Koefisien Absorpsi dan Atenuasi Cahaya di Permukaan Air Laut pada Berbagai Musim

KOEFISIEN ABSORPSI DAN ATENUASI CAHAYA DI
PERMUKAAN AIR LAUT PADA BERBAGAI MUSIM

DENNY ARDLY WIGUNA

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Koefisien Absorpsi dan
Atenuasi Cahaya di Permukaan Air Laut pada Berbagai Musim adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2013
Denny Ardly Wiguna
NIM C54080043

ABSTRAK
DENNY ARDLY WIGUNA. Koefisien Absorpsi dan Atenuasi Cahaya di
Permukaan Air Laut pada Berbagai Musim. Dibimbing oleh BISMAN
NABABAN dan RISTI ENDRIAN ARHATIN.
Pengukuran koefisien absorpsi dan atenuasi cahaya dapat berguna dalam
memperkirakan kualitas perairan, karakteristik optik perairan, serta digunakan
dalam permodelan bio-optik kelautan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
nilai dan variabilitas koefisien absorpsi dan atenuasi permukaan laut di Perairan
Timur Laut Teluk Meksiko berdasarkan perbedaan musim. Penelitian dilakukan
dengan menggunakan data hasil survei pada tiga musim (semi, panas, dan gugur)
antara tahun 1999 dan 2000 dengan menggunakan instrumen AC-9. Pola
distribusi spasial dan nilai rata-rata antar wilayah menunjukkan bahwa koefisien
absorpsi dan atenuasi secara umum relatif tinggi di sekitar Mississippi dan Mobile,
kemudian relatif rendah di sekitar wilayah offshore. Variabilitas yang terjadi
disebabkan karena besarnya pengaruh fitoplankton, CDOM, dan detritus terhadap

koefisien absorpsi dan atenuasi, terutama di sekitar wilayah Mississippi dan
Mobile. Nilai rata-rata koefisien menunjukkan bahwa secara umum koefisien
absorpsi dan atenuasi di Perairan Timur Laut Teluk Meksiko relatif tinggi pada
musim panas tahun 1999 (Su-99) dan relatif rendah pada musim semi tahun 2000
(Sp-00).
Kata kunci: atenuasi, absorpsi, musim, perairan Timur Laut Teluk Meksiko.

ABSTRACT
DENNY ARDLY WIGUNA. Absorption and Beam Attenuation Coefficient of
Surface Water in Various Seasons. Supervised by BISMAN NABABAN dan
RISTI ENDRIAN ARHATIN.
Absorption and beam attenuation coefficients measurement can be used in
estimating water quality, optical characteristic of water column, also used in
marine bio-optical models. This research aimed to determine values and
variability of sea surface absorption and attenuation coefficients in northeastern
Gulf of Mexico based on various seasons. The research was performed in three
different seasons (spring, summer, and fall) between 1999 and 2000 with AC-9
instrument. The spatial distribution and mean values inter-regions showed that
absorption and attenuation coefficients were generally relatively high in
Missisippi and Mobile, then relatively low in offshore region. The variability were

caused by high influence of phytoplankton, CDOM, and detritus toward the
absorption and attenuation coefficients, especially in Mississippi and Mobile
region. The mean values of coefficients showed that absorption and attenuation
coefficients in northeastern Gulf of Mexico generally were relatively high on
summer 1999 (Su-99) and relatively low on spring 2000 (Sp-00).
Keywords: attenuation, absorption, seasons, northeastern Gulf of Mexico

KOEFISIEN ABSORPSI DAN ATENUASI CAHAYA DI
PERMUKAAN AIR LAUT PADA BERBAGAI MUSIM

DENNY ARDLY WIGUNA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ilmu Kelautan
pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Koefisien Absorpsi dan Atenuasi Cahaya di Permukaan Air Laut
pada Berbagai Musim
Nama
: Denny Ardly Wiguna
NIM
: C54080043

Disetujui oleh

Dr. Ir. Bisman Nababan, M.Sc.
Pembimbing I

Risti E. Arhatin, S.Pi., M.Si.
Pembimbing II

Diketahui oleh


Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc.
Ketua Departemen

Tanggal Lulus: 29 Mei 2013

PRAKATA
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi.
Penulisan skripsi ini dilakukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana di
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua
orang tua yang selalu memberikan dukungan dan motivasi. Selain itu, kepada
Bapak Dr. Ir. Bisman Nababan, M.Sc. dan Ibu Risti Endriani Arhatin, S.Pi, M.Si
selaku Dosen Pembimbing, teman-teman, serta semua pihak yang telah
memberikan bimbingan, bantuan, dan sarannya demi kelancaran penyusunan
skripsi ini. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi bidang ilmu dan
teknologi kelautan.


Bogor, Mei 2013
Denny Ardly Wiguna

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN

vii

PENDAHULUAN

1


Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

3

METODE

3

Waktu dan Lokasi Penelitian

3

Bahan

4


Alat

5

Metode Perolehan Data

6

Metode Pengolahan Data

6

Filter data

7

Koreksi nilai air murni (millique)

8


Koreksi hamburan (scattering correction)

8

Analisis statistik
HASIL DAN PEMBAHASAN

9
9

Variabilitas dan Distribusi Spasial Koefisien Absorpsi dan Atenuasi Cahaya 9
Musim Semi

10

Musim Panas

12

Musim Gugur


16

Variabilitas Koefisien Absorpsi dan Atenuasi Cahaya Antar Musim

19

Gelombang biru

25

Gelombang hijau

27

Gelombang merah

28

SIMPULAN DAN SARAN


32

Simpulan

32

Saran

33

DAFTAR PUSTAKA

33

LAMPIRAN

35

RIWAYAT HIDUP

44

DAFTAR TABEL
1 Pelaksanaan cruise research
2 Perbandingan nilai rata-rata koefisien absorpsi dan atenuasi cahaya
antar musim pada panjang gelombang 440, 510, dan 676 nm.

6
27

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17

18

19

Peta lokasi penelitian
Skema instrumen AC-9
Diagram alir perolehan data
Diagram alir pengolahan data
Pola distribusi spasial koefisien absorpsi pada musim semi tahun 1999
Pola distribusi spasial koefisien atenuasi pada musim semi tahun 1999
Pola distribusi spasial koefisien absorpsi pada musim semi tahun 2000
Pola distribusi spasial koefisien atenuasi pada musim semi tahun 2000
Pola distribusi spasial koefisien absorpsi pada musim panas tahun 1999
Pola distribusi spasial koefisien atenuasi pada musim panas tahun 1999
Pola distribusi spasial koefisien absorpsi pada musim panas tahun 2000
Pola distribusi spasial koefisien atenuasi pada musim panas tahun 2000
Pola distribusi spasial koefisien absorpsi pada musim gugur tahun 1999
Pola distribusi spasial koefisien atenuasi pada musim gugur tahun 1999
Perbandingan spektral nilai rata-rata koefisien absorpsi (gambar atas)
dan atenuasi (gambar bawah) antar musim
Perbandingan spektral nilai rata-rata koefisien absorpsi (kolom kiri) dan
atenuasi (kolom kanan) per wilayah pada tiap musim
Pola distribusi spasial & temporal nilai koefisien absorpsi (kolom kiri)
dan atenuasi (kolom kanan) pada panjang gelombang 440 nm pada
musim berbeda
Pola distribusi spasial & temporal nilai koefisien absorpsi (kolom kiri)
dan atenuasi (kolom kanan) pada panjang gelombang 510 nm pada
musim berbeda
Pola distribusi spasial & temporal nilai koefisien absorpsi (kolom kiri)
dan atenuasi (kolom kanan) pada panjang gelombang 676 nm pada
musim berbeda.

4
5
6
7
12
13
14
15
17
18
19
20
21
22
23
24

26

29

31

DAFTAR LAMPIRAN
1 Listing program koreksi nilai air murni (millique)
2 Contoh program MATLAB untuk melakukan koreksi hamburan
(scattering correction)
3 Rentang dan nilai rata-rata koefisien absorpsi dan atenuasi tiap musim
4 Box & Whisker plot koefisien absorpsi dan atenuasi
5 Tabel uji statistik Kruskal-Wallis

35
36
37
39
42

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Absorpsi merupakan proses penyerapan cahaya oleh medium air, komponen
terlarut berwarna (colored dissolved organic matter (CDOM)), partikulat
(fitoplankton dan non-fitoplankton), dan bahan organik lainnya di dalam air
(Babin et al. 2003; D’sa and Miller 2002; Jacobson 2005; Kirk 1994; Mobley
1994; Nelson and Guarda 1995; Varkey et al. 2004). Dalam mendefinisikan
absorpsi secara kuantitatif, dapat menggunakan kuantitas absorptance (A) yang
dirumuskan sebagai berikut (Kirk 1994; Mobley 1994):
a⁄

....................................................... (1)

dimana :
A = absorptance
a = fluks radiansi yang diserap (W)
0 = fluks radiansi datang (incident) (W)
Koefisien absorpsi menunjukkan sebagian kecil dari incident light (cahaya
datang) yang berinteraksi dengan suatu lapisan pada medium, yang kemudian
menyebabkan proses penyerapan (Jacobson 2005; Kirk 1994). Koefisien absorpsi
sendiri didefinisikan sebagai absorptance (A) per satuan jarak (Δr), yang secara
matematik dirumuskan sebagai berikut (Mobley 1994):
a

limΔ

Δ

..................................................... (2)

dimana:
panjang gelombang (nm), r = ketebalan medium (m).
Atenuasi cahaya merupakan akumulasi dari proses kehilangan energi cahaya
akibat penyerapan dan penghamburan dari cahaya langsung (direct beam) yang
masuk ke medium. Oleh karena itu, penggabungan nilai koefisien absorpsi dan
hamburan adalah sama dengan koefisien atenuasi (Jacobson 2005; Kirk 1994;
Varkey et al. 2004) yang dirumuskan sebagai berikut:
c

a

b

........................................................ (3)

dimana:
a = koefisien absorpsi (m-1), b = koefisien hamburan (scattering) (m-1).
Proses penyerapan dan penghamburan (atenuasi cahaya) termasuk ke dalam
inherent optical properties (IOPs). Inherent optical properties tersebut
menunjukkan sifat optik perairan yang hanya dipengaruhi oleh keberadaan
komponen atau medium dalam perairan (Jacobson 2005; Kirk 1994; Mobley
1994). Ada tiga komponen utama yang mempengaruhi sifat optik di perairan,
diantaranya fitoplankton, nonphytoplankton particulate matter (detritus), dan

2
colored dissolved organic matter (CDOM) (Arnone et al. 2004; Nelson and
Guarda 1995). Fitoplankton dan nonphytoplankton particulate matter (detritus)
yang disebutkan di atas, dapat dikelompokkan ke dalam particulate matter.
Variasi kandungan dalam kolom air yang disebutkan tersebut dapat menyebabkan
energi cahaya yang menembus perairan terus berkurang. Oleh karena itu,
koefisien atenuasi cahaya total dapat pula dirumuskan sebagai penjumlahan
koefisien atenuasi oleh air murni (pure water), materi partikulat, dan materi
organik terlarut yang dirumuskan sebagai berikut (Varkey et al. 2004):
c

c

cp

cdom

......................................... (4)

dimana :
w
= pure water
p
= particulate matter
dom = dissolved organic matter
Sifat penyerapan cahaya oleh air umumnya sangat lemah dalam spektrum
warna biru dan hijau, namun penyerapannya semakin meningkat dengan semakin
meningkatnya panjang gelombang dan hampir menyerap maksimal pada spektrum
gelombang merah (Kirk 1994; Mobley 1994). Keberadaan fitoplankton yang
mengandung klorofil, karotenoid, dan biliprotein dalam kolom air dapat
meningkatkan tingkat absorpsi cahaya (Kirk 1994; Smith 1979 dalam Jensen and
Jensen 1998). Penyerapan cahaya oleh fitoplankton umumnya tinggi pada
spektrum gelombang biru dan merah (Mobley 1994).
CDOM memiliki kontribusi absorpsi yang signifikan pada gelombang near
ultraviolet dan panjang gelombang pendek pada spektrum cahaya tampak (Babin
et al. 2003; D’sa and Miller 2002; Markager and Vincent 2000; Nelson and
Guarda 1995). Semakin ke arah laut lepas, absorpsi CDOM umumnya akan
menurun (Nelson and Guarda 1995).
Partikel detritus memiliki absorpsi yang tinggi pada spektrum gelombang
biru, dan mengalami penurunan terhadap peningkatan panjang gelombang
(Cleveland 1995; Mobley 1994). Area pantai atau pesisir merupakan wilayah yang
memiliki kontribusi yang relatif lebih tinggi akan partikel nonphyoplankton, baik
dari run off atau dari dekomposisi in situ (Cleveland 1995).
Atenuasi cahaya merupakan parameter yang mempengaruhi variasi warna
perairan dan perambatan sinyal dalam penginderaan jauh. Terkait hal ini,
komposisi kandungan suatu perairan akan mempengaruhi cahaya yang
ditransmisikan, diserap, maupun yang dihamburkan dari perambatan sinyal. Hal
tersebut menunjukkan bahwa perilaku cahaya sangat dipengaruhi oleh sifat dari
medium yang dilalui atau karakteristik dari kolom perairan. Berdasarkan hal
tersebut, maka pengetahuan mengenai atenuasi cahaya dapat digunakan untuk
mengetahui karakteristik suatu kolom perairan.
Selain itu, proses atenuasi cahaya juga dapat menyebabkan penetrasi cahaya
hanya menembus perairan hingga kedalaman tertentu, dan tidak dapat mencapai
perairan yang lebih dalam. Hal tersebut dapat mempengaruhi tingkat fotosintesis
fitoplankton, yang juga berpengaruh terhadap tingkat produktivitas primer di
perairan (Liu et al. 2005). Produktivitas primer juga berkaitan erat dengan tingkat
klorofil, kimia perairan, dan nutrien yang terkandung dalam suatu perairan (Smith

3
1979). Oleh karena itu, pengukuran atenuasi cahaya juga dapat berguna untuk
memperkirakan kualitas perairan.
Atenuasi cahaya dalam kolom perairan memainkan peran penting dalam
menentukan tingkat kedalaman yang masih dijangkau oleh sensor pada
penginderaan jauh untuk pendeteksian dan penguraian variasi spektral reflektansi.
Selain itu, pengukuran atenuasi cahaya dapat juga digunakan dalam pemodelan
bio-optik dan kalibrasi citra ocean color. Pada pemodelan bio-optik atau algoritma
ocean color masih perlu dilakukan untuk validasi data secara kontinu (Babin et al.
2003) dan masih diperlukan dalam meningkatkan keakuratan sensor pada citra
ocean color generasi berikutnya (Nelson and Guarda 1995). Namun, pembuatan
algoritma ocean color masih perlu pemahaman terkait proses-proses dan
mekanisme yang mempenga uhi sinyal dalam penginde aan jauh D’sa and Miller
2002). Oleh karena itu, penelitian terkait atenuasi cahaya masih sangat penting
untuk dilakukan.
Teluk Meksiko merupakan laut semi tertutup yang menghubungkan wilayah
Samudera Atlantik melalui Selat Florida di sebelah timur dan Laut Karibia
melalui Selat Yucatan di sebelah selatan (Oey et al. 2005). Teluk Meksiko terletak
di sebelah tenggara Amerika Utara serta terbentang sekitar 1.600 kilometer dari
timur ke barat, dan 900 kilometer dari utara ke selatan (Gulfbase 2012).
Kondisi fisik dan kimia perairan Teluk Meksiko sangat bervariasi dengan
masukan air tawar dari sungai dan curah hujan, serta sirkulasi massa air yang
masuk melalui Selat Yucatan (bersirkulasi sebagai loop current) dan keluar
melalui Selat Florida (pada akhirnya membentuk gulf stream). Bagian-bagian dari
loop current sering melepaskan diri membentuk pusaran atau 'gyres' yang dapat
mempengaruhi pola arus regional (Horn 2012).
Aliran sungai, loop current, dan upwelling sangat mempengaruhi
variabilitas konsentrasi klorofil dan colored dissolved organic matter (CDOM) di
Perairan Timur Laut Teluk Meksiko (Gilbes et al. 1996; Nababan 2005;
Nababan et al. 2011). Selain itu, Perairan Timur Laut Teluk Meksiko memiliki
karakteristik perairan yang sangat dinamis dan memiliki variabilitas perairan yang
tinggi. Penelitian terkait absorpsi dan atenuasi di perairan ini masih kurang
banyak dilakukan sehingga penelitian terkait variabilitas absorpsi dan atenuasi ini
sangat penting dilakukan.

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui nilai dan variabilitas
koefisien absorpsi dan atenuasi pada permukaan laut secara spasial dan temporal,
pada berbagai musim yang berbeda di Perairan Timur Laut Teluk Meksiko.

METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian menggunakan data hasil survei yang dilakukan Dr. Ir. Bisman
Nababan, M.Sc. bekerja sama dengan College of Marine Science, University of

4
South Florida pada tiga musim (semi, panas, dan gugur) antara tahun 1999 dan
2000 di Perairan Timur Laut Teluk Meksiko (27°18’-3 ° 42’ LU dan 82°36’89°36’ BB yang membentang da i Sungai Mississippi hingga Teluk Tampa)
dengan mengikuti cruise track seperti terlihat pada Gambar 1.
Pengolahan data dilakukan pada bulan Maret hingga Desember 2012 di
Laboratorium Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis, Departemen
Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor. Garis pada peta menunjukkan lintasan kapal riset ketika
pengambilan data AC-9 dilakukan secara sinambung dan simbol segitiga
merupakan stasiun dimana pada saat tertentu dilakukan kalibrasi dan cleaning
terhadap alat AC-9. Lokasi pengamatan terbagi menjadi beberapa wilayah lagi
yang bertujuan untuk mengetahui karakteristik perairan terkait pola distribusi
koefisien absorpsi dan atenuasi pada wilayah tersebut.
Pembagian wilayah pengamatan ini ditunjukkan oleh simbol persegi pada
Gambar 1. Wilayah-wilayah tersebut diantaranya merupakan wilayah yang
berdekatan dengan sungai-sungai, yaitu sungai Missisipi, Mobile, Escambia,
Chochtawhatchee, Apalachicola, dan Suwannee. Selain wilayah yang berdekatan
dengan sungai, pembagian wilayah juga meliputi wilayah sekitar Teluk Tampa
dan tiga wilayah di sekitar laut lepas (offshore 1, 2, dan 3).

Gambar 1 Peta lokasi penelitian
Bahan
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil pengukuran yang
dilakukan oleh Institute of Marine Remote Sensing, College of Marine Science,

5
University of South Florida dengan persetujuan Dr. Ir. Bisman Nababan, M.Sc.
sebagai koordinator pengambilan data lapang. Data yang digunakan yaitu data
absorpsi (absorption) dan atenuasi (attenuation) dengan menggunakan instrumen
AC-9 pada tiga musim yang berbeda selama 2 tahun.

Alat
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah debubbler, GPS (Global
Positioning System), instrumen AC-9 (Gambar 2), dan seperangkat komputer.
Perangkat lunak yang digunakan dalam pengolahan data diantaranya yaitu
WETview, Microsoft Excel 2007, Matlab R2010a, Surfer 9, Statistica 6.0, dan
Minitab 14. GPS digunakan dalam navigasi pada saat pengambilan data,
sedangkan instrumen AC-9 dan debubbler digunakan pada saat pengukuran data
secara in situ di lapangan.
Debubbler merupakan perantara yang berfungsi sebagai penampung air laut
sebelum diukur dengan instrumen AC-9 dengan tujuan menghilangkan udara yang
terperangkap dalam air yang terpompa. AC-9 merupakan instrumen yang
digunakan dalam pengukuran in situ pada inherent optical properties perairan,
yaitu nilai absorpsi dan atenuasi pada panjang gelombang yang berbeda (Varkey
et al. 2004). Instrumen AC-9 merupakan alat dengan sembilan kanal pada
panjang gelombang 412, 440, 488, 510, 532, 555, 650, 676, dan 715 nm D’sa and
Miller 2002; Varkey et al. 2004).
Perangkat lunak WETview digunakan dalam proses akuisisi dan
penyimpanan data saat pengukuran dengan menggunakan instrumen AC-9.
Selanjutnya, pengolahan data dilakukan dengan perangkat lunak Microsoft Excel,
Matlab, Statistica, dan Surfer. Perangkat lunak Microsoft Excel digunakan untuk
mengolah dan mengatur susunan data, sedangkan Matlab digunakan dalam
melakukan filtering data dan mengoreksi nilai hasil pengukuran terhadap
scattering error. Perangkat lunak Surfer digunakan untuk visualisasi hasil akhir
pengolahan secara spasial. Selanjutnya, menggunakan perangkat lunak Statistica
dan Minitab untuk uji statistik dan membuat plot box-whisker.

(Non-scale)

Gambar 2 Skema instrumen AC-9 (http://argon.coas.oregonstate.edu, 2013)

6
Metode Perolehan Data
Pengukuran sampel air laut dilakukan pada kolom air laut dekat permukaan
(kedalaman sekitar 3 meter) di Perairan Timur Laut Teluk Meksiko menggunakan
instrumen AC-9 secara kontinu sepanjang lintasan penelitian (cruise track) dan
pencatatan data diambil setiap 5 detik dengan menggunakan kapal riset Gyre yang
dilakukan selama dua minggu setiap musim.
Setiap pelayaran mengamati sebelas line transect yang tegak lurus terhadap
garis pantai dari isodepth 10 meter (dekat pantai) hingga 1000 meter ke arah lepas
pantai. Pelaksanaan pelayaran dalam pengambilan data dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Pelaksanaan cruise research
No. cruise
1
2
3
4
5

Tanggal mulai
15 Mei 1999
15 Agustus 1999
13 November 1999
15 April 2000
28 Juli 2000

Tanggal selesai
28 Mei 1999
28 Agustus 1999
23 November 1999
26 April 2000
8 Agustus 2000

CruiseID
Sp-99
Su-99
Fa-99
Sp-00
Su-00

Musim
Semi
Panas
Gugur
Semi
Panas

Air sampel yang akan diukur dipompa dari kedalaman sekitar 3 meter
dengan laju 10 liter/menit dan dimasukkan ke debubbler (ukuran 10 liter) untuk
menghilangkan gas-gas yang terperangkap dalam air yang kemudian dialirkan ke
alat AC-9 dengan laju 1 liter/menit (Gambar 3).
Air Laut
(Kedalaman 3 m)

Air Laut dipompa
(10 L/menit)

Debubbler

AC-9
Instrument

Data AC-9

Gambar 3 Diagram alir perolehan data
Metode Pengolahan Data
Hasil data yang diperoleh dari pengukuran dengan instrumen AC-9 akan
disimpan dengan menggunakan perangkat lunak WETview dalam bentuk DAT file

7
(*.dat). Susunan data tersebut kemudian diatur sedemikian rupa dengan Microsoft
Excel dan dilakukan koreksi waktu (time lag correction) agar dapat diolah pada
tahap selanjutnya, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.
Sebelum mengolah dan memvisualisasikan hasil akhir, data hasil
pengukuran dengan AC-9 perlu dilakukan proses filtering dan koreksi terhadap
beberapa variabel, baik berupa koreksi terhadap nilai air murni (millique) dan
koreksi hamburan (scattering correction). Proses filtering tersebut dilakukan
dengan menggunakan sebuah tool dari Matlab, yaitu cftool yang berguna dalam
mem-filter data. Selanjutnya, koreksi data dilakukan terhadap nilai air murni
(millique) dan diikuti dengan koreksi hamburan (scattering correction).
Setelah proses filtering dan koreksi dilakukan, maka nilai koefisien absorpsi
dan atenuasi tersebut dapat divisualisasikan secara spasial menggunakan
perangkat lunak Surfer. Selanjutnya, hasil visualisasi tersebut dapat dianalisis
terkait nilai dan variabilitas koefisien absorpsi dan atenuasi pada musim yang
berbeda (musim semi, panas, dan gugur) di Perairan Timur Laut Teluk Meksiko.
Data AC-9

Filter Data

Koreksi nilai air murni (Millique)
Koreksi hamburan
(scattering correction)

Visualisasi secara
spasial di Surfer

Gambar 4 Diagram alir pengolahan data
Filter data
Proses filtering data dilakukan terhadap nilai air murni (millique) dan data
AC-9 itu sendiri. Filtering data yang dilakukan untuk nilai air murni (millique)
dilakukan dengan menggunakan fungsi logika IF yang digunakan pada perangkat
lunak Microsoft Excel. Filtering yang dilakukan dengan fungsi logika IF ini,
dilakukan agar dapat menghilangkan nilai yang dianggap pencilan/ menjauhi nilai
pada sebaran normal untuk nilai air murni (millique). Formula yang digunakan
dalam filter data ini menggunakan nilai batas bawah (BB) dan batas atas (BA)
pada nilai sebaran untuk mengganti nilai pencilan yang menjauhi sebaran normal.
Formula yang digunakan untuk filter data air murni (millique) ini, yaitu sebagai
berikut:
F jika nilai data BB BB jika nilai data B

B

nilai data ............ (5)

dimana: BA = rata-rata + standar deviasi, BB = rata-rata - standar deviasi

8
Proses filtering pada data AC-9 dilakukan dengan menggunakan sebuah tool
pada Matlab, yaitu menggunakan cftool. Pada tool ini, metode filtering yang
digunakan dalam mem-filter data AC-9 yaitu moving average filtering. Rumus
dasar untuk perhitungan filter dengan metode moving average yaitu:
s

i

1
2N 1

y i N y(i N-1)

y(i-N) ................................. (6)

Keterangan:
Ys (i) = nilai data ke-i
2N+1 = span
N
= jumlah data tetangga yang berdekatan dengan Ys(i)
Koreksi nilai air murni (millique)
Berdasarkan pengukuran AC-9 terhadap air murni yang dilakukan, maka
koefisien absorpsi dan atenuasi yang terukur dapat merepresentasikan absorpsi
dan atenuasi untuk semua material yang terdapat pada sampel dengan mengurangi
nilai pada air. Sehingga, nilai absorpsi dan atenuasi total pada sampel dikurangi
dengan nilai pada air murni. Koreksi nilai air murni (millique) ini dilakukan
dengan menggunakan listing program yang dibuat pada perangkat Matlab
(Lampiran 1). Rumus untuk melakukan koreksi nilai air murni tersebut, yaitu
sebagai berikut (Barnard 2011):
am at a
cm ct - c .......................................................... (7)
Keterangan:
am= absorpsi hasil pengukuran (m-1) cm = atenuasi hasil pengukuran (m-1)
at = absorpsi total pada sampel (m-1) ct = atenuasi total pada sampel (m-1)
aw = absorpsi pada air murni (m-1) cw = atenuasi pada air murni (m-1)
Koreksi hamburan (scattering correction)
Tabung (tube) absorption meters pada umumnya tidak dapat
mengumpulkan semua cahaya yang terhamburkan atau yang tersebar dari sumber
cahayanya. Hamburan cahaya yang tidak terkumpul ini dikenal sebagai eror
hamburan (scattering error) dan menyebabkan instrumen mengukur koefisien
absorpsi tidak sesuai dari yang semestinya (overestimate).
Ada beberapa metode yang dapat digunakan dalam mengoreksi pengukuran
absorpsi terhadap scattering errors. Namun, metode koreksi hamburan yang
dipergunakan adalah metode pengurangan nilai data absorpsi terhadap nilai
absorpsi pada panjang gelombang yang direferensikan (gelombang near infrared),
ketika penyerapan diasumsikan nol. Langkah koreksi ini menggunakan listing
program pada Matlab yang tertera pada Lampiran 2. Pada metode ini, koreksi
hamburan dilakukan dengan menggunakan rumus (Barnard 2003; Bell 2010)
sebagai berikut:
a

am

- am

ef

............................................. (8)

9
Keterangan:
a
= absorpsi hasil koreksi (scattering correction) (m-1)
am
= absorpsi hasil koreksi nilai air murni (m-1)
am ref)
= absorpsi hasil koreksi nilai air murni pada panjang
gelombang near infrared (715 nm) (m-1)

Analisis statistik
Dalam membandingkan apakah nilai rata-rata dua atau lebih peubah identik
atau paling tidak satu diantaranya berbeda nyata, dilakukan uji nonparametrik
Kruskal Wallis. Hipotesis nol (H0) yang diajukan adalah terjadi kesamaan nilai
parameter rata-rata dari masing-masing populasi. Hipotesis satu (H1) diterima
bilamana nilai rata-rata dari paling tidak salah satu peubah berbeda nyata dari nilai
rata-rata peubah lainnya. Pada uji Kruskal-Wallis, uji statistik yang digunakan
adalah uji statistik khi kuadrat, yang digunakan untuk menentukan hipotesis
diterima atau ditolak dengan rumus (Walpole 1993) sebagai berikut:
h

12
n n 1

∑ki 1

i

2

ni

-3 n 1 ...................................... (9)

Keterangan:
h = nilai uji Kruskal Wallis
n = jumlah contoh (n1 + n2
nk )
ri = jumlah ranking pada kelompok sampel ke-i
ni = jumlah data dalam sampel ke-i
k = jumlah kelas

HASIL DAN PEMBAHASAN
Variabilitas dan Distribusi Spasial Koefisien Absorpsi dan Atenuasi Cahaya
Variabilitas koefisien absorpsi (a) dan atenuasi cahaya (c) pada permukaan
air laut di perairan Timur Laut Teluk Meksiko pada berbagai musim selengkapnya
disajikan pada Lampiran 3. Nilai koefisien absorpsi (a) pada panjang gelombang
715 nm tidak ditampilkan, karena pada panjang gelombang ini (near infrared),
koefisien absorpsi diasumsikan nol. Hal ini dilakukan sebagai langkah dalam
melakukan koreksi hamburan (scattering correction).
Nilai koefisien absorpsi (a) dan atenuasi (c) antar panjang gelombang setiap
musim, secara umum hasilnya menunjukkan nilai yang semakin menurun seiring
dengan meningkatnya panjang gelombang dari panjang gelombang 412-715 nm.
Hal ini terjadi karena secara umum absorpsi oleh komponen air laut itu sendiri
akan semakin meningkat dengan semakin meningkatnya panjang gelombang dan
mencapai 100% absorpsi pada panjang gelombang near infrared (715 nm) (Kirk
1994; Mobley 1994; Nelson and Guarda 1995). Hasil penelitian juga
menunjukkan bahwa koefisien absorpsi dan atenuasi pada panjang gelombang 412
nm lebih tinggi dibanding panjang gelombang lainnya. Hal ini disebabkan karena

10
terjadinya absorpsi oleh berbagai komponen seperti colored dissolved organic
matter (CDOM), particulate non phytoplankton (detritus), dan fitoplankton yang
lebih banyak terjadi pada panjang gelombang ini (Babin et al. 2003; Kirk 1994;
Mobley 1994; Nelson and Guarda 1995).
Secara umum, kisaran nilai koefisien absorpsi pada panjang gelombang 412,
440, 488, 510, 532, 555, 650, dan 676 berturut-turut adalah sebagai berikut 0.0090
- 8.0242 m-1, 0.0118 - 5.0707 m-1, 0.0096 - 3.0275 m-1, 0.0098 - 2.2476 m-1,
0.0038 - 1.6223 m-1, 0.00001 - 2.5382 m-1, 0.00003 - 0.6661 m-1, dan 0.000002 0.6353 m-1. Selanjutnya, kisaran nilai koefisien atenuasi pada panjang gelombang
412, 440, 520, 532, 555, 650, 676, dan 715 nm berturut-turut adalah sebagai
berikut 0.0151 - 16.7224 m-1, 0.0118 - 16.8708 m-1, 0.0068 - 17.7503 m-1, 0.0067
- 17.5247 m-1, 0.0066 - 17.7123 m-1, 0.0082 - 17.1340 m-1, 0.0048 - 18.6319 m-1,
0.0048 - 18.6058 m-1, dan 0.0060 - 17.4220 m-1 (Lampiran 3).
Pola sebaran spasial koefisien absorpsi (a) dan atenuasi (c) tiap musim
menunjukkan bahwa daerah sekitar pantai dan muara sungai (nearshore)
umumnya memiliki nilai koefisien absorpsi dan atenuasi yang relatif tinggi
dibandingkan laut lepas. Wilayah sekitar nearshore umumnya relatif tinggi di
sekitar Mississippi dan Mobile, kemudian relatif rendah di wilayah offshore 1, 2,
dan 3 hampir tiap musimnya. Relatif tingginya nilai di sekitar Mississippi dan
Mobile tersebut mengindikasikan variabilitas partikulat dan materi terlarut di
sekitar area tersebut relatif tinggi.
Variabilitas tersebut dipengaruhi pula oleh run off dari muara sungai, yang
merupakan sumber masukan nutrien, CDOM, dan fitoplankton (Nababan 2005;
Nababan et al. 2011) yang dapat mempengaruhi sebaran koefisien di sepanjang
pesisir pantai. Besarnya koefisien atenuasi di wilayah nearshore, selain karena
relatif tingginya materi CDOM, fitoplankton, dan bahan organik lainnya sebagai
faktor absorpsi yang tinggi, juga dipengaruhi faktor hamburan yang lebih banyak
terjadi akibat relatif tingginya kandungan klorofil dan bahan partikulate (Nababan
2005; Nababan et al. 2011; Kirk 1994; Mobley 1994). Rendahnya nilai koefisien
absorpsi dan atenuasi di laut lepas disebabkan karena relatif kecilnya kandungan
CDOM, fitoplankton, dan partikulat di wilayah tersebut.
Musim Semi
Nilai rata-rata koefisien absorpsi pada musim semi tahun 1999 pada masingmasing panjang gelombang 412, 440, 488, 510, 532, 555, 650, dan 676 nm secara
umum mengalami penurunan dengan nilai kisaran dari 0.4979 ± 0.3434 m-1
hingga 0.0213 ± 0.0253 m-1, kemudian nilai rata-rata koefisien atenuasinya (412
hingga 715 nm) mengalami penurunan dengan nilai kisaran dari 0.9556 ± 1.1632
m-1 hingga 0.4771 ± 0.6112 m-1. Selanjutnya, pada musim semi tahun 2000, nilai
rata-rata koefisien absorpsi pada masing-masing panjang gelombang tersebut
diatas mengalami penurunan dengan nilai kisaran dari 0.1059 ± 0.1546 m-1 hingga
0.0153 ± 0.0110 m-1. Kemudian nilai rata-rata koefisien atenuasinya (412 hingga
715 nm) mengalami penurunan dengan nilai kisaran dari 0.3619 ± 0.6540 m-1
hingga 0.1950 ± 0.3635 m-1 (Lampiran 3).
Perbedaan nilai koefisien absorpsi dan atenuasi antar kedua tahun tersebut
dapat disebabkan karena perbedaan waktu pengambilan meskipun pada musim
yang sama. Hal tersebut dapat berpengaruh juga terhadap sirkulasi air laut dan
arus, seperti kecepatan dan arah angin (Nababan 2005).

11
Pola sebaran spasial koefisien absorpsi (a) pada musim semi tahun 1999
(Gambar 5) dan tahun 2000 (Gambar 7) menunjukkan bahwa koefisien absorpsi
pada panjang gelombang 412 nm hingga 676 nm memiliki pola yang hampir sama,
namun berbeda secara nilai. Hal ini terlihat pada nilai koefisien absorpsi antar
panjang gelombang, yang menunjukkan penurunan nilai dari panjang gelombang
412 nm hingga 676 nm. Namun, pola sebaran spasial koefisien absorpsi baik pada
musim semi tahun 1999 (Gambar 5) maupun tahun 2000 (Gambar 7)
menunjukkan bahwa nilai koefisien absorpsi pada panjang gelombang 676 nm
terlihat sedikit meningkat dibanding panjang gelombang 650 nm. Hal tersebut
dapat pula dilihat pada rentang nilai yang ditunjukkan pada Lampiran 3.
Peningkatan nilai ini terjadi karena pengaruh absorpsi dari fitoplankton di sekitar
panjang gelombang 676 nm (Bricaud dan Stramski 1990; Cleveland 1995; Kirk
1994; Mobley 1994; Nelson and Guarda 1995; Suzuki et al. 1998).
Pola distribusi spasial menunjukkan bahwa koefisien absorpsi (Gambar 5)
dan atenuasi (Gambar 6) tertinggi pada musim semi tahun 1999 (Sp-99) berada di
sekitar Sungai Missisipi dan Mobile, sedangkan wilayah laut lepas (offshore 1, 2
dan 3) nilainya relatif paling rendah. Besarnya nilai koefisien absorpsi dan
atenuasi di sekitar muara Sungai Missisipi disebabkan karena besarnya run off
dari darat (karena sungai besar), sehingga menyebabkan nutrien maupun materi
yang terdapat pada area Sungai Missisipi relatif tinggi dibanding yang lainnya.
Seperti yang dijelaskan Nababan (2005), Sungai Missisipi merupakan
sungai yang sangat mempengaruhi variabilitas dan distribusi CDOM atau nutrien
ke laut lepas (offshore), dan juga memiliki konsentrasi klorofil yang relatif tinggi
tiap musimnya. Berbeda dengan wilayah Mississippi, semakin ke arah timur, nilai
koefisien di wilayah timur semakin rendah. Hal tersebut menunjukkan bahwa
variabilitas nutrien, CDOM, maupun fitoplankton di wilayah timur tersebut tidak
setinggi di Mississippi.
Berbeda dengan musim semi tahun 1999 (Sp-99), Gambar 6 menunjukkan
bahwa wilayah yang memiliki nilai koefisien absorpsi yang relatif paling tinggi
pada musim semi tahun 2000 (Sp-00) berada di sekitar Sungai Mobile, sedangkan
wilayah sekitar Mississippi, Escambia, Choctawhatchee, Teluk Tampa, dan laut
lepas (offshore 1, 2, dan 3) memiliki koefisien absorpsi yang relatif lebih rendah.
Pola sebaran konsentrasi klorofil dan koefisien absorpsi CDOM di Perairan Timur
Laut Teluk Meksiko yang dilakukan Nababan (2005), hasilnya menunjukkan
bahwa di wilayah Mobile memiliki konsentrasi klorofil dan absorpsi CDOM yang
relatif tinggi pada musim semi tahun 2000 (Sp-00) dibanding dengan wilayah
lainnya. Kondisi tersebut diduga sebagai faktor yang menyebabkan relatif
tingginya koefisien absorpsi di wilayah Mobile pada musim semi ini.
Pola sebaran koefisien atenuasi (Gambar 8) pada musim semi tahun 2000
(Sp-00) relatif tinggi di sekitar wilayah Mississippi, Mobile, Choctawhatchee, dan
Apalachicola, sedangkan di sekitar wilayah Escambia, Suwannnee, Teluk Tampa,
dan laut lepas relatif lebih rendah. Relatif tingginya koefisien atenuasi di sekitar
Mississippi dan Mobile dapat disebabkan oleh tingginya konsentrasi klorofil dan
koefisien absorpsi CDOM, seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya terkait
koefisien absorpsi. Selain itu, dapat juga dipengaruhi oleh keberadan materi
tersuspensi yang tinggi, sehingga dapat meningkatkan koefisien hamburan
(scattering coefficient) dan mempengaruhi tingkat koefisien atenuasinya.

12

Gambar 5 Pola distribusi spasial koefisien absorpsi pada musim semi tahun 1999
(Sp-99)
Musim Panas
Nilai rata-rata koefisien absorpsi pada musim panas tahun 1999 pada
masing-masing panjang gelombang (412 hingga 676 nm) secara umum
mengalami penurunan dengan nilai kisaran dari 0.6887 ± 0.1733 m-1 hingga
0.0140 ± 0.0157 m-1, kemudian nilai rata-rata koefisien atenuasinya (412 hingga
715 nm) mengalami penurunan dengan nilai kisaran dari 1.3915 ± 0.5878 m-1
hingga 0.7279 ± 0.3560 m-1. Selanjutnya, pada musim panas tahun 2000, nilai
rata-rata koefisien absorpsi pada masing-masing panjang gelombang tersebut
mengalami penurunan dengan nilai kisaran dari 0.1840 ± 0.2150 m-1 hingga
0.0133 ± 0.0210 m-1. Kemudian nilai rata-rata koefisien atenuasinya (412 hingga
715 nm) mengalami penurunan dengan nilai kisaran dari 0.6238 ± 0.8257 m-1
hingga 0.2895 ± 0.4376 m-1 (Lampiran 3).

13

Gambar 6 Pola distribusi spasial koefisien atenuasi pada musim semi tahun 1999
(Sp-99)
Pola sebaran koefisien absorpsi pada musim panas tahun 1999 (Gambar 9)
dan musim panas tahun 2000 (Gambar 11) menunjukkan nilai yang semakin
rendah dengan peningkatan panjang gelombang (412 nm hingga 676 nm) dan
memiliki pola sebaran yang tidak jauh berbeda antar panjang gelombang. Hasil
pada musim panas tahun 1999 (Gambar 9 dan Lampiran 3) menunjukkan bahwa
sebaran nilai koefisien absorpsi pada panjang gelombang 676 nm mengalami
sedikit peningkatan terhadap panjang gelombang 650 nm. Hal ini terjadi seperti
pada musim sebelumnya (musim semi) yang disebabkan karena rendahnya nilai

14

Gambar 7 Pola distribusi spasial koefisien absorpsi pada musim semi tahun 2000
(Sp-00)
absorpsi oleh detritus pada panjang gelombang ini (Cleveland 1995), sehingga
memungkinkan fitoplankton sebagai faktor utama dalam peningkatan koefisien
absorpsi tersebut.
Koefisien absorpsi pada musim panas tahun 1999 (Su-99) umumnya
memiliki nilai yang relatif paling tinggi di daerah sekitar Sungai Mississippi,
Mobile, Escambia, Choctawatchee, dan sebagian wilayah pada laut lepas (offshore
1), sedangkan di wilayah lainnya relatif lebih rendah. Menurut Nababan (2005),
pergerakan angin, arus, maupun upwelling sepanjang musim panas mempengaruhi
keluaran (nutrien) dari Sungai Mississippi sehingga menyebar dan bergerak ke
arah timur, serta dapat menyebar hingga ke arah laut lepas. Kondisi perairan
tersebut menyebabkan pergerakan materi dengan kandungan tinggi, sehingga hal
tersebut diduga sebagai faktor yang mempengaruhi relatif tingginya koefisien
absorpsi di wilayah Mississippi, Mobile, Escambia, choctawatchee, dan sebagian
wilayah laut lepas (offshore).

15

Gambar 8 Pola distribusi spasial koefisien atenuasi pada musim semi tahun 2000
(Sp-00)
Gambar 10 menunjukkan bahwa koefisien atenuasi pada musim panas tahun
1999 (Su-99) relatif paling tinggi berada di sekitar wilayah Mississippi, Mobile,
Escambia, dan Choctawhatchee, sedangkan pada wilayah Apalachicola,
Suwannee, Teluk Tampa, dan laut lepas (Offshore 1, 2, dan 3) relatif lebih rendah.
Relatif tingginya koefisien atenuasi sekitar Mississippi, Mobile, Escambia, dan
Choctawhatchee masih diduga sebagai akibat pengaruh keluaran (nutrien) dari
Sungai Mississipi yang sudah dijelaskan sebelumnya.

16
Sedikit berbeda dengan musim panas tahun 1999 (Su-99), pola sebaran
koefisien absorpsi pada musim panas tahun 2000 (Gambar 11) menunjukkan
bahwa terjadi peningkatan nilai koefisien absorpsi pada panjang gelombang 555
dan 676 nm terhadap nilai koefisien absorpsi pada panjang gelombang
sebelumnya (khusus wilayah tertentu). Peningkatan yang terjadi pada panjang
gelombang 555 terhadap panjang gelombang 532, diduga sebagai pengaruh
blooming fitoplankton yang terjadi pada musim panas, khususnya terjadi di
wilayah offshore 2.
Blooming fitoplankton yang terjadi di sekitar offshore 2 ini, diduga karena
pengaruh sirkulasi permukaan yang terjadi akibat pengaruh angin dan arus yang
bergerak dari sekitar Mississippi ke arah timur hingga tenggara (eastsoutheastward : ESE) pada musim panas, membawa kandungan nutrien dan
fitoplankton hingga mencapai wilayah offshore. Selain itu, Subramaniam dan
Carpenter (1999) menyebutkan bahwa cyanobacteria dapat menyebabkan
blooming di wilayah laut oligotropik tropis dan subtropis yang mengandung
pigmen phycobilin, sehingga menyebabkan absorpsi yang relatif tinggi pada
panjang gelombang 495, 545, dan 565 nm (Shimura and Fujita 1975).
Subramaniam dan Carpenter (1999) menyatakan pula bahwa phycoerythrobilin
dapat menyerap pada panjang gelombang 555 nm.
Nababan (2005) juga telah memetakan pola sebaran konsentrasi fucoxantin
di Perairan Timur Laut Teluk Meksiko, yang menunjukkan sebaran konsentrasi
fucoxantin di wilayah sekitar offshore 2 memiliki konsentrasi yang relatif tinggi
pada musim panas tahun 2000. Peningkatan koefisien absorpsi yang terjadi pada
panjang gelombang 676 terhadap panjang gelombang 650 (Gambar 11 dan
Lampiran 3), diduga akibat pengaruh absorpsi oleh fitoplankton sebagai faktor
utama seperti yang dipaparkan sebelumnya pada musim panas tahun 1999,
khususnya terjadi di wilayah Mississippi.
Pola sebaran koefisien atenuasi pada musim panas tahun 2000 (Gambar 12)
sama seperti halnya pola sebaran koefisien absorpsinya (Gambar 11) yang
menunjukkan wilayah Mississippi dan laut lepas (offshore 2) memiliki nilai
koefisien yang relatif paling tinggi, sedangkan di wilayah sekitar Mobile,
Escambia, Choctawhatchee, Apalachicola, Suwannee, Teluk Tampa, dan wilayah
laut lepas (offshore 1 dan 3) relatif lebih rendah. Tingginya koefisien absorpsi dan
atenuasi di sekitar Mississippi dan wilayah offshore 2 pada musim ini diduga
karena pengaruh blooming fitoplankton seperti yang dijelaskan Nababan (2005).
Blooming tersebut menyebabkan sebaran konsentrasi klorofil dan konsentrasi
fucoxantin relatif tinggi pada musim ini, terutama di wilayah Mississippi dan
offshore 2.
Musim Gugur
Nilai rata-rata koefisien absorpsi pada musim gugur tahun 1999 pada
masing-masing panjang gelombang (412 hingga 676 nm) secara umum
mengalami penurunan dengan nilai kisaran dari 0.5686 ± 0.2318 m-1 hingga
0.0228 ± 0.0174 m-1. Selanjutnya, nilai rata-rata koefisien atenuasinya (412
hingga 715 nm) mengalami penurunan dengan nilai kisaran dari 0.7749 ± 1.0024
m-1 hingga 0.3829 ± 0.5608 m-1 (Lampiran 3).
Sebaran koefisien absorpsi pada panjang gelombang 412 nm hingga 676 nm
memiliki lokasi sebaran yang tidak berbeda jauh meskipun terjadi penurunan nilai

17

Gambar 9 Pola distribusi spasial koefisien absorpsi pada musim panas tahun 1999
(Su-99)
koefisien. Pola sebaran koefisien absorpsi (Gambar 13) dan rentang nilai
(Lampiran 3) pada musim gugur tahun 1999, menunjukkan bahwa koefisien
absorpsi pada panjang gelombang 676 nm musim ini sedikit berbeda dengan
musim semi dan panas tahun 1999. Koefisien absorpsi panjang gelombang 676
nm pada musim gugur ini memiliki nilai yang relatif rendah. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa absorpsi oleh fitoplankton pada panjang gelombang ini
relatif rendah pada musim tersebut.
Pola sebaran koefisien absorpsi (Gambar 13) menunjukkan bahwa wilayah
yang memiliki nilai koefisien absorpsi yang relatif tinggi secara umum berada di
sekitar Sungai Mississippi, Mobile, Apalachicola, dan Teluk Tampa, sedangkan
wilayah lainnya relatif lebih rendah. Koefisien absorpsi yang relatif tinggi di
sekitar Sungai Mississippi, Mobile, Apalachicola, dan Teluk Tampa, diduga
terjadi karena pengaruh konsentrasi klorofil yang tinggi pada musim tersebut. Hal
ini didukung oleh Nababan (2005), yang memetakan sebaran klorofil di Perairan

18

Gambar 10 Pola distribusi spasial koefisien atenuasi pada musim panas tahun
1999 (Su-99)
Teluk Meksiko pada musim gugur, yang menunjukkan konsentrasi klorofil di
wilayah-wilayah tersebut relatif tinggi.
Koefisien atenuasi (Gambar 14) relatif tinggi di sekitar Mississippi, Mobile,
Apalachicola, Suwannee, dan Teluk Tampa, sedangkan di sekitar wilayah lainnya
relatif lebih rendah. Koefisien atenuasi yang relatif tinggi di sekitar Mississippi,
Mobile, Apalachicola, dan Teluk Tampa, diduga karena pengaruh tingginya
koefisien absorpsi yang dijelaskan sebelumnya pada musim ini. Menurut Nababan
(2005), ada pula pengaruh blooming fitoplankton di wilayah Apalachicola yang

19

Gambar 11 Pola distribusi spasial koefisien absorpsi pada musim panas tahun
2000 (Su-00)
terjadi akibat upwelling pada musim ini, sehingga memungkinkan terjadinya
peningkatan koefisien atenuasi.

Variabilitas Koefisien Absorpsi dan Atenuasi Cahaya Antar Musim
Variabilitas koefisien absorpsi dan atenuasi cahaya antar musim dapat
dilihat dari grafik perbandingan spektral nilai rata-rata antar musim yang
ditunjukkan pada Gambar 15. Gambar tersebut menunjukkan bahwa nilai rata-rata
koefisien absorpsi dan atenuasi antar musim secara umum paling tinggi pada
musim panas tahun 1999 (Su-99) dan paling rendah pada musim semi tahun 2000
(Sp-00).
Selanjutnya, perbandingan spektral nilai rata-rata antar wilayah pengamatan
dapat dilihat dari grafik yang ditunjukkan pada Gambar 16. Nilai rata-rata pada

20

Gambar 12 Pola distribusi spasial koefisien atenuasi pada musim panas tahun
2000 (Su-00)
koefisien absorpsi secara umum paling tinggi ditemui di daerah Mississippi,
kecuali pada musim gugur 1999 (Fa-99) dan musim semi 2000 (Sp-00) nilai ratarata koefisien absorpsi paling tinggi ditemui di lokasi Mobile. Hal ini
menunjukkan bahwa bahan penyerap cahaya seperti bahan organik dan
fitoplankton secara umum lebih banyak ditemukan di daerah Mississippi
dibandingkan daerah lain. Hasil pengamatan ini juga sesuai dengan hasil
penelitian Nababan (2005; 2009) dan Nababan et al. (2011).

21

Gambar 13 Pola distribusi spasial koefisien absorpsi pada musim gugur tahun
1999 (Fa-99)
Nilai rata-rata koefisien atenuasi secara umum juga terlihat paling tinggi di
daerah Mississippi, kecuali pada musim panas 1999 (Su-99) koefisien atenuasi
paling tinggi ditemui di daerah Choctawhatchee dan musim semi 2000 (Sp-00)
koefisien atenuasi paling tinggi ditemui di daerah Mobile (Gambar 16). Relatif
tingginya koefisien atenuasi di sekitar Choctawatchee (musim panas 1999) ketika
koefisien absorpsi rendah, mengindikasikan bahwa pengaruh kandungan
fitoplankton, CDOM, dan detritus di wilayah tersebut tidak memiliki pengaruh
yang sangat besar terhadap penyerapan cahaya. Oleh karena itu, koefisien atenuasi
ini diduga lebih banyak dipengaruhi koefisien hamburan dari materi yang
terkandung dalam perairan.
Pengaruh koefisien hamburan yang lebih besar dari koefisien absorpsinya
dapat terjadi tidak hanya karena pengaruh konsentrasi atau kandungan materi
seperti fitoplankton, CDOM, dan detritus dalam perairan, tetapi dapat pula

22

Gambar 14 Pola distribusi spasial koefisien atenuasi pada musim gugur tahun
1999 (Fa-99)
dipengaruhi oleh biomassa atau ukuran sel materinya. Oleh karena itu, relatif
tingginya koefisien atenuasi pada suatu wilayah, dapat pula didominasi oleh
pengaruh hamburan akibat adanya perbedaan biomassa atau ukuran sel suatu
materi. Biomassa atau ukuran sel materi yang relatif tinggi akan sangat
mempengaruhi besarnya koefisien hamburan. Pengaruh biomassa atau ukuran sel
materi tersebut diduga terjadi di wilayah Choctawatchee. Hal ini dapat dilihat dari
sebaran biomassa fitoplankton yang ditunjukkan dalam penelitian Nababan (2005;
2009). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa wilayah Choctawatchee

23
memiliki sebaran mikrofitoplankton (> 20 µm) yang relatif sedang dan
nanofitoplankton (2-20 µm) yang relatif tinggi. Hal ini diduga sebagai faktor yang
dapat meningkatkan pengaruh koefisien hamburan lebih besar di wilayah tersebut.
Relatif tingginya koefisien atenuasi di wilayah Mobile pada musim semi
tahun 2000 (Sp-00) dibanding wilayah lainnya, diduga karena pengaruh sebaran
fitoplankton dan CDOM di wilayah tersebut yang relatif tinggi. Hal ini didukung
dengan sebaran klorofil dan absorpsi CDOM yang dilakukan Nababan (2005;
2011), yang menunjukkan sebarannya yang tinggi di wilayah Mobile pada musim
tersebut. Selain itu, Nababan (20005; 2009) juga menunjukkan bahwa sebaran
mikrofitoplankton (> 20 µm) di wilayah Mobile relatif tinggi pada musim semi
tahun 2000 (Sp-00).
Secara umum nilai rata-rata koefisien absorpsi dan atenuasi paling rendah
ditemui pada daerah laut lepas (Offshore 1-3) kecuali pada musim panas 1999
(Su-99) dan 2000 (Su-00) (Gambar 16). Relatif tingginya koefisien absorpsi
maupun atenuasi di daerah laut lepas (offshore 1-3) pada musim panas tahun 1999
(Su-99) dan tahun 2000 (Su-00) diduga karena pengaruh tranpor nutrien dari
sekitar muara Sungai Mississippi ke arah timur dan tenggara akibat pengaruh
pergerakan arus (loop current) yang pernah dijelaskan sebelumnya (Nababan
2005), sehingga menyebabkan terbawanya kandungan materi ke arah laut lepas.
Perbandingan antar musim dibahas lebih detail pada perbandingan sebaran
koefisien absorpsi dan atenuasi pada gelombang biru, hijau, dan merah yang dapat
dilihat pada pembahasan berikutnya.

Gambar 15 Perbandingan spektral nilai rata-rata koefisien absorpsi (gambar atas)
dan atenuasi (gambar bawah) antar musim

24

Gambar 16 Perbandingan spektral nilai rata-rata koefisien absorpsi (kolom kiri)
dan atenuasi (kolom kanan) per wilayah pada tiap musim

25
Gelombang biru
Panjang gelombang yang termasuk dalam spektrum gelombang biru, yaitu
panjang gelombang 412, 440, dan 488 nm. Pola sebaran koefisien absorpsi dan
atenuasi antar ketiga panjang gelombang tersebut menunjukkan pola yang hampir
sama dalam satu musim, meskipun terlihat berbeda dari segi nilainya dan
menunjukkan penurunan. Oleh karena itu, perbandingan antar musim ini hanya
dibahas lebih detail pada salah satu panjang gelombang saja. Panjang gelombang
yang digunakan yaitu 440 nm. Penggunaan panjang gelombang ini disebabkan
karena pada panjang gelombang 440 nm lebih banyak digunakan untuk aplikasi
estimasi konsentrasi fitoplankton dari satelit ocean color.
Perbandingan pola sebaran koefisien absorpsi (a) dan atenuasi (c) pada
panjang gelombang 440 nm ditampilkan pada Gambar 17. Pola sebaran dalam
Gambar 17, mengindikasikan bahwa run off dari darat sangat mempengaruhi
distribusi dari koefisien absorpsi dan atenuasi pada tiap musim. Hal ini
dikarenakan run off memungkinkan terjadinya transport sumber nutrien atau
CDOM ke muara sungai atau laut lepas. Oleh karena itulah distribusi koefisien
absorpsi maupun atenuasi banyak ditemukan di wilayah sekitar pantai, terutama
wilayah dekat muara sungai tiap musimnya.
Relatif tingginya koefisien absorpsi dan atenuasi di sekitar pantai
(nearshore), terutama wilayah dekat sungai, dapat juga dipengaruhi oleh sebaran
dan konsentrasi klorofil di sepanjang wilayah tersebut. Morel et al. (2006)
menyatakan bahwa konsentrasi klorofil paling banyak ditemukan di perairan
pesisir atau pantai yang kompleks. Sebaran konsentrasi klorofil di Perairan Timur
Laut Teluk Meksiko memang memiliki konsentrasi yang relatif tinggi di sekitar
pantai dan muara sungai, seperti pola distribusi spasial konsentrasi klorofil yang
dilakukan oleh Nababan (2005), yang menyebutkan pula bahwa konsentrasi
klorofil memiliki korelasi positif dengan pengaruh run off.
Gambar 17 menunjukkan bahwa koefisien absorpsi dan atenuasi secara
um