Kesiapan Menikah dan Pelaksanaan Tugas Perkembangan Keluarga dengan Anak Usia Prasekolah

5

ABSTRACT
Ine Rahmatin. Marital Readiness and Preschool Family Developmental Task.
Supervised by Euis Sunarti and Megawati Simanjuntak.
The aims of this research were to analyze the difference of marital readiness
between husband and wife and the influence of marital readiness towards
preschool family developmental task. The research was conducted in Bubulak,
Bogor, West Java where the location was determined by purpossive method.
Ninety preschool families were chosen by simple random sampling method.
Primary data was collected by interviewing the respondent with questionnaire.
Data was analyzed by using descriptive, T-test, correlation analysis, and
regression analysis. Result of this study showed that the husband’s marital
readiness was higher than the wife’s. A significant correlation was found not only
in husband’s marital readiness (intelectual, emotion, personality, financial, and
mental dimensions) and family developmental task, but also in wife’s marital
readiness (intelectual, emotion, and financial dimensions) and family
developmental task. In addition, marital readiness of husband and wife had a
significant influence toward family developmental task. Child development also
influenced by family developmental task.
Keywords: marital readiness, family developmental task, preschool family, child

development
ABSTRAK
Ine Rahmatin. Kesiapan Menikah dan Pelaksanaan Tugas Perkembangan
Keluarga dengan Anak Usia Prasekolah. Dibimbing oleh Euis Sunarti dan
Megawati Simanjuntak.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan kesiapan menikah antara
suami dan istri, serta menganalisis pengaruh kesiapan menikah terhadap
pelaksanaan tugas perkembangan keluarga dengan anak usia prasekolah.
Penelitian dilakukan di Kelurahan Bubulak, Bogor, Jawa Barat, dimana lokasi
ditentukan dengan metode purposive. Contoh dipilih secara acak sederhana
yaitu sebanyak 90 keluarga dengan anak pertama usia prasekolah. Pengambilan
data dilakukan dengan teknik wawancara dengan menggunakan kuesioner. Data
dianalisis dengan analisis deskriptif, uji beda T-test, korelasi, dan regresi. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan dalam hal kesiapan menikah
dimana kesiapan menikah suami lebih tinggi dibandingkan istri. Hubungan yang
signifikan tidak hanya ditemukan pada hubungan kesiapan menikah suami
(aspek kesiapan intelektual, emosi, individu, finansial, dan mental) dengan tugas
perkembangan keluarga, tetapi juga pada hubungan kesiapan menikah istri
(aspek kesiapan intelektual, emosi, dan finansial) dengan tugas perkembangan
keluarga. Selain itu, kesiapan menikah suami dan istri berpengaruh terhadap

tugas perkembangan keluarga. Perkembangan anak dipengaruhi oleh tugas
perkembangan keluarga.
Kata kunci: kesiapan menikah, tugas perkembangan keluarga, keluarga dengan
anak prasekolah, perkembangan anak

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Manusia diciptakan oleh Allah SWT berpasang-pasangan. Sudah menjadi
fitrah manusia yang mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama dengan
manusia lainnya serta mencari pasangan hidupnya. Hal ini yang dapat
menyebabkan setiap laki-laki dan perempuan mendambakan pasangan hidup
untuk dapat saling melengkapi, mengasihi, dan saling menyempurnakan satu
sama lain, sehingga muncul suatu perasaan yang tenang, senang, tentram,
damai, dan bahagia yang akan dirasakan bersama pasangannya (Martyastanti
2009).
Seorang individu yang telah menemukan pasangan hidup pastinya akan
melanjutkan kejenjang yang lebih serius yaitu berkomitmen untuk menikah dan
membangun sebuah keluarga. Menikah merupakan masa yang sangat penting

dalam siklus kehidupan manusia (Martyastanti 2009). Pengertian menikah sama
halnya dengan pengertian perkawinan. Undang-undang perkawinan No 1 Tahun
1974 Bab 1 Pasal 1 menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin
antara seorang

pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan

membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Menikah menurut Hogg (2002) diacu dalam Putri
(2010) adalah menemukan pasangan yang cocok untuk diajak berkomitmen
dalam menjalani kehidupan bersama dimasa-masa selanjutnya dan untuk
memiliki keturunan.
Memasuki dunia pernikahan diperlukan sebuah kesiapan (Blood 1978).
Kesiapan menikah merupakan keadaan siap atau bersedia dalam berhubungan
dengan seorang pria atau wanita, siap menerima tanggung jawab sebagai
seorang suami atau seorang istri, siap terlibat dalam hubungan seksual, siap
mengatur keluarga, dan siap mengasuh anak (Duvall & Miller 1985). Selain itu
kesiapan

menikah


juga

mencangkup

aspek

kematangan

kepribadian,

ketersediaan finansial, dan kualitas sumberdaya manusia yang memadai
(Burgess & Locke 1960). Kesiapan menikah menjadikan pasangan suami-istri
lebih percaya diri untuk menempuh kehidupan baru setelah pernikahan yaitu
menjalankan fungsi, peran, dan tugas dalam membangun sebuah keluarga yang
diinginkannya.
Kesiapan menikah adalah ketika laki-laki dan perempuan telah
menyelesaikan tugas perkembangan remajanya, dan secara fisik, emosi, tujuan,

2


finansial, dan pribadinya telah siap untuk menanggung tanggung jawab setelah
menikah (Duvall 1971). Pasangan suami-istri yang telah memiliki kesiapan
menikah yang baik kemudian berkomitmen untuk membangun sebuah keluarga,
hurus siap untuk dapat menjalankan fungsi, peran dan tugasnya dalam keluarga.
Selain

itu,

individu

perkembangannya

juga

harus

disetiap

mampu


tahapan

untuk

melaksanakan

perkembangan

keluarga.

tugas
Tugas

perkembangan merupakan tugas yang muncul pada suatu periode tertentu
dalam kehidupan setiap individu, apabila individu berhasil dalam tugas tersebut
maka akan membawa keberhasilan untuk menyelesaikan tugas berikutnya
(Havighurst dalam Hurlock 1980).
Tugas perkembangan berasal dari dua hal utama, yaitu kematangan fisik
dan tekanan budaya (Duvall 1971). Proses kematangan ditandai oleh

kematangan potensi-potensi dari dalam diri individu, baik secara fisik maupun
psikis untuk terus maju menuju perkembangan secara maksimal (Rizal 2008).
Pada pelaksanaan tugas perkembangan dibutuhkan tingkat kematangan diri
individu baik secara fisik maupun psikis yang dapat dipersiapkan sebelum
menikah. Pasangan suami-istri yang telah memiliki kematangan diri diharapkan
dapat

melaksanakan

tugas

perkembangan

individu

maupun

tugas

perkembangan keluarganya dengan baik. Tugas perkembangan merupakan

tanggung jawab yang harus dicapai oleh keluarga dalam setiap tahap
perkembangannya.
Kelahiran seorang anak dalam keluarga menimbulkan perubahanperubahan dalam organisasi keluarga. Fungsi-fungsi sebagai pasangan suami
istri harus dibedakan untuk memenuhi tuntutan baru dalam hal perawatan dan
pengasuhan anak dalam keluarga. Anak usia prasekolah adalah anak yang
berusia diantara dua sampai enam tahun (Hurlock 1980). Pasangan suami-istri
dengan anak usia prasekolah memiliki kewajiban dalam pemenuhan tugas
perkembangan keluarga pada tahapan ini. Orangtua sebagai peran utama dalam
merawat anak perlu menyadari mengenai tugas-tugas perkembangan yang harus
dipenuhi pada tahap ini agar tahapan tersebut dapat dilalui dengan sukses.
Peran dan tugas orangtua yang memiliki anak dalam keluarganya lebih kepada
bagaimana orangtua mampu berinteraksi serta merawat dan mengasuh anaknya
dengan baik, sehingga pertumbuhan dan perkembangannya dapat tercapai
secara optimal (Hurlock 1980).

3

Pasangan yang sejak dari awal sebelum memasuki gerbang pernikahan
memiliki kesiapan menikah yang baik seperti kematangan kepribadian,
ketersediaan finansial, dan kualitas sumberdaya yang memadai setidaknya akan

membantu dalam pelaksanaan tugas-tugas perkembangan dalam setiap tahapan
perkembangan keluarga. Keluarga yang berada pada tahapan keluarga dengan
anak prasekolah memiliki tugas-tugas perkembangan yang harus terpenuhi
sehingga nantinya akan membawa keberhasilan pada tahapan keluarga
selanjutnya. Kesiapan menikah dari setiap pasangan diharapkan dapat
memberikan kontribusi dalam pencapaian tugas-tugas perkembangan dalam
keluarga.
Perumusan Masalah
Pernikahan atau perkawinan dapat dikatakan sebagai jalan untuk
menyatukan dua individu yang berbeda; laki-laki dengan perempuan, dimana
masing-masing individu pastinya memiliki kepribadian yang berbeda-beda.
Pernikahan juga berarti menyatukan dua orang manusia berlainan jenis,
kepribadian, sifat, karakter, maupun latar belakangnya. Penyesuaian perlu
dilakukan oleh setiap individu dalam sebuah perkawinan, karena hal tersebut
merupakan hal yang penting. Dua kepribadian yang berbeda kemudian
dipersatukan melalui ikatan perkawinan tentunya akan menimbulkan berbagai
masalah yang harus dihadapi bersama (Oktaviani 2010).
Banyak fakta yang menunjukkan bahwa pasangan suami-istri yang tidak
mampu mengatasi atau menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dalam
keluarga dapat berujung pada perceraian. Berdasarkan data dari Direktorat

Jenderal Badan Peradilan Agama MA RI, kasus perceraian yang telah masuk
dan diputus oleh pengadilan agama meningkat pada tahun 2007 hingga tahun
2009, dari 157.771 kasus meningkat hingga mencapai 223.371 kasus. Penyebab
terbesar pemicu perceraian adalah salah satu pihak; baik suami atau istri,
meninggalkan kewajiban (77.528 kasus). Hal tersebut dapat disebabkan kerena
pasangan tidak mampu untuk menjalankan perannya dalam keluarga, sehingga
dianggap meninggalkan kewajiban dalam keluarga. Misalnya seperti suami yang
tidak mampu menjalankan perannya sebagai pencari nafkah utama keluarga
atau istri yang tidak dapat menjadi seorang istri atau ibu yang baik bagi anggota
keluarganya. Selain itu pemicu perceraian lainnya adalah perselisihan dalam
perkawinan, persoalan moral, kekerasan dalam rumah tangga dan pernikahan di
bawah umur. Hurlock (1980) menyatakan bahwa perceraian menunjukkan

4

penyesuaian pernikahan yang buruk dan oleh karena itu pasangan suami istri
yang bercerai merasa gagal atau tidak mampu membina rumah tangganya.
Penyesuaian

pernikahan


sangatlah

penting

karena

pernikahan

merupakan penyatuan dua pribadi yang berbeda. Perbedaan yang dimiliki oleh
masing-masing pasangan sering menjadi pangkal masalah yang dapat
mengganggu suasana kebahagiaan dalam keluarga. Upaya dalam mencapai
kebahagiaan dalam keluarga dapat dilakukan dengan saling pengertian dan
penyesuaian satu sama lain. Kenedi (2005) diacu dalam Oktaviani (2010)
menyebutkan salah satu penyebab gagalnya pasangan dalam mempertahankan
pernikahan dan mewujudkan kebahagiaan adalah terbatasnya upaya persiapan
pernikahan yang dilakukan. Maka ketika akan memasuki kehidupan pernikahan
dibutuhkan tingkat kematangan yang lebih tinggi dalam kesiapan pernikahan
bagi individu-individu yang akan menjalankannya (Puspitasari 1997).
Anak usia prasekolah adalah anak yang berusia pada rentang dua
sampai enam tahun. Keluarga dengan anak prasekolah memiliki tanggung jawab
dalam mengembangkan pribadi anak terutama dalam hal perilakunya, karena
anak pada usia prasekolah ini masalah yang sering timbul adalah masalah
perilaku anak yang lebih menyulitkan daripada masalah perawatan fisik (Hurlock
1980). Keluarga yang berada pada tahapan keluarga dengan anak prasekolah
memiliki tugas perkembangan yang harus dilaksanakan, dimana keluarga harus
mampu memenuhi tugas-tugas perkembangan tersebut agar keluarga dapat
menghadapi tugas perkembangan berikutnya. Pemenuhan tugas perkembangan
dalam setiap tahapan perkembangan keluarga memerlukan dukungan baik dari
segi materi maupun non materi. Tingkat kesiapan menikah dari setiap pasangan
sebelum memasuki kehidupan berkeluarga dapat memberikan kontribusi karena
dengan individu yang sudah siap maka akan lebih berkomitmen dalam
membangun kehidupan berkeluarga. Meninjau kepada fenomena diatas,
penelitian ini ingin menjawab pertanyaan permasalahan sebagai berikut:
1. Seberapa besar tingkat kesiapan menikah responden dan pemenuhan
tugas perkembangan keluarganya?
2. Adakah perbedaan tingkat kesiapan menikah antara laki-laki dan
perempuan?
3. Adakah hubungan antara tingkat kesiapan menikah dengan pemenuhan
tugas perkembangan keluarga?

5

4. Adakah pengaruh tingkat kesiapan menikah terhadap pelaksanaan tugas
perkembangan keluarga?
5. Adakah pengaruh pelaksanaan tugas perkembangan keluarga terhadap
perkembangan anak?
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk mengetahui kesiapan
menikah dan pelaksanaan tugas perkembangan keluarga dengan anak usia
prasekolah.
Tujuan Khusus
Tujuan penelitian ini secara khusus adalah untuk:
1. Menganalisis

tingkat

kesiapan

menikah

dan

pemenuhan

tugas

perkembangan keluarga dengan anak usia prasekolah,
2. Menganalisis perbedaan tingkat kesiapan menikah antara suami dan istri,
3. Menganalisis hubungan antara tingkat kesiapan menikah dengan
pelaksanaan

tugas

perkembangan

keluarga

dengan

anak

usia

prasekolah,
4. Menganalisis pengaruh tingkat kesiapan menikah terhadap pelaksanaan
tugas perkembangan keluarga dengan anak usia prasekolah, dan
5. Menganalisis pengaruh pelaksanaan tugas perkembangan keluarga
terhadap perkembangan anak.
Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat diantaranya
yaitu:
1. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi setiap individu
mengenai kesiapan menikah atau hal-hal yang harus dipersiapkan ketika
akan memasuki gerbang pernikahan dan membina keluarga,
2. Sebagai bahan sumbangan ilmu pengetahuan khususnya dibidang ilmu
keluarga mengenai hubungan kesiapan menikah dengan pelaksanaan
tugas perkembangan keluarga, dan
3. Sebagai bahan pembanding dan pengembangan lebih lanjut bagi
kegiatan penelitian sejenis yang dilakukan oleh para peneliti lainnya.

7

TINJAUAN PUSTAKA
Keluarga
Pengertian keluarga menurut BKKBN adalah unit terkecil dalam
masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah
dengan anaknya, atau ibu dengan anaknya. Menurut Duvall (1971), keluarga
adalah sekumpulan orang yang dihubungkan oleh ikatan perkawinan, adopsi,
dan kelahiran yang bertujuan untuk menciptakan dan mempertahankan budaya
yang umum, meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional, dan sosial
dari masing-masing anggota keluarganya. Selain itu pengertian keluarga
menurut Puspitawati (2006) adalah unit sosial ekonomi terkecil dalam
masyarakat yang merupakan landasan dasar dari semua institusi; merupakan
kelompok primer yang terdiri dari dua atau lebih orang yang mempunyai jaringan
interaksi interpersonal, hubungan darah, hubungan, dan adopsi.
Pendekatan teori sosiologi yang diterapkan dalam institusi keluarga
adalah pendekatan struktural-fungsional. Keluarga sebagai sebuah institusi
dalam masyarakat mempunyai prinsip-prinsip serupa yang terdapat dalam
kehidupan sosial masyarakat. Keluarga sebagai sebuah sistem akan mempunyai
tugas seperti umumnya dihadapi oleh setiap sistem sosial, seperti menjalankan
tugas-tugas,

pencapaian

tujuan,

integrasi

dan

solidaritas,

serta

pola

kesinambungan atau pemeliharaan keluarga. Keluarga sama seperti sistem
sosial lainnya, mempunyai karakteristik yang berupa diferensiasi peran dan
struktur organisasi yang jelas. Struktur dalam keluarga dianggap dapat
menjadikan keluarga sebagai sistem kesatuan (Megawangi 1999).
Penerapan teori struktural-fungsional dalam konteks keluarga dapat
terlihat dari aspek struktural dan aspek fungsional yang diterapkan. Dilihat dari
aspek struktural terdapat tiga elemen utama dalam struktur internal keluarga,
yaitu yang mengacu pada: (1) Status sosial, (2) Fungsi sosial, dan (3) Norma
sosial. Sedangkan dari aspek fungsional sulit dipisahkan dengan aspek struktural
karena keduanya saling berkaitan. Seseorang dalam sebuah sistem dengan
status sosial tertentu, akan tidak lepas dari peranannya yang diharapkan karena
status sosialnya, yang semuanya ini berfungsi untuk kelangsungan hidup atau
pencapaian keseimbangan pada sistem tersebut (Megawangi 1999).
Keluarga sebagai sebuah sistem sosial mempunyai tugas atau fungsi
agar sistem tersebut berjalan (Sunarti 2001). Rice dan Tucker (1986) diacu

8

dalam Puspitawati (2006) menyatakan bahwa fungsi keluarga meliputi dua fungsi
yaitu: (1) Fungsi ekspresif, yaitu memenuhi kebutuhan emosi dan perkembangan
anak termasuk moral, loyalitas dan sosialisasi anak, dan (2) Fungsi instrumental,
yaitu manajemen sumberdaya keluarga untuk mencapai berbagai tujuan
keluarga

melalui

prokreasi

dan

sosialisasi

anak

dan

dukungan

serta

pengambangan anggota keluarga. Selain itu, fungsi keluarga menurut BKKBN
terdiri dari delapan fungsi yaitu; fungsi keagamaan, sosial budaya, cinta kasih,
melindungi, reproduksi, sosialisasi dan pendidikan, ekonomi, dan pembinaan
lingkungan. Menurut Friedman (1998) fungsi keluarga meliputi fungsi afektif,
sosialisasi, reproduksi, perawatan atau fisik, dan ekonomi.
Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat, sehingga keluarga
memiliki kewajiban untuk dapat memenuhi segala kebutuhan-kebutuhan anaknya
yang meliputi pemenuhan kebutuhan agama, psikologi, makan dan minum, dan
lain sebagainya. Adapun tujuan membentuk keluarga yaitu untuk mewujudkan
kesejahteraan bagi anggota keluarganya (Puspitawati 2006).
Fungsi keluarga McMaster (MMFF = McMaster Family Functioning) yang
diacu dalam Sunarti (2001) membagi tiga area fungsi keluarga. Ketiga area
tersebut adalah: (1) Area tugas dasar (penyediaan pangan, uang, transportasi,
dan perlindungan); (2) Area tugas perkembangan (berkaitan dengan urutan
tahapan perkembangan keluarga); dan (3) Area tugas penuh resiko (berkaitan
dengan cara keluarga menangani krisis seperti kecelakaan, sakit dan
kehilangan). Namun demikian fungsi utama keluarga adalah menyediakan
lingkungan bagi pemeliharaan dan perkembangan dari aspek biologis, sosial dan
psikologis anggota keluarganya (Sunarti 2001).
Tugas Perkembangan Keluarga
Tugas perkembangan merupakan tugas yang muncul pada suatu periode
tertentu dalam kehidupan setiap individu, apabila individu berhasil dalam tugas
tersebut maka akan menimbulkan rasa bahagia dan membawa keberhasilan
untuk menyelesaikan tugas berikutnya, tetapi apabila gagal akan menimbulkan
rasa tidak bahagia dan kesulitan dalam menghadapi tugas berikutnya. Beberapa
tugas perkembangan muncul sebagai akibat dari kematangan fisik, tekanantekanan budaya dari masyarakat, serta nilai-nilai dan aspirasi-aspirasi individual
(Havighurst dalam Hurlock 1980).

9

Keluarga memiliki siklus perkembangan sebagaimana layaknya individu.
Perkembangan itu terutama dalam hal besarnya keluarga dan kemampuannya
(Ali 2010). Siklus kehidupan setiap keluarga mempunyai tahapan-tahapan yang
berturut-turut, karena siklus keluarga merupakan cara untuk melihat bagaimana
potret kehidupan sebuah keluarga tersebut. Tahapan perkembangan keluarga
menurut Duvall (1971) dibagi menjadi delapan tahapan yaitu:
Tahap 1 Keluarga baru menikah,
Tahap 2 Keluarga “child-bearing” (kelahiran anak pertama),
Tahap 3 Keluarga dengan anak prasekolah,
Tahap 4 Keluarga dengan anak sekolah,
Tahap 5 Keluarga dengan anak remaja,
Tahap 6 Keluarga mulai melepas anak sebagai dewasa,
Tahap 7 Keluarga usia pertengahan, dan
Tahap 8 Keluarga usia lanjut.
Masing-masing tahapan perkembangan keluarga memiliki tugas-tugas
yang

harus

keberhasilan

terpenuhi
untuk

agar

tugas

menimbulkan

perkembangan

kebahagian
selanjutnya.

dan
Setiap

membawa
tahapan

mempunyai tantangan tersendiri dalam pencapaiannya, termasuk pada tahapan
keluarga dengan anak prasekolah.
Tahapan Keluarga dengan Anak Prasekolah
Keluarga dengan anak prasekolah adalah ketika di dalam sebuah
keluarga terdapat anak pertama yang berusia antara 2,5 tahun sampai dengan 5
tahun (Duvall 1971). Sedangkan menurut Hurlock (1980) usia anak prasekolah
berkisar antara 2 sampai 6 tahun yang disebut sebagai awal masa kanak-kanak.
Sebagian besar orangtua menganggap awal masa kanak-kanak sebagai usia
yang mengundang masalah atau usia sulit. Datangnya masa kanak-kanak atau
usia prasekolah, sering terjadi masalah perilaku yang lebih menyulitkan daripada
masalah perawatan fisik pada masa bayi. Masalah perilaku lebih sering terjadi
pada usia prasekolah karena anak-anak sedang dalam proses pengembangan
kepribadian yang unik dan menuntut kebebasan yang pada umumnya kurang
berhasil (Hurlock 1980).
Berdasarkan teori Erikson anak usia prasekolah termasuk kedalam tahap
inisiatif lawan rasa bersalah (initiative vs guilt). Erikson diacu dalam Hurlock
(1980) berpendapat bahwa setiap tahap mempunyai dua kemungkinan
pemecahan, yaitu positif dan negatif. Kegagalan pada tahap tertentu akan

10

mempengaruhi

tahap-tahap

berikutnya.

Keluarga

sebagai

anggota

dan

lingkungan yang terdekat dengan anak hendaknya dapat menciptakan
lingkungan yang mendukung untuk pencapaian perkembangan anak secara
optimal.
Menurut Abernethy et al dalam Duvall (1971) indikasi seorang anak telah
mencapai seluruh tugas perkembangannya adalah bahwa anak secara mental
dan emosional telah sehat dan perkembangan fisiknya cenderung baik. Tugas
perkembangan yang harus dicapai oleh anak usia prasekolah menurut Duvall
yaitu: (1) Terbentuknya rutinitas harian yang sehat dan seimbang antara aktivitas
dan istrahat; (2) Terbentuknya pola makan yang baik dan sehat; (3) Menguasai
dasar-dasar toilet training; (4) Mengembangkan keterampilan fisik yang sesuai
untuk tahap perkembangan motoriknya; (5) Anak dapat berpartisipasi sebagai
anggota keluarga; (6) Anak dapat menguasai dirinya yang sesuai dengan
harapan orang lain; (7) Mengembangkan keterampilan mengekspresikan emosi
secara sehat melalui berbagai pengalaman; (8) Belajar untuk berkomunikasi
efektif dengan orang lain; (9) Memiliki kemampuan untuk menghindari situasi
yang membahayakan; (10) Belajar menjadi anak yang mandiri; dan (11) Memiliki
kemampuan untuk memahami situasi disekitarnya.
Duvall berpendapat bahwa keluarga terutama orangtua membantu anak
untuk

mencapai

tugas

perkembangannya

melalui

penerimaan

berbagai

peningkatkan keterampilan dan aktifitas fisik anak. Tugas perkembangan
orangtua dalam membantu anak untuk mencapai tugas perkembangannya
menurut Duvall yaitu: (1) Orangtua senantiasa menciptakan suasana rumah yang
mendukung keingintahuan anak; (2) Orangtua senantiasa menciptakan suasana
rumah yang penuh kasih sayang; (3) Menciptakan suasana rumah yang penuh
maaf; dan (4) Orangtua mengembangkan diri sebagai individu dan pasangan
menikah.
Selain anak prasekolah yang harus mencapai tugas perkembangannya,
orangtua juga harus melaksanakan tugas perkembangannya sebagai pasangan
suami-isteri di dalam keluarga. Tugas perkembangan yang harus dicapai
orangtua sebagai pasangan suami-isteri menurut Duvall yaitu: (1)

Pasangan

suami-isteri menyediakan tempat, fasilitas, dan peralatan yang memadai; (2)
Pasangan suami-isteri merencanakan anggaran dan biaya tidak terduga untuk
anak; (3) Berbagi peran dan tanggung jawab dalam mengasuh anak; (4)
Mempertahankan keharmonisan hubungan suami-isteri dan merencanakan masa

11

depan anak; (5) Pasangan suami-isteri mengembangkan komunikasi efektif; (6)
Mempererat hubungan dengan keluarga besar; (7) Pasangan suami-isteri dapat
menggali sumberdaya di luar rumah untuk membantu dalam pengasuhan anak;
dan (8) Dapat menghadapi masalah yang berpegang pada agama.
Pencapaian tugas perkembangan pada tahap keluarga dengan anak
prasekolah ini sangatlah penting. Jika tugas perkembangan tercapai dengan
sukses, maka akan menimbulkan kebahagiaan dan membawa keberhasilan
dalam menghadapi tugas perkembangan selanjutnya. Namun sebaliknya,
apabila gagal maka akan mempengaruhi pada pencapaian tugas perkembangan
pada tahap berikutnya.
Kesiapan Menikah
Pengertian
Kata dasar pernikahan adalah nikah. Nikah menurut kamus besar bahasa
Indonesia adalah perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri
(dengan resmi), perkawinan, membentuk keluarga dengan lawan jenis, bersuami
atau beristri. Kata nikah memiliki persamaan makna dengan kata kawin.
Pengertian pernikahan atau perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan
No.1 Tahun 1974 adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah
tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Selain
itu perkawinan dapat dirumuskan sebagai satu aqad pertalian antara dua
manusia (laki-laki dan perempuan) yang berisi persetujuan hubungan dengan
maksud bersama-sama menyelenggarakan satu penghidupan yang lebih akrab,
menurut syarat dan hukum susila yang dibenarkan Tuhan (Latief 1968).
Perkawinan bertujuan untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia,
baik lahir maupun batin (Wiyata 1986). Menurut Duvall dan Miller (1985)
perkawinan adalah suatu hubungan antara dua orang, laki-laki dan perempuan,
yang diketahui oleh umum dan diatur melalui suatu aturan tertentu, serta
perkawinan membolehkan terjadinya hubungan seksual, adanya anak yang
diasuh oleh orangtua, serta adanya pembagian tugas antara suami dan istri.
Pernikahan merupakan tahapan untuk membangun sebuah rumah tangga
dan keluarga yang bahagia. Pernikahan diharapkan dapat dijadikan sebagai
sarana untuk mendapatkan cinta dan afeksi, dukungan emosi serta kesetiaan,
rasa aman, sebagaimana dalam persahabatan (Cox 1978 diacu dalam Putrini

12

2002). Pernikahan merupakan awal dari terbentuknya keluarga dengan
penyatuan dua individu yang berlainan jenis serta lahirnya anak-anak (Papalia,
Old, & Feldman 1998). Pernikahan juga dapat diartikan sebagai suatu hubungan
jangka panjang dengan orang lain yang dianggap sesuai dengan diri individu itu
sendiri untuk mencapai keluarga yang bahagia dan kekal (Putri 2010).
Puspitasari (1997) menyebutkan bahwa menikah sama artinya dengan
memasuki kehidupan yang sarat dengan tanggung jawab. Individu dituntut untuk
dapat mempertahankan sekaligus membangun hubungan interpersonal seumur
hidupnya, serta dapat berempati dan peka terhadap kebutuhan orang lain.
Membentuk keluarga yang bahagia tidaklah mudah. Terkadang timbul
perselisihan atau kesalahpahaman yang terjadi antara pasangan suami-istri di
dalam keluarga, karena hakekatnya pernikahan merupakan penyatuan dua
orang manusia yang berlainan jenis, kepribadian, sifat, karakter, maupun latar
belakangnya. Hal tersebut dapat menjelaskan bahwa masing-masing partner
(suami-istri) adalah manusia biasa yang memiliki perbedaan dan kelemahan
(Turner dan Helms 1995 diacu dalam Oktaviani 2010). Maka dari itu untuk dapat
membangun sebuah keluarga bahagia diperlukan kesiapan untuk menikah.
Kesiapan menurut Corsini (2002) diacu dalam Dewi (2006) adalah
berkembang atau mempersiapkan diri dalam belajar dan memperoleh beberapa
tugas perkembangan atau keahlian khusus berdasarkan perkembangan fisik,
sosial dan intelektual. Menurut Rapaport dalam Duvall dan Miller (1985) kesiapan
menikah adalah kemampuan individu untuk menyandang peran barunya, yaitu
sebagai suami atau istri, dan berusaha untuk terlibat dalam pernikahannya serta
mampu memasukkan pola-pola kepuasan yang diperolehnya sebelum menikah
ke dalam kehidupan pernikahan. Kesiapan menikah merupakan keadaan siap
atau bersedia dalam berhubungan dengan seorang pria atau wanita, siap
menerima tanggung jawab sebagai seorang suami atau seorang istri, siap terlibat
dalam hubungan seksual, siap mengatur keluarga, dan siap mengasuh anak
(Duvall & Miller 1985).
Kesiapan menikah adalah ketika laki-laki dan perempuan telah
menyelesaikan tugas perkembangan remajanya, dan secara fisik, emosi, tujuan,
finansial, dan pribadinya telah siap untuk menanggung tanggung jawab setelah
menikah (Duvall 1971). Kesiapan menikah juga dapat diartikan sebagai
kesediaan individu untuk mempersiapkan diri membentuk suatu ikatan lahir dan
batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan

13

membentuk keluarga dan rumah tangga yang kekal yang diakui secara agama,
hukum, dan masyarakat (Dewi 2006). Jika seseorang telah memiliki kesiapan
sebelum pernikahan, maka pernikahan yang bahagia dan kekal akan dapat
dicapai oleh pasangan suami istri.
Kriteria Kesiapan Menikah
Kesiapan menikah merupakan hal yang sangat penting, agar tugas-tugas
perkembangan dalam pernikahan dapat terpenuhi (Dewi 2006). Menurut
Rapaport (1963) diacu dalam Duvall dan Miller (1985), seseorang dinyatakan
siap untuk menikah apabila memenuhi kriteria: (1) Memiliki kemampuan
mengendalikan

perasaan

diri

sendiri;

(2)

Memiliki

kemampuan

untuk

berhubungan baik dengan orang banyak; (3) Bersedia dan mampu menjadi
pasangan istimewa dalam hubungan seksual; (4) Bersedia untuk membina
hubungan seksual yang intim; (5) Memiliki kelambutan dan kasih sayang kepada
orang lain; (6) Sensitif terhadap kebutuhan dan perkembangan orang lain; (7)
Dapat berkomunikasi secara bebas mengenai pemikiran, perasaan dan harapan;
(8) Bersedia berbagi rencana dengan orang lain; (9) Bersedia menerima
keterbatasan orang lain; (10) Realistik terhadap karakteristik orang lain; (11)
Memiliki kapasitas yang baik dalam menghadapi masalah-masalah yang
berhubungan dengan ekonomi; dan (12) Bersedia menjadi suami atau istri yang
bertanggung jawab.
Menurut Sunarti (2001) terdapat tiga prasyarat minimal bagi calon
pasangan yang akan berkomitmen membangun sebuah keluarga, dimana ketiga
prasyarat tersebut merupakan pengembangan dari model hubungan antar
konsep-konsep keluarga. Prasyarat minimal tersebut dapat dikatakan sebagai
aspek kesiapan menikah yang harus dipersiapkan oleh individu sebelum
memasuki gerbang pernikahan. Ketiga prasyarat tersebut yaitu; (1) Mampu
memperoleh sumberdaya ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar maupun
kebutuhan perkembangan anggota keluarga; (2) Memiliki kualitas SDM yang
memadai untuk mengelola keluarga sebagai ekosistem; dan (3) Memiliki
kematang kepribadian untuk menjalankan fungsi, peran dan tugas keluarga1.
Kesipan menikah menurut Blood (1978) dibagi menjadi dua bagian, yaitu
kesiapan menikah pribadi (personal) dan kesiapan menikah situasional
(circumstantial).

1

Sunarti’s Model

14

1. Kesiapan Pribadi (Personal)
a) Kematangan Emosi
Konsep penting dalam kesiapan pribadi adalah kematangan emosi. Konsep
kematangan emosi adalah konsep normatif dalam psikologi perkembangan
yang berarti bahwa seorang individu telah menjadi seorang yang dewasa.
Individu yang telah matang secara emosi maka sudah dapat dikatakan
dewasa.

Orang

dewasa

adalah

orang

yang

telah

mengembangkan

kemampuannya untuk membangun dan memelihara hubungan pribadi.
Kematangan melibatkan dua kemampuan yaitu kemampuan untuk memberi
dan menerima. Kematangan orang dewasa dapat dilihat dalam hal empati
(kemampuan untuk merasakan perasaan orang lain), tanggung jawab, dan
stabilitas. Orang dewasa yang memutuskan untuk menikah berarti telah
sanggup untuk membangun suatu tanggung jawab dan memasuki suatu
komitmen. Komitmen jangka panjang merupakan salah satu bentuk tanggun
jawab dalam suatu pernikahan, yang dikaitkan dengan stabilitas kematangan.
b) Kesiapan Usia
Kesiapan usia sama halnya melihat berapakah usia yang cukup untuk
menikah.

Pada

dasarnya

usia

dikaitkan

dengan

kedewasaan

atau

kematangan, karena proses untuk menjadi individu yang matang atau dewasa
membutuhkan waktu sampai individu tersebut menjadi dewasa secara emosi
atau pribadi. Individu yang telah dewasa dari segi usia tentunya akan
memutuskan untuk menikah. Kematangan individu merupakan faktor
keberhasilan dalam perkawinan. Usia bukan satu-satunya penentu untuk
keberhasilan atau kegagalan dalam suatu pernikahan (Duvall 1971).
c) Kematangan Sosial
Kematangan sosial dapat dilihat dari:
1) Pengalaman berkencan (enough dating), merupakan salah satu sumber
kematangan sosial. Pengalaman berkencan yang dilihat dengan adanya
keinginan untuk mengabaikan lawan jenis yang tidak dikenal secara dekat,
namun membuat komitmen dalam membangun hubungan hanya dengan
seseorang yang khusus yang telah dikenal. Saat seseorang merasakan
ketidakamanan selama berkencan, maka seseorang tersebut telah siap
untuk menikah, sehingga dalam proses berkencannya akan merasa lebih
aman.

15

2) Pengalaman hidup sendiri (enough single life), selain seseorang telah
cukup melakukan kencan, seseorang juga memerlukan waktu untuk hidup
mandiri sementara waktu tanpa harus bergantung kepada orangtua.
Seorang individu, khususnya wanita merasa perlu untuk membuktikan
pada diri mereka sendiri, orangtua, dan pasangan bahwa mereka mampu
untuk mengambil keputusan dan mengatur takdirnya sendiri.
d) Kesehatan Emosional
Kepribadian manusia begitu kompleks sehingga permasalahan emosional
yang dirasakannya juga dapat dalam berbagai bentuk. Permasalahan yang
biasanya dimiliki manusia dalam ketidakmampuannya menyesuaikan diri
dengan emosional diantaranya adalah kemurungan, kecemasan, merasa tidak
aman, curiga, dan lain-lain. Jika hal tersebut berada tetap pada diri
seseorang, maka ia akan sulit untuk menjalin hubungan dengan orang lain.
e) Kesiapan Model Peran
Banyak orang belajar bagaimana menjadi suami dan istri yang baik. Dalam
prosesnya seseorang belajar menjadi suami atau istri yang baik dengan
melihat dari figur ayah dan ibu mereka. Orangtua yang memiliki figur suami
dan istri yang baik dapat mempengaruhi kesiapan menikah anak-anak
mereka. Setiap pasangan perlu mengetahui apa saja peran mereka setelah
menikah. Peran yang ditampilkan harus sesuai dengan tugas-tugas mereka
sebagai suami ataupun istri.
2. Kesiapan Situasional (Circumstantial)
a) Kesiapan Finansial (Sumberdaya Keuangan)
Penghasilan minimum yang harus dimiliki pasangan bervariasi tergantung
kepada standar hidup yang diinginkan. Seseorang menunjukkan kesiapan
untuk menikah yang cenderung mengukur sumberdaya mereka dari potensi
penghasilannya. Seseorang yang siap secara finansial kemungkinan akan
semakin siap juga untuk menikah.
b) Kesiapan Waktu
Kesiapan waktu dalam kesiapan menikah yaitu proses perencanaan yang
diperlukan dalam mempersiapkan proses pernikahan, bulan madu, dan tahun
pertama pernikahan. Persiapan rencana pernikahan perlu dipersiapkan
dengan matang agar berdampak baik pada awal-awal kehidupan pernikahan.

16

Anak Usia Prasekolah
Rentang usia anak prasekolah menurut para ahli berbeda-beda. Menurut
Duvall anak prasekolah adalah anak yang berusia pada rentang antara 2,5-5
tahun. Menurut Hurlock usia anak prasekolah berada diantara usia 2-6 tahun,
sedangkan menurut Erikson anak prasekolah adalah anak yang berusia 3-5
tahun yang masuk kedalam tahap initiative vs guilt (inisiatif lawan rasa bersalah).
Anak usia prasekolah secara umum lebih independen dan berinisiatif untuk
mencoba hal baru, mulai menelusuri penggunakan kata dan kalimat,
pertumbuhan fisik lebih lamban dari tahun pertama, mulai belajar melompat,
menendang, melempar, memegang pensil, menulis, memasang kancing baju,
menggunakan resleting, dan menggosok gigi (Maila 2002).
Pengertian

perkembangan

menurut

Hurlock

adalah

serangkaian

perubahan progresif yang terjadi sebagai akibat dari proses kematangan dan
pengalaman. Kematangan adalah terbukanya sifat-sifat bawaan individu,
sedangkan pengalaman dapat diartikan sebagai proses belajar dimana belajar
adalah perkembangan yang berasal dari latihan dan usaha dari pihak individu.
Dua faktor tersebut merupakan faktor penting dari perkembangan (Hurlock
1980). Perkembangan anak sangat bervariasi tergantung individu dan tergantung
pada kesempatan untuk belajar dan tumbuh (Duvall 1971).
Menurut Evans, Myers, dan Ilfeld (2000) dalam Lestari (2010),
perkembangan memiliki beberapa prinsip, salah satunya adalah bahwa
perkembangan itu bersifat holistik yang terdiri dari beberapa dimensi yang saling
berkaitan. Dimensi perkembangan tersebut yaitu dimensi psikomotorik, kognitif,
bahasa, sosial, emosi, dan moral. Terdapat berbagai macam cara untuk
mengukur perkembangan anak, salah satunya adalah dengan menggunakan
instrumen Bina Keluarga Balita (BKB). Aspek-aspek perkembangan yang diukur
dalam instrumen BKB diantaranya yaitu;
1. Perkembangan motorik kasar, yaitu keterampilan bergerak yang dilakukan
dengan melibatkan sebagian besar otot-otot tubuh. Dalam keterampilan ini,
anak laki-laki biasanya mengungguli anak perempuan, karena anak laki-laki
sedikit lebih kuat dan memiliki lebih banyak otot dibandingkan anak
perempuan (Papalia & Olds 2008).
2. Perkembangan motorik halus, yaitu keterempilan bergerak yang dilakukan
dengan hanya melibatkan sebagian kecil otot tubuh. Dalam keterampilan ini
kemampuan anak perempuan selangkah lebih maju dibandingkan anak laki-

17

laki. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh perbedaan kerangka tulang
ataupun karena perbedaan perilaku sosial yang diharapkan lingkungan dari
anak laki-laki maupun anak perempuan (Papalia & Olds 2008).
3. Perkembangan bahasa. Bahasa merupakan salah satu bentuk komunikasi
baik secara lisan tertulis atau isyarat yang berdasarkan pada simbol-simbol.
Komunikasi dapat dibedakan menjadi dua yaitu; komunikasi aktif dan pasif.
Komunikasi aktif adalah kemampuan untuk mengungkapan perasaan,
keinginan, dan pikiran melalui kata-kata, sedangkan komunikasi pasif adalah
kemampuan untuk mengerti bahasa isyarat dan pembicaraan orang lain.
Papalia dan Olds (2008) menyebutkan bahwa perbendaharaan kata anak usia
tiga hingga empat tahun adalah sekitar 900-1.200 kata dan meningkat
menjadi sebanyak 1.500-2.000 kata ketika berusia empat hingga lima tahun.
Saat berusia lima hingga enam tahun, perbendaharaan kata anak menjadi
2.000 hingga 2.500 kata.
4. Perkembangan kognitif, yaitu kemampuan anak dalam hal daya tangkap, daya
pikir, daya ingat, dan memecahkan masalah. Kemampuan kognitif anak mulai
berkembang pada tahun kedua, terutama kemampuan untuk mengenal dan
menggunakan simbol-simbol. Pada akhir tahun keempat, perkembangan
fungsi

kemampuan

melihat,

mengendalikan emosi,

kebiasaan

dalam

merespon dan pemahaman simbol sudah berakhir. Namun kemampuan untuk
memahami konsep kuantitas seperti membandingkan besaran atau volume
mulai berkembang (Papalia & Olds 2008).
5. Perkembangan kemandirian, yaitu kemampuan anak untuk dapat melakukan
sendiri hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari atau dapat
diartikan sebagai keterampilan untuk membantu diri sendiri. Orangtua yang
memberikan kepercayaan dan kebebasan bagi anak untuk mengeksplorasi
lingkungan, akan membentuk kepribadian anak menjadi lebih mandiri (Papalia
& Olds 2008).
6. Kemampuan bergaul (sosial), yaitu kemampuan anak untuk dapat bergaul
atau berinteraksi dengan seluruh anggota keluarga, orang lain, maupun teman
seusianya. Anak usia prasekolah sering disebut sebagai masa prakelompok.
Dasar untuk sosialisasi diletakkan dengan meningkatnya hubungan antara
anak dengan teman-teman sebayanya dari tahun ke tahun. Anak yang lebih
menyukai interaksi dengan manusia daripada dengan benda akan lebih

18

mengembangakan kecakapan sosialnya sehingga mereka lebih populer
daripada anak yang berinteraksi sosialnya terbatas (Hurlock 1980).
Penelitian Terdahulu
Hasil penelitian yang dilakukan Carroll, Badger, Willoughby, Nelson,
Madsen, dan Barry (2009) menunjukkan bahwa kesiapan pernikahan dipandang
oleh orang dewasa muncul sebagai proses pengembangan kompetensi
interpersonal, membuat komitmen seumur hidup, dan memperoleh kapasitas
untuk merawat orang lain. Temuan ini juga menunjukkan bahwa orang dewasa
muncul banyak hal menuju kedewasaan dan menjadi siap untuk menikah
sebagai dua transisi yang berbeda dalam kehidupan, pertama melibatkan
pergeseran dari yang awalnya dirawat oleh orang lain (orangtua) menjadi
merawat diri sendiri dan kedua transisi dari perawatan diri sendiri menjadi
merawat orang lain (suami atau isteri dan anak).
Kematangan emosi merupakan aspek yang penting dalam kesiapan
menikah (Blood 1978). Hasil penelitian yang dilakukan Katyal dan Awasthi (2005)
menunjukkan bahwa kecerdasan emosi perempuan lebih baik dibandingkan lakilaki. Kecerdasan emosi berhubungan dengan menjaga dan mengekspresikan
emosi yang terlihat dari kemampuan empati, tanggung jawab sosial, dan
hubungan interpersonal. Perempuan lebih sensitif dalam mengekspresikan
emosinya, sehingga perempuan lebih mampu menjaga emosi dan hubungan
personalnya daripada laki-laki.
Stabilitas perkawinan dan kepuasan dapat diprediksi berdasarkan kualitas
hubungan pranikah (Fowers, Montel, & Olson 1996). Penelitian yang dilakukan
oleh Fowers, Montel, dan Olson (1996) adalah mengenai empat tipe hubungan
pranikah, yaitu tipe penuh vitalitas, harmonis, tradisional, dan berkonflik. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa tipe hubungan berkonfilk yang paling mungkin
untuk bercerai. Tipe penuh vitalitas memiliki tingkat kepuasan tertinggi diikuti oleh
tipe harmonis, tradisional, dan berkonflik. Pasangan tradisional lebih kecil
kemungkinan untuk bercerai dibandingkan pasangan harmonis, meskipun
pasangan harmonis memiliki skor kepuasan yang lebih tinggi sebelum menikah.
Gottman dan Levenson (1992) melakukan penelitian terhadap dua
kelompok yang berbeda, yaitu pasangan regulasi dan nonregulasi, untuk
mengidentifikasi
pernikahan.

proses

Diketahui

perkawinan
bahwa

terkait

dengan

teori

keseimbangan

dibandingkan

dengan

pasangan

regulasi,

19

pasangan nonregulasi memiliki; (1) masalah pernikahan, (2) kepuasan penikahan
lebih rendah, (3) kesehatan yang lebih buruk, (4) amplitudo denyut nadi lebih
kecil, (5) penilaian negatif untuk interaksi, (6) ekspresi emosi yang lebih negatif,
(7) ekspresi emosional yang kurang positif, (8) lebih keras kepala dan menarik
diri dari interaksi, dan (9) resiko yang lebih besar untuk perceraian perkawinan.
Larsen dan Olson (1989) menunjukkan pentingnya masa pranikah
sebagai dasar untuk pernikahan dan kemampuan mempersiapkan diri untuk
mengenali pasangan yang beresiko tinggi sebelum menikah melalui konseling
pranikah. Konseling pranikah berpotensi membantu pasangan beresiko tinggi
untuk membangun sebuah pernikahan yang lebih memuaskan.
Perkembangan anak tidak terlepas dari keberadaan keluarga terutama
orangtua. Stimulasi yang diberikan oleh orangtua diyakini memiliki efek sebagai
penguat yang berguna untuk perkembangan anak. Hal tersebut merupakan salah
satu tugas perkembangan keluarga yang harus dijalankan agar anak dapat
mencapai perkembangannya secara optimal. Hasil penelitian Sartono (1996)
menyebutkan bahwa pendidikan agama, kasih sayang, perkembangan anak,
situasi kondusif, pembentukan kebiasaan, keteladanan, motivasi, bimbingan
serta komunikasi merupakan faktor-faktor penting untuk keberhasilan pendidikan
anak dalam keluarga. Faktor-faktor tersebut dapat dikatakan merupakan tugas
perkembangan yang harus dijalankan oleh keluarga.
Pemberian stimulasi yang dilakukan oleh orangtua dan pengasuh dapat
mendukung perkembangan anak secara optimal. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan Briawan (2008) menunjukkan bahwa ibu pada keluarga miskin
umumnya kurang perhatian terhadap perkembangan anak, sehingga pemberian
stimulasi pada anak masih kurang. Hal tersebut sesuai dengan pendapat
Kasuma (2001) dalam Briawan (2008) bahwa keadaan ekonomi dapat
mempengaruhi pengasuhan orangtua terhadap anaknya.
Faktor genetis dan lingkungan sangat mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan anak. Di dalam penelitian yang dilakukan Latifah, Alfiasari, dan
Hernawati (2009) faktor-faktor yang dilihat dalam perkembangan anak adalah
faktor lingkungan psikososial dan faktor keluarga. Uji regresi yang dilakukan
terhadap variabel-variabel tersebut menunjukkan bahwa tingkat pendidikan ibu
atau pengasuh memberikan pengaruh signifikan positif terhadap total skor
perkembangan anak.

21

KERANGKA PEMIKIRAN
Pernikahan merupakan jalan untuk memulai membangun suatu keluarga
yang bahagia, baik lahir maupun batin. Ketika akan memasuki dunia pernikahan
diperlukan sebuah kesiapan dari masing-masing pasangan individu. Kesiapan
menikah dapat mencakup berbagai macam aspek kehidupan dari diri inividu itu
sendiri. Kesiapan menikah merupakan keadaan individu yang siap dan bersedia
dalam menjalani hubungan dengan pasangannya, siap menanggung tanggung
jawab sebagai seorang suami atau seorang istri setelah menikah, siap untuk
mengatur keluarga, serta siap untuk mengasuh anak. Hal tersebut dapat
menjelaskan bahwa setiap pasangan harus memiliki kesiapan yang menuntutnya
untuk siap menerima tangung jawab dalam membangun suatu keluarga dan siap
menyandang peran barunya dalam keluarga. Kesiapan menikah tidak hanya
dipersiapkan dari aspek kehidupan manusia, namun faktor usia menikah dan
rencana karir atau pekerjaan juga dapat menentukan kesiapan menikah
seseorang.
Peran individu dalam keluarga sangat berkaitan dengan keberfungsian
keluarga, dimana setiap individu memiliki peran berbeda-beda di dalam keluarga
dan diharapkan dapat menjalankan peranannya tersebut dengan baik sehingga
fungsi-fungsi keluarga dapat terpenuhi. Fungsi keluarga McMaster (MMFF =
McMaster Family Functioning) membagi tiga area fungsi keluarga. Ketiga area
tersebut adalah: (1) Area tugas dasar; (2) Area tugas perkembangan; dan (3)
Area tugas penuh resiko atau dapat disebut juga sebagai tugas krisis. Dari ketiga
area tersebut tugas perkembangan keluarga perlu untuk dipenuhi, karena tugas
perkembangan keluarga merupakan tugas yang muncul pada setiap siklus
kehidupan keluarga. Apabila keluarga berhasil dalam tugas tersebut, maka akan
menimbulkan rasa bahagia dan membawa keberhasilan untuk menyelesaikan
tugas perkembangan pada tahapan selanjutnya.
Keluarga dengan anak prasekolah memiliki tugas perkembangan yang
harus dipenuhi. Tugas tersebut meliputi tugas perkembangan anak, keluarga,
dan orangtua sebagai suami-istri. Pasangan yang sejak dari awal telah memiliki
kesiapan dari berbagai aspek kehidupan seperti kesiapan pribadi dan kesiapan
sumberdaya, maka itu akan membantu keluarga menjalankan fungsi dan
perannya dalam keluarga, sehingga nantinya akan terwujud kesejahteraan bagi
seluruh anggota keluarga.

22

Pencapaian perkembangan anak usia prasekolah tidak terlepas dari
peranan lingkungan yang ada disekitarnya termasuk peran orangtua. Orangtua
berperan penting dalam pencapaian perkembangan anak karena orangtua
merupakan pihak yang paling dekat dengan anak. Orangtua bertanggung jawab
untuk memfasilitasi anak agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.
Keluarga yang telah mampu menjalankan semua tugas perkembangan pada
tahap keluarga dengan anak prasekolah dengan baik maka keluarga juga akan
mampu untuk mendukung perkembangan anak.
Mempersiapkan diri sebelum memasuki dunia pernikahan dapat menjadi
modal dasar untuk menjalani kehidupan keluarga kedepannya. Kesiapan
menikah yang akan diteliti meliputi kesiapan intelektual, sosial, emosi, moral,
individu, finansial, dan mental. Kesiapan menikah yang dipersiapkan sejak awal
akan berimplikasi pada keberfungsian keluarga sehingga keluarga akan mampu
menjalankan

tugas-tugas

perkembangan

keluarganya.

Sebagai

indikator

keluarga telah menjalankan tugas perkembangan dengan baik maka dilihat dari
pencapaian perkembangan anaknya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
Gambar 1.

23

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Kesiapan Menikah
Kesiapan intelektual
Kesiapan sosial
Kesiapan emosi
Kesiapan moral
Kesiapan individu
Kesiapan finansial
Kesiapan mental

Tugas Dasar

Karakteristik Pasangan:
1. Usia Menikah
2. Pendidikan
1.
2.
3.
4.
5.

Karakteristik Keluarga:
Usia Orangtua
Usia Anak
Besar Keluarga
Pendapatan
Pekerjaan

Tugas Perkembangan Keluarga
(TPK)
1. TPK Dimensi Anak
2. TPK Dimensi Orangtua

Perkembangan Anak Usia
Prasekolah
1. Motorik Kasar
2. Motorik Halus
3. Bahasa Pasif
4. Bahasa Aktif
5. Kognitif
6. Kemandirian
7. Kemampuan Bergaul

Tugas Krisis

Pencapaian Tugas Perkembangan
Keluarga Selanjutnya

Keterangan:
Variabel yang diteliti
Variabel yang tidak diteliti
Gambar 1 Kerangka Pemikiran Kesiapan Menikah dan Pelaksanaan
Tugas Pekembangan Keluarga dengan Anak Usia Prasekolah

25

METODE PENELITIAN
Disain, Lokasi, dan Waktu Penelitian
Disain yang digunakan dalam penelitian ini adalah kombinasi antara cross
sectional study, yaitu penelitian yang hanya dilakukan pada satu waktu tertentu,
dan retrospective study yaitu penggalian informasi dimasa lalu. Pemilihan lokasi
penelitian dilakukan secara purposive, yaitu di Kelurahan Bubulak, Kecamatan
Bogor Barat, Kota Bogor, Jawa Barat dengan pertimbangan kemudahan akses
dalam melakukan penelitian. Untuk pengumpulan data primer dilakukan pada
bulan Juni 2011 sampai dengan bulan Juli 2011.
Teknik Pemilihan Contoh
Populasi dalam penelitian ini adalah keluarga dengan anak usia
prasekolah yang tinggal dikawasan Kelurahan Bubulak. Kelurahan Bubulak
memiliki 13 Rukun Warga (RW) yang kemudian dipilih delapan RW secara
purposive sebagai daerah yang terpilih untuk diambil datanya. Penentuan contoh
dilakukan secara purposive dengan kriteria yang sudah ditentukan sebelumnya,
yaitu keluarga yang memiliki anak pertama usia prasekolah (3-5 tahun) dan
bersedia untuk dijadikan contoh. Jumlah contoh dalam penelitian ini adalah
sebanyak 90 keluarga dimana pengambilan contoh dilakukan secara simple
random sampling. Responden dalam penelitian ini adalah suami-istri dari
keluarga yang menjadi contoh. Adapun cara penarikan contoh yang dilakukan
dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 2.

Kecamatan Bogor Barat

Purposive

Kelurahan Bubulak

Purposive

Populasi dari 8 RW
N=118 keluarga
Simple Random Sampling
n=90 keluarga

Gambar 2 Kerangka Penarikan Contoh Penelitian

26

Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan
data primer. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi data kependudukan dan
data monografi lokasi penelitian yang diperoleh dari kantor kelurahan dan
kecamatan setempat. Data primer diperoleh melalui hasil wawancara dengan
menggunakan alat bantu berupa kuesioner yang meliputi;
1. Karakteristik sosial-demografi keluarga (usia, besar keluarga dan tingkat
pendidikan), dan karakteristik ekonomi keluarga (pekerjaan dan pendapatan);
2. Kesiapan menikah setiap pasangan. Kuesioner untuk mengukur kesiapan
menikah suami dan istri, dikembangkan dari aspek kehidupan individu yang
meliputi kesiapan intelektual, moral, emosi, dan sosial. Untuk kesiapan
intelektual dan moral merupakan pengembangan dari indikator Personal
Value Scale (Scott 1965), sedangkan kesiapan emosi dan sosial merupakan
pengembangan dari indikat