko banjir dan aspirasi masyarakat, terutama di daerah
aliran sungai stimulan banjir di Kabupaten Bandung
Kata Kunci : bahaya, resiko banjir,
pengharkatan

pemanfaatan ruang, penyimpangan,

ABSTRACT
ASRI SAVITRI. Analysis of Relationship between Spatial Utilization and Flood
Risk in Bandung District. Supervised by BABA BARUS, SUDARMO and
BOEDI TJAHJONO.
Flood and its problems have to be a regular phenomenon in Bandung
Basin every rainy season, causing immense loss so that paralyze economic
activity in recent years. Indeed, Bandung District Government has tried to control
flooding by structural and non structural efforts. A spatial arrangement as one of
non structural policies for disaster mitigation has been one of unsuccessful efforts
to cope flood risk in Bandung District, pmved by losses and further social

problems after flood event.
The aims of this research were 1) to analyze realization of spatial utilization
in Bandung District, 2) to make flood hazard and flood risk map of Bandung
District; 3) to know a relationship between spatial utilization and flood in
Bandung District; 4) to know community perception about flood and spatial
arrangement; and 5) to give spatial arrangement suggestion for policy maker by
concerning flood risk reduction.
Data sources were derived from primary data such as landuse, community
perception by using GPS and questionnaire, and secondary data such as thematic
maps and socio-economic data collected froni relevant institutions. The datas
were analyzed spatially through GIs analysis then by descriptive analysis.
Research method covered interviewing to get responden perception, map overlay
to reveal land use map control, flood hazard and flood risk map, also scoring for
data classification.
Analysis results showed discrepancy of the spatial regional planning which
is 73%, but actual forest (23.4%) and private plantation (0.8%) area are close to
the spatial allocation, whereas mix garden area (32.6%) exceed its allocation, and
paddy field area (5.6%) less than its allocation. Based on flcod hazard map,
hazardous area in Bandung District comprise high hazard (2 416.5 ha), moderate
hazard (2 767.2 ha), low hazard (8 338.8 ha), and no hazard (293 848.5 ha),

distributed in Cikapundung, Citarik, Cirasea, Cisangkuy, and Ciwidey sub
watershed. Flood risk map contains several classes, viz: high risk (159.5 ha),
moderate risk (3 971.6 ha), low risk (9 391.3 ha), and no risk (293 848.5 ha).
Majority of the responden do not know conservation techniques and spatial
arrangement information but they have high willingness to participate on spatial
arrangement activity. It is necessary for spatial mangement implementation by
concerning flood risk aspect and community aspiration, especial!^ in flood
stimulant sub watersheds of Bandung District.
Keywords : hazard, flood risk, spatial utilization, discrepancy, scoring.

KAJIAN PEMANFAATAN RUANG DALAM KAITANNYA
DENGAN RESIKO BANJIR DI KABUPATEN BANDUNG

ASRI SAVITRI

Tesis
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Perencanaan,Wilayah


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007

Judul Tesis

: Kajian Pemanfaatan Ruang dalam Kaitannya dengan Resiko

Nama
NRP

:
:

Banjir di Kabupaten Bandung
Asri Savitri
A 253050354

Disetujui

Komisi Pembimbing

-

Dr. Ir. Baba Barus, MSc
Ketua

Dr. Ir. Sudarmo, MSi
Anggota

Tanggal Ujian : 15 Pebruari 2007

Dr. Boedi Tiahiono
Anggota

Tanggal Lulus :

1 6 MAR 2007

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian ini adalah pendekatan upaya penataan ruang sebagai mitigasi bencana
banjir, dengan judul Kajian Pemanfaatan Ruang dalam Kaitannya dengan Resiko
Banjir di Kabupaten Bandung.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Baba
Barus, M.Sc., Dr. Sudarmo, M.Si., dan Dr. Boedi Tjahjono atas bantuan
pemikiran dan kritik selama membimbing penulis, juga Dr. 11. Suria Darma
Tarigan, M.Sc yang telah banyak memberi saran sebagai penguji luar komisi
pembimbing. Disamping itu penghargaan penulis sa~npaikanpada pimpinan dan
staf Pusbindiklatren Bappenas atas kesempatan beasiswa yang diberikan bagi
penulis, segenap staf pengajar dan manajemen Program Studi Ilmu Perencanaan
Wilayah IPB, Bupati Bandung atas kesempatan yang diberikan bagi penulis, serta
semua pihak yang telah membantu psnulis dalam pengumpulan data yang tidak
mungkin penulis sebutkan satu per satu. Tak lupa pula kepada rekan-rekan PWL
2005 dan kos-an QShop atas segala keceriaan dan rasa kebersamaan selama
penulis menjadi mahasiswa. Ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya spesial
penulis tujukan kepada orang tua, suami, serta anak-anak penulis tercinta atas
segala doa dan dukungannya.
Suatu ciptaan manusia tidak ada yang sempurna dan setidaknya telah
dilakukan upaya untuk mencapai yang terbaik, semoga karya ilmiah ini

bermanfaat.
Bogor, Maret 2007

RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir pada tanggal 1 September 1972 di Bandung, Jawa Barat, dari
ayah IG Westra dan ibu Asma Iljas. Penulis merupakan anak pertama dari dua
bersaudara.
Setelah lulus pendidikan menengah dari SMAN 3 Bandung pada tahun
1992 penulis melanjutkan pendidikan tinggi di Fakultas Pertanian Universitas
Padjadjaran, dan menyelesaikannya pada tahun 1997. Tahun 1998-2000 penulis
sempat terlibat di LSM yang bergerak dalam bidang pertanian dan pelestarian
hutan. Penulis diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil pada tahun 2000 di
lingkungan pemerintahan Kabupaten Bandung pada Dinas Perhutanan Konservasi
Tanah, dan sejak tahun 2002 menjadi staf pada Dinas Lingkungan Hidup.
Kesempatan melanjutkan pendidikan diperoleh pada tahun 2005 di
Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana IPB dengan
bantuan biaya dari Pusbindiklatren Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(Bappenas).

DAFTAR IS1

Halamao

DAFTAR TABEL ..............................................

vi

DAFTARGAMB AR ............................................

vii

DAFTARLAMPIRAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

ix

PENDAHULUAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
LatarBelakang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Perumusan Masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Tujuan dan Manfaat Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Kerangka Pemikiran Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .


1
1
3
5
5

TINJAUANPUSTAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
PenataanRuang ...........................................
Penggunaan Lahan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Siklus Hidrologi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Bahaya Banjir dan Pengurangan Resiko Banjir . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Sistem Infomasi Geografis . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

7
7
9
11
14
19

DESKRIPSI UMUM WILAYAH . . . . . . . . . . . . . . . .
Lokasi dan Kondisi Fisik Geografis . . . . . . . . .
Sejarah dan Kondisi Sosial Ekonomi . . . . . . . .
Kebijakan Pembangunan Kabupaten Bandung .
Perkeinbangan Bencana Banjir . . . . . . . . . . . . .
METODOLOCI PENELITIAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Lokasi dan Waktu Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
MetodePeneliti an . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Persiapan dan Pemasukan Data . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
..
A n a l ~ s Data
~s . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Penyajian Hasil Analisis . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Analisis Deskriptif. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
HAS= DAN PEMBAHASAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Realisasi Pemanfaatan Ruang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Hutan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Industri. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Kebun Campuran . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Ladang. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Perkebuna~PTP. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Pemukiman. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Sawah. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
SitulKolam~Waduk. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Tanah kosong/Semak . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

35
35
35
37
39
47
47

Daerah Bahaya Banjir ......................................
Wilayah Resiko Banjir . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Kaitan Penggunaan Lahan Aktual Terhadap Banjir ...............
Persepsi Masyarakat .......................................
..
Frekuensi Banjir ....................................
Persepsi Penyebab Banjir .............................
Pengetahuan Konsewasi ..............................
Pengetahuan Informasi Tata Ruang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Kesadaran Partisipasi Masyarakat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Penataan Ruang Berdasarkan Aspek Resiko Banjir . . . . . . . . . . . . . . .
Perencanaan Tata Ruang ..............................
Pemanfaatan Ruang .................................
Pengendalian Tata Ruang .............................
KESIMPULAN DAN SARAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Kesimpulan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Saran . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
GLOSARI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
DAFTARPUSTAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

DAFTAR TABEL
Halaman

Data sekunder penelitian

....................................

Kelasbahayabanjir .....................................
Skorkomponenproperti

.....................................

.. .......................................

37

42
44

Tingkat resiko baqlr

46

Luas area ketidaksesuaian penggunaan lahan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

51

Luas daerah bahaya banjir (berdasarkan kejadian banjir)

. . . . . . . . . . . 64

Penggunaaan lahan pada berbagai tingkat resiko banjir.............

69

Luas daerah resiko banjir pada wilayah kecamatan. . . . . . . . . . . . . . . .

72

DAFTAR GAMBAR
Halaman
Diagram kerangka pemikiran penelitian .......................

6

Siklus hidrologi ..........................................

13

Diagram mekanisme terjadinya banjir . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

15

DAS dan jaringan sungai Kabupaten Bandung. . . . . . . . . . . . . . . . . .

26

Jaringan jalan Kabupaten Bandung. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 28
Peta administrasi kecamatan dan kepadatan penduduk Kabupaten 29
Bandungtahun2004 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Peta rencana pemanfaatan ruang Kabupaten Bandung ............

31

Genangan di wilayah Bandung dan sekitamya (kompilasi tahun 34
1986-2006) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Debit rata-rata tahunan Sungai Citarum dan pada saat banjir tahun
1994-2005 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

34

Peta lokasi penelitian. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

35

Diagram tahapan penelitian. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

36

~.

Tahapan pembuatan peta kontrol penggunaan lahan terhadap 41
RTRW. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Tahap pembuatan peta bahaya banjir. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

41

Bagan pembuatan peta resiko banjir . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

43

Penentuan skor totai dari atribut properti. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 45
Pemanggilan lokasi data responden. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

47

Penggunaan lahan Kabupaten Bandung (hasil verifikasi) . . . . . . . . .

49

Grafik kesesuaian dan ketidaksesuaian terhadap RTRW . . . . . . . . . .

59

Persentase luas penyimpangan masing-masing peruntukan lahan....

59

.

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman

1

Kuesioner .............................................

105

2

Luas wilayah dan kependudukan Kabupaten Bandung tahun 2004.

109

3

Peta kontrol RTRW terhadap penggunaan lahan a h a 1 Kabupaten
Bandung (detail) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

110

4

Foto-foto ..............................................

115

Peta kontrol penggunaan lahan terhadap RTRW (global). . . . . . . . .

60

Daerah genangan di Bandung dan sekitarnya pada peristiwa banjir
tahun 1986-2006 (verifikasi) . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . .. . . . . . . . . .
Peta bahaya bai~jirberdasarkan kejadian banjir. . . . . . . . . . . . . . . . . .
Sub DAS yang meliputi daerah bahaya banjir. . . . . . . . . . ... . . . . .
Peta resiko banjir Kabupaten Bandung. . . . . . . . . . . . . . . . . .
Jaringan jalan dan fasos fasum di daerah beresiko banjir . . . . . . . .
Penggunaan
lahan pada sub DAS yang meliputi daerah beresiko
..
banjir. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Penyimpangan tata mang pada Sub DAS penyuplai banjir. . . . . . . . .
Frekuensi banjir menurut masyarakat. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Penyebab banjir menurut masyarakat. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Distribusi pengetahuan konservasi masyarakat. . . . . . . . . . . . . . . . . .
Pengetahuan masyarakat tentang penyebaran infonnasi tata mang . .
Sebaran keinginan partisipasi masyarakat dalam penataan ruang. . .
Skema upaya penataan ruang Kabupaten Bandung memperhatikan
aspek resiko banjir . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

viii

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kegiatan manusia dan mahluk hidup membutuhkan ruang sebagai lokasi
berbagai kegiatan atau sebaliknya suatu ruang dapat inewadahi berbagai kegiatan
sesuai dengan kondisi alam setempat dan teknologi yang diterapkan. Oleh karena
itu, pemanfaatan ruang yang baik memerlukan suatu penataan yang komprehensif.
Penataan ruang hams mempertimbangkan berbagai aspek kehidupan yang
mencakup perencanaan, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan
ruang. Bila suatu penataan ruang tidak didasari deugan pertimbangan rasional
sesuai dengan potensi wilayah tersebut, maka dapat terjadi inefisiensi ruang atau
penurunan kualitas ruang. Hal ini dapat berdampak pada rusaknya ekologi
lingkungan dan beresiko mengalami bencana yang dapat muncul secara tak
terduga.
Seiring dengan perkembangan wilayah, pemanfaatan ruang cenderung
mengalami suatu perubahan. Hal ini dipengaruhi oleh aktivitas manusia untuk
kepentingan ekonomi dan peningkatan jumlah penduduk. Menurut Nugroho dan
Dahuri (2004), pertumbuhan ekonomi dan penduduk yang memusat di wilayah
perkotaan menuntut ruang yang lebih luas ke arah luar kota untuk berbagai
aktivitas ekonomi dan permukiman. Kesemuanya itu akan mengakibatkan
kompetisi pemanfaatan lal~an untuk usaha, permukiman, dan pembangunan
prasarana dan sarana publik.
Kabupaten Bandung adalah daerah yang berbatasan langsung dengan Kota
Bandung yang merupakan ibu kota Provinsi Jawa Barat, sehingga perkembangan
Kota Bandung yang dapat dilihat dari jumlah penduduk, tarsf sosial ekonomi, tata
guna tanah, budaya, dan lain-lain juga akan mempengaruhi percepatan
perkembangan wilayah di Sabupaten Bandung dari sudut pandang yang sama.
Kondisi ini mempengaruhi minat pendatang untuk menetap dan mengadu nasib,
sehingga arus urbanisasi tak dapat dihindarkan, dan kebutuhan akan lahan pull
ineningkat yang berakibat pada perubahan penggunaan lahan yang pesat, yang
cenderung menyalahi tata ruang.

Sejauh ini, pemerintah daerah Kabupaten Bandung telah mencoba
mengakomodir kebutuhan penduduk maupun tuntutan pembangunan yang ada
sesuai dengan kemampuan daerahnya, diantaranya dengan tersusunnya Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten yang diharapkan dapat menjadi acuan
pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan. Dari RTRW yang dirancang sampai
tahun 2010 ini telah dialokasikan kawasan lindung seluas 84 462 hektar dan
kawasan budidaya seluas 227 013 hektar (Pemkab Bandung 2001).
Pada kenyataannya, akhir-akhir ini terjadi kecenderungan pemanfaatan
mang kawasan lindung sebagai daerah budidaya, ditandai dengan aktivitas tegalan
(ladang) maupun penebangan liar di hutan lindung, adanya permukiman dan
industri di sckitar waduk, sempadan sungai, maupun di daerah resapan. Hal ini
dapat terjadi karena ketidaktahuan masyarakat tentang peraturan-peraturan yang
berlaku, tekanan ekonomi, ataupun lemahnya penegakan hukum terhadap
pelanggar aturan. Di Kabupaten Bandung, perubahan penggunaan lahan paling
tinggi terjadi di bagian selatan yang berbatasan langsung dengan Kota Bandung
seperti di Kecamatan Baleendah, Katapang, Pameungpeuk, dan Dayeuhkolot.
Peristiwa ini berkaitan dengan relokasi industri dari Kota Bandung ke Kabupaten
Bandung maupun timbulnya kawasan industri bam di Kabupaten Bandung
(LPPM ITB 2003). Selain itu kepindahan pusat pemerintahan Kabupaten Bandung
dari Alun-Alun Kota Bandung ke Soreang (Kabupaten Bandung) pada tahun 1994
juga mendukung percepatan pembahan tata guna lahan. Perubahan ini tidak
terlepas juga dengan karakteristik wilayah di sekitar kecamatan-kecamatan
tersebut yang relatif datar sehingga memudahkan untuk dilakukan pembangunan,
dan dilewati oleh aliran sungai yang memudahkan aktivitas-aktivitas manusia
yang memerlukan air permukaan seperti permukiman dan industri.
Melihat kondisi fisik tersebu:, dapat dikatakan bahwa daerah-daerah
tersebut mempunyai potensi bahaya banjir dan sebenamya pembangunan di
daerah-daerah tersebut pun beresiko terhadap bencana banjir, selain itu
berubahnya daerah terbuka menjadi daerah terbangun, menyebabkan volume
aliran permukaan lneningkat dalanl siklus hidrologi. Lebih lagi daerah cekungan
yang dilalui oleh aliran Sungai Citarum (termasuk Sub DAS Citarum Hulu)
merupakan lokasi pertemuan anak-anak Sungai Citarum, yaitu Sungai

Cikapundung, Sungai Citarik, Sungai Cisangkuy, dan Sungai Cirasea, sehingga
merupakan daerah yang potensial terhadap banjir karena tingginya debit sungai di
daerah pertemuan sungai tersebut. Seperti yang dinyatakan oleh Warlina (2000)
serta Hidayat dan Mulyana (2002), daerah-daerah tersebut mempakan daerah
yang berdrainase buruk dan berbakat banjir. Sedangkan penelitian Suherlan
(2000), melalui parameter curall hujan, lereng, tekstur tanah, dan penggunaan
lahan menunjukkan bahwa sebagian besar kecamatan-kecamatan yang terletak di
selatan Bandung dan dilalui oleh aliran Sungai Citarum termasuk daerah rentan
banjir. Pada saat debit air yang melintasi anak-anak Sungai Citarum melebihi
kapasitas salurannya, maka pada daerah pertemuan anak-anak sungai tersebut,
terjadi luapan air atau banjir, sehingga menimbulkan bencana bagi populasi dan
permukilnan pada daerah tersebut.
Permukiman identik dengan manusia dengan berbagai macam aktivitas,
sehingga perilaku masyarakat juga tidak terlepas dari permasalahan banjir.
Menumt Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jawa
Barat, sampah donestik yang dibuang masyarakat ke saluran air seperti sungai,
berkoniribusi besar terhadap penyumbatan saluran, pendangkalan sungai,
sehingga kapasitas tampung sungai menumn yang dapat mengakibatkan banjir
jika terjadi hujan yang sangat deras (Kompas 2005).
Perurnusan Masalah
Banjir yang terjadi di Kabupaten Bandung telah menimbulkan banyak
kerugian baik jiwa maupun harta benda. Pada tahun 2005, banjir terjadi pada
musim penghujan yaitu bulan Januari hingga Maret, dan telah menenggelamkan
lebih dari 18 000 rumah. Kegiatan industri d m jasa menjadi lumpuh dan
mengakibatkan kerugian ratusan juta rupiah hanya dalam beberapa jam (Kompas
2005). Banjir menyisakan pula masalah sekunder seperti penyakit menular,
kerawanan sosial, dan penurunan kesejahteraan .
Sebagai upaya pengendalian banjir, pemerintah daerah telah melakukan
berbagai cara, yaitu secara stmktural seperti pelurusan dan pengerukan saluran,
juga secara non struktural antara lain dengan penataan ruang yang bersumber dari
pengumpulan data dan informasi, baik data fisik geografis, maupun sosial

ekonomi (Pemkab Bandung 2001). Namun, tampaknya upaya fisik maupun
informasi-informasi yang telah dikompilasi baik dalam bentuk peta maupun data
lain sebagai dasar penataan ruang masih belum efektif, sehingga banjir tetap
tejadi dan membawa akibat yang tidak ringan. Selain itu, kondisi masyarakat
yang secara sosial, ekonomi, maupun budaya beluin menyadari bahaya banjir,
sehingga juga dapat menjadi keterbatasan dalam upaya ini. Tidak adanya tindakan
tegas dari aparat dalam menegaMcan aturan yang telah dibuat turut berkontribusi
terhadap masalah banjir. Selma ini penataan ruang Icabupaten Bandung seolaholah tidak menjadi jaminan bahwa wilayahnya akan terhindari dari problematika
banjir, karena banjir di Kabupaten Bandung selalu mengakibatkan kerugian fisik
maupun materil yang rutin setiap tahun, sehingga kejadian banjir bisa m e q a k a n
salah satu indikasi kurang berfimgsinya penataan ruang. Situasi seperti ini tentu
tidak dapat dibiarkan terus, tapi harus segera dicarikan solusi mitigasi untuk
mengurangi terjadinya bencana.
Akar permasalahan dalam ha1 ini antara lain kurangnya informasi kepada
pembuat keputusan sebagai dasar pengambilan kebijakan, khususnya untuk
perencanaan tata ruang. Menurut Departemen PU (20051, s e l m a ini sifat dan
resiko kebencanaan belum dipertimbangkan sebagai salah satu aspek penting
dalam penataan ruang di berbagai daerah, termasuk beium lengkapnya data
kebencanaan untuk penataan ruang terutama peta bencana banjir dan peta resiko
(mikrozoning) banjir di berbagai daerah, sehingga mengakibatkan masalah banjir
menjadi bencana yang berulang dan tidak tertangani secara tuntas. Menurut
Abidin (2006), keterlambatan dalam memahami faktor-faktor banjir umumya
disebabkan kurang tersedianya data dan informasi keruangan yang rinci dan
komprehensif dari aspek fisik, sosial, dan ekonomi. Karena itu, penyediaan peta
yang aktual dan valid merupakan salah satu ha1 yang per111 dilaksanakan untuk
dapat memberikan informasi kepada para pembuat keputusan di pemerintahan
yang dapat membantu dalam penentuan kebijakan.
Berdasarkan uraian yang telah disebutkan, inaka masalah-masalah yang
dapat dilumuskan adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah realisasi pemanfaatan ruang di Kabupaten Bandung?

2. Bagaimanakah sebaran lokasi bahaya dan resiko banjir di Kabupaten

Bandung?

3. Bagaimanakah kaitan spasial pemanfaatan lahan dengan banjir di Kabupaten
Bandung?
4. Bagaimana persepsi masyarakat terhadap banjir dan penataan ruang?

5. Bagaimana upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalisir resiko banjir di
Kabupaten Bandung?
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan uraian pada latar belakang dan perumusan masalah maka
tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini edalah untuk :
1. Menganalisis realisasi pemanfaatan ruang di Kabupaten Bandung.

2. Membuat peta bahaya dan resiko banjir Kabupaten Bandung.
3. Mengetahui kaitan spasial pemanfaatan lahan dengan banjir di Kabupaten

Bandung.
4. Mengetahui persepsi masyarakat terhadap banjir dan penataan ruang.

5. Memberi masukan upayz penataan ruang dalam mengurangi resiko banjir di
Kabupaten Bandung.
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai
informasi bagi pihak pengambil keputusan di pemerintahan untuk menentukan
kebijakan dalam upaya mengendalikan banjir di Kabupaten Bandung
Kerangka Pemikiran Penelitian
S e l m a ini pemerintah Kabupaten Bandung telah berusaha untuk
memajukan daerallnya melalui program-program berupa RTRW dan peraturanperaturan daerah. Namun, dalam penerapannya sering terjadi penyimpangan
karena berbagai kondisi seperti kurang akomodatifnya RTRW maupun kesadvan
masyarakat yang rendah. Hal ini dapat mempakan salah satu faktor pendorong
perubahan fungsi lahan yang dapat berakibat pada penurunan kualitas lingkungan.
Berkurangnya daerah tangkapan air adalah salah satu bukti penulunan kualitas
lingkungan, dan ha1 ini berpotensi sebagai penyebab banjir yang dapat
mengakibatkan bencana. Banjir >ang terjadi di berbagai tempat aktivitas manusia

bisa merupakan peristiwa alam atau sebagai akibat degradasi lingkungan yang
akan terus berlangsung dan merusak jika tidak segera ditangani.
Penanganan masalah banjir ini tidak bisa dilakukan secara parsial, karena
seluruh sistem yang ada di suatu wilayah dapat memiliki pengaruh terhadap
banjir, dan kondisi itulah yang seharusnya dipahami oleh manusia. Keterbatasan
manusia dalam memahami karakteristik wilayahnya dari faktor-faktor penyebab
banjir salah satunya dapat dikarenakan kurang tersedianya informasi keruangan
yang valid. Sebagai langkah awal dalam upaya pengendalian banjir, diperlukan
wawasan dan pemahaman yang cukup terhadap karakteristik wilayah dan
masyarakat di daerahnya.
Adapun kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat dilihat pada
diagram yang ditampilkan pada Gambar 1
Program Pembangunan
Wilayah Kabupaten
Bandung
I

RTRW
Kabupaten

Penegakan
hukum lemah

kurang lengkap
RTRW kurang

*
pemban,

masyarakat

Perubahan penggunaan lahan

(ekosistem terganggu)

Bencana Banjir

.L

r~nalisisdan ~enilaianbahava serta resikol

1
Kesimoulan I solusi

0

= tidak

diteliti

Gambar 1 Diagram kerangka pemikiran penelitian.

TINJAUAN PUSTAKA
Penataan Ruaug
Menurut definisi W 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, ruang
adalah wadah yang meliputi ruang daratan, mang lautan dan ruang udara sebagai
satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup d m
melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Sedangkan
wilayah didefinisikan sebagai ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta
segenap unsur yang terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan
berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Dalam ha1 ini
pengertian wilayah terbagi menjadi dua, yaitu wilayah yang batas dan sistemnya
ditentukan berdasarkan aspek administratif disebut wilayah pe~nerintahan dan
wilayah yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional
disebut kawasan. Undang-undang tersebut membagi kawasan menjadi dua, yaitu
kawasan Iindung dan kawasan budidaya. Kawasan lindung meliputi hutaa
lindung, kawasan bergambut, kawasan resapan air, sempadan pantai, sempadan
kawasan sekitar wadukldanau, sernpadan sungai, daerah sekitar mata air, kawasan
suaka alam, kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya, kawasan pantai
berhutan bakau, taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam, kawasan
cagar budaya dan ilmu pengetahuan dan kawasan rawan bencana (bahaya banjir,
aliran lahar, gempa bumi, longsor, tsunami). Kawasan budidaya meliputi kawasan
hutan produksi, kawasan pertanian, kawasan permukiman, kawasan industri,
kawasan berikat, kawasan pariwisata, kawasan tempat pertahanan keamanan.
Penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan mang
dan pengendalian pemanfaatan mang. Penataan ruang mempakan kebijakm
dinamis yang mengakomodasikan aspek kehidupan pada suatu kawasan, dimana
setiap keputusan merupakan hasil kesepakatan berbagai pihak sebagai bentuk
kesinergian kepentingan. Menurut UU tersebut, penataan ruang disusun
berasaskan: (a) pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu,
berdaya guna dan berhasil guna, serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan, dan
(b) keterbukaan, persamaan, keadilan dan perlindungan hukum.

Rencana Tata Ruang Wilayah KabupatenIKota menurut UU 2411992
merupakan pedoman yang digunakan untuk perumusan kebijakan pokok
pemanfaatan ruang wilayah KabupatenKota untuk mewujudkan keterpaduan,
keterkaitan dan keseimbangan perkembangan antar sektor secara komprehensif,
terpadu dan berkelanjutan, juga menjadi pedoman dalam memanfaatkan ruang
bagi kegiatan pembangunan. Adapun UU No. 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, memberi kewenangan yang luas dalam mengatur, membagi
dan memanfaatkan sumber daya daerah dengan memberi peluang peran serta
masyarakat. Setiap rencana disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan
daerah masing-masing yang diserasikan dengan rencana dari daerah lain. Hal ini
terkait dengan konsistensi aparat terhadap RTRW dalam mengeluarkan izin-izin
yang memanfaatkan ruang di daerahnya.
Pemanfaatan ruang adalah menurut UU No. 24 tahun 1992 adalah
rangkaian program kegiatan pelaksanaan pembangunan yang memanfaatkan
ruang menurut jangka waktu yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang.
Dengan kata lain pemanfaatan ruang merupakan usaha memanifestasikan rencana
tata ruang kedalam bentuk program-program pemanfaatan ruang oleh sektorsektor pembangunan yang secara teknis didasarkan pada pola pengelolaan tata
guna tanah, tata guna air, tata guna udara dan tata guna sumberdaya alam lainnya,
misalnya hutan, perkebunan dan pertambangan. Di dalam pemanfaatan ruang
tersebut, batas-batas fisik tanah diatur dan dimanfaatkan secara jelas oleh
penatagunaan tanah. Secara formal, ekspresi penlanfaatan ruang umumnya
digambarkan dalam berbagai bentuk peta. Peta-peta kenlampuan lahan dan
kesesuaian lahan untuk berbagai aktivitas penggunaan adalah bentuk deskripsi
umum dalam menggambarkan daya dukung dan potensi sumber daya alam. Peta
penggunaan lahan (land use map) dan peta penutupan lahan (land cover tizap)
adalah bentuk deskripsi terbaik dalam menggambarkan pemanfaatan ruang terkini
(Rustiadi et al. 2004). Maka, melalui usaha pemqfaatan ruang ini diharapkan
dapat mencapai keseimbangan lingkungan serta mencerminkan pembangunan
yang benvawasan lingkungan.
Berkaitan dengan penanganan banjir, Dijen Penataan Ruang-Departemen
Kimpraswil (2003), mengemukakan upaya penataan ruang hams didekati secara

sistemik tanpa dibatasi oleh batas-batas kewilayahan dan sektor. Oleh karena itu
dirumuskan 4 (empat) pnnsip pokok penataan ruang yang perlu dipertimbangkan
yaitu ; (a) holistik dan terpadu, @) keseimbangan kawasan hulu dan hilir, (c)
keterpaduan penanganan secara lintas sektor dan lintas wilayah-dengan skala
provinsi untuk keterpadnan lintas kabupatenlkota dan skala kabupatenlkota untuk
keterpaduan lintas kecamatan, serta (d) pelibatan peranserta masyarakat mulai
tahap perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang. Hal ini
sesuai dengan amanat W 24/92 yang ditindaklanjuti PP 69/96 tentang
Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, Serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta
Masyarakat dalam Penataan Ruang dan diperjelas dengan Permendagri No 911998
tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang
(CIFOR 2002). W 24/92 tentang Penataan Ruang memang tidak secara eksplisit
ditujukan untuk mengendalikan banjir, tetapi antara lain dapat digunakan untuk
mengurangi kejadian banjir melalui dibedakannya fungsi kawasan lindung dan
budidaya yang mempertimbangkan banjir sebagai salah satu faktor dalam
menentukan pemanfaatan ruang. Selain itn, terdapat p u l a ' No.
~ 41 tahun 1999
tentang Kehutanan yang menyatakan bahwa minimal luas hutan dalam suatu
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah 30%. Hal ini pun dapat digunakan sebagai
aturan pendukung dalam penataan ruang. Penataan ruang lebih berperan sebagai
upaya preventif, dan ha1 ini dilakukan pula oleh negara lain seperti Arnerika
Serikat maupun berbagai negara di Eropa yang menyusun semacam rencana tata
ruang (zortingplan, land useplan) untuk mengatasi banjir (Kuswartojo 2002).
Penggunaan Lahan
Lahan oleh FA0 didefinisikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri dari
iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda di atasnya sepanjang memiliki
pengaruh terhadap penggunaan lahan, termasuk di dalamnya hasil kegiatan
manusia di masa lalu dan sekarang (Arsyad 1989). Graaff (1996) menyatakan
lahan memiliki tiga fungsi utama, yaitu fungsi produksi dan wadah (misalnya
tempat tinggal, produksi tanaman, penggembalaan), fungsi regulasi (misalnya
siklus tanaman, keseimbangan air dan tanah, proses asimilasi), dan fungsi
informasi (ilmu pengetahuan, sejarah).

PW3Faan

adalah setiap campur tangan manusia terhadap lahan

dalam rangka memenuhi kebutuhannya, baik material maupun spiritual (Vink
1975, diacu dalam Sitorus 2004). Menurut Barlowe (1986), faktor-faktor yang
mempengaruhi penggunaan lahan adalah faktor fisik dan biologis, faktor
pertimbangan ekonomi dan faktor kelembagaan. Faktor fisik dan biologis
mencakup kesesuaian dari sifat fisik seperti keadaan geologi, tanah, air, iklim,
tumbuh-tumbuhan, hewan dan kependudukan. Faktor pertimbangan ekonomi
dicirikan oleh keuntungan, kondisi pasar dan transportasi. Faktor kelembagaan
dicirikan oleh hukum pertanahan, situasi politik, sosial ekonomi, dan secara
administrasi dapat dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Bagi seorang perencana, pengetahuan mengenai Fenggunaan lahan dail
penutupan lahan sangatlah penting dalam membuat keputusan yang berhubungan
dengan pengelolaan sumberdaya lahan yang memperhatikan aspek lingkungan.
Penggunaan lahan (land use) dan penutup lahan (land cover) merupakan dua
istilah yang sering diberi pengertian sama, padahal keduanya mempunyai
pengertian berbeda. Menurut Lillesand dan Kiefer (1990), penggunaan laban
berhubungan dengan kegiatan manusia pada sebidang lahan, sedangkan penutup
lahan lebih merupakan perwujudan fisik obyek-obyek yang menutupi lahan tanpa
mempersoalkan kegiatan manusia pada obyek tersebut, dapat berupa konstruksi
vegetasi maupun buatan.
Saefulhakim et al. (1997), menyatakan bahwa penggunaan lahan merupakan
refleksi perekonomian dan preferensi masyarakat. Berhubung perekonomian dan
preferensi masyarakat ini bersifat dinamis sejalan dengan pertumbuhan penduduk
dan dinamika pembangunan, maka penggunaan lahan pun bersifat dinamis
sehingga dapat berkembang ice arah peningkatan kesejahteraan masyarakat dan
juga sebaliknya.
Pertambahan penduduk yang pesat dan pemenuhan kesejahteraan penduduk
inengakibatkan peningkatan kebutuhan lahan untuk permukiman, pertanian,
industri, dan rekreasi. Keadaan tersebut menyebabkan perubahan penggunaan
lahan yang sering tidak mengikuti kaidah konsemasi alam (Mahmudi 2002).
Perubahan penggunaan lahan, misalnya dari hutan menjadi pemukiman atau
industri akan mengurangi daya serap tanah terhadap air. Situ, rawa, dan empang

yang diubah menjadi permukiman akan menyebabkan aliran permukaan tidak
ditampung dulu, melainkan langsung menggenangi daerah sekitamya (Isnugroho
2002).

Siklus Hidrologi
Air adalah material yang paling berlimpah di bumi ini, menutupi sekitar 71
persen dari muka bumi. Dalam siklus hidrologi (Gambar 2), jumlah air relatif
tidak berubah, dan air akan selalu ada karena air bersirkulasi tidak pemah berhenti
dari atmosfir ke bumi dan kembali ke atmosfir (Linsley & Franzini 1985). Air
tidak saja perlu untuk kehidupan manusia, hewan, dan tanaman tetapi juga
merupakan media pengangkutan, sumber energi dan berbagai keperluan lain,
tetapi pada suatu saat dalam bentuk hujan lebat dan banjir, air menjadi perusak
menimbulkan kerugian harta dan jiwa, juga menghanyutkan berjuta-juta ton tanah
subur (Arsyad 1989).
Siklus hidrologi dimulai dari penguapan air dari samudera akibat energi
panas matahari, yang kemudian oleh massa udara yang bergerak dibawa di atas
daratan. Uap tersebut mengalami kondensasi dan menjadi butiran air yang dapat
membentuk awan atau kabut. Butiran-butiran air kecil itu akan berkembang cukup
besar untuk jatuh ke permukaan bumi sebagai presipitasi (air hujan, salju, es).
Penyebaran presipitasi di dunia tidak merata dalam siklus hidrologi,
karena dipengaruhi oleh fenomena alam seperti angin, maupun aktivitas manusia.
Umumnya 10%-20% total presipitasi jatuh di permukaan vegetasi (intersepsi), dan
bila vegetasi sangat rapat intersepsi dapat mencapai 35%,

air hujan tertahan

beberapa saat kemudian diuapkan lagi ke atmosfir. Setelah jenuh air, maka
presipitasi menetes ke tajuk, cabang, batang vegetasi, tumbuhan bawah, serasah,
hingga permukaan tanah (througfall dan stemfall). Kira-kira dua per tiga dari
presipitasi yang mencapai permukaan tanah menyebar ke berbagai arah dengan
berbagai cara. Sebagian akan tertahan sementara di permukaan bumi sebagai es
atau genangan air pada suatu depresi. Sebagian lagi akan mengalir ke saluran dan
sungai yang disebut aliran permukaan. Makin landai lahan dan makin sedikit polipori tanah, maka aliran permukaan semakin besar. Aliran permukaan tanah dapat
dilihat biasanya pada daerah urban. Air permukaan, baik yang mengalir maupun

yang tergenang (danau, waduk, rawa), dan sebagian air bawah permukaan akan
terkumpul dan mengalir membentuk sungai dan berakhir ke laut. Proses
perjalanan air di daratan itu terjadi dalam komponen-ltomponen siklus hidrologi
yang membentuk sistem DAS (Asdak 1995).
Jika permukaan tanah porus, sebagian air akan meresap ke dalam tanah
melalui peristiwa yang disebut infiltrasi. Sebagian lagi akan kembali ke atmosfir
melalui penguapan atau evapotranspirasi yaitu sekitar 80 000 mil kubik dari
lautan, sedangkan sekitar 15 000 mil kubik berasal dari daratan, danau, sungai,
lahan basah. dan melalui tanaman. Di bawah permukaan tanah, pori-pori tanah
berisi air dan udara. Daerah ini disebut zona kapiler atau zona aerasi. Air yang
tersimpan di zona ini disebut kelengasan tanah atau air kapiler, yang merupakan
air tersedia yang dapat diambil oleh tumbuhan. Pada kondisi tertentu air dapat
mengalir secara lateral pada zona kapiler, proses ini disebut interflow. Uap air
pada zona kapiler dapat juga kembali ke permukaan tanah kemudian menguap.
Kelebihan kelengasan tanah akan ditarik masuk oleh gravitasi, proses ini
disebut drainase gravitasi. Pada kedalaman tertentu, pori-pori tanah atau batuan
akan jenuh air yang mana batas atas zona jenuh air tersebut disebut muka air tanah
(water table). Air yang tersimpan dalam zona jenuh air disebut air tanah yang
bergerak sebagai aliran air tanah (perkolasi) melalui batuan atau lapisan tanah
sampai akhimya keluar di permukaan sebagai sumber air (spring), atau sebagai
rembesan ke danau, waduk, sungai atau ke laut. Aliran sungai yang berasal dari
air tanah yang merembes di dasar sungai disebut sungai bertipe effluent,
sedangkan terdapat pula tipe sungai yang memberikan rembesan air ke dalam
tanah, disebut tipe influent. Kontribusi air tanah pada aliran sungai disebut
sebagai aliran dasar, sedang total aliran dalam satuan waktu disebut debit (Suripin
2002).
Pada dasamya, Yang Maha Kuasa telah mengatur siklus hidrologi di alam
ini secara sempuma. Namun manusia dengan aktivitasnya untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya dapat mengakibatkan keseimbangan siklus hidrologi
terganggu, antara lain melalui pembukaan lahan pertanian baru di daerah hulu
atau pembangunan rumah di dataran banjir, dapat mempengaruhi jumlah air yang
mengalir, terserap ke dalam tanah, maupun yang menguap (Tjarli 2006).

Gambar 2 Siklus hidrologi (Christensen 1991)

Bahaya Banjir dan Pengurangan Resiko Banjir
Banjir menurut terminologi ilmiah adalah suatu kondisi di suatu wilayah
dimana terjadi peningkatan jumlah air yang tidak tertampung pada saluran-saluran
air atau tempat-tempat penarnpungan air sehingga meluap dan menggenangi
daerah di luar saluran, lernbah sungai, ataupun penarnpungan air tersebut
(Sudaryoko 1987). Gambar 3 menampilkan mekanisme terjadinya banjir.
Banjir dapat membahayakan suatu wilayah yang karena dipengaruhi
faktor-faktor alamiah yaitu curah hujan, topograii, dan geomorfologi (proses
fluvial) menyebabkan terjadinya genangan yang berpotensi menimbulkan
kerugian dan penderitaan bagi manusia (Kuswartojo 2002). Menurut Isnugroho
(2002) di Indonesia terdapat 5 faktor penting penyebab terjadinya banjir yaitu :

-

curah hujan; di daerah tropis curah hujan cukup tinggi pada musim hujan,
maka hujan yang terus menerus akan sampai pada kondisi tanah menjadi
jenuh air dan hujan yang jatuh langsung menjadi aliran permukaan

-

karakteristik DAS (luas, bentuk dan kemiringan lereng)

-

kemampuan alur sungai mengalirkan air, yang dipengaruhi oleh pendangkalan
dan penyempitan alur sungai.

-

perubahan penggunaan lahan di DAS, yang mempengaruhi kemampuan DAS
dalaln meresapkan air

-

pengelolaan sungai, yang dipengaruhi oleh preferensi pengelola dengan
mempertiinbangkan aspek lingkungan, ekonomi, dan politik.
Ayala (2002) menyatakan suatu bahaya alam termasuk banjir dapat

diketahui dari karakteristik bahaya, yaitu melalui besaran (magnitude, intensitas)
dan fiekuensinya. Adapun besaran bahaya banjir dapat dilihat melalui luas
genangan (krn2, hektar), kedalamanlketinggian air (m), kecepatan aliran (mldt,
kmljam), material yang dihanyutkan (batu, pohon, benda keras lain), tingkat
kepekatan air atau tebal endapan lumpur (m,cm), la~nanyapenggenangan (jam,
hari, bulan), aliran puncak, dan volume total air larian. Sedangkan frekuensi banjir
adalah jumlah kejadian banjir di suatu daerah dalam satuan waktu (Cooke &
Doornkamp 1990; Ayala 2002; BAKORNASPBP 2005)

P
Hujan

n
Pengendalian banjir

Perubahan koefisien
- r a n

-

+
Aliran permukaan

n
Banjir

Gambar 3 Diagram mekanisme terjadinya banjir (Sudaryoko 1987).
Keterangan : Qa = debit pengaliran sungai
Qc = kapasitas pengaliran alur sungai
4

= fenomena alam

--+

= kondisi non

alanliah yang berpengaruh pada fenomena alam

Fanjir dianggap sebagai bencana bila melanda manusia yang mendiami
daerah-daerah bahaya

banjir, yakni dekat sungai atau pantai. Pertumbuhan

penduduk yang kian pesat telah menyebabkan daerah bahaya banjir menjadi
padat penduduk dan resiko banjir terpaksa diterima seperti kehilangan harta
benda, jiwa, dan rusaknya properti. Kondisi ini dapat terjadi bila dikaitkan dengan
berbagai kemudahan seperti aksesibilitas, tanah subur, dan sunber air yang
menunjang dalam aktivitas hidup manusia. Negara-negara maju pun menghadapi
masalah yang dipicu oleh kepadatan penduduk ini. Amerika Serikat misalnya

mengeluarkan biaya milyaran dolar sejak tahun 1936 untuk membiayai program
perlindungan penduduk dari bencana banjir (Paripumo 2004). Penelitian Ayala
(2002) menunjukkan bahwa dari tahun 1900-1999, sebagian besar bencana alam
terjadi di benua Asia yang notabene merupakan negara berkembang, yaitu
sebanyak 42% dan 50% dari bencana tersebut adalah banjir, termasuk Indonesia.
Menurut BAKORNASPBP (2005) bencana banjir mengakibatkan
kerugian berupa korban manusia dari aspek jumlah penduduk yang meninggal,
hilang, dan luka-luka; prasarana umum bempa prasarana transportzsi, fasilitas
sosial, fasilitas pemerintahan, prasarana pertanian, perikanan, dan pengairan ;
serta harta benda perorangan berupa rumah tinggal yang tergenang, rusak dan
hany~i,asetlmodal, temak, dan lain-lain, sehingga dapat mengganggu dan bahkan
melumpul&an kegiatan sosial ekonomi penduduk.
Daerah-daerah yang paling beresiko terhadap terjangan banjir adalah
daerah dekat sungai yang terdiri atas bangunan dari bahan tanah atau bata,
bangunan dengan pondasi clangkal, bangunan dengan pondasi tidak kedap air,
perpipaan, saluran listrik, mesin, barang elektronik, tanaman pertanian, maupun
temak dalam kandang.
Semakin tinggi resiko banjir dapat berasal dari pilihan masyarakat pula
Banyak penduduk yang memilih atau dengan sengaja tinggal di kawasan yang
bahaya banjir dengan berbagai alasan seperti kesuburan tanah, atau peluang
lainnya yang dijanjikan lokasi tersebut, walaupun mereka tahu resiko banjir yang
akan diterima (Paripumo 2004). Terlepas dari ha1 itu, pemerintah seolah tidak ada
realisasi untuk menertibkan dan mengamankan daerah bahaya banjir tersebut
walaupun sudah ada Perda-Perda yang mengatumya. Lemahnya penegakan
hukum ini dapat menjadi celah bagi para pelanggar aturan, dan resiko akibat
banjir ini pun menjadi konsekuensi yang diterima pemerintah.
UNDRO (1991), diacu dalarn Alhasanah (2006), menyatakan resiko
adalah gabungan dari unsur-unsur resiko, bahaya dan kerentanan, dengan
formulasi matematis sebagai berikut :
Rt = (E)(HxV)

dimana :
Rt : Resiko (risk)
E : Unsur-unsur yang beresiko (risb elements)
H : Bahaya (hazard)
V : Kerentanan (vulnerability)
Resiko (Rt) diartikan sebagai kondisi buruk yang hams diterima karena
fenomena alam tertentu yang dihasilkan dari unsur-unsur yang beresiko, bahaya,
dan kerentanan, seperti jumlah kehidupan yang hilang, kerusakan properti dan
hancumya aktivitas ekonomi. Adapun unsur-unsur beresiko (E) terdiri dari
populasi, bangunan, aktivitas ekonomi, pelayanan masyarakat, fasilitas umum,
infrastruktur, dan lain-lain yang memiliki resiko pada suatu area. Bahaya (H)
merupakan kecenderungan terjadinya kondisi bahaya akibat suatu fenomena.
Sedangkan kerentanan (V) merupakan ukuran kerugian yang mungkin dialami
suatu obyek bila tertiinpa bahaya, sebagai eontoh bantaran sungai yang padat
permukiman akan rentan jika diterjang banjir.
Femer dan Haque (2003), menyatakan bahwa penilaian resiko terdiri dari

3 komponen yaitu identifikasi bahaya, estimasi resiko dan kerentanan, serta
evaluasi konsekuensi sosial. Identifikasi bahaya pada intinya adalah melakukan
kajian terhadap suatu fenomena dengan mengumpulkan berbagai informasi
sejarah suatu fenomena bahaya, frekuensi, pemantauan, dan sebagainya sehingga
suatu bahaya dapat dikenali, dipahami berdasarkan ciri-ciri yang telah dikaji.
Adapun estimasi resiko dan kerentanan terhadap suatu bahaya dipedukan untuk
~nengetahuikemungkinan yang akan tejadi terhadap lingkungan dan seluruh
isinya jika ada bahaya mengancam. Sedangkan evaluasi terhadap korisekuensi
sosial dapat dilihat dari komposisi masyarakat peneiima dampak, tingkat
kerusakan infrastruktur, ataupun kesejahteraan.
Menurut BAKORNASPBP (2005), resiko bencana (disaster risk)
merupakan interaksi antara tingkat kerentanan daerah baik dari aspek fisik
maupun penghuni, dengan bahaya yang ada. Ancarnan bahaya akan bersifat tetap,
karena dapat sebagai bagian dari dinamika alami pembangunan atau pembentuka