Dayasaing Komoditi Hortikultura Negara Berkembang Dan Negara Maju Di Pasar Internasional.

DAYASAING KOMODITI HORTIKULTURA
NEGARA BERKEMBANG DAN NEGARA MAJU
DI PASAR INTERNASIONAL

EKO PURWO SANTOSA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Dayasaing Komoditi
Hortikultura Negara Berkembang dan Negara Maju di Pasar Internasional” adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2016
Eko Purwo Santosa
NIM H151137224

RINGKASAN

EKO PURWO SANTOSA. Dayasaing Komoditi Hortikultura Negara Berkembang dan
Negara Maju di Pasar Internasional. Dibimbing oleh MUHAMMAD FIRDAUS dan
TANTI NOVIANTI.
Hortikultura merupakan salah satu sub sektor pertanian yang terdiri sayursayuran, buah-buahan, tanaman biofarmaka (tanaman obat), dan florikultura (tanaman
hias) menjadi salah satu komoditi strategis perdagangan internasional, yang
permintaannya terus meningkat sejalan dengan peningkatan pendapatan rumah tangga
dan pertumbuhan penduduk. Selama periode 2005-2014, rata-rata pertumbuhan nilai
ekspor hortikultura negara berkembang sebesar 69,81 persen lebih tinggi dibandingkan
rata-rata pertumbuhan ekspor negara maju yang mencapai 40,78 persen. Peningkatan
perdagangan komoditi hortikultura dunia juga dihadapkan dengan masalah volatilitas
harga dan hambatan perdagangan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
dayasaing komoditi hortikultura di pasar internasional dan mengidentifikasi faktorfaktor yang mempengaruhi aliran perdagangan komoditi hortikultura di pasar dunia.
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang diperoleh dari
berbagai sumber, antara lain FAO, WDI, WTO, Comtrade, dan CEPII. Komoditi

hortikultura yang dianalisis dayasaingnya yaitu potatoes, fresh or chilled nes (HS.
070190); cabbages (HS. 070490); bananas, including plantains, fresh or dried (HS.
080300); pineapples, fresh or dried (HS. 080430); guavas, mangoes and mangosteens,
fresh or dried (HS. 080450); dan ginger (HS. 091010). Metode analisis yang digunakan
dalam penelitian ini adalah: (1) analisis deskriptif, (2) analisis daya saing dengan
metode Revealed Comparative Advantage (RCA) dan Export Product Dynamic (EPD)
untuk mengetahui posisi dayasaing berdasarkan performa ekspor hortikultura, serta (3)
analisis data panel dengan gravity model. Estimasi analisis regresi model gravity
menggunakan data panel tahunan periode 2004-2013 terdiri dari 3 negara maju yaitu
Portugal, Amerika Serikat dan Australia serta 3 negara berkembang yaitu China, India,
dan Indonesia dengan jumlah negara tujuan ekspor 5 sampai dengan 20 negara.
Berdasarkan perhitungan RCA, negara-negara berkembang mendominasi
perdagangan enam komoditi hortikultura di pasar dunia dengan nilai RCA lebih besar
dari satu. Hasil estimasi Export Product Dynamic (EPD) menunjukkan bahwa terdapat
tiga komoditi ekspor hortikultura yang memiliki posisi pasar yang dinamis di pasar
dunia yaitu pisang, nanas serta jahe dalam persaingan perdagangan antar sesama negara
berkembang. Demikian juga hasil analisis data panel menggunakan model gravity
menunjukkan bahwa harga ekspor, populasi, GDP riil per kapita, jarak ekonomi, dan
nilai tukar riil secara signifikan mempengaruhi volume ekspor.
Untuk variabel hambatan perdagangan berupa tarif dan non tarif, kedua variabel

berpengaruh negatif terhadap ekspor komoditi hortikultura. Adanya liberalisasi
perdagangan dicerminkan dengan kurang berpengaruhnya pemberlakuan tarif impor
terhadap volume ekspor komoditi hortikultura dan nilai koefisiennya inelastis.
Sedangkan variabel hambatan perdagangan non tarif yaitu pemberlakuan Sanitary and
Phytosanitary (SPS) di negara tujuan ekspor masih menunnjukkan pengaruh yang
negatif terhadap ekspor komoditi hortikultura di pasar dunia. Namun terdapat variabel
jumlah SPS menunjukkan pengaruh positif pada ekspor komoditi kentang di Australia

dan kubis di Portugal, adanya pengaruh positif kebijakan SPS pada komoditi
hortikultura tersebut membuktikan bahwa negara eksportir telah mampu memenuhi
persayaratan dan standar yang diberlakukan oleh negara partner dagang.
Kata kunci: Hortikultura, ekspor, dayasaing, data panel

SUMMARY

EKO PURWO SANTOSA. Competitiveness of the Horticultural Commodities
Developing Countries and Developed Countries in the International Market. Supervised
by MUHAMMAD FIRDAUS and TANTI NOVIANTI.
Horticulture is one of the agricultural sub-sector consisting of vegetables, fruits,
biofarmaka mplants (medicinal plants) and floriculture (ornamentals) became one of the

strategic commodities of international trade, which the demand is increasing in line with
increasing household income and growth population. During the period 2005-2014, the
average growth value of horticultural exports of developing countries amounted to 69,81
percent higher than the average growth of exports in developed countries as big as 40,78
percent. The global trading of horticulture is faced with price volatility and trade barriers
problems. In addition, the increasing demand of these commodities also in line with the
increase in household incomes and population growth. Therefore, this study aimed to analyze
the competitiveness of horticulture commodities in the international market and the factors
that influence trade flow. The results of Export Product Dynamic (EPD) show that there are
two horticultural export commodities that has dynamic market position in world market, there
are bananas (HS.080300) and pineapples (HS.080430). Generally, the panel data analysis
results show that prices, trade barriers, population, real GDP per capita, economic distances,
and real exchange rates significantly affect export volumes. The data which used in this
research is secondary data obtained from various sources, including FAO, WDI, WTO,
Comtrade, and CEPII. Horticulture commodities was analyzed its competitiveness ie potatoes,
fresh or chilled nes (HS. 070190); cabbages (HS. 070490); bananas, Including plantains, fresh
or dried (HS. 080300); pineapples, fresh or dried (HS. 080430); guavas, mangoes and
mangosteens, fresh or dried (HS. 080450); and ginger (HS. 09 010). The analytical method
that used in this research are: (1) descriptive analysis, (2) analysis of competitiveness by the
method of Revealed Comparative Advantage (RCA) and the Export Product Dynamics

(EPD) for determine the position of competitiveness based on the exports performance of
horticulture, and (3) analysis panel data with gravity models. Estimated regression analysis
using panel data models gravity annual period 2004-2013 consists of three developed
countries, namely Portugal, United States and Australia as well as three developing countries,
namely China, India, and Indonesia by the number of export destination countries 5 to 20
countries.
Based on the calculation of RCA, developing countries dominate six horticultural
commodities trade in the world market with RCA value greater than one. The estimation
results Export Product Dynamics (EPD) shows that there are three horticultural export
commodity that has a dynamic market position in the world market, namely banana,
pineapple and ginger in trade competition among fellow developing countries. Likewise, the
results of panel data analysis using gravity models showed that export prices, population, real
GDP per capita, economic distance, and the real exchange rate significantly affect the volume
of exports.
For variable trade barriers in the form of tariff and non-tariff, these two variables
negatively affect to the horticulture exports. The liberalization of trade is reflected by less
influential imposition of import tariffs on horticultural commodities export volume and value
of the coefficient inelastic. While the variable non-tariff barriers to trade that the application of

Sanitary and Phytosanitary (SPS) in destination countries still menunnjukkan a negative

influence on the export of horticultural commodities in the world market. But there are a
variable number of SPS show the positive influence on the commodity export of potatoes in
Australia and cabbages in Portugal, their positive influence on horticulture SPS policy proved
that the exporting countries have been able to meet the terms and standards imposed by the
trading partner countries.
Keywords: Horticulture, exports, competitiveness, panel data

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

DAYASAING KOMODITI HORTIKULTURA
NEGARA BERKEMBANG DAN NEGARA MAJU
DI PASAR INTERNASIONAL


EKO PURWO SANTOSA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Lukytawati Anggraeni, SP MSi

PRAKATA
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
karunia-Nya sehingga tesis berjudul Dayasaing Komoditi Hortikultura Negara Maju dan
Negara Berkembang di Pasar Internasional dapat diselesaikan. Penyelesaian tesis ini
juga tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Maka dari itu, dalam kesempatan ini,

penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu.
Apresiasi dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan secara
khusus kepada Prof Dr Muhammad Firdaus, SP MSi dan Dr Tanti Novianti, SP MSi
selaku komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan dan masukan
selama proses penelitian ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr.
Lukytawati Anggraeni, MSi dan Dr Toni Irawan beserta para pengelola Program
Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi serta seluruh dosen yang telah berbagi ilmu
kepada penulis.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Kementerian
Perdagangan Republik Indonesia yang telah memberikan kesempatan pada penulis
untuk melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi di
Sekolah Pascasarjana IPB. Tak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
kedua orang tua, istri dan secara khusus kepada anak tercinta yang telah memberikan
dukungan, dan doa kepada penulis serta rekan-rekan kuliah baik kelas Kementerian
Perdagangan S2 IPB batch 1 dan 2 maupun kelas regular yang telah membantu dan
memberikan semangat hingga selesainya tesis ini. Semoga karya ilmiah ini dapat
bermanfaat.
Bogor, Juni 2016
Eko Purwo Santosa


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teoritis
Definisi Hortikultura
Teori Perdagangan Internasional
Teori Dayasaing
Gravity Model
Penelitian Terdahulu
Penelitian Mengenai Dayasaing
Penelitian Mengenai Gravity Model

Hipotesis Penelitian
Kerangka Pemikiran
3 METODE
Jenis dan Sumber Data
Metode Analisis
Definisi Operasional
4 GAMBARAN UMUM DAN ANALISIS DAYASAING KOMODITI
HORTIKULTURA
Deskripsi Ekspor Produk Hortikultura
Identifikasi Daya Saing Komoditi Hortikultura
Dayasaing Kentang
Dayasaing Kubis
Dayasaing Pisang
Dayasaing Nanas
Dayasaing Jambu Mangga Manggis
Dayasaing Jahe
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Aliran Pedagangan (Trade Flows)
Komoditi Hortikultura di Pasar Dunia
5 KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan

Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

iv
iv
v
1
1
5
7
7
7
8
8
8
8
13
14
15
15
16
16
17
19
19
19
24
25
25
29
30
31
32
33
34
35
37
43
43
44
45
48
56

DAFTAR TABEL
Tabel 1 Jenis dan sumber data penelitian
Tabel 2 Variabel dan ekspektasi tanda persamaan
Tabel 3 Kontribusi sektor pertanian terhadap PDB nominal tahun 2007-2013 (%)
Tabel 4 Negara produsen terbesar 6 (enam) komoditi hortikultura di pasar dunia
tahun 2007-2013
Tabel 5 Perkembangan neraca perdagangan hortikultura dunia tahun 2009-2014
(ribu US $)
Tabel 6 Rata-rata volume produksi, ekspor, dan impor 6 (enam)
komoditi hortikultura dunia tahun 2007-2013 (ton)
Tabel 7 Hasil perhitungan rata-rata nilai RCA dan EPD kentang dunia
tahun 2004-2013
Tabel 8 Hasil perhitungan rata-rata nilai RCA dan EPD kubis dunia
tahun 2004-2013
Tabel 9 Hasil perhitungan rata-rata nilai RCA dan EPD pisang dunia
tahun 2004-2013
Tabel 10 Hasil perhitungan rata-rata nilai RCA dan EPD nanas dunia
tahun 2004-2013
Tabel 11 Hasil perhitungan rata-rata nilai RCA dan EPD jambu mangga manggis
dunia tahun 2004-2013
Tabel 12 Hasil perhitungan rata-rata nilai RCA dan EPD jahe dunia
tahun 2004-2013
Tabel 13 Koefisien variabel penduga ekspor hortikultura di 3 (tiga) negara maju
Tabel 14 Koefisien variabel penduga ekspor hortikultura di 3 (tiga)
negara berkembang

19
23
26
26
27
28
31
32
33
34
35
36
37
38

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Perkembangan nilai ekspor negara maju dan negara berkembang
tahun 2005-2014 (juta US $)
Gambar 2 Nilai ekspor komoditi hortikultura dunia tahun 2005-2014 (juta $ US)
Gambar 3 Perkembangan nilai ekspor komoditi hortikultura negara maju dan
negara berkembang tahun 2005-2014 (juta $ US)
Gambar 4 Perkembangan harga ekspor komoditi hortikultura dunia
tahun 2001-2014
Gambar 5 Model dasar Heckscher-Ohlin
Gambar 6 Efek kebijakan tarif
Gambar 7 Klasifikasi baru NTM
Gambar 8 Kerangka pemikiran operasional
Gambar 9 Daya tarik pasar dan kekuatan bisnis pada EPD
Gambar 10 Komposisi rata-rata nilai ekspor komoditi hortikultura dunia
tahun 2005-2014
Gambar 11 Perkembangan harga 6 (enam) komoditi hortikultura dunia
tahun 2007-2014

1
3
4
6
9
10
12
18
21
27
29

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil uji Hausman komoditi potatoes. fresh or chilled nes
(HS 070910)
Lampiran 2 Hasil uji Hausman komoditi cabbages. kohlrabi. kale and sim edible
brassicas nes. fresh or chilled (HS 070490)
Lampiran 3 Hasil uji Hausman komoditi bananas. including plantains. fresh or
dried (HS 080300)
Lampiran 4 Hasil uji Hausman komoditi pineapples. fresh or dried (HS 080430)
Lampiran 5 Hasil uji Hausman komoditi guavas. mangoes and mangosteens. fresh
or dried (HS 080450)
Lampiran 6 Hasil uji Hausman komoditi ginger (HS 091010)

48
49
50
51
52
54

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kebutuhan suatu negara akan barang semakin bertambah pesat seiring dengan
pertambahan jumlah penduduk yang ada di negara tersebut. Hal ini mengakibatkan
suatu negara melakukan impor dalam rangka memenuhi kebutuhan negaranya jika tidak
mampu memenuhi dengan produksinya sendiri. Demikian hal yang sebaliknya jika
suatu negara mengalami kelebihan produksi, maka negara itu juga akan mengimpor
untuk memenuhi kebutuhan negaranya dari negara lain. Dengan adanya kelebihan akan
suatu produk maka setiap negara akan mengekspor terhadap negara lain yang
membutuhkannya. Kegiatan ekspor impor dapat berlangsung secara berkelanjutan
apabila tidak ada pihak/negara yang dirugikan. Untuk menjaga kegiatan ekspor impor
secara berkala maka diperlukanlah suatu aturan yang tidak memberatkan kedua belah
pihak. Perkembangan kerjasama perdagangan internasional telah mengalami kemajuan
serta semakin berperan seiring dengan perkembangan arus globalisasi ekonomi yang
cepat.
12.000.000
10.000.000
8.000.000
6.000.000
4.000.000
2.000.000
0
Ekspor Negara Maju

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

2014

6.203.916 7.011.800 8.033.717 8.966.985 6.927.221 8.070.846 9.382.321 9.161.405 9.418.565 9.540.017

Ekspor Negara Berkembang 4.020.977 4.783.613 5.606.293 6.857.915 5.254.709 6.969.081 8.561.620 8.793.818 9.122.148 9.113.310

Sumber: UN Comtrade, 2015 (diolah)

Gambar 1 Perkembangan nilai ekspor negara maju dan negara berkembang
tahun 2005-2014 (juta US $)
Kerjasama Selatan-Selatan atau negara-negara berkembang mempunyai peranan
yang penting dalam hubungan internasional. Pertumbuhan perdagangan dan investasi
asing langsung (FDI) telah mengalir di antara negara-negara berkembang dan mengubah
ekonomi dunia. Selama tahun 2008-2009, negara-negara berkembang melakukan ekspor
satu sama lain (daripada ekspor dengan negara maju), dan sejak tahun 2011 total
perdagangan negara berkembang mencapai lebih dari US$ 4 milyar. 1 Perkembangan
perdagangan internasional menunjukkan bahwa nilai ekspor dunia dari tahun 2005-2014
mengalami pertumbuhan yang positif dengan rata-rata pertumbuhan selama sepuluh
tahun sebesar 52,72 persen. Sedangkan rata-rata pertumbuhan nilai ekspor negara maju
1

State of South-South cooperation, Report of the Secretary-General, Sixty-ninth session, 17 July 2014

2
hanya sebesar 37,03 persen, masih lebih rendah jika dibandingkan dengan rata-rata
pertumbuhan nilai ekspor negara berkembang yaitu sebesar 79,79 persen. Pada tahun
2012 negara berkembang menyumbang setengah hampir dari produk domestik bruto
dunia dan tahun 2025 konsumsi negara selatan-selatan secara keseluruhan (terdapat 600
juta rumah tangga dengan pendapatan lebih dari US$ 20.000) adalah sebesar US$ 30
triliun per tahun.2 Sistem perdagangan pertanian dan pangan global sedang mengalami
proses cepat perubahan, dengan implikasi penting bagi pembangunan ekonomi
(Mergenthaler et al, 2009; Reardon et al, 2009).
Liberalisasi sektor pertanian adalah pokok bahasan yang menjadi perdebatan
diantara negara-negara anggota WTO (World Trade Organization). Negara-negara maju
atau negara-negara utara mendesak agar negara-negara selatan atau negara berkembang
agar membuka pasarnya untuk produk pertanian yang berasal dari negara maju. Hal ini
merupakan prinsip perdagangan bebas yang telah dianut semua negara anggota WTO.
Manfaat bagi negara berkembang yang diberikan oleh sistem hukum perdagangan
multilateral dapat dilihat dari dua perspektif. Pertama, dilihat dari kacamata eksportir.
Kedua, dilihat dari sudut pandang importir. Bagi eksportir, pada perdagangan barang,
hampir seluruh tarif di negara-negara maju dan sebagian besar tarif di negara
berkembang dan negara transisi ekonomi dipastikan tidak akan mengalami kenaikan.
Kepastian tidak akan adanya kenaikan tarif ini akan memperluas akses pasar dan
terdapat jaminan bahwa akses pasar tersebut tidak akan dirusak oleh pembatasan yang
diterapkan secara mendadak oleh negara pengimpor. WTO juga memberikan stabilitas
bagi pasar eksportir dengan mewajibkan setiap negara anggota menerapkan ketentuan
yang seragam tentang perbatasan (border). Negara-negara juga wajib menjamin bahwa
aturan main tentang kepabeanan seperti aturan tentang pemeriksaan barang atau izin
impor. Adanya keseragaman dimaksud menimbulkan efisiensi bagi eksportir karena
mengurangi banyaknya perbedaan persyaratan diperlakukan oleh masing-masing negara.
Bagi importir, yang mengimpor bahan mentah atau setengah jadi untuk diekspor,
adanya ketentuan yang membolehkan melakukan impor tanpa adanya pembatasan
kecuali tarif dan adanya keseragaman aturan akan menjamin kelangsungan usaha
mereka. Aturan ini juga memberikan kepastian bagi importir bahwa mereka akan
menerima barang pada waktunya dan dengan harga yang kompetitif. Disamping itu,
adanya aturan tentang tarif yang mengikat membuat importir juga mengetahui dengan
jelas berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk mengimpor suatu barang. Disamping
itu, WTO menciptakan hak-hak tertentu yang berguna bagi anggota. Hak tersebut dapat
dibagi dalam dua kategori. Pertama, hak produsen domestik dan importir terhadap
pemerintah. Kedua, hak eksportir mempertahankan kepentingannya terhadap tindakan
yang diambil oleh negara pengimpor yang merugikan.
Pada Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-9 Organisasi Perdagangan Dunia
(WTO) pada 3-6 Desember 2013 di Bali, telah dibicarakan berbagai permasalahan
khususnya mengenai subsidi. Negara berkembang dalam G-33 mengusulkan
penghapusan pembatasan subsidi pertanian bagi negara berkembang, untuk kepentingan
public stock holding demi ketahanan pangan. Di lain pihak, negara maju setuju
pemberian subsidi pertanian negara berkembang hingga 15 persen dengan masa berlaku
aturan 4 (empat) tahun. Namun negara berkembang seperti India dan Indonesia
menginginkan agar tidak ada batasan waktu aturan pemberian subsidi sebesar 15 persen.
2

United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), South-South Trade Monitor,
No. 2 (Geneva, July 2013).

3
Pada sektor pertanian, agribisnis hortikultura yang meliputi komoditi tanaman
hias, sayuran, buah-buahan dan biofarmaka berpeluang besar mengalami dampak
liberalisasi karena tiga hal yaitu: (1) Biaya input komersial seperti pupuk, pestisida dan
bibit pada usahatani hortikultura, terutama sayuran, relatif tinggi dibandingkan komoditi
pertanian lainnya. Konsekuensinya adalah, liberalisasi perdagangan yang diantaranya
berdampak pada penghapusan berbagai subsidi faktor produksi akan meningkatkan
ongkos produksi yang dikeluarkan petani. (2) Komoditi hortikultura umumnya
diusahakan petani untuk dijual atau market oriented, bukan untuk konsumsi sendiri atau
subsisten. Konsekuensinya adalah petani hortikultura dituntut untuk lebih mampu
membaca peluang pasar dan menyesuaikan produksinya dengan preferensi konsumen
yang dapat berubah cepat akibat globalisasi informasi. (3) Kebutuhan konsumsi setiap
produk hortikultura umumnya bersifat dinamis akibat beragamnya jenis produk yang
dikonsumsi, yang saling berstubstitusi satu sama lain. Konsekuensinya adalah, jika
produk hortikultura lokal kalah bersaing dengan produk impor dalam kualitas
organoleptik (rasa, penampilan, tekstur, aroma dst.) maka produk hortikultura yang
diproduksi secara lokal dapat tergantikan oleh produk impor.3
Hortikultura saat ini menjadi komoditi yang menguntungkan karena
pertumbuhan ekonomi yang semakin meningkat serta turut memicu peningkatan
konsumsi hortikultura seiring dengan peningkatan pendapatan masyarakat. Menurut
Saptana, et al (2006), komoditi hortikultura tergolong sebagai komoditi komersial
bernilai ekonomi tinggi (high value commodity), sehingga harus diproduksi secara
efisien untuk dapat bersaing di pasar. Hortikultura merupakan kelompok komoditi yang
penting dan strategis tersedia dalam jumlah yang cukup dengan mutu yang layak, aman
dikonsumsi, dan dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat. Pasar hortikultura di
dunia sangat besar dan menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat sejalan
dengan peningkatan laju pertumbuhan penduduk.
200.000

Juta $ US

150.000

149.813

100.000

84.872 95.629

110.178

124.843

119.389

134.115

161.783 164.889
145.339

50.000
0
2005 2006
2007 2008
2009 2010
2011 2012
2013

2014

Sumber: UN Comtrade, 2015 (diolah)

Gambar

3

2

Nilai ekspor
(juta $ US)

komoditi

hortikultura

dunia

tahun

2005-2014

Agribisnis Hortikultura:Peluang Dan Tantangan Dalam Era Perdagangan Bebas, 2002, Bambang Irawan, Pusat
Penelitian Dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

4
Perdagangan pertanian global telah mengalami peningkatan yang signifikan
selama tiga dekade terakhir, dan berubah dalam struktur perdagangan dengan
pentingnya peningkatan produk bernilai tinggi seperti produk hortikultura, susu dan
produk daging (World Bank, 2008). Gambar 2 menunjukkan bahwa secara total, nilai
ekspor hortikultura dunia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, hanya pada tahun
2009 dan tahun 2012 mengalami penurunan. Rata-rata pertumbuhan nilai ekspor
hortikultura dunia adalah sebesar 52,09 persen sedangkan rata-rata pertumbuhan nilai
impor hortikultura dunia adalah sebesar 45,47 persen.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Haryadi (2008) menggunakan model
GTAP (Global Trade Analysis Project), menunjukkan bahwa negara maju masih
mendominasi perdagangan dunia baik untuk sektor industri maupun sektor pertanian
sehingga pandangan bahwa negara maju mengekspor produk industri dan negara
berkembang mengekspor produk pertanian ternyata tidak terbukti. Negara berkembang
masih memiliki ketergantungan yang sangat kuat terhadap negara maju, termasuk bagi
impor komoditi pertanian. Selain itu, penghapusan hambatan perdagangan pertanian
berdampak pada: (1) penurunan produksi, ekspor, dan impor pada sebagian besar
sektor-sektor yang selama ini diberikan subsidi baik berupa dukungan domestik,
maupun subsidi ekspor di negara maju, (2) peningkatan impor negara berkembang
secara umum, meski ada juga komoditi yang mengalami peningkatan meski subsidinya
dihapus, namun kebijakan ini merugikan sektor pertanian secara agregat, (3) meski
terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat di seluruh negara namun bila hambatan
perdagangan dihapus secara total maka negara maju adalah kelompok yang paling
diuntungkan, (4) dalam konteks Indonesia, maka Indonesia belum sanggup untuk
melakukan perdagangan pada tingkat tarif nol.
100.000

90.562

90.000

82.958
76.429

80.000

74.369
69.980

67.832

70.000

89.159

81.788
77.466
72.668

57.886

60.000 52.836

67.633
60.491

63.930

50.000
47.219

40.000
30.000

48.786

41.367
36.525
31.653

20.000
10.000
0
2005

2006

2007

2008

Ekspor Negara Maju

2009

2010

2011

2012

2013

2014

Ekspor Negara Berkembang

Sumber: UN Comtrade, 2015 (diolah)

Gambar 3

Perkembangan nilai ekspor komoditi hortikultura negara maju dan
negara berkembang tahun 2005-2014 (juta $ US)

Produk hortikultura merupakan sumber yang semakin penting dari pendapatan
ekspor bagi banyak negara berkembang. Gambar 3 menunjukkan perbandingan rata-rata
pertumbuhan nilai ekspor dari tahun 2005-2014, negara berkembang dengan rata-rata

5
pertumbuhannya sebesar 69,81 persen masih lebih tinggi dibandingkan rata-rata
pertumbuhan negara maju (40,78 persen). Hal ini menunjukkan bahwa komoditi
hortikultura merupakan komoditi ekspor yang potensial bagi negara berkembang dalam
perdagangan internasional. Peningkatan ekspor pertanian non-tradisional, seperti ekspor
hortikultura, di negara-negara berkembang tidak hanya akan menyebabkan ekspansi
pendapatan devisa yang digunakan untuk memenuhi meningkatnya impor komoditi lain,
tetapi juga untuk memenuhi meningkatnya pembayaran utang. Dengan demikian,
negara-negara berkembang harus menemukan potensi ekspor non-tradisional pada saat
pertumbuhan pasar tradisional mengalami penurunan (Shah, 2007).
Bhattacharya (2011) melakukan estimasi untuk mengukur sejauh mana India
memiliki keunggulan komparatif dalam sayuran, buah-buahan dan perdagangan bunga
di pasar Asia, Uni Eropa dan Amerika Utara (USA & Kanada) dibandingkan dengan
negara-negara Asia Tenggara lainnya. Hasilnya menunjukkan bahwa India memiliki
keunggulan komparatif di pasar sayur dan buah di Uni Eropa tapi ini tidak terjadi di
pasar bunga. Sementara itu, Murat dan Emin (2009) dalam penelitiannya,
menyimpulkan bahwa sektor hortikultura Turki memiliki keunggulan kompetitif
internasional,dengan tanaman yang paling kompetitif adalah tomat diikuti oleh melon,
semangka dan jeruk untuk tahun 2004.
Perumusan Masalah
Menurut pendapat sebagian pakar ekonomi, perdagangan antar negara
sebaiknya dibiarkan secara bebas dengan seminimum mungkin pengenaan tarif dan
hambatan lainnya. Hal ini didasari argumen bahwa perdagangan yang lebih bebas akan
memberikan manfaat bagi kedua negara pelaku dan bagi dunia, serta meningkatkan
kesejahteraan yang lebih besar dibandingkan tidak ada perdagangan (Kindleberger dan
Lindert, 1978). Namun karena terdapat perbedaan penguasaan sumberdaya yang
menjadi komponen pendukung dayasaing, sebagian pakar yang lain berpendapat
liberalisasi pasar berpotensi menimbulkan dampak negatif karena mendorong
persaingan pasar yang tidak sehat. Atas dasar itu maka timbul pandangan pentingnya
upaya-upaya proteksi terhadap produksi dalam negeri dan kepentingan lainnya dari
tekanan pasar internasional melalui pemberlakuan kendala atau hambatan perdagangan
(Abidin, 2000).
Penerapan kebijakan penghapusan tarif akan menyebabkan neraca perdagangan
untuk beberapa komoditi mengalami defisit terutama untuk beberapa komoditi strategis
di sektor pertanian dan manufaktur secara keseluruhan. Ini berarti bahwa kebijakan
tersebut memperburuk neraca perdagangan Indonesia. 4 Meskipun secara teori,
liberalisasi akan menghasilkan manfaat bagi para pelaku perdagangan, dalam
implementasinya terjadi ketimpangan dan perbedaan. Produsen pertanian negara
berkembang pada umumnya berada pada posisi yang dirugikan atau sedikit sekali
memperoleh benefit perdagangan internasional komoditi pertanian. Liberalisasi dapat
mengakibatkan dampak buruk yang bisa mengancam pasar domestik dan kepentingan
domestik lainnya menyangkut kesejahteraan petani produsen dan ketahanan pangan.
Hortikultura saat ini menjadi komoditi yang menguntungkan karena
pertumbuhan ekonomi yang semakin meningkat saat ini turut memicu peningkatan
konsumsi holtikultura, karena pendapatan masyarakat juga meningkat. Peningkatan
4

haryadikamal.wordpress.com/2009/12/17/dampak-liberalisasi-perdagangan-terhadap-neracaperdagangan-negara-berkembang

6
konsumsi hortikultura disebabkan karena struktur konsumsi bahan pangan cenderung
bergeser pada bahan pangan dengan elastisitas pendapatan relatif tinggi seperti pada
komoditi hortikultura. Konsumsi masyarakat sekarang ini memiliki kecenderungan
menghindari bahan pangan dengan kolesterol tinggi seperti produk pangan asal ternak
(Irawan, 2003).
3.000

US Dollar/ Tons

2.500
2.000
1.500
1.000
500
0
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

Sayur-sayuran

Buah-buahan

Biofarmaka

Sumber: UN Comtrade, 2015 (diolah)

Gambar

4

Perkembangan harga
tahun 2001-2014

ekspor

komoditi

hortikultura

dunia

Perdagangan produk pertanian dihadapkan pada masalah volatilitas harga dan
berbagai hambatan perdagangan seperti hambatan tarif dan hambatan non tarif. Selama
krisis harga pangan tahun 2008-2009, harga pasar produk pertanian dunia dan makanan
meningkat tajam dan meningkatkan volatilitas harga pertanian di tahun-tahun
berikutnya (Miet dan Johan, 2014). Selain itu, dengan semakin berkembangnya
globalisasi dan liberalisasi perdagangan juga akan memberikan peluang sekaligus
tantangan baru dalam pembangunan pertanian kedepan khususnya komoditi hortikultura.
Pasar komoditi yang semakin luas sejalan dengan dihapuskannya berbagai hambatan
perdagangan antar negara dapat memberikan peluang dalam pembangunan pertanian ini.
Namun liberalisasi perdagangan juga dapat menimbulkan masalah jika komoditi yang
diproduksi secara lokal tidak mampu bersaing dengan negara lain sehingga pasar
domestik semakin dibanjiri oleh komoditi impor, yang pada gilirannya akan merugikan
petani. Oleh karena itu peningkatan dayasaing merupakan tuntutan yang tak bisa
dihindari dalam pelaksanaan pembangunan pertanian di masa yang akan datang.
Berdasarkan uraian tersebut, maka penelitian ini menganalisis dayasaing komoditi
hortikultura negara berkembang dan negara maju di pasar internasional serta faktorfaktor apa saja yang mempengaruhi arus perdagangan komoditi hortikultura di pasar
internasional.

7
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian yang dilakukan secara umum adalah untuk menganalisis
dayasaing komoditi pertanian di pasar internasonal. Secara khusus, tujuan penelitian
yang dilakukan adalah:
1.
Menganalisis dayasaing komoditi hortikultura antara negara berkembang dan
negara maju serta antar sesama negara berkembang.
2.
Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi aliran perdagangan komoditi
hortikultura antar negara di pasar internasional.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengambil
kebijakan dan kalangan akademisi. Manfaat tersebut yaitu:
1.
Sumber informasi ilmiah dan salah satu referensi bagi pemerintah dalam
perumusanan kebijakan, khususnya terkait perdagangan komoditi pertanian.
2.
Sebagai salah satu sumber literatur ilmiah terutama berkaitan dengan dayasaing
komoditi pertanian bagi penelitian selanjutnya.
Ruang Lingkup Penelitian
Pada penelitian yang dilakukan oleh Haryadi (2008) menggunakan model GTAP
(Global Trade Analysis Project), menunjukkan bahwa negara berkembang masih
memiliki ketergantungan yang sangat kuat terhadap negara maju, termasuk bagi impor
komoditi pertanian. Namun jika dilihat dari rata-rata pertumbuhan ekspor hortikultura
periode 2005 – 2014, maka negara berkembang memiliki rata-rata pertumbuhan ekspor
hortikultura yang lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan ekspor
hortikultura dari negara maju per tahunnya. Oleh karena itu penelitian ini menganalisis
dayasaing ekspor hortikultura di pasar dunia menggunakan metode Revealed
Comparative Advantage (RCA) dan Export Product Dinamycs (EPD) antara negara
berkembang (Developing Countries) dengan negara maju (Developed Countries) dan
juga dayasaing ekspor hortikultura antar sesama negara berkembang. Komoditi
holtikultura yang dianalisis dayasaingnya berhubungan dengan pangan (sayuran, buahbuahan, dan tanaman biofarmaka) yaitu: sayuran yang diwakili oleh potatoes, fresh or
chilled nes (HS 070190); cabbages, kohlrabi, kale and sim edible brassicas nes, fresh
or chilled (HS 070490), buah-buahan yang diwakili oleh bananas, including plantains,
fresh or dried (HS 080300); pineapples, fresh or dried (HS 080430); guavas, mangoes
and mangosteens, fresh or dried (HS 080450); biofarmaka diwakili oleh ginger (HS
091010). Pemilihan 6 (Enam) komoditi hortikultura ini mengacu pada penelitianpenelitian sebelumnya dan juga didasarkan karena enam komoditi ini mempunyai
pangsa pasar yang besar baik dari sisi produksi maupun ekspor di negara berkembang
khususnya di Indonesia.
Dengan menggunakan data panel tahunan periode 2004-2013 juga dianalisis faktorfaktor yang mempengaruhi aliran perdagangan komoditi hortikultura antar negara di pasar
internasional menggunakan gravity model. Model ini menjelaskan hubungan antara volume
ekspor (buah-buahan, sayuran dan tanaman biofarmaka) dengan variabel-variabel produksi
tahun sebelumnya, harga ekspor, GDP perkapita riil negara importir, populasi negara importir,
jarak ekonomi, nilai tukar negara eksportir, Ad Valorem Tariff serta jumlah Sanitary dan
Phytosanitary (SPS) yang diberlakukan di negara importir.

8

2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teoritis
Definisi Hortikultura
Hortikultura dalam terjemahan bebas dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan
yang mempelajari tentang budidaya tanaman yang intensif dan produknya digunakan
manusia sebagai bahan pangan, bahan obat (tanaman empon-emponan), bahan bumbu
(tanaman rempah-rempah), bahan penyegar atau penyedap dan sebagai pelindung serta
penyaman lingkungan (tanaman hias). Dilihat dari tempat usaha, hortikultura
berorientasi pada pengusahaan tanaman di sekitar tempat tinggal (kebun) pada areal
terbatas. Pada umumnya produk hortikultura dikonsumsi dalam bentuk segar, sehingga
kadar air sangat menentukan kualitasnya. Dengan kadar air yang tinggi menyebabkan
produk tersebut mudah rusak (Ashari, 1995).
Teori Perdagangan Internasional
Perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk
suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Penduduk
yang dimaksud dapat berupa antar individu, individu dengan pemerintah, atau antar
pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain (Mankiw 2006). Suatu negara
terlibat dalam perdagangan internasional karena dua alasan, pertama karena tiap negara
berbeda satu dan lainnya. Negara sebagai sebuah individu dapat mengambil manfaat
dari perbedaan dengan bekerjasama dengan negara lain. Kedua, negara terlibat dalam
perdagangan internasional untuk mencapai skala ekonomi dalam produksi (Krugman
dan Obstfeld, 2003).
Teori Heckscher-Ohlin merumuskan pernyataan bahwa perbedaan dalam
kelimpahan faktor harga-harganya secara relatif merupakan penyebab perbedaan harga
relatif komoditi (X dan Y) di antara kedua negara sebelum berlangsungnya perdagangan.
Selisih harga absolut atas berbagai komoditi diantara kedua negara itulah yang
merupakan penyebab langsung terjadinya perdagangan. Gambar 5 merupakan model
dasar dari teori Heckscher-Ohlin, dimana panel sebelah kiri menggambarkan kurva
batas kemungkinan produksi dari Negara 1 dan Negara 2.
Bentuk kurva batas kemungkinan produksi Negara 1 lebih memanjang atau
melebar apabila dilihat dari sumbu X, karena komoditi X yang menjadi andalan
ekspornya adalah komoditi yang padat tenaga kerja. Karena kedua negara itu memiliki
selera yang sama, maka mereka pun menghadapi peta indiferen yang sama pula.
Kurva indiferen I yang merupakan kurva indiferen bagi Negara 1 dan Negara 2
adalah tangen terhadap kurva batas kemungkinan produksi Negara 1 di titik A dan juga
menjadi tangen terhadap kurva batas kemungkinan produksi Negara 2 di titik A′. Kurva
indiferen I merupakan kurva indiferen yang tertinggi yang dapat diraih oleh Negara 1
dan Negara 2 (dalam kondisi tanpa perdagangan). Sedangkan titik A dan titik A′
melambangkan titik-titik ekuilibrium produksi dan konsumsi di kedua negara tersebut
sebelum mereka terlibat dalam perdagangan. Titik A dan titik A′ yang menjadi tempat
kedudukan tangen pada kurva indiferen I itu juga melambangkan terciptanya harga
relatif komoditi ekuilibrium dalam kondisi tanpa perdagangan (PA di Negara 1 dan PA′
di Negara 2). PA lebih kecil daripada PA′ , maka Negara 1 memiliki keunggulan
komparatif dalam produksi komoditi X sedangkan Negara 2 menguasai keunggulan
komparatif dalam produksi komoditi Y (Salvatore, 1997).

9

Sumber: Salvatore, 1997

Gambar 5 Model dasar Heckscher-Ohlin
Panel sebelah kanan memperlihatkan bahwa setelah perdagangan berlangsung
maka Negara 1 akan melakukan spesialisasi produksi komoditi X, sedangkan Negara 2
akan berspesialisasi dalam produksi komoditi Y. Spesialisasi di Negara 1 akan terus
berlangsung sampai ia mencapai titik B. Sedangkan spesialisasi produksi Negara 2 baru
akan berhenti jika titik B′ telah tercapai. Pada titik-titik itulah maka kurva-kurva
transformasi dari kedua negara menjadi tangen terhadap garis harga relatif bersama atau
PB. Negara 1 akan mengekspor sejumlah komoditi X untuk memperoleh komoditi Y
dari Negara 2 dan Negara 1 akan berkonsumsi di titik E yang terletak pada kurva
indiferen II. Di lain pihak, Negara 2 akan mengekspor sebagian komoditi Y yang
diproduksiknnya untuk memperoleh tambahan komoditi X dari Negara 1. Perdagangan
ini akan memungkinkan Negara 2 berkonsumsi di titik E′ yang berhimpitan dengan titik
E (Salvatore, 1997).
Tarif adalah bentuk tertua dari kebijakan perdagangan dan secara tradisional telah
digunakan sebagai sumber pendapatan pemerintah. Sampai pengenalan pajak
penghasilan, misalnya, pemerintah AS menaikkan sebagian besar pendapatan dari tarif.
Tujuan pengenaan tarif ini adalah untuk memberikan pendapatan dan perlindungan
terhadap sektor domestik. Pada awal abad ke-19, misalnya Inggris menggunakan tarif
(Undang-undang Gandum) untuk melindungi pertaniannya dari persaingan impor. Pada
akhir abad ke-19 , Jerman dan Amerika Serikat yang melindungi sektor industri baru
mereka dengan memberlakukan tarif atas impor barang-barang manufaktur. Pentingnya
tarif telah menurun di zaman modern karena pemerintah yang modern biasanya lebih
suka melindungi industri dalam negeri melalui berbagai hambatan nontarif, seperti
impor kuota (pembatasan jumlah impor) dan pembatasan ekspor (pembatasan kuantitas
ekspor - biasanya dikenakan oleh negara pengekspor atas permintaan impor negara
tersebut). Meskipun demikian, studi tentang dampak tarif yang tetap penting dalam
memahami kebijakan perdagangan lainnya.
Gambar 6 menunjukkan efek dari tarif tertentu t per unit produk (ditampilkan
sebagai t pada gambar). Dengan tidak adanya tarif, harga produk akan disamakan
kedudukannya pada PW baik domestik maupun luar negeri, seperti yang terlihat pada
titik 1 di panel tengah, yang menggambarkan pasar dunia. Dengan tarif di pasar
domestik, eksportir tidak bersedia untuk menjual produknya dari negara asalnya ke
pasar domestik kecuali harga di pasar domestik melebihi harga di pasar di negara
eksportir, setidaknya sebesar t. Jika tidak ada produk yang diekspor, maka akan ada
kelebihan permintaan (excess demand) di pasar domestik dan kelebihan pasokan (excess

10
suppply) di luar negeri. Dengan demikian harga di domestik akan naik dan di luar negeri
akan jatuh sampai perbedaan harga t .
Dengan adanya tarif, maka harga domestik akan meningkatkan di PT (titik 2) dan
menurunkan harga di luar negeri untuk PT* (titik 3). Pada pasar domestik, produsen akan
memasok produk pada harga yang lebih tinggi, sementara permintaan konsumen kurang,
sehingga impor akan lebih sedikit (seperti yang terlihat bergerak dari titik 1 ke titik 2
pada kurva MD). Di luar negeri, harga yang lebih rendah menyebabkan berkurangnya
pasokan dan permintaan meningkat, dan dengan demikian pasokan ekspor lebih kecil
(seperti yang terlihat dalam pergerakan dari titik 1 ke titik 3 pada kurva XS). Dengan
demikian volume produk yang diperdagangkan menurun dari QW, volume perdagangan
bebas, ke QT, volume dengan tarif. Pada QT volume perdagangan, permintaan impor
domestik sama dengan pasokan ekspor asing saat
(Krugman dan Obstfeld,
2003).

Sumber: Krugman dan Obstfeld, 2003

Gambar 6 Efek kebijakan tarif
Non Tarif Measures (NTMs)
Pemberlakuan NTM dalam arti sempit tidak menimbulkan masalah bagi
perekonomian, terlebih setelah tahun 2005, semua NTM untuk pertanian, tekstil dan
pakaian telah dihapus sesuai dengan perjanjian WTO. Akan tetapi, dalam arti luas,
NTM akan menjadi masalah yang sangat berkembang pada perdagangan internasional
dan atau untuk forum-forum internasional lainnya secara khusus. Robert Baldwin dalam
PECC (2000) bahwa kebijakan distorsi perdagangan non tarif adalah setiap
ukuran/langkah/tindakan (publik atau swasta) yang menyebabkan perdagangan barang
dan jasa internasional, atau sumber daya yang dikhususkan untuk produksi barang dan
jasa yang dialokasikan dengan cara mengurangi pendapatan potensial riil dunia.
Cakupan NTM dapat terus berkembang menjadi lebih luas seiring dengan pemerintah
yang dengan cerdik mengembangkan langkah baru untuk menolong produsen
domestiknya dari persaingan dengan pihak asing.
NTM mencakup semua instrumen selain tarif, mulai dari persyaratan pelabelan
hingga makro yang mempengaruhi kebijakan perdagangan. Tindakan ini telah tumbuh
sebagai pengurangan tarif yang besar dan kadang-kadang dihapuskan melalui banyak
perjanjian komprehensif dan perdagangan preferensial, seperti WTO dan sebelumnya,
serta perjanjian perdagangan regional (RTAs/Regional Trade Agreements). Di antara
NTM, khususnya tindakan SPS (Sanitary dan Phytosanitary) dan hambatan teknis
perdagangan (TBTs/Technical Barriers to Trade) telah diproliferasi/dikembangkan.

11
Tindakan ini memiliki banyak kesamaan tindakan standar yang mempengaruhi biaya
dan potensi permintaan dengan mengatasi ketidaksempurnaan pasar (informasi
asimetris), pengaruh eksternal (Baccheta dan Beverelli dalam Beghin 2013).
Istilah NTM meliputi sejumlah tindakan yang bukan tarif, dan definisi dari NTM
agak komprehensif dengan daftar yang cukup panjang. Secara umum untuk definisi
NTM oleh Von Lampe, OECD, Nicita, UNCTAD, dan Rau, LEI, cukup berbeda antara
satu sama lain. Tetapi dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa istilah NTM mengacu
pada tindakan dan tidak mengacu pada kondisi yang berlaku yang ada di negara seperti
infrastruktur, kualifikasi dan pemerintahan. NTM cenderung dipicu oleh kurangnya
sarana transportasi yang efisien dan jalan sebagai contoh yang berkontribusi terhadap
kemungkinan NTM membatasi pengaruh perdagangan (Mellado et al. 2010).
Sejak tahun 1994, UNCTAD mulai mengumpulkan dan mengklasifikasikan Non
Tariff Barriers (NTBs) berdasarkan Coding System of Trade Control Measures
(TCMCS). Coding system ini kemudian mengklasifikasikan tariffs, para-tariffs, dan
Non Tariff Measures (NTMs) ke dalam 100 sub kategori. Coding system ini kemudian
digunakan untuk membangun database NTM yang disebut database Trade Analysis and
Information System (TRAINS). Kemudian kerja sama yang dibangun oleh UNTAD dan
World Bank mengembangkan TRAINS menjadi system yang dapat diakses oleh
peneliti-peneliti di dunia melalui aplikasi software yang disebut World Integrated Trade
Solution (WITS).
Melalui klasifikasi dari United Nations Conference on Trade and Development
(UNCTAD) dapat dibedakan antara inti NTM, seperti tingkat tarif kuota dan pajak
ekspor, dan langkah-langkah tradisional lainnya. Berdasarkan kategori klasifikasi utama
oleh UNCTAD tersebut fokus utama pada NTM adalah kebijakan perdagangan.
Terdapat enam belas klasifikasi yang dibuat oleh UNCTAD. Enam kategori utama yaitu
price control measures; finance measures; automatic licensing measures; quantity
control measures; monopolistic measure; dan technical measures.
Kebijakan non tarif pada perdagangan internasional dalam perkembangannya
telah mengalami kemajuan. Perkembangan ini terjadi sesuai dengan kondisi beberapa
tahun terakhir. Terjadi perubahan dalam metodologi klasifikasi, penghitungan, dan
pengumpulan data NTM. Pada tahun 2006, dibentuk tim yang dinamakan Multi Agency
Support Team dalam rangka menyusun dan memperbarui klasifikasi, metode
penghitungan, dan pengumpulan data NTM.
Non tariff measures (NTM) didefinisikan sebagai kebijakan-kebijakan selain tarif
yang secara potensial dapat memiliki pengaruh ekonomi pada perdagangan komoditi
internasional, dengan mengubah kuantitas perdagangan atau harga atau keduanya
(UNCTAD 2013). Hal yang baru dari klasifikasi NTM ini yaitu dengan adanya
penambahan beberapa cabang klasifikasi baru.Secara garis besar, dibagi menjadi dua
bagian pokok yaitu Import Measures dan Export Measures. Pada import measures
terbagi lagi menjadi dua bagian yaitu technical measures dan non technical measures.
Sementara pada export measures hanya satu klasifikasi yaitu export related measures.

12

Sumber: UNCTAD, 2013

Gambar 7 Klasifikasi baru NTM
SPS dan TBT
Sanitary and Phytosanitary (SPS) dan Technical Barriers to Trade (TBT)
merupakan bagian dari technical measures. Kebijakan SPS termasuk peraturan dan
pembatasan dengan tujuan untuk melindungi manusia, hewan atau tumbuhan hidup atau
kesehatan. Sementara untuk TBT membahas mengenai semua peraturan teknis lainnya,
standar dan prosedur penilaian kesesuaian yang diberlakukan bukan dengan tujuan
perdagangan. Misalnya untuk menjamin keamanan, kualitas, dan perlindungan
lingkungan, dan sebagainya).
Tindakan SPS seperti hukum, keputusan, regulasi, kebutuhan, standar dan
prosedur untuk melindungi kehidupan atau kesehatan manusia, hewan, atau tumbuhan.
Untuk hambatan teknis perdagangan (TBT) merupakan regulasi/standar yang mengacu
pada spesifikasi teknis dari suatu produk dan adanya sistem kesesuaian penilaian.
Menurut UNCTAD (2013) definisi dari sanitary and phytosanitary measures
merupakan tindakan-tindakan yang diterapkan untuk melindungi kehidupan manusia
atau hewan dari risiko yang timbul dari adanya zat adiktif, pencemaran, racun atau
organisme penyebab penyakit yang terdapat dalam makanan mereka. Bertujuan untuk
melindungi manusia, tumbuhan hidup atau hewan dari hewan yang membawa penyakit;
untuk melindungi hewan atau tanaman dari hama, penyakit atau organisme penyebab
penyakit. Selain itu, untuk mencegah atau membatasi kerusakan lainnya terhadap suatu
negara dari entry, pembentukan atau penyebaran hama, dan melindungi
keanekaragaman hayati. Hal ini termasuk tindakan yang diambil untuk melindungi
kesehatan dari ikan dan fauna liar, serta hutan dan tumbuhan liar.
Definisi technical barriers to trade (TBT) menurut UNCTAD (2013) adalah
tindakan yang mengacu pada regulasi teknis, dan prosedur penilaian kesesuaian dengan
peraturan teknis dan standar, termasuk langkah-langkah yang tercakup dalam perjanjian

13
SPS. Regulasi teknis merupakan dokumen yang menetapkan karakteristik produk atau
yang terkait dengan proses dan cara produksinya, termasuk yang berlaku dalam
ketentuan administratif. Hal ini juga dapat mencakup simbol, pengemasan, penandaan
atau pelabelan seperti yang digunakan pada produk, proses atau cara produksi. Prosedur
penilaian kesesuaian adalah prosedur yang digunakan, baik secara langsung maupun
tidak langsung, untuk menentukan bahwa persyaratan relevan dalam peraturan teknis
atau memenuhi standar, yang mungkin mencakup antara lain prosedur pengambilan
sampel, pengujian dan inspeksi, evaluasi, dan sebagainya.
Perjanjian SPS dan TBT diperbolehkan untuk diadopsi oleh anggota WTO. Kedua
perjanjian ini memuat ketentuan mengenai bantuan teknis dan perlakuan khusus dan
berbeda (special and differential treatment) untuk membantu negara berkembang dan
negara yang kurang berkembang (developing and least developed countries/DC and
LDC) untuk melaksanakan dan memanfaatkan perjanjian ini. Disdier et al. (2007)
menyatakan bahwa walaupun adanya dukungan dengan perjanjian SPS dan TBT, negara
DC dan LDC menghadapi kesulitan dalam pelaksanannya. Protes yang secara teratur
terhadap meningkatnya penggunaan SPS dan TBT oleh negara-negara maju.
Penggunaan SPS dan TBT ini dilihat sebagai bentuk proteksionisme yang terselubung.
Meningkatnya notifikasi SPS dan TBT dan potensi penggunaannya dalam cara
proteksionis yang dapat menjadi sumber sengketa perdagangan antar negara. Sengketa
yang banyak terjadi terdapat pada ketentuan SPS dibandingkan dengan ketentuan TBT.
Banyaknya sengketa ini menjadi salah satu fokus pada perdagangan untuk segera
diselesaikan.
Teori Dayasaing
Sorensen (1975) menyebutkan secara eksplisit bahwa perdagangan bebas
didasarkan atas konsep keunggulan komparatif dan keuntungan yang diperoleh berasal
dari spesialisasi atas keunggulan komparatifnya tersebut. Hal senada disampaikan oleh
Dunn dan Mutti (2000) yaitu bahwa konsep perdagangan bebas untuk pertama kali
diperkenalkan oleh Adam Smith pada awal abad ke-19 dengan teori keunggulan