Karakteristik Keluarga, Kesiapan Menikah Istri Dan Perkembangan Anak Usia 3-5 Tahun

KARAKTERISTIK KELUARGA, KESIAPAN MENIKAH
ISTRI DAN PERKEMBANGAN ANAK
USIA 3-5 TAHUN

NURLITA TSANIA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Karakteristik Keluarga,
Kesiapan Menikah Istri dan Perkembangan Anak Usia 3-5 Tahun adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, September 2014
Nurlita Tsania
NIM I251120121

RINGKASAN
NURLITA TSANIA. Karakteristik Keluarga, Kesiapan Menikah Istri dan
Perkembangan Anak Usia 3-5 Tahun. Di bimbing oleh EUIS SUNARTI dan
DIAH KRISNATUTI
Anak merupakan investasi suatu bangsa dan negara yang sangat penting.
Menjamin tumbuh kembang anak secara optimal menjadi tugas utama orang tua
dan harus dipersiapkan dengan baik bahkan semenjak sebelum menikah. Banyak
faktor yang mempengaruhi perkembangan anak diantaranya adalah kesiapan
menikah kedua orang tua dan karakteristik keluarga. Dampak dari tidak siapnya
pasangan ketika memasuki jenjang pernikahan berpengaruh besar terhadap
kualitas anak. Kenyataannya banyak diantara pasangan yang hendak menikah
yang belum mempersiapkan diri dengan baik untuk menjadi orang tua.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis karakteristik keluarga,
kesiapan menikah istri dan perkembangan anak usia 3-5 tahun. Penelitian ini
menggunakan desain cross sectional dan retrospective study. Penentuan lokasi

dilakukan secara purposive di Kelurahan Ratu Jaya dan Bojong Pondok Terong,
Kecamatan Cipayung Kota Depok. Pengumpulan data dilakukan pada bulan
Maret – Juni 2014. Contoh dalam penelitian ini adalah ibu yang baru memiliki
satu anak usia 3-5 tahun. Teknik sampling yang digunakan adalah stratified nonproportional random sampling sebanyak 120 orang.
Hasil penelitian menunjukkan rata-rata usia menikah istri dan suami
masing-masing yaitu 21,52 tahun dan 26,22 tahun. Usia tersebut sudah melampaui
batas ideal usia menikah. Idealnya usia menikah istri ternyata tidak diikuti dengan
tingginya tingkat kesiapan menikah istri. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata
kesiapan menikah istri baru mencapai 64,9 persen. Kesiapan menikah istri yang
menikah di usia dewasa lebih baik dibandingkan istri yang menikah muda. Usia
anak dan lama pendidikan istri berhubungan positif dengan perkembangan anak.
Di lain sisi, usia suami, jarak usia suami dan istri dan lama menikah berhubungan
negatif dengan perkembangan anak. Hasil uji pengaruh menunjukkan bahwa jenis
kelamin anak, usia anak dan kesiapan menikah berpengaruh positif terhadap
perkembangan anak. Pengaruh negatif ditemui antara lama menikah dengan
perkembangan anak. Rendahnya perkembangan anak pada istri yang menikah
lebih lama berhubungan dengan rendahnya tingkat pendidikan istri dan
pendapatan perkapita.
Penelitian ini memberikan implikasi kepada institusi pemberdayaan
keluarga baik itu pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, pemerhati keluarga

maupun instansi pendidikan untuk turut serta mensosialisasikan pentingnya aspek
kesiapan menikah, usia ideal menikah dan kesiapan menjadi orang tua bagi remaja
dalam mengoptimalkan perkembangan anak di masa depan. Orang tua diharapkan
lebih peduli terhadap aspek kesiapan menikah seperti intelektual, moral, sosial,
emosi, finansial, individu dan mental yang penting dalam membimbing anak-anak
remaja sebelum menikah. Selain itu, pemerintah diharapkan semakin
mempermudah akses terhadap pendidikan karena pendidikan merupakan salah
satu kunci penting atas penundaan usia perkawinan pada remaja.
Kata Kunci: kesiapan menikah, perkembangan anak, kesiapan finansial, kesiapan
intelektual

SUMMARY
NURLITA TSANIA. Family Characteristics, Marital Readiness of Wife and
Child Development Aged 3-5 Years. Supervised by EUIS SUNARTI and DIAH
KRISNATUTI.
Child is one of very important investment for nation. Optimizing child
development is the main task of the parents and must be prepared since even
before marriage. Many factors influence child development such as marital
readiness of parents and family characteristics. Unprepared marriage will impact
not only for stability of marriage itself but also greatly affect the quality of

children. However, unfortunately many of the couples hadn’t well prepared yet to
be a parent before they got marriage.
The purpose of this study was to analyze family characteristics, marital
readiness of wife and child development aged 3-5 years. Design of this study was
a cross sectional and retrospective. Purposive is the way to determine the location.
Location was determined in Ratu Jaya and Bojong Pondok Terong Subdistrict,
Cipayung District, Depok. Data collection was conducted in March-June 2014.
Sample of this study was mother whose only one child aged 3-5 years who
married young and adults. Sampling technique used a non-proportional stratified
random sampling of 120 people.
The results showed the average age of marriage both husband and wife
was around 21,52 and 26,22 years. Those aged had passed the limit of ideal
marriage age. Although both husband and wife had been married at an ideal age,
data showed that the marital readiness of wife only reached around 64,9 percent.
Marital readiness of wife who married in adulthood was better than wife who
marriage at young. Age of child and length of maternal education were also
positively related to child development. On the other hand, husband’s age, age gap
between husband and wife and length of marriage were negatively related to child
development. The regression analysis showed that sex of the child, age of
children, marital readiness had a positive effect on child development. Negative

effect was found between length of marriage and child development. Low of child
development on wife with longer marriage was related to lack of level education
and income per-capita.
This study provides implication for family empowerment institution such
as government, NGO, family practitioner and educational institution to contribute
in socialization of marital readiness, ideal age of marriage and parental readiness
for adolescent in order to optimizing child development in the future. Parents need
to be more aware about aspect of marital readiness such as intellectual, moral,
social, emotional, financial, individual, and mental for teaching their adolescent
before marriage. In addition, government is expected to provide an easier access
for education because of education is one of the crucial key for delaying marriage
in adolescent.
Keywords: marital readiness, child development, financial readiness, intellectual
readiness

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KARAKTERISTIK KELUARGA, KESIAPAN MENIKAH
ISTRI DAN PERKEMBANGAN ANAK
USIA 3-5 TAHUN

NURLITA TSANIA

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Keluarga dan
Perkembangan Anak

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2014

Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Dr.Ir.Dwi Hastuti, M.Sc

Judul Tesis
Nama Mahasiswa
Nomor Pokok
Program Studi

: Karakteristik Keluarga, Kesiapan Menikah Istri
Dan Perkembangan Anak Usia 3-5 Tahun
: Nurlita Tsania
: I251120121
: Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof.Dr. Ir. Euis Sunarti, M.S
Ketua


Dr. Ir. Diah Krisnatuti, M.S
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Keluarga dan
Perkembangan Anak

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Herien Puspitawati, MSc.,MSc

Dr.Ir.Dahrul Syah, MScAgr.

Tanggal Ujian: 22 September 2014

Tanggal lulus:


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia
serta rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tema yang
dipilih dalam penelitian ini adalah karakteristik keluarga, kesiapan menikah dan
perkembangan anak usia 3-5 tahun.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Euis Sunarti, MS. dan Dr.
Ir. Diah Krisnatuti MS selaku pembimbing tesis atas bimbingan, doa, motivasi
dan arahan yang diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan tesis
ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada suami tercinta atas segala
dukungan moral, materil hingga segala pengertiannya selama penulis
menyelesaikan tesis ini. Selain itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada
kedua orang tua yang dengan ikhlas menjaga cucu terkasih selama penulis
berkuliah dan juga kepada kedua mertua yang selalu memberikan dukungan besar
kepada penulis.
Tak lupa ucapan terima kasih pun penulis sampaikan untuk teman-teman
seperjuangan BKKBN IKA 2012 yang selama lebih dari dua tahun ini telah
berbagi suka maupun duka bersama. Semoga kita bisa lulus dengan baik dan
memberikan yang terbaik untuk instansi BKKBN dan juga kepada teman-teman
satu bimbingan Risda Rizkillah, Fitri Meliani, Fitri Apriliana Hakim yang telah
saling bantu membantu agar supaya bisa lulus bersama. Sharing dan bantuan

kalian sangat berarti. Akhir kata, semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi seluruh
pihak yang membutuhkan segala informasi yang terdapat didalamnya.
Depok, September 2014
Nurlita Tsania

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ........................................................................................... i
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... ii
PENDAHULUAN
Latar Belakang ...................................................................................... 1
Perumusan Masalah .............................................................................. 2
Tujuan Penelitian .................................................................................. 4
Manfaat Penelitian ................................................................................ 4
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Keluarga.............................................................................. 4
Teori Struktural Fungsional .................................................................. 5
Teori Perkembangan ............................................................................. 6
Kesiapan Menikah ................................................................................ 7
Pendewasaan Usia Perkawinan............................................................. 9
Masa Kanak-kanak ............................................................................. 10

Perkembangan Anak ........................................................................... 10
Penelitian Terdahulu ........................................................................... 13
KERANGKA PIKIR .................................................................................... 16
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian............................................................ 18
Prosedur Pemilihan Contoh ............................................................... 18
Jenis dan Cara Pengumpulan Data .................................................... 19
Pengolahan dan Analisis Data ........................................................... 20
DEFINISI OPERASIONAL ........................................................................ 21
KESIAPAN MENIKAH ISTRI DAN PERKEMBANGAN ANAK
PADA KELUARGA DENGAN ISTRI YANG MENIKAH
MUDA DAN DEWASA
Pendahuluan ..................................................................................... 24
Metode Penelitian............................................................................. 25
Hasil ................................................................................................. 27
Pembahasan ...................................................................................... 36
Simpulan .......................................................................................... 38

KESIAPAN MENIKAH ISTRI, KARAKTERISTIK KELUARGA DAN
PERKEMBANGAN ANAK USIA 3-5 TAHUN
Pendahuluan....................................................................................... 40
Metode Penelitian .............................................................................. 42
Hasil ................................................................................................... 43
Pembahasan ....................................................................................... 50
Simpulan ............................................................................................ 53
PEMBAHASAN UMUM ............................................................................ 53
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan ............................................................................................ 55
Saran .................................................................................................. 55
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 56
LAMPIRAN ................................................................................................. 62
RIWAYAT HIDUP ...................................................................................... 67

DAFTAR TABEL

1. Deskripsi kemampuan motorik anak usia 3-6 tahun .............................. 12
2. Penelitian terdahulu ................................................................................ 14
3. Variabel, skala dan pengolahan data ...................................................... 19
4. Model regresi linier berganda ................................................................ 21
5. Sebaran rata-rata dan uji beda berdasarkan karakteristik keluarga ........ 27
6. Sebaran contoh berdasarkan kehamilan di luar nikah ............................ 28
7. Sebaran contoh berdasarkan usia anak (bulan) ...................................... 28
8. Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin anak .................................... 29
9. Sebaran rata-rata capaian (%) kesiapan menikah istri ........................... 29
10. Sebaran rata-rata capaian (%) kesiapan intelektual istri ........................ 30
11. Sebaran rata-rata capaian (%) kesiapan sosial istri ................................ 31
12. Sebaran rata-rata capaian (%) kesiapan emosi istri................................ 31
13. Sebaran rata-rata capaian (%) kesiapan moral istri ................................ 32
14. Sebaran rata-rata capaian (%) kesiapan individu istri ............................ 33
15. Sebaran rata-rata capaian (%) kesiapan mental istri .............................. 34
16. Sebaran rata-rata capaian (%) kesiapan finansial istri ........................... 34
17. Sebaran contoh berdasarkan kategori kesiapan menikah ....................... 35
18. Sebaran rata-rata perkembangan anak menurut dimensi
Perkembangan ........................................................................................ 35
19. Sebaran contoh berdasarkan perkembangan anak.................................. 36
20. Sebaran nilai minimum, maksimum, rata-rata dan standar deviasi
karakteristik keluarga ............................................................................. 43
21. Sebaran usia, jenis kelamin dan keikutsertaan pendidikan
prasekolah anak ..................................................................................... 43
22. Sebaran nilai rata-rata skor dan persentase aspek kesiapan menikah .... 44
23. Sebaran contoh berdasarkan item pernyataan kesiapan finansial
dan kesiapan intelektual istri .................................................................. 45
24. Sebaran berdasarkan kategori kesiapan menikah .................................. 45
25. Sebaran rata-rata skor pencapaian perkembangan anak
berdasarkan dimensi perkembangan anak .............................................. 46
26. Sebaran anak berdasarkan kategori tingkat perkembangan ................... 46
27. Sebaran koefisien korelasi antara karakteristik keluarga,
karakteristik anak, kesiapan menikah dan perkembangan anak............. 47
28. Sebaran koefisien korelasi antara dimensi kesiapan
menikah dan perkembangan anak .......................................................... 47
29. Sebaran koefisien regresi pengaruh kesiapan menikah terhadap
perkembangan anak ................................................................................ 48
30. Sebaran koefisien regresi pengaruh kesiapan menikah dan
karakteritik keluarga terhadap perkembangan anak ............................... 49
31. Sebaran koefisien regresi pengaruh karakteristik keluarga
dan dimensi kesiapan menikah terhadap perkembangan anak ............... 50

DAFTAR GAMBAR
1. Perencanaan Keluarga ............................................................................ 10
2. Kerangka pikir ........................................................................................ 17
3. Prosedur pemilihan contoh..................................................................... 18
DAFTAR LAMPIRAN
1. Gambaran lokasi penelitian .................................................................... 62
2. Peta lokasi penelitian.............................................................................. 63
3.
4.
5.
6.

Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan suami .................................... 65
Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan istri ....................................... 65
Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan suami .................................................. 65
Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan istri ..................................................... 65

7. Dokumentasi penelitian .......................................................................... 66

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Anak merupakan investasi suatu bangsa dan negara yang sangat penting.
Menjamin tumbuh kembang anak secara optimal menjadi tugas utama orang tua
dan harus dipersiapkan dengan baik bahkan semenjak sebelum menikah. Sunarti
(2004) menyatakan bahwa kualitas anak adalah cermin kualitas bangsa dan cermin
peradaban dunia. Indikator kesejahteraan suatu masyarakat atau suatu bangsa
salah satunya bisa dilihat dari kualitas hidup anak. Hal senada juga disampaikan
oleh Yudesti dan Prayitno (2013) yang menyatakan bahwa anak merupakan salah
satu aset sumberdaya manusia di masa depan yang perlu mendapat perhatian
khusus. Adanya peningkatan dan perbaikan kualitas hidup anak merupakan salah
satu upaya yang penting bagi kelangsungan hidup suatu bangsa.
Masa-masa yang rentan dari kehidupan seseorang berada pada lima tahun
pertama dalam kehidupannya yang merupakan pondasi bagi perkembangan
selanjutnya. Anwar (2002) menyatakan apabila pada masa tersebut pertumbuhan
dan perkembangan seorang anak berjalan secara optimal diharapkan pada masa
dewasa akan tumbuh menjadi manusia yang berkualitas. Usia dini merupakan
masa terjadinya kematangan fungsi-fungsi fisik dan psikis yang siap merespon
stimulasi (rangsangan) yang diberikan oleh lingkungan. Masa ini merupakan masa
untuk meletakkan dasar pertama dalam mengembangkan potensi fisik (motorik),
intelektual, emosional, sosial, bahasa, seni dan moral spiritual (Widhianawati
2011).
Banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan anak diantaranya
adalah kesiapan menikah kedua orang tua dan faktor karakteristik keluarga.
Dampak dari tidak siapnya pasangan ketika memasuki jenjang pernikahan tidak
hanya berdampak pada stabilitas perkawinan namun juga berpengaruh besar
terhadap kualitas anak. Kenyataannya, banyak diantara pasangan yang hendak
menikah lebih memfokuskan diri dalam persiapan hari pernikahan dibandingkan
mempersiapkan diri menjadi orang tua. Ghalili et al. (2012) menunjukkan bahwa
hanya sedikit dari remaja yang telah mendapat informasi yang cukup mengenai
pernikahan dari keluarga maupun lingkungan mereka. Selain itu, tidak sedikit
diantara laki-laki maupun wanita yang kurang menyadari perlunya persiapan yang
matang sebelum menuju sebuah perkawinan (Maryati et al. 2007).
Persiapan sebelum menikah menjadi hal yang sangat penting untuk
mencapai kesuksesan keluarga. Memasuki dunia pernikahan diperlukan sebuah
kesiapan (Blood et al. 1978). Penting bagi setiap orang tua untuk dapat
memberikan contoh-contoh positif agar anak dapat meniru kebiasaan baik tersebut,
sehingga hal ini penting bagi anak dalam rangka pembentukan kepribadian yang
baik ke depannya (KPP dan PA 2012). Sebelum menikah, calon pasangan harus
memenuhi minimal tiga syarat yaitu mampu memperoleh sumber daya ekonomi
untuk memenuhi kebutuhan dasar dan perkembangan keluarga, memiliki kualitas
sumber daya manusia yang memadai untuk mengelola keluarga sebagai ekosistem
dan memiliki kematangan pribadi untuk menjalankan fungsi, peran dan tugas
keluarga (Burgess dan Locke 1960). Kesiapan menikah dianggap penting karena
kehidupan pernikahan cenderung berbeda dengan kehidupan saat masih lajang.
Sekitar 2-3 tahun di awal pernikahan, beberapa perubahan akan terjadi sehingga

2

pada tahap ini pasangan butuh menyesuaikan diri satu sama lain (Williams et al.
2006).
Keutuhan perkawinan harus selalu dijaga, pasangan calon suami istri harus
mempunyai bekal yang cukup agar siap dan mampu menghadapi segala
kemungkinan yang terjadi dalam kehidupan berumah tangga (Arjoso 1996), salah
satunya adalah faktor usia. Keadaan perkawinan antara seseorang yang menikah
dengan usia yang belum matang dengan seseorang yang usia sudah matang, akan
menghasilkan kondisi rumah tangga yang berbeda. Emosi, pikiran dan perasaan
seseorang di bawah usia masih labil, sehingga tidak bisa mensikapi permasalahanpermasalahan yang muncul dalam rumah tangga dengan dewasa, melainkan
dengan sikap yang lebih menonjolkan arogansi yaitu sifat yang mementingkan
egonya masing-masing (Munir 2003). Dampak dari menikah dini lainnya adalah
abortus, perceraian, tidak ada kesiapan untuk berkeluarga, tingginya angka
kematian bayi dan ibu melahirkan (Maryanti dan Septikasari 2009).
Perkawinan usia dini berdampak pada perkawinan itu sendiri dimana
tingkat kemandirian dari pasangan tersebut masih rendah, masih rawan dan masih
belum stabil sehingga dapat menyebabkan banyak terjadi perceraian. Oleh karena
itu, dari perkawinan usia dini tersebut akan sulit untuk memperoleh keturunan
yang berkualitas. Selain itu, jika dilihat dari segi kependudukan, perkawinan usia
dini mempunyai tingkat fertilitas yang tinggi sehingga kurang mendukung
pembangunan di bidang kependudukan (KPP dan PA 2012). Oleh karena itu,
penelitian ini dianggap penting untuk dilakukan agar generasi muda, utamanya
yang sedang mempersiapkan pernikahan dapat lebih memahami akan pentingnya
kesiapan menikah dan karakteristik keluarga bagi perkembangan anak.
Perumusan Masalah
Di Indonesia, kecenderungan rata-rata usia menikah pertama selalu
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Survei Demografi dan Kesehatan
Indonesia (SDKI) Tahun 2012 menunjukkan rata-rata usia kawin pertama pada
kelompok wanita yang sudah menikah berusia 25-49 tahun adalah 20,1 tahun.
Angka tersebut mengalami peningkatan dari data SDKI Tahun 2007 sebesar 19,8
tahun. Pendidikan menjadi salah satu indikator seorang wanita menunda menikah,
rata-rata usia menikah pertama pada wanita usia 25-49 tahun yang berpendidikan
tinggi adalah 22.9 tahun, lebih tua lima tahun dibandingkan yang tidak
berpendidikan yaitu 17.2 tahun (SDKI 2012). Data tersebut menunjukkan bahwa
generasi muda saat ini semakin menyadari bahwa pernikahan membutuhkan
kesiapan yang matang sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk menikah.
Fakta lainnya menunjukkan bahwa secara nasional, sebesar 1,62 persen
anak perempuan berusia 10-17 tahun di Indonesia berstatus kawin dan pernah
kawin. Sebagian kecil dari jumlah tersebut, 1,54 persen diantaranya berstatus
kawin dan 0,08 persen berstatus cerai (cerai hidup dan cerai mati) (BPS 2011).
Hal ini tentunya sangat memprihatinkan, karena dalam usia yang sangat muda
anak-anak tersebut sudah mengalami perceraian baik cerai hidup maupun cerai
mati (KPP dan PA 2012).
Pernikahan muda yang tidak diiringi persiapan yang matang oleh kedua
pasangan tak jarang menimbulkan dampak perceraian. Dalam kurun waktu 2007
hingga 2009, kasus perceraian meningkat dari 157.711 kasus menjadi 223.371

3

kasus (Badilag 2010). Sebagian besar masalah perceraian dipicu oleh adanya
suami atau istri yang meninggalkan kewajiban (Sunarti et al. 2012). Selain
tingginya tingkat perceraian, angka kelahiran bayi dari remaja perempuan justru
mengalami peningkatan.
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 menyebutkan
angka fertilitas remaja (ASFR) pada kelompok usia 15-19 tahun mencapai 48 dari
1.000 kehamilan. Angka rata-rata itu jauh lebih tinggi dibandingkan temuan SDKI
2007 yaitu 35 dari 1.000 kehamilan (SDKI 2012). Hal ini mengindikasikan bahwa
pernikahan muda kemudian menyebabkan pasangan muda harus siap dengan
tugas pengasuhan anak pertama yang tidak mudah padahal anak sangat
membutuhkan peran orang tua untuk mengoptimalkan tumbuh kembang mereka.
Oleh karena itu, pasangan harus memiliki cara yang disepakati bersama mengenai
segala hal yang berhubungan dengan perencanaan yang berkaitan dengan anak
dan cara pengasuhan (Fowers dan Olson 1989).
Lahirnya seorang anak tentu masalah akan bertambah pula. Pertama,
masalah ekonomi, yang berarti bertambahnya pengeluaran yang harus pula
diimbangi dengan pemasukan yang lebih besar, sedangkan sumber nafkah
biasanya justru berkurang, karena istri mengurangi waktu bekerjanya demi
mengurus anak. Keadaan juga mengalami perubahan, karena berubahnya jadwal
harian dan perhatian yang tidak lagi sepenuhnya dicurahkan ke hubungan suami
istri, melainkan kepada si bayi. Perubahan keadaan ini memerlukan pengertian
dari suami dan istri (Gunarsa dan Gunarsa 2012). Hal ini menekankan pentingnya
calon pasangan untuk mempersiapkan diri secara maksimal sebelum menikah agar
mereka mampu menjalankan fungsi, peran dan tugasnya dalam keluarga dengan
baik.
Kota Depok sebagai lokasi penelitian menunjukkan persentase umur
perkawinan pertama yang cukup fluktuatif. Susenas 2003-2009 menunjukkan usia
kawin pertama pada tahun 2003 adalah 25,48 tahun, lalu mengalami penurunan
pada tahun 2008 yaitu 23,98 tahun dan pada tahun 2009 mengalami peningkatan
kembali menjadi 24,62 tahun. Perkembangan selama lima tahun terakhir
menunjukkan bahwa perempuan di Kota Depok sudah mulai menunda perkawinan
pertama mereka sampai usia yang lebih matang. Selain itu, angka perceraian Kota
Depok pada tahun 2009 pun relatif cukup rendah yaitu 2,70 artinya tiap seratus
orang perempuan umur 10-49 tahun yang pernah kawin ada sebanyak 2 orang
yang berpisah karena perceraian. Fakta lain menunjukkan bahwa angka perceraian
justru cenderung tinggi untuk perempuan pernah kawin pada kelompok umur 2024 tahun yaitu sebesar 3,30. Diperkirakan, tingginya angka perceraian perempuan
berumur muda tersebut karena ketidaksiapan mereka dalam menjalani perkawinan
(BPS 2010).
Penelitian ini dilakukan didasarkan atas fenomena masih rendahnya
kesiapan menikah dan kesiapan menjadi orang tua di Indonesia khususnya di Kota
Depok. Kedua komponen tersebut sangat penting bagi keutuhan sebuah keluarga.
Melihat fenomena diatas, penelitian ini ingin menjawab pertanyaan permasalahan
sebagai berikut:
1. Bagaimana karakteristik keluarga, kesiapan menikah istri dan
perkembangan anak usia 3-5 tahun pada keluarga dengan istri yang
menikah muda dan dewasa?

4

2. Seberapa besar perbedaan karakteristik keluarga, kesiapan menikah istri
dan perkembangan anak usia 3-5 tahun pada keluarga dengan istri yang
menikah muda dan dewasa?
3. Adakah pengaruh karakteristik keluarga dan kesiapan menikah istri
terhadap perkembangan anak usia 3-5 tahun?
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk mengetahui karakteristik
keluarga, kesiapan menikah istri, perkembangan anak usia 3-5 tahun.
Tujuan Khusus
Tujuan Penelitian ini secara khusus adalah untuk:
1. Menganalisis karakteristik keluarga, kesiapan menikah istri dan
perkembangan anak usia 3-5 tahun pada keluarga dengan istri yang
menikah muda dan dewasa
4. Menganalisis perbedaan karakteristik keluarga, kesiapan menikah istri dan
perkembangan anak usia 3-5 tahun pada keluarga dengan istri yang
menikah muda dan dewasa
2. Menganalisis pengaruh karakteristik keluarga dan kesiapan menikah istri
terhadap perkembangan anak usia 3-5 tahun

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat diantaranya yaitu:
1. Sebagai bahan sumbangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang ilmu
keluarga mengenai hubungan karakteristik keluarga dan kesiapan menikah
terhadap perkembangan anak usia 3-5 tahun
2. Sebagai tambahan informasi baik untuk individu maupun untuk orang tua
mengenai pentingnya kesiapan menikah agar memperoleh perkembangan
anak yang optimal
3. Sebagai bahan pengembangan program pendewasaan usia perkawinan dan
program sosialisasi stimulasi tumbuh kembang anak yang lebih baik lagi
yang dilakukan oleh pemerintah atau instansi terkait.
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Keluarga
Keluarga adalah unit sosial-ekonomi terkecil dalam masyarakat yang
merupakan landasan dasar dari semua institusi masyarakat dan negara. Sebagai
unit terkecil dalam masyarakat, keluarga memiliki kewajiban untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan anaknya yang meliputi agama, psikologi, makan, minum
dan sebagainya (Puspitawati 2013). Keluarga yang menjadi fokus dalam
penelitian ini menunjukkan bahwa keluarga dengan anak usia 3-5 tahun memiliki
tugas-tugas tertentu yang harus dipenuhi untuk menjamin tumbuh kembang anak

5

yang maksimal. Klein dan White (1996) menyatakan keluarga menjadi beberapa
pengertian diantaranya: (1) keluarga terbentuk hingga jangka waktu yang panjang
dibandingkan kelompok sosial lainnya; (2) keluarga merupakan intergenerasi; (3)
keluarga terdiri baik karena hubungan biologis namun juga karena legalisasi
hukum (adopsi dsb); (4) faktor biologis dalam keluarga maupun adopsi anak
secara legal di mata hukum merupakan aspek yang menghubungkan mereka
kepada organisasi kekerabatan yang semakin besar.
Keluarga memiliki beberapa ciri khas dan juga tugas-tugas yang harus
dipenuhi. Mattessich dan Hill (1987) dalam Zeitlin et al. (1995) menyatakan
bahwa keluarga adalah kelompok yang berhubungan dengan kekerabatan, tempat
tinggal ataupun kedekatan secara emosional dan menjadikan mereka kepada
empat bentuk sistemik diantaranya saling ketergantungan satu sama lain
(hubungan intim), memelihara batasan-batasan terseleksi, kemampuan untuk
beradaptasi terhadap perubahan dan memelihara identitas mereka sepanjang waktu,
serta melakukan beberapa tugas keluarga seperti pemeliharaan fisik, sosialisasi,
edukasi, kontrol sosial dan perilaku seksual, memelihara moral dan motivasi
keluarga untuk melakukan yang terbaik di dalam maupun diluar keluarga, akuisisi
anggota keluarga yang dewasa dengan pembentukan formasi kemitraan seksual,
dan melepas anggota keluarga yang remaja ketika beranjak dewasa.
Teori Struktural Fungsional
Perspektif teoritis struktural fungsional pada awalnya dikembangkan untuk
menganalisis keadaan sosial kemasyarakatan secara umum. Para sosiolog generasi
pertama pada akhir abad ke-18 dan kurun waktu abad ke-19, mulai memikirkan
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan “bagaimana dan mengapa suatu
masyarakat bisa ada?” “Faktor-faktor apa yang dapat mempersatukan
masyarakat?”. Selain itu, ketidaksetujuan pada pemikir sosial abad ke-19 terhadap
paham utilitarianism timbul, karena melihat kenyataan yang sebaliknya, dimana
ketertiban sosial justru semakin kacau setelah faham utilitarianism semakin besar
mewarnai kehidupan masyarakat. Kenyataan yang demikian telah membuka
peluang timbulnya pemikiran baru tentang bagaimana tatanan masyarakat yang
tertib dan harmonis dapat diwujudkan. Sehingga pendekatan struktural fungsional
digunakan untuk menganalisis struktur sosial masyarakat. Pendekatan ini muncul
bersamaan dengan semakin mapannya ilmu biologi, terutama yang berkaitan
dengan struktur biologi kehidupan. Struktur biologi organisme hidup terdiri dari
elemen-elemen yang saling terkait walaupun berbeda fungsi. Perbedaan fungsifungsi tersebut ternyata diperlukan, terutama untuk saling melengkapi agar suatu
sistem kehidupan yang berkesinambungan dapat terwujud (Megawangi 1999).
Parson dan Bales (1955) dalam Megawangi (1999) membagi dua peran
orangtua dalam keluarga yaitu peran instrumental yang diharapkan dilakukan oleh
suami atau bapak dan peran emosional dan ekspresif yang biasanya dipegang oleh
figur istri atau ibu. Peran instrumental dikaitkan dengan peran mancari nafkah
untuk kelangsungan hidup seluruh anggota keluarga sedangkan peran emosional
ekspresif adalah peran pemberi cinta, kelembutan dan kasih sayang. Peran ini
bertujuan untuk mengintegrasikan atau menciptakan suasana harmonis dalam
keluarga, serta meredam tekanan-tekanan yang terjadi karena adanya interaksi
sosial antaranggota keluarga atau antarindividu di luar keluarga. Levy (1949)

6

dalam Megawangi (1999) menyatakan bahwa tanpa ada pembagian tugas yang
jelas pada masing-masing aktor dengan status sosialnya, maka fungsi keluarga
akan terganggu yang selanjutnya akan mempengaruhi sistem yang lebih besar lagi.
Berikut ini prasyaratan struktural yang harus dipenuhi agar struktur keluarga
sebagai sistem dapat berfungsi: (1) diferensiasi peran: harus ada alokasi peran
untuk setiap aktor dalam keluarga; (2) alokasi solidaritas: distribusi relasi
antaranggota keluarga menurut cinta, kekuatan dan intensitas hubungan; (3)
alokasi ekonomi: distribusi barang-barang dan jasa untuk mendapatkan hasil yang
diinginkan; (4) alokasi politik: distribusi kekuasaan dalam keluarga dan siapa
yang bertanggungjawab atas setiap tindakan keluarga; (5) alokasi integrasi dan
ekspresi: distribusi teknik atau cara untuk sosialisasi, internalisasi, dan pelestarian
nilai-nilai dan perilaku yang memenuhi tuntutan norma yang berlaku untuk setiap
anggota keluarga.
Teori Perkembangan
Teori perkembangan merupakan teori yang menjelaskan perubahan, baik
yang terjadi pada individu atau kelompok. Individu, kelompok, dan masyarakat
mengalami perkembangan melalui tahapan-tahapan yang terjadi sepanjang waktu.
Menurut Klein & White (1996), ada beberapa asumsi dalam paradigma teori
perkembangan, yaitu:
- Proses perkembangan merupakan proses yang tidak bisa dielakkan dan juga
sangat penting dalam memahami keluarga. Keluarga dan individu mengalami
perubahan dalam jangka waktu tertentu melalui serangkaian tahapan
perkembangan yang sama dan menghadapi titik transisi dan tugas-tugas
perkembangan serupa. Memahami keluarga harus mempertimbangkan
tantangan yang dihadapi dalam setiap tahapnya, seberapa baik mereka
menyelesaikannya dan seperti apa transisi ke tahap berikutnya.
- Keluarga di analisis pada berbagai tingkat. Keluarga terdiri pada tingkat analisa
yang berbeda-beda. Pertama, keluarga ditinjau sebagai kelompok sosial. Kedua,
keluarga ditinjau dari hubungan seperti hubungan suami istri, orangtua dan
anak. Ketiga, keluarga ditinjau dari individunya sebagai anggota keluarga.
Keluarga dapat dipandang sebagai homogenous agregat cluster yang
terstrukturkan oleh kelas sosial dan etnis.
- Keluarga di pengaruhi oleh semua tingkat analisis. Keluarga dipengaruhi oleh
berbagai tingkat analisa termasuk norma sosial dari masyarakat yang lebih luas
dan norma sosial dari kelompok tertentu
- Keluarga merupakan kelompok semi-tertutup dan semipermeable. Keluarga
memiliki batasan-batasan yang jelas biasanya ditandai secara spasial oleh
lingkungan rumah atau tempa tinggal namun sesungguhnya batasan-batasn
tersebut dapat diserapi oleh pengaruh dari masyarakat yang lebih luas.
- Waktu adalah multidimensional. Asumsi ini mengatakan bahwa “waktu”
sesungguhnya tergantung dari cara mendefinisikan, memahaminya dan bahwa
“waktu: bergerak ke depan dan tidak dapat kembali lagi.
Teori perkembangan keluarga merupakan multilevel theory yang
berhubungan dengan individualis dan institusi keluarga. Hal-hal yang sering
dibahas pada teori ini adalah konsep perkembangan tugas (the Development of

7

task) sepanjang siklus kehidupan keluarga (Family Life Cycle). Tahapan
perkembangan keluarga menurut Duvall dan Miller (1985) ada 8 tahap yaitu: (1)
tahapan perkawinan (marriage couple); (2) tahapan mempunyai anak
(childbearing); (3) tahapan anak berumur prasekolah; (4) tahapan anak berumur
sekolah dasar; (5) tahapan anak berumur remaja; (6) tahapan anak lepas dari
orang tua; (7) tahapan orang tua umur menengah; dan (8) tahapan orang tua umur
manula.
Penelitian ini memiliki fokus pembahasan pada keluarga tahap tiga yaitu
keluarga dengan anak berumur prasekolah namun ditinjau juga dari kesiapan
kedua orang tua sebelum menikah. Pada fase ini, suami dan istri berbagi peran dan
tugas untuk menjalankan fungsi pengasuhan, pemeliharaan dan pendidikan anakanaknya usia prasekolah. Mulai dipikirkan perencanaan keuangan untuk investasi
anak dalam hal kesehatan dan pendidikan serta jaminan sosial anak. Pendidikan
karakter sejak usia dini sudah menjadi keharusan bagi peran ayah dan ibu
(Puspitawati 2012).
Kesiapan Menikah
Kesiapan menikah adalah sebuah istilah yang digunakan untuk
mengindikasikan persiapan penting apa saja yang dapat seseorang lihat sebelum
mereka merasa siap untuk menikah. Teori horizon pernikahan menyatakan
kesiapan menikah tidak hanya berarti seperti diatas namun juga mengenai
keyakinan individu yang membuat mereka siap untuk menikah (Olson 2008).
Rapaport dalam Duvall dan Miller (1985) menyatakan kesiapan menikah
adalah kemampuan individu untuk menyandang peran barunya, yaitu sebagai
suami atau istri, dan berusaha untuk terlibat dalam pernikahannya serta mampu
memasukkan pola-pola kepuasan yang diperolehnya sebelum menikah ke dalam
kehidupan pernikahan. Kesiapan menikah merupakan keadaan siap atau bersedia
dalam berhubungan dengan seorang pria atau wanita, siap menerima tanggung
jawab sebagai seorang suami atau seorang istri, siap terlibat dalam hubungan
seksual, siap mengatur keluarga dan siap mengasuh anak (Duvall dan Miller
1985).
Kesiapan Menikah adalah penting untuk dipelajari karena membentuk
dasar dalam menentukan keputusan dengan siapa harus menikah, kapan harus
menikah, mengapa menikah dan perilaku perkawinan nanti (Larson dan Lamont
β005). Keadaan “kesiapan” seperti yang disebutkan Holman dan Li (1997) adalah
suatu keadaan diluar persiapan tindakan yang membentuk dan mengarahkan
tindakan. Oleh karena itu, kesiapan dapat digunakan untuk menjelaskan dan
memperkirakan jenis khusus dari tindakan. Kesiapan menikah menurut Larson
(1988) merupakan evaluasi subjektif dari kesiapan seseorang untuk mengambil
tanggung jawab dan tantangan pernikahan. Kesiapan menikah adalah kemampuan
seseorang untuk mengembangkan proses seleksi pasangan. Dengan demikian,
kesiapan menikah adalah kunci indikator perilaku perkawinan dan waktu transisi
dalam pernikahan.
Kesiapan dalam sebuah perkawinan sangat diperlukan baik dari segi
kehidupan sosial, ekonomi, fisiologis, maupun psikologis. Kesiapan sosialekonomi berkaitan dengan bagaimana individu berani membentuk keluarga
melalui perkawinan dengan segala tanggung jawabnya dalam menghidupi

8

keluarga dan menjadi penyangga bagi keluarga. Kesiapan dari segi fisiologis atau
badaniah sangat diperlukan karena untuk melakukan tugas atau kewajiban dari
perkawinan itu sendiri dibutuhkan kesiapan jasmani yang cukup matang dan sehat
(Maryati et al. 2007). DeGenova (2008) memaparkan beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi kesiapan menikah pada individu, seperti usia saat menikah, level
kedewasaan dari pasangan yang akan menikah, waktu menikah, motivasi untuk
menikah, kesiapan untuk eksklusivitas seksual, emansipasi emosional dari orang
tua, tingkat pendidikan dan pekerjaan.
Rapaport (1963) dalam Duvall dan Miller (1985) menyatakan seseorang
dinyatakan siap untuk menikah apabila memenuhi kriteria diantaranya (1)
memiliki kemampuan mengendalikan perasaan diri sendiri; (2) Memiliki
kemampuan untuk berhubungan baik dengan orang banyak; (3) Bersedia dan
mampu menjadi pasangan istimewa dalam hubungan seksual; (4) Bersedia untuk
membina hubungan seksual yang intim; (5) Memiliki kelembutan dan kasih
sayang kepada orang lain; (6) Sensitif terhadap kebutuhan dan perkembangan
orang lain; (7) Dapat berkomunikasi secara bebas mengenai pemikiran, perasaan
dan harapan; (8) Bersedia berbagi rencana dengan orang lain; (9) Bersedia
menerima keterbatasan orang lain; (10) Realistik terhadap karakteritik orang lain;
(11) Memiliki kapasitas yang baik dalam menghadapi masalah-masalah yang
berhubungan dengan ekonomi; dan (12) Bersedia menjadi suami atau istri yang
bertanggung jawab.
Perkawinan adalah suatu hal yang serius, sehingga memerlukan persiapan
yang matang, khususnya dalam kematangan fisik dan kematangan mental.
Pasangan calon suami istri harus mempunyai bekal yang cukup, agar siap dan
mampu menghadapi segala kemungkinan yang terjadi dalam kehidupan berumah
tangga untuk menjaga keutuhan perkawinan (Arjoso 1996).
a) Kedewasaan Fisik
Berdasarkan agama, seorang wanita dianggap dewasa setelah mendapatkan
menstruasi dan seorang pria dianggap dewasa pada waktu ia sudah mengalami
ejakulasi. Selain itu, ilmu kedokteran juga membuktikan bahwa kehamilan
dibawah usia 20 tahun adalah kehamilan dengan risiko tinggi dengan
kemungkinan tingginya angka kematian, baik bagi bayi maupun bagi ibunya,
sehingga dianjurkan agar kehamilan itu terjadi setelah seorang wanita berusia
paling sedikit 20 tahun.
b) Kedewasaan Sosial
Di Indonesia, pada umumnya pria memegang peranan penting dalam rumah
tang. Begitu terjadi perkawinan, maka suami harus mengambil tanggung jawab
sebagai kepala rumah tangga dengan mencari nafkah untuk keluarga dan
menjadi pelindung bagi keluarganya. Oleh karena itu, seorang calon pengantin
pria dituntut mempunyai kesanggupan untuk mempunyai penghasilan tertentu,
masa depan yang jelas, mempunyai tempat tinggal dengan perlengkapannya
dan lain-lain. Persyaratan-persyaratan tersebut jelas tidak dapat dipenuhi oleh
seorang pria remaja, kecuali dengan dukungan orang tua atau keluarganya
namun, keadaan demikian akan menjadi masalah karena berarti rumah tangga
yang demikian menjadi tidak mandiri. Pada umumnya seorang pria mencapai
kedewasaan sosial pada usia 25 tahun, sehingga dianjurkan seorang pria

9

menikah pada usia 25-30 tahun. Persyaratan sosial buat seorang wanita tidak
seberat persyaratan sosial untuk seorang pria. Setelah seorang wanita menikah
dan hamil atau melahirkan, ia sudah berubah status menjadi seorang ibu.
c) Kepribadian yang mantap
Kepribadian yang dewasa dan mantap merupakan faktor utama untuk mencapai
suatu perkawinan yang bahagia. Kepribadian yang dewasa ditunjukkan oleh
kemampuan seorang untuk menilai diri sendiri secara objektif, sehingga ia
mengetahui kelebihan-kelebihan dan kekurangan-kekurangan, juga ia
mempunyai citra yang benar tentang dirinya sendiri. Seseorang yang
berkepribadian mantap akan memilih pasangan yang dianggap cocok betul
dengan jalan hidupnya, bisa mengisi kekurangan-kekurangan dan dapat
memberikan dorongan kearah cita-cita yang sudah ditetapkan. Pilihan pasangan
yang didasarkan kepribadian yang mantap tidak mudah berubah dan
perkawinan yang dibina dapat kekal abadi sampai akhir hayat. Perlu diketahui,
bahwa pembentukan kepribadian seseorang sangat ditentukan oleh masa kanakkanaknya, terutama pada usia di bawah lima tahun dan melalui proses
perkembangan bertahun-tahun, sehingga pada usia remaja, kepribadiannya
sudah nampak selanjutnya dimantapkan oleh pengalaman-pengalaman
hidupnya.
Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP)
Program pendewasaan usia perkawinan adalah upaya untuk meningkatkan
usia pada perkawinan pertama, sehingga mencapai usia minimal pada saat
perkawinan yaitu usia 20 tahun bagi wanita dan 25 tahun bagi pria. PUP bukan
sekedar menunda sampai usia tertentu saja tetapi mengusahakan agar
kehamilan pertama pun terjadi pada usia yang cukup dewasa bahkan harus
diusahakan apabila seseorang gagal mendewasakan usia perkawinannya, maka
penundaan kelahiran anak pertama harus dilakukan.
Pendewasaan Usia Perkawinan merupakan bagian dari program keluarga
berencana nasional. Program PUP memberikan dampak pada peningkatan umur
kawin pertama yang pada giliriannya akan menurunkan Total Fertility Rate
(TFR). Tujuan program pendewasaan usia perkawinan adalah memberikan
pengertian dan kesadaran kepada remaja agar didalam merencanakan keluarga,
mereka dapat mempertimbangkan berbagai aspek berkaitan dengan kehidupan
berkeluarga, kesiapan fisik, mental, emosional, pendidikan, sosial, ekonomi
serta menentukan jumlah dan jarak kelahiran. Tujuan PUP seperti ini
berimplikasi pada perlunya peningkatan usia kawin yang lebih dewasa.
Program PUP dalam program KB bertujuan meningkatkan usia kawin
perempuan pada umur 21 tahun.
Program pendewasaan usia perkawinan dan perencanaan keluarga
merupakan kerangka dari program pendewasaan usia perkawinan. Kerangka ini
terdiri dari tiga masa reproduksi, yaitu: 1) Masa menunda perkawinan dan
kehamilan, 2) Masa menjarangkan kehamilan dan 3) masa mencegah
kehamilan. Kerangka ini dapat dilihat seperti bagan dibawah ini (BKKBN
2008):

10

20 THN

Masa menunda perkawinan
dan kehamilan

35 THN

Masa menjarangkan
kehamilan

Masa mencegah
kehamilan

Gambar 1 Perencanaan Keluarga
Masa Kanak-Kanak
Pada umumnya orang berpendapat bahwa masa kanak-kanak merupakan
masa yang terpanjang dalam rentang kehidupan – saat dimana individu relatif
tidak berdaya dan tergantung pada orang lain. Masa kanak-kanak dimulai setelah
melewati masa bayi yang penuh ketergantungan, yakni kira-kira usia dua tahun
sampai saat anak matang secara seksual, kira-kira tiga belas tahun untuk wanita
dan empat belas tahun untuk pria. Periode awal masa kanak-kanak berlangsung
dari usia dua sampai enam tahun dan periode akhir dari enam sampai tiba saatnya
anak matang secara seksual. Sebagian orang tua menganggap awal masa kanakkanak sebagai usia yang mengundang masalah atau usia sulit. Para pendidik
menyebutnya sebagai usia prasekolah untuk membedakannya dari saat dimana
anak dianggap cukup tua, baik secara fisik dan mental, untuk menghadapi tugastugas pada saat mereka mulai mengikuti pendidikan formal. Para ahli psikologi
menyebutnya dengan usia kelompok, usia menjelajah, usia bertanya dan usia
meniru serta usia kreatif (Hurlock 1980).
Gunarsa dan Gunarsa (2012) menyebut periode anak sekitar usia 3 tahun
dan berjalan sampai kira-kira anak berumur 5 tahun sebagai masa krisis kedua.
Sering kali, masa ini ditandai dengan sikap-sikap negatif, penentangan, atau
dengan istilah bahasa Jerman, periode Trots-alter. Bagi ahli psikologi, masa ini
dianggap sebagai masa krisis pertama. Pada masa ini, anak mulai memperlihatkan
tingkah laku yang sungguh “mengesalkan” orang tua. Segala permintaan orang
lain ditolaknya. Apabila anak disuruh makan, mandi bahkan berjabatan tangan
atau memberi salam selalu dijawabnya dengan kata “tidak”. Anak berada dalam
masa dimana ia sedang memperkembangkan diri untuk melepaskan diri dari orang
tua. Masa krisis ini juga memerlukan pemikiran khusus orang tua karena mereka
juga turut mengalami penambahan persoalan, baik sehubungan dengan
bertambahnya anak maupun kelakuan sang anak.
Perkembangan Anak
Perkembangan merupakan sesuatu proses yang mula-mula global, massif,
belum terpecah atau terperinci, dan kemudian semakin lama semakin banyak,
berdiferensiasi dan terjadi integrasi yang hierarkis (Gunarsa 2008). Menurut Negel

11

(1957) dalam Gunarsa (2008), perkembangan merupakan pengertian dimana
terdapat struktur yang terorganisasikan dan mempunyai fungsi-fungsi tertentu, dan
karena itu bilamana terjadi perubahan struktur baik dalam organisasi maupun
dalam bentuk, akan mengakibatkan perubahan fungsi.
Perkembangan (development) adalah pola perubahan yang dimulai sejak
pembuahan, yang berlanjut sepanjang rentang hidup. Kebanyakan perkembangan
melibatkan pertumbuhan, meskipun juga melibatkan penuaan. Saat ini, pandangan
Barat mengenai anak-anak menyatakan bahwa masa kanak-kanak merupakan
masa yang unik dan sangat hidup, yang meletakkan dasar penting bagi tahuntahun dewasa dan jelas berbeda dari tahun-tahun dewasa tersebut. Masa kanakkanak tidak lagi dilihat sebagai periode menunggu yang tidak nyaman di mana
orang dewasa harus bertoleransi terhadap kebodohan anak-anak. Sebagai gantinya,
kita melindungi anak dari tekanan dan tanggung jawab pekerjaan orang dewasa
melalui hukum perburuhan anak (Santrock 2007).
Anak menjalani proses perkembangan dengan pengaruh lingkungan alam
yang benar-benar asli maupun pengaruh lingkungan alam yang sudah diubah oleh
lingkungan sosial, juga pengaruh linkungan sosial itu sendiri. Ia akan berkembang
menjadi seorang manusia dewasa yang lebih tangkas dalam menghadapi dan
mengatasi tuntutan lingkungan alam maupun lingkungan sosial. Proses ini
meliputi penambahan ketangkasan, pengolahan dan pengamalan ilmu sepanjang
masa hidupnya (Gunarsa dan Gunarsa 2012).
Menurut Depkes (2006) aspek-aspek perkembangan anak yang perlu dipantau
diantaranya adalah:
1. Gerak kasar atau motorik kasar adalah aspek yang berhubungan dengan
kemampuan anak melakukan pergerakan dan sikap tubuh melibatkan otototot besar seperti duduk, berdiri dan sebagainya
2. Gerak halus atau motorik halus adalah aspek yang berhubungan dengan
kemampuan anak melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian
tubuh tertentu dan dilakukan oleh otot-otot kecil, tetapi memerlukan
koordinasi yang cermat seperti mengawasi sesuatu, menjimpit, menulis
dan sebagainya
3. Kemampuan bicara dan ba

Dokumen yang terkait

Kesiapan Menikah dan Pelaksanaan Tugas Perkembangan Keluarga dengan Anak Usia Prasekolah

0 10 172

Kesiapan Menikah dan Pemenuhan Tugas Keluarga pada Keluarga dengan Anak Usia Pra Sekolah (Reviewer)

0 4 4

PERBANDINGAN PERKEMBANGAN BAHASA ANAK USIA 0-3 TAHUN DI PANTI ASUHAN DAN KELUARGA Perbandingan Perkembangan Bahasa Anak Usia 0-3 Tahun Di Panti Asuhan Dan Keluarga.

0 3 14

PERBANDINGAN PERKEMBANGAN BAHASA ANAK USIA 0-3 TAHUN DI PANTI ASUHAN DAN KELUARGA Perbandingan Perkembangan Bahasa Anak Usia 0-3 Tahun Di Panti Asuhan Dan Keluarga.

0 2 12

PERBEDAAN PERKEMBANGAN VERBAL ANTARA ANAK USIA 3-5 TAHUN YANG DIASUH ORANG TUA SENDIRI Perbedaan Perkembangan Verbal Antara Anak Usia 3-5 Tahun Yang Diasuh Orang Tua Sendiri Dengan Anak Usia 3-5 Tahun Yang Diasuh Di Tempat Penitipan Anak.

0 3 14

PERBEDAAN PERKEMBANGAN VERBAL ANTARA ANAK USIA 3-5 TAHUN YANG DIASUH ORANG TUA SENDIRI DENGAN ANAK USIA 3-5 Perbedaan Perkembangan Verbal Antara Anak Usia 3-5 Tahun Yang Diasuh Orang Tua Sendiri Dengan Anak Usia 3-5 Tahun Yang Diasuh Di Tempat Penitipan

0 2 17

HUBUNGAN PENDIDIKAN ANAK USIA DINI (PAUD) DENGAN PERKEMBANGAN ANAK USIA 3-5 TAHUN Hubungan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Dengan Perkembangan Anak Usia 3-5 Tahun.

0 2 16

Parameter perkembangan anak usia 4-5 tahun

0 1 1

KARAKTERISTIK KELUARGA, KESIAPAN MENIKAH ISTRI, DAN PERKEMBANGAN ANAK USIA 3-5 TAHUN

0 0 10

PENGARUH KESIAPAN PSIKOLOGIS IBU YANG MENIKAH USIA DINI TERHADAP PERKEMBANGAN ANAK USIA TODDLER (1-3 TAHUN) DI DESA CENDANA KECAMATAN BANJARNEGARA KABUPATEN BANJARNEGARA

0 0 16