Variabilitas dan karakteristik arus lintas Indonesia hubungannya dengan fluktuasi lapisan termoklin di Perairan Selat Makassar

(1)

HALIKUDDIN UMASANGAJI

C 651020051

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Variabilitas dan Karakteristik Arus Lintas Indonesia Hubungannya dengan Fluktuasi Lapisan Termoklin di Perairan selat Makassar adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogo November 2006

Halikuddin Umasangaji NRP C651020051


(3)

HALIKUDDIN UMASANGAJI. Variabilitas dan Karakteristik Arus Lintas Indonesia Hubungannya dengan Fluktuasi Lapisan Termoklin di Perairan Selat Makassar. Dibimbing oleh MULIA PURBA dan JOHN I. PARIWONO.

Broecker (1997) menyebutkan bahwa perairan Indonesia adalah satu-satunya penghubung massa air dari Samudera Pasifik menuju Samudera India. Akibat terbentuknya gradien tekanan antara barat Pasifik dengan timur laut Samudera India massa air mengalir melalui perairan timur Indonesia yang kemudian dikenal dengan Arus Lintas Indonesia (Indonesian Throughflow) atau disingkat Arlindo. Sepanjang tahun aliran selalu mengarah ke selatan dan tenggara. Namun demikian, karena dinamika internal, regional dan global aliran ini mengalami beberapa fluktuasi harian, musiman, antar musiman maupun tahunan. Setiap tahun aliran ini mentransfer bahang dan garam dari Samudera Pasifik menuju Samudera India oleh karena itu Arlindo dianggap sebagai komponen kunci dalam sistem iklim global. Penelitian ini bertujuan untuk mengakaji dan menganalisa variabilitas dan Karakteristik Arlindo, Menghitung volume transpor melalui pengkuran arus maupun pendekatan geostropik serta mengkaji fluktuasi lapisan termoklin akibat dari menguat dan melemahnya aliran pada periode musim yang berbeda.

Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data arus yang diperoleh dari

Mooring Aanderaa pada 2 stasiun di Selat Makassar (dari BPPT Jakarta), Data CTD diakses melalui website Lamont-Doherty Earth Observatory (LDEO) Columbia University, USA www.ldeo.edu. dan data Southern Oscillation Index (SOI) dari tahun 1992 - 1999 yang diperoleh dari http://www.bom.gov.au, 2005). Data dianalisa dengan menggunakan Time Series Analysis untuk melihat variabilitas pra- musiman, musiman dan tahunan dengan menggunakan software Matlab versi 6.0 dan Statistica release 6

sedangkan untuk melihat kekuatandan arah arus digunakan software Visual Basic versi 6.0. Data CTD diolah dengan menggunakan software Ocean Data View versi 5.7 untuk melihat sebaran melintang suhu sepanjang transek dimana dilakukan analisis termoklin. Data Southern Oscillation Index (SOI) selanjutnya digambarkan dalam grafik untuk melihat periode terjadinya fase El-Nino dan La-Nina.

Hasil analisa terhadap karakteristik arus memperlihatkan kecepatan arus menguat pada musim timur dan melamah pada musim barat meskipun terdapat anomali sebagai akibat dari kejadian El-Nino dan La-Nina. Aliran arus konsisten mengarah ke tenggara dan selatan sepanjang tahun meski terjadi pembelokan ke utara yang diduga akibat dari propagasi Gelombang Kelvin dan gerakan kompensasi terhadap kontinyutas. Variabilitas Arus di Selat Makassar memiliki beberapa periode dominan yang merupakan signal periode pergantian musim, Gelombang Kelvin serta adanya signal tahunan yang merepresentasikan kekuatan musim. Transpor Arlindo juga mengalami pelemahan pada musim barat dan sebaliknya menguat pada musim timur sebaga iamana halnya dengan hasil perhitungan kecepatan arus. Hasil perhitungan geostropik memperlihatkan fluktuasi yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan arus hasil pengukuran. Selain itu juga kecepatan dan volume transpor geostropik tidak terlalu memperlihatkan karakter Arlindo yang sebenarnya. Lapisan termoklin berada lebih dangkal pada musim barat dan tertekan lebih dalam pada musim timur, namun demikian fluktuasi ini masih dipengaruhi kuat oleh kejadian ENSO dan La-Nina.


(4)

©

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun baik cetak, fotokopi, mikrofilm


(5)

OLEH

HALIKUDDIN UMASANGAJI

C 651020051

Tesis

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(6)

Nama : Halikuddin Umasangaji

NRP : C 651020051

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Mulia Purba, M.Sc Dr. Ir. John I. Pariwono Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Kelautan Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Djisman Manurung, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.Sc


(7)

gelombang (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun.

Al Quran Surat Ar Rahman

Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu, antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui masing-masing. M aka ni'mat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan ?

Happiness comes from being uncomfortable as often as possible so you are always learning and growing.

Rich Hatch, 101 Survival Secrets (The L yons Press), 1999

Yang sederhana ini kupersembahkan U ntuk Papi dan M ami, Kakak-kakak, Adik-adik, I Par-ipar serta Ponakan-ponakan tercinta.


(8)

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, kekuatan dan semangat sehingga tugas akhir guna meraih gelar Magister Science di bidang Oseanografi Fisik ini dapat diselesaikan. Tesis dengan judul “Variabilitas dan Karakteristik Arus Lintas Indonesia Hubungannya dengan Fluktuasi Lapisan Termoklin di Perairan Selat Makassar” adalah bagian dari studi Pascasarjana pada Program Studi Ilmu Kelautan di Institut Pertanian Bogor.

Dengan selesainya penulisan tesis ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih dan rasa hormat yang setinggi- tingginya kepada :

1. Bapak Dr. Ir. Mulia Purba, MSc selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr. Ir. John I. Pariwono sebagai anggota yang telah meluangkan waktu serta dengan penuh kesabaran telah membimbing dan mengarahkan penulis semenjak pengumpulan data, pengolahan hingga penyelesaian penulisan tesis ini. Bapak Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc selaku penguji tamu atas saran dan koreksi serta kerja sama yang baik selama penulis menuntut ilmu di Pascasarjana IKL - IPB.

2. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pusat Jakarta melalui UPT Baruna Jaya yang telah menyediakan data-data yang diperlukan, LDEO (Lamont Doherty Earth and Observatory) Columbia University di Amerika Serikat terutama Prof. Dr. Arnold Gordon dan Dr. Dwi Susanto atas kesediaan data-datanya, Dr. Hendrik van Akeen di NIOZ Belanda dan Prof. Matthias Tomczak di Flinders University atas support dan reference yang diberikan.

3. Orang-orang yang terdekat dalam hidup ini : Papi dan Mami, Kakak-kakak dan Adik-adik atas iringan do’a dan kesabaran yang telah diberikan hingga kini.

6. Rekan-rekan selama studi (Ninith, Heron, Mukti, Ningsih (ITB), Pak Sakka, Wike, Mas Hoyyie) serta seluruh teman-teman yang telah saling mendukung baik selama studi maupun dalam penulisan tesis ini.

Menyadari tesis ini masih jauh dari kesempurnaan maka diharapkan saran dan kritik yang konstruktif demi kesempur naan isi dari tesis ini kelak.


(9)

Penulis adalah putra ke enam dari sembilan bersaudara yang dilahirkan di Waitina Kab. Kepulauan Sula (Kepsul), Maluku Utara pada tanggal 3 Maret 1974 adalah buah perkawinan pasangan Purnawirawan H.Umar Umasangaji dan Sitti Zawiahtul Hakimah. Pendidikan tinggi diawali tahun 1992 pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Univ. Pattimura Ambon melalui Program PMDK (Penelusuran Minat Bakat dan Kemampuan). Gelar Sarjana Ilmu Kelautan diraihnya 4 tahun kemudian dan mulai bekerja pada Loka Budidaya Laut Ambon. Pada tahun 1998 bekerja sebagai tenaga lepas pada PT. ASDP (Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan) Cabang Ambon hingga pada tahun 2000 diangkat sebagai staf edukatif pada Univ. Khairun, Ternate. Pada tahun 2003 hingga kini bekerja sebagai staf edukatif di Universitas yang sama setelah diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil.

Pada tahun 2002 melalui Beasiswa (BPPS Dikti) penulis berkesempatan mengikuti Pendidikan Pascasarjana (S2) pada Prog. Studi Ilmu Kelautan IPB dan memilih minat Oseanografi Fisik. Selama mengikuti pendidikan di IPB penulis juga aktif dalam berbagai kegiatan pelatihan dan seminar-seminar Kelautan baik sebagai peserta maupun pembicara antara lain seminar ISOI (Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia) yang diselenggarakan di Jakarta, Bandung dan Denpasar. Karya ilmiah yang telah diterbitkan oleh Jurnal Segara (BRKP – DKP) Jakarta adalah “Karakteristik Massa Air di Selat Lifamatola pada Musim Barat”. Sebagai partisipan pada Program Pemantauan Arus Lintas Indonesia yang merupakan kerjasama 5 negara (Indonesia, Australia, USA, Perancis dan Belanda) melalui Ekspedisi INSTANT (International Nusantara Stratification and Transport) dari tahun 2003 - sekarang. Pada tahun 2006 tergabung dalam Tim Ahli Revitalisasi Sumber Daya Pesisir dan Lautan di Provinsi Maluku Utara. Selain itu penulis juga aktif dalam kegiatan penyelaman (Diving) di bawah naungan Jakarta Underwater Scuba Society (JaUWS) yang bermarkas di Senayan, Jakarta.


(10)

Halaman

DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN

PENDAHULUAN... 1

Latar Belakang... 1

Kerangka Pemikiran... 3

Perumusan dan Pendekatan Masalah... 4

Tujuan dan Manfaat Penelitian... 5

Hipotesis... 7

TINJAUAN PUSTAKA... 8

Arus Lintas Indonesia (Indonesian Throughflow)... 8

Variabilitas Arus Lintas Indonesia... 12

Transpor Arlindo... 13

Fluktuasi Lapisan Termoklin di Selat Makassar... 15

Respon Arlindo terhadap ENSO... 16

METODE PENELITIAN... 18

Lokasi dan waktu Penelitian... 18

Metode Pengukuran... 18

Pengukuran Arus (Mooring ADCP)... 18

Pengukuran CTD... 21

Pengolahan dan Analisis Data... 21

Analisa Time Series (Time Series Analysis)... 21

Pembuatan Grafik Stickplot Arah dan Kecepatan Arus... 22

Perhitungan Volume Transpor Nyata... 23

Perhitungan Arus Geostropik... 24

Perhitungan Lapisan termoklin... 25

HASIL DAN PEMBAHASAN... 28

Pola Arus Tiap Lapisan Kedalaman di Selat Makassar... 28

Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 1... 28

Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 2... 34

Fluktuasi Arus dalam Ranah Frekuensi Arus di Selat Makassar... 40

Spektrum Densitas Energi Arus... 40

Transpor Massa Air yang Melintasi Selat Makassar... 47

Kecepatan Arus Geostropik dan Volume Transpor... 49

Fluktuasi Lapisan Termoklin akibat Transpor Arlindo... 58

KESIMPULAN DAN SARAN... 64

DAFTAR PUSTAKA... 66

LAMPIRAN... 71 .


(11)

Tabel 1. Periode dan densitas energi dari fluktuasi arus yang

dominan di Selat Makassar dari Desember 1996 – Februari 1998…... 41 Tabel 2. Volume transpor massa air yang melintasi Selat Makassar…………... 48

Tabel 3. Lapisan termoklin pada Musim Timur di Selat Makassar

(data bulan Agustus 1993)... 60 Tabel 4. Lapisan termoklin pada Musim Barat di Selat Makassar

(data bulan Februari 1994)... 61 Tabel 5. Lapisan termoklin pada Musim Barat di Selat Makassar

(data bulan November 1996)... 61 Tabel 6. Lapisan termoklin pada Musim Barat di Selat Makassar


(12)

Halaman

Gambar 1. Diagram alir kerangka pemikiran dan perumusan masalah...4

Gambar 2. Edaran raya massa air dunia (The great conveyor belt)...9

Gambar 3. Lintasan Arus Lintas Indonesia (Arlindo)...10

Gambar 4. Arah transpor Arlindo tiap lapisan kedalaman...15

Gambar 5. a. Peta lokasi CTD 1993, 1994, 1996, 1998 (analisis arus geostropik)...19

b. Peta lokasi Mooring ADCP...19

Gambar 6. Peta lokasi CTD (analisa lapisan termoklin)...20

Gambar 7. Sketsa mooring dan posisi lapisan kedalaman Andeera...23

Gambar 8. Grafik stickplot arah dan kecepatan arus pada Bulan Desember 1996 – Februari 1997 di lapisan kedalaman 350 meter (stasiun 1)...29

Gambar 9. Grafik stickplot arah dan kecepatan arus pada Bulan Juni - Agustus 1997 di lapisan kedalaman 350 meter (stasiun 1)...30

Gambar 10. Grafik stickplot arah dan kecepatan arus pada Bulan Desember 1997 - Februari 1998 di lapisan kedalaman 350 meter (stasiun 1)...30

Gambar 11 Indeks Osilasi Selatan (Southern Oscillation Index) tahun 1991 - 1999 ...31

Gambar 12 Grafik stickplot arah dan kecepatan arus di lapisan kedalaman 1500 meter Bulan Desember 1996 – Februari 1997 yang menunjukkan arah arus mengalami penyimpangan (reversal) yang diduga karena gerakan kompensasi terhadap kontinuitas pada kanal yang sempit...32

Gambar 13 Grafik stickplot arah dan kecepatan arus di lapisan kedalaman 350 meter Bulan Mei dan Juni 1997 yang menunjukkan arah arus mengalami penyimpangan (reversal) yang diduga karena propagasi dari Gelombang Kelvin...33

Gambar 14 Grafik stickplot arah dan kecepatan arus di lapisan kedalaman 1500 meter Bulan Juni 1997 – Agustus 1997 yang menunjukkan arah arus mengalami penyimpangan (reversal) yang diduga karena gerakan kompensasi terhadap kontinuitas pada kanal yang sempit...33

Gambar 15 Grafik stickplot arah dan kecepatan arus di lapisan kedalaman 1500 meter Bulan Desember 1997 – Februari 1998 yang menunjukkan arah arus mengalami penyimpangan (reversal) yang diduga karena gerakan kompensasi terhadap kontinuitas pada kanal yang sempit...34


(13)

Gambar 17 Grafik stickplot arah dan kecepatan arus pada Bulan Juni 1997 –

Agustus1997 (Musim Timur) di lapisan kedalaman 350 meter (stasiun 2)...36 Gambar 18 Grafik stickplot arah dan kecepatan arus pada Bulan Desember 1997 –

Februari 1998 (Musim Timur) di lapisan kedalaman 350 meter (stasiun 2)...36 Gambar 19 Grafik stickplot kecepatan dan arah arus pada bulan Mei dan Juni 1997

dimana terjadi penyimpangan (reversal) arah arus ke utara dan barat laut yang diduga karena propagasi Gelombang

Kelvin...38 Gambar 20 Grafik stickplot arah dan kecepatan arus di lapisan kedalaman 1500 meter

Bulan Desember 1996 – Februari 1997 yang memperlihatkan arah arus mengalami penyimpangan (reversal) yang diduga karena gerakan

kompensasi terhadap kontinuitas pada kanal yang sempit...38 Gambar 21 Grafik stickplot arah dan kecepatan arus di lapisan kedalaman 1500 meter

Bulan Juni 1997 – Agustus 1997 yang menunjukkan arah arus mengalami penyimpangan (reversal) yang diduga karena gerakan kompensasi

terhadap kontinuitas pada kanal yang sempit...39 Gambar 22 Grafik stickplot arah dan kecepatan arus di lapisan kedalaman 1500 meter

Bulan Desember 1997 – Februari 1998 yang menunjukkan arah arus mengalami penyimpangan (reversal) yang diduga karena gerakan

kompensasi terhadap kontinuitas pada kanal yang sempit...39 Gambar 23 Spektrum densitas energi arus pada lapisan kedalaman 205 m

stasiun 1 yang telah ditapis 50 jam. ... ...43 Gambar 24 Spektrum densitas energi arus pada lapisan kedalaman 255 m

stasiun 1 yang telah ditapis 50 jam. ... ...44 Gambar 25 Spektrum densitas energi arus pada lapisan kedalaman 355 m

stasiun 1 yang telah ditapis 50 jam. ... ...44 Gambar 26 Spektrum densitas energi arus pada lapisan kedalaman 200 m

stasiun 2 yang telah ditapis 50 jam. ... ...46 Gambar 27 Spektrum densitas energi arus pada lapisan kedalaman 250 m

stasiun 2 yang telah ditapis 50 jam. ... ...45 Gambar 28 Spektrum densitas energi arus pada lapisan kedalaman 350 m

stasiun 2 yang telah ditapis 50 jam. ... ...46 Gambar 29 Spektrum densitas energi arus pada lapisan kedalaman 1500 m


(14)

Gambar 31. Sebaran melintang sigma-t dan anomali kedalaman

dinamik transek 2 Agustus 1993...52 Gambar 32. Sebaran melintang sigma-t dan anomali kedalaman

dinamik transek 1 Februari 1994…….……..…...……53 Gambar 33. Sebaran melintang sigma-t dan anomali kedalaman

dinamik transek 2 Februari 1994………...………53 Gambar 35. Kecepatan arus geostropik transek 1 pada bulan Agustus 1993….……….55

Gambar 36. Kecepatan arus geostropik transek 2 pada bulan Agustus 1993…….…….56

Gambar 37. Kecepatan arus geostropik transek 1 pada bulan Februari 1994……….…57

Gambar 38. Kecepatan arus geostropik transek 2 pada bulan Februari 1994………….57

Gambar 39. Fluktuasi lapisan termoklin sepanjang Selat Makassar

dari tahun 1993 – 1998……..………..62 Gambar 40. Grafik fluktuasi lapisan termoklin sepanjang Selat Makassar

(1993 – 1998)………..………..63


(15)

Lampiran 1 Sketsa mooring Aanderaa di Selat Makassar...………... .. 71 Lampiran 2 CTD (Conductivity Temperature and Depth) dan Spesifikasinya... 72 Lampiran 3 Grafik stickplot kekuatan dan arah arus tiap lapisan kedalaman

distasiun 1 selat Makassar………... 73 Lampiran 4 Grafik stickplot kekuatan dan arah arus tiap lapisan kedalaman

distasiun 2 selat Makassar………... 79 Lampiran 5 Tabel periodesitas spektrum energi arus pada tiap lapisan

Kedalaman pada stasiun 1... 87 Lampiran 6 Tabel periodesitas spektrum energi arus pada tiap lapisan

Kedalaman pada stasiun 2... 90 Lampiran 7 Data Southern Oscillation Index (SOI)……….. 94


(16)

Latar Belakang

Perubahan iklim global sekitar 3 – 4 juta tahun yang lalu telah mempengaruhi evolusi hominidis melalui pengeringan di Afrika dan mungkin pertanda zaman es pleistosin kira-kira 2,75 juta tahun yang lalu. Banyak penjelasan dari fenomena iklim ini melibatkan perubahan dalam sirkulasi dari Samudera Atlantik Utara oleh karena tutupan dari daratan yang sempit di Panama. Tertutupnya Arus Lintas Indonesia 3 – 4 juta tahun yang lalu yang mengakibatkan perubahan iklim ini, terutama kekeringan di Afrika (Cane dan Molnar 2001). Pernyataan ini memberikan gambaran bahwa betapa pentingnya Arus Lintas Indonesia (Arlindo) memainkan peranannya dalam fenomena iklim global.

Arus Lintas Indonesia membawa massa air dengan temperatur dan salinitas yang memodifikasi budget bahang dan massa air dengan salinitas rendah serta fluks bahang udara laut dari Samudera Pasifik dan Samudera India serta dapat memainkan suatu peranan dalam El-Nino/Southern Oscillation (ENSO) dan fenomena Iklim Muson Asia. Observasi menunjukkan bahwa komposisi massa air Arlindo berasal dari massa air termoklin Pasifik Utara, meski pada kedalaman yang lebih dalam (massa airnya lebih dingin dari 6°C) massa airnya secara langsung berasal dari Pasifik Selatan (Gordon et al. 2003).

Alasan bahwa asal usul aliran berasal dari Pasifik Utara adalah berdasarkan pada pertimbangan nilai salinitas. Gordon (1986) memetakan salinitas rata-rata dari massa air dengan kisaran suhu 10º – 20ºC yang dilewati Arlindo. Nilai salinitas yang berada pada kisaran suhu tersebut memiliki gradien 0,05 psu sepanjang lintasan dari selatan Mindanao sampai Selat Makassar dan Laut Banda menuju Samudera India melalui Selat Lombok dan Laut Timor. Jadi massa air yang masuk dan muncul dalam lintasan Arlindo adalah massa air Air Ugahari Pasifik Utara, AUPU (North Pacific Intermediate Water). Gradien salinitas yang besar yaitu 0,5 psu terlihat antara perairan timur Indonesia dan pesisir Pantai Utara Papua New Guinea. Hal ini pada dasarnya memisahkan massa air AUPU dari massa air Air Ugahari Pasifik Selatan (ASPS) yang lebih asin.


(17)

Arlindo memiliki keragaman yang tinggi baik secara musiman maupun tahunan. Keragaman musiman berkaitan dengan adanya pergantian arah angin di Indonesia. Menurut Wyrtki (1987); Gordon dan Susanto (2003), laju transpor tertinggi ditemukan pada saat Muson Tenggara, yaitu selama bulan Juni sampai Agustus sedangkan aliran lintasan terendah pada saat muson barat laut yaitu pada bulan Desember sampai Februari. Selanjutnya Gordon dan Susanto (2003) juga menyebutkan keragaman tahunan Arlindo antara lain berkaitan dengan fenomena ENSO yang mempengaruhi iklim dunia secara global.

Philander (1986) menyebutkan bahwa sebagai perairan yang berada di sekitar katulistiwa (equator), Selat Makassar memiliki variabilitas musiman Arlindo yang berhubungan dengan pengaruh skala besar. Oleh karena itu perairan ini dipengaruhi kuat oleh gelombang di khatulistiwa dari jenis gelombang panjang seperti gelombang Kelvin, gabungan Gravitasi-Rossby dan juga gelombang gravitasi yang mempunyai periode dari 5 - 30 hari.

Berbagai fenomena di atas menggambarkan peranan perairan Indonesia sebagai penghubung massa air dari Samudera Pasifik menuju Samudera India. Meskipun sepanjang tahun aliran ini cenderung ke arah selatan, aliran akan mengalami variabilitas dan karakteristik yang berubah-ubah secara musiman maupun tahunan baik arah, volume transpor dan lapisan termoklin.

Beberapa penelitian seperti Gordon (1986); Godfrey (1996); Gordon et al. (1999); Aung (1998); Cresswell (1998) dengan pendekatan geostropik, pemodelan maupun pengukuran arus telah dilakukan dengan memperoleh hasil yang berbeda-beda. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan guna mengungkapkan fenomena lainnya. Fenomena tersebut antara lain penyebab menguat dan melemahnya transpor serta pembalikan (reversal) arah Arlindo pada lapisan-lapisan tertentu. Hal ini dianggap akan menambah pemahaman tentang dinamika yang terjadi pada Arlindo khususnya di Selat Makassar sebagai lintasan primer.

Sebagaimana dikemukakan di depan bahwa Arlindo mempunyai peranan penting dalam perubahan iklim global maka sudah selayaknya penelitian tentang dinamika yang terjadi di perairan Selat Makassar secara kontinyu sangat perlu dilakukan dari berbagai aspek sehingga dapat melengkapi pengetahuan tentang pertukaran massa air antara kedua samudera serta akibat-akibat yang ditimbulkan


(18)

secara global. Salah satu langkah yang ditempuh adalah penelitian tentang variabilitas arus dan karakteristik arus itu sendiri serta besarnya volume transport dan mengkaji lapisan termoklin pada kedua musim yang berbeda.

Masalah utama dalam penelitian ini adalah bahwa volume dan distribusi dari Arlindo belum diketahui dengan baik, sehingga mendorong para peneliti untuk lebih intensif melakukan observasi maupun pemodelan tentang sirkulasi antar samudera Pasifik dan Samudera India.

Kerangka Pemikiran

Massa air laut yang saling berhubungan antara tiga samudera di permukaan bumi membentuk suatu sistem sirkulasi peredaran massa air dunia yang disebut edaran massa air dunia (Broecker 1997). Sirkulasi dimulai dari Samudera Atlantik Utara bagian utara. Adanya proses penguapan menyebabkan massa air tenggelam ke lapisan dalam, membentuk North Atlantic Deep Water (NADW) atau Air Dalam Atlantik Utara (ADAU) yang mengalir ke Samudera Atlantik Selatan pada kedalaman 3000 – 4000 meter. Sampai di ujung selatan Samudera Atlatik Selatan aliran massa air berbelok ke arah timur bergabung dengan Arus Antartika. Massa air ini terus bergerak memasuki ujung selatan Samudera India kemudian ke timur memasuki ujung selatan Samudera Pasifik Selatan. Di ujung selatan Samudera India, sebagian aliran berbelok ke utara sampai sekitar katulistiwa dan naik ke permukaan (Broecker 1997 ; Gordon et al. 1994).

Selanjutnya (Broecker 1997) juga menyebutkan aliran yang sampai ke ujung selatan Samudera Pasifik Selatan juga berbelok ke utara masuk ke Samudera Pasifik, melewati katulistiwa dan naik ke permukaan. Sirkulasi massa air ini disebut sirkulasi massa air dalam, sedangkan sistem peredaran massa air permukaan adalah bergeraknya massa air yang yang berasal dari Samudera India bagian selatan untuk mengisi kekosongan yang disebabkan oleh tenggelamnya massa air di Samudera Atlantik bagian utara. Selanjutnya kekosongan massa air di lapisan atas Samudera India ini akan menyebabkan massa air Samudera Pasifik mengalir ke Samudera India melalui perairan Indonesia bagian timur, yang kemudian dikenal dengan Arlindo dimana lintasan primernya adalah Selat Makassar.


(19)

Lebih lanjut Wyrtki (1987) dan Gordon et al. (1994) menyebutkan bahwa gaya penggerak utama Arlindo pada lapisan 0 – 200 m adalah perbedaan tekanan permukaan laut yang kuat antara Samudera Pasifik dan Samudera India (Gambar 1). Perbedaan ketinggian permukaan laut antara kedua samudera tersebut mencapai 16 cm. Kondisi ini menimbulkan gradien tekanan ke arah Samudera India sehingga massa air Samudera Pasifik mengalir ke Samudera India dan mengisi perairan timur Indonesia.

Aliran ini sepanjang tahun mengalir ke selatan, namun oleh karena karakteristik perairan Indonesia bagian timur yang begitu kompleks mengakibatkan dinamika internal yang kuat serta pengaruh muson dan fenomena global lainnya di katulistiwa sehingga mengakibatkan Arlindo mengalami variabilitas dan karakteristik yang beragam dalam periode harian, musiman maupun tahunan. Selain itu juga pengaruh muson dan fenomena global seperti

Gambar 1 Diagram alir kerangka pemikiran dan perumusan masalah

Samudera India (timur laut)

ARLINDO (di Selat Makassar)

Interaksi Internal- –- Angin Lokal, gesekan dasar,pasut, geometri perairan Dinamika Regional – Musiman, antar musim, Kelvin Wave, Rossby Wave. Dinamika Global - ENSO

Samudera Pasifik

(barat) Beda Paras Laut (Sea Level)

- Variabilitas harian dan Musiman, tahunan ? - Karakteristik Time domain (Kecepatan dan

arah) ?

- Fluktuasi Volume Transpor ?


(20)

ENSO mengakibatkan volume transpor massa air Arlindo mengalami perbedaan intensitasnya pada musim barat dan musim timur. Hal yang sama juga dialami oleh lapisan termoklin yang akan mengalami fluktuasi sebagai akibat dari variabilitas Arlindo (Gambar 1).

Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peranan Perairan Indonesia sebagai suatu lintasan dalam mentransfer massa air Samudera Pasifik ke Samudera Hindia. Arlindo secara signifikan mempengaruhi keseimbangan suhu dan massa air dengan nilai salinitas yang lebih rendah dari kedua samudera ini. Oleh karena itu dapat dipertimbangkan sebagai komponen kunci dalam ENSO dan fenomena iklim muson. Sirkulasi meridional, stratifikasi, suhu permukaan laut dan muka laut akan berubah secara signifikan jika volume transport aliran Arlindo bernilai nol (Sprintall et al. 2004).

Perumusan dan Pendekatan Masalah

Arlindo dianggap sebagai “bocoran” dari massa air bagian barat Pasifik tropis yang mengalir menuju ke bagian tenggara Samudera India tropis melalui perairan Indonesia. Arlindo merupakan satu lintasan penting yang mentransfer signal iklim dan anomalinya dimana pengaruhnya dapat dirasakan di seluruh samudera dunia. Bahang dan massa air yang bersalinitas rendah yang diangkut oleh Arlindo diperkirakan mempengaruhi perimbangan kedua parameter tersebut di kedua samudera yaitu Pasifik dan India. Volume dan distribusi dari Arlindo belum diketahui dengan baik, sehingga mendorong para peneliti untuk lebih intensif melakukan observasi maupun pemodelan tentang sirkulasi antar samudera ini (Sprintall et al. 2004).

Massa air dari Laut Sulawesi mengalir ke selatan menuju ke Selat Makassar dan memasuki Selat Lombok dan Laut Flores (Gordon 2001), sedangkan massa air dari Laut Maluku mengalir menuju ke Laut Banda dan bergabung dengan aliran dari Selat Makassar. Massa air dari Perairan Indonesia ini kemudian mengalir ke luar melalui tiga perairan yaitu Selat Lombok (Murray and Arief 1988), Selat Ombai dan Laut Timor (Potemra et al. 2002).

Transpor Arlindo sepanjang tahun selalu mengalir ke selatan dengan intensitas volume yang bervariasi akibat dari perbedaan tinggi paras laut antara


(21)

barat Pasifik dan timur laut Samudera India yang berbeda-beda setiap musim. Namun demikian Burnet et al. (2003) menyatakan melalui analisis keseimbangan momentum dan energi menunjukkan bahwa total transpor Arlindo tidak tergantung secara eksklusif pada perbedaan tekanan antar samudera tetapi pada faktor-faktor lain termasuk angin lokal, gesekan dasar, serta aksi tekanan pada sisi internal.

Karena kompleksitasnya Perairan Indonesia seperti selat yang sempit serta pengaruh muson membawa dampak yang signifikan terhadap variabilitas dan karakteristik serta lapisan termoklin pada perairan dimana dilintasi oleh Arlindo.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah seberapa besar pengaruh dinamika internal, regional dan global terhadap variabiltas dan karakteristik Arlindo serta fluktuasi lapisan termoklin akibat dari melemah dan menguatnya transpor Arlindo di Selat Makassar.

Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengkaji dan menganalisis variabilitas dan karakteristik Arlindo pada Musim Barat dan Musim Timur untuk tiap lapisan kedalaman.

2. Menghitung besarnya transpor Arlindo dari hasil pengukuran arus dan pendekatan geostropik pada musim barat dan musim timur.

3. Mengkaji dan menganalisis lapisan termoklin pada periode musim yang berbeda sebagai indikasi dari melemah dan menguatnya transpor Arlindo. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang dinamika Arlindo baik untuk kepentingan perikanan maupun fenomena iklim global. Untuk kepentingan fenomena iklim global dapat dikatakan bahwa jika intensitas Arlindo kuat, berarti perpindahan bahang ke Samudera India pun semakin tinggi dengan demikian maka penguapan di Samudera India pun semakin tinggi yang membawa dampak kepada perubahan iklim global. Selain itu hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi yang berarti terhadap pengeksplorasian sumberdaya hayati laut, karena jika terdeteksi adanya periode El-Nino berarti dapatlah diinformasikan akan datangnya up-welling yang intensif terutama di selatan Jawa, barat Sumatera dan Selatan Selat Makassar. Hal ini


(22)

disebabkan karena pada fase El-Nino angin musson tenggara yang berhembus di selatan Jawa lebih kuat dari biasanya. Hembusan angin ini mengakibatkan massa air bergerak sejajar garis pantai. Namun demikian Efek Coriolis membelokkan gerak massa air ke arah laut lepas (Transpor Ekman) yang mengakibatkan kekosongan massa air di pantai. Kekosongan inilah yang akan diisi oleh massa air yang berasal dari dasar perairan yang kaya akan nutrien. Hal inilah yang merupakan indikasi kesuburan perairan meningkat selama fase El-Nino di wilayah Selatan Jawa, Selatan Sulawesi dan Barat Sumatera.

Hipotesis

Mengacu pada berbagai perkembangan literatur (penelitian terakhir) maka dibuat dugaan sementara (hipotesis) yang berkaitan dengan permasalahan tersebut di atas antara lain :

1. Signal musiman mendominasi variabilitas Arlindo di Selat Makassar dibandingkan dengan signal lainnya, terutama di lapisan permukaan.

2. Aliran arus di Selat Makassar di dominasi oleh aliran komponen v (utara - selatan) dengan signal yang lebih kuat jika dibandingkan dengan komponen u (timur – barat) karena aliran sepanjang tahun bergerak ke selatan.


(23)

Arus Lintas Indonesia (Indonesian Seas Throughflow)

Broecker (1997) dan Gordon (1987) menyebutkan bahwa tiga samudera di permukaan bumi memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya. Keterkaitan ini membentuk suatu sistem sirkulasi yang unik (Gambar 2). Sistem ini yang mengedarkan massa air dunia yang dikenal dengan edaran massa air dunia (the great conveyor belt). Sirkulasi dimulai dari Samudera Atlantik Utara bagian utara. Adanya proses pendinginan (cooling) dan penguapan (evaporation) menyebabkan densitas massa air ini tinggi sehingga tenggelam ke lapisan yang dalam membentuk North Atlantic Deep Water (NADW) atau Air Dalam Atlantik Utara (ADAU) yang mengalir ke Samudera Atlantik Selatan pada kedalaman 3000 – 4000 m. Sampai di ujung selatan Samudera Atlantik Selatan, aliran massa air berbelok ke arah timur bergabung dengan Arus Antartika.

Massa air ini terus bergerak memasuki ujung selatan Samudera India kemudian ke timur memasuki ujung selatan Samudera Pasifik selatan. Di ujung bagian selatan Samudera India sebagian aliran berbelok ke utara sampai sekitar katulistiwa dan naik ke permukaan. Demikian pula dengan aliran yang sampai ke ujung selatan Samudera Pasifik Selatan juga berbelok ke utara masuk ke Samudera Pasifik, melewati katulistiwa dan naik ke permukaan (Broecker 1997; Gordon 1987).

Sirkulasi massa air ini disebut sirkulasi massa air dalam, sedangkan sistem peredaran massa air permukaan dimulai ketika kekosongan yang disebabkan oleh tenggelamnya massa air di Samudera Atlantik bagian utara diisi oleh massa air yang berasal dari Samudera India bagian selatan. Selanjutnya kekosongan massa air di lapisan atas Samudera India akan menyebabkan massa air Samudera Pasifik mengalir ke Samudera India melalui perairan Indonesia bagian timur yang dikenal dengan Arus Lintas Indonesia (Indonesian Seas Throughflow).

Arlindo dianggap sebagai “bocoran” dari massa air di bagian barat Pasifik tropis menuju ke bagian tenggara Samudera India Tropis melalui perairan Indonesia.


(24)

Gambar 2 Edaran raya massa air (the great conveyor belt). Sumber : W. Broecker 1997

Arlindo merupakan suatu lintasan penting dalam mentransfer signal iklim dan anomalinya di seluruh samudera dunia. Sementara bahang dan massa air dengan salinitas rendah yang dibawa oleh Arlindo diketahui mempengaruhi perimbangan kedua parameter pada basin di kedua samudera (Sprintall et al. 2004).

Analisis Cane and Molnar (2001) tentang perubahan sirkulasi permukaan laut yang mana mereka percaya bahwa suatu gerbang samudera berada di perairan Indonesia yang sempit telah terjadi lebih dari 5 juta tahun yang lalu. Gerbang inilah yang bekerja sebagai “katup” terhadap aliran massa air dari Samudera Pasifik menuju Samudera India. Meskipun Plate tektonik di wilayah perairan Indonesia begitu rumit tapi Cane and Molnar menunjukkan bahwa lintasan ini mengatur massa air yang mengalir dari Pasifik ke India 5 juta tahun yang lalu adalah lebih lebar dan lebih dalam serta berada lebih ke selatan dibandingkan dengan keberadaannya sekarang.

Pengetahuan tentang sirkulasi lautan di perairan Indonesia telah m engalami peningkatan selama beberapa dekade terakhir. Pengetahuan tentang Arus Lintas Indonesia tidak hanya krusial dalam keseimbangan bahang dan nilai salinitas di


(25)

Samudera India tetapi juga memainkan satu peranan penting dalam sirkulasi global dari massa air di lapisan termoklin. Hal ini menarik perhatian para peneliti untuk melakukan penelitian yang berkesinambungan (Godfrey and Golding 1981; Piola and Gordon 1985; Gordon 1986; Broecker 1991).

Gambar 3 Lintasan Arus Lintas Indonesia (Arlindo)

Sumber : Gordon 2001 dipublikasikan oleh Program INSTANT

Tanda panah tebal pada Gambar 3 memperlihatkan massa air yang berasal dari termoklin Pasifik Utara dan tanda panah putus-putus adalah massa air yang berasal dari termoklin Pasifik Selatan. Besarnya transpor dinyatakan dalam Sv (106m3s-1) diberikan dalam warna merah. Transpor sebesar 10,5 Sv yang dicetak miring adalah jumlah aliran yang melalui Kepulauan Sunda Kecil. ME adalah

Mindanao Eddy sedangkan HE adalah Halmahera Eddy. Superskrip pada Gambar menunjukkan : 1. Transpor di Selat Makassar tahun 1997 (Gordon et al. 1999); 2. Selat Lombok (Murray and Arief 1988; Murray et al. 1989) dari Januari 1985 – Januari 1986; 3. Laut Timor (antara Timor dan Australia) diukur pada Maret 1992 – April 1993 (Molcard et al. 1996); 4. Laut Timor Oktober 1987 dan Maret 1988 (Cresswell et al. 1993); 5. Selat Ombai (bagian utara Timor dan Pulau Alor


(26)

Desember 1995 – Desember 1996 (Molcard et al. 2001); 6. Antara Pulau Jawa dan Australia dari tahun 1983 – 1989 data XBT (Meyers et al. 1995; Meyers 1996); 7. Lapisan 470 m dari Arus Katulistiwa Selatan di timur Samudera India Oktober 1997 (Quadfasel et al. 1996); 8. Rata-rata Arlindo Arus Katulistiwa Selatan yang ditentukan oleh WOCE WHP (Gordon et al. 1997). Tanda panah tipis menunjukkan aliran massa air yang melintasi Selat Lifamatola menuju Laut Banda yang diperkirakan sebesar 1 Sv (van Aken et al. 1988).

Perairan Indonesia merupakan satu lintasan yang mentransfer massa air yang hangat dan bersalinitas rendah dari Samudera Pasifik menuju Samudera India. Oleh karena itu perairan Indonesia memegang peranan penting secara integral dalam sirkulasi termohalin global dan fenomena iklim (Sprintall et al. 2001 dan Gordon 2001). Bahang dan massa air yang bersalinitas rendah yang dibawa oleh Arlindo berdampak terhadap perimbangan kedua parameter di kedua samudera (Bryden dan Imawaki 2001; Wijffels 2001; Wajsowicz dan Schneider 2001). Dalam perairan internal Indonesia, hasil observasi dan pemodelan mengindikasikan bvahwa sumber utama Arlindo adalah massa air termoklin Pasifik Utara yang mengalir melalui Selat Makassar (kedalaman sill 650 m). Selanjutnya kontribusi Arlindio dari massa air termoklin yang lebih dangkal dan massa air perairan dalam yang berasal dari Pasifik Selatan masuk ke perairan Indonesia melalui rute bagian timur yaitu Laut Maluku dan Laut Halmahera dengan massa air yang lebih tinggi densitasnya melintasi Selat Lifamatola (kedalaman sill 1940 m), Arlindo bergerak ke luar me nuju bagiahn timur Samudera India melalui selat sepanjang rangkaian pulau-pulau Sunda Kecil seperti Selat Ombai (kedalaman sill 350 m), Selat Lombok (300 m), Laut Timor (1890 m).

Kompleksitas geografi wilayah dengan selat-selat yang sempit, basin yang dalam menyebabkan lintasan Arlindo yang kompleks pula. Hal ini mengakibatkan massa air mengalami modifikasi oleh karena percampuran, upwelling dan fluks udara-laut sebelum bergerak ke luar menuju Samudera India. Arus Katulistiwa Utara, AKU (North Equatorial Current) membawa massa air asala Pasifik Utara sedangkan Arus Katulistiwa Selatan, AKS (South Equatorial Current) membawa


(27)

massa air asal Pasifik Selatan ke bagian barat Samudera Pasifik Tropika kemudian masuk ke perairan timur Indonesia (Gambar 3).

Pada Musson Barat Laut (musim barat) AKU yang berada kira-kira 9ºLU bergerak ke barat menuju Filipina, AKU bercabang dua menjadi Arus Mindanao (Mindanao Current), yakni arus yang bergerak sepanjang pantai timur Mindanao dan arus yang berbelok ke arah utara menjadi pemasok awal Arus Kuroshio.

Field and Gordon (1992); Gordon et al. (1994); Gordon and Fine (1995); Ilahude and Gordon (1996) menyebutkan bahwa terdapat dua kemungkinan jalur lintasan masuk Arlindo menuju perairan Indonesia, yakni mela lui jalur barat (utama) dan jalur timur (sekunder). Jalur utama Arlindo mulai dari sebelah selatan Mindanao bergerak ke Laut Sulawesi, kemudian ke Selat Makassar, masuk ke Laut Flores dan Laut Banda. Pintu masuk Arlindo lainnya adalah dari Laut Maluku dan Laut Halmahera. Arlindo pada kedua perairan ini kemudian memasuki Laut Seram dan masuk ke Laut Banda (Gambar 3).

Variabilitas Arus Lintas Indonesia (Indonesian Throughflow)

Pengetahuan tentang variabilitas antar musiman di wilayah sekitar perairan Indonesia adalah kompleks oleh karena beberapa alasan. Pertama, wilayah ini merupakan wilayah dimana Madden-Julian Oscilation (MJOs) memiliki signal angin permukaan yang terkuat. Kedua, Perairan Indonesia berada di wilayah ekuator dan gelombang panjang yang mengakibatkan sirkulasi lautan dimana angin sebagai penyebab gaya permukaan. Ketiga, kompleksitas geometri garis pantai di wilayah ini, ketika berinteraksi dengan aliran yang berubah secara musiman (Qiu et al. 1999)

Variabilitas Arlindo dapat dibedakan atas skala ruang maupun waktu yang pada akhirnya mempengaruhi estimasi terhadap laju transpor maupun fluks bahang dan massa air besalinitas rendah. Puncak transpor maksimum Arlindo di gerbang masuk dan keluar diperkirakan terjadi pada waktu yang berbeda sehingga diduga terjadi penyimpanan masa air di perairan Indonesia (Ffield and Gordon 1992). Di samping itu jalur lintasan Arlindo mempunyai konfigurasi geografi yang kompleks dengan kombinasi dasar perairan yang dangkal dan dalam serta


(28)

kuatnya arus pasang surut pada berbagai kanal sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan karakter massa air akibat percampuran.

Perairan Indonesia tak dapat dipisahkan dari pengaruh dinamika regional di Samudera Pasifik dan Samudera India. Akibat dari pengaruh ini aliran Arlindo mengalami variasi mulai dari periode musiman, antar musiman sampai antar tahunan. Fenomena Iklim seperti ENSO (El-Nino Southern Oscillation) yang terjadi di barat Pasifik juga memegang peranan penting dalam variabilitas Arlindo. Sementara itu di Samudera India berasosiasi dengan sistem muson dan fenomena Dipole Mode (Saji et al. 1999).

Variabilitas musiman maupun tahunan diakibatkan oleh arah angin yang berubah mengikuti sistem muson Australia-Asia (Australasia). Transpor maksimum pada berbagai lokasi seperti Selat Makassar, Selat Lombok, Selat Ombai, Laut Sawu dan dari Laut Banda ke Samudera India terjadi pada saat bertiupnya angin muson tenggara antara Juli – September dan minimum saat muson barat laut antara November – Februari ( Meyers et al. 1995; Gordon et al. 1999; Molcard et al. 2000; Hautala et al. 2001).

Selanjutnya Susanto et al. 2000 juga menyebutkan bahwa dari data paras laut dan mooring memperlihatkan variabilitas intraseasonal (30 – 60 hari) yang kemungkinan merupakan respon gelombang Kelvin dari Samudera India yang masuk perairan Selat Makassar melalaui Selat Lombok dan Gelombang Rossby dari Samudera Pasifik. Mereka juga mengungkapkan bahwa karakteristik intra-seasonal ditandai dengan periode 48 – 62 hari yang berhubungan dengan Gelombang Rossby dari Samudera Pasifik yang merambat melalui Laut Sulawesi. Berikut periode 67 – 100 hari yang merupakan karakter Gelombang Kelvin terlihat di Bali (Selat Lombok). Meskipun demikian karakter tersebut tidak terlihat di Tarakan, hal ini menandakan bahwa gelombang- gelombang tersebut mengalami pelemahan setelah melewati Selat Makassar.

Penelitian terakhir yang dilakukan oleh Purba dan Atmadipoera (2005) menemukan bahwa geostropik permukaan yang diperkirakan dari anomaly tinggi permukaan laut sangat berfluktuasi dan tidak menggambarkan aliran Arlindo yang mana menurut pengamatan umumnya ke selatan dan terfokus pada lapisan termoklin. Akan tetapi seperti halnya karakter Arlindo, arus permukaan ini


(29)

menguat ke selatan pada bulan Juni - Agustus dan aliran cenderung ke utara pada bulan Desember - Maret.

Transpor Arlindo

Transpor massa air dari Samudera Pasifik menuju Samudera India melalui perairan Indonesia memiliki ketergantungan yang kuat terhadap fase ENSO. Selama fase El-Nino transport Arlindo mengalami pelemahan, bahang dan massa air dengan salinitas yang rendah jauh lebih sedikit ditransfer ke Samudera India (Gordon 2001)

Beberapa studi sebelumnya telah menunjukkan bahwa aliran transpor Arlindo bervariasi mulai dari 1,7 – 18,6 Sv (Gordon 1986 dan Godfrey 1996). (Aung 1998; Cresswell 1998) melakukan pengukuran secara langsung di Selat Makassar pada lapisan di bawah permukaan di bagian utara pada tahun 1993 dan di bagian selatan 1997 (Gordon et al. 1999) telah menghasilkan transpor ke arah selatan sebesar 11 Sv dan 9,3 Sv. Estimasi ini menghasilkan variasi yang cukup signifikan. Hal ini disebabkan karena distribusi data yang tidak memadai serta kurangnya pengukuran langsung serta besarnya variasi musiman sampai antar tahunan yang kemungkinan menimbulkan bias yang besar jika waktu survey tidak cukup lama.

Estimasi transpor terbaru agak berbeda dengan estimasi sebelumnya. Transpor tahun 1997 diestimasi oleh Susanto dan Gordon (2003) dengan menggunakan model dengan profil sederhana untuk memperkirakan transpor lapisan permukaan adalah 9,3 Sv. Mode normal berdasarkan pengujian Wajsowicz

et al. (2003) untuk tahun 1997 adalah 6,4 Sv dengan batas permukaan dan yang paling rendah 16,0 dan 4,7 Sv. Hal ini disebabkan karena pendekatan yang digunakan oleh keduanya berbeda. Susanto dan Gordon (2003) melakukanya dengan menggunakan tiga pendekatan profil (Profil A, B dan C) secara vertikal yang berbeda-beda untuk setiap musim.

Lebih lanjut Burnet et al. (2003) melalui analisis momentum dan keseimbangan energi menunjukkan bahwa transpor total Arus Lintas Indonesia tidak tergantung secara eksklusif terhadap perbedaan tekanan inter-ocean yaitu beda tekanan muka laut antara Pasifik dan India tetapi lebih oleh faktor-faktor lain termasuk angin lokal (muson), gesekan dasar dan resultante dari gaya-gaya


(30)

tekanan yang bekerja pada sisi internal seperti geometri perairan yang menimbulkan aksi pasang surut yang membawa pengaruh yang signifikan terhadap variabilitas dan karakteristik arah arus .

Gambar 4 Arah transpor Arlindo di Selat Makassar tiap lapisan kedalaman (1997 – 1998) (tanda + menunjukkan arah aliran ke utara sedangakan tanda – menunjukkan arah aliran ke selatan

(Sumber : Gordon and Susanto 2003)

Sebagaimana dikemukakan oleh Susanto dan Gordon (2003) bahwa terdapat aliran Arlindo ke utara di bawah lapisan 250 meter pada September 1997 – pertengahan Februari 1998 selama puncak El-Nino, sedangkan aliran ke utara pada lapisan 200 m diduga karena sinyal tibanya Gelombang Kelvin dari Samudera India. (Gambar 4).

Dinamika Lapisan Te rmoklin di Selat Makassar

Pengukuran Arlindo di Selat Makassar menunjukkan profil transpor yang kompleks yang merupakan implikasi dari fluks termohalin interocean dan budget massa air hangat di barat Pasifik tropis yang sangat kuat dan persisten terjadi di lapisan termoklin bukan di lapisan permukaan yang hangat (Gordon and Susanto, 1999; Gordon et al. 1999a)

Ffield et al. 2000 mengungkapkan bahwa melalui data XBT selama 15 tahun adanya korelasi yang besar antara ENSO dan lapisa termoklin terutama pada lapisan 100 m sebesar 0,77. Korelasi ini agak rendah untuk lapisan 150 m dan 400 m yaitu sebesar 0,59.


(31)

Pada saat El-Nino muka laut turun dan termoklin menaik di wilayah Flores – Makassar hingga bagian barat Laut Banda. Selama El-Nino 1987 isoterm 20° di Selat Makassar lebih dangkal 20 meter dibandingkan dengan rata-rata kedalaman lapisan termoklin pada kondisi normal. Meyers (1997) juga menemukan isotherm 20°C berada lebih dangkal selama El-Nino di wilayahkeluar Arlindo antara barat laut Australia dan Jawa.

Lebih lanjut transpor Arlindo di Selat Makassar berhubungan dengan lapisan termoklin dimana jika transpor melemah lapisan termoklin dangkal selama fase El- Nino (Bray et al. 1996; Meyers, 1996; Ffield et al. 2000). Ffield et al. (2000) juga menyebutkan bahwa korelasi antara lapisan termoklin dan laju transpor ke arah selatan di Selat Makassar dengan r = 0,67.

Respon Arlindo Terhadap ENSO

Studi Model dan Observasi menunjukkan bahwa transport Arlindo dipengaruhi oleh ENSO. Transpor lebih besar selama kondisi La-Nina dan melemah pada saat terjadi El-Nino (Kindle et al. 1989; Bray et al. 1996; Fieux et al. 1996; Gordon and Fine, 1996; Meyers, 1996; Potemra et al. 1997).

Selanjutnya Gordon and McClean (1999) menemukan rata-rata tahunan 12 Sv selama La-Nina dan rata-rata sebesar 4 Sv selama El-Nino. Observasi dengan menggunakan mooring di Selat Makassar menemukan korelasi yang kuat antara kuatnya laju transport dan ENSO 1997/1998 dengan nilai korelasi sebesar 0,73. Selama bulan-bulan El-Nino Desember 1997 – Februari 1998 rata-rata transport sebesar 5,1 Sv sementara selama bulan-bulan La-Nina Desember 1996 – Februari 1997 nilai rata-ratanya adalah 12,5 Sv.

Banyak perbedaan laju transpor Arlindo karena efek ENSO dimana pada fase ENSO laju transport mengalami pelemahan sebaliknya pada fase La-Nina transpor mengalami penguatan. Pada kondisi normal transpor mengalami penguatan pada musim timur yaitu pada bulan Juni – Agustus, sebaliknya transpor mengalami pelemahan pada musim barat yaitu pada bulan Desember – Februari. (Gordon et al. 1999a) selain itu juga transpor Arlindo dipengaruhi oleh event intraseasonal seperti Gelombang Kelvin dari Samudera India dan Gelombang Rossby dari Samudera Pasifik (Sprintall et al. 2000; Susanto et al. 2000).


(32)

Ffield et al. (2000) mengungkapkan transpor energi internal selama bulan-bulan La-Nina yaitu pada Desember 1996 sampai Februari 1997 terhitung sebesar 0,63 PW (1 PW = 1 x 1015 W) dan 0,39 PW selama bulan-bulan El-Nino Desember 1997 – Februari 1998.

Dari berbagai hasil penelitian di atas menunjukkan betapa besarnya pengaruh ENSO dan La-Nina baik terhadap transpor massa air maupun energi yang diangkut oleh Arlindo dari Pasifik menuju Samudera India melalui Perairan Indonesia.


(33)

Lokasi dan Waktu Penelitian

Data arus diperoleh dari Mooring Aanderaa yang merupakan bagian dari Program Arlindo Indonesia-USA pada dua lokasi di Selat Makassar masing-masing pada posisi 2° 51,7’ LS;118° 27,5’ BB (Stasiun 1) dan 2° 51,2’ LS;118° 37,7’BB (Stasiun 2). Lokasi Mooring tersebut disajikan dalam Gambar 5 (a), data tersebut diperoleh dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Jakarta. Selain itu juga digunakan data Southern Oscillation Index (SOI) dari 1992 - 1999 yang diperoleh dari Bureau of Meteorology Australia (http://www.bom.gov.au 2005).

Data CTD (Conductivity Temperature and Depth) yang digunakan dalam penelitian ini adalah hasil survei Arlindo Mixing 1993/1994, Arlindo Circulation 1996/1998 yang diperoleh dari website Lamont-Doherty Earth Observatory

(LDEO) Columbia University, USA (www.ldeo.edu.id). Posisi lokasi pengambilan data CTD disajikan dalam Gambar 5 (b) dan Gambar 6 peta lokasi penelitian.

Metode Pengkuran Pengukuran Arus

Data arus yang digunakan adalah hasil pengukuran mooring Aanderaa dengan sistem akustik yang ditambat selama 14 bulan. Andera itu sendiri mencatat besar dan arah arus pada kedalaman tertentu (200 m, 250 m, 350 m, 750 m, dan 1500 m) dengan interval perekaman setiap 20 menit.

Prinsip kerja sensor Aanderaa ini berdasarkan Shift Doppler tentang perambatan suara. Kerja alat ini bergantung kepada adanya partikel-partikel atau benda-benda renik dalam air yang bersifat menghamburkan suara. Suatu alat pengirim bunyi (transducer) mengirimkan satu berkas suara yang sempit dan berfrekuensi tinggi yang hamburannya akan diterima oleh pesawat penerima. Pesawat penerima ini dipasang sedemikian rupa sehingga hanya bisa mengawasi sebagian kecil saja dari volume air di tempat bunyi itu merambat. Berkas bunyi itu akan mengenai partikel-partikel padat yang mengambang dan bergerak bersama


(34)

geraknya arus. Berkas bunyi yang dihamburkan oleh partikel yang sedang bergerak akan me ngalami perubahan frekuensi, sesuai azas Doppler yakni perubahan frekuensi sebuah sinyal suara yang diterima dari obyek-obyek yang bergerak dimana frekuensi akan bertambah jika mendekati objek dan berkurang jika bergerak menjauhinya. Besarnya frekuensi tersebut akan sebanding dengan kecepatan gerak partikel, yang berarti sesuai pula dengan kecepatan arus yang diamati (http://nemoweb.ins.infn.it/sites/site 2002). Besaranya perubahan itu dikalibrasi menjadi ukuran besarnya arus oleh sensor Aanderaa.

(a) (b)

Gambar 5 (a) Peta Lokasi Mooring Andera 1996 – 1998 (data dikumpulkan dalam Program Arlindo Indonesia – Amerika Serikat (USA)). (b) Peta Lokasi CTD Tahun 1993, 1994 (data dikumpulkan dalam

Proyek Arlindo Mixing), 1996, 1998 (data dikumpulkan dalam Proyek Arlindo Circulation). (Transek 1, 2, 3 digunakan dalam analisis arus geostropik.


(35)

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 6 Peta lokasi transek CTD yang digunakan untuk analisa lapisan termoklin (a) Agustus 1993 (b) Februari 1994 (c) November 1996 (d) Februari 1998


(36)

Pengukuran CTD

Pengukuran suhu, salinitas dengan menggunakan alat CTD (Conductivty,

Temperature, Depth) SBE 37-SM MicroCAT (spesifikasi alat, lampiran 2) merupakan instrumen yang terdiri dari beberapa sensor untuk mengukur kondiktivitas, suhu dan tekanan air.

Instrumen CTD menggunakan sel-sel elektroda sebagai sensor untuk mengukur konduktivitas, temperatur dan tekanan perairan. Sel-sel elektroda ini merupakan material nonkristal homogen yang disebut pyrex cell yang berbentuk tabung kaca yang dilapisi platina pada permukaan elektrodanya. Air laut yang mengalir akan melewati sel-sel elektroda ini dan sensor akan mengukur suhu, konduktivitas dan tekanan air dari permukaan sampai kedalaman tertentu.

Pengolahan dan Analisis Data

1. Analisa Deret Waktu (Time Series Analysis)

Data arus yang direkam dengan interval waktu 20 menit kemudian dirata-ratakan perjam guna pengurangan jumlah data yang besar. Untuk mengamati variabilitas Arlindo di Selat Makassar pada dua stasiun mooring yang terletak di Labbani Channel (memotong lintasan Arlindo) maka data deret waktu tersebut dilakukan analisis deret waktu (spektrum energi) guna ditelaah periodesitas dari fluktuasi arus pada kedua stasiun tersebut. Untuk itu dilakukan penapisan (filter) 50 jam dengan menggunakan Fast Fourier Transform (FFT) guna menghilangkan fluktuasi frekwensi tinggi. Penapisan ini menggunakan perangkat lunak Matlab 6.0.

Data yang diperoleh setelah mangalami penapisan (pemfilteran) terhadap data awal pada sembarang positif t dari xt-n sampai xt+m diberikan oleh (Bendat

and Piersol 1971) :

) 1 ...( ...

... 1 t 1 0 t 1 t 1 m t m n t n m k n k k t k

t w x w x w x w x w x w x

Y + +

+ = − = + + + + + + + = =

k = -n, -n + 1,...-1,0,1...m-1,m

dimana : n dan m adalah jumlah cakupan masing- masing ke sebelah kiri dan kanan dari xt sedangkan wk adalah fungsi pembobotan. Dalam penelitian ini


(37)

pertimbangan hasil lebih halus (smooth) dibandingkan dengan fungsi pembobotan lainnya. Bentuk dan fungsi pembobotan Lanczos adalah (Hamming dalam

Topogulf Group 1986) :

) 2 ...( ... ... ... ... ... ... / ) 1 ( / ) 1 ( sin( ) 1 ( ) ) 1 ( 2 sin( w w c k N i N i x i f i W − − − − = π π π π

Dimana fc adalah pemotongan frekuensi penapisan yaitu 50 jam dan N adalah

freuensi Nyquist guna menghilangkan fluktuasi atau signal dengan periode sampai 50 jam yang merupakan komponen harmonik pasang surut. Analisa ini dilakukan dengan menggunakan software Matlab 6.0.

Selanjutnya data hasil penapisan ditentukan densitas spektrum energi untuk menelaah energi dari fluktuasi arus yang signifikan. Dengan menggunakan Metode Fast Fourier Transform (FFT), komponen Fourier (X(fk)) dari deret

waktu xt yang dicatat pada selang waktu h (1 jam) diberikan oleh Bendat dan

Piersol (1971) :

) 3 ...( ... ... ... ... ... ... 2 exp ) ( 1 0    − =

− = N kt i x h f X N t t k π

Dimana t = 0,1,2,...N – 1

h = selang perekaman data (1 jam), N adalah jumlah pengamatan. Nilai densitas energi spektrum (Sx) dihitung sebagai berikut :

2

) ( 2

k

x X f

N h

S = ...(4) Analisis Spektrum Energi ini menggunakan Software Statistica 6.

2. Pembuatan Grafik Vektor atau Stickplot Arah dan Kecepatan Arus

Pembuatan grafik vektor ini dimaksudkan agar mempermudah penggambaran dan pembacaan arah dan kecepatan arus sehingga secara visual terlihat fluktuasi yang terjadi. Pembuatan grafik vektor ini dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Visual Basic versi 6.0. Grafik stickplot ditampilkan tiap bulan untuk setiap lapisan kedalaman.


(38)

3. Perhitungan Volume Transpor Nyata

Volume transport massa air yang melewati Selat Makassar dihitung dengan menggunakan asumsi bahwa Selat Makassar merupakan suatu kanal sehingga untuk menghitung besarnya debit massa air yang melewati dengan

menggunakan Q =

=

=

9

1

) . ( l i

l i

A

v dimana Q adalah debit massa air, v adalah kecepatan arus dan A adalah luas penampang pada tiap lapisan kedalaman dimana Andera ditempatkan. l1l9 menyatakan luas permukaan dimana Aanderaa 1 – 9

ditempatkan.

Sebelum perhitungan di atas dilakukan terlebih dahulu data mooring dirata-ratakan per bulan untuk setiap lapisan, sedangkan luas penampang dihitung dari setiap lapisan dimana Andera diletakkan. Asumsi yang digunakan dalam perhitungan ini adalah kecepatan perkiraan dari alat yang paling bawah ke dasar linier hingga 0 dan alat paling atas ke permukaan kecepatan linier hingga 0 (Gordon 1999).

Gambar 7 Sketsa mooring dan posisi kedalamannya pada kedua stasiun dimana Aanderaa di tempatkan di Selat Makassar


(39)

Setiap blok warna pada Gambar 7 menyatakan kecepatan yang seragam di setiap kedalaman. Kecepatan di tiap kedalaman tersebut mengacu kepada data

mooring. Untuk data kecepatan pada kedalaman yang tidak mempunyai data pengukuran, kecepatan dapat diperoleh dengan menarik garis linier dari data kecepatan yang sudah ada. V1 – V5 menunjukkan kecepatan acuan di tiap

kedalaman berdasarkan data mooring yang diperoleh. Kotak putih adalah tempat pengukuran data kecepatan pada setiap stasiun mooring. Garis merah adalah Sketsa asumsi yang digunakan dalam perhitungan dimana kecepatan perkiraan dari alat yang paling bawah ke dasar linier hingga 0 dan alat ke permukaan kecepatan linier hingga 0. Garis hitam adalah bentuk saluran dimana mooring

Aanderaa ditempatkan.

5.Perhitungan Arus Geostropik

Dalam menelaah sirkulasi massa air yang diakibatkan oleh arus geostropik, maka dibuat sebaran medan tekanan massa air yang dinyatakan dengan menghitung sigma-t, anomali spesifik volume dan sebaran melintang anomali kedalaman dinamik. Dari hasil analisis ini selanjutnya dibuat topografi dinamik pada kedalaman 0 dbar, 25 dbar, 50 dbar, 75 dbar, 100 dbar, 200 dbar dan 300 dbar semuanya relatif terhadap permukaan 400 dbar.

Perhitungan sigma-t, spesifik volume, anomali kedalaman dinamik berdasarkan metode yang dikembangkan oleh (Neumann dan Pierson 1966) Perhitungan sigma-t diperoleh dengan terlebih dahulu menghitung nilai sigma-0 dengan rumus berikut :

j j

jS

B

=

= 3

0 0

σ ...(1) dimana :

B0 = -0,09344586324 B1 = 0,814876576925 B2 = -4,824961403E-4 B3 = 6,767861356E-6 S = Salinitas (psu)


(40)

Dari nilai σ0 tersebut nilai σt dapat dihitung sebagai berikut : j i j i ij i i i

t A t

A t t a ) ( 0 3 0 2 1 0 4 0 σ

σ

∑∑

= =

= +

+

= ...(2) dimana :

t = Temperatur (°C) A10 = 1,0

A0 = 67,26 A11 = -4,7867E-3

a1 = 4,53168426 A12 = 9,8185E-5

a2 = -0,545939111 A13 = -1,0843E-6

a3 = -1,9824839871E-3 A20 = 0

a4 = -1,43803061E-7 A21 = 1,8030E-5

A22 = -8,164E-7 A23 = 1,667E-8

Kedalaman dinamik ditetapkan berdasarkan D = D35,0,p + ?D. D35,0,p

adalah kedalaman dinamik dari permukaan isobar dengan tekanan p yang diukur berdasarkan standar air laut dengan salinitas 35 ‰ pada suhu 0°C.

) 2 ...( ... ... ... ... ... ... ... ... 0 , 0 , 35 , 0 , 35 dp D p p p p = α

Nilai spesifik volume air laut standard (α35,0,p) didasarkan pada rumus

empiris Fofonoff dan Tabata (1962). Setelah didapat nilai anomali kedalaman dinamik (? D) berdasarkan persamaan :

?D =

(

)

( )

2 1

1

+ +

+

i i

i i p p δ δ ...(3)

dimana ; D0 = 0 ; i = lapisan kedalaman ke- i, dan ? D =

p p dp 0 . δ

Dari hasil perhitungan anomali kedalaman dinamik (?D), dibuat grafik sebaran melintang anomali kedalaman dinamik yang menggambarkan garis-garis pada permukaan isobar di bawah permukaan laut yang memiliki nilai kedalaman dinamik sama. Berdasarkan gambar tersebut dapat diketahui pergerakan massa air berupa arus geostropik antara dua stasiun yang berdekatan. Sebelum mengkonversi anomali kedalaman dinamik menjadi topografi dinamik ditetapkan dulu level of no motion atau reference level, suatu kedalaman dimana tidak gerak (arus) antara dua stasiun tersebut. Dalam analisis ini kedalaman level of no motion


(41)

adalah 400 m untuk transek 1 bulan Agustus 1993 dan transek 1 bulan Februari 1994. Sedangkan data pada transek 2 bulan Agustus 1993 dan transek 2 bulan Februari 1994 kedalaman level of no motion ditetapkan 2000 m sesuai dengan kedalaman minimum transek tersebut. Arah arus geostropik ditetapkan dengan melihat gambar sebaran melintang anomali kedalaman dinamik pada setiap transek, karena adanya perbedaan tekanan yang dinyatakan dalam kedalaman dinamik.

6. Perhitungan Lapisan Termoklin

Data CTD bulan Agustus 1993, Desember 1994, 1996 dan 1998 (stasiun CTD lihat Gambar 6) dibuat transek sejajar aliran dari utara ke selatan. Masing-masing data dimasukkan dalam program Excel dan dihitung gradien suhu per meter. Menurut Ross (1970) bahwa lapisan termoklin adalah lapisan dimana gradien suhu lebih dari 0,1°C/m. Dari data ini pula dicari Batas Atas Lapisan Termoklin dan Batas Bawah Lapisan Termoklin dan selanjutnya didapatkan ketebalan lapisan termoklin. Data tersebut kemudian dirata-ratakan lagi pada setiap titik CTD untuk setiap musim sehingga dapat ditemukan Batas Atas, Batas Bawah, dan Ketebalan Lapisan Termoklin pada setiap periode musim. Selanjutnya dicari standar deviasi setiap data untuk melihat heterogenitas data setiap musim.


(42)

Pola Arus Tiap Lapisan Kedalaman di Selat Makassar

Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 1

Pada bulan Desember 1996 – Februari 1997 yang merupakan puncak musim barat arah arus pada tiap lapisan kedalaman tidak memperlihatkan suatu perbedaan yang signifikan setiap bulan. Sepanjang musim aliran cenderung mengalir ke arah tenggara dan selatan sebagaimana disajikan dalam grafik

stickplot pada Gambar 8. Kecepatan arus melemah sejalan dengan bertambahnya kedalaman. Kecepatan maksimum 48,60 cm/det pada lapisan kedalaman 205 m dan minimum 1,20 cm/det pada kedalaman 755 m. Kecepatan rata-rata arus pada musim ini sebesar 27,23 cm/det.

Pada bulan Maret – Mei 1997 yang merupakan masa peralihan pertama menuju musim timur, pola arus masih belum mengalami perubahan yang signifikan. Pola arus pada musim ini dapat dilihat pada grafik stickplot

sebagaimana disajikan pada lampiran 4. Kecepatan maksimum 43,08 cm/det pada lapisan kedalaman 255 m dan minimum 29,37 cm/det pada lapisan kedalaman 355 m. Kecepatan rata-rata 31,19 cm/det. Data pada musim peralihan 1 mengalami kekosongan pada kedalaman 750 m. Penyimpangan arah arus terjadi ke arah barat daya dan utara dari arah arus umumnya sepanjang musim. Penyimpangan ini terjadi dengan kecepatan yang cukup lemah. Kecepatan arus rata-rata pada musim peralihan pertama ini mencapai 23,50 cm/det.

Selanjutnya pada bulan Juni – Agustus 1997 yang merupakan puncak musim timur kecepatan arus maksimum cukup tinggi yaitu 47,63 cm/det ke arah tenggara dan selatan pada lapisan kedalaman 205 m. Kecepatan minimum sebesar 10,55 cm/det pada lapisan kedalaman 750 m dengan kecepatan rata-rata sebesar 33,59 cm/det. Arah arus mengalami penyimpangan ke arah barat daya dan utara pada kedalaman 350 meter terutama pada bulan Juni. Gambaran fenomena ini disajikan dalam Gambar 9.

Memasuki musim peralihan kedua yaitu bulan September – November 1997 arah arus mulai bergerak tidak menentu terutama pada lapisan di bawah 255 meter dan kecepatan arus cenderung mengecil dibandingkan periode musim


(43)

sebelumnya. Pada lapisan kedalaman 350 m dan 750 m memperlihatkan arah arus yang cenderung bergerak ke arah barat laut dan utara sebagaimana disajikan dalam Gambar pada Lampiran 4. Kecepatan maksimum mencapai 42,23 cm/det pada lapisan kedalaman 205 m. Kecepatan minimum sebesar 2,85 cm/det dengan kecepatan rata-rata sebesar 22,69 cm/det.

Desember 1996

Januari 1997

Februari 1997

Gambar 8 Grafik stickplot arah dan kecepatan arus pada Bulan Desember 1996 – Februari 1997 (Musim Barat, Fase La-Nina) di lapisan kedalaman 350 meter (stasiun 1)

Lebih lanjut pada puncak musim barat berikutnya yaitu pada Desember 1997, Januari 1998 dan Februari 1998 sebagaimana disajikan dalam Gambar 10 memperlihatkan kecepatan arus terlemah dari periode-periode sebelumnya. Kecepatan arus maksimum hanya mencapai 40,94 cm/det pada kedalaman 205 m dan minimum 9,50 cm/det pada kedalaman 755 m. Kecepatan arus rata-rata pada periode musim ini adalah sebesar 20,31 cm/det. Grafik stickplot arus pada stasiun 1 sebagaimana disajikan dalam Gambar 8, 9 dan 10 memperlihatkan kecepatan arus tertinggi terdapat pada musim timur yaitu sebesar 33,59 cm/det (Juni 1997 – Agustus 1997). Namun demikian terdapat keunikan pada musim barat (Desember 1996 – Februari 1997, Gambar 8) dengan kecepatan arus rata-rata yang sangat


(44)

tinggi jika dibandingkan dengan musim barat (Desember 1997 – Februari 1998). Peristiwa ini diduga karena pada musim tersebut adalah fase La-Nina sebagaimana diperlihatkan pada nilai Southern Oscillation Index (SOI) yang disajikan dalam Gambar 11.

Juni 1997

Juli 1997

Agustus 1997

Gambar 9 Grafik stickplot arah dan kecepatan arus pada Bulan Juni 1997 – Agustus 1997 (Musim Timur) di lapisan kedalaman 350 meter (stasiun 1)

Nilai indeks pada Desember 1996 sampai Februari 1997 adalah positif yang berarti masa terjadinya La-Nina. Index ini mengindikasikan kekuatan angin pasat dimana jika nilai indeks tinggi, gradien tekanan antara timur dan barat pasifik tropis juga tinggi (Stewart 2003). Hal ini mengakibatkan angin pasat yang kuat sehingga mendorong massa air menumpuk di barat pasifik tropis dan menaikkan paras laut di wilayah tersebut. Akibatnya terbentuk kemiringan yang curam mengarah ke pantai selatan Jawa dan Sumbawa. Fenomena inilah yang mengakibatkan aliran arus yang kuat menuju ke selatan. Gordon et al. (1999) juga menyebutkan bahwa transpor Arlindo menguat pada fase La-Nina.


(45)

Desember 1997

Januari 1998

Februari 1998

Gambar 10 Grafik stickplot arah dan kecepatan arus pada Bulan Desember 1997 – Februari 1998 (Musim Barat, fase El-Nino) di lapisan kedalaman 350 meter (stasiun 1)

Gambar 11 Indeks Osilasi Selatan (Southern Oscillation Index) tahun 1991 - 1999

Terdapat pola pergantian arah arus dalam periode mingguan (7 - 15 hari). Fenomena ini terjadi terutama pada lapisan kedalaman 1500 meter sebagaimana disajikan dalam Gambar 12, 13 dan 14. Hal ini diduga oleh karena gerakan kompensasi yang mengimbangi kontinuitas aliran kuat yang terjadi pada kanal yang sempit (recirculate). Selain itu juga fenomena ini diduga merupakan signal komponen pasut periode panjang Mm dan Mf yaitu lebih dari seminggu hingga 30 hari. Sebagaimana Lisitzin (1974) menyebutkan bahwa perairan yang posisinya berada pada 0 -10° S komponen Mm dan Mf memberikan kontribusi yang relatif besar yaitu masing- masing sekitar 22,31% dan 41,11%. Kondisi ini menunjukkan


(46)

bahwa pengaruh komponen pasut periode panjang terhadap dinamika laut seperti perairan Indonesia cukup besar.

Desember 1996

Januari 1997

Februari 1997

Gambar 12 Grafik stickplot arah dan kecepatan arus di lapisan kedalaman 1500 meter Bulan Desember 1996 – Februari 1997 yang menunjukkan arah arus mengalami penyimpangan (reversal) yang diduga karena gerakan kompensasi terhadap kontinuitas pada kanal yang sempit

Arah arus yang sesekali bergerak tak menentu arah hingga persisten ke arah utara dan barat laut juga terjadi terutama pada lapisan 350 meter sebagaimana disajikan dalam Gambar 13. Fenomena ini diduga kuat oleh karena propagasi Kelvin Wave dari Samudera India yang merambat masuk melalui Selat Lombok. Sprintall at al. (2000) menyebutkan bahwa signal Gelombang Kelvin ditemukan di Lintasan Arus Pantai Jawa (APJ) dan berbelok ke utara melalui Selat Lombok dan memasuki Selat Makassar.


(47)

Mei 1997

Juni 1997

Gambar 13 Grafik stickplot arah dan kecepatan arus di lapisan kedalaman 350 meter Bulan Mei dan Juni 1997 yang menunjukkan arah arus mengalami penyimpangan (reversal) yang diduga karena propagasi dari Gelombang Kelvin

Juni 1997

Juli 1997

Agustus 1997

Gambar 14 Grafik stickplot arah dan kecepatan arus di lapisan kedalaman 1500 meter Bulan Juni 1997 – Agustus 1997 yang menunjukkan arah arus mengalami penyimpangan (reversal) yang diduga karena gerakan kompensasi terhadap kontinuitas pada kanal yang sempit.


(48)

Desember 1997

Januari 1998

Februari 1998

Gambar 15 Grafik stickplot arah dan kecepatan arus di lapisan kedalaman 1500 meter Bulan Desember 1997 – Februari 1998 yang menunjukkan arah arus mengalami penyimpangan (reversal) yang diduga karena gerakan kompensasi terhadap kontinuitas pada kanal yang sempit.

Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 2

Seperti halnya lokasi mooring sebelumnya, mooring stasiun 2 memperlihatkan pola arus yang relatif sama (Gambar 16,17 dan 18). Pada bulan Desember 1996, Januari 1997 dan Februari 1997 (Gambar 16) yang merupakan awal pengamatan menampakkan kecepatan arus yang lebih tinggi dibandingkan dengan kecepatan arus pada stasiun 1. Kecepatan arus tertinggi mencapai 52,15 cm/det pada kedalaman 250 m dan kecepatan minimum 0,32 cm/det pada kedalaman 750 meter dengan kecepatan rata-rata sebesar 30,05 cm/det. Pada lapisan 1500 m arah arus berbalik 180° menuju ke arah barat laut dan utara dengan kecepatan yang sangat lemah.

Berikut pada bulan Maret, April dan Mei 1997 yang merupakan fase peralihan 1 menuju ke musim timur, kecepatan arus pada lapisan 200 m hingga 350 meter masih cukup tinggi. Grafik stickplot pada periode musim peralihan 1 dapat dilihat pada Lampiran 5. Kecepatan maksimum arus hingga mencapai 49,17


(49)

cm/det dengan arah yang konsisten ke selatan, tenggara dan barat daya. Kecepatan minimum hanya 2,68 cm/det pada lapisan kedalaman 1500 m dengan kecepatan rata-rata sebesar 28,38 cm/det. Mulai dari lapisan kedalaman 350 meter arah arus mulai berbalik ke utara dengan kecepatan yang melemah dibandingkan dengan pada lapisan 200 meter.

Periode puncak musim timur yaitu pada bulan Juni, Juli dan Agustus 1997 memperlihatkan arah arus yang unik. Pada minggu pertama bulan Mei dan Juni arah arus sesekali mengarah ke barat laut hingga ke utara pada kedalaman 350 meter (Gambar 17). Kecepatan arus maksimum pada musim ini mencapai 53,07 cm pada kedalaman 350 m dan minimum 0,63 cm/det pada kedalaman 1500 m. Kecepatan rata-rata arus pada musim ini adalah sebesar 29,85 cm/det.

Pada periode September, Oktober dan November 1997 yang merupakan fase peralihan 2 menuju musim barat kecepatan arus perlahan melemah dengan arah yang konsisten ke selatan dan tenggara. Kecepatan arus maksimum masih cukup tinggi hingga mencapai 45,14 cm/det pada kedalaman 250 m dan minimum adalah 4,42 cm/det pada kedalaman 1500 m. Kecepatan arus rata-rata lebih rendah dari periode musim timur yaitu hanya 20,57 cm/det.

Desember 1996

Januari 1997

Februari 1997

Gambar 16 Grafik stickplot arah dan kecepatan arus pada Bulan Desember 1996 – Februari 1997 (Musim Barat, fase La-Nina) di lapisan kedalaman 350 meter (stasiun 2)


(50)

Juni 1997

Juli 1997

Agustus 1997

Gambar 17 Grafik stickplot arah dan kecepatan arus pada Bulan Juni 1997 – Agustus1997 (Musim Timur) di lapisan kedalaman 350 meter (stasiun 2)

Desember 1997

Januari 1998

Februari 1998

Gambar 18 Grafik stickplot arah dan kecepatan arus pada Bulan Desember 1997 – Februari 1998 (Musim Timur) di lapisan kedalaman 350 meter (stasiun 2)

Pada musim barat berikutnya yaitu bulan Desember 1997 – Februari 1998 kecepatan arus melemah dengan nilai maksimum hanya mencapai 40,47 cm/det pada kedalaman 250 m. Gambaran kekuatan dan arah arus untuk periode musim


(1)

83197.40 1541.339 35468.11 6429.65 27606.81 1519.484 33496.48 5966.75 52315.08 1498.970 57287.44 5839.41 88186.18 1430.243 41399.61 5804.68

Tabel 3 Periodesitas Spektrum Energi Arus pada Lapisan Kedalaman 355 meter

Stasiun 1

Komponen u Komponen v

Period Density Period Density 9 1820.444 10233.15 9 1820.44 104580.6 8 2048.000 8392.19 2 8192.00 97669.8 101638.400 6592.87 5 3276.80 90583.4 5 3276.800 6506.05 4 4096.00 88028.1 6 2730.667 6095.45 8 2048.00 84091.4 7 2340.571 5273.48 3 5461.33 80562.4 25655.360 4911.26 1 16384.00 69805.7 4 4096.000 4771.36 101638.40 58013.4 17963.765 4587.77 6 2730.67 54788.8 161024.000 4497.71 18910.22 47896.4 24682.667 4282.51 7 2340.57 42087.8 151092.267 4281.68 0

N/A

40613.7 18910.222 3846.08 19862.32 35422.7 141170.286 3227.07 17963.76 33356.4 3 5461.333 3196.30 141170.29 30551.3 26630.154 3167.93 131260.31 26976.1 38431.158 3073.57 111489.45 26457.1 131260.308 2934.11 121365.33 24319.0 23712.348 2738.61 151092.27 23670.6 111489.455 2734.74 34481.88 21639.2 28585.143 2709.46 29564.97 21579.4 19862.316 2688.66 24682.67 20483.1 85192.753 2676.55 35468.11 20440.7 27606.815 2644.37 30546.13 19308.8 37442.811 2591.17 161024.00 18361.1 39420.103 2573.19 38431.16 17930.8 84195.048 2399.09 33496.48 16106.3 121365.333 2235.77 20819.20 15958.8 22744.727 2221.02 25655.36 15950.2 21780.190 2012.06 23712.35 15692.1 20819.200 1974.88 28585.14 14711.0


(2)

40409.600 1883.81 39420.10 14058.4 61268.590 1855.92 46356.17 13365.9 60273.067 1796.96 36455.11 12705.2 41399.610 1626.60 22744.73 12635.5

Lampiran 6 Tabel 4 Periodesitas Spektrum Energi Arus pada Lapisan

Kedalaman 205 meter

Stasiun 2

Komponen u Komponen v

Period Density Period Density 2 8192.00 20984.30 2 8192.00 52456.33 1 16384.00 19932.94 3 5461.33 52364.37 0

N/A

15059.05 4 4096.00 30359.44 3 5461.33 13313.43 9 1820.44 27889.28 20819.20 12145.40 30546.13 25381.99 21780.19 10277.95 1 16384.00 24379.95 101638.40 8224.02 8 2048.00 23042.06 141170.29 8032.27 29564.97 19187.35 151092.27 7929.50 5 3276.80 17295.66 4 4096.00 7642.58 101638.40 16683.43 9 1820.44 7094.20 31528.52 15161.03 19862.32 6594.33 23712.35 14216.02 8 2048.00 6222.81 22744.73 13759.79 5 3276.80 5543.22 141170.29 13164.28 42390.10 5520.50 18910.22 13038.11 111489.45 5435.16 26630.15 12429.08 66248.24 5157.95 21780.19 11685.11 7 2340.57 5139.98 151092.27 11489.15 41399.61 4788.11 25655.36 11173.93 34481.88 4779.85 20819.20 10911.62 22744.73 4534.85 19862.32 10695.71 6 2730.67 4490.09 24682.67 10383.30 161024.00 4232.89 7 2340.57 10059.89 131260.31 4155.88 0

N/A

9060.98 33496.48 4062.85 17963.76 8910.00 32512.00 3755.31 6 2730.67 8749.99 67244.54 3647.49 131260.31 8044.77 35468.11 3423.22 111489.45 7887.63 43381.02 3305.51 36455.11 7706.44 65252.06 3282.00 28585.14 7519.90


(3)

37442.81 2814.32 27606.81 6911.50 18910.22 2769.44 37442.81 6668.37 38431.16 2741.80 161024.00 6621.48 47348.60 2728.61 32512.00 6545.67

Tabel 5 Periodesitas Spektrum Energi Arus pada Lapisan Kedalaman 250 meter

Stasiun 2

Komponen u Komponen v

Period Density Period Density 2 8192.00 49888.05 2 8192.00 241182.0 1 16384.00 43414.29 3 5461.33 205797.4 3 5461.33 30525.25 1 16384.00 166307.8 0

N/A

30403.54 5 3276.80 150313.3 4 4096.00 16445.93 4 4096.00 149770.9 9 1820.44 15257.93 9 1820.44 141438.3 5 3276.80 14985.46 8 2048.00 129155.9 101638.40 14461.53 6 2730.67 124706.9 6 2730.67 11030.42 0

N/A

102743.5 8 2048.00 10640.20 7 2340.57 98643.7 111489.45 8752.63 101638.40 91696.1 7 2340.57 7500.50 21780.19 64348.7 21780.19 7400.29 111489.45 61408.1 20819.20 7143.92 121365.33 58393.9 27606.81 7127.51 18910.22 52679.6 17963.76 7024.51 22744.73 51012.8 28585.14 5042.05 131260.31 46498.9 18910.22 5013.53 141170.29 42698.2 161024.00 4749.54 20819.20 42264.3 22744.73 4604.99 19862.32 40632.2 121365.33 4457.46 151092.27 37745.9 19862.32 4127.92 17963.76 35174.3 26630.15 3994.16 23712.35 28913.4 151092.27 3263.86 161024.00 24962.0 23712.35 3138.51 36455.11 22040.0 24682.67 2773.41 41399.61 21407.5 55297.89 2760.01 35468.11 20298.6 56292.57 2537.64 42390.10 19269.7 141170.29 2465.15 30546.13 18977.2 34481.88 2437.46 24682.67 18836.9 32512.00 2420.16 31528.52 17008.5


(4)

131260.31 2376.11 40409.60 16674.1 33496.48 2303.79 29564.97 15541.8 46356.17 2243.38 25655.36 15392.8 29564.97 2211.25 37442.81 15165.1

Tabel 6 Periodesitas Spektrum Energi Arus pada Lapisan Kedalaman 350 meter

Stasiun 2

Komponen u Komponen v

Period Density Period Density 2 8192.00 98105.67 2 8192.00 878499.3 1 16384.00 86621.11 1 16384.00 752737.3 3 5461.33 68188.31 3 5461.33 636942.4 0

N/A

63179.94 0

N/A

542781.6 4 4096.00 45929.95 4 4096.00 403185.6 5 3276.80 43369.60 5 3276.80 341815.0 6 2730.67 28733.56 6 2730.67 250876.5 18910.22 19550.34 8 2048.00 163771.0 8 2048.00 16886.01 7 2340.57 159505.0 7 2340.57 16305.84 9 1820.44 128401.5 17963.76 15746.18 18 910.22 81149.1

9 1820.44 13820.07 14 1170.29 70406.7 19862.32 10493.56 10 1638.40 69910.4 161024.00 10311.74 19 862.32 60766.7 151092.27 8674.71 13 1260.31 57689.0 101638.40 7097.18 15 1092.27 55046.2 141170.29 6987.64 17 963.76 47561.3 23712.35 6714.44 11 1489.45 46004.7 131260.31 5927.20 12 1365.33 43155.0 22744.73 5404.51 16 1024.00 30875.3 24682.67 5247.38 22 744.73 30324.9 121365.33 4337.39 20 819.20 29248.7 111489.45 3541.78 21 780.19 27536.5 45364.09 3326.24 23 712.35 24895.0 20819.20 2965.12 36 455.11 24474.7 35468.11 2813.27 37 442.81 20129.1 46356.17 2750.65 35 468.11 18852.8 21780.19 2742.62 24 682.67 15246.7 34481.88 2647.61 46 356.17 15076.8 25655.36 2419.00 33 496.48 13207.0 44372.36 2334.20 32 512.00 12702.6 49334.37 2332.68 38 431.16 12536.4


(5)

41399.61 2006.43 40 409.60 11947.2 40409.60 1980.35 39 420.10 10582.6

Tabel 7 Periodesitas Spektrum Energi Arus pada Lapisan Kedalaman 1500 meter

(stasiun 2)

Komponen u Komponen v

Period Density Period Density 29 490.28 2647.670 21780.19 52453.80

2 7109.00 2224.435 121365.33 40938.74 15 947.87 1922.109 131260.31 38878.34 12 1184.83 1868.396 22744.73 37796.16 18 789.89 1313.497 111489.45 33244.36 44 323.14 1005.662 141170.29 33166.26 5 2843.60 1097.438 20819.20 28186.18 30 473.93 2072.538 35468.11 27429.64 20 710.90 1061.828 25655.36 23716.67 22 646.27 989.834 23712.35 23505.69 9 1579.78 841.868 24682.67 22154.21 38 374.16 1054.365 151092.27 18912.66 13 1093.69 1602.345 34481.88 18059.53 37 384.27 1021.364 17963.76 17426.47 32 444.31 773.103 26630.15 16626.07 52 273.42 523.654 36455.11 16584.84 40 355.45 640.802 101638.40 15117.59 3 4739.33 1618.446 161024.00 14253.33 27 526.59 785.918 32512.00 11884.22 55 258.51 467.383 6 2730.67 10715.78 21 677.05 1074.374 33496.48 10461.30 25 568.72 464.391 18910.22 10422.70 28 507.79 1682.488 1 16384.00 10313.80 1 14218.00 1360.454 38431.16 10110.26 46 309.09 472.669 2 8192.00 9801.07 89 159.75 414.000 31528.52 9368.30 10 1421.80 860.561 37442.81 8875.00 14 1015.57 1579.648 0 8600.41 36 394.94 671.381 46356.17 8192.42 31 458.65 1133.163 7 2340.57 8057.28 4 3554.50 1098.456 39420.10 7822.57 59 240.98 276.567 19862.32 7293.65 39 364.56 826.553 27606.81 6869.40


(6)

105 135.41 290.971 3 5461.33 6696.09 11 1292.55 1224.229 5 3276.80 6374.86

Lampiran 7

Data Southern Oscillation Index

(SOI)

Sumber : wwwhttp://www.bom.gov.au

, 2005).

Tahun Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec

1990 -1 -17 -9 -1 13 1 5.5 -5 -7.6 1.8 -5 -2.4

1991 5.1 0.6 -11 -13 -19 -5.5 -1.7 -8 -17 -13 -7 -17 1992 -25 -9 -24 -19 0.5 -13 -6.9 1.4 0.8 -17 -7 -5.5 1993 -8 -8 -9 -21 -8.2 -16 -11 -14 -7.6 -14 0.6 1.6

1994 -2 0.6 -11 -23 -13 -10 -18 -17 -17 -14 -7 -12

1995 -4 -3 3.5 -16 -9 -1.5 4.2 0.8 3.2 -1.3 1.3 -5.5 1996 8.4 1.1 6.2 7.8 1.3 13.9 6.8 4.6 6.9 4.2 -0 7.2 1997 4.1 13 -9 -16 -22 -24 -9.5 -20 -15 -18 -15 -9.1 1998 -24 -19 -29 -24 0.5 9.9 15 9.8 11.1 10.9 13 13.3

1999 16 8.6 8.9 19 1.3 1 4.8 2.1 -0.4 9.1 13 12.8

2000 5.1 13 9.4 17 3.6 -5.5 -3.7 5.3 9.9 9.7 22 7.7

2001 8.9 12 6.7 0.3 -9 1.8 -3 -9 1.4 -1.9 7.2 -9.1

2002 2.7 7.7 -5 -4 -15 -6.3 -7.6 -15 -7.6 -7.4 -6 -11

2003 -2 -7 -7 -6 -7.4 -12 2.9 -2 -2.2 -1.9 -3 9.8

2004 -12 8.6 0.2 -15 13 -14 -6.9 -8 -2.8 -3.7 -9 -8 2005 1.8 -29 0.2 -11 -15 2.6 0.9 -7 3.9 10.9 -3 0.6