Kajian awal pengaruh intensitas curah hu
Jurnal Geoaplika (2008)
Volume 3, Nomor 3, hal. 133 – 141
Sri Hartati Soenarmo
Imam A. Sadisun
Endri Saptohartono
Kajian Awal Pengaruh Intensitas Curah Hujan
Terhadap Pendugaan Potensi Tanah Longsor Berbasis
Spasial di Kabupaten Bandung, Jawa Barat
Diterima : 10 Juni 2008
Disetujui : 1 Agustus 2008
© Geoaplika 2008
Sari – Bencana tanah longsor di
Sri Hartati Soenarmo *
Sains Atmosfer, FITB – ITB
Jl. Ganesha 10, Bandung
E-mail: hartati@geoph.itb.ac.id
Imam A. Sadisun
KK Geologi Terapan
FITB – ITB
Jl. Ganesha 10, Bandung
E-mail: imam@gc.itb.ac.id
Endri Saptohartono
Program Studi Meteorologi,
Fakultas Ilmu dan Teknologi
Kebumian ITB
Jl. Ganesha 10, Bandung
E-mail: endri-s@yahoo.com
Indonesia umumnya terjadi pada
musim penghujan. Hujan memicu
tanah
longsor
melalui
penambahan beban lereng dan
penurunan kuat geser tanah.
Kajian gabungan model infiltrasi
Green-Ampt dan model stabilitas
lereng telah digunakan dalam
penelitian ini untuk mengetahui
pengaruh intensitas curah hujan
terhadap stabilitas lereng secara
spasio-temporal di Kabupaten
Bandung. Kajian model infiltrasi
Green-Ampt digunakan untuk
mengetahui besarnya air hujan
yang masuk ke dalam tanah.
Kajian stabilitas lereng dilakukan
dengan menggunakan model
matematik 2-dimensi, lereng tak
hingga,
dengan
pendekatan
kesetimbangan batas dan bidang
gelincir. Lebih lanjut, kajian
gabungan model infiltrasi dan
model stabilitas lereng telah
digunakan untuk estimasi waktu
ketidakstabilan lereng setelah
hujan turun.
Dalam penelitian ini telah
dilakukan kajian terhadap tiga
tekstur tanah yang berbeda, yaitu
tanah pasir, tanah lempung, dan
tanah liat. Hasil yang diperoleh
merupakan
peta
kerawanan
dugaan stabilitas lereng secara
spasio-temporal di Kabupaten
Bandung pada saat 15 menit, 30
menit, 45 menit, dan 1 jam setelah
hujan turun untuk berbagai tekstur
tanah yang berbeda.
Abstract – Landslide disasters in
Indonesia usually occur during
the rainy season. Rainfall triggers
the landslides by giving additional
loading and reducing shear
strength of soils. A combined
assessment of the Green-Ampt
infiltration model and infinite
slope stability model are adopted
in this study to analyze the
influence of the rainfall intensity
to the spatio-temporal slope
stability at Bandung Regency. The
Green-Ampt infiltration model is
applied to measure the amount of
rain water infiltration into the
soil. Meanwhile, the slope
stability analysis using 2dimensional mathematics model,
infinite
slope,
with
limit
equilibrium and slip plane
approaches are carried out. This
combined assessment is also used
to estimate the time duration of
when the slope will become
unstable after the rainfall.
This study is run for three
different soil textures, which are
sand, clay, and mud. The
investigation results are the
spatio-temporal maps of landslide
susceptibilities
at
Bandung
Regency on 15, 30, 45 minutes,
and 1 hour after the rainfall for
those different soil textures.
Keywords: infiltration model,
landslide, rainfall intensity, slope
stability
Kata kunci:, model infiltrasi,
tanah longsor, intensitas curah
hujan, stabilitas lereng
* Alamat korespondensi
133
Pendahuluan
Indonesia yang beriklim marin-monsun tropis
diketahui memiliki karakteristik curah hujan rata-rata
tinggi (Ramage, 1968; Nakamura dkk., 1994;
Soenarmo, 2007). Curah hujan merupakan salah satu
faktor pemicu terjadinya tanah longsor (Kawamoto
dkk., 2000; Iverson, 2000; Lan dkk., 2003).
Tingginya intensitas curah hujan dapat menambah
beban pada lereng sebagai akibat peningkatan
kandungan air dalam tanah, yang pada akhirnya
memicu terjadinya longsoran (Pierson, 1980; Huang
dan Lin, 2002).
Penentuan daerah kerawanan tanah longsor
dikarakterisasi melalui penentukan lokasi, ukuran
dan waktu terjadinya tanah longsor (Iverson dan
Major, 1986; Iverson, 2000). Di samping itu,
penelitian mengenai pengaruh curah hujan terhadap
stabilitas lereng telah menjadi topik penelitian cukup
intensif di dunia (Yin dkk., 2002; Guzzetti dkk.,
2005). Beberapa pendekatan secara empiris telah
digunakan dalam menentukan kerawanan bencana
tanah longsor akibat pengaruh intensitas dan durasi
curah hujan (Caine, 1980). Meskipun demikian,
masih ditemukan kesulitan dalam mengukur besaran
infiltrasi curah hujan yang mampu mempengaruhi
stabilitas lereng (Pradel dan Raad, 1993; Gasmo
dkk., 2000). Oleh sebab itu, penelitian tentang
pengaruh curah hujan dalam memicu terjadinya
tanah longsor dengan penekanan pada kajian
stabilitas lereng perlu dilakukan.
Dari sisi metodologi, kajian stabilitas lereng dengan
menggunakan model matematik 2-dimensi, lereng
tak hingga, telah banyak digunakan (Xie dkk., 2001;
Cho dan Lee, 2002; Zhou dkk., 2003) dan telah
divalidasi untuk tanah longsor dangkal. Namun,
pendekatan tersebut masih belum mampu menjawab
kebutuhan kerawanan tanah longsor secara spasiotemporal. Untuk alasan tersebut, penelitian ini
bertujuan untuk mengkaji pengaruh intensitas curah
hujan terhadap stabilitas lereng secara spasiotemporal dengan menggabungkan kajian hidrologi
dan kajian stabilitas lereng, dengan mengambil studi
kasus di Kabupaten Bandung.
Metode
Inventarisasi faktor penyebab dan faktor pemicu
tanah longsor penting untuk dilakukan. Faktor
penyebab tanah longsor antara lain meliputi tekstur
tanah, geomorfologi (Sadisun dkk., 2006) dan
kondisi lereng atau tutupan lahan (Sidle, 1992;
Montgomery dan Dietrich, 1994; Wu dan Sidle,
1995). Selain itu, salah satu faktor pemicu yang
penting karena pengaruhnya terhadap laju infiltrasi
dan infiltrasi kumulatif yaitu intensitas curah hujan
yang tinggi. Kedua faktor tersebut dapat digunakan
134
untuk mengestimasi stabilitas lereng, menentukan
daerah rawan tanah longsor, dan selanjutnya
mengestimasi waktu terjadinya tanah longsor.
Dalam penelitian ini, peta geologi, peta tekstur tanah,
peta rupa bumi dan citra satelit Landsat 7-ETM
(yang diambil pada tanggal 12 Mei 2001) digunakan
untuk melihat profil permukaan Kabupaten Bandung
yang dianggap berpotensi tanah longsor. Data
intensitas curah hujan PT. Indonesia Power Unit
Bisnis Pembangkit Saguling 1998, Stasiun Plengan,
Stasiun Cileunca, dan Stasiun Cipanunjang,
digunakan untuk estimasi intensitas curah hujan di
Kabupaten Bandung. Kemudian, data curah hujan
harian dari Pusat Penelitian dan Pengambangan Air,
Bandung, tahun 2001 digunakan untuk pendugaan
infiltrasi curah hujan.
Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan dengan mengkonversi
data rupa bumi DEM (Digital Elevation Model) dan
kelerengan. Untuk keperluan pengolahan spasial
diperlukan data digital tata guna lahan yang
diperoleh dari pemrosesan citra satelit dengan
metode Maximum Likehood Enhanced. Dalam
penelitian ini digunakan citra komposit band 542.
Estimasi durasi dan intensitas curah hujan dilakukan
berdasarkan data curah hujan harian menggunakan
persamaan yang diperoleh dari hasil pengamatan
curah hujan terbesar dunia, WMO (World
Meteorological Organisation) (Chow dkk, 1988)
(Persamaan 1 dan 2).
R
442
R
I
t
t 0,475
.................. (1)
.................. (2)
dengan I = intensitas hujan(mm/jam), R = curah
hujan (mm), dan t = durasi hujan(jam).
Karena Persamaan 1 diperoleh dari hasil pengamatan
yang berlaku secara global, perlu dilakukan
modifikasi untuk memperoleh nilai durasi dan
intensitas curah hujan yang sesuai dengan
karakteristik daerah penelitian.
Laju infiltrasi air hujan ke dalam tanah diperoleh
dengan menggunakan model infiltrasi Green-Ampt
(Lumb, 1962; Pradel dan Raad, 1993; Cho dan Lee,
2002; Xie dkk., 2004) dan berdasarkan Persamaan
Darcy dengan syarat batas kandungan air dan
masukan air dianggap konstan, menggunakan
Persamaan 3 dan 4.
f i dFF
f K s 1
FF dT
FF
FF Z w i K s t i f ln 1
i f
............. (3)
Hasil dan Pembahasan
......... (4)
Estimasi durasi dan intensitas curah hujan di
Kabupaten Bandung, menggunakan modifikasi
Persamaan 1 dari data ukur pada tiga stasiun
meteorologi tahun 1998, yaitu stasiun Plengan,
stasiun Cileunca dan stasiun Cipanunjang.
Modifikasi dilakukan secara semi-empiris dengan
pengkelasan curah hujan harian (R) untuk
menghaluskan hasil estimasi durasi hujan dari data
pengamatan, diperoleh Persamaan 6 sampai 12
sebagai berikut:
dengan f = laju Infiltrasi (mm/jam), FF = kedalaman
infiltrasi total (m), t = waktu (jam), Ks =
konduktivitas hidrolik jenuh tanah (mm/jam), ψf =
parameter penyerapan batas pembasahan tanah
Green-Ampt (mm), i = beda air tanah (mm3/mm3),
dan Zw = kedalaman bidang pembasahan (m).
Dalam menentukan stabilitas lereng telah digunakan
pendekatan model matematika 2-dimensi, lereng tak
hingga (Crosta 1998; Cho dan Lee, 2002),
sebagaimana terlihat dalam Persamaan 5. Stabilitas
lereng dinyatakan dengan faktor keamanan (factor of
safety) yang merupakan rasio antara gaya atau
momen yang melawan terjadinya longsoran dan gaya
yang melongsorkan (Keller, 2000).
FS
c ' sat zw cos u w tan '
sat zw sin cos
0.475
dengan c’ = kohesi efektif jenuh tanah (kN/m2), γsat =
berat jenis tanah jenuh (kN/m3), uw = tekanan pori air
tanah (kN/m2), α = kemiringan lereng, dan φ’ =
sudut geser dalam efektif.
Parameter tekstur tanah yang digunakan dalam
model seperti terlihat pada Tabel 1 yaitu contoh tabel
properti hidrolik dan geomekanik untuk tanah pasir,
tanah lempung, dan tanah liat (Rawls dkk., 1983;
Ogden dan Saghafian, 1997).
Banyaknya air yang masuk ke dalam tanah
menimbulkan tambahan pembebanan pada lereng.
Selain itu, dengan terbentuknya bidang batas antara
daerah resapan dan daerah di bawahnya, berpotensi
menjadi bidang gelinciran tanah longsor. Pada
penelitian ini, untuk mempermudah perhitungan
digunakan asumsi bahwa keadaan pada bidang
pembasahan/gelinciran dianggap jenuh dan hanya
properti tanah permukaan yang berpengaruh
terhadap stabilitas lereng (Lumb, 1975; Crosta
1998). Penelitian ini merupakan simulasi dengan
beberapa skenario pengaruh curah hujan terhadap
stabilitas lereng berdasarkan variasi durasi curah
hujan 15 menit, 30 menit, 45 menit, dan 1 jam,
dengan variasi intensitas curah hujan 10.4 mm/jam
(minimum), 20 mm/jam, 40 mm/jam, 80 mm/jam,
dan 100 mm/jam (maksimum), dengan tekstur tanah
pasir, tanah lempung dan tanah liat serta pada
kemiringan lereng 20%, 30%, dan 40 %, dengan
pengaruh tutupan lahan diabaikan.
0 .475
10 ≤ R < 20 mm: t
20 ≤ R < 30 mm: t
30 ≤ R < 40 mm: t
........... (5)
R
10
R < 10 mm : t
40 ≤ R < 50 mm: t
0.475
0.475
0.475
50 ≤ R < 60 mm: t
0.475
R 60 mm: t
0.475
R
17
........... (6)
........... (7)
R
21
...........
(8)
R
24
...........
(9)
R
26
R
36
........... (10)
...........
(11)
R ...........
51
(12)
Hasil estimasi durasi curah hujan terhadap curah
hujan harian stasiun Plengan diperoleh korelasi
sebesar 0,72 (Gambar 1 (a)), kemudian dilakukan
estimasi intensitas curah hujan dengan menggunakan
Persamaan 2, diperoleh korelasi sebesar 0,68
(Gambar 1 (b)).
Laju infiltrasi merupakan fungsi dari kondisi tanah
(kelembaban tanah, tekanan pori, dan konduktivitas
hidrolik tanah), dan besarnya intensitas curah hujan
(Espinoza, 1999). Laju infiltrasi tiap tekstur tanah
ditunjukkan pada Gambar 2 (a). Kapasitas infiltrasi
merupakan kemampuan maksimum tanah dapat
menyerap air hujan, yang merupakan fungsi dari
kandungan kelembaban inisial dan intensitas hujan.
Apabila intensitas berada di bawah kapasitas
infiltrasi minimum (Ks, konduktivitas hidrolik jenuh)
atau belum terjadi kejenuhan permukaan, maka
infiltrasi akan terus berlangsung tanpa terjadi
genangan (ponding). Setelah tercapai kejenuhan
permukaan, maka genangan akan segera terbentuk
sehingga laju infiltrasi akan berkurang hingga
mencapai kapasitas infiltrasi tanah (Cho dan Lee
2002). Gambar 2 (b) menunjukkan lengkung
infiltrasi kumulatif tiap tekstur tanah. Pada saat
terjadi genangan permukaan, maka laju infiltrasi
kumulatif akan berkurang hingga mencapai nilai
minimumnya.
135
Stasiun Plengan R = 0,72
Stasiun Plengan R = 0.68
5.0
50.0
Data
4.5
Hitung
Intensitas (mm/jam)
4.0
Durasi (jam)
3.5
3.0
2.5
2.0
1.5
1.0
45.0
Data
40.0
Hitung
35.0
30.0
25.0
20.0
15.0
10.0
5.0
0.5
0.0
0.0
52
12
32
37
60
4
50
CH (mm)
4
20
16
14
52
30
12
32
37
60
4
50
4
20
16
14
Ch (mm)
.Gambar 1. Hasil estimasi durasi (a) dan intensitas curah hujan (b) stasiun Plengan.
Laju Infiltrasi (mm/jam)
i = 100 mm/jam ; d= 1 jam
120.0
120.0
100.0
Infiltrasi Kumulatif (mm)
Laju Infiltrasi (mm/jam)
100.0
Infiltrasi Kumulatif (mm)
i max = 100 mm/jam ; d = 1 jam
80.0
60.0
40.0
T. Pasir
20.0
T. Lempung
80.0
60.0
T. Pasir
40.0
T. Lempung
T. Liat
20.0
T. Liat
0.0
0.0
1
00
0.
4
00
0.
8
00
0.
02
0.
06
0.
1
0.
4
0.
8
0.
1
00
0.
Waktu (jam)
4
00
0.
02
0.
8
00
0.
06
0.
1
0.
4
0.
8
0.
Waktu (jam)
Gambar 2. Lengkungan estimasi laju infiltrasi (a) dan infiltrasi kumulatif (b),
masing-masing untuk tekstur tanah pasir, tanah lempung dan tanah liat.
Tabel 1. Properti hidrolik dan geomekanik tekstur tanah pasir, tanah lempung,
tanah liat (Rawls dkk, 1983; Ogden dan Saghafian, 1997; Xie dkk, 2004)
Tekstur Tanah
Pasir
136
Porositas
Efektif
Wilting Point
Water Centent
( e )
(w )
0.471
0.033
i e w
0.384
Ks
(mm/jam)
235.6
f
(mm)
96.2
Pasir Lempungan
0.401
0.055
0.346
59.8
119.6
Lempung Pasiran
0.412
0.095
0.317
21.8
215.3
Lempung
0.434
0.117
0.317
13.2
175.0
Lempung Liatan
0.390
0.197
0.193
2.0
408.9
Liat Pasiran
0.321
0.239
0.082
1.2
466.5
Liat Lempungan
0.423
0.250
0.173
1.0
577.7
Liat
0.385
0.272
0.113
0.6
622.5
30
Tabel 2. Kedalaman bidang pembasahan Zw tiap tekstur tanah berbagai kemiringan lereng
Kedalaman Bidang Pembasahan (m)
Kemiringan Lereng (derajat)
Tekstur
Tanah
10
20
30
40
Pasir
Lempung
Liat
4,9
10,2
79,1
0,8
2,8
26,4
0,5
1,8
17,3
0,4
1,4
14,4
Tabel 3. Estimasi waktu kritis lereng menjadi tidak stabil (dalam jam).
Tekstur
Tanah Pasir
Tanah Lempung
Tanah Liat
Tanah
Intensitas
(mm/jam)
Kemiringan Lereng
Kemiringan Lereng
Kemiringan Lereng
100
200
300
400
100
200
300
10,4
1,929
0,669
0,441
0,369
1,517
0,525
0,345
20
1,005
0,349
0,229
0,193
0,789
0,273
0,181
50
0,405
0,141
0,093
0,077
0,317
0,109
0,073
80
0,253
0,089
0,061
0,049
0,253
0,069
100
0,161
0,057
0,037
0,023
0,217
0,057
100
200
300
0,289
1,173
0,405
0,269
0,225
0,153
0,649
0,213
0,141
0,117
0,061
0,445
0,125
0,057
0,049
0,045
0,041
0,421
0,129
0,085
0,061
0,029
0,025
0,413
0,133
0,093
0,081
5.0
10 drjt
4.5
20 drjt
250.0
4.0
30 drjt
3.5
200.0
40 drjt
3.0
FS
Zw (m)
400
Factor of Safety T. Lempung
i max = 1000 mm/jam ; d = 1 jam
Zw (m)
i max = 100 mm/jam ; d = 1 jam
300.0
400
150.0
T. Pasir
2.0
T. Lempung
100.0
2.5
1.5
T. Liat
1.0
50.0
0.5
0.0
0.0
1
00
0.
4
00
0.
8
00
0.
02
0.
06
0.
1
0.
4
0.
8
0.
Waktu (jam)
6
1
2
8
4
8
2
6
1
4
00 00 .00 .00 .00 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
0. 0.
0
0
0
1
0.
2
0.
4
0.
6
0.
8
0.
1
Waktu (jam)
Gambar 3. Lengkungan estimasi kedalaman bidang pembasahan (a) dan stabilitas lereng
berdasarkan faktor keamanan/FS (b) untuk berbagai kemiringan lereng.
Kemampuan simulasi model infiltrasi Green-Ampt
yang sederhana dan stabil (Qi, 2006) telah digunakan
dalam penelitian ini untuk menunjukan profil laju
infiltrasi tiap tekstur tanah. Dalam model GreenAmpt, profil kandungan air tanah ditunjukkan
dengan tipe piston (bidang batas pembasahan, Zw).
Suction head pada bidang batas pembasahan
dianggap konstan, di atas bidang batas pembasahan
Ks dianggap konstan, kondisi ini tanah dianggap
jenuh dari permukaan hingga bidang batas
pembasahan. Gambar 3 (a) merupakan lengkungan
kedalaman bidang pembasahan (Zw) terhadap waktu
dari tiga tektur tanah, pada intensitas curah hujan
maksimum (100 mm/jam) dan durasi 1 jam.
Dalam model stabilitas infinite slope, kedalamaan
Zw diasumsikan sebagai kedalaman bidang
gelinciran (Fredlund dkk., 1978). Pengaruh
kemiringan lereng akan mengurangi infiltrasi
sehingga kedalaman Zw semakin dangkal (Crosta,
137
1998). Kedalaman Zw tiap tekstur tanah dan
berbagai kemiringan lereng dapat dilihat pada Tabel
2. Gambar 3 (b) adalah lengkungan faktor keamanan
(FS) tanah lempung terhadap waktu pada berbagai
kemiringan lereng, 1 jam setelah hujan turun.
Lengkungan faktor keamanan digunakan untuk
menentukan stabilitas lereng pada berbagai intensitas
curah hujan, jenis tekstur tanah dan berbagai
kemiringan lahan (Iverson, 1991). Lereng dikatakan
kritis jika FS = 1. Tiap tekstur tanah memberikan
reaksi yang berbeda-beda dalam kecepatan untuk
mencapai kondisi kritis. Nilai faktor keamanan terus
berkurang terhadap waktu akibat penambahan air ke
dalam tanah.
Lereng dalam kondisi kritis dapat dikatakan sebagai
kondisi rawan (saat lereng menjadi tidak stabil)
terjadinya tanah longsor, sehingga estimasi waktu
lereng kritis menjadi penting. Tabel 3 menunjukkan
hasil estimasi waktu kritis lereng (dalam jam), pada
intensitas 10.4 mm/jam, 20 mm/jam, 50 mm/jam, 80
mm/jam, dan 100 mm/jam, pada kemiringan lereng
10%, 20%, 30%, dan 40%, serta dengan tekstur
tanah pasir, tanah lempung, dan tanah liat. Semakin
tinggi kemiringan lereng, semakin cepat waktu
kondisi kritis tercapai. Hal tersebut dikarenakan
semakin
tinggi
kemiringan
lereng
akan
meningkatkan tegangan geser tanah yang merupakan
fungsi dari kemiringan lereng dan berat lereng.
Pengaruh besarnya curah hujan belum tentu
mempercepat terjadinya kerawanan, hal tersebut
dikarenakan adanya proses genangan, sehingga
kandungan air akan berbeda-beda pada tiap tanah
tergantung pada besarnya infiltrasi.
Kehandalan model infiltrasi Green-Ampt dalam
menduga kedalaman Zw, dan merupakan bidang
gelincir model stabilitas lereng tak hingga, telah
mampu digunakan untuk menduga waktu kritis
terjadinya tanah longsor. Aplikasi lanjutan dari
gabungan kajian hidrologi dan geoteknik ini adalah
untuk menghasilkan peta dugaan spasio-temporal
kerawanan tanah longsor. Hasil ekstrapolasi untuk
memperoleh peta spasio-temporal kerawanan tanah
longsor ditampilkan pada Gambar 4, digunakan
138
untuk menduga perkembangan stabilitas lereng atau
daerah kerawanan tanah longsor di Kabupaten
Bandung, 15 menit, 30 menit, 45 menit, dan 1 jam
setelah hujan turun, dengan klasifikasi faktor
keamanan FS
Volume 3, Nomor 3, hal. 133 – 141
Sri Hartati Soenarmo
Imam A. Sadisun
Endri Saptohartono
Kajian Awal Pengaruh Intensitas Curah Hujan
Terhadap Pendugaan Potensi Tanah Longsor Berbasis
Spasial di Kabupaten Bandung, Jawa Barat
Diterima : 10 Juni 2008
Disetujui : 1 Agustus 2008
© Geoaplika 2008
Sari – Bencana tanah longsor di
Sri Hartati Soenarmo *
Sains Atmosfer, FITB – ITB
Jl. Ganesha 10, Bandung
E-mail: hartati@geoph.itb.ac.id
Imam A. Sadisun
KK Geologi Terapan
FITB – ITB
Jl. Ganesha 10, Bandung
E-mail: imam@gc.itb.ac.id
Endri Saptohartono
Program Studi Meteorologi,
Fakultas Ilmu dan Teknologi
Kebumian ITB
Jl. Ganesha 10, Bandung
E-mail: endri-s@yahoo.com
Indonesia umumnya terjadi pada
musim penghujan. Hujan memicu
tanah
longsor
melalui
penambahan beban lereng dan
penurunan kuat geser tanah.
Kajian gabungan model infiltrasi
Green-Ampt dan model stabilitas
lereng telah digunakan dalam
penelitian ini untuk mengetahui
pengaruh intensitas curah hujan
terhadap stabilitas lereng secara
spasio-temporal di Kabupaten
Bandung. Kajian model infiltrasi
Green-Ampt digunakan untuk
mengetahui besarnya air hujan
yang masuk ke dalam tanah.
Kajian stabilitas lereng dilakukan
dengan menggunakan model
matematik 2-dimensi, lereng tak
hingga,
dengan
pendekatan
kesetimbangan batas dan bidang
gelincir. Lebih lanjut, kajian
gabungan model infiltrasi dan
model stabilitas lereng telah
digunakan untuk estimasi waktu
ketidakstabilan lereng setelah
hujan turun.
Dalam penelitian ini telah
dilakukan kajian terhadap tiga
tekstur tanah yang berbeda, yaitu
tanah pasir, tanah lempung, dan
tanah liat. Hasil yang diperoleh
merupakan
peta
kerawanan
dugaan stabilitas lereng secara
spasio-temporal di Kabupaten
Bandung pada saat 15 menit, 30
menit, 45 menit, dan 1 jam setelah
hujan turun untuk berbagai tekstur
tanah yang berbeda.
Abstract – Landslide disasters in
Indonesia usually occur during
the rainy season. Rainfall triggers
the landslides by giving additional
loading and reducing shear
strength of soils. A combined
assessment of the Green-Ampt
infiltration model and infinite
slope stability model are adopted
in this study to analyze the
influence of the rainfall intensity
to the spatio-temporal slope
stability at Bandung Regency. The
Green-Ampt infiltration model is
applied to measure the amount of
rain water infiltration into the
soil. Meanwhile, the slope
stability analysis using 2dimensional mathematics model,
infinite
slope,
with
limit
equilibrium and slip plane
approaches are carried out. This
combined assessment is also used
to estimate the time duration of
when the slope will become
unstable after the rainfall.
This study is run for three
different soil textures, which are
sand, clay, and mud. The
investigation results are the
spatio-temporal maps of landslide
susceptibilities
at
Bandung
Regency on 15, 30, 45 minutes,
and 1 hour after the rainfall for
those different soil textures.
Keywords: infiltration model,
landslide, rainfall intensity, slope
stability
Kata kunci:, model infiltrasi,
tanah longsor, intensitas curah
hujan, stabilitas lereng
* Alamat korespondensi
133
Pendahuluan
Indonesia yang beriklim marin-monsun tropis
diketahui memiliki karakteristik curah hujan rata-rata
tinggi (Ramage, 1968; Nakamura dkk., 1994;
Soenarmo, 2007). Curah hujan merupakan salah satu
faktor pemicu terjadinya tanah longsor (Kawamoto
dkk., 2000; Iverson, 2000; Lan dkk., 2003).
Tingginya intensitas curah hujan dapat menambah
beban pada lereng sebagai akibat peningkatan
kandungan air dalam tanah, yang pada akhirnya
memicu terjadinya longsoran (Pierson, 1980; Huang
dan Lin, 2002).
Penentuan daerah kerawanan tanah longsor
dikarakterisasi melalui penentukan lokasi, ukuran
dan waktu terjadinya tanah longsor (Iverson dan
Major, 1986; Iverson, 2000). Di samping itu,
penelitian mengenai pengaruh curah hujan terhadap
stabilitas lereng telah menjadi topik penelitian cukup
intensif di dunia (Yin dkk., 2002; Guzzetti dkk.,
2005). Beberapa pendekatan secara empiris telah
digunakan dalam menentukan kerawanan bencana
tanah longsor akibat pengaruh intensitas dan durasi
curah hujan (Caine, 1980). Meskipun demikian,
masih ditemukan kesulitan dalam mengukur besaran
infiltrasi curah hujan yang mampu mempengaruhi
stabilitas lereng (Pradel dan Raad, 1993; Gasmo
dkk., 2000). Oleh sebab itu, penelitian tentang
pengaruh curah hujan dalam memicu terjadinya
tanah longsor dengan penekanan pada kajian
stabilitas lereng perlu dilakukan.
Dari sisi metodologi, kajian stabilitas lereng dengan
menggunakan model matematik 2-dimensi, lereng
tak hingga, telah banyak digunakan (Xie dkk., 2001;
Cho dan Lee, 2002; Zhou dkk., 2003) dan telah
divalidasi untuk tanah longsor dangkal. Namun,
pendekatan tersebut masih belum mampu menjawab
kebutuhan kerawanan tanah longsor secara spasiotemporal. Untuk alasan tersebut, penelitian ini
bertujuan untuk mengkaji pengaruh intensitas curah
hujan terhadap stabilitas lereng secara spasiotemporal dengan menggabungkan kajian hidrologi
dan kajian stabilitas lereng, dengan mengambil studi
kasus di Kabupaten Bandung.
Metode
Inventarisasi faktor penyebab dan faktor pemicu
tanah longsor penting untuk dilakukan. Faktor
penyebab tanah longsor antara lain meliputi tekstur
tanah, geomorfologi (Sadisun dkk., 2006) dan
kondisi lereng atau tutupan lahan (Sidle, 1992;
Montgomery dan Dietrich, 1994; Wu dan Sidle,
1995). Selain itu, salah satu faktor pemicu yang
penting karena pengaruhnya terhadap laju infiltrasi
dan infiltrasi kumulatif yaitu intensitas curah hujan
yang tinggi. Kedua faktor tersebut dapat digunakan
134
untuk mengestimasi stabilitas lereng, menentukan
daerah rawan tanah longsor, dan selanjutnya
mengestimasi waktu terjadinya tanah longsor.
Dalam penelitian ini, peta geologi, peta tekstur tanah,
peta rupa bumi dan citra satelit Landsat 7-ETM
(yang diambil pada tanggal 12 Mei 2001) digunakan
untuk melihat profil permukaan Kabupaten Bandung
yang dianggap berpotensi tanah longsor. Data
intensitas curah hujan PT. Indonesia Power Unit
Bisnis Pembangkit Saguling 1998, Stasiun Plengan,
Stasiun Cileunca, dan Stasiun Cipanunjang,
digunakan untuk estimasi intensitas curah hujan di
Kabupaten Bandung. Kemudian, data curah hujan
harian dari Pusat Penelitian dan Pengambangan Air,
Bandung, tahun 2001 digunakan untuk pendugaan
infiltrasi curah hujan.
Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan dengan mengkonversi
data rupa bumi DEM (Digital Elevation Model) dan
kelerengan. Untuk keperluan pengolahan spasial
diperlukan data digital tata guna lahan yang
diperoleh dari pemrosesan citra satelit dengan
metode Maximum Likehood Enhanced. Dalam
penelitian ini digunakan citra komposit band 542.
Estimasi durasi dan intensitas curah hujan dilakukan
berdasarkan data curah hujan harian menggunakan
persamaan yang diperoleh dari hasil pengamatan
curah hujan terbesar dunia, WMO (World
Meteorological Organisation) (Chow dkk, 1988)
(Persamaan 1 dan 2).
R
442
R
I
t
t 0,475
.................. (1)
.................. (2)
dengan I = intensitas hujan(mm/jam), R = curah
hujan (mm), dan t = durasi hujan(jam).
Karena Persamaan 1 diperoleh dari hasil pengamatan
yang berlaku secara global, perlu dilakukan
modifikasi untuk memperoleh nilai durasi dan
intensitas curah hujan yang sesuai dengan
karakteristik daerah penelitian.
Laju infiltrasi air hujan ke dalam tanah diperoleh
dengan menggunakan model infiltrasi Green-Ampt
(Lumb, 1962; Pradel dan Raad, 1993; Cho dan Lee,
2002; Xie dkk., 2004) dan berdasarkan Persamaan
Darcy dengan syarat batas kandungan air dan
masukan air dianggap konstan, menggunakan
Persamaan 3 dan 4.
f i dFF
f K s 1
FF dT
FF
FF Z w i K s t i f ln 1
i f
............. (3)
Hasil dan Pembahasan
......... (4)
Estimasi durasi dan intensitas curah hujan di
Kabupaten Bandung, menggunakan modifikasi
Persamaan 1 dari data ukur pada tiga stasiun
meteorologi tahun 1998, yaitu stasiun Plengan,
stasiun Cileunca dan stasiun Cipanunjang.
Modifikasi dilakukan secara semi-empiris dengan
pengkelasan curah hujan harian (R) untuk
menghaluskan hasil estimasi durasi hujan dari data
pengamatan, diperoleh Persamaan 6 sampai 12
sebagai berikut:
dengan f = laju Infiltrasi (mm/jam), FF = kedalaman
infiltrasi total (m), t = waktu (jam), Ks =
konduktivitas hidrolik jenuh tanah (mm/jam), ψf =
parameter penyerapan batas pembasahan tanah
Green-Ampt (mm), i = beda air tanah (mm3/mm3),
dan Zw = kedalaman bidang pembasahan (m).
Dalam menentukan stabilitas lereng telah digunakan
pendekatan model matematika 2-dimensi, lereng tak
hingga (Crosta 1998; Cho dan Lee, 2002),
sebagaimana terlihat dalam Persamaan 5. Stabilitas
lereng dinyatakan dengan faktor keamanan (factor of
safety) yang merupakan rasio antara gaya atau
momen yang melawan terjadinya longsoran dan gaya
yang melongsorkan (Keller, 2000).
FS
c ' sat zw cos u w tan '
sat zw sin cos
0.475
dengan c’ = kohesi efektif jenuh tanah (kN/m2), γsat =
berat jenis tanah jenuh (kN/m3), uw = tekanan pori air
tanah (kN/m2), α = kemiringan lereng, dan φ’ =
sudut geser dalam efektif.
Parameter tekstur tanah yang digunakan dalam
model seperti terlihat pada Tabel 1 yaitu contoh tabel
properti hidrolik dan geomekanik untuk tanah pasir,
tanah lempung, dan tanah liat (Rawls dkk., 1983;
Ogden dan Saghafian, 1997).
Banyaknya air yang masuk ke dalam tanah
menimbulkan tambahan pembebanan pada lereng.
Selain itu, dengan terbentuknya bidang batas antara
daerah resapan dan daerah di bawahnya, berpotensi
menjadi bidang gelinciran tanah longsor. Pada
penelitian ini, untuk mempermudah perhitungan
digunakan asumsi bahwa keadaan pada bidang
pembasahan/gelinciran dianggap jenuh dan hanya
properti tanah permukaan yang berpengaruh
terhadap stabilitas lereng (Lumb, 1975; Crosta
1998). Penelitian ini merupakan simulasi dengan
beberapa skenario pengaruh curah hujan terhadap
stabilitas lereng berdasarkan variasi durasi curah
hujan 15 menit, 30 menit, 45 menit, dan 1 jam,
dengan variasi intensitas curah hujan 10.4 mm/jam
(minimum), 20 mm/jam, 40 mm/jam, 80 mm/jam,
dan 100 mm/jam (maksimum), dengan tekstur tanah
pasir, tanah lempung dan tanah liat serta pada
kemiringan lereng 20%, 30%, dan 40 %, dengan
pengaruh tutupan lahan diabaikan.
0 .475
10 ≤ R < 20 mm: t
20 ≤ R < 30 mm: t
30 ≤ R < 40 mm: t
........... (5)
R
10
R < 10 mm : t
40 ≤ R < 50 mm: t
0.475
0.475
0.475
50 ≤ R < 60 mm: t
0.475
R 60 mm: t
0.475
R
17
........... (6)
........... (7)
R
21
...........
(8)
R
24
...........
(9)
R
26
R
36
........... (10)
...........
(11)
R ...........
51
(12)
Hasil estimasi durasi curah hujan terhadap curah
hujan harian stasiun Plengan diperoleh korelasi
sebesar 0,72 (Gambar 1 (a)), kemudian dilakukan
estimasi intensitas curah hujan dengan menggunakan
Persamaan 2, diperoleh korelasi sebesar 0,68
(Gambar 1 (b)).
Laju infiltrasi merupakan fungsi dari kondisi tanah
(kelembaban tanah, tekanan pori, dan konduktivitas
hidrolik tanah), dan besarnya intensitas curah hujan
(Espinoza, 1999). Laju infiltrasi tiap tekstur tanah
ditunjukkan pada Gambar 2 (a). Kapasitas infiltrasi
merupakan kemampuan maksimum tanah dapat
menyerap air hujan, yang merupakan fungsi dari
kandungan kelembaban inisial dan intensitas hujan.
Apabila intensitas berada di bawah kapasitas
infiltrasi minimum (Ks, konduktivitas hidrolik jenuh)
atau belum terjadi kejenuhan permukaan, maka
infiltrasi akan terus berlangsung tanpa terjadi
genangan (ponding). Setelah tercapai kejenuhan
permukaan, maka genangan akan segera terbentuk
sehingga laju infiltrasi akan berkurang hingga
mencapai kapasitas infiltrasi tanah (Cho dan Lee
2002). Gambar 2 (b) menunjukkan lengkung
infiltrasi kumulatif tiap tekstur tanah. Pada saat
terjadi genangan permukaan, maka laju infiltrasi
kumulatif akan berkurang hingga mencapai nilai
minimumnya.
135
Stasiun Plengan R = 0,72
Stasiun Plengan R = 0.68
5.0
50.0
Data
4.5
Hitung
Intensitas (mm/jam)
4.0
Durasi (jam)
3.5
3.0
2.5
2.0
1.5
1.0
45.0
Data
40.0
Hitung
35.0
30.0
25.0
20.0
15.0
10.0
5.0
0.5
0.0
0.0
52
12
32
37
60
4
50
CH (mm)
4
20
16
14
52
30
12
32
37
60
4
50
4
20
16
14
Ch (mm)
.Gambar 1. Hasil estimasi durasi (a) dan intensitas curah hujan (b) stasiun Plengan.
Laju Infiltrasi (mm/jam)
i = 100 mm/jam ; d= 1 jam
120.0
120.0
100.0
Infiltrasi Kumulatif (mm)
Laju Infiltrasi (mm/jam)
100.0
Infiltrasi Kumulatif (mm)
i max = 100 mm/jam ; d = 1 jam
80.0
60.0
40.0
T. Pasir
20.0
T. Lempung
80.0
60.0
T. Pasir
40.0
T. Lempung
T. Liat
20.0
T. Liat
0.0
0.0
1
00
0.
4
00
0.
8
00
0.
02
0.
06
0.
1
0.
4
0.
8
0.
1
00
0.
Waktu (jam)
4
00
0.
02
0.
8
00
0.
06
0.
1
0.
4
0.
8
0.
Waktu (jam)
Gambar 2. Lengkungan estimasi laju infiltrasi (a) dan infiltrasi kumulatif (b),
masing-masing untuk tekstur tanah pasir, tanah lempung dan tanah liat.
Tabel 1. Properti hidrolik dan geomekanik tekstur tanah pasir, tanah lempung,
tanah liat (Rawls dkk, 1983; Ogden dan Saghafian, 1997; Xie dkk, 2004)
Tekstur Tanah
Pasir
136
Porositas
Efektif
Wilting Point
Water Centent
( e )
(w )
0.471
0.033
i e w
0.384
Ks
(mm/jam)
235.6
f
(mm)
96.2
Pasir Lempungan
0.401
0.055
0.346
59.8
119.6
Lempung Pasiran
0.412
0.095
0.317
21.8
215.3
Lempung
0.434
0.117
0.317
13.2
175.0
Lempung Liatan
0.390
0.197
0.193
2.0
408.9
Liat Pasiran
0.321
0.239
0.082
1.2
466.5
Liat Lempungan
0.423
0.250
0.173
1.0
577.7
Liat
0.385
0.272
0.113
0.6
622.5
30
Tabel 2. Kedalaman bidang pembasahan Zw tiap tekstur tanah berbagai kemiringan lereng
Kedalaman Bidang Pembasahan (m)
Kemiringan Lereng (derajat)
Tekstur
Tanah
10
20
30
40
Pasir
Lempung
Liat
4,9
10,2
79,1
0,8
2,8
26,4
0,5
1,8
17,3
0,4
1,4
14,4
Tabel 3. Estimasi waktu kritis lereng menjadi tidak stabil (dalam jam).
Tekstur
Tanah Pasir
Tanah Lempung
Tanah Liat
Tanah
Intensitas
(mm/jam)
Kemiringan Lereng
Kemiringan Lereng
Kemiringan Lereng
100
200
300
400
100
200
300
10,4
1,929
0,669
0,441
0,369
1,517
0,525
0,345
20
1,005
0,349
0,229
0,193
0,789
0,273
0,181
50
0,405
0,141
0,093
0,077
0,317
0,109
0,073
80
0,253
0,089
0,061
0,049
0,253
0,069
100
0,161
0,057
0,037
0,023
0,217
0,057
100
200
300
0,289
1,173
0,405
0,269
0,225
0,153
0,649
0,213
0,141
0,117
0,061
0,445
0,125
0,057
0,049
0,045
0,041
0,421
0,129
0,085
0,061
0,029
0,025
0,413
0,133
0,093
0,081
5.0
10 drjt
4.5
20 drjt
250.0
4.0
30 drjt
3.5
200.0
40 drjt
3.0
FS
Zw (m)
400
Factor of Safety T. Lempung
i max = 1000 mm/jam ; d = 1 jam
Zw (m)
i max = 100 mm/jam ; d = 1 jam
300.0
400
150.0
T. Pasir
2.0
T. Lempung
100.0
2.5
1.5
T. Liat
1.0
50.0
0.5
0.0
0.0
1
00
0.
4
00
0.
8
00
0.
02
0.
06
0.
1
0.
4
0.
8
0.
Waktu (jam)
6
1
2
8
4
8
2
6
1
4
00 00 .00 .00 .00 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
0. 0.
0
0
0
1
0.
2
0.
4
0.
6
0.
8
0.
1
Waktu (jam)
Gambar 3. Lengkungan estimasi kedalaman bidang pembasahan (a) dan stabilitas lereng
berdasarkan faktor keamanan/FS (b) untuk berbagai kemiringan lereng.
Kemampuan simulasi model infiltrasi Green-Ampt
yang sederhana dan stabil (Qi, 2006) telah digunakan
dalam penelitian ini untuk menunjukan profil laju
infiltrasi tiap tekstur tanah. Dalam model GreenAmpt, profil kandungan air tanah ditunjukkan
dengan tipe piston (bidang batas pembasahan, Zw).
Suction head pada bidang batas pembasahan
dianggap konstan, di atas bidang batas pembasahan
Ks dianggap konstan, kondisi ini tanah dianggap
jenuh dari permukaan hingga bidang batas
pembasahan. Gambar 3 (a) merupakan lengkungan
kedalaman bidang pembasahan (Zw) terhadap waktu
dari tiga tektur tanah, pada intensitas curah hujan
maksimum (100 mm/jam) dan durasi 1 jam.
Dalam model stabilitas infinite slope, kedalamaan
Zw diasumsikan sebagai kedalaman bidang
gelinciran (Fredlund dkk., 1978). Pengaruh
kemiringan lereng akan mengurangi infiltrasi
sehingga kedalaman Zw semakin dangkal (Crosta,
137
1998). Kedalaman Zw tiap tekstur tanah dan
berbagai kemiringan lereng dapat dilihat pada Tabel
2. Gambar 3 (b) adalah lengkungan faktor keamanan
(FS) tanah lempung terhadap waktu pada berbagai
kemiringan lereng, 1 jam setelah hujan turun.
Lengkungan faktor keamanan digunakan untuk
menentukan stabilitas lereng pada berbagai intensitas
curah hujan, jenis tekstur tanah dan berbagai
kemiringan lahan (Iverson, 1991). Lereng dikatakan
kritis jika FS = 1. Tiap tekstur tanah memberikan
reaksi yang berbeda-beda dalam kecepatan untuk
mencapai kondisi kritis. Nilai faktor keamanan terus
berkurang terhadap waktu akibat penambahan air ke
dalam tanah.
Lereng dalam kondisi kritis dapat dikatakan sebagai
kondisi rawan (saat lereng menjadi tidak stabil)
terjadinya tanah longsor, sehingga estimasi waktu
lereng kritis menjadi penting. Tabel 3 menunjukkan
hasil estimasi waktu kritis lereng (dalam jam), pada
intensitas 10.4 mm/jam, 20 mm/jam, 50 mm/jam, 80
mm/jam, dan 100 mm/jam, pada kemiringan lereng
10%, 20%, 30%, dan 40%, serta dengan tekstur
tanah pasir, tanah lempung, dan tanah liat. Semakin
tinggi kemiringan lereng, semakin cepat waktu
kondisi kritis tercapai. Hal tersebut dikarenakan
semakin
tinggi
kemiringan
lereng
akan
meningkatkan tegangan geser tanah yang merupakan
fungsi dari kemiringan lereng dan berat lereng.
Pengaruh besarnya curah hujan belum tentu
mempercepat terjadinya kerawanan, hal tersebut
dikarenakan adanya proses genangan, sehingga
kandungan air akan berbeda-beda pada tiap tanah
tergantung pada besarnya infiltrasi.
Kehandalan model infiltrasi Green-Ampt dalam
menduga kedalaman Zw, dan merupakan bidang
gelincir model stabilitas lereng tak hingga, telah
mampu digunakan untuk menduga waktu kritis
terjadinya tanah longsor. Aplikasi lanjutan dari
gabungan kajian hidrologi dan geoteknik ini adalah
untuk menghasilkan peta dugaan spasio-temporal
kerawanan tanah longsor. Hasil ekstrapolasi untuk
memperoleh peta spasio-temporal kerawanan tanah
longsor ditampilkan pada Gambar 4, digunakan
138
untuk menduga perkembangan stabilitas lereng atau
daerah kerawanan tanah longsor di Kabupaten
Bandung, 15 menit, 30 menit, 45 menit, dan 1 jam
setelah hujan turun, dengan klasifikasi faktor
keamanan FS