^aKeefektifan Formulasi Biopestisida Berbahan Aktif Bakteri Endofit dan Plant Growth Promoting Rhizobacteria Setelah Penyimpanan untuk Mengendalikan Layu Bakteri pada Tomat

KEEFEKTIFAN FORMULASI BIOPESTISIDA BERBAHAN
AKTIF BAKTERI ENDOFIT DAN PLANT GROWTH
PROMOTING RHIZOBACTERIA SETELAH PENYIMPANAN
UNTUK MENGENDALIKAN LAYU BAKTERI PADA TOMAT

FATHIAH ISLAM ABADAN

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Keefektifan Formulasi
Biopestisida Berbahan Aktif Bakteri Endofit dan Plant Growth Promoting
Rhizobacteria Setelah Penyimpanan untuk Mengendalikan Layu Bakteri pada
Tomat adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak

diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2015
Fathiah Islam Abadan

ABSTRAK
FATHIAH ISLAM ABADAN. Keefektifan Formulasi Biopestisida Berbahan Aktif
Bakteri Endofit dan Plant Growth Promoting Rhizobacteria Setelah Penyimpanan
untuk Mengendalikan Layu Bakteri pada Tomat. Dibimbing oleh ABDJAD ASIH
NAWANGSIH.
Ralstonia solanacearum adalah salah satu organisme pengganggu tanaman
(OPT) penting yang menyebabkan penyakit layu bakteri pada tomat dan sulit
dikendalikan karena patogen ini memiliki banyak ras dan mampu bertahan lama di
dalam tanah. Sebagai alternatif, pengendalian dengan menggunakan agens hayati
berupa bakteri endofit dan plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) telah
banyak dilakukan. Beberapa isolat bakteri endofit dan PGPR yang dibuktikan dapat
berperan sebagai agens hayati yang cukup efektif dalam menekan penyakit layu

bakteri adalah, Bacillus subtilis AB89, Pseudomonas fluorescens RH4003 dan
Staphylococcus epidermidis BC4. Penelitian ini bertujuan menguji keefektifan
formulasi biopestisida berbahan aktif bakteri endofit B. subtilis AB89, P.
fluorescens RH4003, dan S. epidermidis BC4 setelah penyimpanan sebagai agens
hayati dan PGPR dalam mengendalikan R. solanacearum. Ketiga bakteri tersebut
diformulasikan secara tunggal dalam bentuk formulasi tepung dan formulasi cair
yang ditambahkan dengan xanthan gum (XG). Formulasi disimpan selama 3 bulan
pada suhu 11-14 ºC. Setelah penyimpanan selama 3 bulan dilakukan pengujian
keefektifan formulasi terhadap penyakit layu bakteri di rumah kaca. Perlakuan yang
diberikan berupa aplikasi formulasi cair B. subtilis AB89 (BSC), formulasi tepung
B. subtilis AB89 (BST), formulasi cair P. fluorescens RH4003 (PFC), formulasi
tepung P. fluorescens RH4003 (PFT), formulasi cair S. epidermidis BC4 (BC4C),
formulasi tepung S. epidermidis BC4 (BC4T), dan akuades steril sebagai kontrol.
Aplikasi formulasi biopestisida dilakukan dengan menuangkan 10 mL formulasi
cair di sekitar perakaran tanaman tomat atau mencampurkan 10 g formulasi tepung
dengan tanah di sekitar perakaran. Pertumbuhan tanaman dan kejadian penyakit
diamati setiap minggu hingga 6 minggu setelah tanam. Rancangan percobaan yang
digunakan adalah rancangan acak kelompok. Data yang diperoleh dianalisis ragam
(ANOVA) dengan menggunakan program Statistical Analysis System (SAS) versi
9.1. Hasil penelitian ini menunjukkan perlakuan formulasi biopestisida setelah

proses penyimpanan selama 3 bulan yang memberikan nilai keefektifan penekanan
penyakit dan keefektifan pemacuan pertambahan tinggi relatif paling besar ialah
formulasi cair B. subtilis AB89. Formulasi cair B. subtilis AB89 dan P. fluorescens
RH4003 menghasilkan indeks penekanan terhadap penyakit lebih tinggi
dibandingkan dengan formulasi tepung dan kontrol setelah proses penyimpanan.
Kata kunci: Bacillus subtilis AB89, bakteri endofit, Pseudomonas fluorescens
RH4003, Staphylococcus epidermidis BC4.

ABSTRACT
FATHIAH ISLAM ABADAN. The Effectiveness of Biopesticide Formulation
Containing Endophytic Bacteria and Plant Growth Promoting Rhizobacteria After
Storage to Control Tomato Bacterial Wilt Disease. Supervised by ABDJAD ASIH
NAWANGSIH.
Ralstonia solanacearum is one of the important pathogens that cause bacterial
wilt in tomatoes which is difficult to be controlled because it has a lot of races and
able to survive in the soil for a long time. As an alternative, biological control agents
such as endophytic bacteria and PGPR have been widely applied to control the
bacterial wilt disease. There were some isolates of endophytic bacteria and PGPR
have been effective as biological control agents that suppress bacterial wilt disease,
such as B. subtilis AB89, P. fluorescens RH4003, and S. epidermidis BC4. This

research was conducted to evaluate the effectiveness of biopesticide formulations
which contain endophytic bacteria or PGPR B. subtilis AB89, P. fluorescens
RH4003, and S. epidermidis BC4 after storage to control the bacterial wilt disease
of tomato. Each of the bacteria was formulated using talc powder and liquid
medium wich added with xanthan gum (XG) and stored for 3 months at 11-14 ºC.
The effectiveness of formulation were examined in the greenhouse. Two weeks old
of tomato plants were transplanted into polybags with diameter of 25 cm filled with
soil infested by R. solanacearum. The tomato plants were treated with liquid
formulation of B. subtilis AB89 (BSC), powder formulation of B. subtilis AB89
(BST), liquid formulation of P. fluorescens RH4003 (PFC), powder formulation of
P. fluorescens RH4003 (PFT), liquid formulation of S. epidermidis BC4 (BC4C),
powder formulation of S. epidermidis BC4 (BC4T), and sterilized distilled water as
control. Ten mililiters of liquid formulation were poured around the root of tomato
after transplanting and 10 g of powder formulation was mixed with soil around the
root. Plant growth and the disease incidence were calculated every week, up to 6
weeks after transplanting. The experiment was conducted as randomized complete
block design with 7 treatments and 3 replication as blocks. The data were analyzed
by analysis of variance with DMRT using statistical analysis system (SAS) version
9.1. This research shown that the most effective formulation after storage was liquid
formulation of B. subtilis AB89. Liquid formulation of B. subtilis AB89 and P.

fluorescens RH4003 shown higher index of disease suppressing compared with
powder formulations and control.
Keywords: Bacillus subtilis AB89, endophytic bacteria, Pseudomons fluorescens
RH4003, Staphylococcus epidermidis BC4.

KEEFEKTIFAN FORMULASI BIOPESTISIDA BERBAHAN
AKTIF BAKTERI ENDOFIT DAN PLANT GROWTH
PROMOTING RHIZOBACTERIA SETELAH PENYIMPANAN
UNTUK MENGENDALIKAN LAYU BAKTERI PADA TOMAT

FATHIAH ISLAM ABADAN

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga skripsi dengan judul “Keefektifan Formulasi
Biopestisida Berbahan Aktif Bakteri Endofit dan Plant Growth Promoting
Rhizobacteria Setelah Penyimpanan untuk Mengendalikan Layu Bakteri pada
Tomat” dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi ini disusun berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan pada bulan Maret 2014 sampai Desember 2014 di
Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman dan
University Farm Unit Lapangan Cikabayan Fakultas Pertanian Institut Pertanian
Bogor. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh
gelar Sarjana S1 Pertanian di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, MSi.
selaku dosen pembimbing, Ir. Djoko Prijono, MAgrSc selaku dosen penguji tamu,
Dr. Ir. Titiek Siti Yuliani, SU. selaku dosen pembimbing akademik, staf laboran
dan staf rumah kaca Cikabayan, University farm IPB yang telah memberikan saran,

arahan, dukungan serta motivasinya kepada penulis dalam melaksanakan penelitian
sampai penulisan skripsi ini.
Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada sahabat-sahabat terbaik
(Ifah, Iip, Nada, Siska, Ulfah, Nurul, Puspa, Hastia, Zahra), teman-teman di
Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan (Nurul, Luthfi, Ka Rois, Risna, Admas, Ka
Nadzir, Ka Arfi, Ka Dika, Kak Tatit, Kak Ida, Ibu Sri), teman-teman Proteksi
Tanaman angkatan 47, keluarga besar Rumah Quran IPB, LPQ Al-Hurriyyah, ISC
Al Hurriyyah, tim Jaysyun Nahl dan pihak-pihak lain yang telah berperan dalam
mendukung dan membantu pelaksanaan penelitian serta penyusunan laporan tugas
akhir ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu. Penghargaan terbesar
penulis sampaikan kepada kedua orang tua Umi Sukaesih dan Abi Adha
Firmansyah, adik-adik tercinta, Umar Zaki Abdurrohman, Ibrohim Zidan, dan
Abdurrohim Azzam serta seluruh keluarga atas doa dan dukungannya.
Penulis berharap laporan tugas akhir ini dapat bermanfaat baik bagi penulis
maupun bagi pembaca pada umumnya dan salah satu diantaranya adalah petani.
Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini masih terdapat kekurangan, Atas
segala kesalahan, penulis memohon kebijaksanaan dari semua pihak untuk
memaafkannya.

Bogor, Juni 2015

Fathiah Islam Abadan

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Metode Penelitian
Peremajaan Bakteri
Pembuatan Suspensi Bakteri
Pembuatan Formulasi Biopestisida
Penyiapan Tanaman Uji dan Perbanyakan Inokulum Patogen
Uji Keefektifan Formulasi Biopestisida di Rumah Kaca
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keefektifan Formulasi Biopestisida dalam Menekan Kejadian

Penyakit Layu Bakteri
Keefektifan Formulasi Biopestisida dalam Memacu Pertambahan
Tinggi Tanaman
SIMPULAN
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

x
x
x
1
1
2
2
3
3
3
3

3
3
4
4
7

7
12
16
16
17
19
23

x

5

DAFTAR TABEL
1 Perlakuan yang digunakan dalam uji keefektifan formulasi

biopestisida di rumah kaca
2 Kejadian penyakit layu bakteri pada tanaman tomat di rumah kaca
dengan berbagai perlakuan formulasi biopestisida setelah proses
penyimpanan selama 3 bulan
3 Nilai area under disease progress curve (AUDPC) dan indeks
penekanan penyakit pada perlakuan formulasi biopestisida setelah
penyimpanan
4 Nilai indeks penekanan penyakit pada perlakuan formulasi tanpa
proses penyimpanan
5 Pertambahan tinggi tanaman tomat di rumah kaca dengan berbagai
perlakuan formulasi biopestisida setelah proses penyimpanan selama
3 bulan
6 Nilai area under height of plant growth curve (AUHPGC) dan
keefektifan pemacuan pertumbuhan pada perlakuan formulasi
biopestisida setelah penyimpanan
7 Nilai indeks penekanan penyakit pada perlakuan formulasi tanpa
proses penyimpanan

5

7

9
10

12

13
14

DAFTAR GAMBAR
1
2
4

5

Biakan murni dan koloni tunggal B. subtilis AB89 (a), P. fluorescens
RH4003 (b) dan S. epidermidis BC4 (c)
Formulasi tepung biopestisida (a), dan formulasi cair biopestisida (b)
yang siap untuk disimpan
Gejala serangan R. solanacearum yang dimulai dengan layu di bagian
pucuk tanpa disertai penguninngan (a), layu keseluruhan (b), dan
mati kering (c)
Tanaman yang diberi perlakuan B. subtilis AB89 belum
menunjukkan gejala layu bakteri pada 4 MST (a), dan tanaman
kontrol yang mati kering pada 4 MST (b)

3
4

8

12

DAFTAR LAMPIRAN
1 Analisis ragam tingkat kejadian penyakit tanaman tomat di rumah
kaca pada minggu ke-1 sampai ke-4
2 Analisis ragam Area Under Disease Progress curve (AUDPC) pada
berbagai perlakuan formulasi biopestisida setelah penyimpanan
3 Analisis ragam pertambahan tinggi tanaman tomat di rumah kaca pada
minggu ke-1 sampai minggu ke-4

20
20
21

6

4 Analisis ragam Area Under Height of Plant Growth Curve
(AUHPGC) pada berbagai perlakuan formulasi biopestisida setelah
penyimpanan
5 Prosedur pembuatan formulasi biopestisida

21
21

x

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Tomat merupakan salah satu komoditas sayuran penting di Indonesia. Hingga
saat ini, dari tahun ke tahun permintaan terhadap tomat terus meningkat. Oleh sebab
itu, peluang bisnis buah tomat masih terbuka lebar karena pasokan kebutuhan
belum mencukupi, baik untuk memenuhi permintaan konsumen domestik maupun
mancanegara. Dalam upaya memanfaatkan peluang pasar tersebut, produksi tomat
di Indonesia perlu ditingkatkan (Kiswondo 2011).
Serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) merupakan salah satu
faktor yang menjadi pembatas budidaya tomat di Indonesia. Organisme
pengganggu tanaman (OPT) di lapangan tidak hanya menurunkan produktivitas
tomat, tetapi juga menurunkan kualitasnya. Salah satu OPT penting pada tomat
adalah Ralstonia solanacearum, yang merupakan agens penyebab penyakit layu
bakteri dan merupakan salah satu patogen paling merusak tanaman tomat di
Indonesia (Nawangsih et al. 2011). R. solanacearum dapat menyebar lintas benua
dan negara dan menginfeksi berbagai jenis tanaman inang. Hal ini menimbulkan
kerugian yang besar sehingga patogen ini menjadi hambatan utama dalam
perdagangan internasional dan domestik (Supriadi 2011).
R. solanacearum sulit dikendalikan karena patogen ini memiliki ras yang
banyak dan mampu bertahan lama di dalam tanah, R. solanacearum juga memiliki
kisaran inang dan sebaran geografis yang luas, R. solanacearum pada tomat mampu
menyebar melalui tanah, air, dan alat pertanian (Supriadi 2011). Petani telah
melakukan upaya pengendalian terhadap layu bakteri dengan beberapa tindakan
seperti aplikasi bakterisida, penggunaan varietas resisten, dan praktik budidaya
yang baik, namun upaya tersebut belum berhasil menurunkan serangan R.
solanacearum (Nawangsih et al. 2011). Selain itu, penggunaan bakterisida sintetik
secara terus menerus dapat menyebabkan pencemaran lingkungan dan resistensi
patogen. Oleh karena itu, diperlukan teknologi tepat guna dan spesifik lokasi yang
memanfaatkan sumber daya hayati lokal serta ramah lingkungan untuk
mengendalikan layu bakteri.
Nawangsih (2006) melaporkan bahwa agens biokontrol yang diisolasi dari
perakaran tomat yang sehat pada pertanaman tomat yang terserang layu bakteri
efektif mengendalikan R. solanacearum baik di lapangan maupun di rumah kaca.
Agens biokontrol tersebut adalah B. subtilis AB89, P. fluorescens RH4003 dan B.
cereus L32. Ketiga agens tersebut tidak menimbulkan pengaruh fitotoksik terhadap
daya kecambah benih dan pertumbuhan bibit tomat secara in-vitro maupun in-vivo
di dalam rumah kaca. Penelitian yang dilakukan Handini (2011) menunjukkan hasil
yang serupa, Bacillus subtilis AB89 dan Staphylococcus epidermidis (bakteri
endofit BC4) efektif menekan perkembangan R. solanacearum. Agar petani dapat
memanfaatkan agens hayati tersebut maka diperlukan formulasi yang tepat untuk
memproduksi agens hayati secara massal.
Hingga saat ini walaupun agens hayati memiliki beberapa keunggulan, namun
pemanfaatanya masih menggunakan suspensi sel bakteri dan terbatas pada skala
percobaan. Salah satu kendalanya adalah terbatasnya produk formulasi agens hayati
isolat lokal yang dapat diaplikasikan dalam skala luas. Produksi bioformulasi agens

2
hayati berupa bakteri endofit dan PGPR, sangat diperlukan untuk membantu
memecahkan masalah aplikasi secara luas di lapangan.
Hasil penelitian yang dilakukan Mawarni (2014) menunjukan formulasi cair
S. epidermidis BC4 dan formulasi granul P. fluorescens RH4003 berhasil
menurunkan kejadian penyakit layu bakteri pada aplikasi di rumah kaca. Penelitian
yang dilakukan Wijayanti (2014) menunjukkan formulasi cair B. subtilis AB89
memberikan penekanan terhadap penyakit lebih tinggi dibandingkan kontrol pada
aplikasi di rumah kaca. Viabilitas bahan aktif dalam bahan pembawa merupakan
tolok ukur masa kadaluarsa suatu formulasi biopestisida. Semakin lama viabilitas
bahan aktif, maka masa kadaluarsa biopestisida tersebut semakin lama pula
(Hanudin et al. 2010). Selain pengaruh penyimpanan terhadap viabilitas bahan aktif
dalam bahan pembawa juga perlu diketahui pengaruh masa penyimpanan formulasi
terhadap keefektifiannya saat aplikasi.
Tujuan Penelitian
Menguji keefektifan formulasi biopestisida berbahan aktif bakteri endofit
B. subtilis AB89, P. fluorescens RH4003, dan S. epidermidis BC4 setelah
penyimpanan sebagai agens hayati dan PGPR dalam mengendalikan
R. solanacearum.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi keefektifan formulasi
berbahan aktif bakteri endofit B. subtilis AB89, P. fluorescens RH4003, dan
S. epidermidis BC4 setelah penyimpanan dalam meningkatkan pertumbuhan tomat
dan menekan perkembangan penyakit layu bakteri (R. solanacearum).

3

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan Departemen
Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan di Rumah Kaca,
University Farm, Institut Pertanian Bogor pada bulan Maret sampai Desember
2014.
Metode Penelitian
Peremajaan Bakteri PGPR dan Bakteri Endofit
Isolat bakteri yang digunakan dalam penelitian ini merupakan koleksi
Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Depertemen Proteksi Tanaman, Fakultas
Pertanian, IPB. B. subtilis AB89, P. fluorescens RH4003, dan S. epidermidis BC4
sebelumnya disimpan dalam media cair yang mengandung gliserol 20% pada suhu
-200C. Peremajaan bakteri dilakukan secara berulang 2 sampai 3 kali menggunakan
metode kuadran hingga koloni kembali bugar. P. fluorescens RH4003 diremajakan
pada media King’s B agar, B. subtilis AB89 pada media triptic soy agar (TSA) dan
S. epidermidis BC4 pada media nutrient agar (NA), dengan masa inkubasi masingmasing selama 24 sampai 48 jam agar diperoleh koloni tunggalnya (Gambar 1).

a

b

c

Gambar 1 Biakan murni dan koloni tunggal B. subtilis AB89 (a) dan S.
epidermidis BC4 (c) (Wijayanti 2014), P. fluorescens RH4003 (b)
(Mawarni 2014)
Pembuatan Suspensi Bakteri Endofit BC4 dan Bakteri PGPR
Koloni tunggal hasil peremajaan diinokulasikan dalam media cair B. subtilis
AB89 pada tryptic soy broth (TSB), P. fluorescens RH4003 pada King’s B, dan S.
epidermidis BC4 pada nutrient broth (NB) kemudian diinkubasikan selama 24
sampai 48 jam pada inkubator bergoyang dengan kecepatan 100 rpm.
Pembuatan Formulasi Biopestisida
Pembuatan formulasi cair dan formulasi tepung biopestisida dilakukan sesuai
dengan metode yang dilakukan oleh peneliti terdahulu yaitu Wijayanti (2014) dan
Mawarni (2014). Formulasi biopestisida kemudian disimpan selama 3 bulan pada
suhu 11-14 ºC. Contoh hasil pembuatan formulasi yang siap disimpan disajikan
pada Gambar 2.

4

a

b

Gambar 2 Formulasi tepung biopestisida (a), dan formulasi cair biopestisida (b)
yang siap untuk disimpan.
Penyiapan Tanaman Uji dan Perbanyakan Inokulum Patogen
Benih tomat yang sehat secara morfologi di semaikan pada media tanam yang
merupakan campuran tanah steril dan pupuk kandang dengan perbandingan 1:1.
Benih kemudian disemaikan pada pot tray 32 lubang selama 2 minggu dengan
penyiraman sesuai kebutuhan berdasarkan kondisi kelembaban media.
Inokulum patogen R. solanacearum yang digunakan dalam penelitian berasal
dari tanaman sakit yang diperoleh dari pertanaman tomat di Cipanas. Perbanyakan
inokulum patogen dilakukan dengan memotong-motong tipis tanaman yang
terinfeksi R. solanacearum kemudian direndam dalam air sehingga massa bakteri
dapat keluar dari potongan bagian tanaman, campuran tersebut kemudian diaduk
rata dalam tanah steril. Tanah yang telah terinfestasi patogen digunakan untuk
menanam tanaman tomat sehat hingga menunjukkan gejala layu bakteri, cara ini
dilakukan 2 sampai 3 kali hingga tanah yang terinfestasi R. solanacearum mencapai
jumlah yang mencukupi untuk pengujian. Perbanyakan dengan cara ini dilakukan
untuk menjaga tingkat virulensi R. solanacearum pada saat pengujian.
Uji Keefektifan Formulasi Biopestisida di Rumah Kaca
Media tanam yang digunakan dalam uji penekanan kejadian penyakit adalah
campuran tanah steril dan pupuk kandang dengan perbandingan 1:1, dan tanah yang
telah diinfestasi R. solanacearum. Isi polybag (25 cm x 25 cm) dibagi menjadi 3
bagian yaitu 10 cm bagian bawah diisi dengan campuran tanah steril dan pupuk
kandang, 5 cm bagian tengah diisi dengan tanah yang diinfestasi R. solanacearum
dan 10 cm bagian atas diisi kembali dengan campuran tanah steril dan pupuk
kandang.
Formulasi biopestisida diaplikasikan dengan menuangkan 10 mL formulasi
cair di sekitar perakaran tanaman tomat dan mencampurkan 10 g formulasi tepung
dengan tanah di sekitar perakaran. Pemeliharaan dilakukan dengan menyiram setiap
tanaman dengan air minimal 2 hari sekali atau berdasarkan kelembapan media.

5
Tabel 1 Perlakuan yang digunakan dalam uji keefektifan formulasi biopestisida di
rumah kaca
Perlakuan
Formulasi cair B. subtilis AB89
Formulasi tepung B. subtilis AB89
Formulasi cair P. fluorescens RH4003
Formulasi tepung P. fluorescens RH4003
Formulasi cair S. epidermidis BC4
Formulasi tepung S. epidermidis BC4
Kontrol (akuades steril)

Kode formulasi
BSC
BST
PFC
PFT
BC4C
BC4T
K

Pengamatan dilakukan setiap minggu, mulai dari 1 minggu setelah tanam
(MST) sampai 4 MST atau sampai ada perlakuan yang telah menunjukkan kejadian
penyakit hingga 100 %. Peubah yang diamati adalah persentase kejadian penyakit
dan luas area dibawah kurva perkembangan penyakit atau area under disease
progress curve (AUDPC). Kejadian penyakit dan nilai AUDPC digunakan untuk
menghitung tingkat penekanan penyakit dibandingkan dengan kontrol. Semakin
rendah tingkat kejadian penyakit dan nilai AUDPC maka semakin tinggi tingkat
penekanan penyakit. Kejadian penyakit dihitung dengan rumus berikut :
KP =


×


KP = kejadian penyakit
n = jumlah tanaman yang terserang patogen
N = jumlah tanaman yang diamati

%

Setelah kejadian penyakit diketahui kemudian dihitung nilai area under
disease progress curve (AUDPC) dengan rumus sebagai berikut (Cooke 1998):

KPi + KPi+1
× t i+1 − t i
AUDPC DI = ∑
KP = kejadian penyakit
t = hari

�=�

Nilai AUDPC yang telah diketahui kemudian digunakan untuk menghitung
indeks penekanan penyakit. Indeks penekanan penyakit adalah suatu angka yang
dapat digunakan untuk menyatakan tingkat keefektifan pengendalian suatu agens
biokontrol terhadap patogen. Indeks penekanan penyakit dihitung dengan rumus:
Indeks penekanan penyakit relatif =
DIc = AUDPC pada kontrol
DIb = AUDPC pada perlakuan agens biokontrol

DIc − DIb
×
DIc

%

Selain kejadian penyakit, diamati juga pertambahan tinggi tanaman dan luas
area di bawah kurva pertumbuhan tanaman atau area under height of plant growth
curve (AUHPGC). Semakin tinggi nilai AUHPGC, semakin tinggi tingkat

6
pemacuan pertumbuhan oleh perlakuan. Nilai AUHPGC dihitung menggunakan
rumus (Cooke 1998):
AUHGPC Y = ∑

y = pertambahan tinggi tanaman
t = hari

=i

yi + yi+1

× t i − t i+1

Keefektifan pemacuan pertumbuhan dihitung dengan menggunakan rumus:

Y
Y

er a

r

a

Keefektifan pemacuan pertumbuhan =
= nilai AUHPGC pada perlakuan
= nilai AUHPGC pada kontrol

Y

er a

a

Y

−Y
r

r

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok
(RAK). Terdapat 7 perlakuan dengan 3 ulangan, dan setiap ulangan terdiri dari 10
unit tanaman. Total tanaman yang digunakan sebanyak 210 tanaman termasuk 30
tanaman kontrol. Data persentase kejadian penyakit dan pertambahan tinggi yang
diperoleh kemudian dianalisis ragam (ANOVA) dengan program Statistical
Analysis System (SAS) versi 9.1. Perlakuan yang berpengaruh nyata diuji lanjut
dengan Uji Duncan pada taraf α=5% (Mattjik dan Sumertajaya 2006)

7

HASIL DAN PEMBAHASAN
Keefektifan Formulasi Biopestisida dalam Menekan Kejadian Penyakit
Layu Bakteri

Nilai persentase kejadian penyakit pada setiap MST setelah aplikasi formulasi
B. subtilis AB89, P. fluorescens RH4003, dan S. epidermidis BC4 yang telah
disimpan selama tiga bulan disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Kejadian penyakit layu bakteri pada tanaman tomat di rumah kaca dengan
berbagai perlakuan formulasi biopestisida setelah proses penyimpanan
selama 3 bulan
Kode
formulasi2
K
BC4C
BC4T
BSC
BST
PFC
PFT

1

1 MST
0.0 ± 0.0a
0.0 ± 0.0a
0.0 ± 0.0a
0.0 ± 0.0a
0.0 ± 0.0a
0.0 ± 0.0a
0.0 ± 0.0a

Kejadian penyakit (%)
2 MST1
3 MST1
43.3 ± 15.3a
76.7 ± 15.3ab
43.3 ± 30.5a
90.0 ± 17.3a
46.7 ± 11.5a
70.0 ± 26.5ab
23.3 ± 11.5a
53.3 ± 15.3b
40.0 ± 20.0a
50.0 ± 10.0b
16.7 ± 11.5a
53.3 ± 23.1b
46.7 ± 15.3a
80.0 ± 10.0ab

4 MST1
80.0 ± 10.0a
93.3 ± 11.5a
80.0 ± 26.5a
70.0 ± 17.3a
70.0 ± 20.0a
90.0 ± 0.0a
100.0 ± 0.0a

1

Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada baris tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT
α=5%.
2
Kode Formulasi : BC4C = formulasi cair S. epidermidis BC4, BC4T = formulasi tepung S.
epidermidis BC4, BSC = formulasi cair B. subtilis AB89, BST = formulasi tepung B. subtilis AB89.
PFC = formulasi cair P. fluorescens RH4003, PFT = formulasi tepung P. fluorescens RH4003.

Kejadian penyakit belum ditemukan baik pada kontrol maupun perlakuan
pada pengamatan 1 MST, serangan penyakit layu bakteri mulai terjadi pada
pengamatan 2 MST atau 14 hari setelah pindah tanam dan terus meningkat pada 3
dan 4 MST. Aeny (2001) menyatakan bahwa masa inkubasi R. solanacearum
bergantung pada daya virulensinya terhadap masing-masing tanaman inang dengan
kisaran masa inkubasi antara 14-39 hari. Masa inkubasi ini dipengaruhi oleh
beberapa faktor diantaranya tanaman inang, lingkungan, dan patogen. Berdasarkan
nilai persentase kejadian penyakit pada pengamatan 2 sampai 4 MST, semua
perlakuan menunjukkan persentase kejadian penyakit yang tidak berbeda nyata
dengan kontrol.
Infeksi R. solanacearum pada tanaman dimulai dari masuknya bakteri
patogen ke dalam akar baik secara sendiri maupun melalui luka yang diakibatkan
oleh nematoda peluka akar, atau akibat serangga dan alat-alat pertanian, setelah
berhasil masuk ke dalam jaringan akar, R. solanacearum akan berkembang biak di
dalam pembuluh kayu (xylem) pada bagian akar dan pangkal batang, kemudian
menyebar ke seluruh bagian tanaman dan menyebabkan tersumbatnya pembuluh
kayu oleh jutaan sel R. solanacearum, sehingga transportasi air dan mineral dari
tanah terhambat dan menyebabkan tanaman menjadi layu dan mati (Supriadi 2011).
Gejala serangan layu bakteri dan perkembangannya disajikan pada Gambar 3.

8

a

Gambar 4

b

c

Gejala serangan R. solanacearum yang dimulai dengan layu di bagian
pucuk tanpa disertai penguningan (a), layu keseluruhan (b), dan mati
kering (c).

Tingkat kejadian penyakit pada tanaman yang diberi perlakuan formulasi cair
B. subtilis AB89 (BSC), formulasi tepung B. subtilis AB89 (BST) dan formulasi
cair P. fluorescens RH4003 (PFC) pada pengamatan 2 MST menunjukkan nilai
persentase yang lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Kejadian penyakit
paling rendah ditunjukkan oleh perlakuan PFC yaitu sebesar 16.7%. Tingkat
kejadian penyakit paling rendah pada pengamatan 3 MST terjadi pada perlakuan
BST, yaitu sebesar 50.0%, lebih rendah dibandingkan kontrol dengan selisih
persentase sebesar 26.7%. Tetapi berdasarkan uji Duncan pada taraf 5% masingmasing perlakuan tidak menunjukkan kejadian penyakit yang berbeda nyata dengan
kontrol.
Berdasarkan perkembangan tingkat kejadian penyakit dari 2 sampai 4 MST,
perlakuan yang secara konsisten menunjukkan nilai kejadian penyakit lebih rendah
dibandingkan dengan kontrol adalah perlakuan BSC dan BST, namun, 2 perlakuan
tersebut menunjukkan peningkatan persentase kejadian penyakit lebih dari 30%
pada pengamatan 3 minggu setelah tanam. Perlakuan PFC juga menunjukkan
peningkatan persentase kejadian penyakit lebih dari 30% pada pengamatan 4 MST
yaitu sebesar 36.7%. Sehingga, pada pengamatan 4 MST, nilai persentase kejadian
penyakit yang ditunjukkan oleh perlakuan BSC dan BST sudah mencapai 70.0%.
Kondisi tersebut terjadi diduga karena jumlah populasi agens hayati yang
menjadi bahan aktif dalam formulasi cair B. subtilis AB89 dan formulasi cair P.
fluorescens RH4003 dengan frekuensi aplikasi pada awal tanam saja belum mampu
menekan penyakit dalam jangka panjang. Untuk mengatasi hal tersebut perlu
dilakukan aplikasi dengan frekuensi yang lebih banyak. Frekuensi aplikasi suatu
formulasi mikroba antagonis yang semakin banyak akan menyebabkan tingginya
jumlah populasi mikroba antagonis tersebut dalam medium tanam. Hasil penelitian
Soesanto et al. (2014) menunjukkan populasi akhir P. fluorescens P60 mengalami
peningkatan pada perlakuan penyiraman dan penyemprotan P. fluorescens P60
yang lebih sering, sehingga kemampuan P. fluorescens P60 dalam menekan
intensitas penyakit virus pada cabai juga cenderung meningkat seiring dengan
meningkatnya frekuensi aplikasi.
Faktor lain yang diduga mempengaruhi tingginya persentase kejadian
penyakit pada 4 MST adalah kedalaman penempatan lapisan tanah berinokulum
pada media tanam yang digunakan pada saat pengujian sehingga mempengaruhi

9
lama masa kolonisasi dan waktu adaptasi oleh bakteri agens hayati dalam formulasi
sebelum akar tanaman mencapai kedalaman letak lapisan tanah berinokulum.
Perakaran tanaman yang mencapai lapisan tanah berinokulum diduga belum
terkolonisasi dengan baik oleh bakteri endofit dalam formulasi sehingga bakteri
endofit belum mampu beradaptasi untuk mendorong ketahanan tanaman terhadap
bakteri patogen yang terinfestasi dalam lapisan tanah berinokulum.
Soesanto et al. (2014) menyatakan munculnya gejala serangan virus pada
semua tanaman cabai yang diaplikasi dengan P. fluorescens P60 dapat terjadi
karena P. fluorescens P60 membutuhkan waktu untuk beradaptasi pada lingkungan
baru sehingga agens antagonis belum maksimum dalam menginduksi ketahanan
tanaman. Yulianti (2009) menyatakan introduksi agens antagonis baru seringkali
kurang berhasil karena kurangnya kemampuan beradaptasi.Waktu adaptasi
dibutuhkan untuk mengoptimalkan tingkat kolonisasi pada perakaran. Agens
antagonis yang telah beradaptasi mampu mengolonisasi akar tanaman sehingga
merangsang tanaman untuk meningkatkan produksi senyawa metabolit sekunder
yang berperan dalam ketahanan tanaman (Soesanto et al. 2011).
Salah satu faktor keberhasilan agens hayati dalam menekan penyakit antara
lain ialah kemampuannya dalam mengolonisasi niche yang sama dengan patogen.
Compant et al. (2005) mengemukakan bahwa bakteri akar pemacu pertumbuhan
tanaman, sangat bergantung pada kemampuannya, baik untuk memanfaatkan
lingkungan yang spesifik maupun beradaptasi terhadap perubahan kondisi
lingkunganya.
Tingkat kejadian penyakit yang ditunjukkan oleh setiap perlakuan pada setiap
MST akan menentukan luas area di bawah kurva perkembangan penyakit (AUDPC)
pada percobaan ini. Nilai AUDPC dan indeks penekanan penyakit oleh setiap
formulasi disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Nilai area under disease progress curve (AUDPC) dan indeks penekanan
penyakit pada perlakuan formulasi biopestisida setelah penyimpanan
Kode formulasi2
K
BC4C
BC4T
BSC
BST
PFC
PFT

Nilai AUDPC (% hari)1
640.0 ± 121.6a
720.0 ± 211.7a
626.7 ± 192.2a
446.7 ± 130.1a
500.0 ± 144.2a
460.0 ± 138.6a
706.7 ± 100.7a

Indeks penekanan penyakit (%)
-12.50
2.08
30.21
21.87
28.12
-10.42

1

Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada baris tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT
α=5%.
2
Kode Formulasi : BC4C = formulasi cair S. epidermidis BC4, BC4T = formulasi tepung S.
epidermidis BC4, BSC = formulasi cair B. subtilis AB89, BST = formulasi tepung B. subtilis AB89.
PFC = formulasi cair P. fluorescens RH4003, PFT = formulasi tepung P. fluorescens RH4003.

Berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%, dari 2 MST hingga 4 MST semua
perlakuan formulasi setelah penyimpanan selama tiga bulan menunjukkan tingkat
kejadian penyakit dan nilai AUDPC yang tidak berbeda nyata dengan kontrol.
Perlakuan yang menunjukkan nilai AUDPC lebih rendah dibandingkan dengan nilai
AUDPC kontrol adalah perlakuan BSC, BST, dan PFC. Nilai AUDPC paling
rendah pada penelitian ini ditunjukkan oleh perlakuan formulasi cair B. subtilis

10
AB89 (BSC), dengan nilai indeks penekanan penyakit paling tinggi yaitu sebesar
30.21%, dan nilai tertinggi selanjutnya setelah perlakuan BSC ditunjukkan oleh
perlakuan formulasi cair P. fluorescens RH4003 (PFC) dan tepung B. subtilis AB89
(BST) yaitu sebesar 28.12% dan 21.87%.
Penelitian ini merupakan serangkaian penelitian yang telah dilakukan oleh
peneliti sebelumnya yaitu Wijayanti (2014) dan Mawarni (2014) yang melakukan
pengujian terhadap keefektifan formulasi biopestisida berbahan aktif B. subtilis
AB89, P. fluorescens RH4003, dan S. epidermidis BC4 dalam menekan
perkembangan penyakit layu bakteri pada tomat di rumah kaca. Wijayanti (2014)
dan Mawarni (2014) mengaplikasikan formulasi biopestisida secara tunggal (tidak
dikombinasikan) tanpa proses penyimpanan terlebih dahulu.
Hasil penelitian Wijayanti (2014) menunjukkan formulasi cair dan tepung
B. subtilis AB89 tanpa proses penyimpanan, menunjukkan nilai indeks penekanan
terhadap penyakit sebesar 55.55%, dan formulasi tepung sebesar 35.18% dan hasil
penelitian Mawarni (2014) menunjukkan perlakuan formulasi cair P. fluorescens
RH4003 tanpa proses penyimpanan menghasilkan nilai indeks penekanan penyakit
sebesar 26.93% (Tabel 4).
Tabel 4

Nilai indeks penekanan penyakit pada perlakuan formulasi tanpa proses
penyimpanan

Perlakuan
Formulasi cair B. subtilis AB89
Formulasi tepung B. subtilis AB89
Formulasi cair S. epidermidis BC4
Formulasi tepung S. epidermidis BC4

Indeks penekanan penyakit (%)
55.55
35.18
54.93
35.18

Sumber: Wijayanti (2014)

Perlakuan
Formulasi cair P. fluorescens RH4003
Formulasi tepung P. fluorescens RH4003

Indeks penekanan penyakit (%)
26.93
46.15

Sumber: Mawarni (2014)

Nilai indeks penekanan penyakit dari perlakuan formulasi cair P. fluorescens
RH4003 setelah proses penyimpanan selama 3 bulan pada penelitian ini lebih tinggi
dibandingkan dengan aplikasi formulasi cair P. fluorescens RH4003 tanpa proses
penyimpanan pada hasil penelitian sebelumnya (Mawarni 2014). Perlakuan
formulasi cair B. subtilis AB89 pada penelitian ini juga menghasilkan nilai indeks
penekanan penyakit paling tinggi yaitu sebesar 30.21% dibandingkan formulasi
tepungnya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Wijayanti (2014) yang
menunjukkan formulasi cair B. subtilis AB89 dan formulasi cair P. fluorescens
RH4003 memberikan penekanan terhadap penyakit lebih tinggi dibandingkan
formulasi tepung dan kontrol. Penggunaan media cair tryptic soy broth untuk
formulasi cair B. subtilis AB89 dan King’s B untuk formulasi cair P. fluorescens
RH4003 dalam pembuatan formulasi diharapkan dapat mendukung kelangsungan
hidup bakteri di dalam formulasi sebagai penyuplai nutrisi.
Formulasi tepung P. fluorescens RH4003 pada penelitian ini menunjukkan
nilai AUDPC yang lebih tinggi dibandingkan kontrol, ini menunjukkan rendahnya
tingkat penekanan penyakit oleh formulasi tepung P. fluorescens RH4003. Hal ini
diduga dapat terjadi karena formulasi tepung P. fluorescens RH4003 dengan bahan

11
pembawa talk tidak dapat mempertahankan populasi P. fluorescens RH4003 selama
proses penyimpanan sehingga jumlah populasi bakteri P. fluorescens RH4003 tidak
cukup untuk dapat berkompetisi dengan bakteri patogen dalam menekan kejadian
penyakit.
Formulasi tepung B. subtilis AB89 pada penelitian ini menunjukkan nilai
indeks penekanan penyakit sebesar 21.87%. Nilai ini memiliki selisih sebesar
13.31% dengan nilai indeks penekanan penyakit dari aplikasi tanpa penyimpanan
pada penelitian sebelumnya (Wijayanti 2014). Nilai selisih yang kecil ini
menunjukkan formulasi tepung B. subtilis AB89 cukup baik untuk
mempertahankan populasi bakteri. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Widodo
dan Wiyono (2012) yang menunjukkan bahan pembawa talk pada formulasi tepung
dapat mempertahankan populasi bakteri Bacillus polymixa sampai penyimpanan 3
bulan.
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa bakteri perakaran seperti
P. fluorescens dan B. subtilis mampu mengendalikan patogen tumbuhan (Whipps
2001). Aplikasi agens biokontrol di lapangan menunjukkan bahwa isolat AB89
mampu menekan perkembangan penyakit layu bakteri. B. subtilis AB89 juga
positif menghasilkan siderofor setelah diinkubasi selama 3 hari (Nawangsih 2006).
Nawangsih (2006) menyatakan bahwa B. subtilis AB89 memiliki kelebihan
dibandingkan dengan agens biokontrol lain yang digunakan dalam pengujian antara
lain menghasilkan zona hambatan dengan diameter paling besar, menghasilkan
penekanan paling tinggi terhadap keparahan penyakit di lapangan meskipun
kemampuan mengkolonisasi perakaran bibit lebih rendah, mampu menginduksi
aktifitas peroksidase paling tinggi, serta menghasilkan siderofor dan protease.
Spesies dari P. fluorescens dan Bacillus mendorong penekanan patogen tanaman
dengan sekresi metabolit ekstraseluler yang bersifat preventif pada konsentrasi
rendah (Fernando et al. 2005).
P. fluorescens adalah bakteri yang dapat hidup di mana saja (ubiquitos)
namun biasanya paling banyak ditemukan pada permukaan daun dan akar. P.
fluorescens dapat menghasilkan pigmen pioverdin dan atau fenazin pada medium
King’s B dan akan berpendar di bawah sinar near ultra violet. Selain itu, P.
fluorescens juga dapat menekan populasi patogen dengan cara melindungi akar dari
serangan patogen dengan mengolonisasi akar, menghasilkan senyawa kimia berupa
antimikrob dan antibiotik, dan melakukan kompetisi dalam penyerapan Fe2+
(Couillerot et al. 2009).
Hasil penelitian ini menunjukkan formulasi tepung S. epidermidis BC4,
memiliki keefektifan paling rendah setelah proses penyimpanan formulasi selama
tiga bulan. Formulasi cair S. epidermidis BC4 yang diaplikasikan setelah proses
penyimpanan, bahkan tidak efektif dalam menekan kejadian penyakit layu bakteri
pada tomat di rumah kaca. Hasil penelitian Wijayanti (2014) menunjukkan bahwa
populasi S. epidermidis BC4 dapat stabil hingga minggu ke 8 penyimpanan, namun
pada penelitian ini diduga formulasi biopestisida S. epidermidis BC4 tidak mampu
mempertahankan kestabilan jumlah populasi bakteri sampai proses penyimpanan
selama 3 bulan. Bakteri endofit S. epidermidis BC4 merupakan spesies bakteri
endofit baru pada perakaran tomat yang dapat digunakan sebagai agens biokontrol
untuk R. solanacearum dan belum pernah dilaporkan dimanapun sebagai bakteri
endofit perakaran tomat (Nawangsih et al. 2011).

12
Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa aplikasi
formulasi biopestisida yang memberikan penekanan relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan kontrol dan perlakuan lainnya setelah proses penyimpanan 3
bulan ialah formulasi cair B. subtilis AB89, formulasi tepung B. subtilis AB89,
dan formulasi cair P. fluorescens RH4003. Nilai penekanan penyakit relatif paling
tinggi dihasilkan oleh formulasi cair B. subtilis AB89, pada kelompok tanaman
yang diberi perlakuan formulasi cair B. subtilis AB89 masih terdapat tanaman yang
bertahan hidup tanpa menunjukkan gejala layu bakteri pada pengamatan 4 MST
(Gambar 5).

b

a

Gambar 5 Tanaman yang diberi perlakuan B. subtilis AB89 belum menunjukkan
gejala layu bakteri pada 4 MST (a), dan tanaman kontrol yang mati
kering pada 4 MST (b).
Keefektifan Formulasi Biopestisida dalam Memacu Pertambahan
Tinggi Tanaman
Pengaruh aplikasi formulasi B. subtilis AB89, P. fluorescens RH4003 dan S.
epidermidis BC4 setelah penyimpanan selama 3 bulan terhadap pertambahan tinggi
tanaman tomat di rumah kaca disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Pertambahan tinggi tanaman tomat di rumah kaca dengan berbagai
perlakuan formulasi biopestisida setelah proses penyimpanan selama 3
bulan
Kode
formulasi2
K
BC4C
BC4T
BSC
BST
PFC
PFT

Pertambahan tinggi (cm)
1 MST1

2 MST1

3 MST1

4 MST1

1.5 ± 0.1a
1.6 ± 0.1a
1.8 ± 0.7a
1.9 ± 0.3a
1.5 ± 0.5a
1.8 ± 0.9a
2.3 ± 0.3a

3.1 ± 1.6ab
1.4 ± 1.0b
3.2 ± 1.7ab
4.4 ± 1.1a
3.5 ± 1.1ab
4.4 ± 1.8a
2.5 ± 1.3ab

1.0 ± 0.5a
0.4 ± 0.7a
1.8 ± 2.4a
2.8 ± 0.9a
2.3 ± 1.8a
1.7 ± 0.9a
0.8 ± 0.9a

0.1 ± 0.1b
0.1 ± 0.1b
0.3 ± 0.5b
1.9 ± 1.8a
1.3 ± 0.7ab
0.2 ± 0.2b
0.0 ± 0.0b

Total
pertambahan
tinggi (cm)
5.7 ± 1.22ab
3.4 ± 1.80b
7.1 ± 4.71ab
11.0 ± 3.8a
8.6 ± 3.3ab
8.1 ± 3.6ab
5.6 ± 1.8ab

1
Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada baris tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT
α=5%.
2
Kode Formulasi : BC4C = formulasi cair S. epidermidis BC4, BC4T = formulasi tepung S.
epidermidis BC4, BSC = formulasi cair B. subtilis AB89, BST = formulasi tepung B. subtilis AB89.
PFC = formulasi cair P. fluorescens RH4003, PFT = formulasi tepung P. fluorescens RH4003.

13
Nilai total pertambahan tinggi paling besar ditunjukkan oleh perlakuan
formulasi cair B. subtilis AB89 (BSC). Nilai pertambahan tinggi yang secara
konsisten lebih besar dibandingkan kontrol dari 1 MST sampai 4 MST ditunjukkan
oleh perlakuan formulasi cair B. subtilis AB89 (BSC), formulasi cair P. fluorescens
RH4003 (PFC), dan formulasi tepung S. epidermidis BC4 (BC4T) dengan
peningkatan pertambahan tinggi paling besar terjadi pada pengamatan 2 MST.
Berdasarkan data pertambahan tinggi pada pengamatan 1 sampai 3 MST dan nilai
total pertambahan tinggi tanaman tidak ada perlakuan yang menunjukkan nilai yang
berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol. Nilai pertambahan tinggi yang
berbeda nyata dengan kontol hanya ditunjukkan oleh perlakuan formulasi cair B.
subtilis AB89 pada pengamatan 4 MST dengan nilai sebesar 1.88 cm.
Perlakuan yang tidak berpengaruh nyata terhadap pertambahan tinggi
tanaman juga dapat disebabkan oleh keadaan yang sama pada rendahnya tingkat
penekanan penyakit, sedikitnya jumlah populasi bakteri agens hayati yang menjadi
bahan aktif dalam formulasi cair B. subtilis AB89 dan formulasi cair P. fluorescens
RH4003 dengan frekuensi aplikasi pada awal tanam saja belum mampu memacu
pertambahan tinggi tanaman secara signifikan. Untuk mengatasi hal tersebut perlu
dilakukan aplikasi dengan frekuensi yang lebih banyak. Hasil penelitian Soesanto
et al. (2014) menunjukkan pemberian P. fluorescens P60 secara berkala diduga
mampu meningkatkan tingkat kolonisasi perakaran oleh bakteri dan berpengaruh
efektif sebagai rizobakteri pemacu pertumbuhan tanaman yang ditunjukkan oleh
tingginya populasi antagonis tersebut dengan aplikasi secara berkala.
Berdasarkan nilai AUHPGC dengan uji Duncan pada taraf 5%, setelah proses
penyimpanan selama 3 bulan, semua aplikasi formulasi menunjukan nilai yang
tidak berbeda nyata dengan kontrol (Tabel 6). Nilai AUHPGC paling tinggi pada
penelitian ini ditunjukkan oleh perlakuan formulasi cair B. subtilis AB89 (BSC),
dengan nilai persentase keefektifan pemacuan pertambahan tinggi paling tinggi
yaitu sebesar 86.90%, dan nilai tertinggi selanjutnya setelah perlakuan BSC
ditunjukkan oleh perlakuan formulasi tepung B. subtilis AB89 (BST), formulasi
cair P. fluorescens RH4003 (PFC) dan formulasi tepung S. epidermidis BC4 yaitu
sebesar 47.66%, 44.80%, dan 24.9 4%.
Tabel 6 Nilai area under height of plant growth curve (AUHPGC) dan keefektifan
pemacuan pertambahan tinggi pada perlakuan formulasi biopestisida
setelah penyimpanan
Kode formulasi2
K
BC4C
BC4T
BSC
BST
PFC
PFT
1

Nilai AUHPGC
(cm hari)1
19.54 ± 4.67ab
10.43 ± 6.86b
24.41 ± 17.41ab
36.52 ± 11.23a
28.85 ± 11.61ab
28.29 ± 12.26ab
17.69 ± 7.03ab

Keefektifan pemacuan
pertambahan tinggi (%)
-46.60
24.94
86.90
47.66
44.80
-9.45

Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada baris tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT
α=5%.
2
Kode Formulasi : BC4C = formulasi cair S. epidermidis BC4, BC4T = formulasi tepung S.
epidermidis BC4, BSC = formulasi cair B. subtilis AB89, BST = formulasi tepung B. subtilis AB89.
PFC = formulasi cair P. fluorescens RH4003, PFT = formulasi tepung P. fluorescens RH4003.

14
Dua perlakuan lainnya yaitu formulasi cair S. epidermidis BC4 (BC4C) dan
formulasi tepung P. fluorescens RH4003 (PFT) keduanya menunjukkan nilai
AUHPGC lebih rendah dibandingkan dengan kontrol sehingga dapat disimpulkan
bahwa setelah proses penyimpanan selama 3 bulan, formulasi cair S. epidermidis
BC4 (BC4C) dan formulasi tepung P. fluorescens RH4003 (PFT) tidak efektif
untuk memacu pertambahan tinggi tanaman. Hasil penelitian ini menunjukkan
perlakuan paling efektif setelah penyimpanan 3 bulan dalam memacu pertambahan
tinggi pada penelitian ini adalah aplikasi formulasi cair B. subtilis AB89 (BSC).
B. subtilis AB89 merupakan plant growth promoting rizobacteria (PGPR)
yang berhasil diisolasi oleh Nawangsih (2006) dari perakaran tomat. PGPR adalah
bakteri pengoloni akar yang memberikan efek menguntungkan terhadap
pertumbuhan tanaman.
Wijayanti (2014) dan Mawarni (2014) selain melakukan pengujian terhadap
keefektifan formulasi biopestisida berbahan aktif B. subtilis AB89, P. fluorescens
RH4003, dan S. epidermidis BC4 dalam menekan perkembangan penyakit layu
bakteri pada tomat, juga menguji keefektifan formulasi biopestisida tersebut dalam
memacu pertambahan tinggi tanaman tomat di rumah kaca.
Hasil penelitian Wijayanti (2014) menunjukkan formulasi cair B. subtilis
AB89 tanpa proses penyimpanan, menghasilkan nilai keefektifan pemacuan
pertambahan tinggi sebesar 47.27%, dan formulasi tepungnya sebesar 42.53%,
untuk perlakuan formulasi cair S. epidermidis BC4 menunjukkan nilai keefektifan
pemacuan pertambahan tinggi sebesar 52.82%, dan formulasi tepungnya sebesar
24.62%. Hasil penelitian Mawarni (2014) menunjukkan perlakuan formulasi cair
P. fluorescens RH4003 tanpa proses penyimpanan menghasilkan nilai keefektifan
pemacuan pertambahan tinggi sebesar 26.12% dan formulasi tepungnya sebesar
14.04% (Tabel 7).
Tabel 7

Nilai keefektifan pemacuan pertambahan tinggi tanaman dengan
perlakuan formulasi tanpa proses penyimpanan

Perlakuan
Formulasi cair B. subtilis AB89
Formulasi tepung B. subtilis AB89
Formulasi cair S. epidermidis BC4
Formulasi tepung S. epidermidis BC4

Keefektifan pemacuan pertambahan tinggi (%)
47.27
42.53
52.82
24.62

Sumber: Wijayanti (2014)

Perlakuan
Keefektifan pemacuan pertambahan tinggi (%)
Formulasi cair P. fluorescens RH4003
26.12
Formulasi tepung P. fluorescens RH4003
14.04
Sumber: Mawarni (2014)

Nilai keefektifan pemacuan pertambahan tinggi paling besar pada penelitian
ini setelah proses penyimpanan selama 3 bulan dihasilkan oleh perlakuan formulasi
cair B. subtilis AB89 dengan persentase sebesar 86.90 %, sedangkan pada
peneletian sebelumnya oleh Wijayanti (2014), nilai keefektifan pemacuan
pertambahan tinggi yang dihasilkan oleh formulasi cair B. subtilis AB89 tanpa
proses penyimpanan hanya mencapai 47.27 %. Begitu juga dengan nilai keefektifan
pemacuan pertambahan tinggi yang dihasilkan oleh perlakuan formulasi tepung B.
subtilis AB89 setelah penyimpanan 3 bulan menunjukkan nilai sebesar 47.66 %,

15
nilai ini lebih besar dari nilai keefektifan pemacuan pertambahan tinggi yang
dihasilkan oleh perlakuan formulasi tepung B. subtilis AB89 tanpa proses
penyimpanan 3 bulan pada penelitian yang dilakukan oleh Wijayanti (2014) yaitu
sebesar 24.62 %. Hal ini menunjukkan bahwa formulasi cair maupun formulasi
tepung B. subtilis AB89 memberikan pengaruh positif terhadap kemampuan B.
subtilis AB89 dalam memacu pertambahan tinggi tanaman setelah disimpan
selama 3 bulan.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Nawangsih (2006), B. subtilis
AB89 dapat memacu pertambahan tinggi tanaman, bahkan hasil penelitian Handini
(2011) menunjukkan B. subtilis AB89 dapat meningkatkan pertambahan tinggi
tanaman tomat dua kali lebih besar bila dibandingkan dengan tanaman kontrol. B.
subtilis memiliki kemampuan yang baik dalam menghasilkan IAA dan melarutkan
fosfat (Almoneafy et al. 2012). IAA dan fosfat memiliki peran yang penting dalam
pertumbuhan tanaman. Sama halnya dengan P. fluorescens, B. subtilis juga
merupakan bakteri yang mengolonisasi akar tanaman. B. subtilis AB89 dapat
memacu pertumbuhan tanaman (Handini dan Nawangsih 2014).
Hasil penelitian Wijayanti (2014) menunjukkan bahwa B. subtilis AB89
dalam formulasi cair meskipun tidak stabil namun jumlah populasi B. subtilis AB89
mengalami peningkatan setelah penyimpanan 2 minggu dan pada minggu ke 8
mencapai jumlah populasi paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya.
Viabilitas bakteri dalam formulasi dipengaruhi oleh banyak faktor
diantaranya adalah lama penyimpanan dan bahan pembawa. Bahan pembawa yang
digunakan dalam penelitian ini adalah xanthan gum dan talc powder. Penambahan
xanthan gum ke dalam formulasi diharapkan dapat mendukung kelangsungan hidup
bakteri di dalam formulasi sebagai penyuplai nutrisi.
Xanthan gum memiliki sifat tidak mudah terdegradasi oleh enzim dan stabil
pada kondisi asam maupun basa (Laela dan Sharma 2000). Xanthan gum
merupakan heteropolisakarida yang dihasilkan oleh bakteri Xanthomonas
campestris. Xanthene (lendir) dimanfaatkan oleh X. campestris untuk
mempertahankan diri dari faktor lingkungan (Kloepper dan Schroth 1981).
Perlakuan formulasi cair S. epidermidis BC4 setelah proses penyimpanan
selama 3 bulan pada penelitian ini tidak efektif dalam memacu pertumbuhan
tanaman, hasil ini berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya (Wijayanti 2014)
yang menunjukkam nilai keefektifan pemacuan pertumbuhan oleh formulasi cair S.
epidermidis BC4 paling besar dibandingkan dengan perlakuan lainnya tanpa proses
penyimpanan. Hasil penelitian Wijayanti (2014) menunjukkan bahwa populasi S.
epidermidis BC4 dapat stabil hingga minggu ke 8 penyimpanan, namun pada
penelitian ini diduga formulasi biopestisida S. epidermidis BC4 tidak mampu
mempertahankan kestabilan jumlah populasi bakteri sampai proses penyimpanan
selama 3 bulan, sehingga populasi bakteri menurun selama proses penyimpanan.
Perlakuan formulasi tepung S. epidermidis BC4 setelah proses penyimpanan
selama 3 bulan pada penelitian ini menunjukkan nilai keefektifan pemacuan
pertumbuhan yang sedikit lebih besar dibandingkan dengan perlakuannya tanpa
proses penyimpanan yang dilakukan pada penelitian sebelumnya oleh Wijayanti
(2014) dengan selisih persentase sebesar 0.32%. Hal ini menunjukkan bahwa
formulasi tepung tidak berpengaruh negatif terhadap kemampuan S. epidermidis
BC4 dalam mempengaruhi pertambahan tinggi tanaman setelah disimpan selama
3 bulan.

16

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Perlakuan formulasi biopestisida setelah proses penyimpanan selama 3 bulan
yang memberikan nilai keefektifan penekanan penyakit dan keefektifan pemacuan
pertambahan tinggi tanaman