Rancang Bangun Bubu Lipat Dalam Upaya Peningkatan Efektivitas Dan Efisiensi Penangkapan Kepiting Bakau Yang Ramah Lingkungan

RANCANG BANGUN BUBU LIPAT DALAM UPAYA PENINGKATAN
EFEKTIVITAS DAN EFISIENSI PENANGKAPAN KEPITING BAKAU
YANG RAMAH LINGKUNGAN

ISMAWAN TALLO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

ii

iii

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Rancang Bangun Bubu
Lipat dalam Upaya Peningkatan Efektivitas dan Efisiensi Penangkapan Kepiting
Bakau yang Ramah Lingkungan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi

mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya dan yang
diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor,

Maret 2015

Ismawan Tallo
NIM. C461100041

iv

RINGKASAN
ISMAWAN TALLO. Rancang bangun bubu lipat dalam upaya peningkatan
efektivitas dan efisiensi penangkapan kepiting bakau yang ramah lingkungan.
Dibimbing oleh ARI PURBAYANTO, SULAEMAN MARTASUGANDA dan
GONDO PUSPITO.


Bubu lipat yang banyak digunakan dalam penangkapan kepiting bakau
masih memiliki kelemahan. Kelemahannya antara lain jenis dan kualitas umpannya
tidak disukai oleh kepiting bakau, hasil tangkapannya lebih banyak terdiri atas
kepiting bakau muda, dan konstruksinya mudah dirusak oleh kepiting bakau.
Kelemahan bubu tersebut dapat diperbaiki melalui kajian rancang bangun
berdasarkan tingkah laku kepiting bakau. Informasi mengenai rancang bangun bubu
tersebut dan tingkah laku kepiting bakau masih sedikit. Oleh karena itu, penelitian
bertujuan untuk mendapatkan jenis dan kualitas umpan yang disukai oleh kepiting
bakau, menentukan arah dan ketajaman penglihatan kepiting bakau, menentukan
respons kepiting bakau terhadap bagian-bagian bubu, merancang dan membuat
bubu lipat, menentukan efektivitas dan efisiensi bubu lipat, menentukan tingkat
selektivitas bubu lipat dan menentukan tingkat keramahan lingkungan bubu lipat.
Penelitian dilakukan dalam dua tahap yaitu penelitian di laboratorium dan di
lapangan. Penelitian menggunakan metode pengamatan dan percobaan
penangkapan. Penelitian di laboratorium menganalisis respons makan kepiting
terhadap umpan, menganalisis kemampuan penglihatan kepiting, mengamati
respons kepiting terhadap bagian-bagian bubu, merancang dan membuat bubu.
Sementara itu, penelitian di lapangan melakukan percobaan penangkapan kepiting,
melakukan ujicoba pelolosan kepiting dan menganalisis tingkat keramahan bubu
terhadap lingkungan. Data penelitian dianalisis secara statistika dan secara

diskriptif komparatif.
Hasil penelitian di laboratorium menunjukkan bahwa pilihan kepiting bakau
terhadap jenis dan kualitas umpan bervariasi. Persentase rata-rata pilihan kepiting
terhadap umpan ikan selar sebesar 77,88%, sedangkan umpan kerang bulu 22,12%.
Adapun pilihan kepiting terhadap umpan selar segar adalah 58,54%, umpan selar
rendam 24,39% dan umpan selar busuk 17,07%. Sementara itu, perbandingan
kandungan kimia umpan segar : rendam : busuk adalah protein (17% : 16,05% :
15,85%), lemak (0,32% : 1,05% : 0,39%), air (77,24% : 74,49% : 78,64%), asam
amino (16,12% :15,2% : 15,17%), dan asam lemak (59,26% : 60,07% : 47,05%).
Uji Mann-Whitney menunjukkan bahwa secara statistika pilihan kepiting terhadap
umpan selar segar berbeda nyata jika dibandingkan dengan pilihan kepiting
terhadap umpan selar rendam maupun selar busuk, sementara pilihan kepiting
terhadap umpan selar rendam dan selar busuk tidak berbeda nyata. Pilihan kepiting
terhadap umpan didukung oleh kemampuan penglihatannya.
Analisis kemampuan penglihatan kepiting bakau menunjukkan bahwa arah
dan ketajaman penglihatan kepiting bervariasi. Arah penglihatan kepiting lebih
dominan ke arah depan dalam jika dibandingkan dengan arah depan luar, belakang
luar maupun belakang dalam karena jumlah sebaran sel kon lebih banyak berada
pada bagian mata depan dalam. Adapun posisi dead zone berada pada arah


v
penglihatan belakang dalam. Sementara itu, ketajaman penglihatan kepiting
berkorelasi dengan ukuran lebar karapasnya. Kepiting dengan ukuran lebar karapas
8,6-11,01 cm memiliki ketajaman penglihatan 1,84-3,72 derajat. Berdasarkan
analisis jarak penglihatan maksimum, kepiting dapat melihat material bubu seperti
jaring dan kawat galvanis.
Respons kepiting bakau terhadap bagian-bagian bubu juga bervariasi.
Kepiting lebih mudah melewati sudut kemiringan bidang lintasan masuk 20 derajat
dan sudut 40 derajat jika dibandingkan dengan sudut 60 derajat. Kepiting mampu
melewati bidang lintasan masuk berbentuk lurus maupun berbentuk corong.
Kepiting juga secara mudah melewati bentuk mulut masuk yang terbuka jika
dibandingkan dengan bentuk mulut masuk yang relatif tertutup. Selanjutnya,
respons kepiting tersebut dijadikan acuan dalam perancangan bubu lipat.
Perancangan bubu lipat menghasilkan 7 bentuk bubu yaitu bubu B-20, B-40
dan B-60, bubu 2 bidang lintasan masuk (B-II.S), bubu 3 bidang lintasan masuk
(B-III.S), bubu 4 bidang lintasan masuk (B-IV.S) dan bubu algonis (A-40). Semua
bubu tersebut dapat menangkap kepiting kecuali bubu B-20 dan B-60 yang kurang
mampu menangkap kepiting dewasa. Bubu-bubu tersebut memiliki daya tenggelam
antara 0,42 - 0,58 kgf sehingga dapat tenggelam ke dalam air dan berada dalam
posisi stabil di atas substrat dasar perairan. Kestabilan bubu tersebut di dalam air

berhubungan dengan efektivitasnya.
Efektivitas bubu lipat bervariasi. Bubu B-IV.S menangkap kepiting lebih
banyak dibandingkan dengan bubu lainnya. Adapun bubu A-40 menangkap
kepiting lebih sedikit dibandingkan dengan bubu lainnya, namun semua kepiting
tangkapannya berukuran dewasa. Efektivitas setiap bubu sebagai berikut B-IV.S:
32,5%, B-III.S: 23,3%, B-II.S: 20,0%, sementara bubu B-40: 20,8%, B-60: 15,8%,
B-20: 14,2% dan A-40: 12,5%. Efektivitas bubu tersebut juga berhubungan dengan
selektivitasnya.
Selektivitas bubu lipat juga bervariasi. Nilai selektivitas (LK50) untuk bubu
dengan CP depan : 6,6 cm, CP samping bawah: 6,5 cm, CP samping atas: 6,2 cm
dan CP sudut atas: 6,4 cm. Adapun nilai selektivitas (LK50) bubu A-40 adalah 8,5
cm. Selektivitas bubu juga berhubungan tingkat keramahannya terhadap
lingkungan.
Tingkat keramahan lingkungan bubu lipat dikategorikan dalam tiga
kelompok yaitu bubu ramah lingkungan, bubu kurang ramah lingkungan dan bubu
tidak ramah lingkungan. Bubu ramah lingkungan adalah A-40, bubu kurang ramah
lingkungan adalah B-40, B-II.S, B-III.S dan B-IV.S, sedangkan bubu tidak ramah
lingkungan adalah B-20 dan B-60.
Kata kunci: Bubu lipat, efektivitas, efisiensi, kepiting bakau, rancang bangun.


vi

SUMMARY
ISMAWAN TALLO. Collapsible pot construction and design in effort for
efficiency and effectiveness improvement of mangrove crab catching that
environmental friendly. Supervised by ARI PURBAYANTO, SULAEMAN
MARTASUGANDA and GONDO PUSPITO
The collapsible pot which more used within mangrove crabs has weakness.
The pot weakness has consisted of the kind and quality of baits were not preferred
by the crabs, the catch consisted of the young crab and the pot was easily broken
by the crab. The disadvantage can be improved with study of the pot construction
and design with crab behavior study toward the pot. Informatian about construction
and design of the pot or crab behavior are still a litle. So, the study aimed to find
the kind and quality of bait that more preferred by the crab, to determine direction
and visual acuity of the crab, to determine the crab response to the parts of pot, to
design and to make the pot, to dermine the efectiveness and efficiency of the pot
and to determine the selectivity level of the pot and to determine environmental
friendly of the pot.
The study was conducted in two step namely laboratory study and field study.
Laboratory study analysed feeding response of crab to baits, analysed visual ability

of the crab, observed the response of crab to the parts of pot, and design and
instalation the parts of the pot. While, field study captured the crab with pot, trial
for crab escapement from pot and analysed the environmental friendly level of pot.
The data was analyzed with using statistic and comparative desciptively methods.
The laboratory study results showed that the crab selected differently to the
types and qualities of bait. The average percentage of bait selection from crabs
toward fish was 77.88% and clams was 22.12%. The choice of crab for fresh bait
was 58.54%, soaked bait 24.39% and decomposed bait 17.07%. While, the
comparison of the chemical content of the fresh bait: soaked: decomposed was
protein (17% : 16.05%: 15.85%), fat (0.32% : 1.05% : 0.39%), water (77.24% :
74.49% : 78.64%), amino acids (16.12% : 15.2% : 15.17%), and fatty acids
(59.26% : 60.07% : 47.05%). Mann-Whitney test showed that statistically, the crab
select to fresh bait was significantly different than soaked bait or decomposed bait,
while selection of crab toward the soaked bait and decomposed bait was not
significantly different. Bait selection of the crab is supported the visual ablility.
Study on mangrove crab visual ability showed that the crab visual direction
dominantly on inner-front than outer-front, the outer-backside or inner-backside. It
caused by the number of cone cell in inner-front more than other visual direction.
The dead zone of the crab vision was at outer-backside of visual direction. The
visual acuity of crab have closed relation with body size. The crabs with carapace

width size 8.6 to 11.01 cm have visual acuity between 1.84 to 3.72 degrees. Based
on maximum sighting distance analysis, the crabs can see the material of pot like
net and galvanice iron metal.
Response of mangrove crabs to the parts of pot has variation. The crabs
easier to pass through the funnel elevation with 20 degrees and 40 degrees if it was
compared with 60 degrees. The crab can pas the funnel with straigh form and
narrow form. Meanwhile, crabs also easily passed the open entrance if it was

vii
compared with the closed entrance. The crab response was used to design the pot
construction.
Design and construction of collapsible pot produced seven forms of the pot
namely B-20, B-40 and B-60, two funnels collapsible pot (B-II.S), three funnels
collapsible pot (B-III.S), four funnels collapsible pot (B-IV.S) and algonis pot
(A-40). Generaly, the pots can be entered by mangrove crabs except B-20 and B60 are difficult to be entered by a large mangrove crab. The pots can be submerged
in the water and have a good stability on the substrate with sinking force range
between 0.42 to 0.58 kgf. Stability of the pot related to the effectiveness.
Effectiveness of collapsible pot has variation. B-IV.S pot captured
mangrove crab more than other pots. A-40 pot captures crab less than other pots
like B-20 and B-40 pots, but A-40 pot only capture adult crabs. Effectiveness of

each pot were B-IV.S: 32.5%, B-III.S: 23.3%, B-II.S: 20.0%, while B-40: 20.8%,
B-60: 15.8%, B-20: 14.2% and A-40: 12.5%. Effectivenes of the pot also related to
the selectivity.
Selectivity of collapsible pot has variation. Selectivity value (CW 50) of the
pot with front CP: 6.6 cm, bottom side CP: 6.5 cm, upper corner CP: 6.4 cm, and
upper side CP: 6.2 cm. Selectivity value (CW50) of A-40 pot was 8.5 cm. Selectivity
of the pot also related to environmental friendly level of the pot.
The environmental friendly level of collapsible pot was categorized in to
three groups namely environmental friendly pot, less environmental friendly pots,
and the non environmental friendly pots. The environmental friendly pot was A-40,
the less environmental friendly pots were B-40, B-II.S, B-III.S and B-IV.S, and the
non environmental friendly pots were B-20 and B-60.
Keywords: Collapsible pot, design, effectiveness, efficiency, mangrove crab.

viii

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencamtumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,

penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa ijin IPB.

ix
RANCANG BANGUN BUBU LIPAT DALAM UPAYA PENINGKATAN
EFEKTIVITAS DAN EFISIENSI PENANGKAPAN KEPITING BAKAU
YANG RAMAH LINGKUNGAN

ISMAWAN TALLO

Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Teknologi Perikanan Tangkap

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2015

x

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup: Dr Ir Diniah, MSi
`
Dr Ir Zulkarnain, MSi
Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka: Prof Dr Ir Daniel R. Monintja, MSc
Dr Ir Irawan Muripto, MSc

xi

xii

xiii

PRAKATA
Penulis mengucapkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT karena atas
karunia-Nya sehingga penulisan disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi ini
menjelaskan tentang rancang bangun bubu lipat dalam upaya peningkatan
efektivitas dan efisiensi penangkapan kepiting bakau yang ramah lingkungan.
Isinya merupakan rangkuman hasil penelitian yang dilaksanakan sejak Juli 2011
sampai November 2012 yang dilakukan di laboratorium dan di lapangan.
Dalam proses penelitian hingga penyelesaian disertasi ini, penulis telah
mendapatkan arahan dan bimbingan dari para pembimbing serta bantuan dari
banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menghaturkan banyak
terimakasih kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc sebagai Ketua Komisi Pembimbing.
2. Dr. Sulaeman Martasuganda, B.Fish.Sc, M.Sc dan Dr. Ir. Gondo Puspito,
M.Sc, sebagai Anggota Komisi Pembimbing.
3. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud Republik Indonesia.
4. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
5. Rektor Institut Pertanian Bogor.
6. Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor beserta
para dosen dan staf administrasi.
7. Rektor Universitas Nusa Cendana Kupang.
8. Dekan Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana Kupang dan staf
administrasi.
9. Bupati Alor beserta Pimpinan dan Staf Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah Kabupaten Alor.
10. Dr. Ir. Diniah, M.Si sebagai Kepala Divisi Teknologi Alat Penangkapan Ikan
Departemen PSP FPIK IPB.
11. Ayah Klaping Tallo, Ibu Kulsum T. Sallo, Kakak Boys dan Kakak Muas serta
seluruh keluarga di Sumba Barat, Kupang dan Alor.
12. Istriku Ade dan ketiga anakku Arif, Aisyah dan Anisyah.
13. Pak Didin, Jessy, Pak Ucha, Ono, Pak Mose, Pak Misbah, Pak Chalil, Pak Dion
dan teman-teman mahasiswa Program Doktor Program Studi Teknologi
Perikanan Tangkap serta Program Studi Sistem dan Pemodelan Perikanan
Tangkap Angkatan tahun 2010.
14. Para nelayan di wilayah Teluk Mutiara Kabupaten Alor.
15. Semua pihak yang telah berkontribusi dalam penelitian dan penyelesaian
tulisan ini yang belum disebutkan satu persatu.
Akhirnya, semoga disertasi ini bermanfaat bagi pembacanya.

Bogor,

Maret 2015

Ismawan Tallo

xiv

xv

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

xvii

DAFTAR GAMBAR

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

xix

DAFTAR ISTILAH

xx

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Pendekatan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Kebaruan Penelitian
Kerangka Penelitian

1
1
6
7
8
8
8
9

2 METODOLOGI UMUM
Waktu dan Tempat Penelitian
Alat dan Bahan Penelitian
Alat penelitian
Bahan penelitian
Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data
Analisis Data

12
12
13
13
19
23
29

3 PILIHAN KEPITING BAKAU TERHADAP UMPAN
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil
Tingkah laku kepiting bakau terhadap umpan
Pilihan kepiting bakau terhadap jenis umpan
Pilihan kepiting bakau terhadap kualitas umpan
Kandungan kimia umpan
Pembahasan
Simpulan

32
32
33
36
36
38
38
40
41
45

4 ANALISIS KEMAMPUAN PENGLIHATAN KEPITING BAKAU
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil
Arah penglihatan kepiting bakau
Ketajaman penglihatan kepiting bakau terhadap bubu
Pembahasan
Simpulan

46
46
48
50
50
51
53
57

5 TINGKAH LAKU KEPITING BAKAU TERHADAP BUBU
Pendahuluan

59
59

xvi

DAFTAR ISI (LANJUTAN)
Bahan dan Metode
Hasil
Tingkah laku kepiting bakau terhadap bubu lipat standar nelayan
Tingkah laku kepiting bakau terhadap ukuran mata jaring bidang
lintasan masuk
Tingkah laku kepiting bakau terhadap sudut kemiringan bidang
lintasan masuk
Tingkah laku kepiting bakau terhadap bentuk bidang lintasan masuk
Tingkah laku kepiting bakau terhadap konstruksi mulut masuk bubu
Ketahanan material dinding bubu terhadap daya rusak capit kepiting
Pembahasan
Simpulan
6 PERANCANGAN BUBU LIPAT KEPITING BAKAU
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil
Rancangan bubu lipat untuk menangkap kepiting bakau
Daya tenggelam bubu hasil rancangan
Daya tangkap bubu hasil rancangan
Pembahasan
Simpulan

60
66
66
67
69
71
71
72
72
79
80
80
81
83
83
86
86
87
88

7 EFEKTIVITAS PENANGKAPAN KEPITING BAKAU DENGAN BUBU
LIPAT
90
Pendahuluan
90
Bahan dan Metode
91
Hasil
94
Hasil tangkapan kepiting bakau berdasarkan sudut kemiringan bidang
lintasan masuk
94
Hasil tangkapan kepiting bakau berdasarkan jumlah bidang
lintasan masuk
95
Efektivitas penangkapan kepiting bakau dengan bubu lipat
97
Pembahasan
99
Simpulan
103
8 SELEKTIVITAS BUBU LIPAT KEPITING BAKAU
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil
Bentuk dan posisi celah pelolosan
Proporsi ketidaklolosan kepiting bakau dari bubu hasil rancangan
Pembahasan
Simpulan

104
104
105
110
110
110
112
115

9 TINGKAT KERAMAHAN BUBU LIPAT KEPITING BAKAU
TERHADAP LINGKUNGAN
Pendahuluan

117
117

xvii

DAFTAR ISI (LANJUTAN)
Bahan dan Metode
Hasil
Hasil tangkapan bubu lipat
Keramahan bubu lipat kepiting bakau
Pembahasan
Simpulan

118
121
121
122
123
127

10 PEMBAHASAN UMUM

129

11 KESIMPULAN DAN SARAN

135

DAFTAR PUSTAKA

136

LAMPIRAN

146

RIWAYAT HIDUP

159

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

Stasiun penelitian
Alat penelitian respons makan kepiting bakau
Alat analisis kandungan kimia umpan
Alat analisis fisiologi mata kepiting bakau
Alat penelitian tingkah laku kepiting bakau
Alat perancangan bubu lipat
Alat penelitian efektivitas penangkapan
Alat penelitian selektivitas bubu lipat
Bahan penelitian respons makan kepiting bakau
Bahan penelitian fisiologis mata kepiting bakau
Bahan penelitian tingkah laku kepiting bakau terhadap bubu
Bahan perancangan bubu lipat
Bahan penelitian efektivitas penangkapan
Bahan penelitian selektivitas bubu lipat
Data penelitian di laboratorium
Analisis data penelitian di laboratorium
Data penelitian di lapangan
Analisis data penelitian
Kadar asam amino masing-masing kualitas umpan
Kadar asam lemak masing-masing kualitas umpan
Penelitian-penelitian mengenai mata kepiting
Hasil analisis histologi terhadap ketajaman penglihatan kepiting bakau
Ukuran mata jaring bidang lintasan masuk
Kemampuan masuk dan keluar kepiting bakau dari mulut bubu percobaan
Spesifikasi rancangan bubu lipat untuk menangkap kepiting bakau

13
14
14
15
16
16
17
18
19
21
21
22
22
23
23
29
31
36
40
41
47
52
68
71
86

xviii

DAFTAR TABEL (LANJUTAN)
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37

Berat rata-rata bubu hasil rancangan
Bubu percobaan
Rancangan percobaan sudut kemiringan bidang lintasan masuk
Rancangan percobaan jumlah bidang lintasan masuk
Jenis kepiting tangkapan
Nilai probabilitas ketidaklolosan kepiting bakau pada celah pelolosan
Alat penelitian
Bobot nilai kriteria alat tangkap ramah lingkungan
Skala penilaian kriteria alat tangkap kepiting bakau ramah lingkungan
Hasil tangkapan bubu lipat kepiting bakau
Nilai bobot bubu percobaan
Perhitungan nilai bobot bubu percobaan

86
91
93
93
97
111
118
119
120
121
122
123

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27

Bubu lipat bentuk balok
Kepiting bakau betina muda di pasar
Kerangka penelitian
Peta lokasi percobaan penangkapan kepiting bakau di lapangan
Ilustrasi pengujian umpan tunggal
Pola pergerakan kepiting bakau terhadap umpan
Pilihan kepiting bakau terhadap jenis umpan
Persentase pilihan kepiting bakau terhadap kualitas umpan
Waktu respons kepiting bakau terhadap kualitas umpan
Kandungan kimia masing-masing kualitas umpan
Sampel mata kepiting bakau
Arah penglihatan kepiting bakau
Ilustrasi arah penglihatan kepiting bakau
Jarak pandang maksimum kepiting bakau terhadap ukuran benda
Hubungan antara ketajaman penglihatan dan ukuran kepiting bakau
Posisi mata kepiting
Ilustrasi otot pada tangkai mata kepiting
Pola penglihatan kepiting terhadap objek
Ilustrasi perhitungan penglihatan kepiting bakau
Bidang lintasan masuk (a) dan posisi bidang lintasan masuk
terhadap kepiting bakau (b)
Ilustrasi uji bidang lintasan masuk
Ilustrasi bentuk konstruksi mulut masuk
Ilustrasi pengujian konstruksi mulut masuk
Ilustrasi uji ketahanan material dinding bubu
Ukuran kaki kepiting bakau pada mata jaring bidang lintasan masuk
Kemampuan kepiting bakau melewati setiap ukuran mata jaring
Pola pergerakan kepiting bakau melewati bidang lintasan masuk

3
5
10
12
35
37
38
39
39
40
49
51
51
52
53
53
54
54
57
62
63
64
65
66
68
68
70

xix

DAFTAR GAMBAR (LANJUTAN)
28 Bagian-bagian capit, kaki jalan dan kaki renang kepiting bakau
29 Bubu lipat bentuk balok dan ilustrasi sudut kemiringan
bidang lintasan masuk
30 Bentuk konstruksi mulut masuk bubu lipat standar nelayan
31 Ilustrasi uji daya tangkap bubu terhadap kepiting bakau
32 Bentuk rancangan bubu B-20, B-40 dan B-60
33 Bentuk rancangan bubu 4 bidang lintasan masuk (B-IV.S)
34 Bentuk rancangan bubu algonis (A-40)
35 Bentuk pemasangan bubu percobaan dalam penelitian di lapangan
36 Kepiting bakau tangkapan bubu B-20, B-40 dan B-60
37 Kategori kepiting bakau tangkapan bubu lipat dengan perbedaan
sudut kemiringan bidang lintasan masuk
38 Kepiting bakau tangkapan bubu B-II.S, B-III.S dan B-IV.S
39 Kategori kepiting bakau tangkapan dari bubu dengan perbedaan
jumlah bidang lintasan masuk
40 Efektivitas bubu hasil rancangan
41 Kategori kepiting bakau tangkapan bubu percobaan
42 Peta lokasi percobaan pelolosan kepiting bakau di lapangan
43 Ilustrasi percobaan konstruksi celah pelolosan di dalam akuarium
44 Ilustrasi bubu percobaan dengan celah pelolosan
45 Bentuk bubu A-40
46 Persentase kelolosan kepiting bakau pada bubu percobaan
47 Probabilitas ketidaklolosan kepiting bakau dari bubu hasil rancangan
48 Probabilitas ketidaklolosan kepiting bakau dari bubu A-40

75
76
77
83
84
85
85
93
94
95
96
96
98
98
106
107
108
108
110
111
112

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

Foto kegiatan di lokasi penelitian
Foto beberapa alat dan bahan penelitian di laboratorium
Foto beberapa alat dan bahan penelitian di lapangan
Massa rumus asam amino
Diagram alir analisis fisiologi mata kepiting bakau
Proses pengeringan hingga penanaman spesimen mata kepiting bakau
Proses pewarnaan hingga pengamatan spesimen mata kepiting bakau
Gambar sel kon mata kepiting bakau
Persiapan bubu percobaan
Pengoperasian bubu percobaan di lapangan
Tipe bubu dan kepiting bakau tangkapannya
Ilustrasi dan foto percobaan pelolosan kepiting bakau di lapangan
Probabilitas ketidaklolosan kepiting bakau dari dalam bubu

146
147
148
149
150
151
152
153
154
155
156
157
158

xx

DAFTAR ISTILAH
Abdomen
Antenula
Bar

:
:
:

Bakau

:

Bubu
Cheliped
Dactyl
Desain

:
:
:
:

Efektif
Efektivitas
Efisien
Efisiensi
Karapas

:
:
:
:
:

Kepiting

:

Konstruksi

:

Mangrove

:

Model

:

Ommatidia

:

Propudus
Rancang bangun

:
:

Sel kon (cone cell)
Ukuran layak tangkap

:
:

Ukuran mata jaring

:

Bagian bawah tubuh kepiting
Sepasang antena pada krustase
Panjang sisi mata jaring antara dua simpul
yang berdekatan
Tumbuhan di daerah pesisir pantai yang
terendam air laut secara periodik
Alat tangkap berupa jebakan
Capit
Ruas pertama kaki kepiting
Pola rancangan yang menjadi dasar pembuatan
suatu benda
Berhasil sesuai dengan tujuan
Tingkat keberhasilan
Penggunaan sumberdaya secara tepat
Tingkat penggunaan sumberdaya secara tepat
Bagian keras yang menutupi punggung dan
bagian bawah (plastron) tubuh suatu individu
hewan (biasanya pada kepiting dan kura-kura)
Organisme dengan tubuh ditutupi rangka luar
yang keras dan memiliki 5 pasang kaki
Susunan yang saling terhubung sehingga
menjadi suatu kesatuan
Ekosistem di daerah pesisir yang dicirikan
dengan adanya pohon-pohon bakau
Rencana, representasi, atau deskripsi yang
menjelaskan suatu objek, sistem atau konsep,
yang sering kali berupa penyederhanaan atau
idealisasi
Bidang hexagonal pada cornea mata filum
Arthropoda
Ruas ke dua kaki kepiting
Proses perencanaan secara berurutan untuk
membangun suatu sistem
Sel berbentuk kerucut pada retina mata
Ukuran minimal suatu spesies dapat ditangkap
yang mana pada ukuran ini spesies tersebut
sudah matang gonad
Ukuran dua kali panjang bar mata jaring

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kepiting bakau (Scylla spp) memiliki wilayah distribusi yang luas. Hampir
sebagian besar wilayah pesisir di daerah tropis menjadi tempat hidup dan
distribusinya. Menurut Keenan et al. (1998), kepiting ini mendiami daerah pesisir
di wilayah lautan Hindia, pantai timur dan barat Australia, Indo-pasifik, Asia
hingga Afrika.
Distribusi kepiting bakau yang luas menunjukkan produksinya di alam
cukup besar. Menurut FAO (2010), produksi kepiting bakau pada tahun 2008
mencapai 138.000 ton. Jumlah produksi tersebut dihasilkan dari wilayah-wilayah
dimana kepiting bakau berada. Produksinya juga terus mengalami peningkatan
karena harga jualnya yang tinggi.
Harga jual kepiting bakau memang tergolong tinggi di pasar domestik
maupun pasar luar negeri. Sara (2010) menginformasikan bahwa harga jualnya
dalam keadaan hidup di Sulawesi Selatan adalah Rp.8.000-.30.000/kg. Harga
jualnya terus mengalami peningkatan pada tahun-tahun selanjutnya. Menurut
http://primafoods.indonetwork.co.id/2860140/kepiting-bakau-jual.htm
(2014),
harganya dalam keadaan hidup berkisar antara Rp.45.000 - Rp.80.000 sesuai
dengan ukurannya yaitu ukuran 200-300 g (Rp. Rp.45.000/kg), 300-700g
(Rp.70.000/kg), lebih dari 1000 g (Rp.80.000/kg), betina bertelur ukuran 200g
(Rp.75.000), bibit kepiting 100 g (Rp.35.000/kg). Berdasarkan informasi dari
pedagang kepiting di pasar tradisional Kota Bogor antara tahun 2011-2014,
harganya berkisar antara Rp.55.000-80.000/kg, sementara harganya di pasar
swalayan dan supermarket pada tahun yang sama lebih mahal yaitu berkisar antara
Rp.30.000-35.000,00/150g. Harga jualnya akan lebih tingi lagi jika dipasarkan ke
luar negeri atau ekspor. Shelley (2008) menyatakan bahwa harganya dalam keadaan
hidup di pasar dunia, seperti Hongkong, Singapura, Taiwan, Eropa, Amerika
Serikat dan negara-negara di kawasan pasifik, berkisar antara US $7-10/kg. http://
www. alibaba. com/-showroom /mud-crab-price. html(2014) menginformasikan
bahwa harga ekspornya dengan kategori free on board (FOB) yaitu daging segar
US $25 - US $26/kg, karapas kering US $0.1- US $10 /kg, dan kepiting hidup (life
crab) US $6.5 – 14/ kg. Harga free on board adalah harga pemasok atau suplayer,
artinya harganya di negara tujuan ekspornya lebih tinggi.
Tingginya harga jual kepiting bakau dipengaruhi oleh adanya permintaan
pasar yang terus meningkat karena manfaatnya yang besar bagi manusia.
Karapasnya dapat diolah menjadi kitin dan citosan untuk memenuhi keperluan
industri (Lesbani et al. 2011). Dagingnya dimanfaatkan sebagai bahan pangan
manusia bercita rasa tinggi. Selama ini, kebutuhan pasarnya disuplai dari berbagai
negara penghasil kepiting bakau. Salah satu negara penghasil kepiting ini adalah
Indonesia. Jumlah produksinya dari Indonesia cenderung meningkat setiap
tahunnya. Menurut Ashofa et al. (2014), produksi kepiting bakau dari Indonesia
pada tahun 2011 mencapai 34.433 ton yang meningkat sebesar 28,95% dari tahun
2010.
Jumlah produksi kepiting bakau juga menunjukkan bahwa Indonesia
termasuk dalam kelompok negara penghasil utama kepiting bakau di dunia.

2
Menurut Shelley (2008), Indonesia merupakan negara penghasil dan pengekspor
kepiting bakau terbesar di dunia karena semua jenis kepiting bakau hidup dan
tersebar di seluruh wilayah perairan Indonesia. Sara (2010) juga menginformasikan
bahwa kepiting bakau di Indonesia dapat dijumpai mulai dari bagian barat pulau
Sumatera hingga bagian timur Papua. Menurut Moosa et al. (1985), sekitar 234
jenis kepiting yang tergolong dalam family Portunidae tersebar di wilayah Indopasifik Barat dan 124 jenis di Indonesia, sehingga Indonesia dikenal sebagai
negara yang memiliki keragaman jenis kepiting tertinggi di dunia.
Produksi kepiting bakau di Indonesia dihasilkan melalui dua cara. Cara
pertama yaitu penangkapan langsung di alam dan cara kedua adalah budidaya.
Dari dua cara tersebut, kegiatan budidaya kepiting bakau masih banyak
menghadapi kendala. Shelley (2008) menyatakan beberapa kendala yang dihadapi
dalam pembudidayaan kepiting bakau antara lain kelangkaan benih, biaya
pemeliharaan benih yang tinggi, serangan penyakit berupa infeksi bakteria dan
jamur serta protozoa yang menurunkan produksi benih, kanibalisme yang tinggi,
dan biaya pakan pada masa pertumbuhan di dalam panti benih yang cukup mahal.
Kendala yang dihadapi dalam kegiatan budidaya kepiting bakau menyebabkan
kegiatan budidayanya kurang berkembang, sementara kegiatan penangkapannya di
alam hingga saat ini terus meningkat.
Kegiatan penangkapan kepiting bakau biasanya menggunakan beragam jenis
alat tangkap. Dalam perkembangan selanjutnya, kegiatan tersebut lebih banyak
menggunakan alat tangkap dari jenis perangkap. Penggunaan alat tangkap
perangkap dalam kegiatan penangkapan kepiting bakau lebih dipengaruhi oleh
kualitas kepiting tangkapan. Kepiting yang ditangkap dengan alat tangkap
perangkap memiliki kualitas lebih baik jika dibandingkan alat tangkap lain yaitu
masih dalam keadaan hidup dan tidak mengalami kerusakan atau kehilangan
anggota tubuh. Kepiting dengan kualitas seperti ini biasanya memiliki harga jual
lebih tinggi jika dibandingkan kepiting mati atau telah mengalami kerusakan dan
kehilangan anggota tubuhnya.
Ada banyak jenis perangkap yang digunakan oleh nelayan untuk menangkap
kepiting bakau. Jenis perangkap yang biasa digunakan untuk menangkap kepiting
bakau antara lain pintor, rakang, wadong, bubu lipat bentuk balok, bubu lipat
bentuk tabung dan bubu lipat bentuk kubah. Dari keenam jenis perangkap tersebut,
bubu lipat bentuk balok, bentuk tabung dan bentuk kubah lebih baik digunakan
untuk menangkap kepiting bakau. Hal ini dikarenakan ketiga alat tersebut mudah
dioperasikan tanpa memerlukan keahlian dan kelihaian dari nelayan.
Kemudahan pengoperasian bubu lipat menyebabkan jenis bubu ini telah
banyak tersebar di beberapa wilayah Indonesia dengan organisme target
penangkapan adalah kepiting. Dalam perkembangannya, bubu lipat telah digunakan
di perairan Kalimantan untuk menangkap kepiting bakau (Tiku 2004) dan perairan
Povinsi Jawa Barat serta Jawa Tengah untuk menangkap rajungan dan kepiting
bakau (Fajar 2005; Mariana 2006; Kusuma 2006; Dini 2007; Lanti 2007; Deni
2007; Iskandar 2009). Akan tetapi, dari ketiga jenis bubu tersebut bubu lipat bentuk
balok relatif lebih banyak digunakan oleh nelayan untuk menangkap kepiting.
Penyebabnya adalah alat ini lebih mudah dibuat sehingga dapat diproduksi dalam
jumlah banyak. Nelayan juga sangat mudah membawa dan menyimpannya karena
alat ini dapat dilipat dan disusun dalam jumlah yang banyak di atas perahu
berukuran kecil. Dimensi bubu lipat bentuk balok ketika di lipat adalah

3
60  30  3 (cm3) dan 50  30  20 (cm3) ketika ditegakkan. Beratnya hanya sekitar
0,5-0,8 kg. Gambar 1 menunjukkan bubu lipat bentuk balok.

Sumber : Dokumentasi penelitian

Gambar 1 Bubu lipat bentuk balok
Bubu lipat bentuk balok diduga bukan alat tangkap asli Indonesia.
Kemungkinan nelayan Indonesia mengadopsinya dari nelayan asing. Hal ini
dibuktikan dengan adanya nama lain bubu tersebut dalam bahasa Jepang dan
Inggris. Menurut Archdale et al. (2006), nelayan Inggris menyebut bubu ini
sebagai box-shaped collapsible pot, sedangkan nelayan Jepang menyebutnya
sebagai Kagotoku shiroyama kenmousha ise yang digunakan untuk menangkap
kepiting Charybdis japonica dan Portunus pelagicus.
Proses adopsi bubu lipat bentuk balok kemungkinan dilakukan oleh nelayan
Indonesia secara apa adanya. Padahal banyak aspek dari bubu tersebut harus
disesuaikan dengan jenis organisme target yang akan ditangkapnya. Puspito (2009)
menginformasikan bahwa bubu tersebut memang memiliki keunggulan, namun
bubu ini juga masih memiliki kelemahan yang perlu disempurnakan dengan cara
menyesuaikan konstruksinya terhadap tingkah laku organisme target tangkapan.
Hal ini dimaksudkan untuk dapat menghasilkan bubu yang efektif, efisien dan
ramah lingkungan.
Bubu lipat bentuk balok sebenarnya dapat dibuat menjadi bubu yang efektif,
efisien dan ramah lingkungan untuk menangkap kepiting bakau melalui proses
rancang bangun. Hasil rancang bangunnya dikaji ulang sesuai dengan tingkah laku
kepiting bakau sebelum diaplikasikan kepada masyarakat. Purbayanto et al. (2010)
menginformasikan bahwa pengetahuan tingkah laku ikan termasuk tingkah laku
semua sumberdaya perikanan secara umum sebenarnya sejak lama telah
diaplikasikan dalam perikanan tangkap untuk meningkatkan efektivitas dan
efisiensi penangkapan. Pemahaman tingkah laku ikan tersebut dimulai dari yang
sederhana sampai dengan yang paling kompleks. Pengetahuan tingkah laku ikan
yang paling kompleks adalah dengan memadukan ilmu fisiologi ikan yang dewasa
ini mulai dikembangkan untuk menjawab kebutuhan akan pengembangan teknologi
penangkapan ikan ramah lingkungan. Selain itu, penggunaan setiap jenis teknologi
penangkapan ikan mulai dari yang sederhana hingga moderen akan memberikan
dampak negatif terhadap sumberdaya ikan dan lingkungan perairan. Besarnya
dampak yang ditimbulkan oleh alat tangkap secara umum sangat tergantung dari

4
4 faktor utama yang meliputi (1) daya tangkap (fishing power), (2) intensitas
penangkapan, (3) bahan atau material dari komponen alat tangkap, dan (4) lokasi
pengoperasian alat tangkap. Daya tangkap dari suatu alat tangkap ikan ditentukan
oleh dimensi, metode pengoperasian dan tingkat selektivitas dari alat tangkap
tersebut. Adapun intensitas penangkapan ditentukan oleh durasi atau frekuensi
operasi penangkapan ikan yang dilakukan di suatu perairan.
Rancang bangun bubu lipat juga perlu dievaluasi sebelum dioperasikan pada
suatu daerah penangkapan. Jordan dan Machescy (1990) menyatakan bahwa semua
kegiatan rancang bangun hingga implementasinya harus dievaluasi.
Implementasinya berupa proses eksekusi terhadap spesifikasi desain sebuah sistem.
Implementasinya perlu didukung oleh aktivitas konstruksi, pengujian, dan
instalasi. Sehubungan dengan rancang bangun bubu, pada tahap implementasi ini
akan diperoleh suatu bubu lipat kepiting bakau yang lebih efektif, efisien serta
ramah lingkungan. Setelah itu, tahap implementasi dilanjutkan dengan tahap
evaluasi. Pada tahap evaluasi, efektivitas, efisiensi dan keramahan bubu terhadap
lingkungan dikaji ulang. Keseluruhan tahapan tersebut merupakan kesatuan proses
rancang bangun yang dihubungkan dengan pola tingkah laku kepiting bakau.
Tanpa proses rancang bangun dan kajian secara ilmiah, bubu yang dihasilkan tidak
berhasil guna dan tidak berdaya guna.
Proses rancang bangun bubu juga perlu ditunjang oleh informasi respons
kepiting bakau terhadap bubu dan fisiologi penglihatan kepiting bakau. Pemahaman
tersebut merupakan pengetahuan awal untuk merancang bangun bubu karena dapat
memudahkan berbagai upaya modifikasi maupun temuan baru terhadap konstruksi
bubu dan alat bantu penangkapannya yang lain. Beberapa respons kepiting bakau
yang berkaitan dengan tingkah laku dan fisiologinya adalah respons makan
terhadap umpan, kemampuan penglihatan dan responsnya terhadap rancangan
konstruksi bubu.
Diantara respons kepiting bakau tersebut di atas, responsnya terhadap
umpan merupakan titik awal atau starting point untuk merancang bubu lipat. Hal
ini dikarenakan responsnya terhadap umpan akan mempengaruhinya untuk mudah
diarahkan pada berbagai rancangan bubu. Selain itu, responsnya terhadap umpan
juga akan berpengaruh langsung terhadap efektivitas dan efisiensi penangkapannya
dengan bubu. Jika responsnya mendekati umpan maka peluang untuk
menangkapnya semakin besar sedangkan apabila responsnya menjauhi umpan
maka peluang untuk menangkapnya akan semakin kecil.
Kegiatan penangkapan kepiting bakau biasanya menggunakan beragam jenis
dan kualitas umpan. Salah satu jenis umpan yang banyak digunakan dalam
penangkapan kepiting bakau adalah ikan. Jenis umpan ikan banyak digunakan
dalam penangkapan kepiting bakau karena umpan berupa ikan lebih banyak
tersedia, mudah diperoleh dan berharga relatif murah. Salah satu jenis ikan yang
sering dipakai sebagai umpan dalam penangkapan kepiting adalah ikan selar kuning
(Selaroides leptolepis). Penggunaan ikan selar sebagai umpan dilakukan secara apa
adanya tanpa memperhatikan kualitasnya. Umumnya ikan ini digunakan dalam
bentuk utuh atau dipotong. Alasan penggunaan ikan selar sebagai umpan karena
dagingnya lebih tahan lama jika terendam di dalam air.
Efektivitas penangkapan kepiting bakau dengan bubu dipengaruhi oleh
beberapa faktor. Martasuganda (2004) menginformasikan bahwa ada 5 faktor yang
mempengaruhi efektivitas bubu antara lain konstruksi, metode penangkapan,

5
umpan, musim penangkapan dan daerah penangkapan. Metode penangkapan
kepiting bakau yang umum adalah menjerat atau memerangkap dengan bubu.
Sementara itu, musim penangkapannya adalah setiap musim. Menurut Cholik dan
Hanafi (1992), kepiting bakau di Indonesia ditangkap sepanjang musim. Adapun
daerah penangkapannya adalah di daerah hutan bakau.
Efektivitas bubu dalam penangkapan kepiting bakau pada akhirnya
ditentukan oleh perbandingan hasil tangkapannya dengan hasil tangkapan alat
tangkap lain terutama bubu yang biasa digunakan oleh nelayan. Menurut Gibson
et al. (1990), efektivitas alat tangkap dapat ditentukan berdasarkan hasil
tangkapannya yang dibandingkan dengan alat tangkap lain kemudian dinyatakan
dalam persen. Sementara itu, Baskoro dan Effendy (2005) menambahkan bahwa
efektivitas alat tangkap adalah suatu kemampuan alat tangkap untuk
mendapatkan hasil tangkapan yang optimum sesuai dengan tujuan penangkapan.
Aspek lain yang perlu diperhatikan dalam kegiatan penangkapan kepiting
bakau adalah efisiensi. Efisiensi selalu mengacu kepada kelayakan hasil
tangkapan yang menguntungkan. Efisiensi juga memiliki hubungan yang erat
dengan selektivitas penangkapan dan keramahan alat tangkap terhadap lingkungan.
Efisiensi pada dasarnya akan menerapkan amanat Code of Conduct for
Responssible Fisheries (CCRF). Metode penangkapan yang efektif tanpa
memperhatikan efisiensi akan mengancam kelestarian sumberdaya kepiting bakau.
Penekanan pada pemahaman efisiensi sebenarnya bergantung pada kesadaran
pengguna alat tangkap untuk menangkap kepiting secara selektif. Aspek efisiensi
yang dikaji dalam penelitian ini adalah selektivitas penangkapan kepiting bakau
karena prinsip efisiensi penangkapan sejalan dengan prinsip selektivitas
penangkapan kepiting bakau.
Prinsip selektivitas penangkapan kepiting bakau adalah upaya menangkap
kepiting bakau dengan ukuran layak tangkap (kepiting dewasa) dan diupayakan
tidak menangkap kepiting bakau berukuran belum layak tangkap (kepiting muda).
Apabila prinsip selektivitas diterapkan dalam kegiatan penangkapan kepiting bakau
maka tidak terjadi lagi penangkapan kepiting bakau betina bertelur dan kepiting
bakau berukuran belum layak tangkap (kepiting muda). Gambar 2 menunjukkan
kepiting bakau betina muda yang dijumpai di pasar.

Sumber : Dokumentasi penelitian

Gambar 2 Kepiting bakau betina muda di pasar

6
Penelitian rancang bangun bubu lipat bermaksud untuk membuat bubu lipat
kepiting bakau yang efektif, efisien dan ramah lingkungan. Penelitian tersebut tidak
dilakukan secara coba-coba (trial and error) yaitu langsung mengaplikasikan alat
tangkap di lapangan, tetapi dilakukan secara bertahap. Tahapannya adalah mulamula dilakukan penelitian di laboratorium berupa pengujian respons makan
kepiting terhadap umpan, analisis kemampuan penglihatan kepiting bakau
kemudian dilanjutkan dengan perancangan dan pembuatan bubu lipat yang
disesuaikan dengan tingkah laku kepiting bakau. Selanjutnya, hasil penelitian di
laboratorium dijadikan acuan untuk melaksanakan penelitian di lapangan. Semua
tahapan penelitian ini pada akhirnya dapat menghasilkan bubu yang lebih efektif
dan efisien serta ramah lingkungan untuk menangkap kepiting bakau.

Perumusan Masalah
Penangkapan kepiting bakau di alam lebih banyak dilakukan oleh
masyarakat jika dibandingkan dengan kegiatan budidaya. Hal ini dikarenakan
teknologi penangkapan kepiting bakau relatif mudah dan sederhana, sehingga dapat
diadopsi dan dikuasai secara cepat. Selain itu, biaya operasinya juga relatif murah
dan dapat disesuaikan dengan kemampuan ekonomi masyarakat. Aktivitasnya
dapat dilakukan bersamaan dengan kegiatan penangkapan organisme perairan
lainnya. Alat tangkap yang digunakan dalam kegiatan tersebut juga dapat
dilepaskan atau ditinggalkan, sehingga masyarakat dapat melakukan aktivitas yang
lain.
Kegiatan penangkapan kepiting bakau biasanya menggunakan beberapa
macam alat tangkap. Salah satu alat tangkap kepiting yang populer dan banyak
digunakan dalam kegiatan tersebut adalah bubu lipat bentuk balok. Alat ini
bentuknya sederhana dan proses pembuatannya mudah. Bahan atau materialnya
mudah diperoleh di pasaran. Hal itu tidak berarti bahwa pembuatan dan
pengoperasiannya dapat dilakukan tanpa melalui suatu kajian.
Kemudahan pembuatan dan pengoperasian bubu lipat bentuk balok dalam
kegiatan penangkapan kepiting bakau sudah menimbulkan masalah bagi nelayan.
Masalahnya antara lain kerusakan jaring pada beberapa bagian bubu, umpan tetap
utuh dan akhirnya dibuang ke laut, dan kepiting muda ikut tertangkap namun
memiliki harga jual yang rendah bahkan ukuran kepiting yang terlampau kecil tidak
memiliki harga jual. Masalah tersebut sangat berpengaruh terhadap kelangsungan
usaha nelayan dan secara langsung berpengaruh juga terhadap kelestarian kepiting
bakau di alam. Pengaruh dari masalah tersebut terhadap nelayan dapat diuraikan
sebagai berikut: kerusakan jaring pada bagian bubu lipat tentunya memerlukan
perbaikan, sehingga nelayan harus menyediakan waktu dan biaya untuk
memperbaikinya. Jika jumlah bubu lipat yang mengalami kerusakan cukup banyak
maka waktu dan biaya yang harus disediakan oleh nelayan semakin banyak. Selain
kerusakan jaring bubu, umpan yang digunakan oleh nelayan juga belum efektif
untuk memikat kepiting. Umpan bekas pakai dan kurang disukai oleh kepiting tidak
dapat digunakan lagi dan harus diganti dengan umpan baru. Penggantian umpan
juga membutuhkan biaya. Sementara itu, adanya kepiting muda yang terperangkap
di dalam bubu menunjukkan bahwa bubu lipat belum selektif terhadap ukuran
kepiting. Padahal, penangkapan kepiting bakau muda yang berlangsung secara

7
terus menerus akan berdampak negatif terhadap kelestarian populasi kepiting bakau
karena dapat memutus kelangsungan reproduksi kepiting bakau di alam. Semua
masalah tersebut menunjukkan bahwa efektivitas, efisiensi dan tingkat keramahan
lingkungan bubu lipat bentuk balok yang selama ini digunakan oleh nelayan masih
rendah.
Rendahnya efektivitas, efisiensi dan tingkat keramahan lingkungan bubu
lipat bentuk balok kemungkinan disebabkan oleh proses adopsi di kalangan
nelayan yang dilakukan secara apa adanya atau coba-coba. Proses tersebut
umumnya tidak didukung oleh suatu kajian ilmiah dan rancang bangun yang
memadai, padahal kajian ilmiah dan rancang bangun yang memadai dapat
mendukung dan meningkatkan efektivitas, efisiensi dan tingkat keramahan
lingkungan suatu alat tangkap.
Hasil observasi menunjukkan bahwa bubu lipat bentuk balok memiliki
kelemahan pada umpan, bidang lintasan masuk, mulut masuk dan ketiadaan celah
pelolosan untuk meloloskan kepiting muda. Umpan yang biasa digunakan oleh
nelayan ternyata kurang disukai oleh kepiting bakau. Konstruksi mulut masuk bubu
yang rapat menyulitkan kepiting dewasa untuk masuk ke dalamnya dan
menyulitkan kepiting muda untuk keluar dari dalam bubu. Tidak adanya celah
pelolosan dari bubu lipat menyebabkan kepiting muda tidak dapat meloloskan diri
dari dalam bubu sehingga ikut tertangkap oleh nelayan. Perbaikan terhadap
kelemahan tersebut dapat meningkatkan efektivitas, efisiensi dan tingkat
keramahan lingkungan bubu lipat tersebut.
Sehubungan dengan uraian di atas maka perumusan masalah dalam
penelitian ini adalah (1) bagaimanakah pengaruh umpan terhadap hasil tangkapan
kepiting bakau dengan bubu lipat? (2) bagaimanakah pengaruh kemampuan
penglihatan kepiting bakau terhadap bubu lipat? (3) bagaimanakah konstruksi bubu
lipat bentuk balok yang sesuai untuk menangkap kepiting bakau? (4) bagaimanakah
selektivitas bubu lipat dalam menangkap kepiting bakau? (5) bagaimanakah tingkat
keramahan bubu lipat terhadap lingkungan?

Pendekatan Masalah
Rancang bangun bubu lipat dapat dilakukan dalam beberapa tahapan. Tahap
pertama adalah memilih jenis dan kualitas umpan yang lebih disukai oleh kepiting
bakau. Jenis dan kualitas umpan yang disukai oleh kepiting bakau akan
meningkatkan hasil tangkapan bubu. Selain itu, umpan dapat mengarahkan
kepiting melewati konstruksi bubu. Tahap selanjutnya adalah pemilihan bidang
lintasan masuk. Pemilihan bidang lintasan masuk meliputi pemilihan ukuran mata
jaring, dan sudut kemiringannya. Bidang lintasan masuk yang sesuai akan mudah
dirayapi oleh kepiting sehingga kepiting mudah masuk ke dalam bubu. Berikutnya
adalah penambahan jumlah bidang lintasan masuk untuk memudahkan akses
kepiting masuk ke dalam bubu. Selanjutnya adalah perancangan celah pelolosan
dan mulut masuk. Pembuatan celah pelolosan dan bentuk mulut masuk perlu
dilakukan agar bubu dapat meloloskan kepiting muda dan hanya menangkap
kepiting dewasa. Selain itu, rancang bangun bubu juga perlu didukung dengan
informasi mengenai analisis kemampuan penglihatan kepiting bakau. Dengan
dukungan penglihatannya, kepiting bakau dapat menemukan bubu dan melewati

8
bagian-bagian bubu hingga masuk ke dalam bubu. Setelah itu, bagian-bagian bubu
pilihan disatukan menjadi beberapa bentuk bubu. Selanjutnya, bubu hasil rancangan
digunakan dalam uji tangkap kepiting di laboratorium. Penentuan kestabilan bubu
di dalam air berdasarkan daya tenggelam bubu. Apabila bubu dapat tenggelam dan
berada dalam posisi stabil di dasar perairan maka akan memudahkan kepiting untuk
masuk ke dalamnya. Tahap terakhir adalah bubu hasil rancangan digunakan dalam
percobaan penangkapan di lapangan. Setelah itu, tingkat keramahan bubu terhadap
lingkungan dianalisis sebagai upaya untuk menjaga kelestarian kepiting bakau di
alam.

Tujuan Penelitian
Penelitian memiliki tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umumnya
adalah adalah merancang dan membuat bubu yang lebih efektif, efisien dan ramah
lingkungan untuk menangkap kepiting bakau. Adapun tujuan khususnya adalah :
1. Mendapatkan jenis dan kualitas umpan yang lebih disukai oleh kepiting bakau.
2. Menentukan ketajaman penglihatan dan arah penglihatan kepiting bakau.
3. Mendapatkan bentuk bubu lipat untuk menangkap kepiting bakau.
4. Menentukan tingkat efektivitas bubu lipat terhadap hasil tangkapan kepiting
bakau.
5. Menentukan probabilitas ketidaklolosan kepiting bakau dari bubu lipat.
6. Menentukan tingkat keramahan bubu lipat terhadap lingkungan.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki manfaat bagi pengelolaan dan pengembangan
perikanan, pemerintah, masyarakat dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Manfaatnya bagi pengelolaan dan pengembangan perikanan adalah informasinya
dapat mendukung kebijakan untuk menerapkan konsep kebijakan perikanan yang
bertanggung jawab dan berkelanjutan. Adapun manfaatnya bagi pemerintah yaitu
mendukung program pembangunan perikanan dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Manfaatnya bagi masyarakat adalah hasil penelitian ini dapat
diaplikasikan kepada nelayan untuk meningkatkan jumlah tangkapan kepiting
bakau secara efektif, efisien dan ramah lingkungan. Adapun manfaatnya bagi
pengembangan ilmu pengetahuan adalah penelitian ini dapat dijadikan acuan dan
pembanding bagi penelitian sejenis di masa sekarang maupun yang akan datang
untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang perikanan
tangkap.

Kebaruan Penelitian
Penelitian ini menghasilkan beberapa temuan antara lain:
1. Umpan yang disukai kepiting bakau dan pola pergerakan kepiting tersebut
terhadap umpan.
2. Kemampuan penglihatan kepiting bakau.

9
3. Bidang lintasan masuk dan mulut masuk yang selektif terhadap ukuran kepiting
bakau.
4. Bentuk bubu lipat yang efektivitas menangkap kepiting bakau.
5. Tingkat selektivitas bubu lipat untuk menangkap kepiting bakau.
6. Tipe bubu lipat yang efektif, efisien dan ramah lingkungan untuk menangkap
kepiting bakau.
Dengan demikian unsur kebaruannya adalah penelitian ini menghasilkan bubu yang
efektif, efisien dan ramah lingkungan untuk menangkap kepiting bakau.

Kerangka Penelitian
Penelitian memperhatikan tiga komponen pendukung utama yaitu ekosistem
mangrove (hutan bakau), sumberdaya kepiting bakau dan alat tangkap bubu lipat
bentuk balok. Hasil yang diharapkan dari penelitian dapat dicapai apabila tiga
komponen tersebut tersedia. Hutan bakau merupakan habitat kepiting bakau marga
Scylla. Status dan kondisinya sangat menentukan keberadaan organisme ini.
Sebagai suatu bentuk asosiasi, hubungan antara hutan bakau dan kepiting bakau tak
dapat dipisahkan dalam fungsi ekologis maupun ekonomis. Menurut Vay (2001),
populasi kepiting bakau sangat bergantung kepada hutan bakau. Kepiting bakau
juga diketahui sebagai organisme perairan bernilai ekonomis tinggi. Tookwinas et
al. (1992) juga menginformasikan bahwa kepiting bakau memiliki harga jual lebih
tinggi jika dibandingkan dengan kepiting rajungan. Menurut Cholik (1997),
organisme ini merupakan komoditas perikanan bernilai ekonomis penting yang
pemanfaatannya lebih banyak dilakukan melalui kegiatan penangkapan di alam.
Shelley (2008) juga menginf