Using cytochrome β (Cyt β) gene for species identification of dog, cat, and tiger to ensure food authenticity and drugs

PENGGUNAAN GEN SITOKROM β (Cyt β) DALAM IDENTIFIKASI
SPESIES ANJING, KUCING, DAN HARIMAU UNTUK MENJAMIN
KEASLIAN PRODUK PANGAN DAN OBAT

IRINE

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Penggunaan Gen Sitokrom
β (Cyt β) dalam Identifikasi Spesies Anjing, Kucing, dan Harimau untuk Menjamin
Keaslian Produk Pangan dan Obat adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dan karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, September 2013

Irine
NIM D151110151

ii

RINGKASAN
IRINE. Penggunaan Gen Sitokrom β (Cyt β) dalam Identifikasi Spesies Anjing,
Kucing, dan Harimau untuk Menjamin Keaslian Produk Pangan dan Obat.
Dibimbing oleh HENNY NURAINI dan CECE SUMANTRI.
Sampai saat ini, upaya pemalsuan produk pangan asal ternak dengan alasan
ekonomi masih sering terjadi. Pengembangan metode identifikasi spesies pada
produk pangan dan obat yang berasal dari hewan diharapkan dapat melindungi
konsumen dari pemalsuan informasi. Kemajuan dibidang genetika molekuler
memungkinkan proses pendeteksian dilakukan pada tingkat DNA sehingga hasil
pengujian lebih akurat, walaupun telah mengalami proses pengolahan.
Penelitian tentang beberapa jenis daging telah dilakukan oleh beberapa
peneliti dengan menggunakan DNA mitokondria (mtDNA). Penggunaan mtDNA

didasarkan pada alasan jumlah kopi molekul mtDNA yang tinggi dalam sel
dibandingkan dengan DNA inti, misalnya pada kasus dimana jumlah ekstraksi
DNA sangat sedikit atau terdegradasi. Gen yang sering digunakan sebagai
penanda spesies adalah gen sitokrom β (cyt β) karena mempunyai runutan sekuen
basa nukleotida yang bervariasi. Penelitian ini bertujuan untuk pembuktian spesies
anjing, kucing, dan harimau dalam menjamin keaslian produk asal ternak
menggunakan marka spesifik berbasis gen sitokrom β (cyt β).
Jumlah sampel DNA yang digunakan untuk masing-masing hewan
sebanyak tiga sampel, yang terdiri dari darah kucing, daging anjing, dan feses
harimau, serta sebagai pembanding digunakan sampel darah dari berbagai jenis
hewan antara lain kambing, ayam, sapi, domba, kuda, tikus serta sampel daging
dari babi. Primer spesifik anjing, kucing, dan harimau dirancang menggunakan
software MEGA 5. Ekstraksi DNA dilakukan dengan metode fenol-kloroform,
dan amplifikasi fragmen DNA menggunakan metode multipleks PCR. Multipleks
PCR merupakan salah satu variasi dari PCR yang menggunakan banyak primer
secara bersamaan untuk mengamplifikasi beberapa daerah target. Penelitian ini
menunjukkan amplifikasi panjang fragmen yang berbeda pada spesies yang diuji
(anjing, kucing, dan harimau) adalah 523, 568, dan 319 pb; dan pada spesies
pembanding (kambing, ayam, sapi, domba, babi, kuda, dan tikus) adalah 157, 227,
274, 331, 398, 439, dan 603 pb. Kespesifikan spesies ditunjukkan dengan adanya

persentase homologi primer reverse yang tinggi pada masing-masing spesies.
Amplifikasi fragmen spesifik pada DNA total genom yang mempunyai panjang
berdekatan harus dipisahkan untuk mencegah pita yang tumpang tindih diantara
spesies. Hierarki taksonomi anjing, kucing, dan harimau sudah dapat dibedakan
sampai pada tingkat spesies dengan menggunakan gen sitokrom β (cyt β).
Kata kunci: anjing, gen sitokrom β, harimau, kucing, multipleks PCR

SUMMARY
IRINE. Using Cytochrome β (Cyt β) Gene for Species Identification of Dog, Cat,
and Tiger to Ensure Food Authenticity and Drugs. Supervised by HENNY
NURAINI and CECE SUMANTRI.
Adulteration food products from animal still happen until now. Species
identification method development in food and medicine derived from animal was
needed to prevent falsification information. Molecular genetic improvement
allows the detection is carried out at the level of DNA, so the results more
accurate, although processed.
Research on several meat have been conducted by several researchers using
DNA mitochondrial DNA (mtDNA). Using mtDNA because it has high copy
number in a cell, compared with nuclear DNA. In this case where the amount of
extracted DNA is very small or degraded. Gene used as marker specific species is

cytochrome β (cyt β) because it has varied sequences. The objective of this
research was to study species authentication (i.e. dog, cat, and tiger) to ensure
animal origin in product using cyt β gene specific marker.
Total DNA samples for each species which identified are three samples
were consisting blood (cat), cooked meat (dog), feces (tiger), and as a comparison
used blood sample from several animal (i.e. goat, chicken, cattle, sheep, horse, rat)
and pork. Reverse primer specific for dog, cat, and tiger was designed using
MEGA 5 software. DNA extraction and fragment amplification was conducted
using phenol-chloroform and multiplex PCR method, respectively. Multiplex PCR
is a variant of PCR which many primers were used together for amplification of
multiple region. This research showed that different length of amplification for the
species tested (dog, cat, and tiger) were 523, 331, 319 bp, respectively; and for the
comparison species (goat, chicken, cattle, sheep, pig, horse, and rat) were 157,
227, 274, 331, 398, 439, and 603 bp, respectively. Species specificity also
indicated by high reverse primer homology percentage. Specific fragment
amplification on genome pool with closed fragment length should be separate to
avoid band overlapped between species. Taxonomy hierarchy (i.e. dog, cat, and
tiger) could be distinguished to the species level.
Key words: cat, cytochrome β gene, dog, multiplex PCR, tiger


iv

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENGGUNAAN GEN SITOKROM β (Cyt β) DALAM IDENTIFIKASI
SPESIES ANJING, KUCING, DAN HARIMAU UNTUK MENJAMIN
KEASLIAN PRODUK PANGAN DAN OBAT

IRINE

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Jakaria, SPt, MSi

Judul Tesis

: Penggunaan Gen Sitokrom fJ (Cyt fJ) dalam Identiflkasi Spesies
Anjing, Kucing, dan Harimau untuk Menjamin Keaslian Produk
Pangan dan Obat

Nama
NIM


: Irine
: 0151110151

Oisetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Henny Nuraini, MSi
Ketua

Prof Dr Ir Cece Surnantri, MAgrSc
Anggota

Oiketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

»eKaill B⦅GTセ。Nオ@

Pascasarjana


Prof Dr Ir Muladno, MSA

Tanggal Ujian: 02 September 2013

Tanggal Lulus:

i. b

SfP 20 13

Judul Tesis

Nama
NIM

: Penggunaan Gen Sitokrom β (Cyt β) dalam Identifikasi Spesies
Anjing, Kucing, dan Harimau untuk Menjamin Keaslian Produk
Pangan dan Obat
: Irine

: D151110151

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Henny Nuraini, MSi
Ketua

Prof Dr Ir Cece Sumantri, MAgrSc
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Muladno, MSA


Dr Ir Dahrul Syah, MscAgr

Tanggal Ujian: 02 September 2013

Tanggal Lulus:

2

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2012 ini ialah
pengembangan metode identifikasi spesies untuk melindungi konsumen dari
pemalsuan informasi dengan judul: “Penggunaan Gen Sitokrom β (Cyt β) dalam
Identifikasi Spesies Anjing, Kucing, dan Harimau untuk Menjamin Keaslian
Produk Pangan dan Obat”.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Henny Nuraini, Msi dan Prof Dr
Ir Cece Sumantri, MAgrSc selaku pembimbing, serta Dr Jakaria, SPt, MSi yang
telah banyak memberi saran. Di samping itu, penulis juga menyampaikan ucapan
terima kasih kepada Prof Dr Ir Muladno, MSA selaku Kepala Laboratorium

Genetika Molekuler Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor dan
kepada saudara Eryk Andreas, SPt, MSi atas bantuannya selama penelitian di
Laboratorium Molekuler Ternak. Penghargaan juga disampaikan penulis kepada
Prof Dr drh Dondin Sajuthi, MST dan Dr drh Ligaya I.T.A. Tumbelaka, SpMp,
MSc atas perolehan sampel harimau. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada orang tua, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2013
Irine

3

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

ix

DAFTAR GAMBAR

ix

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan
Manfaat
Hipotesis

1
1
2
2
2
2

2 TINJAUAN PUSTAKA
Deteksi Cemaran Pangan
Anjing (Canis lupus familiaris) dan Kucing (Felis catus)
Harimau (Panthera tigris)
DNA Mitokondria
Gen Sitokrom β (Cyt β )
Polymerase Chain Reaction (PCR)

2
2
3
4
5
6
6

3 METODE
Waktu dan Tempat
Materi
Prosedur
Analisis Data

7
7
8
9
12

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Perancangan Primer Spesifik Anjing, Kucing, dan Harimau
Derajat Kesamaan Primer Spesifik
Kualitas DNA Total
Amplifikasi DNA Fragmen Spesifik Gen Cyt β pada Anjing, Kucing,
dan Harimau
Amplifikasi DNA Fragmen Spesifik Gen Cyt β pada Sepuluh Spesies
Hewan
Amplifikasi DNA Fragmen Spesifik Gen Cyt β pada DNA Total Genom
Amplifikasi DNA Fragmen Spesifik Gen Cyt β pada Obat Asal Hewan

13
13
13
14

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

23
23
23

DAFTAR PUSTAKA

23

RIWAYAT HIDUP

29

19
20
21
22

4

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7

Sampel DNA
Sekuen primer reverse gen cyt β
Sekuen primer reverse gen cyt β spesies anjing, kucing, dan harimau
Kriteria primer reverse anjing, kucing, dan harimau
Hasil uji homologi primer spesifik pada sepuluh jenis hewan
Hasil pengukuran konsentrasi DNA sepuluh spesies
Hasil pengukuran konsentrasi DNA obat

8
9
13
13
17
18
22

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8

Susunan genom mitokondria
Elektroforesis gel agarosa dari produk PCR enam daging
Fragmen DNA spesifik untuk setiap tipe hewan
Situs penempelan primer pada sekuen DNA mitokondria daerah
cyt β sepuluh jenis hewan
Fragmen DNA spesifik spesies anjing, kucing, dan harimau
Fragmen DNA spesifik untuk setiap jenis hewan
Amplifikasi fragmen spesifik dari DNA total
Amplifikasi fragmen spesifik obat harimau

5
12
12
15
19
20
21
22

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia mempunyai keragaman agama, budaya dan tradisi atau suatu
kebiasaan yang bersifat turun temurun. Hal ini juga tercermin dari bervariasinya
produk olahan daging maupun sumber bahan baku dagingnya. Sumber daging
yang biasa digunakan untuk konsumsi berasal dari ternak: sapi, kerbau, kambing,
domba, babi, kuda, dan unggas. Beberapa daerah di Indonesia yang mayoritas
warganya mempunyai tradisi mengkonsumsi daging dari hewan yang tidak lazim
(anjing) yaitu: Manado dan Minahasa yang mengenal masakan daging anjing
dengan sebutan RW (rintek wuuk), budaya Batak dari Sumatera Utara
mengenalnya dengan kode “B1”, dan beberapa kota di Jawa, seperti Solo dan
Yogyakarta, sate dan tongseng yang memakai daging anjing disamarkan dengan
sebutan “jamu” dan “sengsu”. Daerah yang mengkonsumsi daging kucing sebagai
makanan khasnya adalah Tomohon yang terletak di provinsi Sulawesi Utara. Bagi
agama tertentu, sumber daging tersebut dapat menjadi suatu larangan, namun
tidak untuk agama atau budaya yang lain.
Penggunaan hewan yang tidak lazim, misalnya anjing dan kucing sebagai
campuran bahan pangan perlu dideteksi untuk menjamin keaslian produk dan
melindungi konsumen dari pemalsuan. Selain itu, penggunaan hewan yang
dilindungi seperti harimau, sebagai bahan baku produk obat memerlukan
pengawasan agar tidak terjadi kepunahan dari hewan asli Indonesia, karena
digunakan sebagai bahan baku produk secara ilegal. Pemerintah sudah berusaha
melindungi konsumen dengan adanya Undang-undang (UU No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen) dan Peraturan Pemerintah (Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan).
Namun, sampai saat ini, upaya pemalsuan produk pangan asal ternak dengan
alasan ekonomi masih sering terjadi, seperti pemalsuan dan penggantian dengan
spesies yang tidak diharapkan yang mempunyai nilai lebih rendah (Che Man et al.
2007; Rastogi et al. 2007). Oleh karena itu, untuk melindungi hak konsumen
tersebut, maka diperlukan adanya label dari pangan tersebut yang menjelaskan
spesies yang digunakan (Ballin 2010).
Kemajuan dibidang genetika molekuler memungkinkan proses deteksi
dilakukan pada tingkat DNA sehingga hasil pengujian lebih akurat, walaupun
telah mengalami proses pengolahan. Proses perbanyakan sekuen DNA melalui
teknik multipleks Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan suatu teknik
yang handal dalam menentukan adanya pemalsuan spesies dalam suatu produk.
Matsunaga et al. (1999) menggunakan metode multipleks PCR untuk
mengidentifikasi enam jenis daging (sapi, babi, ayam, domba, kambing, dan kuda)
yang telah mengalami pemasakan. Variasi runutan basa nukleotida yang ada pada
sitokrom β menyebabkan gen ini banyak digunakan sebagai penanda untuk
mengelompokkan jenis hewan.

2
Perumusan Masalah
Sampai saat ini, upaya pemalsuan produk pangan asal ternak dengan alasan
ekonomi masih sering terjadi. Penggunaan hewan yang tidak lazim, misalnya
anjing dan kucing sebagai campuran bahan pangan perlu dideteksi untuk
menjamin keaslian produk. Selain itu, penggunaan hewan yang dilindungi seperti
harimau, sebagai bahan baku produk obat memerlukan pengawasan, karena
digunakan sebagai bahan baku produk secara ilegal. Kemajuan dibidang genetika
molekuler memungkinkan proses pendeteksian dilakukan pada tingkat DNA
sehingga hasil pengujian lebih akurat, walaupun telah mengalami proses
pengolahan. Penelitian ini difokuskan pada teknik multipleks PCR dan
penggunaan gen sitokrom β (cyt β) dalam mendeteksi dan mengidentifikasi
spesies hewan secara cepat.

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk pembuktian spesies anjing, kucing, dan
harimau dalam menjamin keaslian produk asal ternak menggunakan marka
spesifik berbasis gen sitokrom β (cyt β).
Manfaat
Pemanfaatan dan pengembangan penanda spesifik tersebut diharapkan dapat
membantu dalam menyediakan teknologi yang aplikatif untuk mencegah
terjadinya pemalsuan informasi khususnya produk pangan asal hewan, serta
melindungi hewan asli Indonesia dari kepunahan.

Hipotesis
Penanda genetik seperti gen sitokrom β (cyt β) pada kambing (Capra
hircus), ayam (Gallus gallus), sapi (Bos taurus), domba (Ovis aries), babi (Sus
scrofa), kuda (Equus caballus), tikus (Rattus norvegicus), anjing (Canis lupus
familiaris), kucing (Felis catus), dan harimau (Panthera tigris) memiliki fragmen
unik yang mencirikan masing-masing jenis hewan tersebut.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Deteksi Cemaran Pangan
Pemilihan pangan biasanya mencerminkan aspek gaya hidup, budaya,
agama dan kesehatan. Upaya dalam rangka mencegah kompetisi pasar yang tidak
adil dan melindungi konsumen dari kesalahan pelabelan produk hewan, dengan
alasan ekonomi, agama, dan kesehatan (Qi et al. 2010), sehingga memerlukan
metode analisis yang sensitif dan akurat untuk mendeteksi dan mengidentifikasi

3
spesies daging serta produk turunan hewan. Sejumlah metode analisis
dikembangkan untuk identifikasi spesies yang berasal dari protein daging dan
DNA. Metode yang didasarkan pada pemisahan fraksi protein termasuk
elektroforesis, kromatografi, teknik immunologi (ELISA = enzyme-linked
immunosorbent assay, CIE = counterimmunoelectrophoresis, RID = radial
immunodiffusio) (Kesmen et al. 2007). Metode ini kurang sensitif untuk
mengidentifikasi produk daging yang sudah mengalami pemasakan dengan suhu
yang tinggi karena mungkin mengubah struktur dan kestabilan protein (Saez et al.
2004) serta merusak protein spesifik (Calvo et al. 2001). Metode analisis DNA
merupakan salah satu strategi untuk identifikasi spesies daging, karena jika
dibandingkan dengan protein, DNA lebih stabil terhadap perlakuan teknologi dan
dianggap sebagai jaringan yang independen (Martinez dan Yman 1998). Metode
analisis DNA yang didasarkan pada polymerase chain reaction (PCR) sangat
potensial untuk mendeteksi spesies hewan yang digunakan, meskipun produk
yang digunakan telah mengalami proses pemasakan (Kesmen et al. 2007).
Beberapa contoh pemalsuan yang terjadi di masyarakat diantaranya adalah
1) penggunaan lemak babi pada roti (Che Man et al. 2007) dan penggunaan usus
babi sebagai pembungkus sosis (Nakyinsige et al. 2012), 2) penggunaan daging
babi untuk mengganti daging sapi, ayam dan daging kambing, karena harganya
yang lebih murah (Sahilah et al. 2011), 3) pemalsuan produk dendeng yak dengan
dendeng sapi (Chen et al. 2010), 4) pemalsuan bakso sapi dengan bakso babi (Ali
et al. 2012). Selain itu, kemungkinan cemaran yang potensial terjadi di
masyarakat adalah penggunaan hewan yang tidak lazim seperti anjing dan kucing
(Abdel-Rahman et al. 2009). Penggunaan hewan yang dilindungi seperti harimau,
sebagai bahan baku produk obat memerlukan pengawasan agar tidak terjadi
kepunahan dari hewan asli Indonesia, karena digunakan sebagai bahan baku
produk secara ilegal.

Anjing (Canis lupus familiaris) dan Kucing (Felis catus)
Belakangan ini, konsumen dikhawatirkan dengan berbagai isu, seperti
pemalsuan daging. Keterangan komponen yang digunakan dalam proses atau
campuran pangan tidak selalu tersedia, sehingga memungkinkan adanya
pemalsuan dan penggantian produk dengan spesies yang tidak diharapkan dan
bernilai lebih rendah. Identifikasi bahan atau komposisi campuran tidak selalu
jelas dan diperlukan verifikasi bahwa komponen yang digunakan adalah asli dan
berasal dari sumber yang dapat diterima konsumen. Oleh karena itu, untuk
melindungi hak konsumen, peraturan dari setiap negara harus menggunakan label
yang menjelaskan spesies yang digunakan dalam pengolahan (Abdel-Rahman et
al. 2009).
Selain masalah pemalsuan daging, bukti forensik manusia yang
dikumpulkan dari tempat kejadian perkara (TKP) sering tercampur dengan materi
biologis anjing dan kucing. Amerika Serikat (US), 55% rumah tangga setidaknya
memiliki satu anjing (68 juta anjing di US) dan/atau kucing (73 juta kucing di
US). Pertukaran bukti biologis (rambut, feses, dan urin) hewan dengan tersangka
kejahatan dan korban pada tempat kejadian sangat mungkin terjadi (Kanthaswamy
et al. 2012). Nilai potensial dari metode analisis forensik menggunakan DNA

4
mitokondria cukup untuk menjelaskan bahwa anjing tidak berkontribusi sebagai
bukti forensik (Angleby dan Savolainen 2005).

Harimau (Panthera tigris)
Harimau tersebar luas secara geografis, mendiami sebagian besar Asia,
termasuk wilayah di antara Laut Caspian dan Laut Aral, Rusia Tenggara, dan
Pulau Sunda (Hemmer 1987; Herrington 1987), dan diperkirakan besarnya
populasi 100.000 pada tahun 1900 (Kitchener dan Dugmore 2000). Kehilangan
habitat dan perburuan menyebabkan populasi harimau hanya sebagian dari ukuran
sebelumnya, yang diperkirakan baru-baru ini hanya sekitar 3800-5000 harimau
liar dengan titik tengah sekitar 4500 (Seidensticker et al. 2010). Sembilan
subspesies dari harimau dikenali : Panthera tigris altica, P. t. amoyensis, P. t.
tigris, P. t. corbetti, P. t. sumatrae, P. t. virgata, P. t. sondaica, P. t. balica dan P.
t. “jacksoni”. Tiga subspesies diduga punah adalah P. t. virgata, P. t. sondaica,
dan P. t. balica, sementara P. t. amoyensis tidak ada lagi di alam liar dan hanya
terdapat di penangkaran (Xu et al. 2007). Tersisa 5 subspesies yang terancam
punah (Seidensticker et al. 2010), sehingga harus diketahui berapa banyak
subspesies harimau yang dapat dikenali dengan pendekatan morfologi, biokimia,
dan genetik molekuler (Mazak 2010; Luo et al. 2004).
Perburuan yang ekstrim dan perdagangan kulit harimau dan bagian tubuh
untuk tujuan komersial merupakan faktor penting yang menyebabkan penurunan
jumlah dari harimau liar. Hal ini terkait dengan peningkatan ketertarikan akan
pengobatan tradisional serta didukung dengan perkembangan yang pesat dari
ekonomi Asia sehingga meningkatkan permintaan secara pesat akhir-akhir ini
(Wetton et al. 2004). Setiap bagian tubuh harimau dipercaya mempunyai efek
terapi, seperti: kumis untuk menghilangkan sakit gigi, bola mata untuk menolong
mengontrol epilepsi dan sup penis harimau membantu kejantanan. Tulang
merupakan bagian yang sangat berharga untuk melawan arthritis dan untuk
meningkatkan potensi pria (Mills dan Jackson 1994). Tulang harimau digunakan
dalam obat tradisional Asia atau Traditional Chinese Medicine (TCM), dan
biasanya dicampur dengan bahan yang berasal dari hewan lain atau bahan herbal
untuk komponen resep (Wetton et al. 2004). Kulit harimau sangat dicari sebagai
dekorasi rumah atau kostum pada beberapa negara, terutama Tibet (Wright 2010).
Semua penggunaan dari bagian tubuh harimau menghasilkan keuntungan pasar
yang tinggi di banyak negara (Kitpipit et al. 2012).
Kelima subspesies harimau yang masih ada telah didaftarkan pada CITES
(Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and
Flora) Appendix I, yang memberi perlindungan pada harimau pada level tertinggi
dari perdagangan internasional. Oleh karena itu, untuk membantu mencegah
perdagangan harimau dan bagian tubuhnya, pendekatan molekuler mungkin
digunakan untuk memastikan bahwa sampel yang diuji mengandung DNA
harimau. Berdasarkan konteks forensik, sampel yang diuji berpotensi untuk
terdegradasi, DNA inti kemungkinan tidak menghasilkan hasil, oleh karena itu,
DNA mitokondria mungkin digunakan sebagai alternatif untuk identifikasi spesies
(Kitpipit et al. 2012).

5
DNA Mitokondria
Mitokondria merupakan organel sel penghasil energi yang terdapat dalam
sitoplasma. DNA mitokondria (mtDNA) adalah untai ganda yang mempunyai
panjang 16.569 pb (pasang basa). Proporsi dari 4 basa nukleotida tidak seimbang,
untai yang satu mengandung banyak basa guanine (G) dan adenosine (A) (heavy
strand atau H-strand) dan yang lainnya kaya akan cytosine (C) dan thymine (T)
yang disebut dengan light strand (L-strand) (Tully et al. 2001). Susunan genom
mitokondria disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Susunan genom mitokondria (Taylor dan Turnbull 2005)
Genom mitokondria hewan terdiri atas 13 protein yang disandikan oleh gengen, 2 gen penyandi untuk ribosomal RNA, 22 gen transfer RNA (tRNA) dan
sebuah daerah non penyandi (Meyer 1994). Daerah non penyandi yang
panjangnya sekitar 1100 pb sebagai daerah pengontrol yang disebut dengan
displacement loop (D-Loop). mtDNA hanya diwariskan dari ibu (Butler 2005).
Sebuah mitokondria mengandung 2-10 kopi mtDNA dan terdapat sebanyak 1000
mitokondria per sel somatik (Budowle et al. 2003). Sementara untuk inti sel
mengandung DNA inti sepanjang 3.2 x 109 pb dan terdapat 2 inti per sel (Butler
2005).
Jumlah kopi molekul mtDNA yang tinggi dalam sel dibandingkan dengan
DNA inti untuk analisis kasus forensik tertentu, misalnya kasus dimana jumlah
ekstraksi DNA sangat sedikit atau terdegradasi, hasil DNA kemungkinan
diperoleh dari mtDNA daripada DNA inti (Budowle et al. 2003). Penelitian
tentang beberapa jenis daging telah dilakukan oleh beberapa peneliti dengan
menggunakan mtDNA. Gen-gen yang paling sering digunakan sebagai penanda
jenis hewan atau daging diantaranya adalah sitokrom β (cyt β), 12S rRNA, dan DLoop (displacement loop) (Fajarado et al. 2010).

6
Gen Sitokrom β (Cyt β)
Gen cyt β menyandi pembentukan protein, terutama protein yang terlibat
dalam transportasi elektron dalam mitokondria. Sekuen DNA mitokondria
(mtDNA) mengandung gen cyt β (Irwin et al. 1991) yang digunakan untuk
identifikasi spesies dan taksonomi filogenetik (Hsieh et al. 2001). Gen cyt β sering
digunakan untuk membandingkan beberapa filogenetik spesies pada genus atau
famili yang sama, keragaman gen cyt β digunakan untuk mendeteksi sumber susu
yang berasal dari sapi (Bos), domba (Ovis), kambing (Capra), dan kerbau
(Bubalus) (Lanzilao et al. 2005).
Sekuen gen cyt β yang berasal dari kucing (Felis catus) mempunyai panjang
sekuen 1140 pb (Tamada et al. 2005), runutan gen cyt β anjing (Canis lupus
familiaris) sepanjang 1140 pb (Kim et al. 1998), harimau (Panthera tigris)
sepanjang 1140 pb (Cracraft et al. 1998), tikus (Rattus norvegicus) sepanjang
1143 pb (Naidu et al. 2010), kambing (Capra hircus) sepanjang 1140 pb (Liu et
al. 2009), ayam (Gallus gallus) sepanjang 1143 pb (Shen dan Nakamura 2000),
sapi (Bos taurus) sepanjang 1140 pb (Geng dan Chang 2008), domba (Ovis aries)
sepanjang 1140 pb (Rezaei et al. 2009), babi (Sus scrofa) sepanjang 1140 pb (Han
et al. 2004b), dan kuda (Equus caballus) sepanjang 1139 pb (Han et al. 2004a).
Matsunaga et al. (1999) mengembangkan metode multipleks PCR untuk
mengidentifikasi enam jenis daging yaitu sapi, babi, ayam, domba, kambing dan
kuda dengan menggunakan primer forward yang dirancang pada sekuen DNA gen
cyt β “conserve”, sementara primer reverse pada sekuen DNA spesifik setiap
spesies. Fragmen DNA spesifik diamplifikasi dari daging yang dimasak pada suhu
100-120 oC selama 30 menit dengan panjang fragmen DNA berturut-turut untuk
kambing, ayam, sapi, domba, babi, kuda adalah 157, 227, 274, 331, 398, dan 439
pb. Sementara panjang fragmen DNA tikus hasil amplifikasi adalah 603 pb
(Nuraini et al. 2012).

Polymerase Chain Reaction (PCR)
PCR adalah suatu teknik in vitro untuk menggandakan molekul DNA pada
target tertentu dengan cara mensintesa molekul DNA baru yang berkomplemen
dengan molekul DNA tersebut dengan menggunakan enzim polimerase dan
oligonukleotida pendek sebagai primer. Metode ini berjalan secara enzimatik
melalui mekanisme perubahan suhu (Buzdin dan Lukyanov 2007). Target PCR
yang berupa DNA untai ganda, diekstraksi dari sel dan didenaturasi menjadi untai
tunggal. Primer oligonukleotida spesifik untuk gen target tertentu, bersama
dengan enzim (biasanya Taq polymerase, sebuah enzim yang thermostable dan
thermoactive yang berasal dari Thermus aquaticus) serta deoxynucleotide
triphosphates (dNTPs), digunakan untuk mengamplifikasi gen target,
menghasilkan untai ganda. Proses ini berlangsung secara otomatis, pada mesin
thermocycler, yang menyediakan kondisi thermal yang dibutuhkan untuk proses
amplifikasi (Nollet dan Toldra 2011).
Proses yang terjadi dalam mesin PCR meliputi tiga tahap utama, yaitu tahap
pradenaturasi, tahap kedua terdiri atas 30 siklus yang masing-masing siklus
mencakup proses denaturasi (pemisahan untai ganda DNA), penempelan

7
(annealing), ekstensi awal molekul DNA, dan tahap terakhir adalah ekstensi akhir.
Setelah amplifikasi, produk PCR dielektroforesis menggunakan pewarna Ethidium
Bromida (EtBr), dan divisualisasikan menggunakan sinar ultraviolet (Nollet dan
Toldra 2011), dan dapat digunakan untuk analisis lebih lanjut (Weissensteiner et
al. 2004). PCR seperti ini dinamakan PCR konvensional (Nollet dan Toldra
2011).

Multipleks PCR
Multipleks PCR merupakan salah satu variasi PCR yang menggunakan
banyak primer secara bersama-sama untuk mengamplifikasi beberapa daerah
target (Jain et al. 2007) dalam reaksi yang sama (Markoulatos et al. 2002).
Multipleks PCR sangat potensial dalam menghemat waktu. Metode ini telah
sukses mengamplifikasi banyak area dari DNA yang diujikan, termasuk analisis
delesi gen (Chamberlain et al. 1988), mutasi dan analisis polimorfisme (Rithidech
et al. 1997), analisis kuantitatif (Zimmermann et al. 1996), dan transkripsi reverse
PCR (Crisan 1994). Optimasi komponen reaksi multipleks sangat tergantung pada
konsentrasi primer, konsentrasi dNTPs dan MgCl2, konsentrasi buffer PCR, taq
DNA polymerase serta penggunaan adjuvant (DMSO, gliserol dan BSA)
(Markoulatos et al. 2002). Meskipun dengan teknik unipleks (simpleks) PCR
konvensional diperoleh hasil yang sama, pendekatan multipleks PCR
memungkinkan untuk deteksi simultan yang cepat, praktis dan sederhana karena
dilakukan sekaligus dalam satu reaksi (Kingombe et al. 2010). Ketepatan hasil
dari produk PCR akan meningkat atau menurun sangat tergantung pada suhu
annealing (Henegariu et al. 1997).
Teknik yang handal untuk mengidentifikasi spesies asli dari komponen
produk pangan yang berasal dari hewan diperlukan untuk tujuan pembuktian
pangan. Multipleks PCR telah berhasil digunakan sebagai metode yang rutin,
dengan sensitivitas yang tinggi, cepat, sederhana dan tidak mahal untuk
membedakan jenis hewan (Jain et al. 2007).

3 METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2012 sampai dengan Mei
2013. Penelitian dilakukan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak,
Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor.

8
Materi

Sampel DNA
Sampel DNA yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari isolasi darah
kucing, feses harimau (koleksi sampel Taman Safari Bogor), dan survei di
lapangan untuk daging anjing (gulai, rw (rica-rica), rebus), sebagai pembanding
digunakan sampel darah dari berbagai jenis hewan antara lain kambing, ayam,
sapi, domba, kuda, tikus serta sampel daging dari babi (Tabel 1). Sampel feses
yang digunakan dalam penelitian ini berupa lendir mukosa feses basah. Lendir
mukosa ini diharapkan mengandung jaringan epitel. Selanjutnya lendir mukosa
disimpan pada larutan 1 x STE (sodium tris EDTA) (400 ml) untuk digunakan
pada proses ekstraksi DNA. Selain itu, digunakan juga sampel obat harimau yang
ada dipasaran.
Tabel 1 Sampel DNA
Spesies
Anjing
Kucing
Harimau Sumatera
Kambing
Ayam
Sapi
Domba
Babi
Kuda
Tikus

Isolasi Sampel
Daging
Darah
Feses
Darah
Darah
Darah
Darah
Daging
Darah
Darah

Jumlah
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3

Primer
Primer yang digunakan dalam amplifikasi fragmen DNA mengacu pada
Matsunaga et al. (1999) dengan primer forward yang sama untuk semua jenis
hewan yaitu 5‟-GAC CTC CCA GCT CCA TCA AAC ATC TCA TCT TGA
TGA AA-3‟. Primer reverse untuk mengamplifikasi fragmen spesifik kucing,
anjing dan harimau dirancang dengan software MEGA 5. Sekuen primer reverse
pada hewan kambing, ayam, sapi, domba, babi, kuda, dan tikus dapat dilihat pada
Tabel 2.

9
Tabel 2 Sekuen primer reverse gen cyt β
Jenis Hewan

Reverse (5‟-3‟)

Kambinga
Ayama
Sapia
Dombab
Babia
Kudaa
Tikusc

CTC GAC AAA TGT GAG TTA CAG AGG GA
AAG ATA CAG ATG AAG AAG AAT GAG GCG
CTA GAA AAG TGT AAG ACC CGT AAT ATA AG
CTA TGA ATG CTG TGG CTA TTG TCG CAA AT
GCT GAT AGT AGA TTT GTG ATG ACC GTA
CTC AGA TTC ACT CGA CGA GGG TAG TA
GAA TGG GAT TTT GTC TGC GTT GGA GTT T

Keterangan:

Hasil Amplifikasi
157 pb
227 pb
274 pb
331 pb
398 pb
439 pb
603 pb

a

Matsunaga et al. (1999)
modifikasi Matsunaga et al. (1999)
c
Nuraini et al. (2012)
b

Prosedur

Perancangan Primer Reverse Kucing, Anjing dan Harimau
Perancangan primer spesifik untuk kucing, anjing dan harimau berdasarkan
runutan nukleotida gen cyt β pada kucing, anjing, dan harimau yang terdapat
dalam GenBank (NCBI). Spesies kucing, anjing, dan harimau dalam hierarki
taksonomi yaitu Felis catus (nomor akses GenBank AB194817), Canis lupus
familiaris (nomor akses GenBank JF342903), dan Panthera tigris (nomor akses
GenBank EU184702). Sekuen gen tersebut kemudian dihomologikan dengan cyt β
Capra hircus (nomor akses GenBank GU295658), Gallus gallus (nomor akses
GenBank GU261719), Bos taurus (nomor akses GenBank EU177824), Bos
indicus (nomor akses GenBank JN817330), Ovis aries (nomor akses GenBank
HM236181), Sus scrofa (nomor akses GenBank DQ534707) dan Equus caballus
(nomor akses GenBank JF511459), Rattus norvegicus (nomor akses GenBank
JX105355). Setelah diketahui situs penempelan primer forward dan reverse pada
masing-masing jenis hewan tersebut kemudian dilakukan perancangan primer
reverse kucing, anjing, dan harimau dengan melihat runutan basa yang hanya
terdapat pada kucing, anjing, dan harimau tetapi tidak terdapat pada jenis hewan
lain, sehingga diharapkan primer reverse tersebut dapat menjadi primer spesifik
kucing, anjing, dan harimau.
Software yang digunakan untuk perancangan primer spesifik kucing, anjing
dan harimau adalah MEGA 5. Tahapan penggunaan program yaitu (1) runutan
nukleotida yang diperoleh dari GenBank dan primer dipastikan sudah dalam
bentuk FASTA, (2) runutan nukleotida setiap jenis hewan dan primer tersebut
dibuka pada software MEGA 5, (3) dilakukan multiple alignment dengan terlebih
dahulu mencari situs penempelan primer forward untuk semua jenis hewan dan
(4) ditentukan daerah spesifik untuk kucing, anjing, dan harimau yang tidak
terdapat pada ketujuh jenis hewan yang digunakan.

10
Uji Homologi Primer Spesifik
Uji homologi primer spesifik terhadap sepuluh jenis hewan yang digunakan
dalam penelitian ini dilakukan dengan genetic information processing software
GENETYX-WIN versi 4.0. Tahapan penggunaan program ini yaitu: (1) software
dibuka, (2) diklik „new sequence‟ pada „File’, (3) diberi nama primer pada ID
yang tersedia, (4) runutan primer diketik pada kotak, (5) diklik „search homology‟
pada „Nucleotide’, (6) sekuen cyt β yang sudah dalam bentuk FASTA dimasukkan
dengan cara diklik „add’ lalu „ok’ dan hasil pengujian akan langsung ditampilkan.
Isolasi dan Ekstraksi DNA
Isolasi dan ekstraksi DNA dilakukan secara konvensional mengikuti metode
(Sambrook dan Russel 2001) yang telah dimodifikasi dalam preparasi sampel dan
degradasi protein.
Preparasi Sampel. Sampel darah dalam alkohol absolut diambil sebanyak 200 μl
dan dipindahkan ke dalam tabung 1.5 ml. Sampel yang disimpan dalam alkohol
terlebih dahulu dibersihkan dengan air distilasi sebanyak 1000 µl, kemudian
disentrifugasi pada kecepatan 8000 rpm selama lima menit. Alkohol yang
terbentuk di bagian atas tabung kemudian dibuang, langkah tersebut dilakukan
sebanyak dua kali agar alkohol dalam sampel benar-benar hilang.
Degradasi Protein. Sampel darah yang telah dibersihkan dari alkohol, sampel
daging (25 mg), dan sampel obat (25 mg) ditambahkan 1 x STE (sodium tris
EDTA) dengan volume 300 µl, sementara sampel mukosa dalam larutan 1 x STE
dari feses harimau diambil sebanyak 500 µl, selanjutnya ditambahkan 40 µl SDS
(sodium dosesil sulfat) 10% dan 20 µl proteinase K 10 mg/ml. Tabung yang berisi
campuran tersebut kemudian dihomogenkan dengan shaker dan diinkubasi pada
suhu 55 oC selama 2 jam untuk mengoptimalkan pemecahan protein dalam
sampel.
Degradasi Bahan Organik. Sampel yang telah diinkubasi ditambahkan fenol
sebanyak 400 µl, CIAA (chlorofom : isoamyl alcohol dengan perbandingan 24 :
1) sebanyak 400 µl dan 40 µl NaCl 5M, kemudian dihomogenkan dengan
menggunakan shaker pada suhu ruang selama 1 jam.
Presipitasi DNA. Bahan organik yang sudah didegradasi disentrifugasi pada
kecepatan 12000 rpm selama 5 menit dengan suhu 20 oC hingga fase air terpisah
dengan fase fenol. Fase air dipindahkan dalam tabung baru dengan volume 400 µl.
Molekul DNA diendapkan dengan cara menambahkan 800 µl alkohol absolut dan
40 µl NaCl 5M, kemudian diinkubasi pada suhu -20 oC selama semalam.
Pengendapan DNA selanjutnya dilakukan dengan sentrifugasi pada kecepatan
12000 rpm selama 5 menit. Endapan DNA yang telah bersih dari alkohol
dipulihkan dengan menambahkan 100 µl TE (Tris EDTA). Sampel DNA
disimpan pada suhu -20 oC dan siap untuk digunakan.

11
Pengujian DNA Total
Pengujian DNA hasil ekstraksi secara kualitatif dilakukan dengan
elektroforesis pada gel 1%. Gel dibuat dari 0.3 gram agarosa dan 30 ml larutan
buffer (0.5 x TBE) yang dipanaskan pada microwave selama ± 5 menit. Larutan
agarosa dibiarkan agak dingin sambil diaduk dengan magnetic stirrer, lalu
ditambahkan 1.25 µl pewarna ethidium bromide. Hasil ekstraksi sebanyak 5 μl
dicampur dengan 1 μl loading, kemudian dimasukkan pada masing-masing sisir
yang terdapat pada gel agarosa 1%. Elektroforesis dilakukan selama 40 menit
pada tegangan konstan 100 volt sampai campuran sampel dan loading dye tersebut
mencapai garis ketiga pada bagian bawah cetakan gel.
Pengujian DNA hasil ekstraksi secara kuantitatif dilakukan dengan
spektrofotometer GeneQuant 1300. Sampel DNA sebanyak 3 μl dimasukkan ke
dalam tabung eppendorf 1.5 ml ditambah air distilasi sebanyak 597 μl. Larutan TE
(Tris EDTA) 80% digunakan sebagai blanko dengan komposisi 3 μl larutan TE
80% ditambah air distilasi sebanyak 597 μl, kemudian dimasukkan dalam tabung
eppendorf 1.5 ml. Sampel dan blanko disentrifugasi menggunakan spin down
selama 0.5 menit, kemudian dilakukan pengujian dengan spektrofotometer.

DNA Total Genom
DNA dari sepuluh jenis hewan (kambing, ayam, sapi, harimau, domba,
babi, kuda, anjing, kucing, tikus) dicampur dalam satu tabung dengan jumlah
DNA masing-masing spesies 100 ng DNA. Selanjutnya, diambil DNA sebanyak
50 ng dari campuran tersebut dan didistribusikan ke dalam tiga tabung. Tabung
pertama mengandung 50 ng sampel DNA dengan pereaksi PCR menggunakan
sepuluh primer, tabung kedua mengandung 50 ng sampel DNA dengan lima
primer (kambing, sapi, domba, kuda, kucing), tabung ketiga mengandung 50 ng
sampel DNA dengan lima primer (ayam, harimau, babi, anjing, dan tikus).

Amplifikasi Fragmen DNA Spesifik
Amplifikasi ruas gen cyt β menggunakan teknik PCR (polymerase chain
reaction) dengan mesin thermocycler. Komponen PCR yang digunakan terdiri dari
50 ng sampel DNA (termasuk DNA total genom), pereaksi PCR (air distilasi 9 μl,
primer forward 1.667 pmol, primer reverse masing-masing 0.1667 pmol (untuk
setiap spesies), 1 x buffer, dNTPs 0.267 mM, MgCl2 1.667 mM, dan enzim taq
fermentas 1 unit) dengan volume akhir 15 μl. Sementara pereaksi PCR dengan
lima primer terdiri dari air distilasi 9.5 μl, primer forward 0.833 pmol, primer
reverse masing-masing spesies 0.1667 pmol, 1 x buffer, dNTPs 0.267 mM, MgCl2
1.667 mM, dan enzim taq fermentas 1 unit. Amplifikasi in vitro dengan mesin
thermal cycler (Mastercycler Personal 22331, Eppendorf, Germany) dilakukan
dengan kondisi denaturasi awal pada suhu 95 oC selama 5 menit, 30 siklus yang
terdiri dari denaturasi pada suhu 95 oC selama 30 detik, penempelan primer pada
suhu 60 oC selama 45 detik dan pemanjangan DNA baru pada suhu 72 oC selama
1 menit, serta pemanjangan akhir pada suhu 72 oC selama 5 menit. Setelah proses

12
tersebut selesai, tabung diambil dan disimpan pada suhu 4 oC sampai akan
dianalisis lebih lanjut.

Elektroforesis dan Visualisasi Produk PCR
Produk PCR divisualisasikan dengan teknik elektroforesis gel agarosa 1.5%.
Gel dibuat dari 0.45 gram agarosa dan 30 ml larutan buffer (0.5 x TBE) yang
dipanaskan pada microwave selama ± 5 menit. Larutan agarosa dibiarkan agak
dingin sambil diaduk dengan magnetic stirrer, lalu ditambahkan 2.5 µl pewarna
ethidium bromide. Produk PCR sebanyak 5 μl dicampur dengan 1 μl loading dye,
kemudian dimasukkan pada masing-masing sisir yang terdapat pada gel agarosa
1.5%. Elektroforesis dilakukan selama 40 menit pada tegangan konstan 100 volt
sampai campuran sampel dan loading dye tersebut mencapai garis ketiga pada
bagian bawah gel. Setelah elektroforesis selesai, gel diambil untuk dilakukan
pemotretan menggunakan UV-Transilluminator.

Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif berdasarkan Matsunaga et
al. (1999) (Gambar 2) dan Nuraini et al. (2012) (Gambar 3).

(-)

(-)

(+)
Gambar 2 Elektroforesis gel agarosa dari
produk PCR enam daging. G:
kambing, C: ayam, B: sapi, S:
domba, P: babi, H: kuda, M:
marker (Matsunaga et al.
1999).

(+)
Gambar 3 Fragmen DNA spesifik
untuk setiap tipe
hewan. M: marker
100 pb, G: kambing,
C: ayam, B: sapi, S:
domba, P: babi, H:
kuda dan R: tikus
(Nuraini et al. 2012).

13
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Perancangan Primer Spesifik Anjing, Kucing, dan Harimau
Teknik multipleks PCR yang diaplikasikan dalam penelitian ini
menggunakan satu primer forward dan sepuluh primer reverse secara bersamaan,
untuk mengamplifikasi fragmen DNA sepuluh jenis hewan. Primer reverse anjing,
kucing, dan harimau dirancang menggunakan program MEGA 5 (Tabel 3). Situs
penempelan primer pada sekuen gen cyt β anjing, kucing dan harimau serta tujuh
hewan lain disajikan pada Gambar 4.
Tabel 3 Sekuen primer reverse gen cyt β spesies anjing, kucing, dan harimau
Jenis Hewan
Anjing
Kucing
Harimau

Panjang Produk
PCR

Reverse (5‟-3‟)
TTG CTA GAG CTG CGA TGA TGA AA
AGG GGT TGT TAG ATC CTG TTT CA
TAG CCA TGA CCG TAA ACA ATA GC

523 pb
568 pb
319 pb

Desain primer sangat penting pada teknik multipleks PCR, karena
spesifisitas primer dan temperatur penempelan (Tm) sangat menentukan
keberhasilan amplifikasi (Matsunaga et al. 1999). Primer yang digunakan dalam
teknik multipleks PCR harus memenuhi beberapa syarat seperti: panjang primer
18-24 mer atau lebih, mengandung GC 35-60%, serta memiliki suhu annealing
55-58 oC atau lebih tinggi (Henegariu et al. 1997). Hasil rancangan primer reverse
anjing, kucing, dan harimau telah memenuhi syarat sebagai suatu rangkaian
primer menurut Henegariu et al. (1997) dan ditampilkan pada Tabel 4.
Tabel 4 Kriteria primer reverse anjing, kucing, dan harimau
Kriteria

Primer anjing

Panjang primer (mer)
Kandungan basa GC (%)
Suhu annealing (oC)
Panjang produk PCR (pb)

23
43,48
60
523

Primer kucing
23
43,48
60
568

Primer harimau
23
43,48
60
319

Derajat Kesamaan Primer Spesifik
Uji homologi primer spesifik dilakukan menggunakan software GENETYXWIN versi 4.0. Hasil uji homologi primer spesifik pada sekuen cyt β sepuluh jenis
hewan disajikan pada Tabel 5. Hasil penelitian menunjukkan bahwa primer
forward memiliki persentase homologi yang relatif tinggi diantara spesies yaitu
berkisar antara 84-92% (38 nukleotida), sehingga dapat digunakan sebagai primer
umum. Runutan primer reverse memiliki persentase homologi yang tinggi pada

14
satu jenis hewan dan lebih rendah pada hewan lainnya, sehingga dapat dikatakan
bahwa primer reverse tersebut bersifat spesifik (Nuraini et al. 2012).
Matsunaga et al. (1999) menyatakan bahwa mismatch antara primer reverse
domba (5‟CTA TGA ATG CTG TGG CTA TTG TCG CA-3‟) dengan sekuen
DNA kambing berbeda dua nukleotida, sementara pada penelitian ini hanya
ditemukan perbedaan satu nukleotida, sehingga primer reverse domba pada
penelitian ini dimodifikasi dengan menambahkan tiga basa pada ujung 3‟primer
reverse domba menjadi 5‟-CTA TGA ATG CTG TGG CTA TTG TCG CAA AT3‟. Mismatch (perbedaan) ujung 3‟ dari primer reverse domba terhadap sekuen
DNA kambing sangat penting dalam mempengaruhi amplifikasi PCR, sehingga
tidak dihasilkan pita domba pada sekuen DNA kambing (Matsunaga et al. 1999).
Penempelan primer reverse hanya pada sekuen spesifik jenis hewan tertentu
disebabkan: 1) adanya mismatch ujung 3‟ pada setiap primer reverse (Matsunaga
et al. 1999), 2) mismatch diantara primer reverse terhadap masing-masing sekuen
DNA menghasilkan suhu penempelan (Tm) yang berbeda (Viljoen et al. 2005).
Mismatch (perbedaan) pada penelitin ini berkisar antara 12-45%, setiap satu
mismatch menurunkan Tm 1.5 oC (Viljoen et al. 2005).
Kualitas DNA Total
Kemurnian DNA dari sampel (darah, feses, daging) hewan yang digunakan
cukup baik dilihat dari rasio serapan A260/A280 berkisar antara 1.0 sampai 2.9
(Tabel 6). Rasio A260/A280 DNA murni adalah 1.8 (Sambrook dan Russel 2001;
Clark dan Christopher 2001). Rasio A260/A280 yang kurang dari 1.8
menunjukkan bahwa DNA masih mengandung protein atau fenol (Sambrook dan
Russel 2001; Clark dan Christopher 2001), rasio diatas 1.8 biasanya
mengindikasikan kehadiran RNA. RNA biasanya didegradasi dengan
menambahkan RNAse, sementara protein dirusak dengan denaturasi (Siun dan
Beow 2009). Proses PCR akan terus berlangsung selama kontaminan tersebut
tidak menghambat thermostable DNA atau degradasi DNA.
Konsentarsi dari DNA hasil ekstraksi bervariasi dari 80-1200 µg/ml yang
disebabkan oleh perbedaan sumber sampel yang diekstraksi (darah, daging, dan
feses). Metode ekstraksi menentukan kualitas DNA yang dihasilkan (kualitatif dan
kuantitatif), kadang-kadang diperlukan beberapa proses modifikasi tergantung
asal bahan yang diekstraksi. Umumnya, jaringan mentah lebih mudah diekstraksi
dibandingkan dengan jaringan yang telah dimasak (Nuraini et al. 2012).
Pemasakan dengan suhu tinggi akan merusak kualitas DNA yang diekstraksi,
karena mendegradasi fragmen DNA kedalam ukuran yang pendek (Martinez dan
Yman 1998; Matsunaga et al. 1999; Arslan et al. 2006). Nuraini et al. (2012)
berhasil mengisolasi dan mengamplifikasi DNA gen cyt β yang berasal dari
produk olahan daging seperti bakso (dicampur daging tikus) yang telah
mengalami pemasakan pada suhu yang tinggi dengan panjang fragmen amplifikasi
603 pb. Konsentrasi DNA yang digunakan dalam proses penggandaan DNA
adalah 50 µg/ml. Sampel DNA yang mempunyai konsentrasi lebih tinggi dari 50
µg/ml dapat diencerkan dengan menambahkan air distilasi (Nuraini et al. 2012).
Penggunaan sampel dengan konsentrasi DNA yang sama dilakukan agar
keberhasilan amplifikasi seragam.

15

Forward primer
Capra_hircus
Gallus_gallus
Bos_taurus
Bos_indicus
Panthera_tigris
Ovis_aries
Sus_scrofa
Equus_caballus
Canis_lupus
Felis_catus
Rattus_norvegicus

10
20
30
40
50
60
....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....|
GACCTCCCAG CTCCATCAAA CATCTCATCT TGATGAAA
---------A -C-------- ---------A --------CT TTGGATCCCT CCTAGGAATT
---------- -C-----C-- ------TG-- --------TT TCGGCTCCCT ATTAACAGTC
-----T---- -C-------- ---------A --------TT TCGGTTCCCT CCTGGGAATC
-----T---- -C-------- ---T-----A --------TT TCGGTTCCCT CCTGGGAATC
---------- -------C-- -------G-A --------CT TTGGCTCCTT ACTAGGGGTG
--T------- ---------- T--------A --------CT TTGGCTCTCT CCTAGGCATT
---------- -C--C----- ---------A --------CT TCGGTTCCCT CTTAGGCATC
-----A---- -C--C----- ---T-----A --------CT TCGGCTCCCT CCTAGGAATC
---------- -G--G--T-- ------TG-- --------CT TCGGATCCTT ACTAGGAGTA
-----A--C- -C-----T-- -------G-A --------CT TCGGCTCCCT TCTAGGAGTC
--------C- -C-----T-- ---------A --------CT TCGGTTCTCT ACTAGGAGTA

Capra_hircus
Gallus_gallus
Bos_taurus
Bos_indicus
Panthera_tigris
Ovis_aries
Sus_scrofa
Equus_caballus
Canis_lupus
Felis_catus
Rattus_norvegicus

70
80
90
100
110
120
....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....|
TGCCTAATCT TACAAATCCT GACAGGCCTA TTCCTAGCAA TACACTATAC ATCCGACACA
TGCCTCATGA CCCAAATCCT CACCGGCCTA CTACTAGCCA TGCACTACAC AGCAGACACA
TGCCTAATCC TACAAATCCT CACAGGCCTA TTCCTAGCAA TACACTACAC ATCCGACACA
TGCCTAATCC TACAAATCCT CACAGGCCTA TTCCTAGCAA TACACTACAC ATCCGACACA
TGCTTAATCT TACAAATCCT CACTGGCCTC TTTCTAGCCA TACACTACAC ATCAGACACA
TGCTTAATTT TACAGATCCT AACAGGCCTA TTCCTAGCAA TACACTATAC ACCTGACACA
TGCCTAATCT TGCAAATCCT AACAGGCCTG TTCTTAGCAA TACATTACAC ATCAGACACA
TGCCTAATCC TCCAAATCTT AACAGGCCTA TTCCTAGCCA TACACTACAC ATCAGACACG
TGCTTGATTC TACAGATTCT AACAGGTTTA TTCTTAGCTA TGCACTATAC ATCGGACACA
TGCCTAATCT TACAAATCCT CACCGGCCTC TTTTTGGCCA TACACTACAC ATCAGACACA
TGCCTCATAG TACAAATCCT CACAGGCTTA TTCCTAGCAA TACACTACAC GTCTGATACC

Capra_hircus
Gallus_gallus
Bos_taurus
Bos_indicus
Panthera_tigris
Ovis_aries
Sus_scrofa
Equus_caballus
Canis_lupus
Felis_catus
Rattus_norvegicus

130
140
150
160
170
180
....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....|
ATAACAGCAT TTTCCTCTGT AACTCACATT TGTCGAGATG TAAATTATGG CTGAATCATC
TCCCTAGCCT TC-----C-- -G-C----C- --C--GAACG TACAATACGG CTGACTCATC
ACAACAGCAT TC-------- T--C--T--C --C----ACG TGAACTACGG CTGAATCATC
ACAACAGCAT TC-------- T--C--T--C --C----ACG TGAACTACGG CTGAATCATC
ATAACCGCTT TC--A--A-- T--C------ --C--C-ACG TAAACTACGG TTGGATTATC
ACAACAGCAT TC-------- ---C------ --C----ACG TAAACTATGG CTGAATTATC
ACAACAGCTT TC--A--A-- T--A-----C -------ACG TAAATTACGG ATGAGTTATT
ACAACTGCCT TC--A--C-- C--------C --C----ACG TTAACTACGG ATGAATTATT
GCCACAGCTT T---A--A-- C--C-----C --C----ACG TTAACTACGG CTGAATTATC
ATAACCGCCT T---A--A-- T--C-----C -----C-ACG TTAATTATGG CTGAATCATC
ATAACAGCAT TC--A--A-- C--C-----C --C----ACG TAAACTACGG CTGACTAATC

Capra_hircus
Gallus_gallus
Bos_taurus
Bos_indicus
Panthera_tigris
Ovis_aries
Sus_scrofa
Equus_caballus
Canis_lupus
Felis_catus
Rattus_norvegicus

190
200
210
220
230
240
....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....|
CGATACATAC ACGCAAACGG A--A---A-A -----T---- -CC-A--CAT ACATATCGGA
CGGAATCTCC ACGCAAACGG CGCCTCATTC TTCTTCATCT GTATCTTCCT TCACATCGGA
CGATACATAC ACGCAAACGG A--T---A-G --T--T---- -CT-A-ATAT GCACGTAGGA
CGATACATAC ACGCAAACGG A--T---A-G --T--T---- -CT-A-ATAT GCACGTAGGA
CGATATCTAC ATGCCAACGG A-----CA-A -----T---- --C-A-ACAT GCACGTAGGA
CGATACATAC ACGCAAACGG A--A---A-A --T--T---- -CC-A--TAT GCATGTAGGA
CGCTACCTAC ATGCAAACGG A--A--CA-G -----T--T- -CC-A--CAT CCACGTAGGC
CGCTACCTCC ATGCCAACGG A--A---A-A --T--T---- -CC----CAT TCACGTAGGA
CGCTATATGC ACGCAAATGG ---T--CA-A -----T---- -CC-A--CCT ACATGTAGGA
CGATATTTAC ACGCCAACGG A--T--TA-A -----T---- -CC-G-ACAT ACATGTAGGA
CGATACCTAC ACGCCAACGG -------A-A --T------- -CC-A--CCT CCATGTGGGA

Capra_hircus
Gallus_gallus
Bos_taurus
Bos_indicus
Panthera_tigris
Ovis_aries
Sus_scrofa
Equus_caballus
Canis_lupus
Felis_catus
Rattus_norvegicus
Primer_Panthera
Capra_hircus
Gallus_gallus
Bos_taurus
Bos_indicus
Panthera_tigris
Ovis_aries
Sus_scrofa
Equus_caballus
Canis_lupus
Felis_catus

250
260
270
280
290
300
....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....|
CGAGGTC--- -C--T--A-- A--T--C--- ----AAACAT GAAACATTGG AGTAATC--C
CGAGG-C--- -C-----C-- C---CTC-A- AAG-AAACCT GAAACACAGG AGTAATC--C
CGAGGCTTAT ATTACGGGTC TTACACTTTT CTAGAAACAT GAAATATTGG AGTAATC--T
CGAGGCTTAT ATTACGGGTC TTACACTTTT CTAGAAACAT GAAATATTGG AGTAATC--T
CGAGGAA--- -C-----C-- C-----C--C TC--AAACAT GAAATATCGG GATTGTGCTA
CGAGG-C--- ----T--A-- A--T--C--C ----AAACAT GAAACATCGG AGTAATC--C
CGAGG-C--- -C-----A-- C--T-TA--C ----AAACAT GAAACATTGG AGTAGTC--CGCGG-C-C- -C-----C-- ------A--C ----AGACAT GAAACATTGG AATCATC--CGAGG-C--- -------A-- C--TGTA--C A---AAACAT GAAACATTGG AATTGTA