Nilai Indeks Glikemik Produk Olahan Suweg (Amorphophallus campanulatus Bl.)

i

NILAI INDEKS GLIKEMIK PRODUK OLAHAN SUWEG
(Amorphophallus campanulatus Bl.)

STACEY ATHALIA GUNAWAN

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

ii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Nilai Indeks Glikemik
Produk Olahan Suweg (Amorphophallus campanulatus Bl.) adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk

apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2013

Stacey Athalia Gunawan
NIM I14104025

iii

ABSTRACT
STACEY ATHALIA GUNAWAN. Glycemic Indices of Suweg (Amorphophallus
campanulatus Bl.) Products. Under Direction of RIMBAWAN.
The general objective of this study was to analyze the glycemic indices of
fried, boiled, and steamed suweg. The specific objectives of this study were: (1)
to analyse nutrient composition in processed suweg; (2) to analyse glycemic
indices of processed suweg; (3) to analyse any statistical differences of glycemic

indices of fried, boiled, and steamed suweg.
This research consisted of three stages covered: (1) processing of suweg
into three treatments (fried, boiled, and steamed), (2) analyzing of nutrient
contents in suweg products, (3) measuring of glycemic index of three processed.
Treatment affects the moisture(wet based/ wb) content of suweg which
were on steamed, boiled, and fried suweg 73.61%, 80.25%, and 55.92%
respectively. Protein content (dry based/ db) were 5.38%, 5.67%, and 3.92%
respectively. Fat content (db) were 0.27% for steamed, 0.39% for boiled, and
11.41% for fried suweg. Total carbohydrate by difference content (db) for
steamed, boiled, and fried suweg were 87.47%, 87.87%, and 79.03%
respectively. Total dietary fiber (db) content were 29.02% for steamed, 34.99%
for boiled, and 25.58% for fried suweg. Insoluble dietary fiber (db) content for
steamed, boiled and fried suweg were 19.67%, 27.06% dan 19.47%, while
soluble dietary fiber (db) were 7.93%, 11.72% dan 6.12% respectively.
Glycemic index values of steamed, boiled, and fried suweg were 37.36,
45.58, and 24.68 respectively. Those three products were classified as low
glycemic index category. Statistical analysis showed that treatment effected the
glycemic index value.
Key words: glycemic index, suweg


iv

RINGKASAN
STACEY ATHALIA GUNAWAN. Nilai Indeks Glikemik Produk Olahan Suweg
(Amorphophallus campanulatus Bl.). Dibimbing oleh Dr. RIMBAWAN.
Karbohidrat seringkali dikelompokkan menurut struktur kimia yaitu
karbohidrat sederhana dan kompleks. Namun dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi sekarang ini diketahui bahwa konsep tersebut tidak
dapat menggambarkan dampak karbohidrat pada kadar glukosa darah. Konsep
indeks glikemik muncul untuk menunjukkan efek karbohidrat terhadap kenaikan
kadar gula darah dalam tubuh manusia (Rimbawan dan Siagian 2004). Dengan
demikian maka jumlah dan jenis pangan sumber karbohidrat yang tepat dapat
dipilih untuk menjaga kesehatan tubuh.
Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi nilai indeks glikemik
suatu pangan. Pangan dengan jenis bahan yang sama tetapi menggunakan cara
pengolahan yang berbeda dapat menunjukkan nilai indeks glikemik yang
berbeda-beda, karena pengolahan dapat merubah karakteristik dan sifat fisiko
kimia bahan pangan. Adanya perubahan struktur tersebut dapat mempengaruhi
daya cerna dan daya serap pangan tersebut. Lamanya penyerapan karbohidrat
berbanding lurus dengan indeks glikemik pangan. Semakin lama waktu yang

diperlukan untuk diserap maka semakin rendah pula IG pangan dan sebaliknya.
Suweg merupakan salah satu pangan sumber karbohidrat yang dapat
digunakan sebagai pengganti beras. Umbi suweg merupakan umbi terbesar di
Indonesia. Suweg merupakan salah satu pangan lokal dengan pembudidayaan
yang relatif mudah dan dapat digunakan sebagai alternatif sumber karbohidrat.
Pengolahan umbi suweg yang sering dikenal masyarakat adalah dengan
pengukusan dan perebusan. Penelitian mengenai indeks glikemik pangan lokal
yang dapat dijadikan sumber karbohidrat masih sangat terbatas. Oleh karena itu,
peneliti tertarik untuk mempelajari nilai indeks glikemik pada berbagai jenis
olahan umbi suweg.
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisa indeks glikemik
produk olahan umbi suweg (Amorphophallus campanulatus Bl.). Adapun tujuan
khusus penelitian ini adalah (1) mengkaji komposisi zat gizi yang terkandung
pada suweg goreng, suweg rebus, dan suweg kukus; (2) menganalisis nilai
indeks glikemik suweg goreng, suweg rebus, dan suweg kukus; (3) menganalisis
pengaruh pengolahan terhadap nilai indeks glikemik suweg goreng, suweg
rebus, dan suweg kukus.
Penelitian ini dilaksanakan pada pertengahan September sampai dengan
awal bulan November 2012. Tempat yang digunakan untuk melakukan penelitian
adalah Laboratorium Percobaan Pangan, Laboratorium Kimia dan Analisis

Makanan, serta Teaching Cafetaria, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas
Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penelitian terdiri dari beberapa tahap,
yaitu pemilihan sampel dan persiapan, pengolahan suweg, analisis kandungan
zat gizi, pemilihan subjek penelitian, pengukuran indeks glikemik produk olahan
suweg.
Data respon glukosa darah disebar pada sumbu x (waktu) dan sumbu y
(respon glikemik), kemudian luas area dibawah kurva antara pangan acuan dan
pangan uji dibandingkan dengan bantuan Microsoft Excel 2010 untuk
mendapatkan nilai indeks glikemik. Pengaruh pengolahan terhadap nilai indeks
glikemik dianalisis menggunakan analisis sidik ragam (one way anova).

v

Bermacam jenis pengolahan pangan menghasilkan komposisi zat gizi
yang berbeda pada produk olahan suweg (Amorphophallus campanulatus Bl.).
Perbedaan kandungan gizi ini disebabkan oleh penggunaan bahan pangan lain
yang ditambahkan (air dan minyak) serta metode pengolahan yang berbeda
(mengukus, merebus, dan menggoreng). Kadar air (bb) dalam suweg kukus,
rebus dan goreng sebesar 73.61%, 80.25%, dan 55.92%. Kadar protein (bk)
pada suweg kukus, rebus dan goreng berturut-turut 5.38%, 5.67%, dan 3.92%.

Kadar lemak (bk) pada suweg kukus, rebus dan goreng 0.27%, 0.39%, dan
11.41%. Kandungan karbohidrat by difference (bk) dalam suweg kukus, rebus
dan goreng sebesar 87.47%, 87.87%, dan 79.03%. Serat pangan total (bk) yang
terkandung pada suweg kukus, rebus dan goreng 29.02%, 34.99%, dan 25.58%.
Kadar serat pangan tidak larut (bk )untuk suweg kukus, rebus dan goreng
19.67%, 27.06% dan 19.47%, sedangkan serat pangan larut (bk) sebesar 7.93%,
11.72% dan 6.12%.
Hasil pengukuran indeks glikemik menunjukkan bahwa tiap produk olahan
suweg dengan pengolahan yang berbeda, memiliki respon glikemik yang juga
berbeda. Nilai indek glikemik suweg kukus (37.36), suweg rebus (45.58), dan
suweg goreng (24.68) berada pada kategori pangan dengan indeks glikemik
rendah. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pengolahan suweg yang
berbeda menunjukkan perbedaan respon glikemik secara nyata (p70.
Klasifikasi indeks glikemik dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Klasifikasi indeks glikemik
Klasifikasi
IG Rendah
IG Sedang
IG Tinggi


Kisaran GI
< 55
56-70
>70

(Sumber: Miller et al. 1996)

Penderita diabetes mellitus dianjurkan paling sedikit mengkonsumsi 50%
dari total asupan nasi berupa makanan yang memiliki indeks glikemik rendah.
Berdasarkan hal tersebut informasi tentang nilai indeks suatu makanan sangat
dibutuhkan oleh penderita diabetes (Prijatmoko 2007).
Beban Glikemik
Indeks glikemik menunjukkan kecepatan karbohidrat berubah menjadi
gula darah. Indeks Glikemik tidak memberikan informasi mengenai banyaknya
karbohidrat dan dampaknya pada kadar gula darah. Seperti contohnya pada
wortel yang memiliki Indeks Glikemik tinggi (IG= 131), namun pangan tersebut

9

tidak perlu dihindari karena tidak mungkin orang tersebut dapat mengkonsumsi

50 g karbohidrat dari wortel dalam sekali makan. Maka untuk hal itulah beban
glikemik (BG) dari pangan perlu diketahui (Rimbawan dan Siagian 2004).
Muatan glikemik (glycemic load atau GL) digunakan untuk mengukur
dampak potensial makanan terhadap gula darah. Makanan mungkin memiliki
indeks glikemik tinggi tetapi jika tidak mengandung banyak karbohidrat per ratarata penyajian, tidak akan banyak dampaknya pada gula darah. Perhitungan dari
muatan glikemik makanan, yaitu mengalikan indeks glikemik dengan jumlah
karbohidrat non-serat dalam satu porsi, kemudian dibagi dengan 100. Angka
muatan glikemik 20 ke atas dikategorikan tinggi, 10-19 kategori menengah
dan kurang dari 10 menunjukan nilai GL yang rendah (Kindo 2011).
Prosedur Penentuan Indeks Glikemik Pangan
Prosedur penentuan Indeks Glikemik pangan adalah sebagai berikut
(Miller et al., 1996):
a. Glukosa darah puasa diambil secara prick-test pada pengambilan sampel
darah pertama.
b. Pangan tunggal yang akan ditentukan IG-nya (yang mengandung 25 gram
karbohidrat) diberikan kepada subjek.
c. Sampel darah diambil untuk setiap 15 menit pada jam pertama kemudian
setiap 30 menit pada jam kedua untuk diukur kadar glukosanya.
d. Kadar glukosa darah diplot pada dua sumbu, yaitu sumbu waktu (X) dan
glukosa darah (Y). Indeks Glikemik ditentukan dengan cara membandingkan

luas daerah di bawah kurva antara pangan uji dengan pangan acuan.

Gambar 2 Pengukuran glycemic index pangan
Prinsip Pengukuran Indeks Glikemik
Pengukuran indeks glikemik (IG) pangan dilakukan dengan memberikan
pangan uji dengan jumlah yang setara dengan 25 gram karbohidrat kepada

10

seluruh subyek penelitian. Pangan tersebut diberikan kepada subyek setelah
melakukan puasa selama 10 jam (overnight fasting). Hal ini dilakukan untuk
mengurangi cadangan gula darah dalam tubuh yang dapat digunakan untuk
mengasilkan energi sehingga gula darah yang diukur benar-benar merupakan
respon terhadap pangan uji yang diberikan. Setelah itu, subyek diambil darahnya
menggunakan fringer prick pada menit ke 0 (sebelum diberi pangan uji), 15, 30,
45, 60, 90, dan menit ke 120. Kadar gula yang ditunjukkan oleh alat tersebut
dibuatkan grafik menurut sumbu X dan Y, lalu dihitung luas daerah di bawah
kurva baik menggunakan rumus integral maupun trapezoid. Nilai yang diperoleh
kemudian dibandingkan dengan luas kurva untuk pangan standar (dalam hal ini
digunakan glukosa murni) untuk mendapatkan nilai indeks glikemik pangan

tersebut (Miller 1996).
Pengukuran kadar glukosa melalui plasma darah dilakukan menggunakan
finger-prick capillary blood samples dan terdiri dari dua bagian. Bagian pertama
adalah

persiapan

sebelum

pengambilan

darah

dan

dilanjutkan

proses

pengambilan darah. Tahapan-tahapan selama proses sebelum dan saat

pengambilan darah terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan. Hal tersebut
diantaranya meliputi keadaan ruangan yang nyaman, keadaan subyek dalam
kondisi rileks selama lima menit sebelum pengambilan darah, serta pemberian
intervensi pangan harus dapat dihabiskan dalam waktu 10 menit sebelum proses
pengambilan darah (Reinaeur et al, 2002). Subyek mengkonsumsi pangan harus
dengan berkelanjutan agar respon glikemik yang diakibatkan teratur.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Indeks Glikemik Pangan
Faktor-faktor yang mempengaruhi indeks glikemik pangan adalah: (1)
cara pengolahan (tingkat gelatinisasi pati dan ukuran partikel), (2) perbandingan
amilosa dan amilopektin, (3) tingkat keasaman dan daya osmotic, (4) kadar serat,
(5) kadar lemak dan protein, serta (6) kadar zat anti-gizi pangan (Rimbawan dan
Siagian 2004).
Proses Pengolahan. Dewasa ini teknik pengolahan pangan menjadikan
pangan tersedia dalam bentuk, ukuran dan rasa yang lebih enak. Proses
penggilingan menyebabkan struktur pangan menjadi halus sehingga pangan
tersebut mudah dicerna dan diserap. Pangan yang mudah cerna dan diserap
menaikan kadar gula darah dengan cepat. Penumpukan dan penggilingan bijibijian memperkecil ukuran partikel sehingga mudah menyerap air menurut

11

Liljeberg dalam buku Indeks Glikemik Pangan, makin kecil ukuran partikel maka
IG pangan makin tinggi.
Butiran utuh serealia, seperti gandum menghasilkan glukosa dan insulin
yang rendah. Namun ketika biji-bijian digiling sebelum direbus, respon glokusa
dan insulin mengalami peningkatan yang bermakna. Proses pemasakan atau
pemanasan akan menyebabkan terjadinya proses gelatinisasi pada pati sehingga
pati akan lebih mudah dicerna karena enzim pencernaan pada usus
mendapatkan tempat bekerja yang lebih luas. Berdasarkan hal inilah, proses
pemasakan atau pemanasan dapat menyebabkan terjadinya kenaikan indeks
glikemik pangan (Rimbawan dan Siagian 2004).
Hasil penelitian Karimah (2011) menunjukkan bahwa bubur instan
memiliki nilai indeks glikemik yang tinggi karena ukuran granula pati singkong
yang digunakan sebagai bahan utama relatif kecil. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Rasdiyanti (2010) pada berbagai produk olahan sukun, sukun
kukus yang memiliki tingkat gelatinisasi lebih tinggi dibandingkan dengan sukun
goreng, sukun rebus dan kukis sukun memiliki nilai indeks glikemik yang tertinggi
pula.
Kadar Amilosa dan Amilopektin. Amilosa adalah polimer gula
sederhana yang tidak bercabang. Struktur yang tidak bercabang ini membuat
amilosa terikat lebih kuat sehingga sulit tergelatinisasi akibatnya sulit cerna.
Sementara amilopektin-polimer adalah gula sederhana memiliki ukuran molekul
lebih besar dan lebih terbuka sehingga mudah tergelatinisasi akibatnya mudah
cerna. Penelitian terhadap pangan yang memiliki kadar amilosa dan amilopektin
berbeda menunjukkan bahwa kadar glukosa darah dan respon insulin lebih
rendah setelah mengkonsumsi pangan berkadar amilosa tinggi daripada pangan
berkadar amilopektin tinggi. Sebaliknya bila kadar amilopektin pangan lebih tinggi
daripada amilosa,respon gula darah lebih tinggi (Rimbawan dan Siagian 2004).
Pada penelitian Rasdiyanti (2010) semua produk olahan sukun termasuk ke
dalam kriteria pangan dengan indeks glikemik tinggi, yang diduga karena pati
sukun berkadar amilosa rendah dan berkadar amilopektin tinggi.
Kadar Gula dan Daya Osmotik Pangan. Pengaruh gula secara alami
terdapat di dalam pangan dalam berbagai porsi terhadap respon gula darah
sangat sulit diprediksi. Hal ini dikarenakan pengosongan lambung diperlambat
oleh peningkatan konsumsi gula apapun strukturnya (Waspadji 2003).

12

Kadar Serat Pangan. Pengaruh serat pada indeks glikemik pangan
tergantung pada jenis seratnya. Bila masih utuh serat dapat bertindak sebagai
penghambat fisik pada pencernaan. Akibatnya indeks glikemik cenderung
menjadi lebih rendah. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa kacangkacangan atau tepung biji-bijian memiliki indeks glikemik rendah (30-40). Serat
kasar mempertebal kerapatan atau ketebalan campuran makanan dalam saluran
pencernaan. Hal ini memperlambat lewatnya makanan pada saluran pencernaan
dan menghambat pergerakan enzim. Dengan demikian proses pencernaan
menjadi lambat dan akhirnya respon gula darah menjadi lebih rendah (Waspadji
2003).
Kadar Lemak dan Protein Pangan. Pangan berkadar lemak dan protein
tinggi cenderung memperlambat laju pengosongan lambung. Dengan demikian
laju pencernaan makanan di usus halus juga diperlambat. Oleh karena itu
pangan berkadar lemak tinggi cenderung memiliki IG lebih rendah daripada
sejenis berkadar lemak lebih rendah (Rimbawan dan Siagian 2004). Lemak
dalam jumlah besar (50 gram lemak) dapat menurunkan respon glukosa darah
dan respon insulin. Pada subjek normal pemberian 16 gram protein dapat
mempengaruhi respon glukosa darah dan insulin (Wolever et al. 1996). Pada
penelitian Maulana (2012) keripik ubi cilembu memiliki kandungan protein dan
lemak tertinggi dibandingkan ubi cilembu yang dikukus dan dipanggang serta
memiliki indeks glikemik terendah.
Kadar Anti Gizi Pangan. Beberapa pangan secara alamiah mengandung
zat yang dapat menyebabkan keracunan bila jumlahnya besar. Zat tersebut
dinamakan zat anti gizi. Beberapa zat anti gizi tetap aktif walaupun sudah melalui
proses pemasakan. Zat anti gizi pada biji-bijian dapat memperlambat pencernaan
karbohidrat di dalam usus halus. Akibatnya IG pangan menurun (Rimbawan dan
Siagian 2004).
Metode Pengolahan
Menurut Widyati (2002) dalam Wijayanti (2010) terdapat dua metode
pengolahan makanan, yaitu metode panas basah dan metode panas kering.
Metode panas basah menggunakan bahan cair seperti kaldu, saus atau uap air
sebagai penghantar panas. Metode panas kering menggunakan udara panas,
metal panas, atau lemak panas sebagai media penghantar panas. Metode panas
basah antara lain merebus dan mengukus, sedangkan metode panas kering
seperti menggoreng.

13

Perebusan merupakan cara memasak dalam air mendidih cepat dan
bergolak. Air mendidih pada temperatur 100ºC. Air yang mendidih dengan cepat
akan mengurai kehalusan makanan (Wijayanti 2010).
Pengukusan merupakan pemasakan bahan pangan pada uap air
mendidih bersuhu 100ºC. Keuntungan dari metode ini antara lain pada proses
kehilangan komponen larut air lebih sedikit dibandingkan dengan metode
perebusan (Fellowss 2000).
Menggoreng merupakan salah satu metode yang umum dilakukan untuk
meningkatkan kualitas bahan pangan. Jumlah kalori makanan meningkat setelah
digoreng. Jenis makanan yang digoreng tidak mudah dicerna oleh tubuh karena
keberadaan lemak pada makanan (Winarno 1999). Deep frying merupakan
metode penggorengan yang menggunakan banyak minyak sehingga bahan
pangan yang diolah akan terendam seluruhnya dalam minyak goreng. Proses
pada metode menggoreng ini menggunakan suhu tinggi yaitu temperature antara
175-190ºC (Fellowss 2000).

14

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian mengenai Nilai Indeks Glikemik Produk Olahan Suweg
(Amorphophallus campanulatus Bl.) dilaksanakan pada pertengahan September
sampai dengan awal bulan November 2012. Tempat yang digunakan untuk
melakukan penelitian adalah Laboratorium Percobaan Makanan yang digunakan
untuk memperoleh standar pengolahan produk suweg, Laboratorium Kimia dan
Analisis Makanan yang digunakan untuk menganalisis zat gizi produk olahan
suweg, serta Teaching Cafetaria yang digunakan untuk mengukur respon
glukosa darah subjek penelitian. Keseluruhan ruangan tersebut berada di
Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian
Bogor.
Bahan dan Alat
Bahan

yang

digunakan

dalam

penelitian

ini

adalah

suweg

(Amorphophallus campanulatus Bl.), minyak goreng, air. Suweg yang digunakan
dalam penelitian ini berasal dari Desa Kawu Pilang Patok, Caruban, Jawa Timur.
Bahan yang digunakan untuk uji proksimat produk olahan suweg (suweg goreng,
suweg rebus, suweg kukus) adalah air destilata atau aquades, selenium mix, HCl
(0.03 N; 0.1 M dan 6 M), NaOH 30%, asam borat (H3BO3 3%), etanol 95%,
aseton, kertas saring (Whatman 40 dan 42), air bebas ion, buffer fosfat pH 6,
asam nitrat (HNO3), asam sulfat (H2SO4) pekat, pepsin, natrium bikarbonat
(NaHCO3), hexan dan sodium asetat. Bahan yang digunakan untuk uji derajat
gelatinisasi adalah NaOH 10 M, HCl 0.5 M, larutan iod 0.1 N, dan air destilata
atau aquades.
Alat yang digunakan untuk uji proksimat antara alin adalah cawan
alumunium, cawan porselen, desikator, oven, timbangan analitik, sudip, tanur,
labu lemak, Soxhlet, labu Kjeldahl, labomixer, alat destruksi, alat destilasi, buret,
tabung reaksi, gelas piala, gelas ukur, labu takar, penangas air, Erlenmeyer, labu
semprot, corong, pompa vakum, dan pipet volumetric. Peralatan yang digunakan
untuk uji derajat gelatinisasi antara lain timbangan analitik, blender, pipet,
sentrifuge, tabung reaksi, pipet volumetric dan Spektrofotometer UV-VIS 6505
(Jenway).
Peralatan yang digunakan pada proses pengolahan suweg (suweg
goreng, suweg rebus, suweg kukus) antara lain timbangan digital, kompor,

15

baskom, piring, panci, panci kukus, penggorengan, pisau, talenan, spatula dan
mangkuk. Alat yang digunakan pada pengukuran pengaruh glukosa darah
adalah glucometer One Touch UltraTM.
Tahapan Penelitian
Kegiatan ini dilaksanakan dalam enam tahapan, yaitu tahap pemilihan
sampel dan persiapan, tahap pengolahan suweg menjadi produk olahannya
(suweg goreng, suweg rebus, suweg kukus), tahap analisis komposisi zat gizi
produk olahan suweg, tahap pengukuran derajat gelatinisasi, tahap penentuan
dan pemilihan subjek penelitian, dan tahap pengukuran indeks glikemik.
Pemilihan Sampel dan Persiapan
Suweg yang digunakan pada penelitian ini memiliki kulit umbi suweg
berwarna kuning kecoklatan dan daging umbi yang berwarna putih kemerahan.
Suweg yang digunakan memiliki umur tanam 3 tahun 2 bulan dengan berat
setiap umbi sekitar 4-7 kg. Umbi suweg memalui tahap pengolahan antara lain
pengupasan kulit umbi, pemotongan bentuk dadu, pencucian bahan dengan
penambahan kapur sirih. Tujuan pada tahap persiapan ini adalah untuk
mempersiapkan bahan baku, yaitu suweg yang selanjutnya akan diolah menjadi
suweg goreng, suweg rebus, dan suweg kukus.
Pengolahan Suweg
Tahapan ini dilakukan untuk mengolah suweg menjadi tiga produk olahan
suweg dengan tiga metode pengolahan. Produk olahan tersebut adalah suweg
goreng, suweg rebus, dan suweg kukus. Proses pembuatan suweg goreng,
suweg rebus, dan suweg kukus dapat dilihat pada Lampiran 1.
Analisis Kandungan Zat Gizi
Setelah suweg diolah menjadi tiga produk olahan, tahap selanjutnya
adalah melakukan analisis kandungan zat gizi umbi suweg dan produk olahan
suweg. Analisis kandungan zat gizi umbi suweg dan produk olahan suweg
meliputi uji proksimat: kadar air (Metode Oven Biasa), abu (metode pengabuan
kering), protein (metode Kjedhal), lemak (metode Ekstraksi Soxhlet), dan
karbohidrat (by difference), dan analisis total serat makanan (metode enzimatis).
Setiap analisis dilakukan dengan dua kali pengulangan (duplo) analisis yang
kemudian dirata-rata untuk memperoleh kadar pada produk olahan. Prosedur
analisis zat gizi dapat dilihat pada Lampiran 2 dan Lampiran 3.

16

Pengukuran Derajat Gelatinisasi, Kadar Amilosa dan Amilopektin
Pengukuran selanjutnya terhadap ketiga produk olahan suweg adalah uji
derajat gelatinisasi. Analisis dilakukan dengan dua kali pengulangan yang
kemudian dirata-rata untuk memperoleh kadar pada produk olahan. Prosedur
analisis pengukuran derajat gelatinisasi dapat dilihat pada Lampiran 4. Prosedur
analisis pengukuran amilosa dan amilopektin pada Lampiran 5.
Penentuan dan Pemilihan Subjek Penelitian
Pemilihan subjek penelitian dilakukan secara purposive dikarenakan
alasan kemudahan dalam melakukan penelitian. Mahasiswa Institut Pertanian
Bogor yang bersedia mengikuti penelitian sebanyak sepuluh orang (5 orang
perempuan dan 5 orang laki-laki) dan telah memenuhi kriteria menjadi subjek
penelitian.
Subjek penelitian harus memenuhi dua kriteria, yaitu kriteria inklusi dan
kriteria eksklusi. Kriteria inklusi terdiri atas subjek berumur 18-30 tahun, subjek
memiliki indeks massa tubuh (IMT) normal antara 18.5-22.9 kg/m2 (WHO untuk
Asia Pasifik 2000), dan subjek dalam kondisi yang sehat. Kriteria eksklusi subjek
penelitian antara lain: memiliki riwayat penyakit DM, sedang mengalami
gangguan pencernaan, menjalani pengobatan, menggunakan obat-obatan
terlarang, meminum minuman beralkohol, dan perokok.
Penentuan dan pemilihan dilakukan dalam beberapa tahapan, yaitu (a)
perekrutan calon subjek penelitian (dilakukan dengan sosialisasi verbal kepada
calon subjek dan meminta kesediaan menjadi subjek penelitian), (b)
penyeleksian calon subjek (calon subjek penelitian yang terdaftar kemudian
diukur tinggi dan berat badan serta tekanan darah), (c) penjelasan rinci
mengenai penelitian (subjek yang terpilih mendapatkan penjelasan mengenai
penelitian, termasuk kompensasi yang akan diterima subjek dan hak untuk
mengundurkan diri dari penelitian yang pada akhirnya subjek mengisi surat
pernyataan kesediaan untuk informed consent).
Pengukuran Indeks Glikemik Suweg Goreng, Suweg Rebus, dan Suweg
Kukus
Setelah subjek penelitian yang memenuhi kriteria terkumpul, langkah
kerja yang selanjutnya dilakukan adalah memberikan tiga produk olahan suweg
kepada subjek penelitian untuk dikonsumsi. Jumlah subjek untuk pengujian satu
jenis pangan uji adalah masing-masing 10 orang (5 wanita dan 5 pria). Selain
itu,

diberikan juga glukosa sebagai kontrol.

Hal

ini

dilakukan untuk

17

meminimalisasi adanya bias antar kelompok subjek. Rincian jumlah subjek
penelitian terhadap tiga jenis produk olahan suweg disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Jumlah subjek penelitian
Pangan Uji
Jumlah Subjek
Total (orang)
Suweg goreng
5 wanita + 5 pria
10
Suweg kukus
5 wanita + 5 pria
10
Suweg rebus
5 wanita + 5 pria
10
Glukosa
5 wanita + 5 pria
10
Total Subjek
5 wanita + 5 pria
Keterangan: masing-masing subjek penelitian mengalami 4 kali perlakuan intervensi,
yaitu minggu pertama mengkonsumsi glukosa, minggu kedua
mengkonsumsi suweg goreng, minggu ketiga mengkonsumsi suweg
kukus, dan minggu keempat mengkonsumsi suweg rebus.

Setelah produk olahan suweg dikonsumsi oleh subjek penelitian, langkah
selanjutnya adalah pengambilan sampel darah subjek untuk mengetah

Dokumen yang terkait

PRODUKSI ETANOL DARI UMBI SUWEG (Amorphophallus campanulatus BI) SEBAGAI SUMBER ENERGI ALTERNATIF

0 11 106

Nilai Indeks Glikemik Produk Olahan Gembili (Dioscorea esculenta).

1 7 66

UJI KADAR GLUKOSA DAN ORGANOLEPTIK PADA PEMANFAATAN SUWEG (Amorphophallus campanulatus) SEBAGAI BAHAN DASAR Uji Kadar Glukosa Dan Organoleptik Pada Pemanfaatan Suweg (Amorphophallus campanulatus) Sebagai Bahan Dasar Kue Talam Dengan Penambahan Ekstrak B

1 4 15

KANDUNGAN KARBOHIDRAT DAN ORGANOLEPTIK MIE SUWEG (Amorphophallus campanulatus) DENGAN PENAMBAHAN Kandungan Karbohidrat Dan Organoleptik Mie Suweg (Amorphophallus campanulatus) Dengan Penambahan Pewarna Kulit Buah Naga (Hylocereus undatus) Dan Wortel (Dau

0 1 14

KUALITAS FISIKOKIMIA NAGET AYAM YANG MENGGUNAKAN FILER TEPUNG SUWEG (Amorphophallus campanulatus B1). - Physicochemical Quality Of Chicken Nugget Using Suweg (Amorphophallus Campanulatus B1) Flour As Filler.

0 4 9

PEMANFAATAN PATI SUWEG (Amorphophallus campanulatus B) UNTUK PEMBUATAN DEKSTRIN SECARA ENZIMATIS.

9 29 74

Karakteristik Sifat Fungsional Tepung Suweg (Amorphophallus campanulatus B1) Termodifikasi Dengan Metode Pregelatinisasi.

2 7 19

NILAI INDEKS GLIKEMIK BERBAGAI PRODUK OLAHAN SUKUN (Artocarpus altilis)

0 4 8

PEMANFAATAN PATI SUWEG (Amorphophallus campanulatus B) UNTUK PEMBUATAN DEKSTRIN SECARA ENZIMATIS SKRIPSI

0 1 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Suweg (Amorphophallus campanulatus B) - PEMANFAATAN PATI SUWEG (Amorphophallus campanulatus B) UNTUK PEMBUATAN DEKSTRIN SECARA ENZIMATIS

0 0 61