Uji aktivitas herbisida campuran bahan aktif Cyhalofop-Butyl dan penoxsulam terhadap beberapa jenis gulma padi sawah

UJI AKTIVITAS HERBISIDA CAMPURAN BAHAN AKTIF
CYHALOFOP-BUTYL DAN PENOXSULAM TERHADAP
BEBERAPA JENIS GULMA PADI SAWAH

OLEH
TRISNANI YUDA FITRI
A24070021

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011

UJI AKTIVITAS HERBISIDA CAMPURAN BAHAN AKTIF
CYHALOFOP-BUTYL DAN PENOXSULAM TERHADAP
BEBERAPA JENIS GULMA PADI SAWAH
The Test of Formulated-mix Herbicide Activity of Cyhalofop- butyl and
Penoxsulam Active Ingredients to a Numbers of Rice Field Weeds
Trisnani Yuda Fitri1 dan Dwi Guntoro2
Student of Agronomy and Horticulture Departement, Faculty of Agriculture, IPB
2

Lecture of Agronomy and Horticulture Departement, Faculty of Agriculture, IPB
1

ABSTRACT
Weed competition becomes a major problem in low land rice. Weeds can
reduce rice production up to 60-70%. Mixing herbicides is expected to obtain a
broader spectrum of control of the weeds. Inappropriate mixing herbicides may
cause antagonism effect which can reduce the effectiveness on the target weed.
The objection of the research was to study the antagonism activity of two active
ingredients herbicide mixture, cyhalofop-butyl and penoxsulam. The treatment
was consisted of three types of herbicide with five level of doses, i.e. a single
herbicide cyhalofop-butyl (0, 375, 750, 1500, and 3000 g ai ha-1), penoxsulam (0,
50, 100, 200, and 400 g ai ha-1), and the herbicide mixture of cyhalofop-butyl 50 g
L-1 + penoxsulam 10 g L-1 (0, 225, 450, 900, and 1800 g ai ha-1). The target weeds
were Echinochloa crus-galli, Leptochloa chinensis, Monochoria vaginalis and
Limnocharis flava. Dry weight of biomass and percent of damage would further
determine wheather the herbicide mixture were synergistic, antagonistic, or
additive. Since cyhalofop-butyl and penoxsulam had a different mode of action,
analysis of the data used MSM (Multiplicative Survival Model) method to
determine the LD50 of each herbicide treatment and mix component. The result

showed that an active ingredient mixture of cyhalofop-butyl 50 g L-1 +
penoxsulam 10 g L-1 was synergic, with LD50-expectation values of 212.99 g ai
ha-1 and the LD50-treatment of 177.49 g ai ha-1. The co-toxicity value was 1.20 (>
1).
Key words: rice field weeds, cyhalofop-butyl, penoxsulam, herbicide mixture,
MSM (Multiplicative Survival Model), LD50

RINGKASAN

TRISNANI YUDA FITRI. Uji Aktivitas Herbisida Campuran Bahan Aktif
Cyhalofop-Butyl dan Penoxsulam terhadap Beberapa Jenis Gulma Padi
Sawah. (Dibimbing oleh DWI GUNTORO).
Kompetisi gulma menjadi masalah utama budidaya padi sawah. Gulma
berpotensi menyebabkan penurunan produksi padi hingga 60-70%. Teknik
pencampuran herbisida diharapkan mendapatkan spektrum pengendalian gulma
yang lebih luas dibandingkan pemakaian secara tunggal. Pencampuran herbisida
dapat meningkatkan efektivitas pengendalian (sinergis), namun apabila

tidak


tepat dapat menyebabkan efek antagonisme yang dapat mengurangi efektivitas
hasil pengendalian gulma sasaran.
Penelitian bertujuan untuk mengetahui sifat aktivitas campuran dua bahan
aktif herbisida cyhalofop-butyl dan penoxsulam. Penelitian disusun dalam
rancangan acak lengkap dengan 13 perlakuan, yaitu tanpa perlakuan herbisida (0 g
ai ha-1), herbisida campuran cyhalofop-butyl 50 g L-1 + penoxsulam 10 g L-1
(225, 450, 900, 1800 g ai ha-1), herbisida tunggal cyhalofop-butyl ( 375, 750,
1500, 3000 g ai ha-1), dan penoxsulam ( 50, 100, 200, 400 g ai ha-1). Gulma
sasaran yang digunakan meliputi dua jenis gulma golongan rumput (Echinochloa
crus-galli dan Leptochloa chinensis) dan dua jenis gulma golongan daun lebar
(Monochoria vaginalis dan Limnocharis flava).
Analisis aktivitas herbisida campuran dilakukan dengan menggunakan
model MSM (Multiplicative Survival Model). Nilai Berat kering dan persen
kerusakan lebih lanjut akan menentukan apakah pencampuran herbisida bersifat
sinergis, antagonis, atau aditif. Hasil analisis menunjukkan bahwa campuran dua
bahan aktif herbisida cyhalofop-butyl 50 g L-1 + penoxsulam 10 g L-1 bersifat
sinergis, dengan nilai LD50-Harapan sebesar 212.99 g ai ha-1 dan LD50-Perlakuan
177.49 g ai ha-1 dengan nilai ko-toksisitas sebesar 1.20 (> 1).

UJI AKTIVITAS HERBISIDA CAMPURAN BAHAN AKTIF

CYHALOFOP-BUTYL DAN PENOXSULAM TERHADAP
BEBERAPA JENIS GULMA PADI SAWAH

Skripsi sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh
TRISNANI YUDA FITRI
A24070021

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011

Judul

: UJI AKTIVITAS CAMPURAN HERBISIDA BAHAN AKTIF
CYHALOFOP-BUTYL


DAN

PENOXSULAM

BEBERAPA JENIS GULMA PADI SAWAH
Nama

: Trisnani Yuda Fitri

NIM

: A24070021

Menyetujui,
Dosen Pembimbing

Dwi Guntoro, SP., M.Si
NIP 19700829 199703 1 001


Mengetahui.
Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura
Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Agus Purwito, MSc.Agr
NIP 19611101 198703 1 003

Tanggal Lulus : ………………………….

TERHADAP

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Metro, Provinsi Lampung pada tanggal 26 April
1990. Penulis merupakan anak kedua dari pasangan dari Bapak Moh. Solihin dan
Ibu Dwi Budi Hastuti. Tahun 1998 penulis lulus dari SD N 9 Metro Barat,
kemudian pada tahun 2001 penulis menyelesaikan studi di SMP N 3 Metro.
Selanjutnya, penulis lulus dari SMA N 1 Metro pada tahun 2007. Tahun 2007
penulis diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI),
sebagai mahasiswa di Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas
Pertanian.

Penulis aktif di berbagai organisasi mahasiswa. Tahun 2007 hingga 2008
penulis menjadi anggota UKM MAX!! dan UKM Taekwondo IPB, tahun 2009
penulis menjadi staf Departemen Pertanian Badan Eksekutif Mahasiswa Pertanian
(BEM-A) IPB. Selanjutnya pada tahun 2010 penulis menjadi staf divisi Eksternal
Himagron (Himpunan Mahasiswa Agronomi) Faperta IPB. Tahun 2010 hingga
2011 penulis menjadi asisten mata kuliah Pengendalian Gulma, Dasar-dassar
Agronomi, Dasar-dassar Hortikultura, dan Tanaman Buah.

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberi
kekuatan, rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
kegiatan penelitian dan enyusunan skripsi ini dengan baik.
Skripsi yang disusun berjudul “Uji Aktivitas Campuran Herbisida Bahan
Aktif Butyl- Chyhalofop dan Penoxsulam Terhadap Beberapa Jenis Gulma Padi
Sawah”. Skripsi ini memberikan gambaran mengenai teknik pengujian herbisida
untuk mengetahui pengaruh pencampuran dua bahan aktif herbisida dalam
meningkatkan efektifitas pengendalian gulma pada padi sawah. Penelitian
dilaksanakan di rumah kaca Cikabayan, Kampus IPB Dramaga.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih dan
penghargaan yang tulus kepada semua pihak yang telah turut membantu sehingga

skripsi ini dapat terselesaikan, secara khusus penulis sampaikan kepada:


Bapak Dwi Guntoro, SP., M.Si selaku pembimbing skripsi yang telah
memberikan bimbingan dan pengarahan selama kegiatan penelitian dan
penulisan skripsi ini.



Ir. Adolf Pieter Lontoh, MS dan Ir. Sofyan Zaman, MP selaku dosen
penguji yang telah memberikan saran dan perbaikan dalam penulisan
skripsi ini



Ayahanda Moh. Solihin, Ibunda Dwi Budi Hastuti, dan seluruh keluarga
yang selalu memberi dukungan semangat, doa dan motivasi, serta kasih
sayang yang tidak terbatas.




Dr. Ir. Eny Widajati, MS selaku dosen pembimbing akademik yang telah
membimbing penulis selama menempuh perkuliahaan.



Seluruh staff dan pegawai rumah kaca di Kebun Percobaan Cikabayan IPB
yang telah membantu memfasilitasi segala kebutuhan selama penelitian
berlangsung.



Sahabat: Yanti, Syaharizan, Destieka, Ima, Ayu, Dita, Halimah, Yenny,
Dias, Afifah, dan lainnya atas semangat dan bantuan selama penulis
menyelesaikan penelitian.

vii


Teman–teman Agronomi dan Hortkultura angkatan 44 yang telah

memberikan kenangan persahabatan yang indah selama di perkuliahan.
Kepada semua pihak yang tak dapat penulis sampaikan satu persatu, yang

telah membantu penulis selama perkuliahan dan penyelesaian tugas akhir.
Semoga skripsi ini dapat memberikan informasi dan manfaat yang
berharga bagi pembaca.

Bogor, Desember 2011

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL .................................................................................

ix

DAFTAR GAMBAR .............................................................................


x

DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................

xi

PENDAHULUAN .................................................................................
Latar Belakang..............................................................................
Tujuan ..........................................................................................
Hipotesis .......................................................................................

1
1
4
4

TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................
Gulma pada Padi Sawah ...............................................................
Pengendalian Gulma pada Padi Sawah ..........................................
Herbisida Cyhalofop-Buthyl .........................................................
Herbisida Penoxsulam ..................................................................
Interaksi Herbisida ........................................................................
Model Analisis Campuran Herbisida .............................................

5
5
6
7
7
8
9

BAHAN DAN METODE ......................................................................
Tempat dan Waktu ........................................................................
Bahan dan Alat .............................................................................
Rancangan Percobaan ...................................................................
Pelaksanaan Penelitian ..................................................................
Analisis Data ................................................................................

11
11
11
12
12
12

HASIL DAN PEMBAHASAN ..............................................................
Kondisi Umum Gulma ..................................................................
Bobot Kering Gulma .....................................................................
Persen Kerusakan Gulma ..............................................................
Analisis Campuran Herbisida ........................................................
Nilai Probit ..........................................................................
LD50 ....................................................................................
Model MSM (Multiplicative Survival Model) ......................
Interaksi Herbisida Campuran .......................................................

16
16
22
27
28
28
30
31
33

KESIMPULAN DAN SARAN ..............................................................
Kesimpulan...................................................................................
Saran ............................................................................................

34
34
34

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................

35

LAMPIRAN ..........................................................................................

39

DAFTAR TABEL

Nomor
1.
2.
3.
4.

5.

6.
7.

Halaman
Perlakuan Dosis Berbagai Jenis Herbisida untuk Setiap Jenis
Gulma.............................................................................................

13

Bobot Kering Bagian Segar Gulma Echinochloa crus-galli dan
Leptochloa chinensis setelah Aplikasi Herbisida........................

22

Nilai Bobot Kering Bagian Segar Gulma Monochoria vaginalis
dan Limnocharis flava setelah Aplikasi Herbisida.......................

27

Nilai Bobot Kering Bagian Segar Gabungan 4 Jenis Gulma
E. crus-galli, L. chinensis, M. vaginalis dan L. flava setelah
Aplikasi Herbisida.....................................................................

28

Nilai Kerusakan (%) Gabungan 4 Jenis Gulma E. crus-galli,
L. chinensis, M. vaginalis dan L. flava setelah Aplikasi
Herbisida................................................................................

27

Transformasi Probit dari Nilai Kerusakan Gabungan 4 Jenis
Gulma E. crus-galli, L. chinensis, M. vaginalis dan L. Flava.......

29

Persamaan Regresi Probit dan Nilai LD50-perlakuan : Y = Nilai
Probit dari Rata-rata Persen Kerusakan 4 Jenis Gulma, X = Log
Dosis......................................................................................

30

DAFTAR GAMBAR

Nomor

Halaman

1.

Struktur Kimia Cyhalofop-Buthyl ...............................................

7

2.

Struktur Kimia Penoxsulam ........................................................

8

3.

Analisis Model ADM: Posisi Nilai Harapan dan Nilai Perlakuan

9

4.

Kondisi Gulma Echinochloa crus-galli 9 HSA (Hari setelah
Aplikasi) Dibandingkan dengan Kontrol (K : Tanpa Perlakuan
Herbisida) ...................................................................................

17

Kondisi Gulma Leptochloa chinensis 9 HSA (Hari setelah
Aplikasi) Dibandingkan dengan Kontrol (K : Tanpa Perlakuan
Herbisida) ...................................................................................

18

Kondisi Gulma Monochoria vaginalis 13 HSA (Hari setelah
Aplikasi) Dibandingkan dengan Kontrol (K : Tanpa Perlakuan
Herbisida) ...................................................................................

19

Kondisi gulma Limnocharis flava 10 HSA (Hari Setelah
Aplikasi) Dibandingkan dengan Kontrol (K : Tanpa Perlakuan
Herbisida) ...................................................................................

20

5.

6.

7.

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor
1.

Halaman
Nilai Bobot Kering Bagian Segar dan Bagian yang Mati Gulma
E. crus-galli setelah Aplikasi Herbisida Campuran AB,
Cyhalofop-butyl (A), dan Penoxsulam (B) ..................................

40

Nilai Bobot Kering Bagian Segar dan Bagian yang Mati gulma
L. chinensis setelah Aplikasi Herbisida Campuran AB,
Cyhalofop-butyl (A), dan Penoxsulam (B) ..................................

41

Nilai Bobot Kering Bagian Segar dan Bagian yang Mati Gulma
M. vaginalis setelah Aplikasi Herbisida Campuran AB,
Cyhalofop-butyl (A), dan Penoxsulam (B) ..................................

42

Nilai Bobot Kering Bagian Segar dan Bagian yang Mati Gulma
L. flava setelah Aplikasi Herbisida Campuran AB, Cyhalofopbutyl (A), dan Penoxsulam (B) ………………...........................

43

5.

Tabel Transformasi Nilai Probit ..................................................

44

6.

Transformasi Probit dari Nilai Kerusakan Gabungan 4 Jenis
Gulma E. crus-galli, L. chinensis, M. vaginalis dan L. flava........

49

Hasil Analisis Ragam Nilai Probit Gabungan 4 Jenis Gulma
dengan Menggunakan Program SAS 9.1 .....................................

49

Hasil Analisis Ragam Regresi Linier Data Gabungan 4 Gulma
dengan Menggunakan Program SAS 9.1 .....................................

47

Hasil Analisis Ragam Bobot Kering Gulma Uji dengan
Menggunakan Program SAS 9.1 .................................................

49

10. Hasil Analisis Ragam Persen Kerusakan Gulma Uji dengan
Menggunakan Program SAS 9.1 .................................................

49

2.

3.

4.

7.

8.

9.

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Padi merupakan komoditas pangan utama bagi sebagian besar masyarakat
Asia, terutama Indonesia. Semakin meningkatnya kebutuhan beras di Indonesia
mendorong pemerintah untuk memperluas lahan persawahan. Produksi padi pada
tahun 2009 menunjukkan angka sebesar 64 398 juta ton gabah kering giling
(GKG) dengan produktivitas sebesar 4.99 ton/ha. Peningkatan ini terjadi sejak
tahun 2000 dimana produksi sebesar 51 898 juta ton gabah kering giling (GKG)
dengan produktivitas sebesar 4.41 ton/ha (Deptan, 2010). Peningkatan produksi
beras mengharuskan petani untuk terus-menerus menanam padi untuk menjaga
keberlanjutan pasokan beras nasional.
Upaya peningkatan produksi padi sawah dilakukan secara intensif dengan
memberikan input berupa pupuk yang dapat menyuburkan tanaman. Peningkatan
jumlah hara yang terkandung di dalam tanah di sisi lain juga memungkinkan
gulma dapat tumbuh dengan baik pula. Gulma merupakan masalah utama yang
muncul sejak awal persiapan penanaman hingga menjelang panen padi.
Penurunan produksi pangan khususnya padi akibat gulma masih sangat tinggi
yakni berkisar antara 60-87%. Data yang lebih rinci menyebutkan bahwa
penurunan produksi padi secara nasional akibat gangguan gulma mencapai
15-42% untuk padi sawah dan 47-87% untuk padi gogo (Pitoyo, 2006). Oleh
karena itu, diperlukan pengendalian yang dapat mengurangi persaingan gulma
dengan padi sebagai tanaman budidaya utama.
Pengendalian gulma dapat dilakukan dengan cara manual, mekanis, kultur
teknis, maupun kimia. Petani pada umumnya melakukan pengendalian gulma di
sawah secara manual. Hal ini mungkin efektif bila dilakukan pada lahan sawah
yang kecil, namun tidak sesuai bila lahan sawah yang dimiliki sangat luas dalam
skala puluhan hektar. Metode pengendalian yang paling banyak dilakukan adalah
secara kimiawi dengan menggunakan herbisida (Barus, 2003). Pengendalian
kimia dinilai lebih efektif untuk mengurangi populasi gulma dibandingkan dengan
pengendalian lainnya. Pengendalian secara kimia terus dilakukan terutama pada

2
sistem budidaya yang intensif, sehingga makin banyak residu herbisida yang
tertingal di dalam tanah.
Umiyati (2005) menyatakan bahwa penggunaan herbisida sebagai
pengendali gulma mempunyai dampak positif yakni gulma dapat dikendalikan
dalam waktu yang relatif singkat dan mencakup areal yang luas. Adanya jenis
herbisida selektif hanya mampu mengendalikan satu jenis gulma, dimana apabila
salah satu gulma dikendalikan, maka gulma jenis lain yang lebih tahan akan
menjadi dominan pada lahan, dan dapat menimbulkan masalah baru. Gulma juga
dapat menjadi resisten apabila secara terus-menerus diberi herbisida yang sama.
Gulma memiliki tahapan pertumbuhan sama halnya dengan tanaman
budidaya, sehingga proses aplikasi herbisida membutuhkan waktu yang tepat agar
efek yang ditimbulkan sesuai dengan yang diinginkan. Beberapa gulma padi
sawah mulai berkecambah sebelum proses penanaman padi, namun sebagian
besar muncul saat kondisi tanah macak-macak. Monaco et al. (2002) menyebutkan bahwa waktu aplikasi herbisida terbagi menjadi preplanting, preemergence, dan post emergence. Aplikasi post emergence diterapkan setelah
gulma berkecambah dan tanaman budidaya mulai tumbuh. Pengetahuan waktu
aplikasi sangat diperlukan untuk menentukan kapan waktu yang tepat untuk
mengendalikan gulma secara kimia.
Saat ini telah banyak dilaporkan adanya jenis-jenis gulma yang resisten
terhadap herbisida sebagai akibat dari pengendalian gulma dengan menggunakan
herbisida tunggal secara berulang-ulang.

Sebanyak 352 biotipe gulma telah

dilaporkan menjadi biotipe resisten (Weedscience, 2011). Pengendalian gulma
selama ini terbatas pada penggunaan herbisida tunggal dengan satu jenis bahan
aktif dan spesifik. Cyhalofop-butyl dan penoxsulam merupakan bahan aktif
herbisida yang kerap digunakan dalam pengendalian gulma padi sawah dengan
hasil yang optimal. Jenis herbisida dengan bahan aktif cyhalofop pada dosis
200 g ha-1 mampu mengendalikan Echinochloa crus-galli setidaknya 88% bila
diterapkan di awal dan akhir post emergence (Ntanos et al., 2000), sedangkan
herbisida berbahan aktif penoxsulam mampu mengendalikan hampir 99% pada 21
hari setelah aplikasi (HSA) secara pre emergence (Ottis et al., 2004).

3
Perkembangan teknologi pencampuran herbisida dengan bahan aktif
berbeda bertujuan untuk mendapatkan spektrum pengendalian yang lebih luas,
serta diharapkan dapat memperlambat timbulnya gulma yang resisten terhadap
herbisida. Aplikasi campuran cyhalofop-butyl + azimsulfuron + mlinate dapat
mengendalikan E. crus-galli pada 27 HSA (Kuk et al., 2002). Campuran
penoxsulam 30 g L-1 + clomazone 560 g L-1 secara pre emergence dua minggu
setelah penggenangan padi sawah dapat mengendalikan 40% Sesbenia, 90% E.
crus-galli,

70%

Leptochloa

panicoides,

dan

86

%

Cyperus

iria

(Williams et al., 2004). Pencampuran juga diharapkan dapat menghemat
penggunaan herbisida, karena adanya pengurangan dosis dan konsentrasi bahan
aktif, menekan biaya produksi serta dapat mengurangi akumulasi residu herbisida
untuk tujuan konservasi tanah.
Salah satu hal yang harus dicermati dalam pencampuran herbisida adalah
apakah campuran tersebut bersifat antagonis atau tidak. Jika campuran herbisida
tersebut bersifat antagonis, maka pengendalian gulma dengan herbisida campuran
tersebut tidak akan efektif. Sifat aktivitas suatu campuran herbisida ditentukan
oleh jenis formulasi, cara kerja dan jenis-jenis gulma yang dikendalikan.
Metode pencampuran herbisida tidak selalu menimbulkan reaksi yang
positif. Setiap bahan aktif yang terkandung dalam herbisida memiliki jenis
formulasi, cara kerja, dan spesifikasi jenis gulma yang berbeda. Reaksi campuran
dapat bereaksi positif (efek sinergis), yang berarti pencampuran herbisida dapat
meningkatkan efisiensi penggunaan herbisida dalam mengendalikan gulma
saasaran. Gejala negatif ditunjukkan dengan reaksi antagonis pada gulma sasaran
yakni berkurangnya daya mematikan gulma. Oleh karena itu suatu campuran
beberapa bahan aktif herbisida perlu diuji sifat aktivitasnya, untuk mengetahui
adanya aktivitas antagonisme herbisida.

4
Tujuan
Tujuan peneltian ini adalah untuk mengetahui sifat aktivitas campuran dua
bahan aktif herbisida cyhalofop-butyl dan penoxsulam pada beberapa jenis gulma
padi sawah.

Hipotesis
1. Pencampuran herbisida dapat meningkatkan efektivitas hasil pengendalian
gulma sasaran.
2. Tidak terdapat aktivitas antagonisme pada pencampuran herbisida bahan aktif
cyhalofop-butyl dan penoxsulam.

TINJAUAN PUSTAKA

Gulma pada Padi Sawah
Gulma merupakan tanaman yang tumbuh bukan pada tempatnya, atau
disebut juga tanaman atau tumbuhan yang manfaatnya lebih sedikit dibandingkan
dengan kerugian yang diakibatkan pada lahan yang sedang diusahakan
(Radosevich, et al., 2007). Gulma dapat tumbuh di berbagai macam lingkungan
termasuk di air. Gulma air (aquatic weeds) adalah tanaman yang mempunyai
kemampuan beradaptasi di lingkungan basah. Menurut Sidorkewicj, et al. (2004)
terdapat lebih kurang 700 spesies gulma air yang tersebar di dunia, namun hanya
beberapa diantaranya yang menimbulkan masalah.
Di Indonesia gulma air menjadi penting terkait dengan banyaknya lahan
persawahan yang berada di wilayah jenuh air. Beberapa jenis gulma yang menjadi
masalah pada pertanaman padi sawah sistem pindah tanam (transplanted rice
fields) antara lain Eleocharis kuroguwai, Sagittaria trifolia, S. pygmaea,
Echinochloa crus-galli, dan Monochoria vaginalis (Chul and Goo, 2005). Salah
satu contoh gulma penting yang ada pada pertanaman padi adalah Echinochloa
crus-galli. Gulma ini memiliki daya adaptasi yang kuat, yang akan bersaing
dengan tanaman padi sawah. Hasil penelitian Guntoro et al. (2009) menyatakan
bahwa semakin tinggi populasi E. crus-galli akan meningkatkan kompetisi
terhadap tanaman padi dan berpotensi menurunkan hasil gabah per malai. Gulma
golongan daun lebar seperti Monochoria vaginalis dan Limnocharis flava menjadi
dominan

dengan

frekuensi

penutupan

mencapai

lebih

dari

50%

(Begum et al., 2005).
Gulma-gulma lain kemungkinan tidak invasive terhadap tanaman utama,
namun beberapa gulma seperti Monochoria vaginalis dapat menjadi inang bagi
keong sawah yang dapat mengganggu pembibitan padi sawah. Beberapa gulma
seperti M. vaginalis, Cyperus rotundus, Leersia hexandra, dan Jussiaea repens
merupakan tanaman inang bagi virus tungro (Muis et al., 2008), sedangkan
Paspalum, Zizania, Echinochloa, dan Ischaemum merupakan inang dari hama
ganjur Oezeolia oryzae (Wood-Meson) (Kartohardjono, et al., 2009).

6
Pengendalian Gulma pada Padi Sawah
Sistem budidaya padi dilakukan secara intensif yang menghendaki kondisi
bersih gulma untuk meminimalkan persaingan antara tanaman padi dan gulma.
Gulma muncul terutama sejak padi mulai dipanen hingga musim tanam baru
dimulai.
Salah satu cara yang digunakan dalam pengendalian gulma padi sawah
yakni secara manual. Pengendalian dilakukan dengan menyiangi gulma pada saat
persiapan lahan, namun cara ini dinilai kurang efektif. Penerapan sistem SRI
(System of Rice Intensification) pada pertanaman padi menyebabkan peningkatan
jumlah tenaga kerja, karena kegiatan pengendalian gulma maupun hama
dilakukan sendiri oleh petani. Pengendalian gulma dilakukan sebanyak 3-4 kali,
sehingga terjadi peningkatan biaya untuk kebutuhan tenaga kerja (Anugrah et al.,
2008).
Pengendalian gulma secara kultur teknis juga digunakan dalam
mengendalikan gulma pada padi sawah. Metode yang digunakan salah satunya
adalah dengan penggenangan. Kondisi tanah yang tergenang menciptakan suasana
anaerob, sehinga perkecambahan biji gulma dapat dihambat. Penggenangan juga
menyebabkan penghambatan suplay oksigen pada proses respirasi di sekitar
perakaran.

Prambudyani

dan

Djufry

(2006)

menyatakan

bahwa

pada

penggenangan padi sawah hingga 15 cm, tidak meningkatkan laju pertumbuhan
relatif gulma Fimbristylis miliacea.
Cara yang paling efektif dan banyak digunakan untuk mengendalikan
gulma pada padi sawah saat ini adalah dengan menggunakan bahan kimia. Bahan
kimia tidak hanya digunakan untuk mengendalikan gulma, namun juga diterapkan
untuk mengendalikan hama dan penyakit pada pertanaman padi. Herbisida yang
umum digunakan pada tanaman padi baik digunakan secara tunggal maupun
campuran antara lain: herbisida thiobencarb, 2.4-D, campuran herbisida metil
metsulfuron + etil klorimuron, herbisida 2.4 dimetilamina, dan herbisida
oksifluorfen (Dwianda, 2007).

7
Herbisida Cyhalofop-Butyl

O

N
C

F

O
O

CH3

CH3
O

Gambar 1. Struktur Kimia Cyhalofop-Butyl

2-[4-(4-cyano-2-fluorophenoxy)phenoxy]propanoic acid, butylester (R)
termasuk kedalam golongan Aryloxyphenoxypropionate. Herbisida ini termasuk
dalam grup herbisida ACCase (acetyl CoA carboxylase) inhibitors

(Weed

Science, 2011). Cyhalofop-butyl mengendalikan gulma dengan jalan menghambat
kerja Asetil Koenzim-A Karboksilase. Enzim ini bertindak dalam biosintesis asam
lemak pada jenis rumput-rumputan. Penghambatan asam lemak menyebabkan
kehilangan lemak dan kematian secara bertahap pada proses pembelahan sel di
titik tumbuh (California Departement of Pesticide Regulation, 2003). Beberapa
gulma yang dapat dikendalikan oleh herbisida cyhalofop-butyl yakni Echinochloa
spp. pada umur kurang dari fase 5 daun (Wada, 2004), Leptochloa spp., dan tidak
mengendalikan gulma daun lebar (broadleaves) (California Departement of
Pesticide Regulation, 2003).

Herbisida Penoxsulam
Penoxsulam termasuk dalam kelompok senyawa Triazolopyrimidine
sulfonamide. Herbisida ini merupakan grup herbisida ALS inhibitors (Weed
Science, 2011). Bahan aktif penoxsulam digunakan sebagai sebagai herbisida
pasca tumbuh dan sebagai zat penghambat pertumbuhan enzim acetolacetate
synthase

(ALS)

yang

mirip

dengan

imidazolinone

dan

sulfonylurea

(Ottis et al., 2003). Herbisida berbahan Triazolopyrimidine pertama kali
dikomersialisasikan tahun 1993, dan lima jenis diantaranya tercatat sedang
dikembangkan.

Triazolopyrimidine,

sulfonylurea,

dan

sulfonylamino-

8
carbonyltriazolinone mampu menghambat pembelahan sel dengan cepat dimana
herbisida masuk ke dalam xylem dan floem, sehingga mencegah biosintesis
percabangan rantai asam amino (Monaco, 2002).
OCH

OHF
N

N

O

N
NH
N
O

S
O

OCH

F3

Gambar 2. Struktur Kimia Penoxsulam

Penoxsulam

merupakan

herbisida

berspektrum

luas

yang

dapat

mengendalikan gulma semusim, tahunan, dan dwitahunan pada rumput golf. Jenis
gulma yang dapat dikendalikan antara lain: Trifolium repens, Glechoma
hederacea, Hydrocotyle spp. (Dow AgroSciences, 2005), Salvinia minima
Baker., dan Eichornia crassipes (Mart.) (Wersal and Madsen, 2010). Penoxsulam
dapat mengendalikan semua jenis gulma (daun lebar, rumput, dan teki) kecuali
Leptochloa spp., Dactiloteneum spp., dan Cyperus rotundus (Gopal et al., 2010).

Interaksi Herbisida
Pencampuran beberapa jenis herbisida dapat mempengaruhi toksisitas
masing-masing komponen bahan aktif herbisida. Interaksi herbisida campuran
dapat berupa interaksi sinergis dan interaksi antagonis. Interaksi sinergis terjadi
apabila beberapa campuran herbisida akan menimbulkan efek normal atau bahkan
meningkatkan pengaruh herbisida, sedangkan interaksi antagonis terjadi apabila
campuran beberapa bahan aktif dalam herbisida akan menurunkan pengaruh
terhadap gulma sasaran.
Interaksi antagonis dapat menimbulkan mekanisme yang berbeda pada
gulma sasaran. Rao (2000) mengemukakan bahwa terdapat empat jenis
mekanisme antagonisme yang dapat terjadi pada pencampuran beberapa bahan
aktif herbisida. Antagonisme biokimia terjadi apabila bahan aktif satu herbisida

9
menghambat penetrasi bahan aktif herbisida lain pada gulma sasaran tertentu
(berlawanan dengan sifat sinergis). Antagonisme kompetitif terjadi ketika
campuran dua bahan aktif bekerja saling meniadakan satu sama lain, sedangkan
pada antagonisme fisiologis antar bahan aktif menimbulkan reaksi berkebalikan
bila dicampur dengan bahan yang lain. Antagonisme kimia menimbulkan reaksi
kimia saat kedua bahan aktif dicampur, sehingga campuran herbisida kehilangan
pengaruh pada gulma sasaran.

Model Analisis Campuran Herbisida
Sifat antagonis atau sinergis dari pencampuran herbisida dapat ditentukan
dengan dua model acuan, yaitu ADM (Additive Dose Model) dan MSM
(Multiplicated Survival Model). Model ADM pada awalnya digunakan untuk
mendemonstrasikan aplikasi insektisida terhadap serangga, kemudian dengan
menggunakan metode isobol dapat diperkirakan sifat insektisida campuran
(sinergis, aditif, atau antagonis) (Tammes, 1964; Hatzios dan Panner, 1984).
Metode tersebut selanjutnya menjadi dasar model ADM dan digunakan bila dua

Dosis B

herbisida dari kelompok bahan kimia dan mode of action sama dicampurkan.

l = campuran dengan reaksi A;B
antagonistik

L
(a1,b1)= TP harapan
(a2,b2)= nilai perlakuan
(sinergistik)

t = persamaan
dari A dan B
K

Dosis A

Gambar 3. Analisis Model ADM: Posisi Nilai Harapan dan Nilai Perlakuan
Sumbu x dan y menunjukkan dosis herbisida A dan B (Gambar 3). K
adalah LD50 herbisida A, sedangkan L adalah LD50 herbisida B. Garis yang
menghubungkan titik K dan L pada kedua sumbu merupakan titik kedudukan

10
berbagai campuran herbisida yang menyebabkan kematian 50%. Garis (l)
menggambarkan perbandingan herbisida A dan B dalam formulasi herbisida
campuran. Perpotongan kedua garis ini merupakan nilai LD50-harapan herbisida
campuran. Bila nilai LD50 herbisida campuran lebih kecil dari LD50-harapan,
maka campuran herbisida bersifat sinergis. Bila nilai LD50 sama dengan nilai LD50
harapan, maka campuran herbisida bersifat aditif, dan bila lebih besar maka
herbisida campuran bersifat antagonis.
Metode MSM digunakan bila komponen formulasi memiliki mode of
action atau golongan yang berbeda (Kristiawati, 2003). Analisis dinyatakan dalam
persamaan regresi linier probit (Y = aX + b) dari gabungan herbisida. Nilai persen
kerusakan gulma dinyatakan dalam bentuk transformasi nilai probit (sebagai Y),
sedangkan dosis herbisida dinyatakan dalam bentuk logaritmik dari dosis (sebagai
X). Persamaan linier yang diperoleh digunakan untuk menghitung nilai LD50,
yaitu dosis yang menyebabkan kemungkinan kematian 50% populasi gulma yang
diharapkan akibat aplikasi herbisida.
Nilai LD50 ini selanjutnya akan digunakan untuk melakukan analisis.
Gowing (1960) dan Limpel (1962) menemukan formulasi matematika yang
digunakan untuk menentukan nilai harapan campuran, dinyatakan sebagai:
P(A+B) = P(A) + P(B) – P(A)(B)
dimana P(A+B) adalah nilai persen kematian gulma dari herbisida campuran
(Purwanti, 2003). Dalam formulasi ini, P(A) adalah persen kematian gulma oleh
herbisida A, P(B) adalah persen kematian gulma akibat herbisida B, sedangkan
P(A)(B) adalah hasil kali persen kematian P(A) dengan P(B). Nilai LD50-harapan
dapat diperoleh dari persamaan P(A+B) = 50, dimana P(A) dan P(B) diperoleh
dari persamaan garis probit Y = a + bX.
Kriteria sifat campuran dinilai dari perbandingan LD50-percobaan
campuran dan nilai LD50-harapan campuran. Campuran bersifat sinergis apabila
LD50-percobaan campuran lebih kecil dari LD50-harapan campuran, jika
sebaliknya maka campuran tersebut bersifat antagonis. Sifat aditif terjadi apabila
nilai LD50-percobaan campuran sama dengan LD50-harapan campuran.

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di rumah kaca Kebun Percobaan Cikabayan,
Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Desember 2010
hingga Maret 2011.

Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan pada penelitian ini meliputi herbisida bahan aktif
cyhalofop-butyl (Clincher 100 EC), penoxsulam (Clipper 25 OD), dan campuran
herbisida cyhalofop-butyl 50 g L-1 + penoxsulam 10 g L-1 (Topshot 60 OD) untuk
uji antagonisme, dan empat spesies gulma air (Echinochloa crus-galli, Leptochloa
chinensis, Monochoria vaginalis, dan Limnocharis flava). Media yang digunakan
berupa tanah sawah latosol yang diperoleh dari lahan sawah sekitar kampus IPB
Dramaga, Bogor.
Peralatan yang digunakan dalam penelitian meliputi gelas cup dan
mangkuk styrofoam sebagai media penanaman, knap sack sprayer 15 L, nozzle
T-jet warna kuning, gelas ukur 2 L, pipet ukur 10 mL, gunting, kantong kertas,
label, oven, dan timbangan analitik.

Rancangan Perobaan
Penelitian disusun dalam rancangan acak kelompok (RAK) dengan 3 kali
ulangan dan 13 perlakuan, yaitu:
1. K

= (tanpa perlakuan herbisida)

2. ABR1 = herbisida campuran cyhalofop-butyl + penoxulam ½F
3. ABR2 = herbisida campuran cyhalofop-butyl + penoxulam F
4. ABR3 = herbisida campuran cyhalofop-butyl + penoxulam 2F
5. ABR4 = herbisida campuran cyhalofop-butyl + penoxulam 4F
6. AR1

= herbisida tunggal cyhalofop-butyl ½F

7. AR2

= herbisida tunggal cyhalofop-butyl F

12
8. AR3

= herbisida tunggal cyhalofop-butyl 2F

9. AR4

= herbisida tunggal cyhalofop-butyl 4F

10. BR1

= herbisida bahan aktif tunggal penoxulam ½F

11. BR2

= herbisida bahan aktif tunggal penoxulam F

12. BR3

= herbisida bahan aktif tunggal penoxulam 2F

13. BR4

= herbisida bahan aktif tunggal penoxulam 4F

.
Satuan percobaan terdiri atas 4 pot gulma sehingga total terdapat 156
satuan percobaan. Rancangan percobaan akan disusun berdasarkan model linier:
Yij = μ + αi + βj + εij
Keterangan:
Yij = Pengamatan pada satuan percobaan ke-j yang memperoleh perlakuan
taraf ke-i
µ

= Nilai tengah umum

αi

= Pengaruh dari ulangan ke-j

βj

= Pengaruh dari perlakuan taraf ke-i

εij = Pengaruh sisa dari percobaan ke-j yang memperoleh perlakuan taraf ke-i
Data yang diperoleh selanjutnya akan diolah dengan menggunakan uji F pada
taraf 5%. Uji beda nilai tengah dengan menggunakan DMRT.

Pelaksanaan Penelitian
Persiapan Media
Media dibuat menyerupai kondisi lingkungan tumbuh gulma air yang jenuh
air. Media tanam berupa tanah sawah latosol dimasukkan ke dalam gelas cup
sebanyak 156 buah yang telah dilubangi pada bagian dasar gelas untuk sirkulasi
air. Pot selanjutnya diletakkan di dalam mangkuk styrofoam berisi air, sehingga
media selalu dalam keadaan basah.

13
Persiapan Bahan Tanam
Bahan tanam diperoleh dengan cara mengumpulkan propagul gulma dari
areal persawahan di sekitar kampus IPB Dramaga. Bahan tanam berupa bagian
vegetatif atau anakan gulma. Anakan dari masing-masing spesies gulma diperoleh
dengan mengambil tanaman yang sudah memiliki jumlah anakan yang cukup,
kemudian dipindahtanamkan ke media pot untuk dipelihara sebelum diberikan
perlakuan herbisida. Penyulaman dilakukan dengan mengganti tanaman baru yang
memiliki ukuran atau umur seragam. Gulma dipelihara hingga mencapai tingkat
recovery yang cukup untuk perlakuan herbisida selama kurang lebih 4 minggu.

Pemeliharaan
Pemeliharaan berupa penyiraman dilakukan dengan mengisi air pada
mangkuk styrofoam untuk menjaga kelembaban tanah dan ketersediaan air
tanaman. Penyiraman dilakukan setiap hari selama penelitian berlangsung.

Aplikasi Herbisida
Tabel 1. Perlakuan Dosis Berbagai Jenis Bahan Aktif Herbisida untuk
Setiap Jenis Gulma
Perlakuan
K
R1
R2
R3
R4

A
Cyhalofop-butyl
(g ai ha-1)
0
375
750
1500
3000

B
Penoxsulam
(g ai ha-1)
0
50
100
200
400

AB
Campuran
(g ai ha-1)
0
225
450
900
1800

Perlakuan diberikan setelah gulma berumur 4 minggu setelah pindah
tanam. Aplikasi herbisida dilakukan setelah bahan tanam dapat beradaptasi pada
media pot. Herbisida disemprotkan dengan menggunakan knapsack sprayer
dengan nozzle T-jet warna kuning dengan lebar semprot 0.5 m. Kalibrasi larutan
herbisida dengan volume semprot 500 L ha-1. Luas bidang semprot yang

14
digunakan adalah 4 m x 0.5 m, dimana gulma ditempatkan secara acak dalam
luasan bidang semprot.

Pengamatan
Pengamatan dilakukan pada dua peubah yaitu bobot kering dan persen
kematian yang diamati setelah proses panen gulma. Pemanenan dilakukan hingga
hari ke-13 setelah aplikasi (HSA). Gulma dipisahkan antara bagian yang kering
dan bagian yang masih segar. Masing-masing perlakuan ditempatkan di dalam
kantong kertas dan diberi label, kemudian dioven pada suhu 60oC selama 3 hari,
kemudian ditimbang untuk memperoleh data bobot kering.

Analisis Data
Data bobot kering yang diperoleh selanjutnya dikonversi menjadi nilai
persen kematian. Persen kematian dihitung dengan melihat tingkat kematian yang
ditimbulkan oleh herbisida. Pengamatan dilakukan hingga kematian mencapai
90% untuk setiap individu gulma secara visual. Persen kematian dapat dihitung
dengan menggunakan rumus:
% kematian

= %KP - %KK

% KP

= {1-Bsp } x 100%
Bsk

% KK

= (Bmk / Btk ) x 100%

% kematian gabungan = [%kem i + %kem j + … %kem ke-n)] / n
Keterangan:
%KP

= persen kematian perlakuan

%KK

= persen kematian kontrol

Bsp

= bobot kering bagian gulma yang segar perlakuan (g)

Bsk

= bobot kering bagian gulma yang segar kontrol (g)

Bmk

= bobot kering bagian gulma yang mati kontrol (g)

Btk

= bobot kering total gulma kontrol (g)

15
i,j,.. (ke-n)

= spesies gulma tertentu

n

= jumlah spesies yang digunakan

Persen kematian yang diperoleh selanjutnya dikonversi ke dalam nilai
probit. Dari probit (y) dan log dosis (x) akan diperoleh persamaan regresi linier
sederhana dengan menggunakan program pengolahan data SAS 9.1. Kemudian
dari persamaan ini didapat nilai LD50-perlakuan herbisida cyhalofop-butyl,
penoxsulam, dan campuran masing-masing terhadap gulma sasaran. Nilai tersebut
selanjutnya digunakan untuk menganalisis sifat campuran kedua jenis herbisida
dengan menggunakan metode MSM (Multiplicative Survival Model).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Gulma
Pengujian aktivitas campuran herbisida dilaksanakan di dalam rumah kaca
selama bulan Maret 2011. Rumah kaca memiliki suhu rata-rata minimum 22.48oC
pada pagi hari, dan suhu maksimum 48.34oC pada siang hari. Kelembaban udara
rata-rata minimum di dalam rumah kaca sebesar 21.88 % pada pagi hari dan
maksimum pada siang hari sebesar 96.22 %. Kondisi suhu di siang hari yang
relatif tinggi menyebabkan kebutuhan air gulma percobaan meningkat. Curah
hujan yang terukur selama bulan Maret sebesar 140 mm. Curah hujan yang rendah
menyebabkan tanaman gulma uji lebih banyak mendapatkan cahaya matahari
penuh lebih dari 6 jam per hari. Kondisi tersebut meningkatkan adaptasi gulma
dari kondisi lahan sawah yang terkena sinar matahari penuh.
Penggunaan rumah kaca sebagai lingkungan terkontrol diberikan dengan
tujuan untuk meningkatkan efektifitas efikasi perlakuan herbisida. Bangunan
rumah kaca yang kurang optimal menyebabkan lingkungan percobaan menjadi
tidak seragam. Kondisi atap rumah kaca yang tertutup lumut menyebabkan sinar
matahari yang mengenai tanaman percobaan tidak seragam. Hujan secara tidak
langsung mempengaruhi lingkungan rumah kaca. Limpasan air hujan yang masuk
dan mengenai petak percobaan menyebabkan efek leaching (pencucian), sehingga
konsentrasi herbisida menurun dan mengurangi daya mematikan tanaman gulma
percobaan. Oleh karena itu, tanaman pada petak percobaan tidak seragam pada
setiap ulangannya.
Aplikasi herbisida memperlihatkan pengaruh pada gulma sasaran yang
diujikan yaitu gulma golongan rumput (Echinochloa crus-galli dan Leptochloa
chinensis), serta gulma golongan daun lebar (Limnocharis flava dan Monochoria
vaginalis). Perlakuan aplikasi herbisida pada awalnya akan mempengaruhi fungsi
metabolisme tanaman dalam menghasilkan energi, yang kemudian akan
menyebabkan berkurangnya bobot kering total gulma terutama pada jaringan yang
masih segar.

17
E. crus-galli dan Leptochloa spp merupakan tanaman tipe C4 (Wang dan
Li, 2008) yang memiliki tingkat efisiensi fotosintesis tinggi dan boros dalam
penggunaan air. Kompetisi terjadi karena kedua jenis gulma mampu bertahan dan
dapat melakukan metabolisme lebih baik dalam kondisi sawah yang tergenang
maupun saat air surut dibandingkan tanaman utama yakni padi (Nyarko dan
De Datta, 1991). Pemberian perlakuan herbisida yang dilakukan di rumah kaca
mampu menyebabkan kerusakan pada kedua jenis gulma rumput.

Cyhalofop-butyl + Penoxsulam

Cyhalofop-butyl

Penoxsulam
Gambar 4. Kondisi Gulma Echinochloa crus-galli 9 HSA (Hari setelah
Aplikasi) Dibandingkan dengan Kontrol Tanpa Perlakuan
Herbisida (K)

Proses kerusakan gulma E. crus-galli diawali dengan perubahan warna
daun menjadi kekuningan dan kekeringan bagian pangkal batang pada 5 HSA.
Gejala lain yang tampak yakni gulma yang diberi perlakuan aplikasi herbisida
mengalami penghambatan pertumbuhan, sehingga tubuh tanaman terlihat lebih
pendek dengan jumlah daun yang lebih sedikit dibandingkan dengan kontrol

18
(tanpa perlakuan herbisida). Gejala kerusakan terus meningkat hingga gulma
mengalami kematian 90% pada 9 HSA (Gambar 4).
Kerusakan gulma L. chinensis terjadi sejak 3 HSA, dimana daun mulai
berubah warna menjadi kekuningan (klorosis). Gangguan juga terlihat pada proses
pertumbuhan dimana daun gulma tampak tidak mengalami pertambahan panjang
dibandingkan dengan kontrol (tanpa perlakuan herbisida). Perubahan warna
kuning pada daun berikutnya diikuti oleh kekeringan hingga gulma mencapai
kematian 90% pada 9 HSA (Gambar 5).

Cyhalofop-butyl + Penoxsulam

Cyhalofop-butyl

Penoxsulam
Gambar 5. Kondisi Gulma Leptochloa chinensis 9 HSA (Hari setelah
Aplikasi) Dibandingkan dengan Kontrol Tanpa Perlakuan
Herbisida (K)

Perlakuan campuran herbisida cyhalofop-butyl + penoxsulam (AB)
menunjukkan gejala kekeringan pada dua jenis gulma golongan rumput uji. Gejala
klorosis yang diikuti dengan kekeringan pada daun meningkat seiring dengan
peningkatan dosis perlakuan herbisida, terutama pada perlakuan 4 kali dosis
formulasi (R4). Pengamatan proses kematian pada 9 HSA menunjukkan bahwa
kerusakan yang ditimbulkan oleh herbisida bahan aktif penoxsulam lebih sedikit

19
dibandingkan dengan herbisida tunggal cyhalofop-butyl. Hal ini ditandai dengan
gejala klorosis pada daun yang ditimbulkan oleh perlakuan penoxsulam tidak
sebesar pada perlakuan cyhalofop-butyl.
Gulma golongan daun lebar M. vaginalis dan L. flava merupakan tanaman
tipe C3 seperti halnya padi sawah. Kedua jenis gulma tidak menimbulkan
kompetisi dengan tanaman padi, namun penyebarannya yang cepat menyebabkan
gulma menjadi dominan pada lahan padi sawah. Gulma M. vaginalis menjadi
invasive karena memiliki kecepatan tumbuh yang tinggi melalui perbanyakan
vegetatif (Caton et al., 2010).

Cyhalofop-butyl

Penoxsulam

Cyhalofop-butyl + Penoxsulam
Gambar 6. Kondisi Gulma Monochoria vaginalis 13 HSA (Hari setelah
Aplikasi) Dibandingkan dengan Kontrol Tanpa Perlakuan
Herbisida (K)

Aplikasi herbisida memperlihatkan pengaruh kerusakan gulma golongan
daun lebar yang diuji. Gulma M. vaginalis mulai memperlihatkan respon
kerusakan pada 7 HSA, dimana batang dan tangkai daun mengalami perubahan

20
warna menjadi hijau pucat hingga kecoklatan, kemudian daun mengalami
kekeringan seperti terbakar. Proses pertumbuhan juga terhambat sehingga gulma
yang diberi aplikasi herbisida tidak bertambah tinggi maupun jumlah daun
dibandingkan dengan perlakuan kontrol tanpa herbisida (K). Gulma mengalami
kematian 90% pada 13 HSA (Gambar 6).
Kerusakan pada gulma L. flava terjadi sejak 3 HSA, yang diawali dengan
perubahan warna tangkai daun dari hijau segar menjadi kuning pucat. Beberapa
helai daun mengalami gejala seperti terbakar kemudian daun mengering. Proses
kelayuan yang cepat menyebabkan gulma tidak mengalami pertambahan tinggi
maupun jumlah daun. Kelayuan bertambah hingga gulma mencapai kematian 90%
pada 10 HSA (Gambar 7).
K

R1

R2

R3

R4

Cyhalofop-butyl + Penoxsulam
K

R1

R2

R3

R4

Cyhalofop-butyl
K

R1

R2

R3

R4

Penoxsulam
Gambar 7. Kondisi Gulma Limnocharis flava 10 HSA (Hari setelah
Aplikasi) Dibandingkan dengan Kontrol Tanpa Perlakuan
Herbisida (K)

21
Kondisi gulma golongan daun lebar yang diberi aplikasi herbisida
campuran cyhalofop-butyl + penoxsulam menimbulkan kerusakan yang lebih
besar dibandingkan dengan perlakuan herbisida tunggal. Perlakuan herbisida
tunggal cyhalofop-butyl menyebabkan daun menjadi layu, namun masih banyak
menyisakan bagian gulma yang segar dibandingkan dengan perlakuan herbisida
tunggal penoxsulam.
Pengaruh herbisida belum dapat terlihat pada 1 HSA (hari setelah aplikasi).
Kondisi gulma belum menunjukkan gejala kelayuan maupun kekeringan seperti
terbakar pada daun maupun batang. Ketiga perlakuan herbisida yang digunakan
memiliki sifat sistemik. Empat gulma uji yang digunakan memiliki lapisan lilin
pada permukaan daun dan batang yang cukup tebal, sehingga efikasi herbisida
tidak berlangsung sangat cepat. Dua jenis bahan aktif herbisida yang digunakan
memiliki perbedaan golongan kimia. Cyhalofop-butyl termasuk ke dalam
golongan Arylopenoxypropionate (AOPP) yang menghambat kerja enzim Acetil
Co-enzim A carboxylase (Santaella et al., 2006), sedangkan penoxsulam
merupakan golongan Triazolepyrimidynes solfonamide yang bekerja menghambat
pembentukkan enzim acetolactate syntase (Koschnick et al., 2007).
Chyhalofop-butyl

merupakan

herbisida

post

emergence

mengendalikan gulma golongan rumput-rumputan. Penoxsulam

yang

memiliki

kecenderungan untuk mengendalikan jenis daun lebar. Oleh karena itu, pada
pengamatan keempat jenis gulma uji, herbisida cyhalofop-butyl lebih banyak
menimbulkan kerusakan pada gulma E. crus-galli dan L. chinensis, sedangkan
penoxsulam lebih banyak menimbulkan kerusakan pada gulma M. vaginalis dan
L. flava.
Gabungan

kedua

jenis

herbisida

cyhalofop-butyl

+

penoxsulam

menyebabkan kerusakan baik pada gulma rumput maupun gulma daun lebar yang
diamati, serta mempercepat proses kerusakan lebih besar dibandingkan herbisida
tunggal pada waktu yang sama. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Damalas
(2004) yang menyebutkan bahwa dengan adanya perbedaan golongan/grup bahan
kimia, mode of action, dan pengaruh terhadap jalur metabolisme, campuran
herbisida dapat saling berinteraksi dalam menghambat kerja enzin atau proses
fisiologis gulma.

22
Bobot Kering Gulma
Gulma Golongan Rumput (Grasses)
Kombinasi perlakuan herbisida pada dosis tertentu memberikan pengaruh
terhadap bobot kering bagian segar gulma rumput yang diamati. Tabel 2
menerangkan bahwa bobot kering total dua jenis gulma rumput yang mendapat
perlakuan herbisida nyata lebih rendah dibandingkan dengan tanpa perlakuan
herbisida (K).
Tabel 2. Nilai Bobot Kering Bagian Segar Gulma Echinochloa crus-galli
dan Leptochloa chinensis pada 9 Hari setelah Aplikasi (HSA)
Bobot Total
…………………..(gram)…..………………
E. crussgalli
L. chinensis
K
0
0.1374a
0.0201a
ABR1
225
0.0770d
0.0070ef
ABR2
450
0.0362ef
0.0037fg
ABR3
900
0.0166fg
0.0027fg
ABR4
1800
0.0071g
0.0007g
AR1
375
0.1108b
0.0047fg
AR2
750
0.0792d
0.0033fg
AR3
1500
0.0196fg
0.0007g
AR4
3000
0.0084g
0.0003g
BR1
50
0.1027bc
0.0170ab
BR2
100
0.0811cd
0.0150bc
BR3
200
0.0541e
0.0117cd
BR4
400
0.0455e
0.0090de
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%.
Perlakuan

Dosis
(g ai ha-1)

Bobot kering total gulma Echinochloa crus-galli berkurang ketika diberi
perlakuan herbisida campuran cyhalofop-butyl + penoxsulam. Bobot kering total
secara nyata berkurang hingga pemberian perlakuan sesuai dosis formulasi
rekomendasi (ABR2) dibandingkan dengan tanpa perlakuan herbisida (K).
Permberian perlakuan herbisida tunggal cyhalofop-butyl nyata menurunkan bobot
kering total gulma hingga dosis perlakuan ditingkatkan menjadi dua kali formulasi
rekomendasi (AR3), sehingga terlihat bahwa pada taraf dosis formulasi tersebut

23
herbisida campuran dengan dosis yang lebih rendah mampu menurunkan bobot
kering yang lebih besar dibandingkan dengan herbisida tunggal cyhalofop-butyl.
Pemberian perlakuan herbisida tunggal penoxsulam nyata menurunkan
bobot kering total gulma E. crus-galli hingga peningkatanan dosis dua kali
formulasi rekomendasi (BR3) dibandingkan dengan tanpa perlakuan herbisida
(K). Nilai bobot kering total yang sama sudah dapat dicapai dengan perlakuan
herbisida campuran cyhalofop-butyl + penoxsulam pada dosis sesuai formulasi
rekomendasi (ABR2). Dengan demikian, perlakuan herbisida tunggal penoxsulam
tidak lebih baik menyebabkan penurunan bobot kering dibandingkan dengan
perlakuan herbisida campuran.
Bobot kering total gulma Leptochloa chinensis pada perlakuan herbisida
campuran cyhalofop-butyl + penoxsulam secara nyata berkurang pada perlakuan
½ dosis formulasi rekomendasi (ABR1) dibandingkan dengan tanpa perlakuan
herbisida (K). Permberian perlakuan herbisida tunggal cyhalofop-butyl nyata
menurunkan bobot kering total gulma pada perlakuan ½ dosis formulasi
rekomendasi (AR1) dibandingkan dengan tanpa perlakuan herbisida (K).
Pemberian perlakuan herbisida tunggal penoxsulam nyata menurunkan bobot
kering total gulma pada penggunaan dosis hingga sesuai formulasi rekomendasi
(BR2) dibandingkan dengan tanpa perlakuan herbisida (K).
Dua jenis herbisida, campuran maupun herbisida tunggal cyhalofop-butyl,
mampu menghasilkan bobot