Rancang bangun bubu lipat modifikasi dan penggunaan cacing tanah (Lumbricus rubellus) sebagai umpan alternatif untuk penangkapan spiny lobster

(1)

RA

DAN PE

ANCANG

ENGGUN

SEBAG

PEN

S

IN

G BANGU

NAAN CA

GAI UMP

NANGKA

ZU

SEKOLA

NSTITUT

UN BUBU

ACING T

PAN ALT

APAN SP

ULKARN

AH PASCA

PERTAN

BOGOR

2012

U LIPAT M

TANAH (L

TERNATI

PINY LOB

NAIN

ASARJA

NIAN BO

R

MODIFIK

Lumbricu

IF UNTU

BSTER

ANA

OGOR

KASI

us rubellus

UK


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Rancang Bangun Bubu Lipat Modifikasi dan Penggunaan Cacing Tanah (Lumbricus rubellus) Sebagai Umpan Alternatif Untuk Penangkapan Spiny Lobster adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian disertasi ini.

Bogor, Januari 2012

Zulkarnain NRP C561050021


(4)

(5)

ABSTRACT

ZULKARNAIN. Design and Construction of Collapsible Pot Modification and Use Earthworm (Lumbricus rubellus) as Bait Alternatives for Catching Spiny Lobster. Under supervision of MULYONO S. BASKORO, SULAEMAN MARTASUGANDA, and DANIEL R. MONINTJA.

In Indonesia, the use of special pots to catch lobsters has not been much done and undeveloped, so that the necessary effort to develop a lobster pot fishing gear through technological improvements or modifications of existing gear. There are organisms that originated from the mainland are expected to have economic potential as a natural alternative for lobster bait, ie earthworms (Lumbricus rubellus). The general objective of the research is to make improvements and reveal the effectiveness of pot construction and the use of alternative bait in the lobster resource utilization. The experiment was conducted in two stages carried out since the year 2008 to 2011. The first stage is a laboratory-scale research and the second stage is a field-scale research with the experimental fishing in the eastern coast of the Pelabuhanratu Bay waters of West Java. The result of this study show that catch of collapsible pot consisted of the main target and by-catch. The main target catches were composed by lobster, consisting of three species, namely scalloped spiny lobster (Panulirus homarus), painted rock lobster (Panulirus versicolor), and ornate rock lobster (Panulirus ornatus). On the other hand the by-catch which consisting of a group of crustaceans (sea swimming crabs), group molluscs (cuttlefish-Sepia sp.), groups of fish (grouper,

Epinephelus maculatus), and groups of crustaceans (shrimp, Squilla mantis). Fishing trials to measure the effectiveness of collapsible pot modifications and bait of sardines has been performed for 31 days of fishing trip. The use of collapsible pot experiments has a different effectiveness in acquiring lobster catches (Fvalueα = 5% = 9.44> Ftabel = 3.097 or p-value = 0.0002 <0.05). Trials to

measure the effectiveness of collapsible pot side doors modification and bait earthworms have been performed for 20 days fishing trip The statisticaly analysis show that two types of collapsible pot and two kind of baits in this research are significantly different (α = 5%). Furthermore analysis comparison about lobster catch between type of collapsible pot show that the standard of collapsible pot is better compared with modifications. While collapsible pot using earthworms better than the collapsible pot that uses sardine (standard of bait). The collapsible pot modification can reduce by-catch by 50% compared with the standard. Earthworms have a high protein content, also have good feedback resistance in sea water compared with bait sardines. Earthworms bait fat content decreased more rapidly with an average reduction of 65.48% ± 3.04 compared with sardines 41.51% ± 3.44.


(6)

(7)

RINGKASAN

ZULKARNAIN. Rancang Bangun Bubu Lipat Modifikasi dan Penggunaan Cacing Tanah (Lumbricus rubellus) Sebagai Umpan Alternatif Untuk Penangkapan Spiny Lobster. Dibimbing oleh MULYONO S. BASKORO, SULAEMAN MARTASUGANDA, dan DANIEL R. MONINTJA.

Penangkapan lobster, secara umum merupakan kegiatan perikanan tangkap skala kecil yang memiliki keterbatasan dalam upaya pemanfaatan sumberdaya perikanan, seperti keterbatasan dalam perolehan input teknologi (IPTEK), sehingga cenderung statis dalam penggunaan teknologi alat tangkap yang digunakan. Di sisi lain, metode penangkapan dari alat tangkap dan cara penangkapan lobster yang digunakan akan memiliki keunggulan dan kekurangan dalam perolehan hasil tangkapan lobster baik dalam jumlah, ukuran dan kualitasnya. Bubu adalah alat tangkap perangkap atau jebakan yang sifatnya pasif. Penggunaan bubu untuk penangkapan lobster sesungguhnya adalah memakai bubu yang umum digunakan untuk menangkap ikan-ikan karang. Bubu ini ukurannya bermacam-macam yang disesuaikan dengan kedalaman air. Bubu dapat dibedakan menjadi dua jenis berdasarkan letak mulut bubu. Jenis yang pertama dengan satu mulut bubu yang terletak pada bagian atas bubu, dan jenis kedua yaitu bubu dengan satu atau dua mulut bubu yang terletak di bagian samping bubu. Umpan merupakan salah satu faktor penting untuk menunjang keberhasilan suatu operasi penangkapan dan berfungsi sebagai perangsang yang memikat target penangkapan dan sangat berpengaruh untuk meningkatkan laju tangkap bubu. Di Indonesia, penggunaan bubu yang khusus untuk menangkap lobster belum banyak dilakukan dan belum berkembang, sehingga diperlukan upaya pengembangan alat tangkap bubu lobster melalui perbaikan teknologi atau modifikasi dari alat tangkap yang ada. Terdapat organisme yang berasal dari wilayah daratan yang diduga memiliki potensi ekonomis sebagai alternatif umpan alami bagi lobster, yaitu cacing tanah (Lumbricus rubellus).

Tujuan umum penelitian adalah untuk melakukan perbaikan teknologi bubu dan mengkaji efektivitasnya serta penggunaan jenis umpan alternatif dalam pemanfaatan sumber daya lobster. Sedangkan tujuan khusus penelitian ini adalah : (1) Mengkaji dan menciptakan bubu lobster sebagai upaya perbaikan teknologi dengan melakukan modifikasi terhadap desain dan konstruksi bubu standar; (2) Menentukan kandungan kimia umpan alami, baik umpan standar maupun umpan alternatif berdasarkan lama perendaman; (3) Mengkaji efektivitas penangkapan lobster dengan menggunakan bubu lobster hasil modifikasi dengan umpan standar; dan (4) Mengkaji efektivitas penangkapan lobster dengan menggunakan bubu lobster hasil modifikasi dengan umpan alternatif.

Penelitian dilaksanakan sejak tahun 2008 - 2011. Tahap pertama adalah penelitian skala laboratorium, yang terdiri dari kegiatan desk study terhadap studi desain dan konstruksi bubu lobster dan pemilihan jenis umpan alternatif. Kemudian dilanjutkan dengan kegiatan rancang bangun bubu lobster modifikasi. Terkait dengan umpan, juga dilakukan uji proksimat untuk kadar protein dan lemak kasar berdasarkan perbedaan lama perendaman di laut. Tahap kedua


(8)

adalah penelitian skala lapangan dengan melakukan uji coba penangkapan di perairan pesisir timur Teluk Pelabuhanratu, Jawa Barat.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode desk study, deskriptif dan uji coba penangkapan (experimental fishing). Data primer yang dikumpulkan adalah produksi tangkapan dengan satuan cacah individu (ekor) dan berat (gram) lobster sebagai Hasil Tangkapan Utama (HTU) dan Hasil Tangkapan Sampingan (HTS) lainnya sebagai by-catch, dan kandungan kimiawi (kadar protein dan lemak) umpan. Analisis data menggunakan Analisis sidik ragam Rancangan Acak Lengkap dan Rancangan Acak Kelompok. Bila faktor dan/ atau perlakuan berbeda nyata maka dilakukan uji lanjutan. Data hasil tangkapan tersebut diolah dengan menggunakan aplikasi Statistical Analysis System (SAS) versi 9.1.3 portable for Windows. Pengujian kandungan kimiawi umpan dilakukan dengan analisis proksimat (A.O.A.C.1980) khusus untuk analisis kadar protein dan kadar lemak kasar.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bubu lipat modifikasi memiliki spesifikasi yang berbeda dengan bubu lipat standar. Modifikasi bubu lipat pintu samping terletak pada ukuran bubu (pxlxt = 60 cm x 45 cm x 30 cm) yang lebih besar dibandingkan bubu lipat standar yang umumnya digunakan untuk menangkap rajungan (pxlxt = 50 cm x 30 cm x 20 cm), Slope net (sudut kemiringan pintu masuk bubu) atas dan bawah : 22,5°, Ukuran pintu masuk cukup lebar, yaitu 30 cm x 14 cm (panjang x tinggi), Terdapat pintu jebakan bentuk kisi-kisi bahan plastik yang berfungsi untuk memudahkan target masuk ke dalam bubu dan sulit untuk keluar, Sumbu lipatan bubu terletak 20 cm dari bagian depan bubu. Modifikasi bubu lipat pintu atas terletak pada ukuran bubu (pxlxt = 60 cm x 45 cm x 30 cm) lebih besar dibandingkan bubu lipat standar (pxlxt = 50 cm x 30 cm x 20 cm) dengan bagian atasnya menyempit, slope net

(sudut kemiringan pintu masuk bubu): 70°, ukuran pintu masuk cukup lebar, yaitu 30 cm x 14 cm (panjang x tinggi), terdapat pintu jebakan bentuk kisi-kisi bahan plastik yang berfungsi untuk memudahkan target masuk ke dalam bubu dan sulit untuk keluar, sumbu lipatan bubu terletak 15 cm dari bagian depan bubu. Cacing tanah yang akan dijadikan umpan alternatif adalah adalah

Lumbricus rubellus. Efektivitas bubu lipat modifikasi dan umpan cacing tanah ini perlu diuji lebih lanjut dalam pengujian skala lapangan (experimental fishing).

Uji coba penangkapan untuk mengukur efektivitas bubu lipat modifikasi dan umpan tembang telah dilakukan selama 31 hari trip penangkapan. Komposisi hasil tangkapan utama adalah lobster 42 ekor (35,0%) terdiri dari 3 spesies, yaitu Lobster hijau pasir (Panulirus homarus) 39 ekor (32,5%), Lobster hijau (Panulirus versicolor) 2 ekor (1,7%), dan Lobster mutiara (Panulirus ornatus) 1 ekor (0,8%). Hasil Tangkapan Sampingan atau by-catch dengan total 78 ekor (65,0%) yang terdiri dari kelompok krustasea (rajungan) 59 ekor (49,2%), kelompok moluska (sotong-Sepia sp.) 14 ekor (11,7%), kelompok ikan (kerapu tutul- Epinephelus maculatus dan sinreng- Canthigaster sp.) 5 ekor (4,2%).

Penggunaan bubu lipat penelitian, baik bubu lipat modifikasi pintu samping, bubu lipat modifikasi pintu atas maupun bubu lipat standar dengan umpan tembang (standar) memiliki efektivitas yang berbeda dalam memperoleh hasil tangkapan lobster (Fvalueα=5% = 9,44 > Ftabel = 3,097 atau p-value = 0.0002 <

0.05). Bubu lipat rajungan sebagai standar pengujian (0,8 ekor ± 0,03) lebih baik dalam memperoleh rata-rata tangkapan lobster dibandingkan dengan kedua bubu


(9)

lipat modifikasi, yaitu bubu lipat modifikasi pintu samping (0,5 ekor ± 0,02) dan bubu lipat modifikasi pintu atas (0,1 ekor ± 0,01). Bubu lipat modifikasi pintu samping (0,5 ekor ± 0,02) lebih baik dibandingkan dengan bubu lipat modifikasi pintu atas (0,1 ekor ± 0,01) terhadap rata-rata hasil tangkapan lobster. Efektivitas bubu lipat standar (6,7%) lebih besar dibandingkan dengan bubu lipat modifikasi pintu samping (3,8%) dan bubu lipat modifikasi pintu atas (0,8%). Sementara, nilai efektivitas bubu lipat modifikasi pintu samping (3,8%) lebih besar dibandingkan dengan bubu lipat modifikasi pintu atas (0,8%). Bubu lipat modifikasi, baik modifikasi pintu atas (0,6 ekor ± 0,05) maupun pintu samping (0,7 ekor ± 0,02) menangkap rata-rata hasil tangkapan sampingan (by-catch) lebih sedikit dibandingkan dengan bubu lipat standar (1,5 ekor ± 0,04).

Uji coba penangkapan untuk mengukur efektivitas bubu lipat modifikasi pintu samping dan umpan cacing tanah telah dilakukan selama 20 hari trip penangkapan. Komposisi hasil tangkapan utama adalah lobster 31 ekor (33,7%), terdiri dari 3 spesies, yaitu lobster hijau pasir (Panulirus homarus) 29 ekor (31,5%), lobster hijau (Panulirus versicolor) 1 ekor (1,1%), dan lobster mutiara (Panulirus ornatus) 1 ekor (1,1%). Hasil tangkapan sampingan (HTS) atau by-catch dengan total 61 ekor (66,3%) yang terdiri dari kelompok krustasea (rajungan) 33 ekor (35,9%), kelompok moluska (sotong-Sepia sp.) 22 ekor (23,9%), kelompok ikan (kerapu tutul-Epinephelus maculatus) 5 ekor (5,4%), dan kelompok krustasea (udang ronggeng- Squilla mantis) 1 ekor (1,1%).

Faktor bubu lipat, baik bubu lipat modifikasi pintu samping maupun bubu lipat standar berbeda nyata pada taraf α = 5%. Dalam hal ini bubu yang paling baik digunakan adalah tetap bubu lipat rajungan sebagai standar pengujian (Mean = 0,96025) dibandingkan dengan bubu lipat modifikasi pintu samping (Mean = 0,82358). Efektivitas bubu lipat standar (9,2%) lebih besar dibandingkan dengan bubu lipat modifikasi pintu samping (3,8%). Namun demikian, bubu lipat modifikasi pintu samping dapat mereduksi by-catch hingga 50% dibandingkan penggunaan bubu lipat rajungan (standar).

Perlakuan umpan, baik umpan cacing tanah maupun tembang berbeda nyata pada taraf α = 5%. Dalam hal ini umpan yang paling baik digunakan adalah cacing tanah (Mean = 0.96429) dibandingkan dengan umpan tembang (Mean = 0.81954). Efektivitas bubu lipat yang menggunakan umpan cacing tanah (9,2%) lebih besar dibandingkan dengan yang menggunakan umpan tembang (3,8%). Bubu yang menggunakan umpan cacing tanah dapat mereduksi by-catch

hingga 36,8% dibandingkan dengan bubu lipat yang menggunakan umpan tembang.

Umpan cacing tanah mengalami penurunan kadar protein yang cukup lambat dengan rata-rata penurunan 9,76% ± 0,40 dibandingkan dengan umpan tembang 34,90% ± 3,40. Dengan demikian, selain cacing tanah memiliki kandungan protein yang tinggi, juga memiliki ketahanan umpan yang cukup tinggi dibandingkan dengan umpan tembang. Umpan cacing tanah mengalami penurunan kadar lemak yang lebih cepat dengan rata-rata penurunan 65,48% ± 3,04 dibandingkan dengan umpan tembang 41,51% ± 3,44.


(10)

(11)

©

Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor (IPB), Tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(12)

(13)

RANCANG BANGUN BUBU LIPAT MODIFIKASI

DAN PENGGUNAAN CACING TANAH (Lumbricus rubellus)

SEBAGAI UMPAN ALTERNATIF UNTUK

PENANGKAPAN SPINY LOBSTER

ZULKARNAIN

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2012


(14)

Penguji Luar Komisi Pembimbing:

Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. M. Imron, M.Si

Dr. Ir. Diniah, M.Si

Penguji pada Ujian Terbuka: Prof. Dr. Ir. Bambang Murdiyanto, M.Sc

Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB

Dr. Suharyanto, M.Si

Direktur Sekolah Pascasarjana Sekolah Tinggi Perikanan (STP) Jakarta


(15)

Judul Disertasi : Rancang Bangun Bubu Lipat Modifikasi dan Penggunaan Cacing Tanah (Lumbricus rubellus) Sebagai Umpan Alternatif Untuk Penangkapan Spiny Lobster.

Nama : Zulkarnain

NIM : C561050021

Program Studi : Teknologi Kelautan

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc. Ketua

Dr. Sulaeman Martasuganda, M.Sc Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja

Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Kelautan

Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr


(16)

(17)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah Rancang Bangun Bubu Lipat Modifikasi dan Penggunaan Cacing Tanah (Lumbricus rubellus) Sebagai Umpan Alternatif Untuk Penangkapan Spiny Lobster.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing; Bapak Dr. Sulaeman Martasuganda, M.Sc, dan Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan saran, arahan, bimbingan, dan ilmu. Bahkan lebih jauh, penulis diberikan motivasi dan rasa percaya diri untuk segera menyelesaikan studi. Demikian juga kepada Prof. Takafumi Arimoto yang telah membimbing selama exchange student di Tokyo University of Marine Science and Technology, beserta teman sejawat di Laboratorium TPI dan Departemen PSP. Doa saya kepada Allah Yang Maha Kuasa untuk selalu memberikan limpahan rahmat dan karunia kepada Bapak semua.

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Mukhlish, Diki, Awang, yang telah membantu dalam pengumpulan dan pengolahan data serta semua pihak yang telah memberikan kontribusi dalam penyelesaian disertasi ini. Penghargaan dan terima kasih tidak terhingga penulis sampaikan kepada istri Renny Juniarti S.Pi dan anakku Hafizh Reza Prasetya, Ir. Djuli Kuncoro, Muhammad Iwan S.E., Siti Sundari atas segala doa, kesabaran, dorongan dan pengertian yang diberikan secara tulus ikhlas selama penulis menempuh pendidikan.

Kepada semua pihak yang tidak penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu langsung atau tidak langsung, semoga Allah SWT membalas kebaikan tersebut dengan rahmat dan pahala berlipat ganda. Terakhir penulis berharap semoga karya ini bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya, Amin.

Bogor, Januari 2012


(18)

(19)

Pe Perikanan dosen di dan Ilmu Program S penulis m Pascasarja Exchange Marine Sc Ka bulan Juli Pengemba XIX, No. Pengguna

Lobster (P

Barat. sebagai Supina dan dik endidikan n, Fakultas Departeme Kelautan-IP Studi Tekno melanjutkan

ana IPB. Pa

e Student pr

cience and T

arya berkait i tahun 201 angan Desa 3 Desembe aan Umpan

Panulirus s

R

Penulis di i anak keti ah (almh). M

karuniai ana sarjana dit Perikanan, en Pemanfa PB sejak tah ologi Kelau

studi S3 p ada bulan A rogram satu

Technology

tan dengan 11 di Buleti ain Bubu Lo

er 2011, den Cacing Tan spp.) di Pe

RIWAYAT

lahirkan di iga dari Ba Menikah pa ak Hafizh R

tempuh di IPB, lulus atan Sumbe hun 1992. P utan, Progra

ada Program April 2007 p u tahun hing

y.

disertasi, a in PSP Vol obster yang ngan judul E nah (Lumbri

erairan Pesi

HIDUP

i Jakarta, p apak Muham

ada tahun 1 Reza Prasety Jurusan tahun 1988 erdaya Peri Pada tahun am Pascasarj m Studi Te penulis terpi gga April 20

adalah publi lume XIX, g Efektif, d

Efektivitas icus rubellu isir Timur pada tangga mmad Sueb 998 dengan ya. Pemanfaata 8. Penulis ikanan, Fak 2002 penul rjana IPB. P eknologi Ke ilih dan ikut 008 di Tok

ikasi yang t No.2: 45-5 dan di Bulet Bubu Lipat

us) pada pen Teluk Pela

al 19 Mei b (alm) dan n Renny Ju

an Sumber bekerja seb kultas Perik

lis lulus S2 Pada tahun elautan, Sek

t dalam pro kyo Univers

telah diterb 57, dengan j

tin PSP Vo t Modifikas nangkapan S

abuhanratu 1963 n Ibu niarti rdaya bagai kanan pada 2005 kolah ogram ity of bitkan judul olume si dan Spiny Jawa


(20)

(21)

DAFTAR ISTILAH

Umpan alami (natural bait) Umpan yang berasal dari bahan alami yang digunakan untuk memikat ikan sehingga mendekati umpan tersebut

Bubu (pot) Alat penangkap ikan yang termasuk

dalam klasifikasi perangkap dengan desain khusus untuk menangkap ikan dan krustasea

Bubu lipat (collapsible pot) Alat penangkap ikan yang termasuk dalam klasifikasi perangkap dengan desain khusus untuk menangkap ikan dan krustasea, dimana alat tangkap tersebut dapat dilipat menjadi posisi datar karena memiliki sumbu lipatan Efektivitas (effectivity) Tingkat pencapaian hasil terhadap

suatu tujuan Daerah penangkapan ikan

(fishing ground)

Daerah yang menjadi tujuan operasi penangkapan ikan

Tempat berlindung (shelter) Suatu tempat atau bentuk bangunan yang dapat dijadikan tempat untuk berlindung dari predator bagi ikan dan krustasea.

Tempat bersembunyi (hiding place) Suatu tempat atau bentuk bangunan yang dapat dijadikan tempat untuk bersembunyi dari predator bagi ikan dan krustasea.

Unit penangkapan (fishing unit) Unit penangkapan ikan yang terdiri atas nelayan, kapal dan alat tangkap Penebaran (setting) Pemasangan alat tangkap di daerah

penangkapan

Pengangkatan (hauling) Proses pengangkatan alat tangkap ke atas kapal dalam operasi penangkapan Perangkap (trap) Alat penangkapan ikan yang prinsip

kerjanya menjebak ikan untuk masuk ke dalam alat dengan pikatan tertentu


(22)

Modifikasi (modification) Perubahan secara fisik terhadap spesifikasi suatu benda tertentu

Cacing tanah (earthworm) Hewan darat dari Kelas Oligochaeta, Famili Lumbricidae dan spesies

Lumbricus rubellus yang hidup di tanah yang terlindung dari sinar matahari, lembab, gembur, dan mengandung banyak serasah. Habitat ini sangat spesifik bagi cacing tanah untuk tumbuh dan berkembang biak dengan baik. Tubuh selalu menghasilkan banyak lendir

Hasil tangkapan sampingan (by-catch) Hasil tangkapan dari suatu alat tangkap yang bukan target tangkapan

Nocturnal Sifat dan tingkah laku ikan yang aktif pada waktu malam hari

Umpan (bait) Bahan fisik maupun kimia yang dapat

memberikan rangsangan ikan tertentu dalam tujuan penangkapan

Teknologi tepat guna Teknologi yang sesuai dan dibutuhkan oleh masyarakat


(23)

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ... xxi DAFTAR GAMBAR ... xxiii DAFTAR LAMPIRAN ... xxvii

1 PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Perumusan Masalah ... 3 1.3 Tujuan Penelitian ... 6 1.3.1 Tujuan umum ... 6 1.3.2 Tujuan khusus ... 6 1.4 Manfaat Penelitian ... 6 1.5 Hipotesis ... 6 1.6 Kerangka Pemikiran ... 7 1.7 Novelty ... 9

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 11 2.1 Perbaikan Teknologi ... 11 2.2 Bubu ... 12 2.3 Makanan Alami Lobster ... 15 2.4 Mekanisme Makan ... 17 2.5 Bahan Rangsangan Umpan bersifat Kimiawi ... 17 2.6 Indera Penciuman ... 19 2.7 Pelepasan Bahan Kimiawi Umpan ... 21 2.8 Simulasi Makan dan Pikatan Kimiawi ... 25

2.9 Taksonomi, Morfologi, Habitat dan Penyebaran Lobster ….. 28

2.10 Tingkah Laku Lobster ……….. 37

3 METODOLOGI PENELITIAN ... 39 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 39 3.1.1 Penelitian skala laboratorium... 39 3.1.2 Penelitian skala lapangan ... 40 3.2 Alat dan Bahan Penelitian ... 41 3.2.1 Penelitian skala laboratorium... 41 3.2.2 Penelitian skala lapangan ... 41 3.3 Kerangka Penelitian ... 44 3.4 Metodologi Penelitian ... 44 3.4.1 Pengumpulan data ... 46 3.4.1.1 Penelitian skala laboratorium ... 46 3.4.1.2 Penelitian skala lapangan ... 47 3.4.2 Kegiatan operasi penangkapan ... 49 3.4.3 Analisis data ... 52 3.4.3.1 Penelitian skala laboratorium ... 52 3.4.3.2 Penelitian skala lapangan ... 53


(24)

Halaman

4 HASIL PENELITIAN ... 55 4.1 Desain dan Konstruksi Bubu Lobster ... 55 4.1.1 Perkembangan penangkapan lobster ... 55 4.1.2 Perkembangan desain bubu lobster ... 57 4.1.3 Analisis penentuan desain bubu lobster ... 63 4.1.4 Desain bubu lobster yang efektif ... 64 4.1.5 Rancang bangun bubu lipat modifikasi dan standar ... 72 4.2 Pemilihan umpan alternatif ... 74 4.3 Efektivitas Bubu Lipat Dengan Umpan Ikan Tembang

(Standar) ... 78 4.3.1 Komposisi hasil tangkapan (total) ... 78 4.3.2 Efektivitas bubu lipat penelitian ... 83 4.4 Efektivitas Bubu Lipat Modifikasi Pintu Samping dan

Umpan Cacing Tanah ... 87 4.4.1 Komposisi hasil tangkapan (total) ... 87 4.4.2 Perbedaan efektivitas bubu lipat ... 92 4.4.3 Perbedaan efektivitas umpan ... 95 4.5 Perubahan Kadar Protein dan Lemak Umpan ... 98

5 PEMBAHASAN ... 103 5.1 Bubu Lipat ... 103

5.2 Bubu Lipat dan Umpan Standar ... 104 5.3 Bubu Lipat Modifikasi dan Umpan Cacing Tanah ... 107 5.4 Umpan Alternatif ... 112

6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 115 6.1 Kesimpulan ... 115 6.2 Saran ... 116

DAFTAR PUSTAKA ... 117


(25)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Deskripsi dan respons tingkah laku krustasea terhadap

rangsangan kimiawi ... 26 2 Alat dan bahan penelitian ... 42 3 Alat dan bahan utama penelitian ... 42 4 Alat dan bahan utama penelitian ... 43 5 Spesifikasi alat tangkap bubu lipat penelitian ... 48 6 Spesifikasi alat tangkap bubu lipat penelitian ... 48 7 Spesifikasi bubu lipat modifikasi pintu samping ... 68 8 Spesifikasi bubu lipat modifikasi pintu atas ... 70 9 Profil asam amino (g/100g protein) cacing tanah (Lumbricus

rubellus) ... 76

10 Komposisi hasil tangkapan total ukuran jumlah (ekor) dan

ukuran berat (gram) ... 79

11 Komposisi hasil tangkapan lobster berdasarkan jenis bubu lipat 83

12 Analisis sidik ragam model terhadap total hasil tangkapan

lobster ... 85 13 Nilai efektivitas bubu lipat ... 86

14 Komposisi hasil tangkapan total jumlah (ekor) dan berat

(gram) ... 88 15 Analisis sidik ragam perlakuan terhadap total hasil tangkapan

lobster ... 91 16 Analisis sidik ragam masing-masing faktor terhadap total hasil

tangkapan lobster ... 91 17 Komposisi hasil tangkapan berdasarkan jenis bubu lipat ... 92 18 Uji Duncan untuk faktor bubu lipat terhadap hasil tangkapan

lobster ... 92 19 Nilai efektivitas bubu lipat ... 94 20 Komposisi hasil tangkapan berdasarkan jenis umpan ... 95

21 Uji Duncan untuk faktor umpan terhadap hasil tangkapan

lobster ... 96 22 Nilai efektivitas umpan ... 97


(26)

(27)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Kerangka pemikiran... 9 2 Organ penciuman dan sensilla dari spiny lobster ... 22

3 Tingkat pelepasan asam amino dari umpan buatan yang berisi

2 g campuran bahan kimia dalam 100 g bahan pengemulsi

dibandingkan dengan umpan alami ... 24 4 Bagian-bagian tubuh lobster ... 29 5 Penyebaran geografis lobster hijau pasir (Panulirus homarus

Linnaeus 1758) ... 31

6 Penyebaran geografis lobster bunga (Panulirus longipes

Milne Edwards 1868) ……… 32

7 Penyebaran geografis lobster mutiara (Panulirus ornatus

Fabricius 1798) ………. 33

8 Penyebaran geografis lobster batu (Panulirus penicillatus

Olivier 1791 ………. 34

9 Penyebaran geografis lobster bambu coklat (Panulirus

polyphagus Herbst 1793) ………. 35

10 Penyebaran geografis lobster hijau (Panulirus versicolor

Latreille 1804) ……….. 36

11 Lokasi penelitian di Pelabuhanratu Jawa Barat ……….. 40

12 Kerangka Penelitian ... 45 13 Perendaman umpan untuk sampel uji proksimat (Kadar protein

dan lemak kasar) ... 47 14 Alat tangkap bubu lipat penelitian sistem longline ... 49 15 Perahu penelitian ... 50 16 Pemasangan umpan cacing ... 50 17 Pemasangan umpan ... 50 18 Setting alat tangkap ... 50 19 Hauling alat tangkap ... 51 20 Hasil tangkapan lobster ... 51 21 Hasil tangkapan rajungan ... 51 22 Hoop net atau perangkap krendet untuk menangkap lobster


(28)

Halaman

23 Bubu lobster dengan desain dan penggunaan bahan yang

berbeda : (a) Bahan bambu; (b) Bahan serat pelepah daun kelapa; (c) Bahan kayu; (d) Bingkai baja ringan dan jaring

polyethilene; (e) Bentuk mata jaring dari kawat baja yang

dilas; dan (f) Bahan kawat ayam ... 59 24 Bubu lipat (collapsible pot) untuk menangkap rajungan bentuk

kotak dengan ukuran PxLxT = 55 x 35 x 20 cm ... 60 25 Ilustrasi penggunaan trigger pada mulut bubu kepiting ... 62 26 Ilustrasi penggunaan trigger pada mulut bubu kepiting ... 62 27 Desain bubu lipat rajungan sebagai bubu lipat standar untuk

acuan modifikasi ... 65 28 Tahapan pembuatan desain bubu lipat modifikasi pintu

samping ... 66 29 Tahapan pembuatan desain bentuk pintu jebakan bentuk

kisi-kisi pada mulut bubu lipat modifikasi pintu samping ... 67

30 Desain bubu lipat modifikasi pintu samping (MPS) dengan

pintu jebakan yang berbentuk kisi-kisi ... 69 31 Desain bubu lipat modifikasi pintu atas (MPA) dengan pintu

jebakan yang berbentuk kisi-kisi ... 71 32 Proses rancang bangun bubu lipat modifikasi dan bubu lipat

standar ... 72 33 Bubu lipat modifikasi pintu samping ... 73 34 Bubu lipat modifikasi pintu atas ... 73 35 Bubu lipat standar (bubu lipat rajungan) ... 74 36 Cacing tanah (Lumbricus rubellus) ... 77 37 Bagian-bagian tubuh cacing tanah (Lumbricus rubellus) ... 77 38 Komposisi hasil tangkapan total dalam jumlah (ekor) ... 80 39 Komposisi hasil tangkapan total dalam berat (gram) ... 80 40 Komposisi hasil tangkapan lobster dan by-catch dalam jumlah

(ekor) ... 81 41 Komposisi hasil tangkapan lobster dan by-catch dalam berat

(gram) ... 81 42 Rata-rata jumlah (ekor) hasil tangkapan per trip antara lobster

dengan by-catch ... 82

43 Komposisi panjang karapas (mm) lobster hasil tangkapan ... 82


(29)

Halaman

45 Komposisi hasil tangkapan lobster berdasarkan jenis bubu lipat 84

46 Rata-rata jumlah (ekor) lobster yang tertangkap per trip ± SE

antara bubu lipat Standar, MPS dengan bubu lipat MPA ... 85

47 Rata-rata jumlah (ekor) by-catch yang tertangkap per trip ± SE

antara bubu lipat Standar, MPS dengan bubu lipat MPA ... 85 48 Komposisi hasil tangkapan total dalam jumlah (ekor) ... 88 49 Komposisi hasil tangkapan total dalam berat (gram) ... 89 50 Komposisi hasil tangkapan total dalam jumlah (ekor) ... 89 51 Rata-rata hasil tangkapan (ekor) per trip ± SE antara lobster

dengan by-catch ... 89 52 Komposisi selang kelas panjang karapas (mm) lobster hasil

tangkapan ... 90

53 Lobster hijau pasir dengan telur yang melekat pada pleopod .... 90

54 Komposisi selang kelas berat (gram) lobster hasil tangkapan .. 91

55 Rata-rata hasil tangkapan lobster (ekor) per trip ± SE

berdasarkan penggunaan bubu lipat Modifikasi Pintu Samping

(MPS) dengan bubu lipat Standar (S) ... 93 56 Rata-rata hasil tangkapan by-catch (ekor) per trip ± SE

berdasarkan penggunaan bubu lipat Modifikasi Pintu Samping

(MPS) dengan bubu lipat Standar (S) ... 94 57 Rata-rata hasil tangkapan lobster (ekor) per trip ± SE

berdasarkan penggunaan bubu lipat dengan umpan cacing

tanah dan umpan tembang (S) ... 96 58 Rata-rata hasil tangkapan by-catch (ekor) per trip ± SE

berdasarkan penggunaan bubu lipat dengan umpan cacing

tanah dan umpan tembang (S) ... 97 59 Perubahan kadar protein umpan cacing tanah dan tembang

berdasarkan lama perendaman ... 98 60 Rata-rata perubahan kadar protein (% ± SE) umpan cacing

tanah dan tembang berdasarkan lama perendaman ... 99

61 Perubahan kadar lemak umpan cacing tanah dan tembang

berdasarkan lama perendaman ... 100 62 Rata-rata perubahan kadar lemak (% ± SE) umpan cacing


(30)

(31)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Data respon hasil tangkapan 3 jenis bubu lipat dengan umpan

tembang ………... 127

2 Data respon hasil tangkapan 2 jenis bubu lipat dengan umpan cacing

tanah dan umpan tembang ... 158 3 Respon data hasil tangkapan lobster jenis bubu lipat dengan

umpan tembang ... 178 4 Data syntax 3 jenis bubu lipat dengan umpan tembang ... 179

5 Analisis ANOVA dengan aplikasi SAS untuk 3 jenis bubu

lipat dengan umpan tembang ... 182 6 Respon data hasil tangkapan lobster jenis bubu lipat modifikasi

pintu samping (MPS) dan standar (S) dengan jenis umpan

cacing tanah dan tembang (standar) ... 183 7 Data syntax 2 jenis bubu lipat dengan umpan cacing tanah dan

umpan tembang ... 185

8 Hasil analisis ANOVA dengan aplikasi SAS untuk 2 jenis

bubu lipat dengan umpan cacing tanah dan umpan tembang …. 187

9 Respon data hasil tangkapan lobster berdasarkan jenis bubu lipat

modifikasi pintu samping (MPS) dan standar (S) ……….. 188

10 Respon data hasil tangkapan lobster berdasarkan jenis umpan cacing

tanah dan tembang (standar) ……….. 189

11 Kondisi umpan sebelum dan sesudah perendaman ... 190 12 Hasil tangkapan bubu lipat penelitian ... 192


(32)

(33)

1

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sumber daya perikanan laut Indonesia yang berada di wilayah tropis memiliki keanekaragaman hayati laut (biodiversity) tertinggi di dunia. wilayah perairan pantai dengan keanekaragaman ekosistem dan variabilitas organisme lautnya merupakan sumber daya perikanan yang penting bagi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia. Keanekaragaman hayati laut tersebut diantaranya adalah jenis-jenis ikan karang konsumsi (kakap, kerapu, baronang, kuwe), ikan karang hias, spiny lobster (udang karang), rajungan (blue swimming crab), kepiting bakau (mud crab), ikan layur dan berbagai jenis ikan pelagis lainnya yang bermigrasi ke perairan pantai.

Upaya pemanfaatan sumber daya ikan dilakukan dengan menggunakan berbagai tingkatan teknologi, baik teknologi tingkat tinggi (moderen), tingkat madya dan tradisional. Pemanfaatan sumber daya ikan yang dilakukan masyarakat nelayan kebanyakan dilakukan di perairan pantai dan didominasi oleh kegiatan perikanan tangkap skala kecil yang sangat besar dalam jumlah unit penangkapan dan jumlah nelayan. Pada umumnya, kegiatan perikanan tangkap skala kecil memiliki keterbatasan dalam upaya pemanfaatan sumberdaya perikanan. Keterbatasan yang dapat dikategorikan sebagai permasalahan utama selain aspek modal, adalah keterbatasan input teknologi (IPTEK).

Kegiatan Perikanan tangkap skala kecil cenderung statis dalam upaya pengembangan teknologi yang digunakan. Kondisi ini akan mempengaruhi produktivitas usaha yang dijalankan, seperti menurunnya hasil tangkapan per upaya penangkapan, kualitas hasil tangkapan dan nilai jual yang rendah, sehingga secara keseluruhan dapat mengurangi keragaan usaha yang dilakukannya. Pemilihan input teknologi penangkapan akan disesuaikan dengan target tangkapan. Target ikan hasil tangkapan yang seharusnya dipilih adalah jenis ikan unggulan dengan tujuan memperoleh nilai jual yang tinggi dengan kualitas yang diinginkan oleh pasar, baik dalam keadaan hidup maupun segar.

Lobster merupakan komoditas perikanan unggulan yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi dalam perdagangan produk perikanan tingkat lokal maupun


(34)

2

internasional. Kondisi lobster yang memberikan nilai jual tinggi adalah lobster dalam keadaan hidup dan lengkap bagian-bagian tubuhnya, yaitu belum ada bagian dari tubuhnya yang putus atau hilang. Perikanan lobster di setiap wilayah perairan pantai di Indonesia dengan habitat yang sesuai merupakan salah satu kegiatan industri perikanan tangkap yang berbasis masyarakat yang memiliki keunggulan komperatif karena potensi sumber daya lokal yang cukup besar, permintaan pasar dan harga yang tinggi.

Operasi penangkapan lobster dilakukan di perairan pantai dengan

teknologi dan cara penangkapan yang bervariasi. Penangkapan lobster yang dilakukan oleh nelayan termasuk dalam kegiatan perikanan tangkap skala kecil. Jenis alat tangkap yang kebanyakan digunakan adalah perangkap jaring yang disebut dengan jaring gilnet dasar monofilamen (sirang), perangkap krendet

(jodang) dan perangkap bubu (pot) yang belum berkembang secara luas di

Indonesia. Alat tangkap tersebut menggunakan berbagai jenis umpan sebagai

bahan atraktor untuk keberhasilan memperoleh hasil tangkapan lobster.

Sedangkan cara penangkapan lobster adalah penangkapan yang dilakukan dengan penyelaman dengan alat kompresor udara dan atau/ pembiusan yang secara umum menggunakan potassium dan /atau akar tumbuh-tumbuhan (akar bore).

Alat tangkap perangkap yang digunakan untuk menangkap lobster bersifat

pasif dan proses tertangkapnya lobster akan mempengaruhi kualitas hasil

tangkapannya. Kondisi lobsteryang tertangkap dengan perangkap jaring gillnet

dasar monofilamen dan perangkap krendet adalah terperangkap dan terbelit oleh jaring. Selama proses terperangkap, lobsterakan berusaha untuk melepaskan diri dan hal ini dapat menyebabkan kondisi lobster tidak lengkap karena dapat saja terjadi bahwa ada bagian dari anggota tubuhnya yang terputus atau kondisi lobster sudah tidak utuh lagi. Alat tangkap tersebut tidak memiliki fungsi pelindung bagi lobster saat terperangkap pada alat tangkap terhadap predator yang memangsanya. Sebaliknya, alat tangkap bubu memberikan kondisi lobster yang tertangkap dengan kualitas yang prima, karena lobster terperangkap dalam bubu yang memiliki ruang untuk lobster dapat bergerak dengan leluasa, lobster tidak terbelit jaring dan bubu memiliki fungsi pelindung bagi lobster yang tertangkap dari serangan predator. Sementara itu, cara penangkapan lobster


(35)

3

dengan penyelaman, baik yang menggunakan alat kompresor udara maupun bahan pembiusan selain akan merusak habitat juga beresiko tinggi terhadap keselamatan nelayan sebagai operator dalam kegiatan penangkapan.

Secara umum, kondisi suatu perairan dengan potensi lobster di perairan tersebut dan tingkat upaya penangkapan di daerah penangkapan (fishing ground) akan mempengaruhi besarnya perolehan hasil tangkapan lobster oleh nelayan, baik dalam jumlah maupun ukuran. Demikian juga dengan metode penangkapan dari alat tangkap dan cara penangkapan lobster yang digunakan akan memiliki keunggulan dan kekurangan dalam perolehan hasil tangkapan lobsterbaik dalam jumlah, ukuran dan kualitasnya. Dengan demikian, jumlah, ukuran dan kualitas lobster yang tertangkap akan dipengaruhi oleh kondisi perairan, potensi lobster, tingkat upaya penangkapan di fishing ground, desain dan konstruksi alat tangkap, dan penggunaan jenis umpan.

Beberapa penelitian yang terkait dengan perikanan bubu, target hasil tangkapan lobster dan penggunaan umpan telah dilakukan, seperti Fielder (1965),

Shelton (1981), Monintja dan Budihardjo (1982), Meenakumari and Rajan

(1985), Miller (1990), Groneveld (2000), Eno et al. (2001), Salthaug (2002), Brouck et al. (2006), dan Archdale et al. (2007).

Dengan keterbatasan input teknologi (IPTEK) dalam kegiatan perikanan tangkap skala kecil dan hal itu juga terjadi dalam perikanan lobster serta belum berkembangnya penggunaan bubu yang khusus untuk menangkap lobster, maka diperlukan penelitian tentang rancang bangun bubu lipat modifikasi dan penggunaan umpan alternatif untuk penangkapan lobster, sehingga dapat memberikan informasi penting dalam pengembangan teknologi penangkapan lobster.

1.2 Perumusan Masalah

Perkembangan teknologi perikanan tangkap di Indonesia pada tingkat teknologi skala madya dan moderen merupakan hasil adopsi paket teknologi yang telah dikembangkan berdasarkan kegiatan penelitian-penelitian sebelumnya dari negara-negara maju, seperti Jepang, Korea Selatan, Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa lainnya. Kegiatan penangkapan lobster dari berbagai


(36)

4

tingkatan skala usaha yang dijalankan, terutama perikanan tangkap skala kecil kebanyakan belum mempertimbangkan aspek efisiensi dan efektivitas alat tangkap terhadap target hasil tangkapan yang diperoleh atau dapat dikatakan bahwa produktivitas alat tangkap masih rendah, atau justru menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan.

Dengan mempertimbangkan bahwa Indonesia memiliki potensi sumber daya lobster yang cukup besar, harga lobster cukup tinggi dan memiliki potensi pasar potensial yang sangat besar, baik tingkat lokal maupun ekspor, maka pendekatan aspek teknis menjadi penting, bahwa alat tangkap yang digunakan harus memiliki kriteria alat tangkap yang ramah terhadap lingkungan. Beberapa kriteria yang termasuk alat tangkap yang ramah lingkungan, adalah : memiliki selektivitas yang tinggi, tidak destruktif terhadap habitat, tidak membahayakan nelayan, menghasilkan ikan yang berkualitas baik, hasil tangkapan yang tidak membahayakan kesehatan konsumen, meminimumkan hasil tangkapan yang terbuang, memberikan dampak minimum terhadap keanekaragaman sumber daya hayati, dan tidak menangkap spesies yang dilindungi atau terancam, serta kegiatan perikanan tangkap yang dapat diterima secara sosial.

Keberhasilan suatu usaha perikanan tangkap tergantung pada beberapa faktor yang saling menunjang. Seperti yang dikemukakan oleh Grofit (1980), bahwa pemanfaatan sumber daya hayati laut khususnya perikanan tangkap bertujuan untuk mendapatkan hasil yang maksimum tanpa membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dengan biaya yang se-efisien mungkin. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka teknologi yang diterapkan perlu memenuhi persyaratan, yaitu alat tangkap yang efektif dan efisien dengan bahan yang baik, perbaikan kapal, alat bantu dan perlengkapan kapal serta metode operasi penangkapan yang handal. Kondisi tersebut di atas juga harus didukung oleh suatu ketentuan yang bersifat politis, yaitu bahwa dalam kegiatan usaha perikanan tangkap akan selalu mengacu pada kegiatan penangkapan ikan yang akan diakui oleh dunia internasional, yaitu upaya pemanfaatan sumberdaya ikan dan peningkatan produksi perikanan tangkap melalui cara-cara pemanfaatan yang efektif, efisien dan bertanggung jawab. Efektif yang memberikan hasil tangkapan yang optimal; efisien yang memudahkan cara pengoperasian alat tangkap dan


(37)

5

penanganan hasil tangkapan ikan; dan bertanggung jawab yang tidak merusak habitat dan menjaga kelestarian sumber daya ikan.

Dalam upaya menciptakan atau melakukan perbaikan teknologi, maka perancangan alat dan metode penangkapan ikan harus mengacu pada referensi yang mendukung tujuan pengembangan. Eksisting teknologi yang ada dan informasi dari publikasi hasil penelitian dengan topik yang sesuai akan mengarahkan pencapaian tujuan pengembangan kepada sesuatu yang menjadi lebih baik. Khusus untuk perikanan bubu dan lobster sebagai target tangkapan, maka upaya perbaikan teknologi tidak hanya kepada aspek teknis alat tangkap, tetapi juga faktor umpan yang dipertimbangkan dapat memberikan efektivitas yang baik dalam perolehan target hasil tangkapan dan efisien dalam pengoperasian alat tangkap tersebut.

Beberapa permasalahan tentang perikanan bubu dan umpan yang digunakan dalam penangkapan lobster, yaitu: (1) Ukuran bubu yang relatif besar, berat dan kaku; (2) Pintu mulut bubu yang terbuka yang memungkinkan target dapat meloloskan diri; (3) Jenis umpan yang berasal dari laut cukup tersedia, namun pengadaannya tetap bersaing dengan kebutuhan konsumsi masyarakat dan kebutuhan pakan ternak, sehingga pengadaannya membutuhkan biaya yang relatif besar. Sebaliknya, untuk mencapai keberhasilan dalam penangkapan lobster, maka dibutuhkan kriteria yang terkait dengan: (1) Ukuran bubu yang relatif kecil dan efisien dalam pengoperasiannya; (2) Diperlukan rekayasa pintu jebakan pada pintu masuk bubu sehingga dapat mereduksi pelolosan target tangkapan; (3) Diperlukan umpan alternatif yang dapat menggantikan kebutuhan umpan yang umumnya digunakan dan tidak memerlukan biaya yang relatif besar.

Mengacu dengan adanya kendala dan peluang pengembangan dalam upaya perbaikan teknologi perikanan bubu, maka diperlukan kajian. Kajian yang dapat dilakukan adalah studi desain dan konstruksi alat tangkap bubu, studi efektivitas bubu dan penggunaan umpan alternatif melalui metode experimental fishing serta pengujian terhadap kadar protein dan lemak umpan selama perendaman di laut. Hasil kajian diharapkan dapat menjadi acuan awal pengembangan perikanan bubu dan penggunaan jenis umpan alternatif sebagai paket teknologi yang efektif dalam pemanfaatan sumber daya lobster.


(38)

6

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Secara umum, tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan perbaikan teknologi bubu dan mengkaji efektivitasnya serta penggunaan jenis umpan alternatif dalam pemanfaatan sumber daya lobster.

1.3.2 Tujuan khusus

Tujuan penelitian secara khusus, adalah :

(1) Mengkaji dan menciptakan bubu lobster sebagai upaya perbaikan teknologi dengan melakukan modifikasi terhadap desain dan konstruksi bubu standar.

(2) Menentukan laju penurunan kandungan kimia (protein dan lemak) umpan

alami, baik umpan standar maupun umpan alternatif berdasarkan lama perendaman.

(3) Mengkaji efektivitas penangkapan lobster dengan menggunakan bubu

lobster hasil modifikasi dengan umpan standar.

(4) Mengkaji efektivitas penangkapan lobster dengan menggunakan bubu

lobster hasil modifikasi dengan umpan alternatif. 1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa informasi teknologi penangkapan lobster hasil modifikasi dan penggunaan umpan alternatif. Informasi ini selanjutnya dapat dijadikan acuan dalam upaya pengembangan IPTEK bagi masyarakat nelayan sebagai paket teknologi tepat guna pada tahap awal dalam pemanfaatan sumber daya lobster. Dalam rangka penyempurnaan hasil penelitian, informasi ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi kegiatan penelitian lanjutan untuk pengembangannya.

1.5 Hipotesis

Berdasarkan tahapan penelitian yang akan dilakukan, maka hipotesis penelitian ini, adalah :

(1) Terdapat perbedaan efektivitas penggunaan bubu lobster modifikasi dengan bubu standar dalam memperoleh hasil tangkapan lobster.

(2) Terdapat perbedaan efektivitas penggunaan bubu lobster modifikasi dengan bubu standar dalam memperoleh hasil tangkapan sampingan (by-catch).


(39)

7

(3) Terdapat perbedaan efektivitas penggunaan umpan alternatif dengan umpan standar dalam memperoleh hasil tangkapan lobster.

1.6 Kerangka Pemikiran

Perikanan lobster dalam konsteks perikanan tangkap di Indonesia, secara umum merupakan kegiatan perikanan tangkap skala kecil yang didominasi oleh masyarakat nelayan di wilayah pesisir pantai. Masyarakat nelayan skala kecil masih memiliki keterbatasan dalam hal akses permodalan dan input IPTEKS, sehingga kecenderungannya bersifat statis dalam penggunaan alat tangkap yang digunakan. Berbagai alat tangkap digunakan untuk pemanfaatan sumberdaya lobster, seperti krendet, gillnet dasar nylon monofilament, bubu, dan cara penangkapan dengan penyelaman. Komoditas lobster akan terkait dengan kondisi yang prima dan kualitas yang baik untuk setiap individu lobster, yaitu dalam keadaan hidup, lengkap bagian tubuhnya dan memiliki ukuran berat yang diminta oleh pasar. Proses tertangkapnya lobster akan menjadi penting untuk dapat memenuhi kondisi prima dan kualitas lobster yang baik serta pemanfaatannya menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan. Bubu biasanya digunakan oleh nelayan untuk menangkap dan mempertahankan target tangkapan yang diinginkan yaitu lobster dan jenis krustasea lainnya yang juga target yang baik, seperti halnya ikan bersirip, gastropoda dan moluska (Miller 1990). Lebih dari itu, bubu juga mewakili alat tangkap yang berguna untuk kegiatan pemanenan sumberdaya ikan yang bertanggung jawab. Bubu adalah alat tangkap yang selektif, hasil tangkapan di bawah ukuran ekonomis dapat dikembalikan ke perairan tanpa melukainya, sedikit hasil tangkapan sampingan

atau by-catch (Groneveld 2000) dan mempunyai dampak yang minimum

terhadap komunitas dasar perairan (Eno et al 2001).

Bubu merupakan jenis alat tangkap pasif yang dioperasikan di dasar perairan untuk menangkap sumberdaya perikanan demersal. Di Indonesia, penggunaan alat tangkap bubu yang khusus untuk kegiatan penangkapan lobster (udang barong atau udang karang) secara komersial belum dilakukan, karena bubu yang digunakan oleh nelayan selama ini hanya untuk menangkap ikan, rajungan dan kepiting bakau. Dibandingkan dengan negara-negara lain, maka alat tangkap bubu merupakan alat tangkap utama pada kegiatan penangkapan lobster


(40)

8

dan telah berkembang menjadi usaha perikanan tangkap yang berkelanjutan. Harga lobster per kilogram di tingkat nelayan sangat tinggi, sehingga penangkapan lobster menjadi salah satu usaha andalan bagi masyarakat nelayan, karena dengan kuantitas hasil tangkapan minimum dan kualitas yang prima akan tetap memberikan keuntungan usaha sekaligus memberikan peningkatan pendapatannya.

Pengoperasian alat tangkap bubu biasanya menggunakan umpan untuk memberikan hasil tangkapan yang optimal sesuai dengan target. Umpan merupakan salah satu faktor yang sangat besar pengaruhnya pada keberhasilan penangkapan, baik jenis umpan, sifat dan cara pemasangannya (Sadhori 1985). Selanjutnya dijelaskan pula bahwa umpan merupakan salah satu bentuk rangsangan (stimulus) yang bersifat fisika dan kimia yang dapat memberikan respons bagi ikan-ikan tertentu dalam proses penangkapan. Beberapa ahli perikanan sependapat bahwa umpan merupakan alat bantu (perangsang) yang memikat sasaran penangkapan dan sangat berpengaruh untuk meningkatkan laju tangkap bubu (Rahardjo dan Linting 1993). Beberapa jenis umpan yang berasal dari perairan laut untuk kegiatan penangkapan lobster, diantaranya adalah ikan rucah dan siput laut (Kholifah 1998), umpan kanikil (Chiton sp) dan kepala ikan kembung (Rastrelliger sp) (Sopati 2005). Sementara, umpan yang berasal dari wilayah daratan yang digunakan untuk penangkapan lobster adalah kulit kambing dan kulit sapi (Moosa dan Aswandy 1984), keong mas (Babylonia spirata L) (Sopati 2005), dan kelapa yang dibakar (Kholifah 1998). Kondisi saat ini, jenis umpan alami yang berasal dari perairan laut cukup tersedia, namun memiliki harga yang cukup tinggi, sehingga untuk pengadaan umpan akan meningkatkan biaya operasi penangkapan. Oleh karena itu, diperlukan alternatif jenis umpan lainnya yang lebih ekonomis dan efektif dengan daya pikat yang baik dalam proses penangkapannya, yaitu jenis umpan yang berasal dari wilayah daratan.

Berdasarkan kondisi tersebut di atas yang menjelaskan bahwa terdapat kendala dengan perikanan tangkap skala kecil dan sebaliknya juga terdapat peluang yang cukup besar dalam pemanfaatan sumberdaya lobster, sehingga diperlukan upaya pengembangan melalui kegiatan penelitian. Kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 1.


(41)

9

Gambar 1 Kerangka pemikiran

1.7 Novelty

Novelty disertasi ini adalah:

(1) Rancang bangun bubu lipat modifikasi yang berbeda dengan bubu lipat

standar, dalam hal: (i) adanya penggunaan rekayasa pintu jebakan pada mulut bubu yang terbuat dari bahan plastik berbentuk kisi-kisi, (ii) ukuran mulut bubu lipat modifikasi yang lebih besar dibandingkan dengan ukuran mulut bubu lipat standar yang memberikan peluang target lobster lebih mudah dan cepat masuk ke dalam bubu, dan (iii) sudut slope net pada pintu masuk bubu memiliki sudut yang sama antara bagian bawah dan atas, yaitu 22,5° yang merupakan sudut dengan kemiringan yang kecil yang memudahkan lobster bergerak ke arah mulut bubu meskipun posisi bubu saat di dasar perairan dalam posisi terbalik,

ALAT TANGKAP BUBU LOBSTER DAN UMPAN ALTERNATIF YANG EFEKTIF

PERIKANAN LOBSTER

UPAYA PENGEMBANGAN

- Sumber daya lobster cukup besar - Harga lobster cukup tinggi - Pasar sangat terbuka (lokal/ekspor)

- Teknologi alat tangkap bubu cukup berkembang - Ukuran bubu yang relative besar, berat dan kaku - Alat tangkap bubu lipat cukup efisien dan efektif

untuk menangkap gurita dan rajungan - Aspek penelitian terkait dengan alat tangkap dan

tingkah laku lobster cukup banyak

- Pintu mulut bubu yang terbuka memungkinkan target dapat meloloskan diri

- Kurangnya pertimbangan aspek efisiensi dan efektivitas alat tangkap

- Lobster hasil tangkapan dapat saja dalam kondisi ada angota tubuh yang terputus atau cacat - Statis dalam pengembangan IPTEKS - Alat tangkap bubu khusus untuk menangkap

lobster belum berkembang

- Jenis umpan alami yang berasal dari laut cukup tersedia, namun kebutuhannya bersaing dengan kebutuhan untuk konsumsi, pengolahan dan peternakan, sehingga harga umpan relatif mahal - Diperlukan rekayasa pintu jebakan pada pintu

masuk bubu sehingga dapat mereduksi pelolosan target tangkapan

PERIKANAN TANGKAP SKALA KECIL

KAJIAN

KENDALA PELUANG


(42)

10

(2) Penggunaan jenis umpan alami yang berbeda dan efektif yang berasal dari daratan dibandingkan dengan jenis umpan standar, yaitu: cacing tanah (Lumbricus rubellus).


(43)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perbaikan Teknologi

Dalam upaya menciptakan atau melakukan perbaikan teknologi, maka perancangan alat dan metode penangkapan ikan akan selalu diawali dengan mengetahui tingkah laku dari ikan. Tingkah laku ikan menurut He (1989) adalah adaptasi dari badan ikan terhadap lingkungan internal dan lingkungan eksternal, sedangkan reaksi ikan merupakan respon yang berhubungan dengan tingkah laku ikan karena adanya rangsangan eksternal. Taxis merupakan salah satu tingkah laku yaitu yang berhubungan dengan arah gerakan terhadap rangsangan secara eksternal.

Grofit (1980) menyatakan bahwa pemanfaatan sumberdaya hayati laut khususnya perikanan tangkap bertujuan untuk mendapatkan hasil yang optimum tanpa membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dengan biaya yang se-efisien mungkin. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka teknologi yang diterapkan perlu memenuhi persyaratan, yaitu alat tangkap yang efektif dan efisien dengan bahan yang baik, perbaikan kapal, alat bantu dan perlengkapan kapal serta metode operasi penangkapan yang handal.

Menurut Fridman (1988), merancang alat tangkap adalah proses mempersiapkan uraian teknis dan menggambar alat tangkap agar dapat memenuhi syarat-syarat penanganan alat, teknis, operasional (penggunaan), ekonomis dan sosial. Penyelesaian masalah yang terdapat dalam memproduksi alat tangkap agar memenuhi sifat-sifat tersebut adalah komplek, pertama karena sifat teknologi yang komplek dan kedua karena beberapa sifat yang bertentangan harus digabungkan. Pada dasarnya, untuk merancang alat tangkap, cukup bila dipunyai pengalaman praktek menangkap ikan dan mampu melaksanakan perhitungan teknis. Dengan pengetahuan ini, rencana dan spesifikasi alat tangkap ikan dapat dikembangkan dan alat dibuat dan diuji di laut. Jika alat tangkap yang baru kurang memuaskan, maka perlu dimodifikasi atau bahkan dirancang dari permulaan dengan memperhitungkan kesalahan sebelumnya.


(44)

12

Selanjutnya Fridman (1988) juga menyatakan bahwa kualitas utama dari alat tangkap dan rancangannya yaitu kelayakan ekonomis dan efisiensi penangkapan, yang tergantung dari banyak faktor seperti adanya sumber daya perikanan, kebutuhan pasar akan ikan dan harganya, biaya operasi armada penangkapan, jumlah, ukuran, dan jenis perahu di tempat tersebut, jauh dekatnya dari pelabuhan, tersedianya bahan dan komponen alat tangkap dan teknik yang mendukung konstruksi dan merawat armada, pengelolaan sumber daya perikanan (peraturan dan hambatan operasionalnya), keadaan hidrometeorologi, tersedianya nelayan dan tenaga ahli dan tergantung juga pada kondisi teknik dan kondisi ekonomi lainnya. Rancang bangun yang baru seharusnya disesuaikan sedapat mungkin dengan syarat-syarat tersebut di atas dan kondisi teknik, ekonomi serta sosial lainnya.

Ayodhyoa (1981) menyatakan bahwa terdapat indikator perkembangan dan kemajuan metode penangkapan (fishing methods) dari perikanan tradisional ke perikanan industri, yaitu : (1) Perubahan usaha penangkapan dari seekor demi seekor ke arah usaha penangkapan dalam jumlah banyak. Hasil tangkapan ini tidak hanya diperuntukkan untuk waktu itu, tetapi diharapkan dapat dipergunakan pula untuk sesuatu jangka waktu, menyesuaikan diri dengan situasi harga pasaran. Hal ini menyebabkan alat yang dipergunakan haruslah lebih besar dan efektif; (2) Perubahan fishing ground ke arah yang lebih jauh dari pantai, dan sehubungan dengan itu terjadi pula perubahan dari kedalaman perairan, yaitu dari perairan dangkal ke arah perairan yang lebih dalam; (3) Penggantian tenaga manusia dengan tenaga mesin. Perkembangan teknologi telah mampu menggantikan manusia yang menjaga alat yang digunakan dengan mesin yang serba otomatis, sehingga dengan pengurangan tenaga buruh maka keuntungan akan lebih besar.

2.2 Bubu

Bubu adalah alat tangkap perangkap atau jebakan yang sifatnya pasif. Penggunaan bubu untuk penangkapan lobster sesungguhnya adalah memakai bubu yang umum digunakan untuk menangkap ikan-ikan karang. Bubu ini ukurannya bermacam-macam yang disesuaikan dengan kedalaman air. Bubu


(45)

13

dapat dibedakan menjadi dua jenis berdasarkan letak mulut bubu. Jenis yang pertama dengan satu mulut bubu yang terletak pada bagian atas bubu, dan jenis kedua yaitu bubu dengan satu atau dua mulut bubu yang terletak di bagian samping bubu (Thomas 1973).

Bentuk bubu bermacam-macam, diantaranya silinder, segi banyak dan bulat setengah lingkaran. Satu unit bubu umumnya terdiri atas : badan bubu, mulut bubu, tempat umpan, pemberat, tali-temali dan pelampung atau pelampung tanda. Pengoperasiannya cukup mudah, yaitu dengan memasang bubu diantara karang-karang dengan cara menyelam atau diturunkan dengan tali. Setelah pemasangan bubu maka bubu ditinggal sekurangnya 24 jam baru kemudian diangkat (Subani 1978). Alat tangkap yang banyak dipergunakan untuk menangkap lobster adalah jaring insang tiga lembar (trammel net), sedangkan alat tangkap bubu sebagai alat tangkap alternatif masih belum banyak dikenal meskipun di luar negeri sudah umum dilakukan. Konstruksi bubu lobster diusahakan dalam keadaan stabil di dasar perairan dan pintu masuk serendah mungkin untuk memudahkan lobster memasuki bubu. Rangka bubu keseluruhannya memakai rangka dari besi behel berdiameter 0,8 cm, badan jaring menggunakan jaring sintetis multifilamen dengan mesh size 0,5 inchi dan kantung umpan memakai bahan kawat kasa. Ukuran bubu ke arah panjang 100 cm, lebar 40 cm dan tinggi 30 cm. Pintu masuk panjang 25-30 cm, lebar 20 cm dan tinggi 10-12 cm atau ukuran pintu masuk disesuaikan dengan besar kecilnya lobster yang ada di daerah penangkapan (Martasuganda 2003).

Beberapa alat tangkap yang dikonstruksikan khusus untuk penangkapan lobster menurut Everett (1972) diacu dalam Monintja dan Budihardjo (1982) adalah : (1) semi-cylindrecal pot, (2) Trapezoidal pot, dan (3) Square pot. Namun penggunaan jenis konstruksi yang cocok akan sangat banyak tergantung pada jenis perairan, jenis lobster, kuat arus dan konfigurasi dasar laut. Pengadopsian jenis perangkap bubu, perlu dilakukan percobaan terlebih dahulu dan mungkin pula bahwa pada alat tersebut harus diadakan beberapa rekonstruksi (O’Farrell 1971 diacudalam Monintja dan Budihardjo 1982).

Percobaan penelitian di lapangan dengan membandingkan lobster pot tipe jepang dengan bubu tradisional terhadap hasil tangkapan lobster di Perairan Teluk


(46)

14

Pelabuhanratu (Monintja dan Budihardjo 1982) menunjukkan bahwa efektifitas lobster pot dalam penangkapan lobster cukup baik dan secara nyata hasil tangkapannya lebih besar dari pada bubu tradisional yang biasa digunakan nelayan.

Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Thomas (1954) diacu dalam

Shelton and Hall (1981) yang melakukan pengujian terhadap alat tangkap bubu antara scottish creel dengan traditional cornish inkwell pot yang memberikan hasil tangkapan lobsterjenis Homarus gammarus masing-masing adalah 66 ekor dan 48 ekor dalam 384 hauling. Secara statistik menunjukkan bahwa hasil tangkapan lobster dari setiap alat tangkap bubu tersebut terbukti tidak berbeda nyata dalam jumlah dan ukuran.

Bennet (1974) diacu dalam Shelton and Hall (1981) menyatakan bahwa hasil tangkapan dari alat tangkap perangkap yang diberikan umpan adalah hasil dari serangkaian kejadian yang kompleks dan bervariasi. Karakteristik fisik dari alat tangkap perangkap merupakan bagian akhir yang menentukan dalam rangkaian ini. Pada mulanya dengan pengetahuan awal dari hewan yang terpikat secara kimiawi di dalam perairan dan berakhir dengan masuk ke dalam perangkap, memakan umpan dan berusaha untuk melepaskan diri. Pengamatan lobster dalam tangki percobaan (Shelton 1981) menjelaskan bahwa masuknya lobster ke dalam perangkap mungkin diperlambat oleh kesulitan pengalaman dalam menemukan pintu masuk. Lobster membutuhkan waktu yang cukup lama dalam berusaha mendapatkan jalan ke arah umpan hingga pada bagian sisi dari perangkap, khususnya jika ada bagian dari jaring yang tersentuh tangan yang terkontaminasi umpan, dimana ada periode waktu bagi lobster dalam usaha memakan jaring yang terkontaminasi umpan tersebut.

Phillips et al. (1980) menyatakan bahwa desain yang tepat dari perangkap adalah membuat lobster dapat masuk melalui mulut bubu dan menyulitkannya untuk keluar. Bubu yang dipakai di Selandia Baru untuk penangkapan lobster memiliki bukaan mulut yang berbentuk lingkaran dan terletak di bagian atas bubu dan berhasil menangkaplobster(Gorman 1996).


(47)

15

2.3 Makanan Alami Lobster

Umpan merupakan salah satu faktor penting untuk menunjang keberhasilan suatu operasi penangkapan, khususnya untuk alat tangkap yang bersifat pasif seperti bubu. Seperti yang dinyatakan oleh Raharjo dan Linting (1993), bahwa umpan merupakan perangsang yang memikat sasaran penangkapan dan sangat berpengaruh untuk meningkatkan laju tangkap bubu.

von Bonded and Marchand (1935) diacu dalam Fielder (1965) menyatakan bahwa : ”Banyak kontroversial yang muncul di sekitar pertanyaan mengenai apakah krustasea adalah hewan pemakan bangkai, atau apakah hal tersebut suka membeda-bedakan dalam makanannya. Adalah suatu yang bersifat alami bahwa sekali waktu terjadi kelangkaan makanan, krustasea akan memakan apapun, tetapi percobaan-percobaan yang telah dilakukan dalam skala laboratorium dan juga di laut membuktikan secara meyakinkan bahwa metode penangkapan yang terbaik untuk semua makanan adalah yang menggunakan umpan segar”. Mereka kemudian menggunakan aspek morfologi tertentu untuk menduga kemungkinan sumber-sumber makanan. Berdasarkan kondisi ini, mereka mengabaikan ikan yang bersisik sebagai sumber makanan karena mereka terlalu bergerak cepat dan menduga moluska seperti kekerangan sebagai sumber makanan yang disukainya.

Hickman (1946) diacudalam Fielder (1965) telah memeriksa gastric mill

dalam perut dari sejumlah besar lobster Jasus lalandei dan menemukan sisa-sisa makanan dari jenis moluska, spiny lobster, kepiting, ekinodermata, dan rumput laut. Selanjutnya, juga ditemukan hubungan dari material moluska dengan puncak musim spiny lobster betina yang baru moulting dan menduga bahan makanan moluska adalah makanan istimewa untuk keperluan pengerasan skeleton atau karapas lobster.

Lindberg (1955) diacu dalam Fielder (1965) telah menguji isi perut sejumlah besar lobster Panulirus interruptus Randall dan menemukan makanan utama seperti cacing laut, moluska, bulu babi, ganggang laut, dan Bryozoa. Alga dan sisa-sisa ikan jarang ditemukan. Dia menyimpulkan bahwa P. interruptus

adalah omnivora dan terutama sebagai hewan pemulung. Ia juga menunjukkan bahwa hasil tangkapan nelayan yang lebih besar ketika umpan segar digunakan


(48)

16

dibandingkan dengan umpan busuk. George (1957) diacu dalam Fielder (1965) menyatakan bahwa lobster Panulirus Cygnus adalah pemulung berdasarkan hasil pengamatannya terhadap adanya rumput laut, pecahan karang, sisa ikan, Foraminifora, fragmen-fragmen kerang, dan partikel-partikel pasir dalam isi perut lobster.

Telah diperiksa bagian gastric mill dari isi perut 30 spesimen lobster

Jasus lalandei yang ditangkap oleh penyelam di dekat Tanjung Jaffa. Berkisar dari isi perut yang kosong hingga hampir penuh dan berisi jenis makanan yang serupa dengan yang digambarkan oleh penulis lainnya, yaitu berisi kepingan hewan yang dominan di daerah ini, dan termasuk gastropods, pelecypods, krustasea (termasuk lobster lainnya, udang dan rajungan), landak laut, bryozoa, dan ganggang dengan beberapa partikel pasir. Tidak ada sisa-sisa ikan yang ditemukan, tetapi hanya sedikit yang diamati di daerah tersebut. Dengan pengecualian dari krustasea, semua spesies lain adalah sessile atau bergerak lamban. Sulit untuk menentukan apakah krustasea dimakan dalam keadaan hidup-hidup, tetapi beberapa jenis rajungan dan udang, termasuk Leander intermedius

(Stimpson), Paguristes frontalis (Milne-Edwards), Naxia aurita (Latreille), Ozius truncates (Milne-Edwards), Helice haswellianus (Whitelegge) dan Ovalipes bipustulatus (Milne-Edwards) tetap dipertahankan dalam akuarium yang berisi

spiny lobster dan tidak dibunuh dan dimakan. Di sisi lain, rajungan mati dan lobster mati, terutama mereka yang baru saja dilemparkan, dimakan. Makanan yang tersisa di akuarium lebih dari satu hari, yaitu cukup lama untuk menjadi busuk, tidak pernah dimakan (Fielder 1965).

Percobaan-percobaan yang telah dilakukan dalam skala laboratorium menunjukkan bahwa Jasus lalandei memakan makanan yang disukainya jika diberikan pilihan, dan memilih umpan-umpan alami yang ada di laut sebelum digunakan jenis makanan alami di darat (daging hewan). Selanjutnya, Fielder (1965) menyatakan bahwa terdapat beberapa kondisi terkait dengan tingkah laku makan lobster Jasus lalandei tentang makanan yang disukai, yaitu : (1) Lobster

Jasus lalandei memiliki tingkah laku makan yang selektif, yaitu jika diberikan pilihan makanan; (2) Umpan yang berasal dari laut, seperti ikan dan hiu lebih disukai daripada umpan yang berasal dari daratan, seperti kuda dan kelinci; (3)


(49)

17

Umpan segar lebih disukai dari pada umpan busuk; dan (4) Umpan cumi-cumi termasuk jenis umpan yang efisien seperti halnya umpan ikan.

2.4 Mekanisme Makan

Kegiatan makan adalah proses yang berirama, kebanyakan kegiatan makan berlangsung selama tengah malam. Rekaman kegiatan makan yang dibuat dalam skala laboratorium dengan kondisi terang dan gelap yang konstan, menunjukkan bahwa irama makan ini banyak terjadi secara terus menerus dalam kondisi gelap yang konstan, tetapi tidak terjadi terus menerus dalam kondisi terang yang konstan. Lobster Jasus lalandei terangsang untuk makan oleh perubahan dari terang ke gelap (Fielder 1965).

Selanjutnya dikatakannya juga, bahwa lobster Jasus lalandei dalam akuarium makan menurut pola tetap. Ketika lobster mencari makan menemukan beberapa potensi makanan itu digenggam oleh walking leg (kaki jalan) dan

maxilliped pertama. Lobster kemudian berusaha untuk kembali ke tempat penampungan sebelum benar-benar memakan makanan. Jika tempat penampungan tidak tersedia dekat, sebuah sudut dari akuarium dicari dan kemudian lobster mulai makan.

Mekanisme makan tidak efisien dan banyak potensi makanan hilang. Makanan dicengkeram erat oleh mandibula dan kaki jalan kemudian digunakan untuk menarik makanan dari mandibula, merobek sepotong kecil dari massa makanan. Tiga pasang maxilliped memanipulasi makanan dengan gerakan melingkar dan bantuan kaki jalan pertama dalam merobek potongan dari makanan. Perlakuan ini cenderung menghancurkan massa makanan dan seekor lobster makan selalu dikelilingi oleh awan partikel makanan kecil yang hilang dan cenderung mencemari air di akuarium (Fielder 1965).

2.5 Bahan Rangsangan Umpan bersifat Kimiawi

Gunarso (1985) menyatakan bahwa untuk memudahkan dalam menangkap ikan selain menggunakan alat tangkap, dibutuhkan juga taktik dan metode yang tepat. Metode untuk dapat membawa ikan ke dalam posisi yang dikehendaki ataupun ke dalam area suatu jenis alat tangkap tertentu, banyak tergantung antara lain kepada jenis ikan, kondisi fisiologis ikan, musim atau


(50)

18

bahkan perubahan waktu dalam sehari. Taktik-taktik tersebut diantaranya adalah menarik perhatian ikan (fish attraction), mengejuti ikan (fish frightening), merangsang ikan agar melompat (inducing fish to jump) dan membius ikan (stupeying). Taktik menarik perhatian ikan menjadi beberapa cara, yaitu : rangsangan umpan bersifat kimiawi (chemical bait), rangsangan ikan bersifat penglihatan (optical bait), rangsangan umpan bersifat pendengaran (acoustic bait) dan rangsangan umpan bersifat listrik (electrical bait).

Zat kimia yang bertindak sebagai perantara dalam komunikasi antara organisme dengan organisme disebut dengan semiokemikal dan terdiri dari alelokemikal (Law and Regnier 1971 diacu dalam Kusumah 1988) dan feromon (Mathews and Mathews 1978 diacudalam Anonymous 1990). Amoniak adalah bentuk utama ekskresi nitrogen oleh kebanyakan hewan akuatik. Ikan-ikan teleostei mengekskresikan 60% hingga 90% nitrogen dalam bentuk amoniak ke perairan dan sebagian besar dikeluarkan oleh insang. Bentuk lain dari ekskresi nitrogen adalah urea, kreatin, kreotenin, trimetilalanin oksida dan asam amino. Amoniak merupakan jalur efisien dari ekskresi nitrogen yang dihasilkan dari proses katabolisme protein dalam tubuh (Saridewi 1998 diacu dalam Munadi 2006). Umpan daging hiu setelah direndam dalam air laut, warnanya menjadi putih, teksturnya mengeras dan bau amis dari darah segar berganti menjadi bau pesing. Zat yang dapat dijadikan indikator bau pesing tersebut adalah amoniak (Hendrotomo 1989). Asam amino merupakan salah satu substansi kimia yang sangat sensitif terhadap indera pengecapan ikan. Alanin, glisin dan prolin merupakan jenis asam amino utama perangsang nafsu makan pada beberapa spesies ikan meskipun komposisi asam amino aktif ini berbeda untuk setiap spesies ikan (Fujaya 2002).

Berbagai jaringan hewan yang berasal dari darat maupun laut dapat berfungsi sebagai umpan untuk penangkapan lobster. Hasil penelitian yang dilakukan terhadap efisiensi relatif dari umpan alami dan umpan buatan untuk lobster, Homarus gammarus berdasarkan hasil pengujian laboratorium dan

experimental fishing menunjukkan bahwa : (1) Dibandingkan dengan umpan alami, umpan buatan dapat menarik dan menangkap lobster dengan efisiensi yang dapat diterima, (2) Ada keterbatasan dalam penggunaan umpan buatan sebagai


(51)

19

pengganti total umpan alami pada sebuah skala komersial. Tetapi mungkin bahwa kombinasi umpan buatan dengan sedikit umpan alami akan menjadi solusi yang paling efektif untuk masalah-masalah saat ini bagi nelayan lobster komersial. Hasil ini menegaskan pengamatan sebelumnya yang dibuat pada kondisi laboratorium (Mackie 1973 diacu dalam Mackie 1978) bahwa campuran dari bahan umum dan bahan kimia yang larut dalam air dan bukan satu bahan kimia yang penting untuk mendorong respons tingkah laku pencarian makanan oleh lobster.

Ikan dan beberapa invertebrata merespons perbedaan dalam konsentrasi asam amino, asam lemak (molekul komponen lipid, termasuk steroid), alkohol, salinitas dan temperatur (Kobayashi and Fujiwara 1987 diacudalam Kingsford et al. 2002). Menyertakan suhu di sini, karena faktor salinitas dan suhu air mempengaruhi kerapatan dan suhu dapat mempengaruhi penyebaran dan aktivitas rangsangan kimia.

2.6 Indera Penciuman

Crawford and De Smidt (1922) diacudalam Fielder (1965) menunjukkan bahwa reseptor untuk indera penciuman Panulirus argus Latreille terletak pada

flagellae dari antenna dan juga direkam oleh reseptor sensori pada kaki lobster. Lindberg (1955) diacu dalam Fielder (1965) menyatakan bahwa spiny

lobster mendeteksi makanannya dengan penglihatan dan bau, dan bahwa lobster yang tidak memiliki antennule (karena putus) kurang mampu menemukan makanan. Selanjutnya dikatakannya juga bahwa lobster yang buta menunjukkan tingkah laku mencari makan yang normal, tapi kemampuan mereka untuk menangkap mangsa yang bergerak telah menjadi lemah. Dia menemukan rambut-rambut sensori pada semua anggota badan dan mengamati bahwa deteksi makanan oleh kaki adalah hal yang biasa.

Deteksi visual dan deteksi kimiawi terhadap munculnya makanan menjadi faktor yang saling melengkapi pada lobster Jasus lalandei, meskipun deteksi visual tidak sangat efisien. Antennule lobster terus-menerus aktif menguji kondisi air. Darah ikan dimasukkan ke dalam akuarium yang menyebabkan merangsang kegiatan antennule dan melakukan orientasi terhadap titik distribusi


(52)

20

rangsangan. Flagella pendek dari antennule, yang memiliki rambut sensori menjadi aktif dan setelah pengujian air, mengarahkan ke rangsangan. Sepotong ikan jatuh ke dalam akuarium dan antennule mengikuti gerakan seperti tenggelam. Akhirnya antennule berorientasi terhadap partikel makanan tersebut, dan jika cukup dekat dengan lobster, maka makanan tersebut akan dimakan. Indra rambut berada pada dasar kaki jalan dan mungkin di dalam ruang

branchial. Seringkali makanan tidak terdeteksi sampai lobster berjalan di atasnya. Demikian pula, makanan ditempatkan di belakang atau ke satu sisi lobster, mungkin makanan tersebut akan dideteksi oleh indera rambut ini. Akan ditunjukkan kemudian bahwa lobster Jasus lalandei biasanya makan pada kondisi gelap dan bahwa mereka dapat makan cukup memadai dalam kegelapan total. Oleh karena itu akan tampak bahwa lokasi makanan dengan kandungan kimiawinya tersebut memberikan arti bahwa deteksi kimiawi lebih penting dari pada deteksi visual (Fielder 1965).

Dalam spiny lobster dan krustasea lain, sumber bau diperantarai pola tingkah laku mencari yang digerakkan terutama oleh syaraf indera kimiawi (chemosensory neuron) dalam antennule (Steullet et al. 2001). Indra kimiawi adalah sangat penting dalam mediasi pola tingkah laku bagi banyak hewan. Dalam krustasea, peran indra kimiawi telah dibuktikan dalam interaksi makan, interaksi di tempat penampungan, interaksi seksual dan interaksi sosial (Zulandt

and Moore 1999 diacu dalam Steullet et al. 2001). Lobster dan krustasea lain memiliki berbagai jenis setae, termasuk sensilla dalam sistem syaraf indera kimiawi (Hallberg et al. 1997 diacu dalam Steullet et al. 2001). Chemosensilla

ini didistribusikan melalui hampir seluruh permukaan tubuh lobster, termasuk antena pertama (antennule), antenna kedua, mulut, kaki, cephalothorax, perut dan

telson (Cate and Derby 2001 diacudalam Steullet et al. 2001). Namun, itu adalah syaraf chemoreceptor di antennule, dengan lateral dan medial flagella, yang terutama menengahi respons jarak jauh pada lobster dan crayfish untuk sumber bau yang berbahan kimia (Giri and Dunham 2000 diacu dalam Steullet et al.

2001).

Krustasea mengandalkan indra penciuman mereka untuk mendeteksi mangsa dan menemukan pasangan (Atema and Voigt 1995 diacu dalam Mead


(53)

21

and Weatherby 2002). Lobster mendeteksi bau ini dari sumber-sumber yang jauh melibatkan indera kimiawi (chemosensory) setae yang disebut aesthetasc terletak di antennule (Hallberg et al. 1992 diacudalam Mead and Weatherby 2002).

Meminimalkan jarak di mana molekul-molekul bau harus berdifusi sebelum menjumpai sensilla adalah sangat penting untuk penciuman efektif karena dua alasan. Pertama, difusi molekul adalah proses yang lamban, dengan banyak isyarat kimia yang khas seperti asam amino yang memiliki koefisien difusi sekitar 10-9 m2/detik dalam air (Lide 1991 diacu dalam Mead and

Weatherby 2002). Oleh karena itu, meningkatkan akses fluida secara substansial dapat mengurangi waktu yang diperlukan untuk molekul pembau berdifusi ke permukaan sensillar, sehingga lobster dapat merespons lebih cepat. Selain itu, Kedua, ketika fluida yang mengandung pembau dekat permukaan aesthetasc dan proses difusi cepat, perubahan konsentrasi pembau lebih akurat dan cepat tercermin pada permukaan sensillar (Mead dan Koehl 2000 diacu dalam Mead

and Weatherby 2002).

Organ penciuman spiny lobster Florida, Panulirus argus, terdiri dari susunan padat sensilla pada cabang-cabang lateral antennule (Gambar 2). Masing-masing sensillum tersusun tipis, dengan selubung berpori dari kutikula yang di dalamnya terdapat dendrite berbulu halus yang bercabang lebih dari 300 syaraf indera kimiawi (chemosensory neuron) utama, ditambah dengan populasi sel-sel pembantu dari nonneuronal (Grunert and Ache 1988 diacudalam Trapido-Rosethal 1990).

2.7 Pelepasan Bahan Kimiawi Umpan

Kelayakan dua produk olahan dari ikan herring, yaitu tepung ikan dan tepung ikan yang diasamkan, sebagai substrat kemo-atraktan (pikatan kimiawi) yang berfungsi sebagai umpan komersial untuk American lobster (Homarus americanus) telah dilakukan pengujian di laboratorium. Ikan kering homogenat

diuji sebagai standar untuk perbandingan. Tiga substrat yang diuji untuk tingkat pikatan, dan berbagai metode, termasuk pencernaan proteolitik, telah dilakukan dalam rangka untuk meningkatkan tingkat pikatan. Setelah penggabungan substrat pikatan kimiawi ke pertalian yang sesuai, maka laju pelepasan pikatan


(54)

22 kimi diev ditem pada iawi secara aluasi deng mukan menj Ga Meskipu a tepung ik

Keterang A dan B pada filam C : Setiap sel tubuh yang men pm dan m kutikula Grunert a

a temporal gan menggu

jadi sumber

ambar 2 Org un tingkat p kan yang di

an :

: organ pen men lateral a

p sensillum b dan axon ya ngandung ba memiliki dia berpori unt

and Ache (19

dipantau. nakan juven r pikatan kim

gan pencium pikatannya iasamkan, t nciuman terd antennule; berisi dendrit ang berlokasi agian-bagian ameter intern tuk menghu 988) diacuda

Akhirnya, nil lobster. K miawi yang

man dan sensi

dalam tepu tepung ikan diri dari aes

te dari syara i di dalam lu n dari sensill

nal 18 pm. P ubungi dend

alam Trapido

kualitas Kedua tepu g baik (Dani

illa dari spiny

ung ikan ja n bisa diang

thetasc sens

af indera prim umen antennu la dengan pa

Perangsang

drite. Strukt o-Rosethal (1

pikatan kim ung ikan ters

iel et al. 198

y lobster

auh lebih re gkat ke tin

silla yang ter mer yang me

ule. Distal, d anjang sekita

eksogen me tur sensillar

1990). miawi itu sebut telah 89). endah dari ngkat yang rdapat emiliki dendrit ar 700 elewati


(55)

23

sama baiknya melalui inkubasi dengan protease tertentu. Pikatan kimiawi dilepaskan dari dua pengujian umpan yang memiliki pola pelepasan temporal yang serupa dan membangkitkan respons mencari makanan yang sama seperti pikatan kimiawi yang dilepaskan dari umpan ikan herring alami. Namun, ikan kering homogenat ternyata mengandung kadar pikatan kimiawi yang jauh lebih tinggi dari pada tepung ikan. Ini mungkin saja terjadi, karena suhu yang lebih rendah digunakan untuk menyiapkan ikan kering homogenate (Daniel et al.

1989).

Sebuah metode untuk mendeteksi fluorometrik asam amino telah digunakan untuk menentukan laju pelepasan zat kimia dari umpan ikan mackerel

dan umpan buatan didasarkan pada bahan ekstrak udang. Untuk kedua umpan, pelepasan pikatan kimiawi sebagai pemikat potensi makan awalnya tinggi dan menurun pesat dalam kurun waktu 1,5 jam pertama dengan kondisi air laut yang mengalir. Dari 2 hingga 24 jam kemudian, laju pelepasan menurun pada kecepatan yang lebih rendah (Lokkeborg 1990).

Efektivitas dari semua umpan berhubungan dengan laju difusi bahan kimia yang terkandung pada atraktan yang berasal dari bahan yang tidak larut ke lingkungan. Umpan buatan yang paling efisien adalah umpan yang telah dipersiapkan dengan memasukkan baik secara ekstrak seluruh sprats, Sprattus sprattus L. atau campuran bahan kimia attraktan murni ke dalam matriks padat dari blok padat kalsium sulfat terdehidrasi. Laju pelepasan atraktan dan efektivitas umpan buatan ditemukan secara kritis tergantung pada bentuk kristal dari blok kalsium sulfat (Mackie et al. 1978).

Banyak umpan yang belum diketahui efektivitasnya telah diajukan selama bertahun-tahun pada asumsi yang masuk akal bahwa bahan kimia atraktan adalah komponen jaringan yang spesifik seperti tetesan minyak atau senyawa yang larut dalam air yang berdifusi dari umpan dan terdeteksi oleh indera penciuman kimiawi lobster (Mackie et al. 1978).

Penentuan laju pelepasan bahan kimia dari umpan buatan yang mengandung kelompok senyawa amino bebas, seperti asam amino, yang ditentukan untuk berbagai umpan buatan dan untuk satu umpan alami. Hasilnya (Gambar 3) menyediakan satu penjelasan untuk efisiensi rendah dari umpan


(56)

24 buat perio dalam jam. ump lebih pena Gam deng berk laju karen struk Selan perc buat ump berh alam

an yang dib ode penangk m 1 jam da

Sebalikny an buatan y h lambat da angkapan (M

mbar 3 Tin

cam den Pikatan gan air dan kesinambung

difusi dari na atraktan ktur yang ta njutnya dij obaan ini an seefekti an segar u hasil mendo minya denga

buat dari a kapan. Sek an proses di

ya, pelepasa yang dibuat

an laju pel Mackie et al

ngkat pelepa mpuran bah ngan umpan kimiawi (a n proses dif gan sampai

umpan bua n akan laru ak berbentu elaskan jug menunjukk f umpan ik untuk lobst orong tingk an efisiensi y

gar-agar se itar setenga ifusi pada d an senyawa dengan gip lepasan me

l. 1978).

asan asam an kimia d

alami atraktan) y fusi yang t suatu kead atan diuji d ut dalam fa uk dari fase ga, bahwa p kan bahwa kan asin ma ter. Dapat kah laku pe yang tidak k

ebagai baha ah asam am dasarnya ter a amino bai psum atau g endekati ko

amino dari alam 100 g

yang mungk terjadi ke d daan ekuilib dalam waktu ase kelebih padat kals perbandinga campuran ackerel, teta disimpulka encarian m kurang dari

an pengemu mino telah te

rjadi secara ik dari dagi elatin adala nstan setela

umpan bu g bahan pen

kin terkait dalam air l brium telah

u 24 jam h han air yan ium sulfat an langsung

bahan kim api hanya s an bahwa makanan ole

setengah d Keteran ○ = bah ● = bah ∆ = bah ▼= 100 (Eu

ulsi lebih da ersebar dari

keseluruha ing ikan seb ah sebuah pr

ah 6-24 jam

uatan yang ngemulsi dib

dengan teg aut akan la tercapai. S harus jauh l ng terkandu

(Mackie et

g yang dib mia di dala sekitar 50%

umpan bu eh lobster dari umpan a

ngan : han pengemu han pengemu han pengemu 0 g daging ik

uropean plaic

ari 24 jam i agar-agar an dalam 6 belah atau roses yang m periode

berisi 2 g bandingkan gas terikat ambat dan Sebaliknya, ebih cepat ung dalam

al. 1978). buat dalam am umpan % seefektif uatan akan di habitat alami. ulsi agar ulsi gipsum ulsi gelatin kan sebelah ce)


(1)

Lampiran 10

Respon data hasil tangkapan lobster berdasarkan jenis umpan cacing tanah dan tembang (standar)

Hasil Tangkapan Lobster (ekor) berdasarkan

Trip jenis umpan

No. Cacing tanah Tembang

1 3 0

2 0 1

3 0 2

4 0 1

5 1 0

6 1 0

7 1 0

8 2 0

9 1 1

10 1 0

11 2 0

12 2 0

13 1 0

14 1 0

15 1 0

16 0 2

17 0 1

18 1 0

19 0 1

20 4 0

total 22 9

rata 1.10 0.45

SD 1.1 0.7


(2)

(3)

(4)

Lam

N N N N N N N N

mpiran 12

Nama lokal : U Nama Indones Nama Inggris Nama Latin :

Nama lokal : U Nama Indones Nama Inggris Nama Latin :

Hasil tangk

Udang Baron sia : Lobster : Scalloped Panulirus ho

Udang Baron sia : Lobster : Ornate Ro Panulirus or

kapan bubu

ng Hijau Pasir Spiny Lobste omarus ng Mutiara ock Lobster rnatus

lipat peneli

er Nam Nam Nam Nam Nam Nam Nam Nam

tian

ma lokal : Ud ma Indonesia ma Inggris : P ma Latin : Pa

ma lokal : Ra ma Indonesia ma Inggris :B ma Latin : Po

dang Barong : Lobster Hi Painted Rock anulirus versi

ajungan a : Rajungan

Blue swimm ortunus pela ijau Bambu k Lobster icolor n ing Crab agicus


(5)

Lamp

Nam Nam Nam Nam Nama Nama Nama

piran 12 (L

ma lokal : Raj ma Indonesia ma Inggris : C ma Latin : Ch

a Indonesia : a Inggris : Blo a Latin : Port

anjutan)

ajungan maca a : Rajungan

Crucifix swim harybdis feria Rajungan ood-spotted s tunus sangui an mming crab atus swimming cr nolentus Nama Nama Nama Nama rab Nama Nama Nama Nama

a lokal : Raju a Indonesia : a Inggris : Rid a Latin : Char

a lokal : Kera a Indonesia : a Inggris : O a Latin : Epi

ungan batu Rajungan dged swimm rybdis natato apu Balong Kerapu tutu range-spotte nephelus ma ing crab or ul ed grouper aculatus


(6)

Lam

mpiran 12 (Lanjutan)

Nama lo Nama In Nama In Nama L

Nama lo Nama In Nama In Nama L Nama lok Nama Ing Nama Lat

okal : Cumi ndonesia : S nggris : Cutt Latin : Sepia

okal : Udang ndonesia : U nggris : Man Latin : Squilla kal : Ikan Sin ggris : Sharpn

tin : Canthig

Batok otong tlefish

sp

g Mantis Udang Mantis

ntis Shrimp a mantis ngreng

nosed Puffer gaster sp.

s r