Keefektifan Formulasi Biopestisida Berbahan Aktif Staphylococcus epidermidis BC4 dan Pseudomonas fluorescens RH4003 Untuk Mengendalikan Layu Bakteri pada Tomat

KEEFEKTIFAN FORMULASI BIOPESTISIDA BERBAHAN
AKTIF Staphylococcus epidermidis BC4 DAN Pseudomonas
fluorescens RH4003 UNTUK MENGENDALIKAN LAYU
BAKTERI PADA TOMAT

ENNY ELOK MAWARNI

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Keefektifan Formulasi
Biopestisida Berbahan Aktif Staphylococcus epidermidis BC4 dan Pseudomonas
fluorescens RH4003 Untuk Mengendalikan Layu Bakteri Pada Tomat adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari

penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2014
Enny Elok Mawarni
NIM A34090052

ABSTRAK
ENNY ELOK MAWARNI. Keefektifan Formulasi Biopestisida Berbahan Aktif
Staphylococcus epidermidis BC4 dan Pseudomonas fluorescens RH4003 Untuk
Mengendalikan Layu Bakteri Pada Tomat. Dibimbing oleh ABDJAD ASIH
NAWANGSIH.
Tomat (Lycopersicum esculentum) adalah salah satu komoditas tanaman
hortikultura yang penting tetapi produksinya baik kuantitas maupun kualitas
masih rendah. Salah satu permasalahan penting dalam produksi tomat adalah
penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum. Pengendalian
layu bakteri yang memungkinkan untuk dikembangkan dan relatif aman adalah
pengendalian secara biologi menggunakan agens biokontrol seperti bakteri endofit
dan PGPR. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh formulasi biopestisida

yang efektif menggunakan bahan aktif S. epidermidis BC4 dan P. fluorescens
RH4003 dalam menekan perkembangan penyakit layu bakteri (R. solanacearum).
Formulasi biopestisida diaplikasikan di sekitar perakaran tomat saat pindah tanam.
Kejadian penyakit dan pertambahan tinggi tanaman diamati setiap satu minggu
sekali. Populasi bakteri dalam formulasi dihitung pada umur 0, 2, 4, dan 8 minggu
setelah penyimpanan. Formulasi granul P. fluorescens RH4003 relatif efektif
menekan kejadian penyakit dengan indeks penekanan penyakit sebesar 46.15%.
Formulasi cair S. epidermidis BC4 dengan pH 5 lebih efektif menekan kejadian
penyakit dengan indeks penekanan penyakit sebesar 57.69%. Formulasi
biopestisida berbahan aktif S. epidermidis BC4 dan P. fluorescens RH4003 dalam
bentuk granul maupun cair tidak berpengaruh nyata terhadap pemacuan
pertumbuhan tinggi tanaman tomat. Populasi bakteri pada formulasi berkembang
dengan baik pada pH 5, 6, 7 dan stabil sampai minggu ke-8.
Kata kunci : Biopestisida, bakteri endofit, plant growth promoting rhizobateria

ABSTRACT
ENNY ELOK MAWARNI. The effectiveness of Biopesticide Formulations with
active ingredients Staphylococcus epidermidis BC4 and Pseudomonas fluorescens
RH4003 to Control the Bacterial Wilt Disease On Tomato. Supervised by
ABDJAD ASIH NAWANGSIH.

Tomato (Lycopersicumesculentum) is one of the important horticultural
commodity unfortunately the production is still low in quantity or quality. One of
the important problems for the low productivity is the bacterial wilt disease
caused by Ralstonia solanacearum. Some control methods have been developed
but the disease still caused damages. One alternative control which can be
prospective to be developed is the use of biocontrol agents. Among them the
endophytic bacteria and Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR). The
experiment was conducted to evaluate the viability of biocontrol agents, i.e.
S.epidermidis BC4 and P. fluorescens RH4003 in the formula during storage and

3

the effectiveness of biopesticides formulation to control the bacterial wilt disease
on tomato. Biopesticides were applied to the root during transplanting. Disease
incidence and the height of the plant were calculated every week. Population of
the bacteria in the formula was calculated at 0, 2, 4, and 8 weeks during storage.
P. fluorescens RH4003 in granule formula applied into the soil caused disease
suppression index up to 46.15%, which significantly lower compared with
control, while S. epidermidis BC4 in liquid formulation with pH 5 caused disease
suppression index up to 57.69%. Formula containing both of the bacteria did not

affect the height growth of tomato plant. Population of the bacteria in the formula
grew well at pH 5, 6, 7 and it was stable until 8 weeks of storage.
Keyword : Biopesticide, endophytic bacteria, plant growth promoting rhizobateria

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan,
penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak
merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

5

KEEFEKTIFAN FORMULASI BIOPESTISIDA BERBAHAN
AKTIF Staphylococcus epidermidis BC4 DAN Pseudomonas
fluorescens RH4003 UNTUK MENGENDALIKAN LAYU
BAKTERI PADA TOMAT


ENNY ELOK MAWARNI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Usulan

: Keefektifan Formulasi Biopestisida Berbahan Aktif
Staphylococcus epidermidis BC4 dan Pseudomonas
fluorescens RH4003 Untuk Mengendalikan Layu Bakteri

pada Tomat
Nama
: Enny Elok Mawarni
NIM Mahasiswa : A34090052

Disetujui oleh

Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si
Dosen Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si
Ketua Departemen

Tanggal disetujui :

Judul Usulan

Nama

NIM Mahasiswa

Keefektifan Formulasi Biopestisida Berbahan Aktif
Staphylococcus epidermidis BC4 dan Pseudomonas
j7uorescens RH4003 Untuk Mengendalikan Layu Bakteri
pada Tomat
Enny Elok Mawami
A34090052

Disetujui

ッセ|・ィ@

Dr. Ir. Ab Jad Asih Nawangsih, M.Si
Dosen Pembimbing

Tanggal disetujui

n3


MAR 2014

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala nikmat,
rahmat, dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
Keefektifan Formulasi Biopestisida Berbahan Aktif Staphylococcus epidermidis
BC4 dan Pseudomonas fluorescens RH4003 Untuk Mengendalikan Layu Bakteri
Pada Tomat, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
pada Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Penulis menghaturkan terima kasih kepada Ibu Dr.Ir. Abdjad Asih
Nawangsih, MSi. selaku pembimbing, ibu Prof. Dr. Ir. Damayanti Buchori, MSc.
selaku dosen penguji tamu, Ibu Sri Ratna selaku dosen pembimbing akademik.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayahanda Kasdjono, Ibunda
Sipon, adik Dian Kartika Luckysari, serta keluarga besar yang telah mendoakan
dan memberi dukungan kepada penulis.
Penelitian ini didanai dari Penelitian Unggulan Strategis Nasional, DIPA
IPB NO.023-04.2.189772/2013 atas nama Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, MSi.
sebagai Ketua Peneliti.
Terimaksih juga penulis sampaikan kepada dosen-dosen di Laboratorium
Bakteriologi Tumbuhan (Bapak Giyanto, Bapak Kikin Hamzah Mutaqin, Ibu

Ivone), teknisi rumah kaca (Bapak Saepudin), teman-teman di Laboratorium
Bakteriologi Tumbuhan (Eka wijayanti, Auzan Baiquni, Arfiani Fitri, Mahardika
Gamma, Nadzirum Mubin, Kak Tatit, Kak Ida, Kak Yuni, Kak Syaiful, Ibu Sri),
teman-teman Proteksi Tanaman angkatan 46 khususnya Nisa Rizki Poerwitasari
Anggun Agustini, Arini, Leni Mariana, Nadhiroh, Diah Budiarti, teman-teman
Istana 200 dan pihak-pihak lain yang telah berperan dalam mendukung dan
membantu pelaksanaan penelitian dan penyusunan laporan tugas akhir ini yang
tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan.Oleh karena
itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang insya Allah membangun demi
peningkatan yang lebih baik. Semoga skripsi ini bisa bermanfaat bagi
pengembangan ilmu pertanian Indonesia dan menjadi acuan untuk penelitian
berikutnya. Atas perhatiannya, penulis mengucapkan terima kasih.

Bogor, Februari 2014
Enny Elok Mawarni

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR

DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan penelitian
Manfaat penelitian
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Bahan
Metode
Isolasi dan Pemeliharaan Ralstonia solanacearum
Uji Antagonisme P. fluorescens RH4003 dan S. epidermidis BC4
Peremajaan Bakteri dan Penyiapan Formulasi Biopestisida
HASIL DAN PEMBAHASAN
Viabilitas Bakteri Dalam Formulasi Biopestisida
Pengaruh Formulasi Agens Biokontrol Terhadap Pertambahan Tinggi
Tanaman
Pengaruh Aplikasi Formulasi Biopestisida Terhadap Kejadian Penyakit
Layu Bakteri
Analisis Pengaruh Formulasi terhadap Peubah yang Diamati
SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP

x
x
x
1
1
2
2
3
3
3
3
3
4
4
10
10
12
13
15
16
16
16
16
23

x

DAFTAR TABEL
1 Kriteria keefektifan relatif penekanan kejadian penyakit
2 Populasi bakteri P. fluorescens RH4003 dan S. epidermidis BC4 pada
berbagai formulasi selama 8 minggu setelah penyimpanan
3 Nilai Area Under Height of Plant Growth Curve (AUHPGC) dan
Indeks pemacuan pertumbuhan pada perlakuan formulasi S.
epidermidis BC4 dan P. fluorescens RH4003
4 Indeks penekanan penyakit pada perlakuan formulasi S. epidermidis
BC4 dan P. fluorescens RH4003
5 Analisis hasil formulasi terbaik terhadap peubah yang diamati

9
11

13
15
16

DAFTAR GAMBAR
1 Biakan murni bakteri patogen Ralstonia solanacearum pada media TZC
2 Antagonisme bakteri S. epidermidis BC4 (a) dan P. fluorescens
RH4003 (b)
3 Biakan murni dan koloni tunggal Pseudomonas fluorescens RH4003
(P1) (a,b) dan Staphylococcus epidermidis BC4 (c,d)
4 Formulasi biopestisida dalam bentuk cair
5 Formulasi biopestisida dalam bentuk granul
6 Grafik pertambahan tinggi tomat pada berbagai perlakuan formulasi
selama tujuh minggu setelah tanam
7 Grafik kejadian penyakit layu bakteri pada berbagai perlakuan bakteri
endofit dan PGPR dari minggu ke-1 sampai minggu ke-7

4
4
5
6
7
10
14

DAFTAR LAMPIRAN
1 Pertambahan tinggi tomat dengan berbagai perlakuan formulasi pada
minggu ke-0 sampai minggu ke-7 setelah tanam
2 Pengaruh aplikasi formulasi biopestisida terhadap tingkat kejadian
penyakit layu bakteri
3 Hasil analisis ragam tingkat kejadian penyakit layu bakteri di rumah
kaca pada minggu 1 sampai 7
4 Hasil analisis ragam laju pertambahan tinggi tanaman tomat di rumah
kaca pada minggu ke-1 sampai 7
5 Hasil analisis ragam nilai AUHPGC tomat pada rumah kaca

19
19
20
21
22

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tomat adalah komoditas hortikultura yang penting, tetapi produksi tomat di
Indonesia baik kuantitas maupun kualitas masih rendah. Berdasarkan BPS (2012),
produksi tomat di Indonesia mulai tahun 2001 sampai 2011 relatif mengalami
kenaikan karena jumlah permintaan yang semakin naik dari 483 991–954 046 ton,
namun produksi tomat tahun 2012 menurun menjadi 893 504 ton. Buah tomat saat
ini merupakan salah satu komoditas hortikultura yang bernilai ekonomi tinggi.
Menurut Hanindita (2008), nilai ekspor tomat tahun 2000 mencapai US$ 302 098
dengan volume 1 063 913 kg sedangkan pada tahun 2004 mencapai US$ 317 687
dengan volume 715 571 kg. Indonesia berpeluang untuk mengekspor tomat segar
karena harga tomat segar di luar negeri yang lebih tinggi dari pada harga di dalam
negeri dan juga meningkatnya permintaan tomat segar Indonesia dari luar negeri
karena harga tomat segar Indonesia di negara tujuan ekspor dapat bersaing dengan
tomat negara lain (Hanindita 2008).
Salah satu permasalahan penting dalam produksi tomat adalah penyakit layu
bakteri yang disebabkan oleh R. solanacearum. Layu bakteri adalah penyakit
serius tomat di berbagai daerah di dunia baik pada daerah subtropis maupun tropis
(McCarter 2006). Bakteri R. solanacearum terbawa oleh tanah dan air, kemudian
masuk ke pembuluh xilem melalui akar tanaman dan kembali ke lingkungan
sehingga mampu bertahan hidup dalam kondisi yang ekstrim (Alvarez 2010). R.
solanacearum ras 1 menyerang tomat dan tanaman lainya dari family Solanaceae
(McCarter 2006). Infeksi dan perkembangan penyakit layu bakteri lebih optimal
pada kelembapan dan suhu tinggi (30–350C) (McCarter 2006). Penyakit ini
menyebabkan tanaman tomat mengalami layu mendadak dan memproduksi akar
adventif dalam jumlah yang cukup banyak (Purwanto dan Tjahjono 2001).
Upaya pengendalian layu bakteri meliputi varietas resisten, kultur teknis,
pestisida, dan agens biokontrol (Tahat dan Sijam 2010). Varietas yang resisten
terhadap penyakit layu bakteri (R. solanacearum) telah banyak dikembangkan.
Namun, tingkat resistensi dari varietas resisten tidak dapat bertahan lama (Almoneafy
et al. 2012). Cara pengendalian kultur teknis dengan sanitasi dan rotasi tanaman
cukup efektif untuk mengendalikan layu bakteri. Akan tetapi, pengendalian
menggunakan metode sanitasi tidak efisien karena memperlukan waktu dan
tenaga yang cukup banyak. Pengendalian kultur teknis dengan rotasi tanaman
dinilai sulit untuk dilakukan karena patogen memiliki banyak ras yang dapat
menginfeksi berbagai tanaman dari berbagai famili (Purwanto dan Tjahjono
2001). Pengendalian penyakit layu bakteri menggunakan bahan kimia seperti
pestisida dapat mengendalikan patogen hanya sementara waktu, sehingga patogen
yang tahan pestisida dapat menyebabkan kerusakan yang lebih parah (Gamliel et
al. 2000). Oleh karena itu, pengendalian penyakit layu bakteri yang dianjurkan
yaitu menggunakan pestisida ramah lingkungan (Gamliel et al. 2000).
Pengendalian ramah lingkungan yang memungkinkan untuk dikembangkan dan
relatif aman adalah pengendalian secara biologi menggunakan agens biokontrol yaitu
bakteri endofit dan PGPR. Nawangsih (2006) telah menemukan bakteri P.
fluorescens RH4003 memiliki potensi sebagai agens pengendali penyakit layu

2

bakteri pada tomat. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Damayanti
(2010) dengan uji in planta bakteri endofit S. epidermidis BC4 dapat menekan
kejadian penyakit layu bakteri sebanyak 60% tetapi tidak dapat memacu
pertumbuhan tanaman.
P. fluorescens RH4003 dan S. epidermidis BC4 memerlukan kondisi suhu,
pH, dan kelembaban yang optimal selama proses penyiapannya untuk aplikasi di
lapangan. P. fluorescens merupakan agens biokontrol yang sangat sensitif
terhadap faktor lingkungan suhu dan keasaman tertentu (O’callaghan et al. 2006).
Sehingga pengembangan formulasi biopestisida berbahan aktif P. fluorescens dan
S. epidermidis BC4 perlu dilakukan untuk menjaga kelimpahan agen biokontrol
dilapangan. Kebutuhan nutrisi bakteri P. fluorescens RH4003 dan S. epidermidis
BC4 dalam formulasi biopestisida disesuaikan dengan kondisi saat di lapangan.
Pada penelitian ini bahan pembawa dalam formulasi yang digunakan yaitu
xanthan gum dan talcum powder. Xanthan gum adalah exo-polisakarida larut air
yang dihasilkan oleh bakteri gram negatif Xanthomonas campestris (Palaniraj dan
Jayaraman 2011). Talcum powder merupakan mineral lunak dengan komposisi
kimia (Mg3SiO10(OH)2) yang mempunyai stabilitas tinggi (Dixon 1989 dalam
Siregar 2011).
Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan menguji pengaruh bahan pembawa dan pH dalam
formulasi biopestisida terhadap viabilitas bakteri endofit S. epidermidis BC4 dan
P. fluorescens RH4003 dan menguji keefektifan formula tersebut dalam menekan
perkembangan penyakit layu bakteri (R. solanacearum).
Manfaat penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan formulasi biopestisida yang
efektif menekan perkembangan penyakit layu bakteri (R. solanacearum), dan
menjaga kelimpahan agen biokontrol S. epidermidis BC4 dan P. fluorescens
RH4003 dilapangan. Sehingga aplikasi formulasi biopestisida ini dapat
mendukung pertanian Indonesia yang ramah lingkungan.

3

BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan Departemen
Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan di Rumah
Kaca, University Farm, Institut Pertanian Bogor pada bulan Februari 2013 sampai
September 2013.
Bahan
Bahan yang digunakan adalah tomat varietas Arthaloka, bakteri endofit S.
epidermidis BC4 dan PGPR P. fluorescens RH4003. Kedua isolat bakteri tersebut
merupakan koleksi laboratorium bakteri tumbuhan Departemen Proteksi
Tanaman, Institut Pertanian Bogor. Bakteri penyebab layu bakteri yaitu Ralstonia
solanacearum diperoleh dari pertanaman tomat yang terserang layu bakteri di
lapangan. Media yang digunakan adalah King’s B agar (KB) untuk pertumbuhan
P. fluorescens RH4003 dan bakteri endofit (BC4) yang merupakan bakteri S.
epidermidis BC4. Bahan pembawa yang digunakan adalah xanthan gum dan
talcum powder.
Metode
Isolasi dan Pemeliharaan Ralstonia solanacearum
Bakteri patogen R. solanacearum yang digunakan dalam penelitian ini
diperoleh dari areal pertanaman tomat yang terserang layu bakteri. Tanaman
sampel diperoleh dari Cipanas, Bogor. Isolasi bakteri dilakukan dengan
menumbuhkan massa bakteri (oose) pada media Tetrazolium Chloride (TZC).
Oose diperoleh dengan cara memotong melintang bagian pangkal batang tanaman,
kemudian dicelupkan ke dalam air steril dalam tabung reaksi. Pada campuran air
steril dan oose dilakukan pengenceran hingga 10-7. Hasil pengenceran 10-7
diambil 100 µl dengan pipet volumetrik dan disebarkan pada media TZC,
kemudian diinkubasikan pada suhu ruang selama 24–48 jam agar didapatkan
koloni tunggal. Koloni tunggal dengan tingkat virulensi tinggi ditandai dengan
bentuk koloni berlendir dan dibagian tengah berwarna merah muda. Koloni
tunggal bakteri patogen R. solanacearum dapat dilihat pada Gambar 1. Koloni
tunggal dengan virulensi tinggi diremajakan pada media King’s B menggunakan
metode kuadran selama 24–48 jam. Peremajaan ini bertujuan untuk
menghilangkan kandungan antibiotik dari media TZC yang terbawa oleh bakteri.
Bakteri dari koloni tunggal pada media King’s B disimpan dalam gliserol 20%
pada suhu -4 0C.

4

Gambar 1 Biakan murni bakteri patogen Ralstonia solanacearum
pada media TZC
Sumber : Damayanti (2010)
Uji Antagonisme P. fluorescens RH4003 dan S. epidermidis BC4
Uji antagonis dilakukan dengan menggunakan biakan bakteri pada media
Nutrient Borth (NB) yang telah diinkubasikan pada suhu ruang selama 24 jam.
Suspensi bakteri kemudian disebar sebanyak 100 µl pada media King’s B. Kertas
saring diletakan di atas media Nutrient Agar (NA) kemudian ditetesi 20 µl bakteri
antagonis. Jika yang disebar merata adalah Bakteri endofit maka yang diteteskan
di atas kertas saring adalah bakteri PGPR dan sebaliknya. Pada media King’s B
kedua bakteri diinkubasikan pada suhu ruang selama 24-48 jam. Terlihat zona
bening diantara bakteri P. fluorescens RH4003 dan S. epidermidis BC4 setelah
masa inkubasi 24-48 jam menunjukan bakteri endofit dan PGPR bersifat
antagonis. Antagonisme bakteri P. fluorescens RH4003 dan S. epidermidis BC4
dapat dilihat pada Gambar 2. Bakteri endofit S. epidermidis BC4 bersifat
antagonis jika diaplikasikan secara kombinasi baik dengan P. fluorescens RH4003
maupun dengan Bacillus subtilis AB89. Oleh karena itu, dalam penelitian ini pada
masing-masing formulasi menggunakan bahan aktif tunggal.

a
b
Gambar 2 Antagonisme bakteri S. epidermidis BC4 (a) dan P. fluorescens
RH4003 (b)
Peremajaan Bakteri dan Penyiapan Formulasi Biopestisida
Bakteri endofit yang digunakan adalah bakteri dengan kode BC4 hasil
eksplorasi Damayanti (2010). Berdasarkan hasil PCR, BC4 merupakan bakteri S.
epidermidis (Nawangsih et al. 2011). Bakteri PGPR yang digunakan adalah P.
fluorescens RH4003 (P1) hasil isolasi Nawangsih et al. (2011). Peremajaan
bakteri endofit dan PGPR dilakukan 2-3 kali dengan metode kuadran pada media
King’s B sehingga koloni kembali bugar dan didapatkan isolat yang baik saat
perlakuan.
Bakteri endofit S. epidermidis BC4 dan P. fluorescens RH4003 yang ada di
laboratorium disimpan dalam media cair yang mengandung gliserol 20% pada
suhu -20 0C. Peremajaan dilakukan dengan cara metode kuadran pada media
King’s B selama 24-48 jam agar diperoleh koloni tunggalnya. Kemudian bakteri

5

tersebut disimpan dalam aquades steril pada suhu ruang dan dalam gliserol 20%
pada suhu -4 0C. Peremajaan bakteri endofit dan PGPR dilakukan 2-3 kali dengan
metode kuadran sehingga koloni kembali bugar dan didapatkan isolat yang baik
saat perlakuan. Karakter morfologi bakteri S. epidermidis BC4 yaitu permukaan
cembung, tepian rata, bentuk bulat licin, ukuran sedang. Karakter morfologi P.
fluorescens RH4003 yaitu permukaan cembung. P. fluorescens RH4003
menghasilkan senyawa fluoresen pada medium King’s B agar sehingga berpendar
jika dilihat di bawah sinar UV. Biakan murni dan bentuk koloni tunggal kedua
bakteri tersebut disajikan dalam Gambar 3.

a

b

c

d

Gambar 3 Biakan murni dan koloni tunggal Pseudomonas fluorescens RH4003
(a,b) dan Staphylococcus epidermidis BC4 (c,d)
Setelah didapatkan koloni tunggal, kedua bakteri tersebut masing-masing
digores merata/penuh pada media nutrient agar dalam cawan petri. Dari masingmasing biakan bakteri diambil 10 loop dan diinokulasikan ke dalam media cair
nutrient broth 100 ml, lalu dikocok dengan menggunakan shaker selama 24 jam
dengan kecepatan 100 rpm. Kerapatan suspensi bakteri yang digunakan yaitu 108109 cfu/ml.
Pembuatan Formulasi Biopestisida Cair. Bakteri P. fluorescens RH4003
dan S. epidermidis BC4 ditumbuhkan dalam 100 ml nutrient broth dan
selanjutnya diinkubasikan dan dishaker selama 24 jam. Suspensi bakteri kemudian
diendapkan menggunakan sentrifus dengan kecepatan 12000 rpm dan suhu 27 0C
selama 20 menit. Pelet yang mengandung bakteri dicampur dengan bahan
pembawa steril berupalarutan xanthan gum 0.1% dalam aquades. Bahan pembawa
biopestisida cair dicoba dengan pH 4, 5, 6 dan 7. Penyesuaian tingkat keasaman
dilakukan menggunakan larutan KCl dan KOH dan diukur menggunakan pHmeter. Komposisi formulasi biopestisida cair yaitu bakteri P. fluorescens RH4003
dan S. epidermidis BC4 masing-masing dicampur dengan formulasi bahan
pembawa biopestisida cair steril dengan perbandingan 1:5. Formulasi biopestisida
dalam bentuk cair dapat dilihat pada Gambar 4. Kode formulasi SE4= formulasi
cair S. epidermidis BC4 pH 4, SE5= formulasi cair S. epidermidis BC4 pH 5,
SE6= formulasi cair S. epidermidis BC4 pH 6, SE7= formulasi cair S. epidermidis
BC4 pH 7, PF4= formulasi cair P. fluorescens RH4003 pH 4, PF5= formulasi cair
P. fluorescens RH4003 pH 5, PF6= formulasi cair P. fluorescens RH4003 pH 6,
PF7= formulasi cair P. fluorescens RH4003 pH 7.

6

Gambar 4 Formulasi biopestisida dalam bentuk cair
Pembuatan Formulasi Biopestisida Granul. Biakan bakteri P.
fluorescens RH4003 dan S. epidermidis BC4 pada nutrient broth 100 ml
diinkubasikan dan dishaker selama 24 jam. Masing-masing suspensi bakteri P.
fluorescens RH4003 dan S. epidermidis BC4 100 ml dicampurkan 100 ml xanthan
gum 20% dalam akuades steril (Kloepper 1981). Suspensi bakteri dan xanthan
gum 20% didiamkan selama 20 menit pada suhu ruang. Setelah itu, suspensi
bakteri dan xanthan gum 20% dicampurkan dengan 1000 g bahan pembawa
talcum powder steril. Formulasi dikeringanginkan dan disimpan dalam wadah
plastik steril dengan dilapisi alumunium steril. Kemudian ditutup rapat dan
disimpan pada suhu 14 oC. Formulasi biopestisida dalam bentuk granul dapat
dilihat pada Gambar 5. Semua proses pembuatan formulasi dilakukan secara steril
di dalam laminar air flow. Kode formulasi TSE= formulasi granul berisi S.
epidermidis BC4, TPF= formulasi granul berisi P.fluorescens RH4003.

Gambar 5 Formulasi biopestisida dalam bentuk granul
Uji Viabilitas Bakteri
Pengamatan pada uji viabilitas bakteri dilakukan pada minggu ke-0, 1, 2, 4,8
dengan mengamati populasi bakteri hidup pada formulasi. Pengujian dilakukan
dengan metode pengenceran berseri dan plating pada media Nutrient Agar (NA).
Pegenceran berseri dalam penghitungan populasi bakteri pada formulasi granul
dilakukan dengan cara mengambil 1 gr formulasi biopestisida dan dilarutkan
dalam 9 ml akuades steril. Populasi bakteri pada formulasi cair dihitung dengan
cara mengambil 1 ml formulasi biopestisida kemudian dilarutkan dalam 10 ml
akuades steril. Plating dilakukan dengan cara menyebar 100 μl suspensi yang
telah diencerkan ke dalam cawan yang berisi media NA. Masing-masing
pengenceran diplating secara duplo dan dilakukan sebanyak tiga kali ulangan.
Pengenceran yang diplating adalah pengenceran 10-7, 10-6, 10-5. Jumlah koloni
yang terbentuk menunjukkan populasi bakteri yang bertahan hidup selama masa

7

penyimpanan. Jumlah koloni yang tumbuh selanjutnya dikonversikan ke dalam
bentuk cfu/ml untuk formulasi cair dan cfu/gram untuk formulasi granul dengan
menggunakan rumus:
x
Populasi
pxv
x = jumlah koloni pada pengenceran tertentu
p = faktor pengenceran
v = volume suspensi yang disebar (ml)
Uji Penekanan Kejadian Penyakit
Penyiapan Tanaman Uji. Benih yang digunakan dalam pengujian adalah
varietas Arthaloka. Varietas ini dipilih karena relatif rentan terhadap penyakit layu
bakteri dan banyak ditanam petani. Media persemaian yang digunakan adalah
tanah steril dan pupuk kandang dengan perbandingan 1:1. Tanaman dalam
persemaian sampai berumur 3 minggu. Penyiraman persemaian disesuaikan
dengan tingkat kelembaban tanah.
Perbanyakan inokulum patogen. Inokulum patogen R. solanacearum
yang digunakan dalam penelitian berasal dari tanaman sakit yang diperoleh dari
pertanaman tomat di Cipanas. Perbanyakan inokulum patogen dilakukan dengan
cara memotong-motong tanaman terinfeksi R. Solanacearum kemudian
dicampurkan air sehingga massa bakteri dapat keluar dari potongan bagian
tanaman. Potongan tanaman dan air tersebut dicampur ke dalam pot berisi tanah
steril. Tanah dengan investasi patogen digunakan untuk menanam tomat.
Penanaman tomat bertujuan untuk perbanyakan inang patogen untuk menjaga
tingkat virulensi patogen pada saat pengujian. Tingkat virulensi R. solanacearum
menurun bila tidak terdapat inang.
Aplikasi formulasi Biopestisida pada tanaman. Media tanam yang
digunakan dalam uji ini adalah tanah steril, pupuk kandang dan tanah yang telah
diinfestasi R. solanacearum. Isi polybag (30cm x 30cm) dibagi menjadi 3 bagian
yaitu 8 cm bagian bawah diisi dengan campuran tanah steril dan pupuk kandang, 8
cm bagian tengah diisi dengan tanah yang diinfestasi R. solanacearum dan 8 cm
bagian atas diisi kembali dengan campuran tanah steril dan pupuk kandang.
Jumlah perlakuan pada uji ini adalah 5 perlakuan, masing-masing terdiri dari 10
tanaman uji dengan diulang sebanyak 3 kali. Perlakuan-perlakuan pada penelitian
ini yaitu formulasi cair P. fluorescens RH4003 pH 5 (PF5) dan formulasi cair S.
epidermidis BC4 pH 5 (SE5), formulasi granul P. fluorescens RH4003 (TPF) dan
formulasi granul S. epidermidis BC4 (TSE) dan Kontrol (K). Sebanyak 10 ml
formulasi cair diberikan per tanaman dengan cara disiramkan di sekitar perakaran
tomat saat pindah tanam. Formulasi granul sebanyak 10 gram diberikan per
tanaman dengan cara ditaburkan disekitar perakaran tomat saat pindah tanam.
Pertambahan tinggi tanaman. Pengamatan pada uji pemacu pertumbuhan
dilakukan dengan mengukur pertambahan tinggi tanaman setiap seminggu sekali
selama tujuh minggu. Pertambahan tinggi tanaman dihitung dengan mengamati
perubahan tinggi sebagai delta ( perminggunya, kemudian digunakan dalam

8

penghitungan nilai Area Under Height of Plant Growth Curve (AUHPGC) dengan
menggunakan rumus yang dinyatakan oleh Van der Plank (1963 dalam Cooke
1998) sebagai berikut:
n

U PG

∑(
i 1

2

) ti

1 ti

Keterangan:
y = pertambahan tinggi tanaman
t = hari
Data pertambahan tinggi tanaman yang telah didapat digunakan untuk
menghitung indeks pemacuan pertumbuhan tanaman dengan rumus :
ndeks pemacuan pertumbuhan tanaman

perlakuan

kontrol

kontrol

100

Keterangan:
Xperlakuan = AUHPGC pada perlakuan
Xkontrol = AUHPGC pada control
Pengamatan kejadian penyakit. Pengamatan kejadian penyakit dilakukan
dengan mengamati mulai terjadinya gejala infeksi patogen pada pertanaman.
Pengamatan kejadian penyakit dilakukan selama tujuh minggu. Kejadian penyakit
dapat dihitung dengan rumus (Cooke 1998):
n
100
KP
N
Keterangan:
KP = Kejadian penyakit
n = jumlah tanaman yang layu
N = jumlah tanaman yang diamati
Indeks penekanan penyakit dihitung untuk mengetahui keefektifan
formulasi dalam menekan kejadian penyakit pada perlakuan dengan rumus:
ndex penekanan penyakit

KPa KPb
KPa

100

Keterangan: KPa = Kejadian penyakit pada kontrol pengamatan minggu terakhir
KPb = Kejadian penyakit pada perlakuan minggu terakhir

9

Kriteria keefektifan relatif penekanan kejadian penyakit tiap perlakuan
ditentukan sebagai berikut :
Tabel 1 Kriteria keefektifan relatif penekanan kejadian penyakit
Nilai indeks penekanan kejadian penyakit (IP)
Kategori keefektifan
P ≥ 80
Sangat efektif
60 ≤ P < 80%
Efektif
40 ≤ P < 60
Agak efektif
20 ≤ P < 40
Kurang efektif
P ≤ 20
Tidak efektif
Sumber : Nurjanani (2011)
Rancangan Percobaan dan Analisis Data. Penelitian ini disusun dengan
menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan dan 3
ulangan, setiap perlakuan terdiri dari 10 tanaman. Data yang diperoleh diolah
menggunakan Microsoft Office Excell 2010 dan dianalisis menggunakan analisis
ragam (anova) dengan program Statistical Analysis System (SAS) versi 9.1 dan
dilanjutkan dengan uji Duncan pada taraf nyata α 5 .

10

HASIL DAN PEMBAHASAN
Viabilitas Bakteri Dalam Formulasi Biopestisida
Populasi bakteri P. fluorescens RH4003 maupun S. epidermidis BC4 dalam
formulasi granul menurun pada minggu ke-1. Populasi bakteri P. fluorescens
RH4003 maupun S. epidermidis BC4 dalam formulasi granul relatif stabil mulai
minggu ke-1 hingga minggu ke-8 setelah inkubasi yaitu 108 cfu/gram. Viabilitas
bakteri P. fluorescens RH4003 maupun S. epidermidis BC4 dalam formulasi
granul berkembang dengan baik hingga minggu ke-8 setelah inkubasi pada suhu
penyimpanan 14 0C. Menurut Sadi et al. (2012) bakteri P. fluorescens UTPF61
dalam formulasi talec (talcum powder) tumbuh optimal pada pH 7 dengan suhu
penyimpanan 4 0C dan 26 0C selama masa penyimpanan 90 hari. Populasi bakteri
S. epidermidis BC4 maupun P. fluorescens RH4003 dalam formulasi granul pada
masa penyimpanan 0,1, 2, 4, 8 minggu setelah inkubasi dapat dilihat pada Tabel 2.
Viabilitas bakteri S. epidermidis BC4 dalam formulasi cair pH 4 menurun
pada masa penyimpanan minggu ke-1 setelah inkubasi. Populasi bakteri S.
epidermidis BC4 dalam formulasi cair pH 4 mengalami penurunan secara
signifikan pada minggu ke-1 setalah inkubasi. Populasi bakteri S. epidermidis
BC4 dalam formulasi cair pH 5 dan 6 mengalami penurunan pada minggu ke-1
setelah inkubasi. Populasi bakteri S. epidermidis BC4 dalam formulasi cair pH 5
dan 6 relatif stabil pada minggu ke-2 hinggu minggu ke-8 setelah inkubasi yaitu
108 cfu/ml. Populasi bakteri S. epidermidis BC4 dalam formulasi cair pH 7 relatif
stabil hingga minggu ke-8 setelah inkubasi yaitu 108 cfu/ml. Viabilitas bakteri S.
epidermidis BC4 dalam formulasi cair pH 5 dan 6 menurun pada minggu ke-1 dan
kembali berkembang dengan baik pada minggu ke-2 hingga minggu ke-8 setelah
inkubasi dengan suhu penyimpanan 4 0C. Viabilitas bakteri S. epidermidis BC4
dalam formulasi cair pH 7 berkembang dengan baik hingga masa penyimpanan
minggu ke-8 setelah inkubasi pada suhu penyimpanan 4 0C. Populasi bakteri S.
epidermidis BC4 dalam formulasi cair pH 4, 5, 6, 7 pada masa penyimpanan 0, 1,
2, 4, 8 minggu setelah inkubasi dapat dilihat pada Tabel 2.
Populasi bakteri P. fluorescens RH4003 dalam formulasi cair pH 4 mulai
mengalami penurunan pada pengamatan minggu ke-1. Penurunan populasi bakteri
P. fluorescens RH4003 dalam formulasi cair pH 4 dikarenakan viabilitas bakteri
P. fluorescens RH4003 menurun pada kondisi formulasi dengan tingkat keasaman
pH 4. Bakteri P. fluorescens RH4003 dalam formulasi cair pH 4 mengalami
kematian sel seluruhnya pada minggu ke-2. Populasi bakteri P. fluorescens
RH4003 pada formulasi cair pH 5, 6, 7 relatif stabil hingga minggu ke-8 setelah
inkubasi yaitu 108-109 cfu/ml. Populasi bakteri P. fluorescens RH4003 dalam
formulasi pH 4, 5, 6, 7 pada masa penyimpanan 0, 1, 2, 4, 8 minggu setelah
inkubasi dapat dilihat pada Tabel 2. Viabilitas bakteri P. fluorescens RH4003
dalam formulasi cair pH 5, 6, 7 berkembang dengan baik hingga masa
penyimpanan 8 minggu setelah inkubasi pada suhu penyimpanan 4 0C. Menurut
Giyanto dan Tondok (2009) Populasi bakteri P. fluorescens dalam formulasi
organik cair pH 7 pada penyimpanan suhu dingin (4 0C) lebih stabil dibandingkan
dengan penyimpanan suhu ruang.

11

Tabel 2 Populasi bakteri P. fluorescens RH4003 dan S. epidermidis BC4 pada
berbagai formulasi selama 8 minggu setelah penyimpanan
Waktu Simpan (Minggu Setelah Penyimpanan)
Nama
Formulasi
0
1
2
4
8
Populasi bakteri cfu/g
TSEa
6.3 x 109
0.5 x 108
0.3 x 108
2.1 x 108
5.1 x 108
9
8
8
8
TPF
2.8 x 10
0.6 x 10
1.2 x 10
1.2 x 10
0.4 x 108
Populasi bakteri cfu/ml
8
6
SE4
5.5 x 10
3.0 x 10
0
0
0
c
9
8
8
SE5
TBUD
1.9 x 10
8.2 x 10
1.5 x 10
1.4 x 109
SE6
TBUD
1.7 x 109
4.7 x 108
4.1 x 108
3.2 x 108
SE7
TBUD
3.6 x 108
3.7 x 108
5.8 x 108
1.6 x 108
Populasi bakteri cfu/ml
9
PF4
TBUD
2.6 x 10
0
0
0
PF5
TBUD
1.4 x 108
8.8 x 108
3.5 x 108
1.7 x 108
PF6
TBUD
2.0 x 109
1.2 x 109
TPb
5.5 x 108
9
8
9
PF7
TBUD
2.7 x 10
7.6 x 10
1.6 x 10
9.3 x 108
a

Kode Formulasi: SE4= formulasi cair S. epidermidis BC4 pH 4, SE5= formulasi cair S.
epidermidis BC4 pH 5, SE6= formulasi cair S. epidermidis BC4 pH 6, SE7= formulasi cair S.
epidermidis BC4 pH 7, PF4= formulasi cair P. fluorescens RH4003 pH 4, PF5= formulasi cair P.
fluorescens RH4003 pH 5, PF6= formulasi cair P. fluorecsens RH4003 pH 6, PF7= formulasi cair
P. fluorescens RH4003 pH 7, K= kontrol, TSE= formulasi granul S. epidermidis BC4, TPF=
formulasi granul P.fluorescens RH4003.
b
TP: Tidak dilakukan perhitungan
c
TBUD: Terlalu banyak untuk dihitung.

Viabilitas sel bakteri dipengaruhi oleh media pembawa dan kemampuan
bertahan bakteri (Siregar 2011). Media pembawa seperti xanthan gum menjadi
sumber bahan organik bagi bakteri untuk tumbuh mempertahankan populasinya
selama penyimpanan. Xanthan gum merupakan hasil fermentasi bakteri
Xanthomonas campestris yang bersifat dapat larut dalam pelarut panas atau
dingin, mempunyai viskositas yang tinggi pada konsentrasi rendah, yang tidak
berubah pada kisaran pH yang lebar pH (1 sampai 13), memiliki kelarutan dan
stabilitas yang sangat baik pada kondisi asam maupun basa, tahan terhadap
serangan enzim, serta cocok dan stabil pada larutan garam (Fardiaz 1989). Media
pembawa seperti talcum powder bisa menjadi cadangan makanan bakteri selama
penyimpanan. Talcum powder merupakan mineral lunak dengan komposisi kimia
(Mg3SiO10(OH)2) yang mempunyai stabilitas tinggi karena mempunyai
kandungan tanah liat yang sangat kuat (Dixon 1989 dalam Siregar 2011). Sifat
bahan pembawa yang stabil mampu menjaga kestabilan formulasi terhadap
berbagai perlakuan dan waktu penyimpanan sehingga nutrisi bagi bakteri tetap
tersedia. Kemampuan bakteri Pseudomonas sp. bertahan dalam formulasi dengan
mengakumulasi β-polihidroksi butirat (PHB) dalam sel. β-polihidroksi butirat
(PHB) berfungsi sebagai sumber karbon dan energi cadangan pada saat kondisi
nutrisi non karbon dan oksigen terbatas dan diproduksi pada fase stasioner (Aneja
dan Charles 1999).

12

Pengaruh Formulasi Agens Biokontrol Terhadap Pertambahan Tinggi
Tanaman

Laju pertambahan tinggi
tanaman (cm)

Pada pengamatan minggu ke-1 setelah tanam perlakuan formulasi cair P.
fluorescens RH4003 pH 5 dan formulasi granul S. epidermidis BC4 berpengaruh
nyata terhadap pertumbuhan tinggi tanaman tomat. Pengaruh perlakuan formulasi
cair P. fluorescens RH4003 pH 5 pada minggu ke-1 setelah tanam menunjukan
rata-rata pertambahan tinggi paling besar yaitu 6.85 cm. Sedangkan pada
pengamatan minggu ke 0, 2, 3, 4, 5, 6 ,7 setelah tanam semua jenis formulasi
tidak menunjukan pengaruh nyata terhadap pertambahan tinggi tanaman. Data
pertambahan tinggi tanaman dapat dilihat pada Lampiran 3. Pengaruh formulasi
terhadap pertambahan tinggi tanaman paling optimal adalah pada minggu ke-3
setelah tanam (Gambar 6). Semua formulasi dapat memacu tinggi tanaman lebih
baik dibandingkan dengan kontrol.
25

Kontrol
SE5
PF5
TSE
TPF

20
15
10
5
0
0

1

2

3

4

5

6

7

Interval pengamatan (Minggu Setelah Tanam=MST)
Gambar 6 Grafik pertambahan tinggi tomat pada berbagai perlakuan
formulasi selama tujuh minggu setelah tanam
Berdasarkan nilai AUHPGC perlakuan formulasi cair P. fluorescens
RH4003 pH 5 berpengaruh nyata meningkatkan tinggi tanaman dibandingkan
dengan kontrol (Tabel 3). Perlakuan formulasi cair S. epidermidis BC4 pH 5,
formulasi granul berbahan aktif P. fluorescens RH4003 ataupun S. epidermidis
BC4 tidak berpengaruh nyata terhadap pertambahan tinggi tanaman. Namun
masing- masing perlakuan formulasi menunjukan pertambahan yang lebih tinggi
dibandingkan kontrol. Formulasi cair P. fluorescens RH4003 pH 5 tidak efektif
dalam pemacua tinggi tanaman (Tabel 3). Perlakuan formulasi cair S. epidermidis
BC4 pH 5, formulasi granul berbahan aktif P. fluorescens RH4003 ataupun S.
epidermidis BC4 tidak efektif dalam pemacuan tinggi tanaman. Menurut
Damayanti (2010) bakteri endofit S. epidermidis BC4 tidak dapat berperan
sebagai pemacu pertumbuhan tanaman.

13

Tabel 3 Nilai Area Under Height of Plant Growth Curve (AUHPGC) dan Indeks
pemacuan pertumbuhan pada perlakuan formulasi S. epidermidis BC4
dan P. fluorescens RH4003
Kode
Indeks pemacuan pertumbuhan
AUHPGC (cm hari)
Formulasi
tanaman (%)
1
2
K
280.40± 19.16 b
0
SE5
331.91± 38.66 ab
18.37
PF5
353.64± 19.23 a
26.12
TSE
309.36± 38.72 ab
10.33
TPF
319.77± 30.28 ab
14.04
1

Kode Formulasi: K= control, SE5= formulasi cair S. epidermidis BC4 pH 5, PF5= formulasi cair
P. fluorescens RH4003 pH 5, TSE= formulasi granul S. epidermidis BC4, TPF= formulasi granul
P. fluorescens RH4003.
2
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata
berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%.

Menurut Setiawati (1998), P. fluorescens mampu meningkatkan kelarutan P
dari fosfat alam dan AlPO4, serta meningkatkan ketersediaan P di dalam tanah.
Pelarutan fosfat oleh mikroba didahului dengan sekresi asam-asam organik
diantaranya asam sitrat, glutamat, suksinat, laknat, oksalat, glioksalat, malat,
fumarat. Menurut Beaucamp dan Hume (1997) hasil sekresi mikroba tersebut
berfungsi sebagai katalisator, pengelat dan memungkinkan asam-asam organik
membentuk senyawa kompleks dengan kation Ca2+, Fe2+, dan Al2+ sehingga
terjadi pelarutan fosfat dalam bentuk yang tersedia dan dapat diserap oleh
tanaman.
Pengaruh Aplikasi Formulasi Biopestisida Terhadap Kejadian Penyakit
Layu Bakteri
Kejadian penyakit pada kelompok tanaman yang diberi perlakuan dengan
semua formulasi biopestisida berbeda nyata lebih rendah dibandingkan dengan
kelompok tanaman kontrol. Pada pengamatan minggu ke-3, 4, 5, dan 6 perlakuan
semua formulasi tidak berpengaruh nyata dalam penekanan kejadian penyakit.
Pada minggu ke-7 perlakuan formulasi cair S. epidermidis BC4 pH 5 dan
formulasi granul P. fluorescens RH4003 menunjukan pengaruh nyata terhadap
penekanan kejadian penyakit yang lebih rendah dibandingkan dengan kontrol.
Perlakuan formulasi cair P. fluorescens RH4003 pH 5 dan formulasi granul S.
epidermidis BC4 menunjukan pengaruh tidak berbeda nyata terhadap kejadian
penyakit dibandingkan dengan kontrol. Perlakuan formulasi cair P. fluorescens
RH4003 pH 5 dan formulasi granul S. epidermidis BC4 tidak memberikan
pengaruh negatif terhadap penekanan kejadian penyakit pada pengamatan minggu
ke-7 (Gambar 7). Rata-rata kejadian penyakit pada perlakuan formulasi cair S.
epidermidis BC4 pH 5 dan formulasi granul P. fluorescens RH4003 masingmasing sebesar 36.67% hari dan 46.67% hari (Lampiran 2).

14

100

Kejadian penyakit layu bakteri (%)

90
80
70
Kontrol

60

SE5

50

PF5
40
TSE
30

TPF

20
10
0
1

2

3

4

5

6

7

Interval pengamatan (Minggu Setelah Tanam=MST)
Gambar 7 Grafik kejadian penyakit layu bakteri pada berbagai perlakuan bakteri
endofit dan PGPR dari minggu ke-1 sampai minggu ke-7
Formulasi yang memberikan penekanan tertinggi terhadap kejadian penyakit
adalah formulasi cair S. epidermidis BC4 pH 5 dan formulasi granul P.
fluorescens RH4003. Formulasi cair S. epidermidis BC4 pH 5 dengan indeks
penekanan penyakit sebesar 57.69%. Formulasi granul P. fluorescens RH4003
dengan indeks penekanan penyakit sebesar 46.15%. Perlakuan formulasi cair S.
epidermidis BC4 pH 5 dan formulasi granul P. fluorescens RH4003 agak efektif
dalam menekan kejadian penyakit layu bakteri (Tabel 4). Berdasarkan hasil
tersebut dapat dikatakan bahwa formulasi cair S. epidermidis BC4 pH 5 dan
formulasi granul P. fluorescens RH4003 memiliki potensi untuk digunakan
sebagai agens biokontrol dalam penekanan penyakit layu bakteri. Menurut
Damayanti (2010) S. epidermidis BC4 mampu memberikan penekanan kejadian
penyakit layu bakteri sebesar 66.67% di dalam rumah kaca.

15

Tabel 4 Indeks penekanan penyakit pada perlakuan formulasi S. epidermidis BC4
dan P. fluorescens RH4003
Nilai indeks
penekanan penyakit
Kode formulasi
Kategori keefektifan
(IP)
1
K
0%
SE5
57.69%
Agak efektif
PF5
26.93%
Kurang efektif
TSE
11.54%
Kurang efektif
TPF
46.15%
Agak efektif
1

Kode Formulasi: K= kontrol , SE5= formulasi cair S. epidermidis BC4 pH 5, PF5= formulasi
cair P. fluorescens RH4003 pH 5, TSE= formulasi granul S. epidermidis BC4, TPF= formulasi
granul P. fluorescens RH4003.

Bakteri P. fluorescens RH4003 merupakan bakteri yang mampu
menginduksi aktivitas peroksidase dan penghasil siderofor (Nawangsih 2006).
Siderofor merupakan senyawa pengelat besi yang disekresikan oleh
mikroorganisme dan tanaman sebagai tanggapan terhadap kekurangan besi.
Produksi siderofor merupakan salah satu mekanisme yang dimiliki oleh agens
biokontrol dalam menekan patogen. Aplikasi P. fluorescens RH4003 dapat
meningkatkan aktivitas enzim peroksidase pada tanaman (Nawangsih 2006).
Menurut Silva et al. (2004) menyatakan bahwa tingginya aktivitas peroksidase
berpengaruh terhadap proses infeksi patogen yang lebih lambat dan proses
lignifikasi serta pembentukan hidrogen peroksida yang menghambat patogen
secara langsung atau pembentukan radikal bebas yang memiliki efek anti
mikroba.
Analisis Pengaruh Formulasi terhadap Peubah yang Diamati
Berdasarkan analisis hasil formulasi terbaik terhadap peubah, formulasi
yang berpotensi untuk dikembangkan adalah formulasi granul P. fluorescens
RH4003. Formulasi granul P. fluorescens RH4003 agak efektif dalam menekan
kejadian penyakit layu bakteri dan populasi bakteri P. fluorescens RH4003dalam
formulasi tetap stabil hingga masa penyimpanan 8 minggu setelah inkubasi (Tabel
5). Formulasi cair S. epidermidis BC4 pH 5 agak efektif dalam menekan kejadian
penyakit layu bakteri dan populasi bakteri S. epidermidis BC4 dalam formulasi
tetap stabil hingga masa penyimpanan 8 minggu setelah inkubasi (Tabel 5).
Namun, formulasi granul lebih mudah dalam proses pengemasan dibandingkan
formulasi cair sehingga dalam penelitian ini formulasi cair P. fluorescens
RH4003 pH 5 maupun S. epidermidis BC4 pH 5 kurang efisien dalam proses
produksi .

16

Tabel 5 Analisis hasil formulasi terbaik terhadap peubah yang diamati
Jenis formulasi
Peubah
Penekanan kejadian
penyakit layu bakteri
Pertambahan tinggi
tanaman
Populasi bakteri
selama penyimpanan
Kemudahan dalam
pengemasan

Cair pH 5

Granul

SE5
Agak
efektif
Tidak
efektif

PF5
Tidak
efektif
Tidak
efektif

TSE
Tidak
efektif
Tidak
efektif

TPF
Agak
efektif
Tidak
efektif

Stabil

Stabil

Stabil

Stabil

Sulit

Sulit

Mudah

Mudah

1

Kode Formulasi: K= kontrol , SE5= formulasi cair S. epidermidis BC4 pH 5, PF5= formulasi
cair P. fluorescens RH4003 pH 5, TSE= formulasi granul S. epidermidis BC4, TPF= formulasi
granul P. fluorescens RH4003.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Formulasi terbaik dalam penelitian ini yang berpotensi untuk dikembangkan
adalah formulasi granul P. fluorescens RH4003. Formulasi biopestisida berbahan
aktif S. epidermidis BC4 atau P. fluorescens RH4003 dalam bentuk granul
maupun cair tidak berpengaruh nyata terhadap pemacuan pertambahan tinggi
tanaman tomat. Populasi bakteri pada formulasi berkembang dengan baik pada pH
5,6,7 dan stabil sampai minggu ke-8.
Saran
Berdasarkan proses penelitian, perlu dilakukan penelitian lanjutan terkait
dengan pengujian pengaruh kelembabaan formulasi terhadap viabilitas bakteri
pada formulasi granul, dan pengaruh formulasi terhadap hasil produksi. Selain itu
perlu dilakukan penelitian mengenai keefektifan aplikasi formulasi setelah
penyimpanan secara bertahap selama 8 minggu sehingga dapat diketahui potensi
agen hayatinya.

DAFTAR PUSTAKA
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Produksi Sayuran di Indonesia 1997-2012.
[Internet]. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. [diunduh
2013 Okt 23]. Tersedia pada: http://www.bps.go.id/exim- frame.php?kat=2
unud.ac.id./article/pii/S0141391097001808.20pada%20penyakit%20layu%2
0bakteri%20pada%20tomat%20di%20greellitollse.pdf?sequence=1.20pada
%20tomat%20di%20greellitollse.pdf?sequence=1.

17

Almoneafy AA, Xie GL, Tian WX, Xu LH, Zhang GQ, Ibrahim M. 2012.
Characterization and evaluation of Bacillus isolates for their potential plant
growth and biocontrol activity against tomato bacterial wilt. African Journal
of Biotechnology. 11(28): 7193-7201.doi: 10.5897/AJB11.2963.
Alvarez B, Biosca EG, Lopes MM. 2010. On the life of Ralstonia solanacearum,
a destructive bacterial plant patogen. Di dalam: Vilas AM, editor. Current
Research, Technology and Education Topics In Applied Microbiology and
Microbial Biotechnology. Valencia (SP): Formatex. hlm 267-279.
Aneja P, Charles TC. 1999. Poly-3-hidroxybutirate degradation in Rhizobium
(Sinorhizobium) meliloti: isolation and characterization of gene encoding 3hidroxybutirate dehidrogenase. J Bacteriol. 181(3):849-857.
Beauchamp EG, Hume DJ. 1997. Agricultural soil manipulation: The use of
bacteria, manuring and plowing. Di dalam: Elsas JDV, Trevors JT,
Wellington EMH, editor. Modern Soil Microbiologi. New York (US):
Macel Dekker. hlm 643-664.
Cooke BM. 1998. Disease assessment and yield loss. Di dalam: Jones DG, editor.
The Epidomiology of Plant Diseases. Ed ke-2. London (GB): Kluwer
Academic Publisher. hlm 42-72.
Damayanti I. 2010. Seleksi dan karakterisasi bakteri endofit untuk menekan
kejadian penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum) pada tanaman
tomat [skripsi]. Bogor (ID): Instutut Pertanian Bogor.
Fardiaz D. 1989. Hidrokoloid. Bogor (ID): Pusat Antar Universitas Pangan dan
Gizi, Institut Pertanian Bogor.
Gamliel A, Austerweil M, Kritzman G. 2000. No-chemical approach to soilborne
pest management – organic amendments. Crop Protection. 19:847-853.
Giyanto, Tondok ET. 2009. Kajian pemanfaatan limbah organik cair untuk
pembiakan masal agens antagonis P. fluorescens serta uji potensinya
sebagai bio-pestisida. J Ilmu Pertanian Indonesia. 12(1): 97-107.
Handini ZVT. 2011. Keefektifan bakteri endofit dan plant growth promoting
rhizobakteria dalam menekan penyakit layu bakteri (R. solanacearum) pada
tomat (skripsi). Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Hanindita N. 2008. Analisis ekspor tomat segar Indonesia [tesis]. Bogor (ID):
Instutut Pertanian Bogor.
Khalimi K, Wirya GNAS. 2009. Pemanfaatan plant growth promoting
rhizobakteria untuk biostimulants dan bioprotectants. Ecotrophic. [Internet].
[diunduh 2013 Jun 23]; 4(2):131-135. Tersedia pada : http://www.ejournal
Kloepper JW, Schroth MN. 1981. Development of a powder formulation of
rhizobacteria for inoculation of potato Seed pieces. Phytopathology. 71
(6):590-592.
McCarter SM. 2006. Bacterial wilt. Di dalam: Jones JB, Jones JP, Stall RE, Zitter
TA, editor. Compendium of Tomato Diseases. St. Paul [US]: The American
Phytopathological Society. hlm 28-29.
Nawangsih AA, Damayanti I, Wiyono S, Kartika JG. 2011. Selection and
characterization of endophytic bacteria as biological control agents of
tomato bacteria wilt disease. Hayati. 18 (1):66-70. doi: 10.4308/hjb.18.2.66.
Nawangsih AA. 2006. Seleksi dan karakterisasi bakteri biokontrol untuk
mengendalikan penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum) pada tomat
[disertasi]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor.

18

Nurbaya, Rahim MD, Kuswinanti T, Baharuddin. 2011. Sinergisme antar isolat
bakteri antagonis dalam mengendalikan penyakit layu bakteri
(R.solanacearum) pada sistem budidaya aeroponik tanaman kentang. Di
dalam: ProsidingSeminar dan Pertemuan Tahunan XXI PEI, PFI Komda
Sulawesi Selatan dan Dinas Perkebunan Pemerintah Provinsi Sulawesi
Selatan; 2011 Jun 7; Makasar. Makasar(ID): PFI. hlm 9-10.
Nurjanani. 2011. Kajian pengendalian penyakit bakteri Ralstonia solanacearum
menggunakan agens hayati pada tanaman tomat. J Superman. 11(4): 1-8.
O’callaghan M, Swaminathan J, Lottmann J, Wright D and Jacson T . 2006.
Seed coating Alt biokontrol strain Pseudomonas fluorescens F113. New
Zealand Plant Protection. 59:80-85.
Palaniraj A, Jayaraman V. 2011. Production, recovery and applications of xanthan
gum by Xanthomonas campestris. Journal of Food Engineering. 106:1–12.
Purwanto S, Tjahjono B. 2001. Pengamatan penyakit layu bakteri pada tomat di
greenhouse dan pengujian agens antagonis. Di dalam: Prosiding Kongres
Nasional XVI dan Seminar IlmiahPerhimpunan Fitopatologi Indonesia;
2001 Agu 22-24, Bogor. Bogor (ID): Perhimpunan Fitopatologi Indonesia.
hlm 246-249.
Sadi MS, Masoud A. 2012. Effect of pH on stability, Sunflower grownth
promotion and biokontrol potential of a talc-based formulation of
Pseudomonas fluoescens UTPF61. Australian Journal of Crop Science.
6(3):463-469.
Setiawati TC. 1998. Efektifitas mikroba pelarut P dalam meningkatkan
ketersediaan P dan pertumbuhan tembakau besuki Na-Oogst (Nicotiana
tabacum L.) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Silva HSA, Romeiro RS, Macagnan D, Halfeld-Vieira BA, Pereira MCB,
Mounteer A. 2004. Rhiz

Dokumen yang terkait

Efektivitas Formulasi Bacillus subtilis dan Pseudomonas fluorescens Untuk Mengendalikan Penyakit Layu Fusarium pada Tanaman Pisang Kepok (Musa balbisiana cv. kepok)

0 5 15

EFEKTIVITAS FORMULASI Bacillus subtilis DAN Pseudomonas fluorescens UNTUK MENGENDALIKAN PENYAKIT LAYU FUSARIUM PADA TANAMAN PISANG KEPOK (Musa balbisiana cv. kepok)

0 4 15

Efektivitas Formulasi Bacillus subtilis dan Pseudomonas fluorescens Untuk Mengendalikan Penyakit Layu Fusarium pada Tanaman Pisang Kepok (Musa balbisiana cv. kepok).

1 4 15

EFEKTIVITAS FORMULASI Bacillus subtilis DAN Pseudomonas fluorescens UNTUK MENGENDALIKAN PENYAKIT LAYU FUSARIUM PADA TANAMAN PISANG KEPOK (Musa balbisiana cv. kepok)

0 13 15

Kemampuan Tiga Isolat Pseudomonas fluorescens sebagai Agen Antagonis untuk Mengendalikan Pseudomonas solanacearum E. F. Smith Penyebab Penyakit Layu Tanaman Tomat

0 4 119

Seleksi dan karakterisasi bakteri biokontrol untuk mengendalikan penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum) pada tomat

1 14 118

Pengembangan Formulasi Biopestisida Berbahan Aktif Endofit dan PGPR untuk Mengendalikan Penyakit Layu Bakteri Oleh (Ralstonia solanacearum pada Tomat

0 4 13

Pengembangan Formulasi Biopestisida Berbahan Aktif Bacillus subtilis AB89 dan Staphylococcus epidermidis BC4 untuk Mengendalikan Penyakit Layu Bakteri pada Tomat

0 6 38

^aKeefektifan Formulasi Biopestisida Berbahan Aktif Bakteri Endofit dan Plant Growth Promoting Rhizobacteria Setelah Penyimpanan untuk Mengendalikan Layu Bakteri pada Tomat

0 7 41

Pengembangan Formulasi Biopestisida Berbahan Aktif Bakteri Staphylococcus epidermidis dan Bacillus subtilis untuk Mengendalikan Penyakit Layu Bakteri oleh Ralstonia solanacearum pada Tomat

0 4 15