Induksi Pertumbuhan Mata Tunas Aksilar Aglaonema Pride Of Sumatera Secara In Vitro Melalui Penambahan Bap Dan 2,4-D

INDUKSI PERTUMBUHAN MATA TUNAS AKSILAR
AGLAONEMA PRIDE OF SUMATERA SECARA IN VITRO
MELALUI PENAMBAHAN BAP DAN 2,4-D

LIMAS AGUNG
A24061521

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011

ABSTRACT
LIMAS AGUNG. Induction of Aglaonema Pride of Sumatera Axillary Bud
Proliferation In Vitro by BAP and 2,4-D Plant Growth Hormones.
The research aimed to study the effect of plant growth regulator (BAP and
2,4-D) on the shoot bud growth of aglaonema Pride of Sumatera using axillary
bud explant in vitro. This research was conducted from February 2010 to March
2011 at Laboratory of Plant Tissue Culture, Department of Agronomy and
Horticulture IPB, Bogor. Completely Randomized Block Design was used in this
research. The research consisted of two factors and three replications. The first

factor is 2,4-D with two concentrations are 1 and 2 mg/l. The second factor is
BAP with five concentrations are 2, 4, 6, 8, and 10 mg/l. The result showed that
the treatment of BAP, 2,4-D, and the interaction between them are not
significantly affected the number and the length of buds. The treatment of
6 mg/l BAP + 1 mg/l 2,4-D gave the fastest growth of shoot bud, that was 2.17
weeks. The optimal medium for axillary bud proliferation is 10 mg/l BAP
+ 2 mg/l 2,4-D, gave the highest number of bud (1 bud).

RINGKASAN

LIMAS AGUNG. Induksi Pertumbuhan Mata Tunas Aksilar Aglaonema
Pride of Sumatera Secara In Vitro Melalui Penambahan BAP dan 2,4-D.
(Dibimbing oleh NI MADE ARMINI WIENDI).
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh zat pengatur tumbuh
BAP dan 2,4-D terhadap pertumbuhan mata tunas aksilar aglaonema Pride of
Sumatera secara in vitro. Media dasar yang digunakan yaitu media MS
(Murashige & Skoog). Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur
Jaringan Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor, Bogor pada bulan Februari 2010 hingga Maret 2011.
Penelitian ini menggunakan perlakuan faktorial disusun dalam rancangan

lingkungan acak lengkap dengan dua faktor. Faktor pertama yaitu perlakuan 2,4-D
dengan konsentrasi 1 dan 2 mg/l. Faktor kedua yaitu perlakuan BAP dengan
konsentrasi 2, 4, 6, 8, dan 10 mg/l. Penelitian ini terdiri dari 10 kombinasi
perlakuan dengan tiga ulangan untuk masing-masing kombinasi perlakuan,
sehingga terdapat 30 satuan percobaan. Setiap satu satuan percobaan terdiri dari
satu botol kultur dengan tiga buah eksplan per botol kultur, sehingga terdapat
90 satuan amatan. Bahan tanaman yang digunakan yaitu mata tunas batang
tanaman aglaonema Pride of Sumatera yang memiliki delapan sampai 10 lembar
daun.
Persentase eksplan aglaonema Pride of Sumatera yang terkontaminasi pada
penelitian ini termasuk tinggi. Persentase kontaminasi rata-rata yang tertinggi
yaitu 100% pada 12 MST, sedangkan persentase kontaminasi rata-rata terendah
yaitu 13% pada 12 MST. Persentase eksplan mati rata-rata tertinggi, yaitu 22%
pada 12 MST. Kematian eksplan terutama karena kontaminasi cendawan dan
sterilisasi yang berulang-ulang. Perlakuan 6 mg/l BAP + 1 mg/l 2,4-D
memberikan waktu muncul tunas rata-rata yang paling cepat yaitu pada
2.17 MST.
Hasil uji F menunjukkan bahwa perlakuan BAP, 2,4-D, dan interaksi
antara BAP dan 2,4-D tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah dan panjang mata


tunas. Rata-rata jumlah mata tunas terbanyak diperoleh pada perlakuan
10 mg/l BAP + 2 mg/l 2,4-D yaitu 1 mata tunas pada 12 MST. Perlakuan
10 mg/l BAP + 2 mg/l 2,4-D menghasilkan rata-rata panjang mata tunas tertinggi
yaitu 0.38 cm. Perlakuan terbaik pada penelitian ini yaitu perlakuan 10 mg/l BAP
+ 2 mg/l 2,4-D karena menghasilkan jumlah dan panjang mata tunas aksilar
tertinggi. Penelitian ini belum berhasil menginduksi munculnya tunas tanaman
aglaonema Pride of Sumatera sampai pada minggu ke-12 setelah eksplan
dikulturkan.

INDUKSI PERTUMBUHAN MATA TUNAS AKSILAR
AGLAONEMA PRIDE OF SUMATERA SECARA IN VITRO
MELALUI PENAMBAHAN BAP DAN 2,4-D

Skripsi sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

LIMAS AGUNG
A24061521


DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011

Judul

: INDUKSI PERTUMBUHAN MATA TUNAS AKSILAR
AGLAONEMA PRIDE OF SUMATERA SECARA IN VITRO
MELALUI PENAMBAHAN BAP DAN 2,4-D

Nama

: Limas Agung

NRP

: A24061521

Menyetujui,

Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Ni Made Armini Wiendi, MS.
NIP: 19610412 198703 2 003

Mengetahui,
Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura
Fakultas Pertanian IPB

Dr. Ir. Agus Purwito, MSc. Agr.
NIP: 19611101 198703 1 003

Tanggal Lulus :

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta, Propinsi DKI Jakarta pada tanggal 14 Maret
1988. Penulis merupakan anak pertama dari Bapak Ronny Wiryo Pranoto dan Ibu
Sri Muljati.
Penulis lulus dari SDK 3 Penabur pada tahun 2000, kemudian pada tahun

2003 penulis menyelesaikan studi di SLTPK 1 Penabur. Selanjutnya penulis lulus
dari SMAK 3 Penabur pada tahun 2006 dan diterima di IPB melalui jalur Seleksi
Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis juga mengikuti pendidikan non
formal yaitu kursus matematika di Kumon pada tahun 1998-2006. Tahun 2007
penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Agronomi dan Hortikultura,
Fakultas Pertanian.
Tahun 2010 penulis menjadi asisten mata kuliah Dasar Bioteknologi
Tanaman. Penulis juga aktif di beberapa organisasi mahasiswa seperti Unit
Kegiatan Mahasiswa Musik Max dan Keluarga Mahasiswa Buddhis IPB (KMB
IPB). Tahun 2007-2008 penulis menjabat sebagai koordinator humas KMB IPB.

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik.
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Tanaman IPB,
Darmaga, Bogor.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1.


Dr. Ir. Ni Made Armini Wiendi, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang
telah memberikan arahan dan bimbingan dalam penelitian ini.

2.

Ayah, ibu, adik, dan keluarga besar yang telah memberi dukungan dan
semangat dalam menyelesaikan penelitian.

3.

Ir. Edhi Sandra, Msi yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat dalam
menjalankan penelitian ini.

4.

Keluarga besar Lab. Biotek : Kak Asep, Teteh Eneng, Mbak Arda, Kak
Irwan, Kak Agus, Kiki, Kak Lina, Mbak Seri, Mbak Okti, Mbak Ai, Kak
Yogo, Yudi, Bang Monje, dan Pak Wasil. Terima kasih atas bantuan, kerja
sama, dan dukungan selama penulis menjalankan penelitian.


5.

Teman-teman yang telah membantu selama penelitian : Candra, Ayip,
Kentung, Ikiw, Dika, Husni, Dial, dan Ratih.

6.

Teman-teman Agronomi dan Hortikultura angkatan 43.

7.

Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas perhatian,
dukungan, doa, dan bantuan kepada penulis selama ini.
Semoga hasil penelitian ini dapat berguna bagi pihak yang memerlukan.

Bogor, Mei 2011
Penulis

DAFTAR ISI


DAFTAR TABEL ...................................................................................

Halaman
vi

DAFTAR GAMBAR ..............................................................................

vii

DAFTAR LAMPIRAN ...........................................................................

viii

PENDAHULUAN ..................................................................................

1

Latar Belakang...............................................................................
Tujuan ............................................................................................
Hipotesis ........................................................................................


1
2
2

TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................

4

Aglaonema sp.................................................................................
Kultur Jaringan dan Media Kultur Jaringan ..................................
Zat Pengatur Tumbuh ....................................................................
Kultur Jaringan Tanaman Araceae ................................................

4
5
6
8

BAHAN DAN METODE .......................................................................


10

Tempat dan Waktu.........................................................................
Bahan dan Alat ..............................................................................
Metode Penelitian ..........................................................................
Pelaksanaan Penelitian...................................................................
Persiapan Sumber Bahan Tanaman ......................................
Sterilisasi Alat ......................................................................
Pembuatan Media .................................................................
Penanaman ...........................................................................
Pengamatan ..........................................................................

10
10
11
12
12
13
13
14
15

HASIL DAN PEMBAHASAN ...............................................................

16

Kondisi Umum ..............................................................................
Jumlah Eksplan Kontaminasi dan Mati .........................................
Waktu Muncul Mata Tunas ...........................................................
Jumlah Mata Tunas ........................................................................
Panjang Mata Tunas ......................................................................

16
17
19
20
23

KESIMPULAN DAN SARAN ...............................................................

27

Kesimpulan ....................................................................................
Saran ..............................................................................................

27
27

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................

28

LAMPIRAN ............................................................................................

31

DAFTAR TABEL
Nomor

Halaman

1. Kombinasi Perlakuan BAP dan 2,4-D pada Percobaan Induksi
Mata Tunas Aksilar Aglaonema Pride of Sumatera Secara In
Vitro ................................................................................................

12

2. Rekapitulasi Hasil Uji F Pengaruh BAP, 2,4-D, dan Interaksi
BAP dan 2,4-D terhadap Rata-rata Jumlah Mata Tunas Kultur
Aglaonema Pride of Sumatera Secara In Vitro. .............................

21

3. Pengaruh BAP terhadap Rata-rata Jumlah Mata Tunas Kultur
Aglaonema Pride of Sumatera Secara In Vitro. .............................

21

4. Pengaruh 2,4-D terhadap Rata-rata Jumlah Mata Tunas Kultur
Aglaonema Pride of Sumatera Secara In Vitro. .............................

22

5. Pengaruh Interaksi BAP dan 2,4-D terhadap Rata-rata Jumlah
Mata Tunas Kultur Aglaonema Pride of Sumatera Secara In
Vitro. ...............................................................................................

23

6. Rekapitulasi Hasil Uji F Pengaruh BAP, 2,4-D, dan Interaksi
BAP dan 2,4-D terhadap Rata-rata Panjang Mata Tunas Kultur
Aglaonema Pride of Sumatera Secara In Vitro. .............................

24

7. Pengaruh BAP terhadap Rata-rata Panjang Mata Tunas Kultur
Aglaonema Pride of Sumatera Secara In Vitro. .............................

24

8. Pengaruh 2,4-D terhadap Rata-rata Panjang Mata Tunas Kultur
Aglaonema Pride of Sumatera Secara In Vitro. .............................

25

9. Pengaruh Interaksi BAP dan 2,4-D terhadap Rata-rata Panjang
Mata Tunas Kultur Aglaonema Pride of Sumatera Secara In
Vitro. ...............................................................................................

25

DAFTAR GAMBAR
Nomor

Halaman

1. Struktur Kimia 2,4-Dichlorophenoxy Acetic Acid .........................

7

2. Struktur Kimia Benzyl Amino Purine ............................................

8

3. Tanaman Aglaonema Pride of Sumatera sebagai Sumber
Eksplan ..........................................................................................

10

4. Tahap Pembentukan Mata Tunas pada Kultur Aglaonema Pride
of Sumatera (A) 1 MST dan (B) 12 MST ......................................

16

5. Kontaminasi pada Kultur Aglaonema Pride of Sumatera :
(A) Kontaminasi oleh Cendawan (Tanda Panah) dan
(B) Kontaminasi oleh Bakteri (Tanda Panah) ...............................

17

6. Histogram Persentase Rata-rata Kontaminasi Kultur Per
Perlakuan pada Aglaonema Pride of Sumatera Secara In Vitro
pada 12 MST .................................................................................

18

7. Histogram Persentase Rata-rata Eksplan Mati Per Perlakuan
pada Aglaonema Pride of Sumatera Secara In Vitro pada
12 MST ..........................................................................................

19

8. Histogram Pengaruh 2,4-D dan BAP terhadap Rata-rata Waktu
Munculnya Mata Tunas Kultur Aglaonema Pride of Sumatera
Secara In Vitro ...............................................................................

20

9. Eksplan Aglaonema Pride of Sumatera pada Perlakuan
10 mg/l BAP + 2 mg/l 2,4-D dengan Panjang Mata Tunas
Tertinggi (A) dan pada Perlakuan 4 mg/l BAP + 2 mg/l 2,4-D
dengan Panjang Mata Tunas Terendah (B) pada 12 MST.............

26

DAFTAR LAMPIRAN
Nomor

Halaman

1. Komposisi Media Murashige dan Skoog yang Digunakan di dalam
Penelitian Induksi Mata Tunas Aksilar Aglaonema Secara In Vitro . 32
2. Persentase Kontaminasi Kultur Rata-rata Per Perlakuan pada
Aglaonema Pride of Sumatera Secara In Vitro. .................................

33

3. Persentase Eksplan Mati Rata-rata Per Perlakuan pada Aglaonema
Pride of Sumatera Secara In Vitro. ....................................................

33

4. Sidik Ragam Pengaruh BAP, 2,4-D, dan Interaksi BAP dan 2,4-D
terhadap Rata-rata Jumlah Mata Tunas Kultur Aglaonema Pride of
Sumatera Secara In Vitro. ..................................................................

34

5. Sidik Ragam Pengaruh BAP, 2,4-D, dan Interaksi BAP dan 2,4-D
terhadap Rata-rata Panjang Mata Tunas Kultur Aglaonema Pride of
Sumatera Secara In Vitro. ..................................................................

36

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Aglaonema adalah satu dari banyak spesies tanaman hias daun yang sudah
dikenal cukup lama. Orang yang pertama kali menyilangkan aglaonema warna
hijau putih menjadi merah ungu adalah Gregory Hambali dari Bogor, Jawa Barat.
Gregory mulai menyilangkan A. comutatum tricolor x A. rotundum pada sekitar
tahun 1980 dan hasilnya baru dikeluarkan sekitar tahun 1988 dengan nama
aglaonema Pride of Sumatera (Djojokusumo, 2006). Sejak ditemukannya
aglaonema Pride of Sumatera, aglaonema mulai dikembangkan. Nilai ekonomi
tanaman hias daun terletak pada estetikanya yaitu pada bentuk daun, jumlah daun,
dan warna daun yang ditentukan oleh keragaman genetiknya. Daya tarik
aglaonema terletak pada keindahan daun dan warnanya.
Aglaonema merupakan tanaman yang mudah dirawat dan diperbanyak.
Cara perbanyakan aglaonema pada umumnya dengan biji atau dengan
perbanyakan secara vegetatif berupa stek, pemisahan anakan, dan pencangkokan.
Perbanyakan dengan stek merupakan cara yang paling banyak dilakukan karena
cara ini mudah dan cepat menghasilkan anakan baru. Akan tetapi, kendala
perbanyakan dengan stek di lapangan terbuka yaitu serangan patogen, sehingga
tanaman tidak dapat berkembang dengan baik atau mati.
Seiring dengan permintaan bibit aglaonema yang semakin meningkat, cara
perbanyakan secara konvensional menggunakan stek, anakan, dan cangkok tidak
lagi bisa mencukupi kebutuhan akan bibit. Alternatif cara perbanyakan yang
sanggup memenuhi permintaan bibit dalam jumlah besar yaitu dengan kultur
jaringan (Purwanto, 2006). Perbanyakan tanaman secara kultur jaringan atau
in vitro adalah perbanyakan secara aseptik dan dengan media terkontrol. Cara
yang dapat diaplikasikan yaitu dengan mikropropagasi mata tunas pada batang
aglaonema. Mikropropagasi menghasilkan tanaman aglaonema yang steril (bebas
patogen) dalam jumlah yang besar. Menurut Yuwono (2008) metode regenerasi
yang paling baik adalah pembentukan tunas aksilar, karena planlet yang

2

dihasilkan benar-benar serupa dengan tanaman induk. Metode ini disebut juga
sebagai perbanyakan klonal.
Literatur menunjukkan bahwa komposisi media dan zat pengatur tumbuh
yang dibutuhkan pada umumnya berbeda antar spesies, antar klon, atau varietas
dalam satu spesies (Enggaringati, 2006). Hartmann dan Kester (1983) menyatakan
bahwa zat pengatur tumbuh yang digunakan dalam kultur jaringan adalah auksin
dan sitokinin. Kedua zat ini berpengaruh dalam pembentukan akar, tunas, dan
kalus. Interaksi dan perimbangan antara zat pengatur tumbuh yang diberikan
dalam media dan yang diproduksi oleh sel secara endogen menentukan arah
perkembangan suatu kultur.
Pada perbanyakan anthurium (Anthurium andraeanum Linden ex André)
secara in vitro, yang merupakan tanaman satu famili dengan aglaonema, eksplan
yang digunakan berupa daun dari hasil perkecambahan benih secara in vitro. Zat
pengatur tumbuh yang digunakan yaitu air kelapa, NAA, dan BAP. Hasil
penelitian menunjukkan persentase eksplan yang mati setelah mengering sebesar
78.3%, persentase eksplan yang mati karena browning sebesar 14.72%, dan
sisanya eksplan yang hidup. Eksplan yang hidup menunjukkan organogenesis
tunas, daun, dan akar melalui kalus (Prihatmanti, 2002).

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh BAP dan 2,4-D
dalam menginduksi pertumbuhan mata tunas aksilar tanaman aglaonema Pride of
Sumatera secara in vitro.

Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu:
1. Zat pengatur tumbuh BAP berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan mata
tunas aksilar tanaman aglaonema Pride of Sumatera.

3

2. Zat pengatur tumbuh 2,4-D berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan mata
tunas aksilar tanaman aglaonema Pride of Sumatera.
3. Interaksi zat pengatur tumbuh BAP dan 2,4-D berpengaruh nyata terhadap
pertumbuhan mata tunas aksilar tanaman aglaonema Pride of Sumatera.

TINJAUAN PUSTAKA

Aglaonema sp.
Aglaonema disebut juga sri rejeki atau chinese evergreen merupakan
tanaman hias daun dari suku talas-talasan atau Araceae. Genus Aglaonema
berjumlah sekitar 30 spesies. Menurut Lawrence (1959), klasifikasi tanaman
aglaonema adalah sebagai berikut:
Divisi

: Spermatophyta

Subdivisi

: Angiospermae

Kelas

: Monocotyledoneae

Ordo

: Araceales

Famili

: Araceae

Genus

: Aglaonema

Spesies

: Aglaonema costatum
Aglaonema commutatum
Aglaonema hospitum
Aglaonema crispum.

Nama aglaonema berasal dari bahasa Yunani, yaitu aglaos yang bermakna
terang atau sinar, dan nema yang bermakna benang (benang sari). Jika
digabungkan artinya menjadi helaian benang yang bersinar terang. Di Thailand,
aglaonema dikenal dengan nama siamese rainbow, sedangkan di Malaysia lebih
dikenal dengan nama good luck (Junaedhie, 2006).
Secara morfologi, aglaonema terdiri dari akar, batang, daun, bunga, dan
biji. Akar aglaonema adalah akar serabut atau wild root (akar liar) karena semua
akar tumbuh dari pangkal batang dan berbentuk serabut. Batang aglaonema
termasuk batang basah (herbaceous), bersifat lunak, dan berair. Bentuk daun
aglaonema bervariasi, antara lain bulat telur (ovatus), lonjong (oblongus), dan
bahkan bentuk delta (deltoideus). Permukaan daun licin dan tidak berbulu serta
tepi daun tidak bergerigi. Bentuk ujung daun juga bervariasi antara lain runcing
(acutus), meruncing (acuminatus), tumpul (obtusus), dan membulat (rotundatus).
Daun tersusun selang-seling atau berhadapan. Bunga aglaonema sangat sederhana,

5

termasuk bunga majemuk dan tergolong bunga tongkol (spandix). Pada tongkol,
bunga jantan terletak di bagian atas, sedangkan bunga betina pada bagian bawah
(Purwanto, 2006).
Suhu ideal bagi aglaonema pada siang hari adalah sekitar 30° C dan pada
malam hari sekitar 23° C. Tanaman aglaonema tumbuh lebih cepat di dataran
rendah karena suhu udara lebih hangat dan matahari bersinar lebih lama, sehingga
fotosintesis lebih banyak. Pertumbuhan satu helai daun aglaonema memerlukan
waktu sekitar 25 hari. Aglaonema membutuhkan naungan dengan pencahayaan
terbatas (10 – 30%). Kelembaban yang sesuai bagi aglaonema yaitu 50 – 60%
(Djojokusumo, 2006).

Kultur Jaringan dan Media Kultur Jaringan
Kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian-bagian
tanaman seperti sel, protoplasma, jaringan, organ serta menumbuhkannya dalam
kondisi yang aseptik sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri
dan beregenerasi menjadi tanaman utuh kembali. Keberhasilan penerapan teknik
kultur jaringan dipengaruhi oleh keberhasilan studi regenerasi dari jaringan yang
ditanam. Ada juga yang menyebutnya sebagai kultur in vitro. Kultur in vitro
adalah kultur di dalam wadah gelas (Gunawan, 1992).
Kultur in vitro memerlukan beberapa komponen utama yaitu bahan awal,
media yang sesuai, dan tempat kultivasi. Bahan awal yang digunakan untuk kultur
in vitro tanaman bermacam-macam, antara lain batang, daun, tunas apikal, tunas
aksilar, petiol, anter, polen, petal, ovul, akar, dan lain-lain. Bagian tanaman yang
digunakan sebagai bahan awal kultur in vitro disebut sebagai eksplan (Yuwono,
2008).
Keberhasilan dalam penggunaan metode kultur jaringan sangat bergantung
pada media yang digunakan. Media kultur jaringan tanaman menyediakan tidak
hanya unsur hara makro dan mikro, tetapi juga karbohidrat yang pada umumnya
berupa gula untuk menggantikan sumber energi dari karbohidrat yang didapat
melalui fotosintesis (Gunawan, 1987).

6

Komposisi media yang digunakan pada kultur jaringan tergantung dari
jenis tanaman yang akan diperbanyak. Wetherell (1982) menyatakan bahwa salah
satu formulasi yang sering dipakai sebagai media kultur adalah Murashige-Skoog
(MS). Formulasi hara mineral dari MS dapat digunakan untuk sejumlah besar
spesies tanaman pada propagasi secara in vitro.
Menurut Gunawan (1987) selain golongan persenyawaan organik yang
konstitusinya jelas, media kultur jaringan juga kadang-kadang ditambahkan
persenyawaan yang kompleks. Salah satu persenyawaan yang dimaksud adalah air
kelapa. Penelitian yang lebih mendalam menemukan bahwa efek air kelapa pada
pertumbuhan menjadi lebih baik bila dalam media juga diberikan auksin. Auksin
tertentu dan air kelapa dapat bersifat sinergis. Steward dan Caplin (1951)
mendapatkan bahwa antara 2,4-D dan air kelapa terjadi reaksi sinergistik yang
memacu pertumbuhan kalus Daucus carota. Tetapi tidak semua auksin dan air
kelapa mempunyai kerja sama yang sinergis. Menurut Wattimena (1988) air
kelapa telah lama diketahui sebagai sumber yang kaya akan zat-zat aktif yang
diperlukan untuk perkembangan embrio. Salah satu zat aktif tersebut adalah
sitokinin endogen. Pada air kelapa dapat dilihat suatu interaksi antara sitokinin
dengan fitohormon lainnya di dalam proses perkembangan embrio itu.

Zat Pengatur Tumbuh
Zat pengatur tumbuh adalah senyawa organik bukan nutrisi yang dalam
jumlah kecil dapat merangsang, menghambat, atau memodifikasi proses-proses
fisiologis dalam tanaman (Tukey, 1954).
Zat pengatur tumbuh tanaman dapat dibedakan menjadi zat pengatur
tumbuh endogen dan eksogen. Zat pengatur tumbuh endogen disebut fitohormon,
sedangkan zat pengatur tumbuh eksogen disebut zat pengatur tumbuh sintetik.
Fitohormon dan zat pengatur tumbuh sintetik terdiri dari lima golongan yaitu
auksin, giberelin, sitokinin, asam absisik, dan etilen dalam berbagai bentuk
(Wattimena, 1988).

7

Peran fisiologis auksin adalah memacu pemanjangan sel batang dan
koleoptil, inisiasi akar, diferensiasi jaringan pembuluh, respon

tropik,

perkembangan tunas samping, dan perkembangan bunga dan buah (Davies, 1995).
Menurut Wattimena (1988) 2,4-D (2,4-Dichlorophenoxy acetic acid) adalah
auksin sintetik yang tidak diproduksi sendiri oleh tanaman. Wetherell (1982)
menyatakan bahwa 2,4-D merupakan auksin yang lebih stabil dan lebih kuat dari
jenis auksin lainnya karena lambat diuraikan oleh sel tumbuhan dan stabil pada
pemanasan dengan autoklaf. Salah satu faktor yang mempengaruhi aktivitas
auksin sintetik yaitu kemampuan auksin tersebut berinteraksi dengan hormon
tumbuhan lainnya (Wattimena, 1988). Senyawa 2,4-D diketahui menginduksi
perbanyakan sel tetapi menekan diferensiasi pada tanaman dikotil, tetapi 2,4-D
dan 2,4,5-T diketahui bersifat efektif untuk menginduksi embriogenesis pada
tanaman monokotil (Yuwono, 2008). Struktur kimia 2,4-D disajikan pada
Gambar 1.

Gambar 1. Struktur Kimia 2,4-Dichlorophenoxy Acetic Acid

Gunawan (1987) melaporkan bahwa sitokinin sangat penting dalam
pengaturan pembelahan sel dan morfogenesis. Menurut Pierik (1987), sitokinin
juga banyak digunakan untuk memacu inisiasi dan proliferasi tunas. Janick (1972)
melaporkan bahwa sitokinin jenis BAP (Benzyl Amino Purine) sering dipakai
karena efektivitasnya tinggi, harganya murah, dan bisa disterilisasi dengan suhu di
atas 100°C. Campuran sitokinin dengan auksin rendah dipakai untuk
menumbuhkan dan menggandakan tunas aksilar atau merangsang tumbuhnya
tunas-tunas adventif. Struktur kimia BAP dapat dilihat pada Gambar 2.

8

Gambar 2. Struktur Kimia Benzyl Amino Purine

Sitokinin dan auksin berinteraksi untuk mempengaruhi diferensiasi.
Konsentrasi auksin yang tinggi dan sitokinin yang rendah menimbulkan
perkembangan akar, konsentrasi auksin yang rendah dan sitokinin yang tinggi
menimbulkan perkembangan tunas, sedangkan jika konsentrasinya seimbang
menimbulkan pertumbuhan kalus (Janick, 1972).

Kultur Jaringan Tanaman Araceae
Literatur mengenai kultur jaringan aglaonema belum ada yang
dipublikasikan. Perbanyakan klonal Anthurium andraeanum yang merupakan
tanaman satu famili dengan aglaonema, dicapai dengan menggunakan eksplan
dari daun kecambah aseptik dan ditumbuhkan pada media padat dengan
penambahan 0.2 mg/l BAP. Konsentrasi tersebut menghasilkan pembentukan
kalus minimal, sedangkan pembentukan tunas adventif dan akar optimal
(Kunisaki, 1977).
Kultur biji anthurium mampu membentuk tunas pada media MS maupun
media Nitsch yang keduanya telah ditambah 15% air kelapa dengan perlakuan
0.5 mg/l NAA atau kombinasi 0.5 - 1.5 mg/l NAA dan BAP. Media terbaik untuk
produksi jumlah tunas adalah media Nitsch dengan penambahan 0.5 mg/l NAA
dan 1.5 mg/l BAP (Haryanto et al., 1995).
Penelitian Prihatmanti (2002) menggunakan eksplan berupa daun
Anthurium andreanum Linden ex. Andre dengan media dasar MS. Kombinasi
perlakuan tanpa air kelapa, 100 ml air kelapa, 1.07 µM NAA, serta 4.44 µM dan

9

8.88 µM BAP menunjukkan organogenesis tunas dan akar eksplan Anthurium
andreanum Linden ex. Andre yang lebih baik. Perlakuan 1 mg/l dan 2 mg/l BAP
menunjukkan kecenderungan

kalus berwarna hijau, hal tersebut

dapat

menjelaskan bahwa sitokinin dapat mendorong pembentukan klorofil. Kombinasi
perlakuan 100 ml air kelapa dengan 1 mg/l BAP menunjukkan kecenderungan
pembentukan kalus dan pertumbuhan kultur tercepat, serta jumlah tunas, daun,
dan akar terbanyak.
Kultur batang yang diambil dari perkecambahan Anthurium plowmanii
berumur empat bulan dengan media MS dengan perlakuan 1 mg/l BA
menghasikan tunas tertinggi (1.37 cm) dan akar terpanjang (0.84 cm). Perlakuan
3 mg/l BA mendorong pembentukan tunas adventif terbanyak dengan waktu yang
paling cepat (7.72 MST), sedangkan tunas aksilar sudah mulai terbentuk pada
1 MST. Perlakuan 4 mg/l BA mendorong tanaman berkalus paling tinggi dengan
persentase 73.33% (Pratiwi, 2009).

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Tanaman, Departemen
Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2010 hingga Maret 2011.

Bahan dan Alat
Bahan tanaman yang digunakan pada penelitian ini yaitu mata tunas
aksilar dari batang tanaman aglaonema varietas Pride of Sumatera yang berasal
dari genus Aglaonema dan famili Araceae. Tanaman aglaonema yang digunakan
adalah tanaman yang memiliki delapan sampai 10 lembar daun (Gambar 3).

Gambar 3. Tanaman Aglaonema Pride of Sumatera sebagai Sumber Eksplan

Media dasar yang digunakan yaitu dari komposisi Murashige dan Skoog
(MS). Komposisi media MS disajikan pada lampiran. Bahan pemadat digunakan

11

agar. Zat pengatur tumbuh yang digunakan antara lain sitokinin (BAP dan BA)
dan auksin (2,4-D dan NAA). Bahan lain yang ditambahkan pada media yaitu air
kelapa. Bahan untuk mengatur pH yaitu larutan HCl 1 N dan KOH 1 N. Bahanbahan yang digunakan untuk sterilisasi antara lain natrium hipoklorit 5%, alkohol,
fungisida dengan bahan aktif mankozeb 80%, fungisida dengan bahan aktif
benomil 50%, bakterisida dengan bahan aktif streptomisin sulfat 20%, antibiotik
amoxicillin, dan cefotaxime. Bahan penutup botol yaitu plastik dan karet gelang.
Bahan-bahan lain yang digunakan antara lain spiritus, tisu, korek api, dan
aquadestilata.
Alat-alat yang digunakan dalam membuat media yaitu labu takar, gelas
ukur, pipet, pipette filler, timbangan, magnetic stirrer, dan pH meter. Alat untuk
sterilisasi botol dan media yaitu autoklaf. Alat-alat yang digunakan ketika
menanam antara lain pinset, gunting, scalpel, lampu spiritus, botol semprot,
cawan petri, orbital shaker, dan laminar air flow cabinet. Alat-alat yang
digunakan untuk menyimpan botol kultur yaitu rak kultur dan lampu TL 20 watt
sebagai sumber penyinaran dengan suhu ruang 23 ± 2 °C.

Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan perlakuan faktorial disusun dalam rancangan
lingkungan acak lengkap dengan dua faktor. Faktor pertama yaitu perlakuan 2,4-D
dengan konsentrasi 1 dan 2 mg/l. Faktor kedua yaitu perlakuan BAP dengan
konsentrasi 2, 4, 6, 8, dan 10 mg/l. Penelitian ini terdiri dari 10 kombinasi
perlakuan dengan tiga ulangan untuk masing-masing kombinasi perlakuan,
sehingga terdapat 30 satuan percobaan. Setiap satu satuan percobaan terdiri dari
satu botol kultur dengan tiga buah eksplan per botol kultur, sehingga terdapat 90
satuan amatan.

12

Tabel 1. Kombinasi Perlakuan BAP dan 2,4-D pada Percobaan Induksi Mata
Tunas Aksilar Aglaonema Pride of Sumatera Secara In Vitro
2,4-D (mg/l)
1
2

2
A1B1
A2B1

4
A1B2
A2B2

BAP (mg/l)
6
A1B3
A2B3

8
A1B4
A2B4

10
A1B5
A2B5

Model rancangan statistika yang digunakan adalah:
Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk
Keterangan:
Yijk

=

nilai sampel karena pengaruh 2,4-D konsentrasi ke-i, BAP konsentrasi
ke-j, dan ulangan ke-k

µ

=

nilai rataan umum

αi

=

nilai akibat pengaruh perlakuan 2,4-D konsentrasi ke-i (i = 1, 2)

βj

=

nilai akibat pengaruh perlakuan BAP konsentrasi ke-j (j = 1, 2, 3, 4, 5)

(αβ)ij =

nilai akibat pengaruh interaksi 2,4-D konsentrasi ke-i dan BAP
konsentrasi ke-j

εijk

=

nilai pengaruh galat pada perlakuan 2,4-D konsentrasi ke-i, BAP
konsentrasi ke-j, dan ulangan ke-k

Pengolahan data dilakukan dengan uji F menggunakan program Statistical
Analysis System (SAS). Perlakuan yang berpengaruh nyata pada uji F diuji lanjut
menggunakan Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5%.

Pelaksanaan Penelitian
Persiapan Sumber Bahan Tanaman
Tanaman aglaonema sebelumnya telah diberi perlakuan repotting pada
media campuran sekam dan pakis yang sudah disterilkan dengan autoklaf pada
suhu 121°C dengan tekanan 0.175 bar selama 60 menit. Perbandingan campuran
sekam dan pakis yaitu 1 : 1 (v/v). Penyemprotan 2 g/l fungisida (bahan aktif
80% mankozeb), 2 g/l fungisida (bahan aktif 50% benomil), dan 2 g/l bakterisida

13

(bahan aktif 20% streptomisin sulfat) dilakukan seminggu dua kali di seluruh
bagian tanaman selama satu bulan. Air yang digunakan untuk mengencerkan
fungisida dan bakterisida adalah air steril.

Sterilisasi Alat
Alat tanam yang digunakan di dalam laminar yaitu pinset, gunting, dan
scalpel. Peralatan dicuci bersih dan dibungkus dengan kertas kemudian bersamasama dengan botol kultur disterilkan dengan autoklaf pada suhu 121°C dengan
tekanan 0.175 bar selama 60 menit. Permukaan laminar disterilkan dengan
menyemprotkan alkohol 70% lalu dibersihkan dengan tisu. Semua alat yang
digunakan disemprot dengan alkohol 70% sebelum dimasukan ke dalam laminar.
Alat-alat direndam dengan alkohol dan dibakar diatas api lampu spiritus sebelum
menanam agar alat tetap steril.

Pembuatan Media
Media yang digunakan ada dua jenis, yaitu media awal dan media
perlakuan. Media awal yang digunakan yaitu media MS dengan penambahan
5 mg/l BA, 0.5 mg/l NAA, dan 100 ml/l air kelapa. Media perlakuan yaitu media
MS yang diberi penambahan 2,4-D, BAP, dan 100 ml/l air kelapa.
Langkah pertama dalam pembuatan media yaitu membuat larutan stok.
Komposisi larutan stok MS disajikan pada Lampiran 1. Larutan-larutan stok MS
dipipet ke dalam sebuah labu takar sesuai dengan volume yang dibutuhkan untuk
membuat satu liter media MS, kemudian ditambah 100 ml air kelapa dan zat
pengatur tumbuh sesuai dengan perlakuan masing-masing. Larutan media tersebut
kemudian ditambah aquadestilata sampai mencapai tanda tera. Nilai pH media
diatur dengan pH meter hingga mencapai 5.9 dengan menambahkan KOH atau
HCl 1 N. Selanjutnya media ditambahkan 7 g/l agar-agar dan dimasak hingga
mendidih. Setelah mendidih media dimasukkan ke dalam botol kultur steril
sebanyak 25 ml/botol. Botol kultur ditutup dengan plastik bening dan karet.
Sterilisasi media di dalam botol kultur dengan menggunakan autoklaf pada

14

suhu 121°C dengan tekanan 0.175 bar selama 20 menit. Media selanjutnya
disimpan di ruang penyimpanan media.

Penanaman
Tanaman sumber eksplan yang sudah diberi perlakuan penyemprotan
selama satu bulan kemudian dipotong seluruhnya sehingga hanya batang tanaman
dekat pangkal akar yang tersisa. Batang dicuci dengan air steril dan dimasukkan
ke dalam botol berisi air steril. Botol tersebut kemudian dimasukkan ke dalam
laminar. Batang dipotong-potong dengan scalpel sehingga dalam satu eksplan
terdapat satu mata tunas. Selanjutnya eksplan disterilisasi dengan merendam
dalam larutan alkohol 70% selama satu menit, lalu dilanjutkan disterilisasi dengan
sterilan berbahan aktif natrium hipoklorit 5% dengan konsentrasi 15% selama
15 menit, sterilisasi tahap akhir dengan merendam di larutan konsentrasi 10%
selama 10 menit. Kemudian eksplan dibilas dengan air steril. Selanjutnya eksplan
direndam di dalam larutan dengan campuran bahan-bahan sebagai berikut:
fungisida berbahan aktif mankozeb 80% dengan konsentrasi 2 g/l, fungisida
berbahan aktif benomil 50% dengan konsentrasi 2 g/l, bakterisida berbahan aktif
streptomisin sulfat 20% dengan konsentrasi 2 g/l, antibiotik amoxicillin dengan
konsentrasi 1000 mg/l, dan cefotaxime dengan konsentrasi 1000 mg/l. Eksplan
direndam dengan larutan tersebut selama 24 jam sambil dikocok dengan
menggunakan orbital shaker.
Eksplan yang sudah steril ditanam di dalam botol kultur berisi media awal
dengan menggunakan pinset yang sudah steril. Tiap botol berisi tiga eksplan.
Setelah eksplan ditanam, botol segera ditutup dengan plastik dan karet kemudian
disimpan di rak kultur. Rak kultur diterangi dengan lampu TL dengan intensitas
cahaya 1000 Cd sebagai sumber penyinaran dengan suhu ruang 23 ± 2 °C,
24 jam terang/hari. Setelah satu minggu, eksplan yang steril disubkultur ke media
perlakuan untuk diamati respon pertumbuhannya.

15

Pengamatan
Pengamatan terhadap pertumbuhan eksplan aglaonema dilakukan setiap
minggu selama 12 minggu (1 – 12 MST). Parameter yang akan diamati antara
lain:
1. Persentase eksplan yang terkontaminasi
Persentase kontaminasi dihitung dengan cara membandingkan jumlah eksplan
yang terkontaminasi dengan jumlah eksplan dari suatu perlakuan dikalikan
100%.
2. Persentase eksplan yang mati
Persentase eksplan yang mati dihitung dengan cara membandingkan jumlah
eksplan yang mati dengan jumlah eksplan dari suatu perlakuan dikalikan
100%.
3. Waktu munculnya mata tunas
4. Jumlah mata tunas
Jumlah mata tunas dihitung dari 1 - 12 MST.
5. Panjang mata tunas
Panjang mata tunas dihitung pada akhir pengamatan (12 MST) dengan cara
mengeluarkan eksplan dari botol kultur. Panjang mata tunas diukur dengan
menggunakan penggaris.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum
Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu penanaman di media awal
untuk mendapatkan eksplan yang steril dan penanaman di media perlakuan. Media
awal yang digunakan yaitu media MS dengan penambahan 5 mg/l BA,
0.5 mg/l NAA, dan 100 ml/l air kelapa. Setelah satu minggu eksplan yang steril
kemudian disubkultur ke media perlakuan. Eksplan disimpan di ruang kultur
selama 12 minggu setelah tanam (MST). Penanaman pada media perlakuan
menunjukkan adanya pembentukan dan pertambahan panjang mata tunas
(Gambar 4).

(A)

(B)

Gambar 4. Tahap Pembentukan Mata Tunas pada Kultur Aglaonema Pride of
Sumatera (A) 1 MST dan (B) 12 MST.
Faktor yang menjadi kendala di dalam penelitian ini yaitu kontaminasi.
Pertumbuhan kontaminan lebih cepat daripada pertumbuhan eksplan, sehingga
dapat menyebabkan kematian eksplan. Jumlah eksplan yang terkontaminasi oleh
bakteri lebih banyak daripada kontaminasi oleh cendawan.

17

Jumlah Eksplan Kontaminasi dan Mati
Kontaminasi dapat disebabkan oleh cendawan dan bakteri (Gambar 5).
Kontaminasi oleh cendawan dicirikan dengan adanya benang hifa, sedangkan
kontaminasi oleh bakteri dicirikan dengan adanya lapisan lendir di permukaan
media (Nurhasanah, 2009).

(A)

(B)

Gambar 5. Kontaminasi pada Kultur Aglaonema Pride of Sumatera :
(A) Kontaminasi oleh Cendawan (Tanda Panah) dan (B)
Kontaminasi oleh Bakteri (Tanda Panah).
Kontaminasi mulai terlihat pada 1 MST. Sumber kontaminasi merupakan
kontaminasi sistemik dari dalam eksplan. Gejala kontaminasi cendawan muncul
dari sisi dan bagian atas eksplan, sedangkan gejala kontaminasi bakteri muncul
dari bagian bawah eksplan. Kontaminasi juga disebabkan oleh faktor eksternal.
Karet penutup botol kultur semakin lama menjadi longgar, sehingga kontaminan
dapat masuk ke dalam botol kultur melalui kontak udara. Eksplan yang
terkontaminasi cendawan disterilisasi dengan natrium hipoklorit 5% dengan
konsentrasi 15% selama 10 menit, dan selanjutnya dengan konsentrasi 10%
selama 10 menit. Eksplan kemudian dipindahkan ke media steril.
Ketahanan eksplan terhadap sterilan berbahan aktif natrium hipoklorit
tergolong rendah. Eksplan yang disterilisasi beberapa kali menyebabkan mata
tunas berwarna kehitaman dan tidak tumbuh menjadi mata tunas atau warna
eksplan berubah menjadi transparan dan akhirnya mati. Eksplan yang sudah
tumbuh mata tunasnya umumnya lebih tahan disterilisasi. Jumlah kontaminasi

18

oleh bakteri lebih banyak daripada kontaminasi oleh cendawan, sehingga
kontaminasi bakteri tidak disterilkan untuk mencegah kematian eksplan dalam
jumlah yang lebih besar.
Persentase kontaminasi rata-rata yang tertinggi yaitu 100% pada 12 MST.
Persentase kontaminasi rata-rata terendah yaitu 13% pada 12 MST (Gambar 6).

%
%

%

Persentase Kontaminasi

%
%

%

%

%

%

%

%

%

%
%
%

%
%
A B

A B

A B

A B

A B

A B

A B

A B

A B

A B

Media Perlakuan
Keterangan: A = 2,4-D (A1 = 1 mg/l; A2 = 2 mg/l)
B = BAP (B1 = 2 mg/l; B2 = 4 mg/l; B3 = 6 mg/l; B4 = 8mg/l; B5 = 10 mg/l)

Gambar 6. Histogram Persentase Rata-rata Kontaminasi Kultur Per Perlakuan
pada Aglaonema Pride of Sumatera Secara In Vitro pada 12 MST.
Perbandingan persentase eksplan mati rata-rata disajikan pada Gambar 7.
Persentase eksplan mati rata-rata tertinggi yaitu 22%, sedangkan persentase
eksplan mati terendah yaitu 0% pada 12 MST. Kematian eksplan terutama karena
kontaminasi cendawan dan sterilisasi yang berulang-ulang. Eksplan yang mati
yaitu eksplan yang berwarna transparan (vitrous).

19

Persentase Eksplan yang Mati

%

%

%

%
%

%

%

%

%

%
%

%

A B

A B

%

%

A B

A B

%

%
A B

A B

A B

A B

A B

A B

Media Perlakuan
Keterangan: A = 2,4-D (A1 = 1 mg/l; A2 = 2 mg/l)
B = BAP (B1 = 2 mg/l; B2 = 4 mg/l; B3 = 6 mg/l; B4 = 8mg/l; B5 = 10 mg/l)

Gambar 7. Histogram Persentase Rata-rata Eksplan Mati Per Perlakuan pada
Aglaonema Pride of Sumatera Secara In Vitro pada 12 MST.

Waktu Muncul Mata Tunas

Perlakuan 6 mg/l BAP + 1 mg/l 2,4-D memberikan waktu muncul mata
tunas yang paling cepat dengan rata-rata waktu munculnya mata tunas yaitu pada
2.17 MST. Perlakuan 4 mg/l BAP + 2 mg/l 2,4-D memberikan waktu muncul
mata tunas yang paling lambat dengan rata-rata waktu munculnya mata tunas
yaitu pada 4.11 MST. Siringo ringo (2009) melaporkan bahwa waktu munculnya
tunas Anthurium plowmanii tercepat diperoleh pada perlakuan MS + 3 mg/l BAP
yaitu 6.6 hari setelah tanam (HST). Rata-rata waktu munculnya mata tunas kultur
aglaonema Pride of Sumatera disajikan pada Gambar 8.

Waktu Munculnya Mata Tunas (MST)

20

.

.

.

.

.
.

.

.
.

.

.

.

.
.

.

.
.
.
.
.
A B

A B

A B

A B

A B

A B

A B

A B

A B

A B

Media Perlakuan
Keterangan: A = 2,4-D (A1 = 1 mg/l; A2 = 2 mg/l)
B = BAP (B1 = 2 mg/l; B2 = 4 mg/l; B3 = 6 mg/l; B4 = 8mg/l; B5 = 10 mg/l)
MST = Minggu Setelah Tanam

Gambar 8. Histogram Pengaruh 2,4-D dan BAP terhadap Rata-rata Waktu
Munculnya Mata Tunas Kultur Aglaonema Pride of Sumatera Secara
In Vitro.

Jumlah Mata Tunas
Pembentukan tunas secara in vitro baik melalui morfogenesis langsung
ataupun tidak langsung sangat tergantung pada jenis dan konsentrasi yang tepat
dari senyawa organik, inorganik, dan zat pengatur tumbuh. Pengaruh sitokinin
dalam kultur jaringan tanaman berhubungan dengan proliferasi tunas ketiak,
selain itu proliferasi tunas aksilar hanya memerlukan sitokinin yang tinggi tanpa
auksin atau auksin dalam konsentrasi yang sangat rendah (Wiendi et al., 1992).
Tabel 2 menunjukkan rekapitulasi sidik ragam pengaruh perlakuan
terhadap rata-rata jumlah mata tunas kultur aglaonema Pride of Sumatera. Sidik
ragam pengaruh perlakuan terhadap rata-rata jumlah mata tunas disajikan pada
Tabel Lampiran 4. Perlakuan 2,4-D dan BAP tidak berpengaruh nyata terhadap
rata-rata jumlah mata tunas. Interaksi 2,4-D dan BAP tidak berpengaruh nyata
terhadap rata-rata jumlah mata tunas.

21

Tabel 2. Rekapitulasi Hasil Uji F Pengaruh BAP, 2,4-D, dan Interaksi BAP dan
2,4-D terhadap Rata-rata Jumlah Mata Tunas Kultur Aglaonema Pride of
Sumatera Secara In Vitro.
Umur Eksplan (MST)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

BAP
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn

Perlakuan
2,4-D
BAP x 2,4-D
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn

Keterangan: tn tidak berbeda nyata pada uji F dengan taraf 5%
KK = Koefisien Keragaman
MST = Minggu Setelah Tanam
a = hasil transformasi √(x+0.5)
b = hasil transformasi √(x+1)

KK (%)
17.60a
12.67b
13.44b
19.12a
18.50a
18.22a
17.73a
15.96a
15.92a
15.92a
15.92a
15.67a

Tabel 3. Pengaruh BAP terhadap Rata-rata Jumlah Mata Tunas Kultur Aglaonema
Pride of Sumatera Secara In Vitro.
Perlakuan BAP (mg/l)
2
4
6
8
10
Uji F
KK (%)

1
0.06
0.17
0.17
0.17
0.11
tn
17.60a

Rata-rata Jumlah Mata Tunas
MST
4
7
10
0.78
0.78
0.78
0.61
0.72
0.83
0.44
0.56
0.58
0.50
0.72
0.72
0.83
0.89
0.86
tn
tn
tn
a
a
19.12
17.73
15.92a

Keterangan : tn tidak berbeda nyata pada uji F dengan taraf 5%
KK = Koefisien Keragaman
MST = Minggu Setelah Tanam
a = hasil transformasi √(x+0.5)

12
0.78
0.83
0.58
0.72
0.92
tn
15.67a

Pengaruh BAP terhadap rata-rata jumlah mata tunas disajikan pada
Tabel 3. Sidik ragam pengaruh BAP terhadap rata-rata jumlah mata tunas

22

disajikan pada Tabel Lampiran 4. Penambahan BAP tidak berpengaruh nyata
terhadap rata-rata jumlah mata tunas. Rata-rata jumlah mata tunas tertinggi pada
akhir pengamatan (12 MST) yaitu pada perlakuan 10 mg/l BAP, sedangkan ratarata jumlah mata tunas terendah yaitu pada perlakuan 6 mg/l BAP. Intania (2005)
melaporkan bahwa BAP sangat mempengaruhi pembentukan tunas Alocasia
suhirmaniana, tetapi terdapat titik jenuh dalam merespon BAP yaitu pada
konsentrasi 2 mg/l (8.88 µM) yang menyebabkan daya multiplikasi menjadi
berkurang.
Pengaruh 2,4-D terhadap rata-rata jumlah mata tunas disajikan pada
Tabel 4. Sidik ragam pengaruh 2,4-D terhadap rata-rata jumlah mata tunas
disajikan pada Tabel Lampiran 4. Hasil analisis menunjukkan perlakuan 2,4-D
tidak berpengaruh nyata terhadap rata-rata jumlah mata tunas. Jumlah tunas
berbanding lurus dengan jumlah konsentrasi 2,4-D. Rata-rata jumlah mata tunas
terbanyak pada 12 MST yaitu pada perlakuan 2 mg/l 2,4-D. Rata-rata jumlah mata
tunas tiap perlakuan bertambah setiap minggu, kecuali pada 10 MST. Turunnya
rata-rata jumlah mata tunas disebabkan oleh kematian eksplan.

Tabel 4. Pengaruh 2,4-D terhadap Rata-rata Jumlah Mata Tunas Kultur
Aglaonema Pride of Sumatera Secara In Vitro.
Perlakuan 2,4-D (mg/l)
1
2
Uji F
KK (%)

1
0.11
0.16
tn
17.60a

Rata-rata Jumlah Mata Tunas
MST
4
7
10
0.60
0.71
0.70
0.67
0.76
0.81
tn
tn
tn
a
a
19.12
17.73
15.92a

Keterangan : tn tidak berbeda nyata pada uji F dengan taraf 5%
KK = Koefisien Keragaman
MST = Minggu Setelah Tanam
a = hasil transformasi √(x+0.5)

12
0.70
0.83
tn
15.67a

Pengaruh interaksi BAP dan 2,4-D terhadap rata-rata jumlah mata tunas
disajikan pada Tabel 5. Sidik ragam pengaruh interaksi BAP dan 2,4-D terhadap
rata-rata jumlah mata tunas disajikan pada Tabel Lampiran 4. Interaksi BAP dan
2,4-D tidak berpengaruh nyata terhadap rata-rata jumlah mata tunas. Rata-rata

23

jumlah mata tunas terbanyak diperoleh pada perlakuan 10 mg/l BAP +
2 mg/l 2,4-D yaitu 1 mata tunas pada 12 MST, sedangkan rata-rata jumlah mata
tunas paling sedikit diperoleh pada perlakuan 6 mg/l BAP + 1 mg/l 2,4-D yaitu
0.44 mata tunas. Menurut Tourte (2005) kombinasi antara konsentrasi auksin yang
rendah dengan konsentrasi sitokinin yang tinggi dapat merangsang proliferasi
tunas aksilar.

Tabel 5. Pengaruh Interaksi BAP dan 2,4-D terhadap Rata-rata Jumlah Mata
Tunas Kultur Aglaonema Pride of Sumatera Secara In Vitro.
Perlakuan
2,4-D (mg/l) BAP (mg/l)
1
2
1
4
1
6
1
8
1
10
2
2
2
4
2
6
2
8
2
10
Uji F
KK (%)

1
0.00
0.11
0.11
0.22
0.11
0.11
0.22
0.22
0.11
0.11
tn
17.60a

Rata-rata Jumlah Mata Tunas
MST
4
7
10
0.67
0.67
0.67
0.67
0.89
0.89
0.44
0.44
0.44
0.33
0.67
0.67
0.89
0.89
0.83
0.89
0.89
0.89
0.56
0.56
0.78
0.44
0.67
0.72
0.67
0.78
0.78
0.78
0.89
0.89
tn
tn
tn
a
a
19.12
17.73
15.92a

12
0.67
0.89
0.44
0.67
0.83
0.89
0.78
0.72
0.78
1.00
tn
15.67a

Keterangan : tn tidak berbeda nyata pada uji F dengan taraf 5%
KK = Koefisien Keragaman
MST = Minggu Setelah Tanam
a = hasil transformasi √(x+0.5)

Panjang Mata Tunas
Panjang mata tunas diukur pada akhir pengamatan (12 MST). Rekapitulasi
sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap rata-rata panjang mata tunas disajikan
pada Tabel 6. Sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap rata-rata panjang mata
tunas disajikan pada Tabel Lampiran 5. Perlakuan BAP dan 2,4-D tidak

24

berpengaruh nyata terhadap rata-rata panjang mata tunas. Interaksi BAP dan
2,4-D tidak berpengaruh nyata terhadap rata-rata panjang mata tunas.

Tabel 6. Rekapitulasi Hasil Uji F Pengaruh BAP, 2,4-D, dan Interaksi BAP dan
2,4-D terhadap Rata-rata Panjang Mata Tunas Kultur Aglaonema Pride
of Sumatera Secara In Vitro.
Umur Eksplan (MST)
12

BAP
tn

Perlakuan
2,4-D
BAP x 2,4-D
tn
tn

Keterangan : tn tidak berbeda nyata pada uji F dengan taraf 5%
KK = Koefisien Keragaman
MST = Minggu Setelah Tanam
a = hasil transformasi √(x+0.5)

KK (%)
14.83a

Tabel 7 menunjukkan pengaruh BAP terhadap rata-rata panjang mata
tunas. Sidik ragam pengaruh BAP terhadap rata-rata panjang mata tunas disajikan
pada Tabel Lampiran 5. Perlakuan BAP tidak berpengaruh nyata terhadap ratarata panjang mata tunas. Perlakuan 10 mg/l BAP menghasilkan rata-rata panjang
mata tunas tertinggi yaitu 0.33 cm. Penelitian induksi organogenesis tanaman
Anthurium andreanum secara in vitro oleh Syara (2006) menunjukkan bahwa
penggunaan BAP dengan konsentrasi yang lebih tinggi (2.0 mg/l) menghasilkan
tanaman tertinggi yaitu 1.03 cm, dibandingkan dengan tanpa BAP yaitu 0.89 cm.

Tabel 7. Pengaruh BAP terhadap Rata-rata Panjang Mata Tunas Kultur
Aglaonema Pride of Sumatera Secara In Vitro.
Perlakuan BAP (mg/l)
2
4
6
8
10
Uji F
KK (%)

Rata-rata Panjang Mata Tunas pada 12 MST (cm)
0.28
0.25
0.28
0.27
0.33
tn
14.83a

Keterangan : tn tidak berbeda nyata pada uji F dengan taraf 5%
KK = Koefisien Keragaman
MST = Minggu Setelah Tanam
a = hasil transformasi √(x+0.5)

25

Pengaruh 2,4-D terhadap rata-rata panjang mata tunas disajikan pada
Tabel 8. Sidik ragam pengaruh 2,4-D terhadap rata-rata panjang mata tunas
disajikan pada Tabel Lampiran 5. Perlakuan 2,4-D tidak berpengaruh nyata
terhadap rata-rata panjang mata tunas. Rata-rata panjang mata tunas tertinggi
didapat pada perlakuan 2 mg/l 2,4-D yaitu 0.29 cm. Hasil analisis menunjukkan
peningkatan konsentrasi 2,4-D menghasilkan mata tunas yang lebih panjang.

Tabel 8. Pengaruh 2,4-D terhadap Rata-rata Panjang Mata Tunas Kultur
Aglaonema Pride of Sumatera Secara In Vitro.
Perlakuan 2,4-D (mg/l)
1
2
Uji F
KK (%)

Rata-rata Panjang Mata Tunas pada 12 MST (cm)
0.28
0.29
tn
14.83a

Keterangan : tn tidak berbeda nyata pada uji F dengan taraf 5%
KK = Koefisien Keragaman
MST = Minggu Setelah Tanam
a = hasil transformasi √(x+0.5)

Tabel 9. Pengaruh Interaksi BAP dan 2,4-D terhadap Rata-rata Panjang Mata
Tunas Kultur Aglaonema Pride of Sumatera Secara In Vitro.
Perlakuan
BAP (mg/l)
2,4-D (mg/l)
1
2
1
4
1
6
1
8
1
10
2
2
2
4
2
6
2
8
2
10
Uji F
KK (%)

Rata-rata Panjang Mata Tunas pada 12 MST (cm)

Keterangan : tn tidak berbeda nyata pada uji F dengan taraf 5%
KK = Koefisien Keragaman
MST = Minggu Setelah Tanam
a = hasil transformasi √(x+0.5)

0.31
0.27
0.27
0.26
0.27
0.24
0.23
0.29
0.27
0.38
tn
14.83a

26

Pengaruh interaksi antara BAP dan 2,4-D terhadap rata-rata panjang mata
tunas dapat dilihat pada Tabel 9. Sidik ragam pengaruh interaksi antara BAP dan
2,4-D terhadap rata-rata panjang mata tunas disajikan pada Tabel Lampiran 5.
Interaksi antara BAP dan 2,4-D tidak memberikan pengaruh nyata terhadap ratarata panjang mata tunas. Perlakuan 10 mg/l BAP + 2 mg/l 2,4-D menghasilkan
rata-rata panjang mata tunas tertinggi yaitu 0.38 cm, sedangkan perlakuan
4 mg/l BAP + 2 mg/l 2,4-D menghasilkan rata-rata panjang mata tunas terendah
(Gambar 9).

(A)

(B)

Gambar 9. Eksplan Aglaonema Pride of Sumatera pada Perlakuan 10 mg/l BAP +
2 mg/l 2,4-D dengan Panjang Mata Tunas Tertinggi (A) dan pada
Perlakuan 4 mg/l BAP + 2 mg/l 2,4-D dengan Panjang Mata Tunas
Terendah (B) pada 12 MST.
Kelemahan pada penelitian ini adalah proses sterilisasi yang