Efektivitas Esktrak Steroid Teripang Untuk Memanipulasi Kelamin Udang Galah

(1)

APRI ARISANDI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis efektivitas ekstrak steroid teripang untuk memanipulasi kelamin udang galah adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2007

Apri Arisandi C151050091


(3)

ABSTRAK

APRI ARISANDI. Efektivitas Ekstrak Steroid Teripang Untuk Memanipulasi Kelamin Udang Galah. Dibimbing oleh ODANG CARMAN dan ETTY RIANI

Ekstrak teripang terbukti mengandung steroid. Rendemen terbesar diperoleh dari 1 kg jeroan basah sebesar 21,28 gr ekstrak kasar, yang mengandung steroid 6,124 mg/kg, merupakan jenis testosteron. Testosteron dapat dimanfaatkan dalam sex reversal udang galah (Macrobrachium rosenbergii de Man). Hormon yang umum dipakai untuk sex reversal jantan adalah 17a- metiltestosteron, merupakan hormon sintetis yang dapat mengganggu kesehatan manusia. Bioessai yang dilakukan pada ayam, diketahui bahwa hormon sintetis memberikan efek samping toksik pada hati, limpa dan bursa fabricius. Berpedoman pada hal tersebut, maka salah satu cara yang dapat dilakukan adala h dengan menggunakan sumber hormon testosteron alami, seperti dari teripang. Perlakuan pemberian testosteron pada calon induk udang dilakukan melalui penyuntikan pada saat matang gonad dan dipping saat fase juvenil-satu. Masing–masing metode dilakukan dalam lima level perlakuan dan tiga ulangan. Hasil penyuntikan dengan dosis ekstrak steroid teripang 10 mg/kg, terbukti dapat menghasilkan populasi jantan tertinggi (63,33%) dan merupakan perlakuan terbaik. Metode dipping dengan dosis ekstrak steroid teripang 1mg/l, 2mg/l, 3mg/l, dan 17a- metiltestosteron 2mg/l dapat menghasilkan populasi jantan lebih tinggi dari kontrol negatif (tanpa hormon), yaitu 44,15%, 49,65%, 49,72% dan 50,45%. Pengamatan efek pemberian hormon steroid juga dilakukan terhadap beberapa aspek reproduksi dan pertumbuhan udang galah, seperti fekunditas, derajat pengeraman,

hatching rate, survival rate, ukuran telur, pertumbuhan larva, kandungan testosteron dalam


(4)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya.


(5)

EFEKTIVITAS EKSTRAK STEROID TERIPANG

UNTUK MEMANIPULASI KELAMIN UDANG GALAH

APRI ARISANDI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(6)

Judul Tesis : Efektivitas ekstrak steroid teripang untuk memanipulasi kelamin udang gala h Nama : Apri Arisandi

NIM : C151050091

Disetujui Komisi pembimbing

Dr. Ir. Odang Carman, M.Sc Ketua

Dr.Ir. Etty Riani, MS Anggota

Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Perairan

Prof.Dr. Ir.Enang Harris, MS

Dekan Sekolah Pasca Sarjana

Prof.Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro,MS


(7)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2006 ini ialah manipulasi kelamin (sex reversal), dengan judul Efektivitas ekstrak steroid teripang untuk memanipulasi kelamin udang galah.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Odang Carman dan Ibu Dr Etty Riani selaku pembimbing, serta Dr Dinar Tri Soelistyowati yang telah banyak memberi saran. Tidak lupa, terima kasih penulis ucapkan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional atas pemberian Beasiswa Pendidikan Pasca Sarjana (BPPS) dan Program Hibah Pasca Sarjana, sehingga penelitian ini dapat terlaksana dengan baik. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Ir Maskur dari Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dasu Rohmana, S.Pi beserta staf Sub Unit Pengembangan dan Pembenihan Udang Galah (SUPPUG) Pelabuhan Ratu, yang telah banyak membantu selama pelaksanaan penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, adik, dan istri, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2007


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ponorogo pada tanggal 12 April 1976 dari pasangan Hadi Suyono dan Ismiati. Penulis merupakan putra pertama dari dua bersaudara.

Tahun 1995 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Ponorogo dan pada tahun yang sama lulus ujian masuk perguruan tinggi negeri (UMPTN) di Universitas Brawijaya Malang, pada jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, program studi Budidaya Perairan serta menamatkannya pada tahun 1999. Kesempatan untuk melanjutkan ke program Magister Sains pada program studi Ilmu Perairan tahun 2005, merupakan beasiswa dari Departemen Pendidikan Nasional.

Penulis bekerja sebagai staf teknis di Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Umbulan, Jawa Timur sejak tahun 2000 sampai tahun 2002, dan mulai tahun 2003 diterima sebagai staf Departemen Pendidikan Nasional serta ditempatkan di Universitas Trunojoyo Madura.


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ...iv

DAFTAR GAMBAR ...v

DAFTAR LAMPIRAN ...vi

1 PENDAHULUAN ...1

1.1 Latar Belakang...1

1.2 Perumusan Masalah ...2

1.3 Tujuan ...2

1.4 Hipotesis ...2

2 TINJAUAN PUSTAKA ...3

2.1 Klasifikasi dan Biologi Udang Galah ...3

2.2 Morfologi dan Pemanfaatan Teripang ...6

2.3 Manipulasi Kelamin ...8

3 METODOLOGI ...12

3.1 Penelitian I ...12

3.2 Penelitian II ...18

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ...23

4.1 Penelitian I ...23

4.2 Penelitian II ...38

5 KESIMPULAN DAN SARAN ...45

5.1 Kesimpulan ...45

5.2 Saran ...45

DAFTAR PUSTAKA ...46


(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Perbedaan morfologi udang galah jantan dan betina ...3

2. Siklus hidup udang galah ...4

3. Alat kelamin udang galah dilihat dari sisi lateral (i) dan abdominal (ii) ...5

4. Teripang pasir (Holothuria scabra Jaeger) di alam dan teripang pasir beku yang akan diekstrak ...6

5. Organ tubuh teripang ...7

6. Rumus bangun inti steroid (cyclopentanohydrophenonthrene) (a) dan testosteron (b)...9

7. Waktu mulai diferensiasi kelamin beberapa spesies ikan teleostei ...10

8. Sensitivitas tahapan diferensiasi kelamin terhadap hormon steroid pada teleostei ...11

9. Calon induk udang galah matang gonad...12

10. Grafik persentase udang galah jantan ...24

11. Grafik rataan fekunditas induk udang galah ...26

12. Grafik rataan derajat pengeraman telur udang galah ...27

13. Grafik rataan derajat penetasan telur udang galah...29

14. Grafik rataan jumlah larva hidup ...30

15. Grafik konsentrasi testosteron dalam hemolymph induk ...35

16. Variasi ukuran juvenil (a) dan cacat bawaan (b) akibat hormon ...36

17. Grafik persentase udang galah jantan ...39


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Tahap awal (a) dan akhir (b) tingkat kematangan gonad (TKG) udang galah ...5

2. Parameter yang diamati dan metode yang digunakan untuk mengukur variabel penelitian I ...17

3. Parameter yang diamati dan metode yang digunakan untuk mengukur variabel penelitian II ...21

4. Persentase udang galah berkelamin jantan ...24

5. Fekunditas induk udang galah ...25

6. Derajat pengeraman telur udang galah ...27

7. Telur udang galah yang terbuahi dan tidak terbuahi ...28

8. Derajat penetasan telur udang galah ...29

9. Telur udang galah terbuahi tetapi gagal menetas ...29

10. Ukuran telur udang galah ...32

11. Peningkatan ukuran telur selama masa pengeraman ...32

12. Ukuran telur siap tetas ...33

13. Rata–rata pertumbuha n harian (ADG) larva dan juvenil udang galah ...33

14. Konsentrasi hormon testosteron dalam hemolymph ...34

15. Kualitas air pemeliharaan larva dan juvenil udang galah ...37

16. Persentase udang galah berkelamin jantan Derajat hidup udang galah ...38

17. Jumlah juvenil yang hidup per sepuluh hari selama 60 hari...40

18. Derajat hidup udang galah selama 60 hari...40

19. Pertambahan panjang dan berat juvenil udang galah ...41

20. Rata – rata pertumbuhan harian (ADG) juvenil udang galah ...42


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Variasi jumlah pakan per ekor larva per hari dan komposisi pakan buatan untuk

juvenil udang galah ...51

2. Tahapan pengambilan dan pengukuran konsentrasi hormon testosteron dalam hemolymph induk udang galah...52

3. Tahapan ekstraksi hormon steroid teripang ...53

4. Tahapan penyuntikan hormon testosteron pada induk udang galah ...56

5. Appendix masculinus yang terdapat pada kaki renang ke-2 Macrobrachium rosenbergii jantan...57

6. Tahapan perendaman juvenil menggunakan hormon testosteron...58

7. Analisis statistik udang galah berkelamin jantan...59

8. Analisis statistik fekunditas induk udang ...60

9. Analisis statistik derajat pengeraman telur udang galah...61

10. Analisis statistik derajat penetasan telur udang galah ...62

11. Persentase derajat hidup larva udang galah ...63

12. Analisis statistik derajat hidup larva udang galah ...64

13. Ukuran panjang dan berat larva udang galah ...65

13. Analisis statistik udang galah berkelamin jantan...67


(13)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Budidaya monoseks merupakan salah satu cara untuk memaksimalkan produksi perikanan, selain kualitas benih, optimasi lingkungan budidaya dan manajemen pakan yang tepat. Budidaya monoseks untuk ikan dan udang konsumsi, dilakukan berdasarkan pada kecepatan tumbuh dan ukuran maksimal yang dapat dicapai oleh komoditas perikanan tersebut (Balamurugan et al., 2004).

Organisme monoseks dapat dihasilkan melalui metode manipulasi kelamin (sex reversal), dengan pendekatan hormonal sebelum diferensiasi kelamin. Hormon steroid yang diberikan, menyebabkan zigot dengan genotipe XX akan berkembang menjadi karakter jantan secara fenotipe, atau sebaliknya zigot dengan genotipe XY akan berkembang menjadi karakter betina secara fenotipe (Wichins and Lee, 2002). Hormon yang umum dipakai untuk sex reversal jantan adalah metiltestosteron (Antiporda, 1986).

Metiltestosteron adalah hormon sintetis, yang dapat menyebabkan kerusakan hati hewan yang diberi perlakuan, serta hampir identik dengan hormon yang terdapat pada manusia. Akibatnya jika diberikan pada udang dan ikan konsumsi dengan manajemen salah, dapat mengganggu kesehatan manusia yang mengkonsumsinya. Hasil bioessai pada ayam, menunjukkan bahwa hormon sintetis memberikan efek samping toksik pada hati, limpa dan bursa fabricius (Riani et al., 2005). Berpedoman pada hal tersebut, sex reversal

merupakan salah satu cara untuk meningkatkan produksi. Namun di lain pihak dapat berakibat buruk baik pada biota itu sendiri maupun manusia yang mengkonsumsinya. Oleh karena itu perlu dicari sumber steroid yang bersifat alami dan aman untuk sex reversal.

Hasil uji Lieberman-Burchard dan hasil bioessai menggunakan anak ayam menunjukkan bahwa ekstrak teripang terbukti positif mengandung senyawa steroid. Rendemen terbesar diperoleh dari 1 kg jeroan basah sebesar 21,28 gr ekstrak kasar, yang mengandung steroid 6,124 mg/kg. Hasil analisis GC-MS dan NMR menunjukkan bahwa berat molekul steroid ekstrak teripang adalah 288,42 merupakan jenis testosteron. Memiliki proporsi daging dan jeroan 2,6 : 1, sehingga ekstrak testosteron diperoleh dari jeroan yang merupakan limbah pengolahan teripang (Riani et al. , 2005).

Untuk mengetahui tingkat keberhasilan sex reversal apabila menggunakan ekstrak steroid (testosteron) teripang, selanjutnya dicobakan pada komoditi perikanan yang banyak


(14)

diminati dan bernilai ekonomis tinggi yaitu udang galah (Macrobrachium rosenbergii de Man). Salah satu perbedaan morfologi udang galah adalah pada umur yang sama ukuran tubuh udang jantan lebih besar daripada ukuran tubuh betina. Maka akan lebih menguntungkan jika dilakukan budidaya udang galah jantan semua, sehingga biomass yang dihasilkan lebih besar dibandingkan budidaya udang galah betina saja atau campuran jantan dan betina (Balamurugan et al., 2004).

1.2 Perumusan Masalah

Secara alami produksi benih udang galah sebagian besar merupakan individu betina, dengan perbandingan 1 jantan : 3–6 betina. Pada umur sama, ukuran tubuh betina lebih kecil dari individu jantan (Murni, 2004). Hal tersebut menyebabkan biomass yang dihasilkan lebih kecil, sehingga apabila dibudidayakan maka produksi tidak maksimal. Jika lingkungan budidaya sudah memenuhi syarat hidup dan pakan yang diberikan sudah mencukupi energi untuk pertumbuhan, maka budidaya monoseks jantan merupakan cara untuk memaksimalkan produksi.

Steroid yang strukturnya sama dengan testosteron, telah berhasil diekstrak dari organ dalam tubuh (jeroan) teripang. Untuk lebih mengetahui efektivitasnya dalam sex reversal, perlu dicobakan pada komoditi perikanan yang banyak diminati, bernilai ekonomis tinggi dan mempunyai rasio populasi jantan dengan betina yang significant yaitu udang galah.

Efektivitas sex reversal ditentukan oleh dosis, waktu dan metode pemberian hormon. Untuk itu dilakukan penelitian dalam rangka menentukan dosis, waktu dan metode pemberian hormon testosteron yang tepat dari ekstrak jeroan teripang pada udang galah, serta mendeteksi konsentrasi testosteron dalam hemolymph, dan melihat efek–efek negatif yang mungkin ditimbulkan setelah pemberian hormon.

1.3 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi sejauh mana hormon testosteron dari ekstrak jeroan teripang dapat meningkatkan jumlah udang galah jantan.

1.4 Perumusan Hipotesis

Apabila pemberian hormon testosteron dari ekstrak jeroan teripang secara efektif dapat mempengaruhi zigot dan larva berkembang menjadi jantan, maka jumlah udang galah jantan akan lebih banyak dibanding udang galah betina.


(15)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi dan Biologi Udang Galah

Klasifikasi udang galah (Macrobrachium rosenbergii de Man) menurut Barnes (1987) adalah sebagai berikut; filum Arthropoda, kelas Crustacea, ordo Decapoda, famili

Palaemonidae, genus Macrobrachium, species Macrobrachium rosenbergii de Man.

Ciri khusus udang galah yang berbeda dengan jenis udang lain adalah bentuk rostrum panjang dan melengkung. Rostrum bagian atas terdapat 11–13 gerigi bagian bawah terdapat 8–14 gerigi. Bagian dada terdapat lima pasang kaki jalan (periopoda), bagian badan (abdomen) terdiri lima ruas masing–masing dilengkapi kaki renang (pleiopoda). Perbedaan morfologi udang galah jantan dengan betina, terlihat dari bentuk badan, bentuk dan ukuran kaki jalan kedua (Gambar 1), serta letak alat kelamin (Wichins and Lee, 2002).

Gambar 1. Perbedaan morfologi udang galah jantan dan betina.

Siklus hidup udang galah secara alami memerlukan lingkungan tawar dan air payau, tumbuh dan dewasa di perairan tawar sungai atau rawa yang berhubungan langsung dengan laut. Pada Gambar 2 terlihat bahwa udang galah muda (juvenile) beruaya ke air tawar, selanjutnya menjadi dewasa dan matang gonad memijah di sungai atau danau. Induk betina yang telah memijah dan mengerami telur, selanjutnya kembali beruaya ke muara sungai untuk melepas telurnya. Larva baru menetas segera mencari lingkungan hidup yang sesuai, yaitu air payau, untuk tumbuh menjadi pasca larva (juvenile) setelah melewati perkembangan larva stadium I sampai XI. Setiap tahap perkembangan terjadi pergantian kulit yang diikuti perubahan struktur morfologis. Juvenile selanjutnya beruaya kembali ke air tawar (D’Abramo et al., 2001).


(16)

Gambar 2. Siklus hidup udang galah (Murni, 2004).

Jenis kelamin jantan dan betina udang galah terpisah secara nyata pada individu yang berbeda (diocious). Alat kelamin jantan (petasma) berfungsi untuk menyalurkan sperma ke alat kelamin betina (thelicum) yang berfungsi untuk menampung sperma sebelum terjadi pembuahan. Telur yang keluar dari saluran telur (oviduct) selanjutnya dibuahi oleh sperma yang telah tersimpan. Pembuahan terjadi di luar tubuh (external). Telur yang telah dibuahi selanjutnya dierami induk betina sampai menetas (Wichins and Lee, 2002).

Fekunditas udang galah tergantung ukuran, umur dan ketersediaan makanan. Semakin besar induk maka fekunditas semakin besar, dan jumlah telur berbanding konstan dengan bobot tubuh. Induk berbobot 50 g mampu menghasilkan telur antara 16.000– 25.000 butir (Graziani et al., 2003), atau yang mempunyai panjang 14–20 cm mampu menghasilkan telur 14.000–69.000 butir (Murni, 2004).

Gambar 3 menunjukkan perbedaan bentuk dan letak alat kelamin udang galah jantan dengan betina, apabila dilihat dari sisi lateral dan abdominal. Dari sisi lateral (i), alat kelamin jantan terlihat lebih menonjol dari alat kelamin betina. Dari sisi abdominal (ii), terlihat alat kelamin jantan berbentuk bulat kecil agak memanjang dan terletak di antara kaki jalan ke-4 dan ke-5. Alat kelamin betina berbentuk bulatan besar dan terletak di antara kaki jalan ke-3.


(17)

(i) (ii) (A)

(i) (ii)

(B)

Gambar 3. Alat kelamin udang galah dilihat dari sisi lateral (i) dan abdominal (ii). A: Petasma pada udang jantan terletak antara kaki jalan ke 4 dan 5, B: Thelicum pada udang betina terletak antara kaki jalan ke 3

(Susilowati, 1996).

Kematangan gonad betina dicapai pada bobot tubuh 20 g, tetapi fekunditas terbaik untuk pembenihan dicapai pada bobot tubuh 40 g (Mossolin and Bueno, 2002; Graziani et al., 2003) dan panjang tubuh 18,1–22,9 cm (Wichins and Lee, 2002). Berdasar hasil penelitian, pada panjang tubuh 15,5 cm telah dapat melakukan pemijahan (Murni, 2004). Kriteria tingkat kematangan gonad (TKG) udang galah disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Tahap awal (a) dan akhir (b) tingkat kematangan gonad (TKG) udang galah (Murni, 2004)

No TKG Keterangan

1

Ia b

Garis ovari kelihatan berwarna hijau kehitaman, selanjutnya volume bertambah besar. Pada akhir stadia pertama garis ini sudah jelas dan terlihat memanjang pada bagian dorsal dari

cephalothorax

2

IIa b

Warna dan bentuk ovari semakin tebal dan jelas. Pada akhir stadia kedua warna ovari tampak kuning dan bentuknya semakin melebar ke arah belakang rostrum.

3

IIIa b

Warna ovari kuning tua dan volumenya berkembang ke arah samping cephalothorax. Di akhir stadia ke- 3 warna ovari dan organ eksternalnya (telikurri) menjadi merah oranye ,

spermatofor semakin berkembang dan siap memijah 4

IVa b

Pada stadium ke-4 i n i sudah terjadi ovulasi. Warna dan bentuk gonad mengalami perubahan y a i t u warna semakin pucat dan volumenya semakin mengecil yang ditandai adanya garis putus-putus dan tanda tersebut akan hilang dalam waktu dua hari


(18)

Pada kondisi budidaya, udang galah mengkonsumsi baik jasad hewan maupun tumbuhan seperti, cacing, moluska, krustase, daging dan organ dalam ikan, binatang lain, biji–bijian, beras, gandum, daging kelapa, buah–buahan, dan pelet. Untuk mendeteksi pakan, udang galah dilengkapi dengan sepasang kaki jalan 1 dan 2. Pakan dideteksi dari rambut sensor pada kedua pasang kaki jalannya (Wichins and Lee, 2002).

2.2 Morfologi dan Pemanfaatan Teripang

Morfologi teripang pasir (Holothuria scabra, Jaeger) menurut Skewes et al.(2004) adalah bulat panjang (elongated cylindrical) sepanjang sumbu oral–aboral. Mulut dan anus terletak di ujung poros berlawanan, yaitu mulut di anterior dan anus di posterior. Di sekitar mulut teripang terdapat tentakel yang dapat dijulurkan dan ditarik dengan cepat. Tentakel merupakan modifikasi kaki tabung yang berfungsi untuk menangkap pakan.

Warna teripang berbeda–beda, yaitu putih, hitam, coklat kehijauan, kuning, abu–abu, jingga, ungu, bahkan ada yang berpola garis. Teripang pasir mempunyai dorsal berwarna abu–abu kehitaman dengan bintik putih atau kuning (Purwati, 2005), seperti yang terlihat pada Gambar 4.

(a) (b)

Gambar 4. Teripang pasir (Holothuria scabra, Jaeger) di alam (a)(Skewes et al.,

2004), dan teripang pasir beku yang akan diekstrak (b)

Permukaan tubuh teripang tidak bersilia dan diselimuti lapisan kapur, yang ketebalannya dipengaruhi umur. Dari mulut membujur ke anus terdapat lima deret kaki tabung (ambulaceral), tiga deret kaki tabung berpenghisap (trivium) terdapat di perut berperan dalam pergerakan dan perlekatan. Dua deret kaki tabung terdapat di punggung (bivium) sebagai alat respirasi. Di bawah lapisan kulit terdapat satu lapis otot melingkar dan lima lapis otot memanjang. Di bawah lapisan otot terdapat rongga tubuh yang berisi organ tubuh seperti gonad dan usus (Barnes, 1987 dan Conand, 1990), seperti yang terlihat pada Gambar 5.


(19)

Gambar 5. Organ tubuh teripang (Conand, 1990)

Menurut James et al. (1994) teripang pasir mempunya i panjang maksimal 40 cm dan bobot saat kondisi hidup adalah 500 g, serta matang gonad saat usia 18 bulan. Ukuran saat matang gonad pertama diperkirakan 20 cm, dan usia teripang bisa mencapai 10 tahun.

Zat gizi yang terkandung dalam teripang antara lain protein 6,16%, lemak 0,54%, karbohidrat 6,41% dan kalsium 0,01% (kondisi segar, kadar air 86,73%), teripang kering mempunyai kadar protein tinggi yaitu 82% dengan kandungan asam amino yang lengkap, dan asam lemak jenuh yang penting untuk kesehatan jantung. Selain itu teripang juga mengandung phosphor, besi dan yodium, natrium, kalium, vitamin A dan B, thiamin, riboflavin dan niacin (Wibowo dkk., 1997).

Menurut Wibowo dkk. (1997), teripang mengandung bahan bioaktif (antioksidan) yang berfungsi mengurangi kerusakan sel jaringan tubuh. Hasil penelitian Kaswandi dkk.

(2000) menunjukkan bahwa ekstraksi komponen antibakteri dari teripang (Holothuria vacabunda) cukup efektif menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli, Vibrio damsela, Vibrio harveyi, Vibrio parahaemolyticus dan Vibrio charcariae. Ekstrak teripang juga menunjukkan aktivitas antiprotozoa dan menghambat pertumbuhan sel tumor.


(20)

tercatat mengenal teripang sebagai makana n berkhasiat medis sejak dinasti Ming. Tubuh dan kulit teripang Stichopus japonicus banyak mengandung asam mukopolisakarida yang bermanfaat untuk penyembuhan penyakit ginjal, anemia, diabetes, paru-paru basah, anti tumor, anti inflamasi, pencegahan penuaan jaringan tubuh dan mencegah arteriosclerosis, sedangkan ekstrak murninya menghasilkan holotoksin yang efeknya sama dengan antimisin dosis 6,25-25,00 µg/ml (Wibowo dkk., 1997).

Sampai saat ini, penelitian teripang yang sudah dilakukan masih terbatas pada teknik budidaya, daerah penyebaran dan ekologi, teknologi pengolahan (Purwati, 2005), aktivitas antibakteri Cucumaria frondosa (Kaswandi dkk., 2000), aktivitas antijamur Holothuria tubolosa (Lian et al., 2000), efek ekstrak ethanol Stichopus variegatus Semper (Jamiah et al., 2000), efek ekstrak methanol Holothuria atra dan Stichopus variegatus (Ping et al.,

2000), aktivitas serum amyloid A Holothuria glaberrina, struktur glikosida Stichopus

mollis, dan isolasi fucan sulphate Stichopus japonicus sebagai penghambat

osteoclastogenesis (Tan et al., 2000). Di lain pihak penelitian mengenai pemanfaatan bahan aktif teripang pasir yang diyakini merupakan aprodisiaka (steroid) alami belum pernah dilakukan, karena baru sebatas pengalaman masyarakat pesisir (indigenous knowledge).

2.3 Manipulasi Kelamin

Jenis kelamin berpengaruh penting dalam budidaya perikanan karena, antara jantan dan betina terdapat perbedaan laju pertumbuhan, pola tingkah laku dan ukuran maksimum yang bisa dicapai. Jenis kelamin ditentukan bersama oleh faktor genetis dan lingkungan, yang bekerja secara sinergis menentukan ekspresi fenotipe suatu karakter (Purdom, 1993).

Peran faktor lingkungan menentukan ekspresi fenotipe jenis kelamin ikan dan udang, memungkinkan perubahan kelamin dilakukan tanpa mengubah genetisnya yaitu melalui pendekatan hormonal. Perubahan genetis dilakukan melalui persilangan antar spesies atau genus. Pendekatan hormonal dilakukan dengan cara pemberian steroid androgen maupun estrogen, sebelum diferensiasi kelamin (Purdom, 1993; Pandian and Koteeswaran, 2000).

Hormon adalah bahan kimia organik, merupakan senyawa aktif biologis yang dihasilkan oleh bagian kelenjar, jaringan atau organ tertentu dari hewan dan manusia, bekerja pada konsentrasi kecil dan mempunyai cara kerja yang spesifik. Hormon mempunyai peranan yang sangat penting dalam pengaturan fisiologi, dan umumnya hormon bekerja sebagai aktivator spesifik atau inhibitor dari enzim (Murray et al., 2003).


(21)

larut dalam lemak. Klasifikasi hormon steroid berdasarkan respons fisiologis adalah sebagai berikut (Murray et al., 2003) :

1. Glucocorticoids, seperti cortical (C21) yang mengatur metabolisme protein, lemak dan karbohidrat, dan mempengaruhi fungsi- fungsi penting seperti reaksi

inflammatory dan meredakan stress.

2. Aldosterone dan mineralcorticoids lainnya, mengatur pembuangan garam dan air melalui ginjal.

3. Androgen dan estrogen yang mengatur perkembangan dan fungsi seksual. Testosteron, komponen C19 merupakan hormon androgen (seks jantan).

Hormon steroid merupakan turunan kolesterol, dengan rumus bangun berupa cincin siklopentana cyclopentanoperhydrophenanthrene (Turner and Bagnara, 1988) (Gambar 6).

(a) (b)

Gambar 6. Rumus bangun inti steroid (cyclopentanohydrophenanthrene)

(a) dan testosterone (b) (Turner and Bagnara, 1988)

Penggunaan hormon steroid dalam kegiatan reproduksi adalah untuk proses diferensiasi kelamin, pembentukan gamet, ovulasi, spermiasi, pemijahan, ciri kelamin sekunder, perubahan morfologis atau fisiologis saat musim pemijahan dan produksi feromon (Yamazaki, 1983; Matty, 1985). Pemberian hormon untuk sex reversal bertujuan mempengaruhi keseimbangan hormon dalam darah yang saat diferensiasi kelamin sangat menentukan individu tertentu akan menjadi betina atau jantan dengan cara memasukkan dari luar tubuh (Sumantadinata dan Carman, 1995; Rougeot et al., 2002)

Diferensiasi kelamin meliputi seluruh aktivitas terkait dengan keberadaan gonad, seperti perpindahan awal sel nutfah, munculnya bagian tepi gonad dan diferensiasi gonad menjadi ovari atau testis. Diferensiasi kelamin dapat melalui dua jalan berbeda, pertama gonad langsung berdiferensiasi menjadi ovari atau testis, yang kedua gonad berdiferensiasi menjadi ovari kemudian menjadi testis. Ragam diferensiasi sangat ditentukan kondisi periode labil tiap spesies karena efektivitas kerja hormon steroid (Rougeot et al., 2002).


(22)

Diferensiasi kelamin beberapa spesies ikan dapat dimulai saat embrio, setelah penetasan (larva), juvenil, bahkan dewasa.

Gambar 7 menunjukkan beberapa spesies ikan teleostei mulai berdiferensiasi saat tahap embriogenesis yaitu, Poecilia reticulata dan Onchorhynchus kisutch, tetapi ada juga yang mulai berdiferensiasi saat juvenile yaitu, Dicentrarchus labrax, Mugil cephalus dan

Anguilla anguilla. Pemberian hormon steroid untuk mengubah jenis kelamin dilakukan sebelum kelamin ikan berdiferensiasi, sehingga dapat mengarahkan pembentukan kelamin ikan seperti yang dikehendaki secara optimal.

Gambar 7. Waktu mulai diferensiasi kelamin beberapa spesies ikan teleostei (Pifferrer, 2001)

Pada udang galah, jaringan gonad yang belum berdiferensiasi masih labil untuk jangka pendek, tetapi perkembangan akan terus meningkat sejalan bertambahnya umur. Determinasi gen jantan udang galah tidak berfungsi baik selama periode larva ke pascalarva, tetapi muncul kemudian saat awal perkembangan juvenil (Mantel and Dudgeon, 2005). Interval waktu perkembangan gonad sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pemberian hormon, terutama saat gonad dalam keadaan labil. Hal tersebut terkait erat dengan fungsi hormon steroid sebagai perangsang diferensiasi kelamin (Antiporda, 1986).

Perubahan fungsi kelamin udang galah dengan morfologi kelamin sekunder mendekati lengkap terjadi saat panjang karapas 15 mm – 17 mm (Mantel and Dudgeon,


(23)

2005). Menurut Piferrer (2001), sensitivitas hormon steroid eksogenus terhadap diferensiasi kelamin tergantung pada fase perkembangan gonad. Saat gonad belum terbentuk, sensitivitas belum kelihatan, begitu terbentuk gonad maka sensitivitas hormon mulai ada selanjutnya terus meningkat hingga mencapai puncak pada fase diferensiasi kelamin secara fisiologis (Gambar 8).

Gambar 8. Sensitivitas tahapan diferensiasi kelamin terhadap hormon steroid pada teleostei (Pifferrer, 2001)

Gambar 8 menunjukkan grafik sensitivitas gonad terhadap pemberian hormon steroid, dimana sensitivitas tertinggi terjadi saat sebelum diferensiasi kelamin secara fisiologis dan secara histologis. Berdasar hal tersebut, maka perlakuan hormon akan memberikan efek pengubahan kelamin tertinggi jika diberikan tepat sebelum tahap diferensiasi kelamin secara fisiologis.

Penggunaan hormon steroid pada udang dapat dilakukan dengan beberapa cara, seperti lewat mulut (oral), penyuntikan (injection) dan perendaman (dipping). Dosis hormon yang diberikan tidak boleh berlebihan karena dapat menimbulkan tekanan pada pembentukan gonad, efek paradoksial, pertumbuhan rendah dan kematian tinggi (Wichins and Lee, 2002). Penggunaan hormon dengan waktu lebih singkat ternyata lebih efektif, diduga ada hubungan terbalik antara dosis dan lama waktu perlakuan, sehingga perlakuan hormon dosis tinggi membutuhkan waktu lebih singkat. Terjadinya ikan intersex


(24)

3 METODOLOGI

Penelitian dilakukan di Sub Unit Pembenihan Udang Galah (SUPUG) Pelabuhan Ratu, Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi, dari bulan Juli 2006 sampai bulan Januari 2007. Penelitian terbagi dalam dua bagian yang berbeda, yaitu mengamati efektivitas hormon testosteron yang diberikan pada calon induk udang galah untuk mengubah kelamin menjadi jantan saat fase embrio (penelitian I) dan mengamati efektivitas ho rmon testosteron yang diberikan pada juvenil udang galah untuk mengubah kelamin menjadi jantan sebelum terjadi diferensiasi (penelitian II).

3.1 Penelitian I a. Metode Penelitian

Metode dan Disain Penelitian

Perlakuan pemberian testosteron pada calon induk udang dilakukan melalui penyuntikan pada saat matang gonad (Gambar 9). Perlakuan yang dicobakan adalah sebagai berikut:

A. Penyuntikan testosteron teripang dengan dosis 0 (kontrol negatif). B. Penyuntikan testosteron teripang dengan dosis 5 mg/kg induk. C. Penyuntikan testosteron teripang dengan dosis 10 mg/kg induk. D. Penyuntikan testosteron teripang dengan dosis 15 mg/kg induk.

E. Penyuntikan 17a- metiltestosteron dengan dosis 15 mg/kg induk (kontrol positif).


(25)

Calon induk udang galah yang digunakan berukuran panjang kurang lebih 12-14cm dengan bobot tubuh kurang lebih 20–35g, yang sebelumnya telah diadaptasikan. Setiap calon induk matang gonad disuntik hormon testosteron sesuai perlakuan, dan selanjutnya dimasukkan ke bak pengamatan secara acak. Salinitas dalam bak pengamatan dibuat 5g/kg, setelah telur menetas salinitas ditingkatkan menjadi 10g/kg. Pakan yang diberikan pada induk berupa daging cumi–cumi dengan dosis ad libitum. Pakan larva umur 3–12 hari berupa naupli artemia, setelah 12 hari dilanjutkan dengan pakan buatan. Variasi jumlah pakan per ekor larva per hari dan komposisi pakan buatan untuk juvenil udang galah dapat dilihat pada Lampiran 1.

Satuan Penelitian

Jumlah calon induk udang galah ya ng digunakan dalam penelitian sebanyak 35 ekor betina dan 35 ekor jantan. Setiap bak pengamatan digunakan untuk memelihara 1 ekor induk betina. Pengamatan perkembangan gonad, penetasan dan pemeliharaan larva menggunakan bak fiber kapasitas 2 ton sebanyak 20 unit. Untuk pengamatan menggunakan 15 bak, dan 5 bak digunakan untuk sediaan stok pengambilan sampel. Pemeliharaan juvenil, di bak beton yang disekat menjadi 15 petak, panjang 1,5 meter, lebar 1,0 meter dan kedalaman 1,5 meter. Padat tebar juvenil adalah 200 ekor setiap petak.

Disain Waktu Evaluasi

Calon induk dipelihara dalam bak pengamatan selama 20 hari atau sampai larva dilepaskan ke air. Evaluasi tingkat kematangan gonad (TKG) dilakukan setiap hari, dengan cara mengamati perubahan fase gonad yang terlihat dari morfologinya, yakni volume dan warna nya dalam gonad.

Setelah larva dilepaskan ke air, induk dan larva segera diambil, endapan di dasar bak disifon, selanjutnya bak dibersihkan. Setelah dikeringkan sekitar 1 jam, bak kembali diisi air, jumlah larva dihitung dan dikembalikan ke dalam bak. Induk diambil hemolymphnya, jumlah telur yang tidak dibuahi dan gagal menetas, serta larva yang mati dihitung. Jumlah telur yang menetas dihitung 24 jam setelah proses pelepasan ke air, selanjutnya perhitungan jumlah dan ukuran larva hidup dilakukan setiap 10 hari selama 60 hari masa pemeliharaan. Masa pemeliharaan juvenil selama kurang lebih 60 hari. Selama penelitian dilakukan pengukuran suhu, oksigen terlarut dan pH setiap hari sebelum pemberian pakan pada pagi hari jam 06.00 wib dan sore hari jam 17.00 wib.


(26)

Parameter Penelitian Parameter Utama

- nisbah kelamin jantan (jumlah kelamin jantan dan betina) J (%) =

T A

x 100%

keterangan : J : persentase jenis kelamin jantan (%) A : jumlah udang berkelamin jantan T : jumlah sample udang yang diamati

- fekunditas (bobot calon induk dan jumlah telur)

Fekunditas (butir/g induk) = S telur yang diovulasikan (butir) / bobot induk (g)

S telur (butir) =

) (PsxGc

Bp

x Yt

keterangan : Bp = volume air wadah pemijahan Ps = frekuensi pengambilan contoh

Gc = volume air sample pada gelas ukur Yt = jumlah telur rata-rata sampel

- derajat pengeraman (jumlah telur yang dierami) Derajat pengeraman (%) =

an diovulasik telur Total dibuahi telur Total x 100%

- hatching rate (jumlah telur yang menetas)

Hatching rate (%) =

an diovulasik telur Total menetas telur Total x 100%

- survival rate (jumlah larva dan juvenil yang hidup selama penelitian)

Survival rate (%) =

menetas telur Total hidup udang Total x 100% Parameter Penunjang - ukuran telur

Diameter telur diukur menggunakan mikrometer, berat diukur dengan neraca analitik.

- pertumbuhan larva dan juvenil (panjang dan berat tubuh)

Untuk mengetahui pertumbuhan udang galah, dilakukan dengan mengukur pertambahan panjang dan berat tubuh.


(27)

Selanjutnya dihitung rata–rata pertumbuhan hariannya/average daily gain (ADG) menggunakan rumus;

ADG = t

wo wt

   

1 x 100%

keterangan: ADG = rata–rata pertumbuhan harian wo = bobot tubuh awal (mg)

wt = bobot tubuh akhir (mg) t = waktu pemeliharaan (hari)

- konsentrasi testosteron dalam hemolymph induk pasca pelepasan larva

Analisis konsentrasi testosteron dalam hemolymph saat induk matang gonad, masa inkubasi dan setelah pelepasan larva. Tahap pengambilan hemolymph dan pengukuran konsentrasi testosteron dalam hemolymph, dapat dilihat pada Lampiran 2.

- efek negatif akibat pemberian hormon (jumlah dan jenis kelainan morfologi juvenil) C (%) =

T A

x 100%

keterangan : C : persentase udang cacat (%) A : jumlah udang cacat

T : jumlah sample udang yang diamati

- kualitas air (DO, pH dan suhu)

Kualitas air diamati pada jam 06.00 dan 17.00 (WIB)yang meliputi; - dissolved oxygen (DO),

- pH - Suhu

b. Teknik Pengumpulan Data Bahan

Hormon Steroid

Hormon testosteron alami diperoleh dari ekstrak organ dalam (jeroan) teripang pasir (Holothuria scabra Jaeger), sedangkan hormon sintetis yang digunakan sebagai kontrol adalah 17a- metiltestosteron. Teripang pasir didatangkan dari Jakarta dan Lampung. Tahapan ekstraksi hormon steroid teripang disajikan pada Lampiran 3.


(28)

Udang Uji

Udang galah yang digunakan merupakan calon induk hasil budidaya di Sukabumi. Larva dan juvenil yang diamati merupakan hasil penetasan telur induk selama penelitian.

Pakan

Calon induk udang galah diberi pakan segar daging cumi, dengan dosis ad libitum. Pakan yang diberikan pada larva umur 3–12 hari berupa naupli artemia, setelah 12 hari diberi pakan buatan. Frekuensi pakan larva 3 kali sehari, jam 07.00 wib, 12.00 wib dan 17.00 wib. Frekuensi pemberian pakan juvenil 2 kali sehari, jam 07.00 dan 17.00 wib.

Air Media Pemeliharaan

Calon induk udang galah dipelihara dalam air tawar bersalinitas 0. Pada bak pengamatan digunakan media pemeliharaan air payau bersalinitas 5 g/kg. Setelah telur menetas menjadi larva sampai akhir penelitian, salinitasnya dinaikkan menjadi 10 g/kg.

Wadah Pemeliharaan

Wadah pemeliharaan calon induk udang galah sebelum perlakuan berupa bak beton berkapasitas 10 ton berukuran 2,5 m x 4,0 m dan tinggi 1,0 m. Wadah penetasan telur dan pemeliharaan larva (bak pengamatan) berupa bak fiber berkapasitas 2 ton diameter 2,0 m. Wadah pemeliharaan juvenil adalah bak beton yang disekat menjadi 15 petak, panjang 1,5 meter, lebar 1,0 meter dan kedalaman 1,5 meter.

Metode Pengukuran

Pada penelitian ini jumlah udang jantan dihitung berdasarkan karakter kelamin sekunder, yaitu adanya appendix masculinus yang terdapat pada kaki renang ke-2 (Lampiran 4). Variabel penelitian yang lain diukur menggunakan metode tertentu. Untuk lebih jelasnya variabel penelitian dan metode pengukurannya dapat dilihat pada Tabel 2.

Prosedur Pelaksanaan

- persiapan bak pemeliharaan

Persiapan bak meliputi bak pemeliharaan calon induk (bak adaptasi), bak penetasan dan bak pemeliharaan larva (bak pengamatan), serta corong penetasan artemia. Bak dicuci agar bebas kotoran dan bakteri yang merugikan, menggunakan kaporit (CaOCl) 10 ppm. Dibilas dengan air bersih, setelah itu dibiarkan selama 1 jam baru digunakan.


(29)

- persiapan air media pemeliharaan

Pada kegiatan penetasan dipersiapkan air payau dengan salinitas 5 g/kg, sedangkan saat pemeliharaan larva dan juvenil dipersiapkan air payau dengan salinitas 10 g/kg.

- seleksi calon induk

Seleksi calon induk udang galah dilakukan secara morfologis, berdasarkan ciri–ciri morfologisnya seperti ukuran panjang dan berat, kelengkapan organ, kulit luar dan umur.

Tabel 2. Parameter yang diamati dan metode yang digunakan untuk mengukur variabel penelitian I

No Variabel penelitian Metode pengukuran

1 Jumlah udang jantan dan betina Pengamatan jenis kelamin juvenil secara morfologis. Jumlah sampel 30 ekor

2 Fekunditas :

- Bobot induk udang galah

- Jumlah telur

Diukur menggunakan timbangan meja dengan ketelitian 0,1 mg

Mengambil larva dan telur menggunakan saringan, selanjutnya hasil dijumlahkan. 3 Derajat pengeraman Mengambil telur yang tidak menetas dari

dasar bak menggunakan slang sifon.

4 Hatching rate Mengambil larva baru menetas menggunakan

saringan halus.

5 Survival rate Mengambil larva mulai 48 jam setelah

penetasan sampai akhir penelitian.

6 Ukuran telur Diukur menggunakan mikroskop yang

dilengkapi mikrometer dan neraca analitik

7 Pertumbuhan Diukur menggunakan mikroskop yang

dilengkapi mikrometer, mistar dan neraca analitik

8 Konsentrasi testosteron dalam

hemolymph induk

Diukur menggunakan testosteron kit

9 Efek negatif pemberian hormon : - jumlah juvenil cacat

- jenis kelainan morfologi Diamati menggunakan kaca pembesar 10 Kualitas air :

- oksigen terlarut (DO) - pH - suhu Diukur menggunakan; DO meter pH meter thermometer

- pelaksanaan penelitian dan pengumpulan data

Calon induk udang galah diadaptasikan dan dipelihara dalam bak secara massal. Induk yang telah matang gonad, disuntik dengan hormon sesuai dengan perlakuan. Tahapan penyuntikan induk dapat dilihat pada Lampiran 5. Selanjutnya induk yang telah


(30)

disuntik, dimasukkan bak pengamatan dengan kepadatan 1 ekor/bak. Induk yang telah melepaskan larva diambil sampel hemolymphnya, dan dipindah ke bak adaptasi.

Telur dalam bak pengamatan dihitung jumlah total dan jumlah yang dierami, serta dilakukan pengukuran diameter dan beratnya, serta penetasan sisteartemia. Setelah proses penetasan telur selesai, dilakukan perhitungan hatching rate dan survival rate, serta pengamatan pertumbuhan. Pengamatan jenis kelamin dimulai saat udang galah berumur 120 hari. Pada akhir penelitian, dilakukan pengamatan kelainan morfologis akibat perlakuan hormon.

c. Analisis Data

Untuk mengetahui apakah perlakuan hormon memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah udang galah jantan, maka dilakukan analisis statistik. Untuk mengetahui apakah perlakuan hormon juga berpengaruh nyata pada aspek reproduksi, maka dilakukan analisis statistik mengenai fekunditas, derajat pengeraman, hatching rate, dan survival rate. Ukuran telur, pertumbuhan larva, kandungan testosteron hemolymph, jumlah udang cacat, kualitas air dianalisis secara deskriptif dan ditampilkan dalam bentuk tabel dan gambar.

3.2 Penelitian II a. Metode Penelitian

Metode dan Disain Penelitian

Perlakuan hormon pada juvenil udang galah dengan metode perendaman (dipping), selama 24 jam. Perlakuan perendaman yang diujikan adalah sebagai berikut:

A. Juvenil direndam dalam air tanpa diberi hormon steroid (kontrol negatif).

B. Juvenil direndam dalam air yang telah diberi larutan ekstrak steroid teripang dengan konsentrasi 1 mg/l selama 24 jam.

C. Juvenil direndam dalam air yang telah diberi larutan ekstrak steroid teripang dengan konsentrasi 2 mg/l selama 24 jam.

D. Juvenil direndam dalam air yang telah diberi larutan ekstrak steroid teripang dengan konsentrasi 3 mg/l selama 24 jam.

E. Juvenil direndam dalam air yang telah diberi larutan hormon 17a- metiltestosteron dengan konsentrasi 2 mg/l selama 24 jam (kontrol positif).


(31)

Satuan Penelitian

Penelitian menggunakan bak pengamatan bervolume 15 l sebanyak 15 unit. Jumlah juvenil udang galah yang digunakan dalam penelitian sebanyak 900 ekor. Setiap bak digunakan untuk memelihara 60 ekor juvenil.

Disain Waktu Evaluasi

Juvenil udang galah dipelihara selama 60 hari atau sampai ciri kelamin sekundernya terlihat jelas. Evaluasi survival rate dilakukan setiap 10 hari sampai akhir pene litian.

Penyifonan dasar bak dilakukan setiap hari pada pagi hari sebelum pemberian pakan. Pengukuran suhu, oksigen terlarut dan pH dilakukan setiap hari sebelum pemberian pakan pada pagi hari jam 06.00 wib dan sore hari jam 17.00 wib.

Parameter Penelitian Parameter Utama

- nisbah kelamin jantan (jumlah kelamin jantan dan betina) J (%) =

T A

x 100%

keterangan : J : persentase jenis kelamin jantan (%) A : jumlah udang berkelamin jantan T : jumlah sample udang yang diamati

- survival rate (jumlah udang yang hidup selama penelitian)

Survival rate (%) =

mati udang total hidup udang Total hidup udang Total

+ x 100%

Parameter Penunjang

- pertumbuhan juvenil (panjang dan berat tubuh)

Untuk mengetahui pertumbuhan udang galah, dilakukan dengan mengukur pertambahan panjang dan berat tubuh. Selanjutnya dihitung rata–rata pertumbuhan hariannya/average daily gain (ADG) menggunakan rumus;

ADG = t

wo wt     

1 x 100%

keterangan: ADG = rata–rata pertumbuhan harian wo = bobot tubuh awal (mg)

wt = bobot tub uh akhir (mg) t = waktu pemeliharaan (hari)


(32)

- efek negatif akibat pemberian hormon (jumlah dan jenis kelainan morfologi) C (%) =

T A

x 100%

keterangan : C : persentase udang cacat (%) A : jumlah udang cacat

T : jumlah sample udang yang diamati

- kualitas air (DO, pH dan suhu) Kualitas air yang diamati meliputi;

- Dissolved Oxygen (DO), frekuensi 2 kali/hari jam 06.00 dan 17.00 (WIB) - pH, frekuensi pengamatan 2 kali/hari jam 06.00 dan 17.00 (WIB)

- Suhu, frekuensi pengamatan 2 kali/hari jam 06.00 dan 17.00 (WIB)

b. Teknik Pengumpulan Data Bahan

Hormon Steroid

Hormon testosteron alami diperoleh dari ekstrak organ dalam (jeroan) teripang pasir, sedangkan hormon sintetis yang digunakan adalah 17a-metiltestosteron.

Udang Uji

Udang galah (Macrobrachium rosenbergii, de Man) yang digunakan merupakan juvenil hasil budidaya di Sukabumi berukuran panjang kurang lebih 12 mm.

Pakan

Pakan yang diberikan pada udang berupa pakan buatan, frekuensi pemberian pakan 2 kali sehari yaitu pada jam 07.00 wib dan 17.00 wib.

Air Media Pemeliharaan

Air media dalam bak adaptasi dan bak pengamatan bersalinitas 10 g/kg.

Wadah Pemeliharaan

Wadah pemeliharaan udang galah sebelum perlakuan (bak adaptasi), berupa bak fiber berkapasitas 1 ton diameter 2 m. Wadah pemeliharaan udang setelah perlakuan hormon, berupa bak plastik bervolume 15 l.


(33)

Metode Pengukuran

Pada penelitian ini ada beberapa variabel yang diukur menggunakan metode tertentu. Untuk lebih jelasnya variabel penelitian dan metode pengukurannya dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Parameter yang diamati dan metode yang digunakan untuk mengukur variabel penelitian II

No Variabel Penelitian Metode Pengukuran

1 Jumlah udang jantan dan betina Pengamatan jenis kelamin juvenil secara morfologis. Jumlah sampel 30 ekor.

2 Survival rate Menghitung udang yang mati, dimulai

setelah perlakuan sampai akhir penelitian. 3 Pertumbuhan Diukur mengunakan mistar dan neraca analitik 4 Efek negatif pemberian hormon :

- jumlah udang cacat

- macam kelainan morfologi Diamati menggunakan kaca pembesar . 5 Kualitas air : - oksigen terlarut (DO)

- pH - suhu

DO meter pH meter thermometer

Prosedur Pelaksanaan

- persiapan wadah pemeliharaan

Persiapan wadah meliputi bak adaptasi, bak pengamatan dan bak penetasan artemia. Bak dicuci agar bebas dari kotoran dan bakteri yang merugikan, menggunakan kaporit (CaOCl) 10 ppm. Dibilas dengan air bersih, dan dibiarkan hingga 24 jam baru digunakan.

- persiapan air media pemeliharaan

Mempersiapkan air media pemeliharaan dalam bak adaptasi dan bak pengamatan bersalinitas 10 g/kg.

- seleksi juvenil

Seleksi juvenil udang galah dilakukan secara morfologis, berdasarkan ciri–ciri morfologisnya seperti ukuran panjang, kelengkapan organ, warna tubuh dan umur.

- pelaksanaan penelitian dan pengumpulan data

Juvenil udang galah dipelihara dalam bak adaptasi secara massal, selanjutnya diberi perlakuan perendaman hormon testosteron sesuai perlakuan yang telah ditentukan. Tahapan perendaman juvenil menggunakan hormon disajikan pada Lampiran 6.


(34)

Kepadatan juvenil dalam bak pengamatan adalah 60 ekor per 15 liter. Selanjutnya juvenil diberi pakan sesuai dengan jenis dan dosis yang telah ditentukan.

Jumlah udang dalam bak pengamatan selanjutnya dihitung setiap hari, dan setiap 10 hari diukur panjang dan berat tubuhnya. Selanjutnya dilakukan perhitungan survival rate.

Udang dibesarkan selama 60 hari atau sampai dapat dibedakan jenis kelamin serta diamati efek negatif akibat perlakuan hormonnya. Efek negatif yang mungkin timbul didasarkan pada kelainan morfologis udang atau cacat organ. Jenis kelamin berdasarkan pada ciri kelamin sekunder, yaitu keberadaan appendix masculinus pada kaki renang kedua.

c. Analisis Data

Untuk mengetahui apakah perlakuan hormon memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah udang galah jantan, maka dilakukan analisis statistik. Untuk mengetahui apakah perlakuan hormon juga berpengaruh nyata pada kehidupan udang, maka dilakukan analisis statistik mengenai survival rate. Data mengenai pertumbuhan, jumlah udang cacat, kualitas air dianalisis secara deskriptif dan ditampilkan dalam bentuk tabel dan gambar.


(35)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Penelitian I

a. Nisbah Kelamin Jantan

Berdasarkan hasil identifikasi keberadaan appendix masculinus yang merupakan ciri kelamin sekunder pada individu jantan, memperlihatkan bahwa persentase jenis kelamin jantan secara umum lebih tinggi dibanding kontrol (Tabel 4).

Tabel 4. Persentase udang galah berkelamin jantan

Perlakuan

Ulangan Rataan

1 2 3 (%)

A 30,00 36,67 40,00 35,56

B 33,33 53,33 40,00 42,22

C 73,33 56,67 60,00 63,33

D 56,67 46,67 43,33 48,89

E 43,33 46,67 56,67 48,89

Keterangan :

A : Tanpa hormon steroid (kontrol negatif) B : Ekstrak steroid teripang 5 mg/1 kg induk C : Ekstrak steroid teripang 10 mg/1 kg induk D : Ekstrak steroid teripang 15 mg/1 kg induk

E : Hormon 17 a Metiltestosteron 15 mg/1 kg induk (kontrol positif)

Hasil analisis data pada Tabel 4 dengan taraf kepercayaan 95%, menunjukkan bahwa perlakuan memberi perbedaan yang nyata terhadap persentase udang galah jantan (Lampiran 7a). Selanjutnya, untuk perlakuan-perlakuan yang memberikan perbedaan nyata dilanjutkan dengan analisis beda nyata terkecil (BNT). Hasil analisis BNT menunjukkan bahwa perlakuan C berbeda nyata dengan perlakuan D, B dan A (Lampiran 7b). Hasil analisis tersebut membuktikan bahwa ekstrak steroid teripang memberikan respons positif terhadap peningkatan persentase udang galah jantan. Persentase udang jantan hasil pemberian ekstrak steroid teripang 10 mg/kg induk (perlakuan C) adalah 63,33%. Hasil ini lebih tinggi dibanding pemberian 17a-metiltestosteron 15 mg/kg induk (perlakuan E), yaitu 48,89%.

Diduga penyuntikan ekstrak steroid teripang 10 mg/kg induk merupakan dosis yang optimal dibanding perlakuan yang lain, sehingga dapat memberikan efek penjantanan yang maksimal dibanding perlakuan yang lain. Menurut Nakamura et al. (1998) pemberian hormon steroid dengan dosis yang rendah tidak akan mampu untuk membentuk populasi


(36)

jantan secara maksimal, dan dapat menyebabkan terbentuknya individu interseks. Sebaliknya dosis yang terlalu tinggi akan menyebabkan efek kebalikan dari populasi yang diharapkan, dan terbentuknya individu steril. Untuk lebih jelasnya, peningkatan persentase udang jantan pada masing- masing perlakuan dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Grafik persentase udang galah jantan

Gambar 10 menunjukkan bahwa pemberian ekstrak steroid teripang ataupun hormon 17a-metiltestosteron, menggunakan metode injeksi dapat meningkatkan persentase jantan pada udang uji, walaupun hasilnya belum mencapai 100% jantan. Steroid teripang dan 17a-metiltestosteron merupakan hormon androgenik, sehingga bertambahnya level testosteron dalam tubuh udang galah dapat mengarahkan terbentuknya kelamin jantan.

Mekanisme kerja hormon melalui dua cara yaitu masuk ke dalam telur melalui aliran darah dan difusi saat proses vitelogenesis. Matty (1985) menyatakan bahwa kerja hormon tidak harus melalui pembuluh darah, tetapi dapat beraksi dengan cara difusi melalui membran sel di sekitar tempat hormon beredar menuju ke organ target dan berinteraksi langsung dengan reseptor pada juctaposed cell.

Penyuntikan hormon menyebabkan konsentrasi testosteron dalam tubuh induk tinggi, sehingga berpengaruh terhadap proses steroidogenesis selama vitelogenesis. Sintesis testosteron yang cukup tinggi oleh enzim 17ß-hydroxysteroid-dehydrogenase (17ß-HSD) dalam lapisan teka pada folikel telur, selanjutnya masuk dalam lapisan granulose. Walaupun dalam lapisan granulose testosteron diubah menjadi estradiol-17ß oleh enzim aromatase (Arukwe and Goksøyr, 2003), diduga sebagian testosteron tidak tersintesis karena konsentrasinya sangat tinggi serta produksi enzim aromatase terbatas (Tchoudakova and Callard, 1998).

Selain itu, fungsi utama estradiol-17ß adalah memacu hipotalamus untuk memproduksi GnrH, selanjutnya GnrH ya ng dihasilkan bekerja untuk merangsang hipofisa

35.56 42.22

63.33

48.89 48.89

0 10 20 30 40 50 60 70

A B C D E

Perlakuan


(37)

dalam memproduksi gonadotropin. Gonadotropin berperan dalam proses biosintesis estradiol-17ß pada lapisan granulose. Apabila gonadotropin telah cukup untuk mematangkan gonad, maka estradiol-17ß memacu hipotalamus untuk memproduksi gonadotropin releasing inhibitor faktor (GnRIF) (Quackenbush, 1991). Oleh karena itu, kebutuhan produksi estradiol-17ß semakin kecil setelah matang gonad, sehingga tidak semua testosteron disintesis oleh 17ß-HSD. Testosteron yang tidak disintesis selanjutnya masuk ke dalam telur, dan tertimbun dalam kuning telur bersama komponen yang lain (lipovitelin dan phosvitin).

Penimbunan testosteron dalam telur, direspons oleh kelenjar androgenik udang yang terbentuk setelah telur terbuahi dan menetas menjadi larva dengan mengarahkan perkembangan kelamin menjadi jantan secara fenotipe (Ferezou et al., 1978 in Laufer and Landau, 1991). Hal tersebut menyebabkan peningkatan jumlah jantan fenotipe pada udang galah yang saat fase telur diberi perlakuan ekstrak steroid teripang dan hormon 17a-metiltestosteron.

Selanjutnya untuk membuktikan apakah perlakuan E memberikan pengaruh berbeda nyata dari kontrol, maka dilakukan uji t dengan taraf kepercayaan 95%. Hasil uji t membuktikan bahwa 17a- metiltestosteron tidak berbeda nyata dibanding kontrol negatif, terhadap peningkatan jumlah jantan fenotipe (Lampiran 7c).

b. Fekunditas

Fekunditas udang galah pada perlakuan A sampai E menunjukkan perbedaan kisaran dari 419 butir hingga 785 butir, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 5.

Tabel 5. Fekunditas induk udang galah

Perlakuan Ulangan Rataan

(butir / g)

1 2 3

A 574 782 686 681

B 698 716 569 661

C 785 684 419 629

D 545 785 727 686

E 472 543 493 503

Rataan fekunditas induk menunjukkan kisaran tidak terlalu besar yaitu 503 sampai 686 butir telur. Hasil analisis sidik ragam perlakuan A, B, C dan D menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata (Lampiran 8a). Hal ini membuktikan bahwa ekstrak teripang tidak mempengaruhi kerja hormon ekditsteroid yang mengatur mekanisme


(38)

molting dan perkembangan embrio pada golongan krustase. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Raman (1967) dan Primavera (1979) bahwa, peningkatan konsentrasi hormon steroid dalam hemolymph udang sampai level tertentu, berkorelasi dengan kecepatan matang gonad, waktu ovulasi dan jumlah telur.

Gambar 11 menunjukkan bahwa pemberian ekstrak steroid teripang menghasilkan fekunditas dari 503 butir (perlakuan E) sampai 686 butir (perlakuan D).

681 661

629

686

503

0 100 200 300 400 500 600 700 800

A B C D E

Perlakuan

Rerata Fekunditas (butir/g induk)

Gambar 11. Grafik rataan fekunditas induk udang galah

Rendahnya fekunditas udang pada pemberian 17a- metiltestosteron 15 ppm, diduga disebabkan oleh efek pembentukan antibodi tubuh akibat masuknya hormon sintetis. Tubuh merespons hormon sintetis sebagai racun yang harus dinetralisir, akibatnya proses vitelogenesis terganggu dan berpengaruh terhadap telur yang terbentuk.

Hasil penelitian Arukwe and Goksøyr (2003) membuktikan bahwa pemberian hormon sintetis pada zebra fish (Danio rerio), fathead minnow (Pimephales promelas) dan

medaka (Oryzias latipes), mempengaruhi proses pembentukan telur. Saat proses vitelogenesis, kuning telur tetap terbentuk tetapi zona radiata protein tidak berkembang, akibatnya telur tumbuh tidak sempurna dan diserap kembali oleh tubuh.

Pemberian ekstrak steroid teripang yang bersifat alami, terbukti tidak mengganggu proses vitelogenesis dan perkembangan telur udang galah, sehingga jumlah telur yang diovulasikan tetap tinggi. Selanjutnya untuk mengetahui apakah perlakuan E (kontrol positif) memberi pengaruh berbeda nyata dibanding perlakuan A (kontrol negatif), maka dilakukan uji t (Lampiran 8b). Hasil analisis uji t menunjukkan bahwa perlakuan E dan A berbeda nyata, sehingga terbukti bahwa 17a- metiltestosteron menyebabkan rendahnya fekunditas pada induk udang galah.


(39)

c. Derajat Pengeraman

Persentase jumlah telur udang galah yang dierami pada perlakuan A sampai E menunjukkan kisaran dari 95,90% (perlakuan E) hingga 99,78% (perlakuan B) (Tabel 6).

Tabel 6. Derajat pengeraman telur udang galah

Perlakuan Ulangan Rataan

(%)

1 2 3

A 99,26 99,52 98,88 99,22

B 98,39 99,78 98,93 99,00

C 99,73 98,67 99,04 99,15

D 98,84 99,17 98,93 98,98

E 95,90 97,69 96,46 96,68

Hasil analisis sidik ragam perlakuan A, B, C dan D menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata pada derajat pengeraman telur udang galah (Lampiran 9a), walaupun pada masing–masing perlakuan relatif tinggi seperti yang ditampilkan pada Gambar 12.

99,22

99 99,15 98,98

96,68

95 95,5 96 96,5 97 97,5 98 98,5 99 99,5

A B C D E

Perlakuan

Derajat Pengeraman (%)

Gambar 12. Grafik rataan derajat pengeraman telur udang galah

Selanjutnya untuk mengetahui apakah perlakuan E (kontrol positif) memberikan pengaruh berbeda nyata dibanding perlakuan A (kontrol negatif), maka dilakukan uji t (Lampiran 9b). Hasil analisis uji t menunjukkan bahwa perlakuan E memberikan pengaruh nyata terhadap rendahnya jumlah telur yang dierami dibanding perlakuan A.

Pemberian hormon 17a-metiltestosteron menyebabkan jumlah telur yang tidak terbuahi lebih tinggi dibanding pemberian ekstrak steroid teripang, walaupun kisarannya masih di atas 90%. Diduga telur telah mengalami penurunan kualitas saat masih dalam gonad induk. Telur yang tidak terbuahi langsung rontok setelah proses pembuahan, sehingga hanya telur–telur yang terbuahi saja yang melekat di kaki renang induk (dierami) sampai proses penetasan.


(40)

Tabel 7 menunjukkan perbedaan morfologi telur yang terbuahi dan tidak terbuahi. Telur yang terbuahi mempunyai bulatan lebih sempurna dan korion yang masih utuh serta tidak mengkerut, sedangkan telur yang tidak terbuahi bulatannya sudah tidak sempurna karena mengalami pengkerutan dengan korion telah mengalami kerusakan. Warna kemerahan menunjukkan bahwa sel telur telah mati.

Tabel 7. Telur udang galah yang terbuahi dan tidak terbuahi

Gambar Keterangan

Telur udang galah yang terbuahi. Ukuran Telur:

Sumbu panjang (mm) : 0,53 (0,46 – 0,59) Sumbu pendek (mm) : 0,48 (0,42 – 0,58) Berat (mg) : 0,30

Warna : kuning muda Telur udang galah yang tidak terbuahi. Ukuran Telur:

Sumbu panjang (mm) : 0,49 (0,46 – 0,56) Sumbu pendek (mm) : 0,45 (0,42 – 0,50) Berat (mg) : 0,28

Warna : kuning kemerahan

Relatif tingginya telur yang tidak dierami pada pemberian hormon 17a-metiltestosteron dibanding kontrol dan pemberian ekstrak steroid teripang, diduga terkait dengan terjadinya

hypercalcemia yaitu kelebihan kalsium dalam hemolymph. Sukendi (2003) menyatakan bahwa injeksi hormon sintetis me nyebabkan terjadinya pengikatan kalsium dari komponen vitelogenin terfosforilasi sehingga konsentrasi dalam darah dan hati meningkat.

Kalsium dalam hemolymph selanjutnya masuk ke dalam telur bersama vitelogenin, selanjutnya disintesis dalam endoplasmic reticulum menjadi phosphatidylserine yang kemudian mengasosiasi protein kinase terkait dengan pembentukan cangkang telur (Dygas, 2003). Semakin tinggi kalsium menyebabkan lapisan telur lebih tebal dan keras, sehingga elastisitasnya berkurang, akibatnya spermatozoa kesulitan melewati mikrofil. Pada akhirnya, telur akan mati karena tidak ada sperma yang membuahi.

d. Derajat Penetasan (hatching rate)

Derajat penetasan telur udang galah pada masing–masing perlakuan menunjukkan kisaran 79,92% (pemberian 17a- metiltestosteron 15 ppm) sampai 98,34% (kontrol negatif). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 8 dan Gambar 13.


(41)

Tabel 8. Derajat penetasan telur udang galah

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan A, B, C dan D tidak memberikan pengaruh yang nyata pada derajat penetasan (Lampiran 10a). Selanjutnya, untuk mengetahui apakah perlakuan E (kontrol positif) memberikan pengaruh yang nyata dibanding perlakuan A (kontrol negatif), maka dilakukan uji t (Lampiran 10b). Hasil analisis uji t membuktikan bahwa, 17a- metiltestosteron memberikan pengaruh yang nyata terhadap rendahnya jumlah telur menetas dibanding ekstrak steroid teripang.

98,34 98,14 97,96 98,28

79,92

0 20 40 60 80 100 120

A B C D E

Perlakuan

Derajat penetasan (%)

Gambar 13. Grafik rataan derajat penetasan telur udang galah

Pada Gambar 13 terlihat bahwa hormon 17a-metiltestosteron menyebabkan telur terbuahi yang tidak menetas jumlahnya lebih besar, dibanding dengan kontrol negatif dan pemberian ekstrak steroid teripang. Diduga 17a-metiltestosteron memberikan efek toksik yang menyebabkan telur gagal menetas, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 9.

Tabel 9. Telur udang galah terbuahi tetapi gagal mene tas

Gambar Keterangan

Perlakuan Ulangan Rataan

(%)

1 2 3

A 98,37 98,12 98,52 98.34

B 97,72 99,32 97,38 98.14

C 99,02 97,61 97,24 97.96

D 97,69 99,16 97,99 98.28


(42)

Telur udang galah terbuahi tetapi gagal menetas Ukuran Telur:

Sumbu panjang (mm) : 0,65 (0,61 – 0,68) Sumbu pendek (mm) : 0,52 (0,50 – 0,58) Berat (mg) : 0,42

Warna : kuning kemerahan

Hormon 17a- metiltestosteron menyebabkan terganggunya proses vitelogenesis dan perkembangan embrio udang galah, diduga hal ini terkait dengan kerasnya cangkang telur sehingga sulit pecah saat proses penetasan. Pada Tabel 9 terlihat bahwa embrio telah terbentuk sempurna, organ mata dan bagian kepala jelas terlihat, dapat dikatakan bahwa telur siap menetas.

Terganggunya proses vitelogenesis akibat pemberian hormon sintetis, menyebabkan aktivitas metabolisme dalam telur meningkat pesat sesuai dengan level perkembangan embrio (Arukwe and Goksøyr, 2003), dan sifat anabolik (memacu pembentukan otot) yang telah ditingkatkan 5 sampai 10 kali (Fulierton, 1980) memberi efek penyerapan energi yang cukup tinggi. Hal tersebut mengurangi alokasi energi untuk kebutuhan yang lain menjadi berkurang, sehingga menyebabkan kematian embrio atau menyebabkan embrio lemah sehingga tidak cukup kuat untuk memecahkan cangkang telur.

e. Derajat Hidup (survival rate)

Persentase jumlah larva udang galah yang hidup mulai 24 jam setelah menetas sampai hari ke-62 terus mengalami penurunan, seiring dengan pertambahan besar ukuran dan munculnya sifat kanibal. Sampai hari ke-62 pasca tetas, kisaran derajat hidup cukup besar yaitu 12,36% (perlakuan A) hingga 41,77% (perlakuan B) (Lampiran 11).

Pada Gambar 14 terlihat bahwa jumlah larva yang hidup pada masing–masing perlakuan per sepuluh hari perhitungan sampel, mulai hari pertama menetas sampai hari ke-62 menunjukkan penurunan yang nyata.


(43)

0 5000 10000 15000 20000 25000

1 2 12 22 32 42 52 62

Waktu (hari)

Rerata jumlah larva (ekor)

A B C D E

Gambar 14. Grafik rataan jumlah larva hidup pada penelitian I

Kematian larva yang tinggi terjadi pada hari ke-22 sampai hari ke-32, diduga terkait erat dengan masa persiapan larva untuk bermetamorfosis menjadi juvenil. Seperti yang dinyatakan Racotta et al. (2003), bahwa pada saat fase perubahan menjadi juvenil, kondisi udang lemah, mudah stress dan sangat rentan terhadap perubahan lingkungan yang mendadak, akibat perubahan alokasi energi yang disebabkan oleh perubahan beberapa fungsi enzim yang berperan dalam metabolisme. Perubahan fungsi enzim dilakukan untuk menyesuaikan dengan organ–organ baru yang berkembang setelah menjadi udang muda (juvenil). Pada fase tersebut rentan terjadi kanibalisme, dimana larva yang sedang dalam proses perubahan menjadi juvenil kondisinya lemah sehingga mudah menjadi mangsa larva yang belum mengalami proses menjadi juvenil.

Hal tersebut didukung dengan fakta, bahwa mulai hari ke-15 setelah menetas sampai hari ke-30 atau menjelang fase perubahan menjadi juvenil, nafsu makan larva sangat tinggi sehingga frekuensi pemberian pakan ditingkatkan 5–6 kali per hari.

Hasil analisis sidik ragam perlakuan A, B, C dan D menunjukkan bahwa, tidak terdapat perbedaan nyata pada derajat hidup larva udang galah (Lampiran 12a). Untuk mengetahui apakah perlakuan E (kontrol positif) memberikan pengaruh nyata dibanding perlakuan A (kontrol negatif), maka dilakukan uji t yang menunjukkan bahwa perlakuan E berpengaruh nyata terhadap tingginya jumlah larva hidup dibanding perlakuan A (Lampiran 12b).

Diduga sifat anabolik yang telah ditingkatkan 5 sampai 10 kali pada hormon 17a-metiltestosteron (Fulierton, 1980), memacu proses molting saat fase perubahan menjadi juvenil lebih cepat. Proses pertambahan ukuran tubuh dan pengerasan karapas yang lebih cepat, menyebabkan udang terhindar dari kanibalisme.


(44)

Rataan diameter dan berat telur sehari setelah pemijahan pada setiap perlakuan mempunyai kisaran berbeda, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 10. Dosis hormon steroid memberi pengaruh berbeda terhadap ukuran telur udang galah (Lynn et al., 1991), semakin tinggi dosis steroid diberikan maka ukuran telur semakin besar. Diduga, konsentrasi steroid yang cukup tinggi dalam hemolymph meningkatkan proses sintesis vitelogenin, sehingga bahan pembentuk kuning telur semakin banyak masuk ke dalam telur. Akibat peningkatan tersebut, volume telur menjadi lebih padat dan besar apabila dibandingkan telur udang tanpa perlakuan hormon. Huberman (2000) menyatakan bahwa, semakin banyak komponen utama nutrisi (lipoprotein vitellin) yang membentuk vitellogenin, dapat meningkatkan ukuran telur udang.

Tabel 10. Ukuran telur udang galah

Perlakuan Ukuran telur

A Sumbu panjang (mm) : 0,52 (0,49 – 0,58) Sumbu pendek (mm) : 0,46 (0,42 – 0,58) Berat (mg) : 0,29

B Sumbu panjang (mm) : 0,54 (0,46 – 0,59) Sumbu pendek (mm) : 0,48 (0,47 – 0,50) Berat (mg) : 0,30

C Sumbu panjang (mm) : 0,53 (0,52 – 0,54) Sumbu pendek (mm) : 0,48 (0,47 – 0,50) Berat (mg) : 0,30

D Sumbu panjang (mm) : 0,55 (0,51 – 0,58) Sumbu pendek (mm) : 0,46 (0,45 – 0,48) Berat (mg) : 0,31

E Sumbu panjang (mm) : 0,55 (0,46 – 0,59) Sumbu pendek (mm) : 0,47 (0,45 – 0,50) Berat (mg) : 0,31

Volume kuning telur yang lebih besar, memberikan cadangan makanan bagi larva lebih banyak, larva ukuran lebih besar dan mempunyai daya tahan terhadap lingkungan cukup tinggi, sehingga derajat hidup larva lebih tinggi (Lynn et al., 1991). Hasil pengamatan ukuran telur 1, 10 dan 18 hari setelah pemijahan menunjukkan terjadinya peningkatan, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Peningkatan ukuran telur selama masa pengeraman

Ukuran Waktu (hari)

1 10 18


(45)

Sumbu pendek (mm) 0,48 0,53 0,55

Berat (mg) 0,30 0,37 0,49

Selama masa pengeraman, telur mengalami proses hidrasi dan pertambahan kelipatan jumlah sel yang menyebabkan ukurannya terus bertambah. Setelah dierami selama 19 sampai 21 hari, telur mencapai ukuran maksimal dan siap menetas. Telur udang galah yang telah mencapai ukuran maksimal dan siap menetas dapat dilihat pada Tabel 12.

Pada Tabel 12 terlihat bahwa telur udang galah yang telah dierami selama 18 hari menunjukkan tanda-tanda siap menetas. Embrio telah mempunyai organ tubuh relatif lengkap, sehingga cukup kuat memecahkan korion untuk tumbuh dan berkembang sebagai larva.

Tabel 12. Ukuran telur siap tetas

GAMBAR KETERANGAN

Telur udang galah siap menetas Ukuran Telur:

Sumbu panjang (mm) : 0,69 (0,65 – 0,71) Sumbu pendek (mm) : 0,55 (0,52 – 0,56) Berat (mg) : 0,49

Warna : coklat tua Waktu inkubasi (hari) : 19–21

g. Pertumbuhan Larva dan Juvenil

Pada penelitian ini juga dilakukan pengamatan pertambahan ukuran setiap fase perkembangan larva sampai menjadi juvenil. Hasil pengukuran panjang dan berat larva dapat dilihat pada Lampiran 13. Selanjutnya untuk menge tahui pengaruh perlakuan terhadap pertumbuhan udang galah, maka dilakukan perhitungan rata–rata pertumbuhan hariannya (ADG). Hasil perhitungan ADG larva dan juvenil udang galah dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Rata–rata pertumbuhan harian (ADG) larva dan juvenil udang galah

Perlakuan Bobot tubuh (mg) ADG (%)

A larva 1 :5,80 juvenil 1 :55,85 tokolan :779,49

larva 1 – juvenil 1(hari ke 60) : 103,66

juvenil 1 – tokolan (hari ke 120) : 104,36

B larva 1 :5,80 juvenil 1 :56,92 tokolan :723,74

larva 1 – juvenil 1(hari ke 60) : 103,69


(46)

C larva 1 :5,80 juvenil 1 :56,06 tokolan :798,48

larva 1 – juvenil 1(hari ke 60) : 103,66 juvenil 1 – tokolan (hari ke 120) : 104,40

D larva 1 :5,80 juvenil 1 :57,14 tokolan :619,26

larva 1 – juvenil 1(hari ke 60) : 103,70 juvenil 1 – tokolan (hari ke 120) : 103,88

E larva 1 :5,98 juvenil 1 :55,42 tokolan :662,72

larva 1 – juvenil 1(hari ke 60) : 103,58

juvenil 1 – tokolan (hari ke 120) : 104,07

Tabel 13 menunjukkan bahwa hormon tidak berpengaruh terhadap ADG larva dan juvenil udang galah, terlihat dari hasil perhitungan masing–masing perlakuan selisih nilainya tidak terlalu besar. Hal lain yang ditunjukkan Tabel 13, bahwa pertumbuhan juvenil 1 menjadi tokolan ternyata lebih cepat dari pertumbuhan larva 1 menjadi juvenil 1. Hal tersebut karena testosteron yang masuk dalam jaringan otot udang disintesis menjadi 5a-dihidrotestosteron. Proses ini berjalan lambat, sehingga berpengaruh terhadap makin lambatnya sintesis protein dalam jaringan otot oleh androgen, selanjutnya mempengaruhi kerja hormon ekditsteroid udang (Fulierton, 1980). Akibatnya, metamorfosis larva yang diberi hormon steroid menjadi lebih lambat dibanding metamorfosis larva yang tidak diberi hormon steroid. Terbukti pada saat penelitian dilaksanakan, kecepatan metamorfosis larva kontrol negatif (tanpa hormon) sama dengan kecepatan metamorfosis larva SUPPUG, yaitu pada hari ke 40 setelah penetasan 90% larva telah menjadi juvenil. Berbeda dengan larva yang diberi perlakuan hormon, pada hari ke 62 setelah penetasan 15% udang masih pada fase larva stadium 11.

h. Konsentrasi Testosteron dalam Hemolymph Induk

Konsentrasi hormon testosteron dalam hemolymph induk diukur mulai saat matang gonad sampai setelah pelepasan larva. Penyuntikan saat matang gonad meningkatkan konsentrasi hormon testosteron dalam hemolymph, selanjutnya menurun setelah larva dilepaskan ke air (Tabel 14).

Tabel 14. Konsentrasi hormon testosteron dalam hemolymph induk Perlakuan Matang Gonad Pasca Injeksi Pasca ovulasi Pasca inkubasi

A 63,178 34,874 12,536 8,258

B 28,229 103,737 20,692 19,589

C 58,217 283,354 148,457 8,906

D 84,115 102,659 25,166 10,183


(47)

Tabel 14 menunjukkan bahwa penyuntikan hormon steroid mempengaruhi konsentrasi testosteron dalam hemolymph induk udang galah. Konsentrasi testosteron meningkat pesat 24 jam pasca penyuntikan, karena mendapat masukan larutan steroid melalui suntikan sesuai dengan perlakuan. Selanjutnya mengalami penurunan secara bertahap selama masa inkubasi hingga tahap penetasan telur, karena diabsorbsi oleh telur saat proses vitelogenesis bersama komponen vitelogenin yang lain (Aida et al., 1994).

Berbeda dengan induk kontrol yang tidak disuntik hormon steroid, konsentrasi testosteron dalam hemolymph terus mengalami penurunan dimulai sebelum ovulasi sampai tahap penetasan. Hal tersebut diduga induk tidak mendapat masukan hormon steroid dari luar, sedangkan hormon testosteron yang terdapat di dalam tubuh induk terus diabsorbsi untuk proses vitelogenesis (Aida et al., 1994). Menurut Quackenbush (1991), selama proses pematangan telur konsentrasi hormon steroid dalam hemolymph terus meningkat, selanjutnya mengalami penurunan saat matang telur dan ovulasi karena diabsorbsi untuk proses vitelogenesis dan persiapan pengeluaran telur. Oleh karena itu konsentrasi testosteron dalam hemolymph induk yang tidak disuntik hormon cenderung lebih rendah dibanding perlakuan yang lain, seperti yang terlihat pada Gambar 15.

0 50 100 150 200 250 300

Matang Gonad Pasca Suntik Pasca ovulasi Pasca inkubasi

Waktu Sampling

Konsentrasi Testosteron (ng/dl)

A B C D E

Gambar 15. Grafik konsentrasi testosteron dalam hemolymph

Pada Gambar 15 terlihat bahwa lonjakan konsentrasi testosteron yang cukup tinggi terjadi pada perlakuan C, sebaliknya pada perlakuan kontrol tidak terjadi lonjakan malah terus menurun. Hal tersebut membuktikan bahwa pemberian hormon steroid berpengaruh nyata terhadap konsentrasi testosteron dalam hemolymph, dan terkait erat dengan peningkatan jumlah udang galah berkelamin jantan, dimana perlakuan C mempunyai jumlah persentase udang galah berkelamin jantan tertinggi. Seperti pernyataan Laufer and Landau (1991) bahwa, hormon–hormon androgenik dapat juga menimbulkan respons


(1)

Lampiran 11. Persentase derajat hidup larva udang galah

Perlakuan Saat menetas

(ekor)

Hari ke-2 Hari ke-12 Hari ke-22 Hari ke-32 Hari ke-42 Hari ke-52 Hari ke-62

Jumlah (ekor)

SR (%) Jumlah (ekor)

SR (%) Jumlah (ekor)

SR (%) Jumlah (ekor)

SR (%) Jumlah (ekor)

SR (%) Jumlah (ekor)

SR (%) Jumlah (ekor)

SR (%)

A. 1 19830 19500

99,65 16779 84,61 11700 59,00 6750 34,04 4800 24,21 4100 20,68 2450 12,36

2 20330 20000

99,66 18375 90,38 9200 45,25 5600 27,55 3900 19,18 3249 15,98 2700 13,28

3 21776 21500 99,93 17250 79,22 10200 46,84 6800 31,23 5312 24,39 4900 22,50 3860 17,73

Total

61936 61000 299,24 52404 254,21 31100 151,19 19150 92,82 14012 67,78 12249 59,16 9010 43,37

Rerata 20645 20333 99,75 17468 84,74 10367 50,33 6383 30,94 4671 22,59 4083 19,72 3003 14,45 B. 1 20730 20400 99,66 18600 89,73 9500 45,83 6100 29,43 5340 25,76 5279 25,47 3733 18,01

2 21321 20963

99,54 19467 91,30 15000 70,35 15000 70,35 13400 62,85 13400 62,85 7452 34,95

3 18337 18025

99,72 18000 98,16 16625 90,66 13415 73,16 11100 60,53 10400 56,72 7660 41,77

Total 60388 59388 298,92 56067 279,19 41125 206,84 34515 172,94 29840 149,14 29079 145,04 18845 94,73 Rerata 20129 19796 99,64 18689 93,06 13708 68,95 11505 57,65 9947 49,71 9693 48,35 6282 31,58

C. 1 23927 23625

99,82 20000 83,59 14000 58,51 7500 31,35 6000 25,08 3914 16,36 3012 12,59

2 19818 19500

99,71 13500 68,12 9500 47,94 5200 26,24 4800 24,22 4000 20,18 3210 16,20

3 12317 11228 98,97 9333 80,40 7800 67,20 5700 49,10 4300 37,04 4112 35,42 3860 33,25

Total

56062 54353 298,50 42833 232,11 31300 173,65 18400 106,69 15100 86,34 12026 71,96 10082 62,04

Rerata 18687 18118 99,50 14278 77,37 10433 57,88 6133 35,56 5033 28,78 4009 23,99 3361 20,68 D. 1 18160 17500 97,80 13750 75,72 10600 58,37 10600 58,37 8000 44,06 6700 36,89 4500 24,78

2 20309 19775

98,65 14000 68,94 8500 41,85 7200 35,45 4800 23,63 4672 23,01 4000 19,70

3 17888 17500

99,28 15750 88,05 12600 70,44 8375 46,82 5340 29,85 4970 27,78 4217 23,57

Total 56357 54775 295,73 43500 232,71 31700 170,66 26175 140,64 18140 97,54 16342 87,68 12717 68,05 Rerata 18786 18258 98,58 14500 77,57 10567 56,89 8725 46,88 6047 32,51 5447 29,23 4239 22,68

E. 1 8471 7800

95,15 7000 82,63 6688 78,95 6600 77,91 4000 47,22 3860 45,58 2811 33,18

2 8447 7339

89,96 6750 79,91 5002 59,22 4000 47,35 3300 39,08 3110 36,82 2231 26,41

3 12138 11200 94,41 9125 75,18 6375 52,52 5760 47,45 5030 41,44 3410 28,09 2555 21,05

Total

29056 26339 279,52 22875 237,72 18065 190,69 16360 172,71 12330 127,74 10380 110,49 7597 80,64


(2)

Perlakuan

Ulangan Jumlah Rerata

1 2 3 (%) (%)

A 12.36 13.28 17.73 43.37 14.45

B 18.01 34.95 41.77 94.73 31.58

C 12.59 16.2 33.25 62.04 20.68

D 24.78 19.7 23.57 68.05 22.68

268.19

E 33.18 26.41 21.05 80.64 26.88

Sebaran data pada Tabel derajat hidup di atas yang besar perlu ditransformasikan dengan Log x, agar diperoleh sebaran data normal sebagai berikut:

Perlakuan

Ulangan Jumlah Rerata

1 2 3

A 1.09 1.12 1.25 3.46 1.16

B 1.26 1.54 1.62 4.42 1.47

C 1.10 1.21 1.52 3.83 1.28

D 1.39 1.29 1.37 4.06 1.35

15.78

E 1.52 1.42 1.32 4.27 1.42

FK = 20.74

JK TOT = 0.35

JK PRLK= 0.16

JK ACAK= 0.19

Sidik ragam

keragaman Db Jk Kt fhit f5%

Perlk 3 0.16 0.054 2.27 3.86

Acak 8 0.19 0.024

Total 11

Lampiran 12b. Analisis uji t derajat hidup larva udang galah

E A

Total 4.27 3.46

Rataan 1.42 1.16

FK = 6.07 4.00

JK A= 0.01

JK E= 0.02

T HIT= 3.60


(3)

78

Lampiran 13. Ukuran panjang dan berat larva udang galah

GAMBAR KETERANGAN

Larva stadium I

Panjang badan : 1,53 Berat : 5,80 mg Warna : bening kecoklatan

Waktu perkembangan: hari ke 1 – ke 5

Larva stadium II

Panjang badan : 2,60 Berat : 9.85 mg Warna : bening kecoklatan

Waktu perkembangan: hari ke 2 – ke 8

Larva stadium III

Panjang badan : 3,93 Berat : 14,49 mg Warna : bening kecoklatan

Waktu perkembangan: hari ke 5 – ke 13

Larva stadium IV

Panjang badan : 4,68 Berat : 18,11 mg Warna : bening kecoklatan

Waktu perkembangan: hari ke 10 – ke 16

Larva stadium V

Panjang badan : 4,78 Berat : 18,49 mg Warna : bening kecoklatan

Waktu perkembangan: hari ke 11 – ke 19

Larva stadium VI

Panjang badan : 6,38 Berat : 24,68 mg Warna : bening kecoklatan

Waktu perkembangan: hari ke 13 – ke 24 Larva stadium VII

Panjang badan : 6,90 Berat : 25,44 mg Warna : bening kecoklatan

Waktu perkembangan: hari ke 16 – ke 28

Larva stadium VIII

Panjang badan : 7,78 Berat : 28,69 mg Warna : coklat kemerahan

Waktu perkembangan: hari ke 19 – ke 32

Larva stadium IX

Panjang badan : 10,10 Berat : 39,08 mg Warna : coklat kemerahan


(4)

Lampiran 13 (lanjutan). Ukuran panjang dan berat larva udang galah

GAMBAR KETERANGAN

Larva stadium X

Panjang badan : 11,99 Berat : 46,39 mg Warna : coklat kehitaman

Waktu perkembangan: hari ke 26 – ke 40

Larva stadium XI

Panjang badan : 12,79 Berat : 47,42 mg Warna : coklat kehitaman

Waktu perkembangan: hari ke 28 – ke 57 Juvenil:

Panjang badan : 12,89 Berat : 56,67 mg Warna : coklat kehitaman


(5)

80

Lampiran 14. Analisis statistik udang galah berkelamin jantan Lampiran 14a. Analisis sidik ragam udang galah berkelamin jantan

Sebaran data pada Tabel 16 yang besar perlu ditransformasikan dengan Log x, agar diperoleh sebaran data normal sebagai berikut:

Perlakuan

Ulangan Jumlah Rerata

1 2 3

A 1.40 1.40 1.12 3.91 1.30

B 1.78 1.59 1.52 4.89 1.63

C 1.60 1.52 1.88 5.00 1.67

D 1.73 1.70 1.65 5.09 1.70

18.89

E 1.51 1.74 1.80 5.06 1.69

FK = 29.75

JK TOT = 0.46

JK PRLK= 0.30

JK ACAK= 0.16

Sidik ragam

keragaman db Jk kt Fhit f5%

Perlk 3 0.30 0.10 5.00 3.86

acak 8 0.16 0.02

total 11

Lampiran 14b. Analisis Beda nyata terkecil udang galah berkelamin jantan

SD = 0.07

T 5% = 0.15

D C B A NOTASI

1.70 1.67 1.63 1.30

D 1.70 --- a

C 1.67 0.03 --- a

B 1.63 0.07 0.04 --- a

A 1.30 0.40 0.37 0.33 --- b

Lampiran 14c. Analisis uji t udang galah berkelamin jantan

A E

Total 3,9111 5.06

Rataan 1,304 1.69

FK = 5,099 8.53

JK A= 0,053

JK E= 0,047

T HIT= 2,960


(6)

Lampiran 15. Analisis statistik derajat hidup udang galah Lampiran 15a. Analisis sidik ragam derajat hidup udang galah

Sebaran data pada Tabel 18 yang besar perlu ditransformasikan dengan Log x, agar diperoleh sebaran data normal sebagai berikut:

Perlakuan

Ulangan Jumlah Rerata

1 2 3

A 1.82 1.82 1.89 5.53 1.84

B 1.88 1.89 1.81 5.57 1.86

C 1.91 1.93 1.84 5.68 1.89

D 1.90 1.87 1.82 5.59 1.86

22.37

E 1.86 1.89 1.94 5.69 1.90

FK = 41.71

JK TOT = 0.017

JK PRLK= 0.0037

JK ACAK= 0.0137

Sidik ragam

keragaman db Jk Kt Fhit f5%

Perlk 3 0.0037 0.0012 0.71 3.86

Acak 8 0.0137 0.0017

Total 11

Lampiran 15b. Analisis uji t derajat hidup udang galah

E A

Total 5.69 5.53

Rataan 1.90 1.84

FK = 10.78 10.20

JK A= 0.0025

JK E= 0.0034

T HIT= 1.65