Dasar-dasar Pertimbangan Hakim ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PENCURIAN PIRING DALAM PERKARA KASASI OLEH JAKSA TERHADAP PUTUSAN BEBAS

batin sebelum atau pada saat akan berbuat; dan 2 atas dasar pembenar rechts vaarding ings gronden, yang bersifat obyektif dan melekat pada perbuatannya atau hal-hal lain di luar batin si pembuat. Adami Chazawi, 2007: 18 Alasan pemaaf adalah alasan yang menghapuskan kesalahan si pembuat. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum, jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi ia tidak di pidana, karena tidak ada kesalahan. Tri Andrisman, 2009: 113 Alasan pemaaf atau schulduits luitings grond ini menyangkut pertanggungjawaban seseorang terhadap perbuatan pidana yang telah dilakukannya atau criminal responsibility. Alasan pemaaf ini menghapuskan kesalahan orang yang melakukan delik atas dasar beberapa hal. Teguh Prasetyo, 2011: 126-127 Dalam kesalahan tidak ada alasan pemaaf. Alasan pemaaf terdapat dalam Pasal 44, Pasal 49 ayat 2, danPasal 51 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP.

C. Dasar-dasar Pertimbangan Hakim

Fungsi utama dari seorang hakim adalah memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan kepadanya, dimana dalam perkara pidana, hal itu tidak terlepas dari sistem pembuktian negatif, yang pada prinsipnya menentukan bahwa suatu hak atau peristiwa atau kesalahan dianggap telah terbukti, disamping adanya alat bukti menurut undang-undang juga ditentukan kayakinan hakim yang dilandasi dengan integritas moral yang baik. Hakim dalam menjatuhkan putusan cenderung lebih banyak menggunakan pertimbangan yang bersifat Yuridis dibandingkan pertimbangan non Yuridis. Dalam Undang-Undang nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dijelaskan tentang dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan dalam Pasal 8 ayat 2 : “Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa”. Kemudian dalam Pasal 53 ayat 2 menyatakan bahwa: “Penetapan dan putusan sebagaimana dimaksud dalam memeriksa dan memutus perkara harus memuat pertimbangan hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar”. Hakim dalam menjatuhkan putusan menggunakan teori pembuktian. Pembuktian ketentuan- ketentuan yang berisi penggarisan atau pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan oleh undang- undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan, serta mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan dalam sidang pengadilan. Berdasarkan pengertian diatas, maka pembuktian ialah cara atau proses hukum yang dilakukan guna mempertahankan dalil-dalil dengan alat bukti yang ada sesuai hukum acara yang berlaku. Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian terpenting acara pidana. Menurut Mackenzei dalam Ahmad Rifai, 2010:106, ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat digunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut : a. Teori keseimbangan. Yang dimaksud dengan keseimbangan disini adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang tesangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya keseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat, kepentingan terdakwa dan kepentingan korban. b. Teori pendekatan seni dan intuisi. Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan hakim menyesuaikan dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, hakim akan melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara pidana. Pendekatan seni dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan suatu putusan, lebih ditentukan oleh instink atau intuisi dari pada pengetahuan dari hakim. c. Teori pendekatan keilmuan. Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi atau instink semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputuskannya. d. Teori pendekatan pengalaman. Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, dengan pengalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat. e. Teori ratio decidendi. Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara. Menurut Sudarto sebelum hakim menentukan perkara, terlebih dahulu ada serangkaian pertimbangan yang harus dilakukan yaitu sebagai berikut: a Keputusan mengenai perkaranya, ialah apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya. b Keputusan mengenai hukumnya, ialah apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa itu merupakan tindak pidana dan apakah terdakwa tersebut bersalah dan dapat dipidana. c Keputusan mengenai pidananya apabila terdakwa memang dapat dipidana. Sudarto, 1986:74 Menurut M.Rusli untuk menjatukan putusan terhadap pelaku tindak pidana hakim membuat pertimbangan-pertimbangan yang bersifat yuridis yaitu pertimbangan yang didasarkan pada fakator faktor yang terungkap didalam persidangan dan undang undang yang ditetapkan sebagai berikut: a. Dakwaan jaksa penuntut umun b. Keterangan saksi c. Keterangan terdakwa d. Barang barang bukti e. Pasal pasal dalam Undang undang tindak pidana Rusli Muhammad 2006:125 Pertimbangan hakim seperti yang tertera dalam Pasal 8, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa. Berdasarkan ketentuan ini maka dalam menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan hakim wajib memperhatikan sifat baik atau sifat jahat dari terdakwa sehingga putusan yang dijatuhkan setimpal dan adil sesuai dengan kesalahannya. Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana penggelapan dalam jabatan sertifikat tanah orang lain yang melakukan perbuatan yang merugikan banyak pihak perlu mendapat perhatian khusus, sebab akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya tersebut harus mendapatkan ganjaran yang setimpal. Putusan hakim tersebut harus adil dan sesuai dengan akibat yang ditimbulkan. Menurut Pasal 183 dan 184 ,hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila sekurang kurangya dua alat bukti yang sah memeperoleh kenyakinan bahwa tindak pidana benar benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukanya. Alat alat bukti yang sah adalah: a Keterangan saksi adalah alat bukti yang mendatangkan saksi di sidang pengadilan. b Keterangan ahli adalah seorang ahli yang dapat membuktikan atau menyatakan kebenaran perkara disidang pengadilan . c Surat adalah dokumen atau lainya dalam bentuk resmi yang memuat keterangan tentang kejadian keadaan yang didengar,dilihat atau yang dialami sendiri ,disertai alasan yang tegas dan jelas tentang keterangan tersebut. d Petunjuk adalah perbuatan ,kejadian atau keadaan,yang karena penyesuaianya,baik antara yang satu dengan yang lain ,maupun dengan tindak pidana itu sendiri,menandahkan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. e Keterangan terdakwa adalah terdakwa menyatakan dipersidangan tentang perbuatan yang dilakukan atau yang diketahui sendiri atau dialami sendiri.

D. Jenis-Jenis Upaya Hukum