Pemanfaatan Klorofil Sebagai Label Cerdas Indikator Warna.

PEMANFAATAN KLOROFIL SEBAGAI LABEL CERDAS
INDIKATOR WARNA

EDDWINA AIDILA FITRIA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pemanfaatan klorofil
sebagai label cerdas indikator warna adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, November 2015


Eddwina Aidila Fitria
NIM F351120031

RINGKASAN
EDDWINA AIDILA FITRIA. Pemanfaatan Klorofil sebagai label cerdas indikator
warna. Dibimbing oleh ENDANG WARSIKI dan INDAH YULIASIH
Kemasan cerdas (Smart packaging) merupakan suatu kemasan yang memiliki
indikator yang berfungsi untuk memberikan informasi kepada konsumen tentang
kelayakan produk yang dikemas. TTI (Time Temperature Indicator) merupakan salah
satu jenis kemasan cerdas yang dapat menginformasikan jika terjadi penyimpangan
suhu selama penyimpanan produk. Pengembangan aplikasi sensor indikator sebagai
label cerdas (TTI) terus menerus dilakukan, salah satunya label cerdas dalam bentuk
film. Untuk mempermudah penggunaan, film diberi tambahan pewarna yang berfungsi
sebagai indikator. Pada penelitian ini, film indikator dibuat dengan bahan dasar khitosan
dan PVA dengan perbandingan 40:60. Indikator pewarna pada film, didapat dari ekstrak
klorofil yang sesuai yang berasal dari daun suji, singkong dan pepaya.
Penelitian ini bertujuan (i) menganalisa stabilitas ekstrak klorofil yang sesuai
sebagai pewarna indikator; (ii) menganalisa kinerja perubahan warna indikator pada
berbagai suhu penyimpanan dan (iii) mengembangkan model kinetika perubahan warna

label indikator klorofil. Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama,
pemilihan ekstrak klorofil yang sesuai sebagai pewarna indikator. Metode yang
digunakan adalah melihat stabilitas masing-masing ekstrak klorofil terhadap 3 faktor
yaitu pengaruh karena pH, suhu dan cahaya. Hasil penelitian menunjukkan klorofil
daun singkong (Manihot esculenta crantz) berwarna lebih hijau dan mengalami
penurunan nilai absorban lebih cepat dibandingkan dengan daun suji dan pepaya.
Klorofil ini sesuai untuk label indikator warna karena saat diaplikasikan degradasi
warna label mengalami perubahan yang signifikan dan mudah dilihat secara visual.
Tahap kedua yaitu pembuatan film indikator dan menguji stabilitas label indikator pada
5 penyimpanan suhu yang berbeda, yaitu pada suhu -10±2oC, 2±2oC, 17±2oC, 25±2oC
dan 50±2oC. Perubahan warna yang terjadi pada label dilihat secara visual dan diukur
dengan kromameter untuk mendapatkan nilai L, a dan b yang kemudian dihitung nilai
o
hue dan ∆E. Tahap ketiga yaitu mengembangkan model kinetika reaksi perubahan
warna klorofil dengan menggunakan persamaan Arrhenius.
Perubahan warna yang terjadi yaitu dari hijau menjadi hijau kekuningan hingga
kuning kecoklatan. Semakin tinggi suhu penyimpanan maka perubahan warna semakin
cepat terjadi. Penyimpanan label pada suhu 50±2oC mengalami perubahan warna
selama 5 jam, sebaliknya semakin rendah suhu maka waktu yang dibutuhkan semakin
lama untuk melakukan perubahan warna hingga 108 hari pada suhu -10±2oC.

Pengembangan model kinetika reaksi perubahan warna label indikator didasarkan pada
nilai ohue. Perubahan warna klorofil pada label indikator dapat menggunakan persamaan
Arrhenius dengan reaksi ordo 0 dan ordo 1. Dari hasil plot nilai ln k dan 1/T, maka
persamaan untuk model kinetika perubahan warna label yang dihasilkan pada ordo 0
adalah ln k = 9,22.1010 e -15294,7/T dengan energi aktivasi sebesar 15,2947 kkal/mol dan
ordo 1 adalah ln k = 1,81.1012 e -19891,9/T dengan energi aktivasi sebesar 19,8919
kkal/mol. Model ini dapat digunakan untuk memprediksi penurunan kualitas sebuah
produk sesuai dengan kinetika model yang dihasilkan.
Kata kunci: Label cerdas, klorofil, model kinetika

SUMMARY
EDDWINA AIDILA FITRIA. The use of chlorophyll as smart labels color
indicator. Supervised by ENDANG WARSIKI and INDAH YULIASIH.
Smart packaging is a packaging that has an indicator to give information to
consumers about the quality of the product. Time Temperature Indicator (TTI) is
one type of smart packaging that can inform if that occur a deviation in temperature
during the storage. The development of sensor indicator application as smart label
(TTI) continuously has been done, one of smart label form is a film. For ease to use
it, the film is added a colour as indicator. In this research, the film indicator was
made from chitosan and PVA with ratio 40:60. Colour indicator in film, extracted

from a suitable chlorophyll that derived from suji leaves, cassava and papaya.
The research was aimed (i) to analyze the stability of extracted chlorophyll
that suitable for colour indicator; (ii) to analyze the discolouration indicator
performance in various storage temperature and (iii) to develop a kinetic model of
discolouration chlorophyll indicator label. This research was conducted in three
stages. The first stage was to select the extracted chlorophyll that suitable as colour
indicator. Stability test of each extracted chlorophyll agains three factors analyzed:
the influence of pH, temperature and light. Cassava chlorophyll is suitable to be
applied as color indicator of the label was the greenen than others, and close rates
absorbance value decreased faster than suji and papaya chlorophyll. It would be
resulted on easly degrade and the changing it was visually significant different. The
second stage was producing the film indicator and testing the indicator stability at
5 different temperatures : 10±2oC, 2±2oC, 17±2oC, 25±2oC and 50±2oC. The
discolouration that occur on the label could be seen visually and measured with
kromameter to obtain the value of L, a and b and then calculated the value of ohue
and ∆E. The third stage was to develop the kinetic model of chlorophyll
discolouration using Arrhenius equation.
The discolouration of the smart label was from green to yellow-green until
yellow-brown. The higher of storage temperature, the faster the discolouration will
occur in 5 hours at 50±2oC. And the other way round, the lower the temperature,

the longest the time required to changed the colour until 108 days at -10±2oC. oHue
was used as a parameter to develop a kinetic model of the color change indicator
label. The kinetic model of chlorophyll discolouration was developed by Arrhenius
equation using ordo 0 and ordo 1. The plot of ln k value and 1/T has resulted on the
equation for kinetic model discolouration label and these value were k = 9,22.1010
e -15294,7/T with activation energy of 15,2947 kkal/mol for ordo 0 and k = 1,81.1012
e -19891,9/T with activation energy of 19,8919 kkal/mol for ordo 1. The model could
predict the quality change of some product accordance with the kinetic model.
Keywords : Smart label, chlorophyll, kinetic model

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

PEMANFAATAN KLOROFIL SEBAGAI LABEL CERDAS

INDIKATOR WARNA

EDDWINA AIDILA FITRIA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Emmy Darmawati, MSi

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang

dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2014 ini adalah
kemasan cerdas, dengan judul Pemanfaatan Klorofil sebagai Label Cerdas Indikator
Warna.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Endang Warsiki STP. MSi dan
Ibu Dr. Indah Yuliasih STP.MSi selaku Tim komisi pembimbing atas perhatian,
waktu, saran dan petunjuk yang diberikan selama bimbingan sehingga penyusunan
tesis ini dapat di selesaikan. Di samping itu, ungkapan terima kasih tak terhingga
untuk papa tercinta Drs.H Darul Chutni, mama tercinta Hj.Erfina Razali S.Sos,
abang tersayang Edvan Prayudha SE, kakak tercinta Sri Anggraini S.Farm Apt dan
Keponaan paling tersayang Faiz Ivan Pradana dan Ghazali Ivan Mahendra atas
perhatian, kasih sayang dan dukungan dalam proses meraih Master ini. Untuk
sahabat-sahabat yang selalu mendukung dalam penyelesaian studi GENGGONK
UNIVERSITY (Elfa Susanti Thamrin STP MSi, Elfira Febriani STP MSi, Nina
Hairiyah STP MSi, Nova Alemina Sitepu STP MSi, Mohammad Rafi SPi MSi),
Teguh Pratama Puji Pamungkas SP.MSi, Bapak Dr.Ir Novizar Nazir MSi, Rekanrekan Pascasarjana TIP 2012, Teman-teman IMPACS IPB (Pak Azrifirwan, Pak
Bonar, Oktari Ega STP, Bg Doni SP, Nela Eska Putri STP, dll), teman-teman di
Kostan Bu Made (Mbak Ludfia Kurniasari SE, Mbak Padma, Mbak Asih, Nanda
Triandita STP, Kak Sri Novalina SPt MP, (Alm) Bg Rudi Hermansyah STP MP,
Bu Siluh, Mbak Eva dan Mbak Endah), teman-teman THPZero7 Unand (Panji
Iskandar STP, Wellyalina STP MP, Rika Rosadi STP, Yogi Hadiputra STP, Wellya

Sari STP, Vonny Fauziah STP, Nezly Nurlia Lubis STP), Novitra, teman-teman
TIP S2 dan S3, Rekan di FORUM WACANA IPB masa bakti 2012-2013 dan
seluruh staf departemen Teknologi Industri Pertanian IPB terima kasih atas diskusi,
persahabatan dan motivasi yang selalu diberikan. Semoga karya ilmiah ini
bermanfaat.

Bogor, November 2015

Eddwina Aidila Fitria

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN

i
i
ii

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
2
3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Kemasan Cerdas
Matriks Film Pembawa Warna pada Label Cerdas
Bahan Pewarna sebagai Indikator
Pengukuran Warna
Pengembangan Model Kinetika Perubahan Warna

3
3
4
7

9
10

3 METODE PENELITIAN
Bahan dan alat
Metode penelitian

12
12
12

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Ekstrak Klorofil Daun Suji, Singkong dan Pepaya
Uji Stabilitas Ekstrak Klorofil
Pembuatan dan Uji Ketebalan Film Indikator
Stabilitas Warna Label Film Selama Penyimpanan
Model Kinetika Perubahan Warna Label Film Indikator Klorofil

17
17

17
25
26
33

5. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran

35
35
36

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

36
40

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Beberapa indikator TTI penentu kesegaran produk
Karakteristik fisik polivinil alkohol
Berbagai rasio klorofil a dan b pada beberapa jenis daun
Analisis ekstrak klorofil daun suji, singkong dan pepaya
Nilai konstanta laju reaksi dan nilai koefisien korelasi dari ordo 0 dan ordo 1
Model kinetika perubahan warna klorofil pada label indikator

4
5
8
16
33
34

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.

Struktur kimia khitin dan khitosan
Struktur kimia klorofil beserta turunannya
Diagram chroma dan hue
Diagram alir pembuatan dan pemilihan ekstrak klorofil
Diagram alir pembuatan film indikator
Diagram alir penelitian tahap 2
Nilai absorban klorofil pada panjang gelombang 645 dan 663
Perubahan warna ekstrak klorofil dari pH 1-7 pada pengenceran 10-2
Perubahan klorofil menjadi beberapa senyawa turunannya
Perubahan nilai absorban klorofil a dan klorofil b
Perubahan warna klorofil daun suji, singkong dan pepaya pada
penyimpanan suhu ruang
Perubahan warna klorofil daun suji, singkong dan pepaya pada
penyimpanan suhu refrigerator
Perubahan nilai absorban klorofil a dan b
Perubahan warna klorofil daun suji, singkong dan pepaya pada
penyimpanan dengan cahaya terang
Perubahan warna klorofil daun suji, singkong dan pepaya pada
penyimpanan tanpa cahaya
Film indikator warna klorofil sebelum dan sesudah dikeringkan
Perubahan warna label film indikator klorofil pada suhu
50±1oC, 27±2oC 17±2oC, 2±2oC dan -10±2oC
Hubungan lama penyimpanan terhadap nilai L label indikator
Hubungan lama penyimpanan terhadap nilai a label indikator
Hubungan lama penyimpanan terhadap nilai b label indikator
Hubungan lama penyimpanan terhadap nilai ∆E label indikator
Hubungan lama penyimpanan terhadap nilai ohue label indikator
Perubahan warna label indikator berbagai suhu (diagram chroma dan hue)
Hubungan antara nilai ohue dan lama penyimpanan pada suhu
dengan menggunakan ordo 0
Hubungan antara nilai hue dan lama penyimpanan pada suhu
dengan menggunakan ordo 1
Plot 1/T dengan ln k untuk perubahan warna klorofil pada label indikator

6
9
10
14
14
15
17
18
19
20
21
21
22
23
23
25
26
27
28
29
30
31
32
32
33
34

DAFTAR LAMPIRAN
1. Prosedur analisis ekstrak klorofil
2. Proses pembuatan larutan khitosan dan PVA

41
43

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kemasan tidak hanya dilihat sebagai wadah, tetapi mempunyai peranan penting
dalam memberikan informasi tentang produk yang dikemas. Terlepas dari itu, fungsi
lain dari kemasan adalah sebagai kenyamanan, pemasaran, dan komunikasi. Kemasan
harus memastikan produk tidak tumpah atau bocor. Kemasan menjadikan produk mudah
dibawa dan kemasan yang menarik akan membantu meningkatkan pemasaran produk.
Komunikasi antara konsumen dan produsen diperankan oleh kemasan dalam
menampilkan informasi seperti berat bahan, sumber bahan, nilai gizi dan tanggal
kedaluwarsa (Nofrida et al. 2013). Inovasi kemasan merupakan salah satu aspek penting
dalam pengembangan produk baru. Salah satu perkembangan baru dalam teknologi
kemasan yaitu kemasan cerdas.
Kemasan cerdas adalah sistem melekat sebagai label, yang dimasukan ke dalam
kemasan, atau dicetak ke bahan kemasan untuk memantau kualitas produk (Kerry dan
Butler 2008). Kemasan cerdas ini dapat memberikan informasi kepada konsumen
mengenai kerusakan produk apabila tidak diperlakukan sesuai syarat penyimpanan dan
memberikan informasi lebih rinci seluruh rantai suplai serta distribusi produk, sehingga
keamanan produk konsumen lebih terjamin (Nofrida et al. 2013).
Aplikasi kemasan cerdas di negara lain telah banyak digunakan. Sebuah
perusahan di Amerika telah menggunakan kemasan cerdas sebagai sensor untuk
mendeteksi penurunan mutu pada produk. Tujuan perusahaan tersebut adalah untuk
memberikan informasi lebih kepada konsumen mengenai produk mereka mulai dari
pengemasan produk hingga waktu konsumsi. Kemasan ini diberi nama The FreshCheck®, yaitu kemasan yang dilengkapi label seukuran perangko dan ditempelkan di
kemasan luar produk makanan segar dan obat-obatan (Fortin dan Goodwin 2008). Label
tersebut menggunakan metode Time Temperature Indicator (TTI) untuk mendeteksi
penurunan mutu produk yang terjadi.
TTI (Time Temperature Indicator) adalah label cerdas yang dapat
menginformasikan jika terjadi penyimpangan suhu selama penyimpanan produk. Secara
umum, kemasan ini hanya berupa plastik film yang disertai dengan indikator yang
bekerja atau bereaksi terhadap waktu dan suhu penyimpanan dari lingkungan sekitar
kemasan yang ada (Day 2008).
Penggembangan aplikasi sensor label cerdas terus menerus dilakukan.
Pengembangan yang tengah dilakukan, yaitu label cerdas dengan bentuk film. Biasanya
untuk mempermudah penggunaan, film diberi tambahan warna sebagai indikator.
Warna itu akan berubah dengan mekanisme tertentu yang akan berasosiasi dengan
perubahan mutu produk. Penelitian tentang TTI telah banyak dilakukan, diantaranya
Pacquit et al. (2007) telah membuat matriks polimer berwarna yang sensitif terhadap
pH. Responnya ditemukan berkorelasi dengan perubahan populasi mikroba pada ikan.
Riyanto et al. (2010) meneliti tentang sensor smart packaging dari khitosan-asetat, PVA
dan bromthymol blue (BTB) yang memperlihatkan adanya kecenderungan yang nyata
dalam mendeteksi tingkat kebusukan fillet ikan nila. Warsiki et al. (2010) telah meneliti
mengenai kemasan antimikrobal dengan bahan aktif ekstrak bawang putih. Warsiki dan
putri (2012) meneliti tentang label cerdas indikator warna dari pewarna alami dan
sintetis, kemudian Setiautami dan Warsiki (2013) juga telah melakukan penelitian label

2
cerdas menggunakan pewarna antosianin dari buah bit serta Nofrida et al. (2013) dan
Warsiki et al. (2013) juga telah membuat label cerdas berbahan dasar khitosan dan PVA
dengan penambahan pewarna antosianin dan diaplikasikan untuk mendeteksi kerusakan
susu pasteurisasi.
Berdasarkan penelitian tersebut, peneliti menggunakan indikator warna untuk
mengetahui perubahan mutu produk yang dikemas dengan terjadinya proses degradasi
warna pada label indikator. Namun, terdapat kekurangan dari penelitian tersebut yaitu
hanya melihat terjadinya perubahan warna secara visual dan perhitungan respon total
perubahan warna tanpa mengkaji lebih dalam tentang permodelan kinetika perubahan
warna dengan suhu sehingga dapat memprediksi kualitas pangan dengan melihat
terjadinya perubahan warna. Selain itu, indikator warna yang digunakan pada label
menggunakan warna “merah” dan mengalami perubahan menjadi “kuning”. Biasanya,
secara umum konsumen mengindikasikan “hijau” sebagai warna produk segar dan
“merah” sebagai produk tidak layak konsumsi. Untuk itu, pengembangan label cerdas
masih perlu dilakukan. Salah satunya pengembangan label indikator dengan zat wana
hijau yang akan berubah menjadi kuning/coklat serta dilakukan pengembangan model
kinetika perubahan warna pada label indikator tersebut. Pewarna alami yang
memungkinkan untuk dapat diaplikasikan pada label yang memberikan perubahan
warna hijau adalah pigmen berasal dari klorofil.
Klorofil telah lama diketahui dapat dimanfaatkan sebagai pewarna alami.
Ketersediaan klorofil di alam sangat besar. Gross (1991) menyatakan kadar klorofil ratarata daun sebesar 1 % berdasarkan basis kering. Ketersediaan yang banyak di alam
menjadikan klorofil berpeluang sebagai pewarna alami. Klorofil mudah mengalami
degragasi warna selama proses pengolahan, hal ini disebabkan karena lepasnya ion Mg2+
pada pusat struktur klorofil. Fenomena ini dapat dimanfaatkan dan diintegrasikan untuk
label indikator akibat kerusakan produk karena pengaruh suhu sehingga pewarna ini
cocok digunakan sebagai pewarna indikator.
Penelitian mengenai permodelan sebelumnya telah banyak dilakukan tetapi
permodelan perubahan degradasi klorofil pada label indikator selama penyimpanan
belum dikembangkan. Penelitian Dermesonlouoglou et al. (2007) memodelkan kinetika
reaksi dari perubahan mutu tomat selama penyimpanan pada suhu dingin sedangkan
Goncalves et al. (2011) mengembangkan model kinetika yang dilihat dari degradasi
kinetika perubahan warna, vitamin C dan drip loss brokoli selama penyimpanan
isothermal dan non ishotermal. Saxena (2012) telah menggunakan model kinetika untuk
mengamati perubahan kualitas bahan pertanian, yaitu perubahan warna pada nangka
selama proses pengeringan. Masithoh et al. (2013) juga telah mengembangkan model
dengan melihat perubahan kualitas tomat selama penyimpanan. Choi et al. (2014)
melakukan penelitian kinetika perubahan warna yang dimodelkan dengan kinetika ordo
reaksi 0 dan laju respon waktu dimodelkan dengan persamaan Arrhenius.

Perumusan masalah
Peran utama kemasan dalam industri makanan/minuman adalah untuk
melindungi produk, memberikan informasi tentang produk yang dikemas dan
mempermudah distribusi suatu produk. Sistem penanganan yang tidak sesuai akan
mempercepat kerusakan mutu suatu produk terutama produk yang rentan terhadap suhu
sehinga kerusakan lebih cepat terjadi dari tanggal kadaluarsa.

3
Kemasan cerdas merupakan suatu sistem yang dapat memberikan informasi
tentang produk yang dikemas tanpa harus memperhatikan tanggal kadaluarsa. TTI (Time
Temperature Indikator) adalah salah satu bentuk dari kemasan cerdas yang dapat
menginformasikan jika terjadi kesalahan suhu selama penyimpanan produk. Penelitian
tentang label TTI ini telah banyak dilakukan untuk mendeteksi penurunan mutu suatu
produk.
Klorofil merupakan salah satu pewarna alami yang dikenal sebagai bahan yang
sensitif terhadap perubahan suhu, sehingga berpotensi digunakan sebagai indikator
mutu dengan menggunakan motede TTI. Sumber klorofil berasal dari hijau dedaunan,
untuk itu perlu dilakukan pengkajian beberapa sumber klorofil yang potensial yaitu daun
suji, daun singkong dan daun pepaya.
Perubahan warna klorofil dipengaruhi oleh perubahan suhu sehingga perlu
dikembangkan dalam bentuk model kinetika menggunakan permodelan Arrhenius
untuk menghasilkan model matematik hubungan perubahan klorofil terhadap suhu.

Tujuan
1. Menganalisa stabilitas ekstrak klorofil yang sesuai sebagai pewarma indikator.
2. Menganalisa kinerja perubahan warna label indikator pada berbagai penyimpanan
suhu.
3. Mengembangkan model kinetika perubahan warna label cerdas.

Manfaat Penelitian
1. Menghasilkan sumber klorofil yang baik dan potensial digunakan sebagai indikator
warna untuk label cerdas.
2. Memformulasikan sebuah kinetika model hubungan perubahan warna klorofil
terhadap suhu sehingga dapat digunakan untuk memprediksi kualitas produk selama
dalam distribusi dan penyimpanan.

Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada (i) tiga jenis sumber klorofil dari daun
suji, daun pepaya dan dan singkong; (ii) mengkaji mengenai perubahan warna film
indikator warna selama penyimpanan melalui perubahan nilai L, a, b, ohue dan ΔE dan
(iii) mengembangkan model kinetika perubahan warna label film.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Kemasan cerdas/Smart packaging
Kemasan cerdas adalah sistem melekat sebagai label, yang dimasukan ke dalam
kemasan, atau dicetak ke bahan kemasan untuk memantau kualitas produk (Kerry dan
Butler 2008). Kemasan cerdas ini dapat memberikan informasi kepada konsumen
mengenai kerusakan produk apabila tidak diperlakukan sesuai syarat penyimpanan,
melacak titik-titik kritis, dan memberikan informasi lebih rinci seluruh rantai suplai dan

4
distribusi produk, sehingga keamanan produk konsumen lebih terjamin.Teknik kemasan
cerdas yang ada saat ini mempunyai indikator untuk suhu dan indikator O2. Indikator
ini bertujuan untuk menunjukkan apakah mutu produk didalamnya sudah menurun,
sebelum produk tersebut menjadi rusak (Kerry dan Butler 2008).
Kuswandi et al. (2011) menyatakan bahwa smart packaging merupakan sebuah
sensor yang dapat memonitoring tentang kualitas dan keamanan pangan dan memiliki
potensi besar dalam pengembangan sistem penginderaan baru yang terintegrasi dalam
kemasan makanan. Smolander (2008) telah merangkum beberapa perkembangan dalam
riset indikator kesegaran produk perikanan dari beberapa peneliti smart packaging.
Salah satu pengembangan dari smart packaging adalah Time Temperature
Indicator (TTI). TTI merupakan kemasan cerdas yang dapat menginformasikan jika
terjadi kesalahan suhu selama penyimpanan produk dan juga menduga sisa umur dari
produk pangan. Secara umum, kemasan ini hanya berupa plastik film yang disertai
dengan indikator yang bekerja atau bereaksi terhadap waktu dan suhu penyimpanan dari
lingkungan sekitar kemasan yang ada (Day 2008). Pengembangan TTI sudah banyak
dilakukan, diantaranya indikator warna untuk memantau fermentasi dan umur simpan
kimchi dengan menggunakan perubahan pH sebagai sensor untuk perubahan warna
pada kemasan produk tersebut. Di negara-negara maju sudah banyak penelitian yang
dilakukan dalam mengembangkan TTI dan indikator warna sebagai kemasan cerdas,
diantaranya 3M Monitor Mark yang merupakan merek paten dari USA yang
mengembangkan TTI untuk produk segar, Fresh-check (USA) yang mengembangkan
kemasan cerdas untuk mengetahui besarnya paparan cahaya selama penyimpanan dan
OnVu yang merupakan produk TTI dari Switzerland
Pada umumnya, output dari alat TTI adalah berupa perubahan atau pergerakan
warna, atau kombinasi keduanya (Kerry and Butler 2008). Label TTI yang diletakkan
pada kemasan pangan, akan memberikan informasi mengenai panas yang masuk ke
dalam kemasan selama distribusinya, biasanya ditunjukkan dengan respon yang dapat
dilihat dalam bentuk deformasi mekanis, perubahan warna atau pergerakan warna.
Ratusan paten telah dikeluarkan untuk penemuan-penemuan mengenai TTI, tapi hanya
sedikit yang digunakan secara komersial. Beberapa indikator penentu kesegaran produk
yang digunakan pada berbagai smart packaging dapat dilihat pada Tabel 1.
Pada penelitian yang dilakukan Warsiki dan Putri (2012) pembuatan film cerdas
menggunakan khitosan sebagai bahan dasar yang memiliki sifat cukup tebal, lentur,
mudah dilepaskan dari plat kaca dan tidak mudah pecah. Peneliti menggunakan pewarna
sintetik sebagai indikator warna karena memiliki kestabilan warna ketika dicampurkan
ke dalam larutan film yang dipanaskan. Film indikator warna ini diaplikasikan pada
buah nanas potong untuk mengetahui perubahan mutu buah nanas selama penyimpanan
seiring dengan terjadinya penurunan pH pada buah nanas potong.
Pada penelitian Warsiki et al. (2013) film indikator khitosan-PVA dengan
penambahan pewarna alami antosianin daun erpa menyebutkan bahwa film ini stabil
pada suhu freezer dan suhu refrigerator, dan sangat mudah berubah warna pada
penyimpanan suhu ruang dan suhu 40oC dengan penyinaran matahari. Film indikator
warna erpa yang mengandung antosianin mengalami perubahan warna selama
penyimpanan. Hal ini karena, antosianin rentan terhadap peningkatan suhu dan cahaya
yang menyebabkan antosianin terdegradasi lebih cepat, sehingga warna indikator
berubah dari merah menjadi kekuningan.

5
Tabel 1. Beberapa indikator penentu kesegaran produk yang digunakan pada TTI
“smart packaging”
Metabolit
dideteksi

yang

Indikator potensial dan prinsip sensor

Produk indikator
Kesegaran
komersial
It’s Fresh™ (It’s
Fresh! Inc.)

Gas-gas basa
volatil

DTN pada komponen volatil dari produk
dalam kemasan bereaksi dan merubah
warna dari pewarna indiator

Komponen
nitrogen volatil
(TMA,
DMA,
Amonia)

Reaksi dilihat berdasarkan perubahan
warna menggunakan pewarna sensitif pH,
atau dengan sensor optik

Fresh Taq
(USA), freshQ
(USA)

Produk degradasi
ATP

Test
strip,
biosensor
elektrokimia
berdasarkan penentuan enzimatis, kontak
langsung dengan makanan

Transia GmbH
(Jerman)

Komponen
sulfur

DTN pada komponen volatil sulfur dari
kemasan, reaksi berdasarkan perubahan
warna mioglobin, atau perubahan warna
lembaran perak skala nano

Freshness
Guard Indicator
(Finlandia)

Sumber: Smolander 2008

Matriks Film Pembawa Warna pada Label Cerdas
PVA (Polivinil Alkohol)
Polivinil alkohol merupakan suatu material yang dibuat melalui proses
alkoholisis dari polivinil asetat . Polivinil alkohol memiliki sifat tidak berwarna, padatan
termoplastik yang tidak larut pada sebagian besar pelarut organik dan minyak, tetapi
larut dalam air bila jumlah dari gugus hidroksil dari polimer tersebut cukup tinggi
(Harper dan Petrie 2003). Polivinil alkohol memiliki permeabilitas uap air terendah dari
semua polimer komersial tetapi sensitivitas airnya telah membatasi penggunaannya
(Beswick & Dunn 2002). Wujud dari polivinil alkohol berupa serbuk (powder)
berwarna putih dan memiliki densitas 1,2000-1,3020 g/cm3 serta dapat larut dalam air
pada suhu 80oC (Sheftel 2000).
Secara komersial, polivinil alkohol adalah plastik yang paling penting dalam
pembuatan film yang dapat larut dalam air. Hal ini ditandai dengan kemampuannya
dalam pembentukan film, pengemulsi, dan sifat adesifnya. Polivinil alkohol memiliki
kekuatan tarik yang tinggi, fleksibilitas yang baik, dan sifat penghalang oksigen yang
baik (Ogur 2005). Aplikasi dari polivinil alkohol sudah meliputi banyak bidang.
Hodgkinson & Taylor (2000) melaporkan polivinil alkohol banyak diaplikasikan dalam
bidang kesehatan (biomedical), bahan pembuat deterjen, lem dan film. Karakter fisik
dari polivinil alkohol disajikan pada Tabel 2.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Warsiki et al. (2013), peneliti menggunakan
PVA dan khitosan sebagai bahan dasar pembatan film untuk label cerdas. Perbandingan
antara PVA dan khitosan sebanyak yaitu 60% PVA dan 40% khitosan telah layak
dihasilkan film dengan karakteristik yang bagus secara visual.

6
Tabel 2 karakteristik fisik polivinil alkohol
Karakteristik
Satuan
Nilai
3
Densitas
(g/cm )
1,19 – 1,31
Titik leleh
(oC)
180 – 240
o
Titik didih
( C)
228
Suhu penguraian
(oC)
180

Khitosan
Khitosan merupakan produk dari proses deasetilasi khitin yang merupakan
komponen utama eksoskeleton dari kelas krustacea. Khitosan adalah kopolimer linier
yang tersusun oleh 2000-3000 monomer D-glukosamin (GlcN) dalam ikatan β (1-4)
yang terdiri dari 2-asetil-2-deoksi-D-glukopiranosa dan 2-amino-2-deoksi- β -Dglukopiranosa (Prashanth dan Tharanathan 2007). Berat molekul khitosan sebesar 1,24
x 106 Dalton sedangkan derajat deasetilasinya adalah sekitar 80%-85% (Krajewska
2004).
Khitin dan khitosan tergolong ke dalan hidrokoloid yaitu polimer rantai panjang
yang terlarut atau terdispensi dalam air yang berfungsi sebagai pengental maupun
sebagai pembentuk viskositas produk. Khitin dan khitosan telah dimanfaatkan dalam
berbagai keperluan seperti: industri gula (Toharisman 2007), industri perikanan (Irianto
dan Soesilo 2007), industri kulit untuk perekat, industri makanan (Restuccia et al. 2010),
kemasan antimikroba (Rojas et al. 2007, Warsiki et al. 2009, Quintafalla dan Vincini
2002). Hoagland dan Parris 1996 menyatakan alasan membuat film dari khitosan karena
dapat membentuk film dan membran dengan baik, sifat kationik selama pembentukan
film merupakan interaksi elektrostatik dengan anionik.
Khitosan mempunyai gugus amino bebas polikationik, pengkelat, dan
pembentuk dispersi dalam larutan asam asetat. Bila khitosan dilarutkan dalam asam
a dapat
maka khitosan akan menjadi polimer kationik dengan struktur linear sehingga
digunakan dalam proses flokulasi, pembentuk film atau imobilisasi dalam berbagai
reagen biologi termasuk enzim (Rinaudo 2006). Proses kationisasi mengarah kepada
pembentukan grup yang fungsional (OH dan NH). Khitosan yang larut dalam asam
memiliki keunikan yakni mampu membentuk gel yang stabil dan membentuk muatan
dwi kutub, yaitu muatan positif pada gugus NH dan muatan negatif pada gugus
karboksilat (Krajewska 2004). Struktur khitin dan khitosan dapat dilihat pada Gambar
1.
a

b
Gambar 1 Struktur kimia (a) Khitin (b) Khitosan (Prashanth dan Tharanathan 2007)
Berdasarkan berbagai penelitian plastik film kemasan saat ini, penggunaan
khitosan sebagai bahan dasar film kemasan merupakan bentuk penelitian yang paling

7
banyak dilakukan. Warsiki et al. (2011) misalnya, menyatakan Film kitosan dengan
penambahan ekstrak bawang putih secara umum lebih baik daripada film kitosan tanpa
penambahan ekstrak bawang putih. Penelitian yang dilakukan oleh Mussaddad (2002)
menyimpulkan bahwa edible dari khitosan terbukti efektif dalam menekan laju respirasi
buah tomat selama penyimpanan, baik terhadap buah yang disimpan di suhu kamar (2830oC; RH 45-60%) maupun di suhu dingin (9-12 oC; RH 60-70%). Pangabean (2010)
mendapatkan hasil konsentrasi khitosan yang terpilih bagi edible khitosan untuk buah
nenas terolah minimal adalah 1,5% yang menghasilkan laju respirasi buah terendah
dibandingkan dengan konsentrasi kitosan 1% dan tanpa kitosan. Rahardyani (2011)
telah mengaplikasikan edible coating sebagai penentuan mutu daging sapi, peneliti
menyatakan bahwa daging sapi yang dengan perlakuan kitosan 3% memiliki nilai
terbaik dalam menghambat pertumbuhan mikroba.
Gliserol sebagai plasticizer
Gliserol ialah suatu trihidroksi alkohol yang terdiri atas tiga atom karbon. Setiap
karbon mempunyai gugus -OH. Gliserol diperoleh dari hasil penyabunan lemak atau
minyak adalah suatu zat cair yang tidak berwarna dan mempunyai rasa yang agak manis.
Gliserol larut baik dalam air dan tidak larut dalam eter. Gliserol digunakan dalam
industri farmasi dan kosmetika sebagai bahan dalam preparat yang dihasilkan. Di
samping itu gliserol berguna bagi untuk sintesis lemak di dalam tubuh (Hakiki 2010).
Gliserol adalah plasticizer dengan titik didih yang tinggi, larut dalam air, polar,
non volatile dan dapat bercampur dengan protein. Gliserol merupakan molekul
hidrofilik dengan berat molekul rendah, mudah masuk ke dalam rantai protein dan dapat
menyusun ikatan hidrogen dengan gugus reaktif protein (Galietta et al. 1998). Sifat-sifat
tersebut yang menyebabkan gliserol cocok digunakan sebagai plasticizer, karena
gliserol berbentuk cair, bentuk cair gliserol lebih menguntungkan karena mudah
tercampur dalam larutan film dan terlarut dalam air (Anker et al. 2000). Penelitian
Bozdemir dan Tutas (2003) menunjukkan bahwa gliserol merupakan plasticizer dengan
kemampuan menurunkan ikatan hidrogen antar polimer yang terbesar sedangkan
sorbitol merupakan yang terkecil dibandingkan dengan plasticizer lain seperti propilen
glikol dan polietilen glikol. Namun ikatan hidrogen antar polimer yang kuat akan
membuat film yang terbentuk menjadi keras dan kurang fleksibel, dan begitu pula
sebaliknya.
Menurut Nofrida (2013) penambahan plasticizer yaitu gliserol mempengaruhi
tingkat elastisitas film yang dihasilkan. Semakin banyak penambahan plasticizer, maka
elastisitas film akan semakin tinggi. Penambahan plasticizer akan menghindari film dari
keretakan selama penanganan maupun penyimpanan yang dapat mengurangi sifat-sifat
tahanan film (Sumarto 2008).

Bahan Pewarna sebagai Indikator
Klorofil
Klorofil adalah pigmen berwarna hijau yang terdapat dalam kloroplas bersamasama dengan karoten dan xantofil pada semua makhluk hidup yang mampu melakukan
fotosintetis. Pada semua tanaman hijau, sebagian besar klorofil berada dalam dua bentuk
yaitu klorofil-a dan klorofil-b. Klorofil-a bersifat kurang polar dan berwarna biru hijau,

8
sedangkan klorofil-b bersifat polar dan berwarna kuning hijau. Klorofil berwarna hijau
karena menyerap secara kuat daerah merah dan biru dari spektrum cahaya visibel
(Astawan 2008).
Perbandingan klorofil-a dan klorofil-b yaitu 3:1. Rumus molekul klorofil-a
adalah C55H72N4O5Mg, sedangkan klorofil-b adalah C55H70N4O6Mg. Klorofil-b berbeda
dengan klorofil-a karena mempunyai satu grup formil (-CH) menggantikan grup metil
pada posisi 3 dari klorofil-a. Klorofil-a adalah struktur tetrapirol melalui ikatan Mg,
sedangkan subsitusi metil pada posisi 1,3,5, dan 8, vinil pada posisi 2, etil pada posisi 4,
propinat yang diesterifikasi dengan fitil alcohol (fitol) pada posisi 7, keton pada posisi
9 dan karbometoksi pada posisi 10 (Hermansyah 2012). Beberapa rasio klorofil-a dan b
pada berbagai jenis daun disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Berbagai Rasio Klorofil a dan b pada Berbagai Jenis Daun
Jenis
Daun singkong
Daun katuk
Daun poh-pohan
Daun kangkung
Daun bayam
Daun kemangi
Caisin
Selada
Alang-alang
Rumput gajah

a
2853,2
1688,1
1495,4
1493,6
1205,0
842,9
815,0
482,7
1831,2
2123,7

Kandungan klorofil (µg/g bahan)
b
Total
Rasio
1114,3
3967,5
2,6:1
513,9
2202,0
3,3:1
587,1
2013,5
2,9:1
519,9
2013,5
2,9:1
255,9
1460,9
4,7:1
479,8
1322,7
1,8:1
393,1
1208,1
2,1:1
148,6
631,3
3,2:1
495,1
2326,3
3,7:1
549,5
2673,2
3,9:1

Sumber: Alsuhendra 2004
Klorofil termasuk pigmen non polar dan harus diekstrak dengan pelarut organik
(metanol, etanol, aseton) dengan kepolaran tertentu (Sedjati et al. 2012). Untuk
mendapatkan pewarn alami klorofil, senyawa ini cocok di ekstrak dengan pelarut
organik, tetapi jika diaplikasikan sebagai indikator warna pada label cerdas klorofil
cukup diekstrak degan air. Pelarut organik contohnya aseton akan mengikat klorofil dan
menghasilkan warna hijau yang relatif stabil, sedangkan air bersifat melepas klorofil
yang dapat berubah warna jika terkena suhu tinggi. Kelebihan klorofil adalah perubahan
warna yang lambat dari hijau ke kuning sehingga pewarna ini digunakan sebagai warna
indikator label untuk produk yang mempunyai massa simpan yang relatif lama. Menurut
penelitian Putri et al. (2012) ekstraksi klorofil daun suji, penggunan larutan ekstrak
alkohol 85% dan aseton 85% memiliki daya ekstraksi pigmen klorofil yang lebih besar
dibandingkan air sebagai larutan pengekstrak. Bentuk strutur kimia klorofil dapat dilihat
pada Gambar 2.

9

Gambar 2 Struktur kimia klorofil a dan b beserta turunannya (Gross 1991)
Berdasarkan penelitian Limantara dan Rahayu (2008) kandungan klorofil dalam
daun suji sekitar 2053,8 µg/g. Sedangkan berdasarkan Hakim kandungan klorofil dalam
daun suji sekitar 3773µg/g dengan rasio klorofil a dan b sebesar 2:1. Kandungan klorofil
a lebih besar dari kandungan klorofil b. Ekstrak klorofil telah banyak diaplikasikan pada
produk pangan. Hermansyah (2012) telah mengaplikasikan ekstrak liquid klorofil daun
cincau pada minuman teh hijau. Klorofil juga telah diteliti dapat diaplikasikan pada
kosmetik, deterjen, tekstil dan obat-obatan (Paul et al. 2001).
Antosianin
Antosianin merupakan salah satu zat pewarna alami yang berwarna ungu
kemerah-merahan yang banyak terdapat pada tumbuh-tumbuhan. Pigmen ini berperan
terhadap timbulnya warna merah hingga ungu pada beberapa bunga, buah dan daun .
Antosianin telah banyak digunakan sebagai pewarna, khususnya minuman, karena
banyak pewarna sintetis diketahui bersifat toksik dan karsinogenik (Francis 1999).
Antosianin merupakan senyawa flavonoid yang memiliki kemampuan sebagai
antioksidan. Umumnya senyawa flavonoid berfungsi sebagai antioksidan primer,
chelator dan scavenger terhadap superoksida anion. Antosianin dalam bentuk aglikon
lebih aktif daripada bentuk glikosidanya (Santoso 2006). Senyawa antosianin mudah
larut dalam air sehingga dalam penanganan buah sebelum pengolahan perlu
diperhatikan agar komposisi warna awal yang dikandung buah dapat dipertahankan
(Winarno 1997).
Menurut Winarti et al. (2008), pada kondisi asam antosianin berubah warna
menjadi merah, keadaan netral antosianin berubah warna menjadi ungu muda dan pada
keadaan basa berwarna biru. Pigmen antosianin lebih stabil dalam keadaan asam
dibandingkan dalam keadaan basa. Kerusakan antosianin memiliki beberapa faktor yang
membatasi, antara lain ketidakstabilannya terhadap cahaya dan panas serta rentan
mengalami degradasi. Peningkatan pH (pH 4 - 6) menunjukkan warna antosianin
memudar karena kation flavilium yang berwarna merah mengalami hidrasi menjadi
bentuk struktur tidak berwarna karbinol. Sedangkan pada pH 7 dan 8 warna antosianin
menjadi biru keunguan disebabkan pembentukan struktur kuinoidal biru yang tidak
stabil (Violalita 2010).
Stabilitas antosianin dipengaruhi oleh pH, suhu dan cahaya. Suhu dan cahaya
cenderung dapat menurunkan nilai absorban ekstrak antosianin. Ekstrak antosianin telah
banyak dimanfaatkan pada produk pangan, contohnya aplikasi antosianin dari buah
senduduk yang dilakukan oleh Violalita (2010), peneliti mengaplikasikan antosianin

10
untuk produk sirup, agar-agar dan es krim. Pada penelitian yang dilakukan oleh Warsiki
dan Setiautami (2013), peneliti mengaplikasikan antosianin dari buah bit sebagai
pewarna alami label cerdas. Pada penelitian ini, metode terbaik yang digunakan adalah
metode oles dengan volume terbaik yang digunakan untuk mengoleskan pewarna alami
pada film 6 ml per 400 cm2. Nofrida (2013) juga mengaplikasikan antosianin dari daun
erpa untuk label cerdas indikator warna dan diaplikasikan pada produk susu pasteurisasi.

Pengukuran Warna
Pada umumnya sistem CIELAB yang biasa digunakan (Macdougall 2002)
dibandingkan metode pengukuran lainnya seperti sistem output warna CIE dan Hunter
Lab. Sistem CIE menggambarkan warna dengan simbol Y, sistem Hunter Lab
mendefinisikan warna sebagai XYZ dan sistem CIELAB mendefinisikan warna sebagai
L*, a*, b* dan persyaratan tambahan seperti ohue (h), nilai kroma (C) dan jumlah
perbedaan warna (ΔE) (Macdougall 2002).
Nilai L menunjukkan tingkat kecerahan warna dengan interval nilai 0 (hitam)
hingga 100 (putih). Nilai a menunjukkan cahaya pantul sehingga menghasilkan warna
kromatik campuran warna merah hijau. Nilai a positif menunjukkan derajat kemerahan
sedangkan a negatif menunjukkan derajat kehijauan. Nilai b menunjukkan cahaya pantul
yang menghasilkan warna kromatik campuran biru kuning. Nilai b positif menunjukkan
derajat kekuningan sedangkan b negatif derajat kebiruan. Nilai ohue menunjukkan
derajat kroma yang merujuk pada kisaran warna kromatik yang dilihat indera
penglihatan. Nilai ∆E merupakan total perubahan warna selama penyimpanan (Nofrida
2013).
Perubahan warna pada label cerdas TTI diukur dengan kromameter yang
dinyatakan sebagai total perubahan warna (ΔE) :
∆E = [(ΔL)2 + (Δa)2+( Δb)2]1/2

(1)

Dimana:
∆L = L sampel – L standar
∆a = a sampel – a standar
∆b = b sampel – b standar
Dimana ΔL* adalah tingkat kecerahan antara inisiasi dan waktu interval, Δa*
perbedaan kehijauan (-60) dan kemerahan (+60), Δb* adalah perbedaan kebiruan (-60)
dan kekuningan (+60) (Nofrida 2013). Nilai perubahan warna yang menyatakan warna
sebenarnya dinyatakan pada nilai oHue:
o

Hue = tan-1 (b/a)

(2)

Nilai ohue didapat dari perhitungan nilai invers tangen dengan perbandingan b dan
a. oHue dikuantisasi dengan nilai dari 0 sampai 255; 0 menyatakan merah, lalu memutar
nilai-nilai spektrum tersebut kembali lagi ke 0 untuk menyatakan merah lagi. Ini dapat
dipandang sebagai sudut dari 0° sampai 360°.

11

Gambar 3 Diagram chroma dan hue

Pengembangan Model Kinetika Perubahan Warna
Model kinetika reaksi kimia telah banyak digunakan oleh berbagai peneliti untuk
menggambarkan perilaku perubahan mutu produk dalam pengolahan dan pengawetan
hasil pertanian berupa pangan maupun non pangan (Priyanto 2009). Suradi (2005) telah
membandingkan mutu daging sapi yang disimpan pada suhu ruang dan suhu refrigerasi
dengan menggunakan model kinetika Arrhenius berdasarkan nilai TVB dah pH.
Dermesonlouoglou et al. (2007) juga telah membuat model kinetika dari perubahan
mutu potongan tomat segar dan tomat beku. Saxena (2012) menggunakan model
kinetika untuk mengamati perubahan kualitas bahan pertanian, yaitu perubahan warna
pada nangka selama proses pengeringan. Amalia (2012) juga telah mengembangkan
model kinetika dengan menduga umur simpan produk fish nugget dengan model
Arrhenius. Masithoh et al. (2013) mengembangkan model dengan melihat perubahan
kualitas tomat selama penyimpanan.
Pendekatan analisis dan model kinetika telah dibuktikan banyak manfaat dalam
dalam memperoleh data dasar untuk pengembangan produk baru. Nasruddin (2009)
menggunakan data kinetika reaksi perengkahan dengan katalis zeolit untuk
mengembangkan fuel hayati dari minyak jarak. Jokic et al. (2009), melaporkan kinetika
pengeringan apel dalam kaitannya dengan mutu dan kondisi proses pengeringan. Frantz
(2006) melaporkan kinetika klaster nano pada film tipis dan permukaan. Kajian dan
publikasi kinetika perubahan sifat fisiko kimia dan fenomena fisik dalam upaya
pengembangan produk baru di bidang pangan meningkat pesat sejak beberapa tahun ini.
Kajian kinetika memberikan gambaran yang lebih tepat mengenai karakteristik produk
baru serta pendugaan perilaku yang lebih tepat dalam penggunaannya oleh konsumen
(Priyanto 2009). Pengembangan model dengan parameter perubahan warna pernah
diteliti oleh Martins dan Silfa (2002) yang melihat perubahan sifat fisiko kimia dan
perubahan warna akibat degradasi klorofil pada kacang hijau yang dibekukan.
Perubahan warna mengikuti orde nol (0) atau orde satu (1) tergantung dari
parameter yang ditetapkan. Persamaan 3 dan 4 menunjukkan persamaan dasar kinetika
reaksi orde 0 dan 1, secara berurutan (Mashitoh et al. 2013).
Q = Qo – k.t
Q / Q o = e-k.t

(3)
(4)

12
Q dan Q 0 = ohue saat t = t dan t = 0
k = konstanta laju reaksi dan t = waktu
Arrhenius menyatakan bahwa hubungan suhu terhadap reaksi atau perubahan yang
terjadi dapat dinyatakan seperti Persamaan 5 (Chang 1990).
k = k0 e-Ea/RT

(5)

Dengan k adalah konstanta laju reaksi, k0 adalah faktor frekuensi, Ea adalah energi
aktifasi, R adalah konstanta gas, serta T adalah suhu mutlak. Apabila pada Persamaan 5
diubah menjadi fungsi logaritma maka menjadi persamaan 6:
ln k = ln k0 – Ea/RT

(6)

3 METODE PENELITIAN

Bahan dan alat
Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan film dalam penelitian ini yaitu
serbuk khitosan, polivinil alkohol (PVA), serta bahan sumber pewarna klorofil yaitu
daun suji (Pleomele angustifolia N. E. Brown), daun singkong (Manihot esculenta
crantz) jenis manggu dan daun papaya (Carica papaya L) jenis merah delima. Daun
yang digunakan adalah daun yang berwarna hijau pekat (daun yang sudah tua). Alat
yang digunakan dalam penelitian ini adalah oven/inkubator, homogenizer, cetakan kaca
(20×15 cm)2, magnetic stirer, shaker, dan neraca analitik. Untuk analisis fisik
menggunakan pH meter, micrometer, spektrofotometer, dan kromameter.

Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam 3 tahap. Tahap pertama ditujukan untuk
mendapatkan ekstrak klorofil terbaik sebagai pewarna film Tahap kedua ditujukan
untuk menganalisa ketebalan film indikator yang didapat dan menguji stabilitas warna
film terhadap penyimpanan berbagai suhu dan tahap ketiga difokuskan untuk
mengembangkan model kinetika perubahan warna indikator film.

Ekstraksi dan uji stabilitas klorofil
Persiapan Sampel
Bahan baku yang digunakan terdiri dari tiga macam tanaman yaitu: daun suji
(Pleomele angustifolia N. E. Brown), daun singkong (Manihot esculenta crantz) jenis
manggu dan daun papaya (Carica papaya L) jenis merah delima. Bahan baku

13
dibersihkan dan dikering anginkan, kemudian dipotong kecil-kecil ± 1 cm dengan tujuan
untuk mempermudah proses ekstraksi.
Ekstraksi Klorofil
Proses ekstraksi klorofil untuk memperoleh ekstrak klorofil dengan urutan sebagai
berikut: bahan baku yang telah dipotong kecil-kecil, kemudian masing-masing di
timbang berdasarkan kebutuhan. Setelah itu, sumber klorofil ditambahkan dengan
aquades (1:2) sebagai pengekstrak kemudian dihaluskan dengan blender dengan
kecepatan 40.000 rpm. Sumber klorofil yang telah diekstrak kemudian disaring dengan
kain saring halus (60 mesh). Ekstrak kemudian dianalisis pH dan kadar klorofilnya
(posedur analisa disajikan pada Lampiran 1). Semua proses dilakukan dalam kondisi
terhindar dari cahaya (ruang gelap). Ekstrak yang diperoleh kemudian dilakukan uji
stabilitas klorofil terhadap pH, cahaya dan suhu untuk menentukan ekstrak terbaik yang
akan digunakan untuk penelitian selanjutnya.
Uji Stabilitas Ekstrak Klorofil (Effendi 1991) yang dimodifikasi
Pengujian stabilitas ekstrak klorofil daun suji, daun singkong dan daun pepaya
dilakukan terhadap 3 faktor yaitu : pengaruh pH, cahaya dan suhu penyimpanan. Ekstrak
klorofil terpilih berdasarkan pada nilai absorban, dimana nilai absorban dipengaruhi
oleh pH, suhu dan cahaya saat penyimpanan. Ekstrak klorofil yang terpilih merupakan
ekstrak yang memiliki kecepatan penurunan nilai absorban dari masing-masing uji yang
dilakukan. Nilai absorban menunjukkan kepekatan warna dari ekstrak klorofil.
Stabilitas terhadap pH
Pengaruh pH terhadap stabilitas ekstrak klorofil dilakukan dengan cara mengukur
nilai absorban ekstrak pada panjang gelombang 645 dan 663 pada pH 1 sampai 7.
Ekstrak klorofil diencerkan dengan konsentrasi 10% lalu larutan ekstrak diatur pHnya
dengan menggunakan larutan NaOH atau HCl hingga diperoleh ekstrak dengan pH
antara 1 sampai 7, jika terbentuk endapan maka endapan tersebut harus disaring. Larutan
ekstrak yang telah diatur pHnya diukur nilai absorban maksimum pada panjang
gombang yang telah ditentukan. Pengukuan dilakukan dengan spektrofotometer UVVis (Prosedur analisa disajikan pada Lampiran 1).
Stabilitas terhadap suhu
Pengaruh suhu terhadap kestabilan ekstrak klorofil diamati dengan mengukur nilai
absorbansi pada panjang gelombang 645 dan 663 nm. Pada penelitian ini digunakan 2
kondisi penyimpanan dengan tingkat suhu yang berbeda yaitu pada suhu ruang (25±2oC)
dan refrigerator (2±2oC). Pengamatan dilakukan setiap hari selama 5 hari. Cara
kerjanya adalah eksrak klorofil diencerkan dengan air sampai konsentrasi 10 %
kemudian larutan ekstrak disimpan sesuai tingkat suhu yang digunakan. Masing-masing
ekstrak diukur nilai absorbannya dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis
(Prosedur analisa dapat dilihat pada Lampiran 1).

14
Stabilitas terhadap cahaya
Pengaruh intensitas cahaya terhadap stabilitas ekstrak hijau klorofil diamati
dengan jalan mengukur nilai absorban ekstrak pada panjang gelombang 645 (Klorofil
a) dan 663 (klorofil b). Dalam penelitian ini digunakan dua kondisi penyimpanan
dengan intensitas cahaya yang berbeda yaitu penyimpanan dengan intensitas cahaya
rendah (tanpa cahaya) dan penyimpanan dengan intensitas cahaya tinggi (300 lux).
Pengukuran dilakukan setiap hari selama 5 hari. Cara kerjanya adalah eksrak klorofil
diencerkan dengan konsentrasi 10 %, selanjutnya larutan ekstrak disimpan dalam
ruangan gelap dan sebagian dalam ruang bercahaya. Masing-masing ekstrak diukur nilai
absorbannya setiap hari dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis (Prosedur
analisa dapat dilihat pada Lampiran 1). Diagram alir penelitian pada tahap ini dapat
dilihat pada Gambar 4.

Mulai
Bahan baku
Pencucian
Pengeringan (diangin-anginkan)
Penghalusan
Penyaringan

Sumber klorofil : aquades
(1:2)
Ampas

Ekstrak pewarna klorofil



Pengukuran pH dan Kadar
klorofil
Uji stabilitas klorofil : pH,
Ekstrak klorofil terpilih
Selesai

Gambar 4 Diagram alir pembuatan dan pemilihan ekstrak klorofil terbaik
Ketebalan (Nofrida 2013)
Ketebalan film diukur dengan micrometer scrup. Alat ini memiliki ketelitian
sampai 0,01 mm. Pengukuran dilakukan 5 titik berbeda kemudian hasilnya dirataratakan dalam satuan mm (Prosedur pengukuran ketebalan dapat dilihat pada Lampiran
1).

15
Mulai

Larutan PVA : larutan khitosan
(60:40) + gliserol 1%
Homogenisasi

Penambahan ekstrak klorofil

Pencetakan dengan cetakan
(20 × 15 cm)2

Pengeringan suhu 50oC selama 30 jam

Film indikator

Selesai

Gambar 5 Diagram alir pembuatan film indikator
Uji Stabilitas Film Indikator Warna Sebagai