16
5. Mengkaji keterkaitan antara konsumsi pangan dan intik zat gizi dengan
kepadatan mineral tulang pada wanita pascamenopause 6.
Menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kepadatan mineral tulang
pada wanita pascamenopause
Manfaat Penelitian
Mengingat ke depan populasi kelompok lanjut usia akan terus bertambah maka diharapkan hasil penelitian ini dapat :
1. Memberikan informasi tentang faktor pangan dan nonpangan yang berhubungan dengan kepadatan mineral tulang pada wanita pascamenopause, sehingga dapat
meningkatkan kepedulian untuk menjaga kesehatan tulang sejak dini. 2. Menjadi masukan untuk melakukan penelitian lebih mendalam tentang
hubungan antara nilai kepadatan mineral tulang pada wanita pascamenopause dengan konsumsi pangan dan riwayat reproduksi.
3. Menjadi masukan bagi pihak terkait yang membuat kebijakan dalam mempromosikan hal-hal yang berhubungan dengan peningkatan kualitas
kesehatan dan hidup untuk warga senior.
17
TINJAUAN PUSTAKA
Osteoporosis Pengertian Osteoporosis
National Osteoporosis Foundation 2003 mendefinisikan osteoporosis sebagai penyakit kronis progresif yang dicirikan dengan rendahnya massa tulang dan rusaknya
mikroarsitektur tulang sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan kekuatan tulang, kerapuhan tulang dan meningkatnya risiko fraktur tulang. Badan Kesehatan Dunia
WHO menyatakan bahwa osteoporosis adalah penyakit dengan sifat-sifat khas berupa massa tulang yang rendah, disertai perubahan mikroarsitektur tulang dan penurunan
kualitas jaringan tulang yang pada akhirnya menimbulkan kejadian fraktur tulang akibat meningkatnya kerapuhan tulang WHO 1994.
Definisi tersebut diperkuat oleh Bronner 1994 yang mengemukakan bahwa osteoporosis merupakan kondisi berkurangnya massa mineral tulang per unit volume
tulang. Secara fungsional tulang yang mengalami osteoporosis dikarakterisasikan dengan tingkat kerapuhan yang lebih besar sehingga lebih mudah untuk mengalami
fraktur. Penyakit ini menyerang nyaris tanpa gejala dan keberadaannya baru disadari setelah terjadinya kondisi osteoporosis lanjut, yaitu adanya perubahan bentuk tulang
atau terjadinya patah tulang karena trauma ataupun patah tulang spontan. Oleh karenanya osteoporosis dikenal pula sebagai silent disease karena tidak pernah disadari
penderitanya Rachman 2003.
Proses Terjadinya
Osteoporosis
Tulang adalah jaringan yang memberi bentuk pada tubuh dan dapat menyebabkan pergerakan tubuh karena merupakan tempat melekatnya otot-otot. Tulang terdiri dari
matriks kolagen tulang, bahan organik dan mineral tulang. Mineral tulang berfungsi merekatkan serat–serat kolagen matriks tulang yang satu dengan lainnya dan juga
sebagai cadangan isi kalsium dalam tubuh Rachman 2003. Tulang mengalami proses pembentukan dan perubahan modelling dan
remodeling. Secara fisiologi modelling dan remodelling massa tulang dipengaruhi oleh 2 jenis sel yaitu sel osteoblas dan osteoklas. Osteoblas adalah sel yang membentuk
massa tulang, sementara osteoklas adalah sel yang bersifat merusak massa tulang.
18 Penambahan usia membuat osteoklas lebih aktif dan osteoblast kurang aktif, sehingga
tulang lebih banyak dirusak dan lebih sedikit dibentuk dan terjadi pengurangan massa tulang secara menyeluruh Ariani 1998.
Awalnya, pembentukan tulang oleh osteoblas dan proses perusakan tulang oleh osteoklas berjalan seimbang. Saat memasuki usia 40 tahun, osteoklas menjadi lebih
dominan. Hal ini menyebabkan perusakan tulang lebih banyak terjadi dibanding pembentukan tulang sehingga kepadatan tulang juga berkurang dan tulang menjadi
semakin rapuh dan keropos. Inilah yang kemudian dikenal dengan osteoporosis Ariani 1998.
Penurunan kepadatan massa tulang ini lebih nyata terlihat pada wanita dibanding pria karena keterkaitannya dengan hormon-hormon seks wanita utamanya
hormon estrogen. Penurunan produksi estrogen akibat menopause membuat penyerapan kalsium ke dalam tulang juga menurun. Pada wanita estrogen memiliki peran besar
dalam membantu penyerapan kalsium ke dalam tulang. Hal inilah yang menyebabkan resiko osteoporosis pada perempuan meningkat secara nyata di usia 50 tahun setelah
mereka mengalami menopause Rachman 2004.
Pengukuran Kepadatan Mineral Tulang
Pengukuran kepadatan mineral tulang Bone Mineral Density = BMD digunakan untuk mengkonfirmasikan diagnosis osteoporosis dan memprediksi risiko
fraktur di masa yang akan datang. Kepadatan mineral tulang memiliki hubungan terbalik yang berkelanjutan dan bertahap dengan risiko fraktur tulang, semakin rendah
kepadatan mineral tulang maka semakin besar risiko fraktur NOF 2003. Kepadatan mineral tulang diekspresikan sebagai keterkaitan antara dua standar
Z-score dan T-Score. Z-score adalah skor perbandingan nilai kepadatan mineral tulang yang diharapkan pada pasien sesuai umur dan jenis kelamin. Sedangkan T-Score adalah
skor nilai perbandingan kepadatan tulang pasien dengan nilai kepadatan tulang standar populasi orang dewasa muda normal dengan jenis kelamin yang sama. Menurunnya T-
scores secara paralel berkaitan dengan menurunnya massa tulang. Hal ini terjadi seiring dengan bertambahnya umur NOF 2003. Berikut ini adalah kategori osteoporosis
menurut T-score berdasarkan standar WHO 1994:
19 Tabel 1 Kategori osteoporosis menurut standar WHO 1994
Kategori Osteoporosis T-Score
Normal Lebih besar dari -1.0
Massa tulang rendah osteopenia -1 sampai -2.5
Osteoporosis Lebih rendah dari -2.5
Teknik Pengukuran Kepadatan Mineral Tulang
DEXA Dual Energy X-ray Absorptiometry merupakan alat yang banyak
digunakan dalam penilaian kepadatan mineral tulang manusia secara in vivo. Keunggulan metode ini adalah cepat, ramah pasien, memiliki tingkat presisi dan akurasi
yang tinggi dan paparan radiasi yang dihasilkannya sangat minimal Prentice, Parson Cole 1994.
Penilaian risiko fraktur juga dapat diketahui dengan menggunakan penanda biokimia. Penanda turnover tulang yang terjadi dalam serum atau urin kadang-kadang
digunakan untuk membantu penilaian risiko fraktur, memprediksi kehilangan massa tulang NOF 2003.
Data hasil pengukuran dengan menggunakan teknik absorptiometri diekspresikan sebagai Kepadatan mineral tulang Bone Mineral Density = BMD
dengan satuan gcm
2
. Data kepadatan mineral tulang mampu memberikan derajat standardisasi untuk membedakan ukuran tulang antarindividu dengan memberikan
perbandingan dengan nilai referensi populasi. Kepadatan mineral tulang dapat dijadikan prediktor yang sangat bermanfaat dalam memperkirakan risiko fraktur dan mampu
membedakan antara pasien yang menderita osteoporosis dan mereka yang normal Prentice, Parson Cole 1994.
Menopause
Kata menopause berasal dari bahasa Yunani yang berarti ‘bulan’ dan ‘penghentian sementara’ Wirakusumah 2003. Secara fisiologis menopause merupakan
suatu proses henti menstruasihaid akibat hilang atau kekurangan hormon estrogen yang diproduksi oleh ovarium.
Menopause memiliki gejala khusus yang mengganggu dan dapat berlangsung cukup lama Achadiat 2000. Gejala ini merupakan gejala normal yang timbul akibat
terjadinya perubahan fisik dan psikis pada wanita menopause. Namun gejala-gejala yang timbul amatlah individual, tidak setiap wanita mengalami gejala yang sama. Ada
20 wanita yang mengalaminya dan ada juga tidak. Semua tergantung pada kondisi
kesehatan, emosi daya tahan terhadap stress, asupan makanan dan aktivitas fisik seseorang Wirakusumah 2003.
Gejala fisik dari menopause diantaranya adalah adanya semburat panas, sulit tidur, berkeringat malam, gangguan fungsi seksual dan kekeringan vagina. Akibat
paling serius dari menopause yang tidak nampak secara langsung adalah penyakit kardiovaskuler dan penyakit tulang seperti osteoporosis dan osteoarthritis Achadiat
2000.
Faktor Risiko Osteoporosis
Selain disebabkan oleh menopause, masih terdapat banyak faktor lain yang dapat mempercepat penurunan kepadatan mineral tulang pada wanita pascamenopause,
seperti pola makan yang kurang baik, aktivitas fisik yang rendah, kebiasaan mengkonsumsi alkohol dan merokok. Meskipun pengaruhnya terhadap massa tulang
relatif lebih kecil dibandingkan dengan faktor risiko bawaan seperti jenis kelamin, riwayat keluarga, penuaan, dan ras; akan tetapi konsumsi pangan dan gaya hidup yang
buruk dapat mempercepat terjadinya penurunan kepadatan tulang Rachman 2003. Faktor konsumsi pangan yang meliputi konsumsi mineral kalsium, fosfor, dan
vitamin D telah banyak dikaji, sehingga sampai saat ini rekomendasi utama untuk membantu dalam mencegah dan memperlambat osteoporosis pada wanita
pascamenopause adalah kombinasi tiga zat gizi mikro tersebut dengan perbandingan tertentu. Akan tetapi tulang merupakan satu jaringan hidup yang kompleks dan
kemungkinan besar kontribusi berbagai zat gizi mikro maupun makro turut berperan dalam pemeliharaan tulang dan mampu memperlambat kejadian osteoporosis pada
wanita pascamenopause Tucker et al. 2002.
Faktor Pangan
Selmeyer et al. 2001 mengungkapkan bahwa zat gizi merupakan komponen penting dari kesehatan tulang. Zat gizi merupakan faktor penting yang dapat
dimodifikasi dalam perkembangan, perawatan massa tulang dan pencegahan serta pengobatan osteoporosis. Kurang lebih 80-90 kandungan mineral tulang terdiri dari
kalsium dan fosfor. Komponen pangan lain seperti protein, Mg, Zn, Cu, Fe, Fluoride, vitamin A, D, C, dan K diperlukan untuk metabolisme tulang secara normal. Protein
21 tergabung pada matriks organik tulang untuk menyusun struktur kolagen termpat
terjadinya mineralisasi. Sementara vitamin dan mineral lain penting untuk proses metabolisme dalam tulang Illich 2000. Disamping itu komponen lain yang juga
berpengaruh adalah konsumsi kafein, alkohol, atau fitoesterogen Illich 2000. Anderson 1999 menyebutkan bahwa konsep diet sehat secara praktis adalah
menyediakan jumlah yang cukup dari seluruh zat gizi yang ada dari berbagai macam jenis makanan. Pada beberapa penelitian, wanita laktoovovegetarian yang banyak
mengkonsumsi sayur dan buah yang memberikan zat gizi yang esensial untuk kesehatan tulang; memiliki nilai ukuran spesifik tulang yang lebih baik dibandingkan dengan
mereka yang nonvegetarian. Hal ini diasumsikan karena sayur dan buah banyak mengandung senyawa-senyawa fitokimia yang baik untuk kesehatan. Contohnya adalah
isoflavon sejenis fitoestrogen yang ada pada kedelai dan produk olahan kedelai lainnya, dan konsumsi fitoestrogen ini memiliki efek positif pada jaringan tulang pada wanita
pascamenopause Anderson 1999. Pentingnya keterkaitan antara diet yang cukup dan massa tulang perlu menjadi
perhatian untuk memperbaiki cara pandang masyarakat bahwa hanya kalsium sajalah yang berperan penting untuk perkembangan dan pemeliharaan tulang. Pola makan
penting untuk memaksimalkan kesehatan tulang, dan konsep pangan holistik untuk mengoptimalkan kesehatan tulang mulai mengemuka Anderson 1999.
Kalsium
Kalsium adalah mineral dengan kadar terbanyak dalam tubuh manusia hampir 2 dari berat total tubuh. Sebagian besar kalsium bergabung dengan unsur
fosfat menjadi kalsium fosfat dan hampir 90 senyawa ini terdapat pada tulang. Tubuh manusia dewasa mengandung sekitar 1000 – 1500 g kalsium tergantung pada jenis
kelamin, umur, ras dan ukuran tubuh dan 99nya ditemukan pada tulang dalam bentuk kristal hidroksiapatit. Alasan inilah yang membuat kalsium menjadi zat gizi yang paling
banyak dipelajari dan diteliti dalam kaitannya dengan kesehatan tulang Illich 1999. Studi epidemiologis yang telah banyak dilakukan menunjukkan bahwa konsumsi
kalsium memiliki keterkaitan yang cukup konsisten dengan kesehatan tulang Illich 1999; Henneman 2000.
22
Fosfor
Sebagai salah satu elemen anorganik, fosfor merupakan mineral kedua yang paling padat terdapat pada tubuh manusia, dan 85 fosfor berikatan pada tulang. Fosfor
terdapat pada daging, telur, ikan, kacang-kacangan, sereal, dan makanan hasil olahan lainnya. Meskipun fosfor merupakan salah satu zat gizi yang esensial, tapi jumlah yang
berlebihan dapat memberikan efek yang berbahaya bagi tulang. Peningkatan konsumsi fosfor akan meningkatkan konsentrasi serum fosfor mengakibatkan menurunnya
konsentrasi serum kalsium terionisasi yang pada akhirnya menyebabkan meningkatnya sekresi hormon paratiroid. Hormon paratiroid merupakan hormon yang mencegah untuk
terjadinya hipokalsemia dalam darah dengan cara meningkatkan resorpsi kalsium pada tulang untuk mencegah hipokalsemia tersebut.
Vitamin D
Sistem endokrin vitamin D mempengaruhi metabolisme kalsium dan fosfor dengan cara mempengaruhi organ targetnya: usus, tulang dan ginjal. Metabolit aktif 1,
25 OH
2
vitamin D
3
kalsitriol memfasilitasi absorbsi kalsium secara aktif dari usus dengan cara menstimulasi sintesis protein Illich et al. 2000.
Vitamin D yang diperoleh dari diet dan paparan sinar matahari kemudian dihidroksilasi menjadi 25 hidroksivitamin D di hati selanjutnya menjadi 1,25 OH
2
D di ginjal. Metabolit aktif 1,25 OH
2
D inilah yang menstimulasi absorbsi kalsium dari usus dan juga penting untuk memelihara tulang normal Illich 2000.
Status vitamin D menurun seiring dengan pertambahan umur; paparan sinar matahari yang rendah, dan menurunnya kemampuan ginjal dan hati untuk
menghidroksilasi vitamin D. Hal ini diperkirakan semakin memperbesar risiko untuk terkena osteoporosis pada usia lanjut Sizer Whitney 2000.
Selain itu pertambahan umur juga menyebabkan meningkatnya serum hormon paratiroid dan menurunnya level plasma 25 hidroksivitamin D dan 1,25 OH
2
D, perubahan inilah yang diperkirakan menyebabkan terjadinya kehilangan massa tulang
pada usia lanjut Illich et al. 2000.
Protein
Kepadatan tulang tidak hanya ditentukan dari kecukupan kalsium dalam tulang, kecukupan intik protein yang merupakan bahan baku protein kolagen protein
23 pembentuk tulang juga penting untuk dikaji meskipun hubungan antara intik protein
dan kalsium masih merupakan hal yang kontroversial karena protein diketahui memiliki implikasi negatif pada keseimbangan kalsium tubuh Sellmeyer et al. 2001; Feskanich
et al. 1996. Pada spektrum lain kekurangan protein dicurigai memiliki faktor risiko untuk
pengeroposan tulang dan osteoporosis. Terdapat bukti meyakinkan yang mengindikasikan bahwa intik protein yang rendah berhubungan dengan kepadatan
mineral tulang yang rendah dan risiko patah tulang yang tinggi Rapuri et al. 2003. Sebaliknya konsumsi protein akan membantu meningkatkan kepadatan mineral tulang
dan menurunkan risiko fraktur tulang pada penderita wanita pascamenopause Promislow et al. 2002; Hannan et al. 2000; Dawson-Hughes et al. 2002. Selain itu
penelitian mengenai suplementasi protein setelah terjadinya fraktur tulang panggul pada usia lanjut menunjukkan pentingnya intik protein yang cukup untuk kesehatan biologis
tulang Rapuri et al. 2003.
Zat Besi
Harris et al. 2003 menemukan adanya hubungan yang kompleks antara
kalsium, zat besi dan tulang. Diperkirakan zat besi mungkin merupakan salah satu faktor penting dalam mineralisasi tulang lebih dari yang diketahui selama ini. Hal ini
disebabkan karena zat besi sangat esensial untuk sintesis kolagen yang merupakan tempat terjadinya mineralisasi tulang.
Zat besi juga terlibat dalam konversi 25-hidroksi vitamin D dan 1, 25 dihidroksi vitamin D yang merupakan bentuk aktif dari vitamin D. Sebagaimana telah diketahui
bahwa vitamin D dibutuhkan untuk pengaturan kalsium dan fosfor secara tepat. Dengan demikian maka secara tidak langsung maka zat besi turut memainkan peran penting
dalam proses mineralisasi tulang. Medeiras
et al. 1997 dalam Harris et al. 2003 mengemukakan bahwa menurunnya kaitan lintang kolagen collagen cross linking berkaitan dengan
menurunnya intik zat besi memiliki kontribusi terhadap menurunnya kekuatan tulang. Sedangkan penelitian lain menyebutkan bahwa defisiensi zat besi dapat mengakibatkan
massa tulang menjadi rendah dan defisiensi zat besi juga dapat mengubah massa tulang dan struktur tulang pada tikus betina yang sedang tumbuh Kip et al. 1998; 2002
24
Seng
Mineral seng merupakan mineral mikro esensial komponen penyusun 200 jenis enzim. Mineral ini penting untuk sintesis kolagen normal dan mineralisasi tulang
Hyun et al. 2004. Pada hewan defisiensi seng berkaitan dengan pertumbuhan, pembentukan dan mineralisasi tulang yang tidak normal Hyun et al. 2004. Terdapat
korelasi positif yang signifikan antara kandungan seng tulang dengan kekuatan tulang hal inilah yang menegaskan bahwa terdapat kemungkinan bahwa seng memiliki peran
dalam menyehatkan tulang Hyun et al. 2004. Intik seng yang rendah dilaporkan berkaitan dengan massa tulang yang rendah
pada wanita. dan lebih jauh diketahui terjadi pengurangan konsentrasi plasma seng dan meningkatnya ekskresi seng urin pada wanita penderita osteoporosis Hyun et al. 2004.
Sedangkan penelitian yang dilakukan pada pria penderita osteoporosis menunjukkan bahwa intik seng pangan dan konsentrasi plasma seng memiliki asosiasi yang positif
dengan kepadatan mineral tulang Hyun et al. 2004.
Vitamin A
Vitamin A merupakan vitamin larut lemak yang diperlukan untuk penglihatan, pertumbuhan, daya tahan tubuh terhadap infeksi, dan remodelling tulang Nieves 2005.
Studi eksperimen pada hewan menunjukkan pentingnya vitamin A pada proses remodelling tulang. Defisiensi vitamin A akan menyebabkan pertumbuhan tulang
terganggu akan tetapi kelebihan vitamin A dapat mempercepat resorpsi tulang,
kerapuhan tulang dan terjadinya fraktur tulang Wimalawansa 2004.
Terdapat dua jenis vitamin A pada suplemen dan makanan, yakni retinol dan beta karoten serta jenis karoten lainnya. Studi populasi yang dilakukan di Amerika
serikat dan Swedia menunjukkan bahwa intik vitamin A yang berlebihan yang berasal dari retinol nampaknya berhubungan dengan risiko fraktur tulang panggul. Secara
seluler asam retinoat yang berasal dari proses metabolisme retinol dapat menghambat aktivitas osteoblas, menstimulasi pembentukan osteoklas dan mempercepat terjadinya
resorpsi tulang sehingga memperbesar risiko fraktur tulang panggul Nieves 2005. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Melhus et al. 1998 menyebutkan bahwa
konsumsi vitamin A yang berlebihan memiliki keterkaitan dengan tingginya kejadian fraktur tulang panggul akibat osteoporosis di Swedia dan Norwegia. Hasil ini juga
diperkuat dengan laporan McDonald et al. 2004 yang menyebutkan bahwa konsumsi
25 vitamin A berkorelasi negatif dengan kepadatan mineral tulang pada wanita
pascamenopause. Meskipun demikian, masih belum terdapat bukti bahwa ada keterkaitan antara intik beta karoten dan intik vitamin A yang berasal dari buah-buahan
dan sayuran karotenoid Nieves 2005.
Vitamin C
Vitamin C merupakan salah satu zat gizi yang penting dalam pembentukan kolagen, jika terjadi defisiensi maka akan berkaitan dengan perkembangan tulang yang
tidak normal. Hasil penelitian pada mereka yang turut serta dalam Third National Health and Nutrition Examination Survey
NHANES III di Amerika Serikat selama tahun 1988–1994 menunjukkan bahwa intik vitamin C berkaitan secara independen
dengan kepadatan mineral tulang pada wanita premenopause Simon Hudes 2001. Pada wanita pascamenopause, keterkaitan antara vitamin C dengan kepadatan
mineral tulang belum menunjukkan hasil yang konsisten. Hal ini disebabkan oleh adanya hubungan yang kompleks antara vitamin C dengan berbagai faktor diantaranya
seperti intik kalsium total, penggunaan terapi estrogen, dan kebiasaan merokok Tucker 2003.
Fitoestrogen
Fitoestrogen merupakan senyawa fitokimia yang berasal dari hormon tumbuhan yang memiliki struktur kimia menyerupai hormon estrogen pada tubuh manusia
Wirakusumah 2003. Peran fitoestrogen khususnya isoflavon dari berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa isoflavon memiliki bone-sparing effects secara invitro
maupun invivo Setchell Lydeking-Olsen 2003. Fitoestrogen juga berfungsi meningkatkan aktivitas estrogen dalam tubuh. Pada
masa perimenopause atau masa menopause saat kadar estrogen sangat rendah, asupan fitoestrogen mampu berfungsi sebagai estrogen yang melindungi tubuh dari sindrom
menopause dan osteoporosis Wirakusumah 2003. Para penderita osteoporosis di negara maju biasanya menggunakan terapi
hormon sebagai salah satu upaya untuk memperlambat laju pengeroposan tulang. terapi hormon estrogen disebut sebagai salah satu upaya memperlambat laju pengeroposan
tulang yang paling efektif Setchell Lydeking-Olsen 2003. Akan tetapi saat ini mengemuka masalah baru yang berkaitan dengan terapi hormon estrogen ini, yaitu
26 ketakutan akan meningkatnya risiko kanker payudara dan endometrium pada
penggunanya yang disebabkan oleh efek samping yang tidak diinginkan dari
penggunaan steroid kuat tersebut Setchell Lydeking-Olsen 2003.
Untuk menanggulangi masalah ini maka fitoestrogen yang banyak terdapat pada tanaman nampaknya menjadi salah satu alternatif yang sangat potensial untuk
membantu memelihara tulang Setchell Lydeking-Olsen 2003. Banyak penelitian yang memberikan bukti efek positif dari penggunaan fitoestrogen pada tulang.
Faktor Nonpangan Keturunan dan Ras
Penelitian yang dilakukan pada ibu dan anak mengkonfirmasikan bahwa keturunan memiliki peran penting dalam kepadatan tulang. Keturunan lebih banyak
mempengaruhi maksimum massa tulang yang mungkin dicapai selama masa pertumbuhan dan laju kehilangan massa tulang setelah mengalami menopause Sizer
Whitney 2000.
Risiko osteoporosis juga terkait dengan garis ras. Orang Afrika memiliki massa tulang yang lebih padat dibandingkan dengan orang Eropa. Etnis lain yang memiliki
kepadatan tulang yang lebih rendah selain orang yang berasal dari Eropa Utara adalah ras asia yang berasal dari China dan Jepang, Meksiko Amerika, Hispanik yang berasal
dari Amerika Tengah dan Selatan Sizer Whitney 2000. Tetapi ada pengecualian yang berkaitan dengan ras ini, ras kulit kuning yang
tinggal di China dan Singapura memang memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terkena osteoporosis, meskipun demikian laju fraktur tulang panggul diantara mereka sangat
rendah. Hal ini mungkin terkait dengan pola konsumsi mereka Sizer Whitney 2000.
Umur
Akibat proses penuaan terjadi penurunan kemampuan fungsional sel-sel tulang. Hal ini mengakibatkan pembentukan tulang berkurang secara relatif dibandingkan
dengan resorpsi atau perusakan tulang. Keadaan tersebut dibuktikan dengan adanya rongga bekas resorpsi yang tidak sepenuhnya diisi oleh osteoblas setelah siklus
remodelling lengkap Sizer Whitney 2000.
27 Berkurangnya kemampuan osteoblas membentuk sel tulang baru dapat
disebabkan oleh kerusakan selular atau berkurangnya faktor-faktor pertumbuhan lokal yang diperlukan untuk memacu pertumbuhan sel tulang baru. Berkurangnya penyerapan
kalsium pada usia lanjut dapat disebabkan oleh banyak faktor diantaranya perubahan pada sel epitel usus disertai dengan berkurangnya sintesis dan respon terhadap vitamin
D Sizer Whitney 2000.
Riwayat Reproduksi
Wanita memiliki risiko untuk terkena osteoporosis lebih tinggi daripada pria Sizer Whitney 2000. Berhentinya sekresi estrogen pada masa menopause
memegang peranan penting terhadap patogenesis kehilangan massa tulang pada wanita pascamenopause Mulyono 1999. Beberapa studi menunjukkan hubungan laju patah
tulang yang meningkat setelah sekresi estrogen berhenti pada wanita menopause. Selama masa menopause pengaruh hilangnya estrogen tidak sama pada tiap-tiap bagian
tulang. Bagian tulang yang mengalami kehilangan massa tulang lebih dini adalah bagian tulang trabekular Sizer Whitney 2000.
Menopause yang dialami wanita dapat mengakibatkan kehilangan massa tulang mencapai 2,5 – 5 setahun selama 4 –5 tahun setelah menopause. Secara keseluruhan
wanita akan kehilangan massa tulang 45 – 50 selama hidupnya sedangkan laki-laki hanya kehilangan 20-30 . Berkurangnya massa tulang ini lebih cepat terjadi pada
tulang trabekuler dibandingkan dengan tulang kortikal. Hal ini terjadi karena luas permukaan tulang trabekular lebih besar dari pada tulang kortikal sehingga metabolisme
di bagian tersebut lebih aktif Sizer Whitney 2000. Selain menopause, terdapat beberapa faktor reproduksi lain yang membuat
wanita lebih rentan mengalami osteoporosis dibandingkan dengan laki-laki, faktor ini masih perlu untuk diinvestigasi untuk membuktikan reliabilitasnya. Faktor tersebut
adalah umur saat pertama kali mengalami menstruasi, umur saat pertamakali mengalami kehamilan, jumlah kehamilan, lama pemberian ASI Ozdemir et al. 2005.
Beberapa penelitian melaporkan adanya korelasi positif antara usia saat menopause dan kepadatan mineral tulang dan korelasi negatif antara umur saat pertama
kali mengalami menstruasi dengan kepadatan mineral tulang. Kritz-silverstein Barrett-Connor 1993; Forsmo et al. 2001. Umur saat pertama kali menstruasi diduga
28 memiliki efek menstimulasi perkembangan tulang dengan cara meningkatkan aktivitas
osteoblas seiring dengan mulai aktifnya hormon estrogen. Penemuan tentang adanya keterkaitan antara paritas dan kepadatan tulang masih
dianggap kontroversial Gur et al. 2003. Bukti yang ada menunjukkan bahwa kehamilan pada umur yang lebih muda dapat menyebabkan kepadatan mineral tulang
lebih rendah dan meningkatkan risiko terjadinya kehilangan massa tulang Sowers 2001.
Paritas diduga memiliki efek negatif terhadap kepadatan mineral tulang, akan tetapi pada beberapa penelitian paritas tidak berkaitan dengan penurunan kepadatan
mineral tulang. Penelitian yang dilakukan oleh Hoffman et al. 1993 melaporkan bahwa wanita yang memiliki anak
≥ 3 berisiko untuk mengalami fraktur 35 – 40 lebih rendah dibandingkan dengan wanita yang tidak pernah punya anak nulliparous. Gur et
al. 2002 menunjukkan hasil penelitian yang berlawanan dengan mengindikasikan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara jumlah kehamilan dengan kepadatan
mineral tulang lumbal tapi tidak dengan kepadatan mineral tulang femur. Pemberian ASI dapat menyebabkan adanya stress pada metabolisme kalisum
dan berakibat pada metabolisme tulang. Durasi dan frekuensi menyusui merupakan faktor signifikan yang mempengaruhi kepadatan mineral tulang dan metabolisme
tulang. Menyusui dalam jangka panjang diasosiasikan dengan meningkatnya kehilangan massa tulang Melton et al. 1993; DeSantiago et al. 1999; Glerean Plantalech 2000;
Popivanov Boianov 2002; Grimes Wimalawansa 2003. Meskipun demikian hal tersebut tidak permanen, dan beberapa penelitian melaporkan hasil yang bervariasi dari
adanya penurunan kepadatan massa tulang dan tidak ada penurunan massa tulang. Ozdemir et al. 2005 menyimpulkan pada hasil penelitiannya bahwa jumlah
kehamilan, total waktu pemberian ASI, dan usia saat kehamilan pertama berpengaruh pada nilai kepadatan mineral tulang, sementara umur saat pertama kali menstruasi tidak
memiliki korelasi yang signifikan dengan kepadatan mineral tulang.
Aktivitas Fisik dan Berat Badan
Terdapat bukti yang sangat meyakinkan dari hasil penelitian secara prospektif dan retrospektif yang menunjukkan bahwa aktivitas fisik berkaitan dengan risiko fraktur
tulang panggul, dan mereka yang memiliki gaya hidup sedentary berisiko terkena fraktur tulang panggul sebesar 20-40 lebih besar dibandingkan dengan mereka yang
29 aktif Gregg, Pereira Caspersen 2000. Sementara itu kajian sistematis dari
Randomized Trials menunjukkan bahwa olah raga secara teratur memiliki efek yang positif pada tulang punggung dan tulang leher femoral Wallace Cumming 2000.
Osteoporosis lebih sering dikaitkan dengan mereka yang memiliki berat badan rendah kurus, khususnya kehilangan berat badan seberat 10 atau lebih setelah
menopause, dan mereka yang memiliki berat badan lebih berat berisiko lebih rendah untuk terkena osteoporosis Sizer Whitney 2000.
Individu dengan berat badan lebih tinggi cenderung untuk mempunyai kepadatan tulang lebih tinggi dibandingkan individu yang berat badannya lebih rendah.
Hal ini diduga disebabkan karena berat badan memiliki efek terhadap massa tulang lebih besar, terutama pada tulang femur. Kelebihan berat badan membuat stress
terhadap tulang menjadi lebih besar dan meningkatkan tekanan untuk pembentukan tulang baru untuk mengatasi hal tersebut. Alasan lain adalah karena cadangan lemak
pada individu yang gemuk lebih banyak dibandingkan dengan individu yang kurus. Cadangan lemak ini penting sebagai bahan baku bagi hormon androgen untuk diubah
menjadi hormon estrogen. Oleh karena itu individu terutama wanita yang gemuk jarang mengalami osteoporosis Lane 2001.
Kebiasaan Merokok
Penelitian membuktikan bahwa mereka yang perokok cenderung mengalami fraktur tulang ringan dibandingkan dengan yang bukan perokok. Sebuah penelitian pada
saudara kembar melaporkan bahwa wanita yang merokok satu bungkus rokokharinya selama masa dewasanya akan mengalami kehilangan massa tulang ekstra sebanyak 5 –
10 dari tulang mereka ketika menopause tiba Hopper Seeman 1994 dalam Sizer Whitney 2000. Meskipun mekanisme aksinya masih belum dapat dijelaskan, tapi
rendahnya berat badan perokok dan menopause dini pada perokok wanita diperkirakan menjadi faktor penyebabnya Slemenda 1994 dalam Sizer Whitney 2000.
Risiko terkena fraktur tulang panggul pada perokok meningkat seiring dengan jumlah batang rokok yang mereka hisap, hal ini terjadi pada pria dan wanita, hasil
pengukuran kepadatan mineral tulang juga menunjukkan bahwa perokok memiliki
kepadatan mineral tulang yang lebih rendah dibandingkan dengan yang bukan perokok.
Hollenbach et al. 1993. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa merokok dapat meningkatkan laju pengeroposan tulang salah satunya dengan cara menurunkan
30 absorpsi kalsium pada usus. Menurunnya absorpsi kalsium berkaitan dengan
hiperparatiroidisme sekunder dan meningkatnya resorpsi tulang Krall Dawson- Hughes 1999; Rapuri et al. 2000.
Konsumsi Kafein
Kafein termasuk faktor risiko yang dipertimbangkan sebagai salah satu penyebab yang dapat mempercepat terjadinya osteoporosis, meskipun demikian
buktinya masih diperdebatkan Rapuri et al. 2001. Beberapa penelitian mengindikasikan bahwa kafein dapat mempercepat ekskresi kalsium, sementara
penelitian yang lain tidak menemukan efek yang signifikan. Efek kafein pada keseimbangan kalsium mungkin akan merugikan hanya jika konsumsi kalsiumnya
rendah Whitney, Cataldo Rolves 1998. Rapuri et al. 2001 dan Harris Dawson- Hughes 1994 menyebutkan bahwa intik kafein lebih dari 300 mghari dapat
mempercepat kehilangan massa tulang di tulang belakang pada wanita pasca menopause.
Selama ini intik kafein yang dilaporkan dapat mempercepat laju kehilangan massa tulang, dan intik kafein biasanya dikaitkan dengan konsumsi kopi. Selain kopi teh
juga mengandung kafein, akan tetapi keterkaitan antara kebiasaan minum teh dengan kepadatan mineral tulang masih belum banyak dikaji. Hegarty et al. 2000 meneliti
tentang kebiasaan minum teh dengan kepadatan mineral tulang pada usia lanjut wanita. Hasil penelitian Hegarty et al. 2000 menunjukkan bahwa mereka yang memiliki
kebiasaan minum teh memiliki ukuran kepadatan mineral tulang yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang tidak minum teh. Hal ini diasumsikan karena teh
tidak hanya mengandung kafein tapi juga senyawa flavonoid yang diduga memiliki efek positif pada tulang
31
KERANGKA PEMIKIRAN
Osteoporosis merupakan salah satu penyakit degeneratif yang diakibatkan oleh penuaan. Osteoporosis lebih banyak dialami oleh wanita dibandingkan laki-laki.
Berbagai literatur menunjukkan bahwa osteoporosis pada wanita berhubungan erat dengan menopause. Osteoporosis pascamenopause terjadi karena penurunan kepadatan
tulang yang sudah dimulai sejak usia 40 tahun seiring dengan penurunan kadar estrogen sehingga kepadatan tulang turun lebih cepat Ariani 1998.
Berhentinya sekresi estrogen pada masa menopause memegang peranan penting terhadap patogenesis kehilangan massa tulang pada wanita pascamenopause Mulyono
1999. Menopause yang dialami wanita dapat mengakibatkan kehilangan massa tulang mencapai 2.5 – 5 setahun selama 4 – 5 tahun setelah menopause. Secara keseluruhan
wanita akan kehilangan massa tulang 45 – 50 selama hidupnya sedangkan laki-laki hanya kehilangan 20-30 . Berkurangnya massa tulang ini lebih cepat terjadi pada
tulang trabekuler Sizer Whitney 2000. Selain menopause, terdapat beberapa faktor reproduksi lain yang membuat wanita
lebih rentan mengalami osteoporosis dibandingkan dengan laki-laki, faktor ini masih perlu untuk diinvestigasi lebih banyak untuk membuktikan bahwa faktor tersebut juga
merupakan salah satu faktor risiko osteoporosis. Faktor tersebut adalah umur saat pertamakali menstruasi, umur saat pertamakali mengalami kehamilan, jumlah
kehamilan, jumlah keguguran, umur saat menopause, status menopause, rata – rata lama pemberian ASI dan lama masa subur Ozdemir et al. 2005.
Faktor lain yang dapat mempercepat penurunan kepadatan mineral tulang pada wanita pascamenopause adalah pola makan yang kurang baik, aktivitas fisik yang
rendah, kebiasaan mengkonsumsi alkohol dan merokok. Faktor konsumsi pangan dan intik zat gizi yang meliputi kalsium, fosfor dan vitamin D telah banyak dikaji, sehingga
sampai saat ini rekomendasi utama untuk membantu dalam mencegah dan memperlambat osteoporosis pada wanita pascamenopause adalah kombinasi tiga zat
gizi mikro tersebut dengan perbandingan tertentu. Sedangkan tulang merupakan satu jaringan hidup yang kompleks dan kemungkinan besar kontribusi berbagai zat gizi
mikro maupun makro turut berperan dalam pemeliharaan tulang dan mampu memperlambat kejadian osteoporosis pada wanita pascamenopause Tucker et al. 2002.
32
Gambar 1. Kerangka pemikiran faktor – faktor yang berhubungan dengan kepadatan mineral tulang pada wanita pascamenopause
Kepadatan Mineral Tulang Wanita
Pascamenopause Osteoporosis
Gaya Hidup
Kebiasaan merokok, olah raga, konsumsi
kopi, teh dan susu
Intik Zat Gizi
Energi, Protein, Lemak, Kalsium,
Fosfor, Zat besi, Seng, Vitamin A dan
Vitamin C
Riwayat Reproduksi
- Umur saat pertamakali menstruasi
- Umur saat kehamilan pertama
- Umur saat menopause - Status menopause
- Jumlah kehamilan - Jumlah melahirkan
- Jumlah keguguran - Rata-rata lama menyusui
- Lama masa subur
Status Gizi
Konsumsi Pangan Umur
Antropometri
- Berat badan - Tinggi badan
- Indeks Massa
Tubuh
33
METODE PENELITIAN
Desain, Tempat dan Waktu Penelitian
Desain penelitian yang digunakan adalah cross-sectional. Penelitian ini dilakukan di wilayah Bogor dan Jakarta. Pengambilan data dilakukan pada bulan
April – November 2005.
Kriteria dan Cara Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel sejumlah 60 orang dengan beragam status osteoporosis. Kriteria sampel yang dipilih adalah: dipilih pasien rawat jalan di
Klinik Yasmin RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta yang telah memeriksakan kepadatan tulangnya dengan menggunakan DEXA, telah berhenti mengalami haid
terhitung 3 tahun setelah terakhir kali mengalami haid, tidak mengalami gangguan pendengaran, tidak pikun dan bersedia diwawancarai.
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan adalah karakteristik contoh meliputi nama, etnis, usia, tingkat pendidikan, pendapatan, riwayat pekerjaan, nilai kepadatan mineral
tulang dari medical record hasil pemeriksaan tulang, dan data konsumsi pangan yang dikumpulkan dengan metode FFQ Food Frequency Questionnaire
semikuantitatif. Pengukuran status gizi dilakukan dengan cara mengukur Indeks Massa
Tubuh IMT. Pengukuran berat badan dilakukan dengan menggunakan timbangan injak bathroom scale kapasitas 100 kg, sementara data tinggi badan diukur
dengan menggunakan Microtoise merk Sakura Medical ketelitian 0.1 cm dan kapasitas 200 cm. Gaya hidup yang diukur meliputi kebiasaan merokok, kebiasaan
minum teh, kebiasaan minum kopi, kebiasaan minum susu dan kebiasaan olah raga masa lalu dan saat ini.
Data riwayat reproduksi yang meliputi umur saat pertama kali mengalami menstruasi, umur saat pertama kali melahirkan, jumlah kehamilan, jumlah
keguguran, jumlah anak, rata-rata lama menyusui, lama masa subur, umur saat menopause dan status menopause.
34 Tabel 2 Jenis dan cara pengumpulan data
No. Jenis Data
Cara Pengumpulan Data
1. Karakteristik responden:
• Umur • Pendidikan
• Pendapatan • Pekerjaan
• Etnis Data diperoleh dari wawancara
langsung menggunakan kuesioner
2. Antropometri • Tinggi badan responden
• Berat badan responden Diukur dengan menggunakan
microtoise Diukur dengan menggunakan
timbangan injak
3. Konsumsi pangan
• Metode FFQ semi kuantitatif • Konsumsi susu dan produk
olahan susu Dilakukan dengan wawancara
langsung menggunakan kuesioner
4. Gaya hidup
• Kebiasaan olahraga • Kebiasaan merokok
• Riwayat konsumsi teh • Riwayat konsumsi kopi
• Riwayat konsumsi susu Dilakukan dengan wawancara
langsung menggunakan kuesioner
5. Riwayat reproduksi
• Umur saat pertama kali menstruasi tahun
• Umur saat menopause tahun • Umur saat pertama kali
melahirkan tahun • Jumlah kehamilan
• Jumlah keguguran • Jumlah anak
• Status menopause tahun • Lama masa subur tahun
• Rata-rata lama menyusui bulan Dilakukan dengan wawancara
langsung menggunakan kuesioner
6. Nilai kepadatan mineral tulang pada
tulanng lumbal, femur, radius ultradistal
Medical record hasil pemeriksaan kepadatan
mineral tulang responden
Data kepadatan mineral tulang adalah medical record hasil pemeriksaan tulang wanita pascamenopause di Klinik Yasmin RSUPNCM Jakarta. Data
kepadatan mineral tulang yang diambil adalah pada bagian tulang lumbal, tulang femur dan tulang radius ultradistal pada tangan. Diambilnya ketiga bagian tersebut
karena ketiga lokasi tersebut rentan mengalami osteoporosis.
35 Tabel 3 Kategori osteoporosis berdasarkan nilai kepadatan tulang
Nilai Kepadatan Mineral Tulang gcm
2
Kategori osteoporosis Lumbal
Femur Radius ultradistal
Normal T-score ≥ -1
≥ 0.990 ≥ 0.780
≥ 0.320 Osteopenia
T-score -1 - -2.5 0.810 – 0.989 0.601 – 0.779
0.270 – 0.319 Osteoporosis
T-score ≤ -2.5
≤ 0.810 ≤ 0.600
≤ 0.270
Data kepadatan mineral tulang yang diambil adalah pada bagian tulang lumbal, tulang femur, dan tulang radius ultradistal pada tangan. Status
pengeroposan tulang di ambil menurut kategori WHO 1994 yakni Normal: dengan T-score
≥ -1, Massa tulang rendah osteopenia dengan T-score antara -1 dan -2.5, Osteoporosis dengan T-score
≤ -2.5. Tabel 2 menunjukkan nilai cut off kepadatan mineral tulang berdasarkan nilai T-score.
Pengolahan dan Analisis Data
Data-data yang diperoleh dari kuesioner diolah dan dianalisis secara statistik. Proses pengolahan data meliputi pengeditan, pengkodean, dan entri data. Variabel
yang diteliti meliputi : status gizi, konsumsi pangan, gaya hidup, nilai kepadatan tulang dan riwayat reproduksi.
a. Status gizi wanita pascamenopause ditentukan berdasarkan Indeks Massa Tubuh IMT yaitu rasio dari berat badan kg dengan kuadrat dari tinggi
badan m
[ ]
2
m badan
tinggi kg
badan berat
IMT =
Kategori status gizi wanita pascamenopause ditentukan berdasarkan IMT dengan menggunakan standar Indeks Massa Tubuh yang ditetapkan oleh
Departemen Kesehatan 2003 yang terbagi menjadi empat kategori yakni Kurus :
≤ 18.5; Normal : 18.5 – 25.0; Gemuk : 25.0 – 27.0 dan Obesitas : 27.0.
b. Data konsumsi pangan dikonversikan kedalam satuan energi Kal, protein g, lemak g, kalsium mg, fosfor mg, zat besi mg, seng
mg, vitamin A RE, vitamin C mg dan thiamin mg dihitung dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan Hardinsyah
36 Briawan, 1995, Oey Kam Nio 1995. Tingkat konsumsi zat gizi diperoleh
dengan membandingkan data konsumsi dengan angka kecukupan gizi berdasarkan WNPG 2004. Tingkat konsumsi energi dan protein
digolongkan baik jika konsumsi ≥ 70 kecukupan, dan kurang jika
kurang dari 70 kecukupan Depkes RI, 2003. Konversi konsumsi pangan dihitung dengan rumus sebagai berikut Hardinsyah dan
Martianto 1992 : Kgij = BPj100 x Kgij x BDD100
dimana : Kgij = kandungan zat gizi tertentu i dari pangan j atau makanan yang
dikonsumsi sesuai dengan satuannya berdasarkan DKBM BPj = berat pangan atau makanan yang dikonsumsi gram
BDD = bagian yang dapat dimakan dalam persen atau gram dari 100 gram pangan atau makanan
Gij = zat gizi i yang dikonsumsi dari pangan atau makanan j c. Analisis data secara statistik dengan menggunakan Software SPSS versi
11.5. Analisis statistik yang dilakukan adalah analisis deskriptif untuk seluruh variabel umur, jumlah pendapatan, jumlah pengeluaran, IMT,
berat badan, tinggi badan, variabel riwayat reproduksi, jumlah intik zat gizi. Uji beda menggunakan uji t dilakukan untuk melihat perbedaan
antara kebiasaan olah raga, dan konsumsi susu, teh serta kopi, dahulu dengan sekarang. Uji korelasi Pearson dilakukan untuk melihat hubungan
antara variabel umur, antropometri, IMT, riwayat reproduksi, intik zat gizi, skor konsumsi susu, teh dan kopi serta skor kebiasaan olah raga
dengan kepadatan tulang. Uji regresi berganda model Stepwise dilakukan untuk seluruh variabel independen dengan kepadatan tulang di ketiga
lokasi pemeriksaan tulang. Model ini digunakan agar didapatkan faktor yang berpengaruh secara fungsional pada nilai kepadatan mineral tulang
wanita pascamenopause Murti 1996; Sugiyono 2004.
37
Batasan Istilah
Status Gizi adalah keadaan tubuh akibat konsumsi makanan dan penggunaan
zat – zat gizi yang dinilai berdasarkan Indeks Massa Tubuh dengan kategori
kurus, normal, gemuk, dan obesitas. Riwayat reproduksi adalah hal-hal yang berkaitan dengan masa reproduksi
seorang wanita dinilai dengan sejumlah parameter yang meliputi usia saat pertama kali mengalami menstruasi, usia saat melahirkan pertama kali,
jumlah melahirkan, jumlah anak, jumlah keguguran, lama masa subur, usia saat menopause dan status menopause.
Menarche adalah usia saat pertama kali mengalami menstruasi yang dinyatakan
dalam tahun
Menopause adalah umur saat seorang wanita berhenti mengalami menstruasi yang
dinyatakan dalam tahun.
Status menopause adalah jumlah tahun setelah terakhir kali mendapatkan haid
yang dinilai dengan cara pengurangan umur saat ini dengan umur saat mengalami menopause.
Lama masa subur adalah masa aktif wanita secara reproduksi yang dinilai dari
pengurangan nilai umur saat menopause dengan umur saat pertama kali menstruasi.
Kepadatan mineral tulang adalah kandungan massa mineral tulang per unit
volume tulang yang diukur dengan menggunakan DEXA pada tulang lumbal, tulang femur dan tulang radius ultradistal yang dinyatakan dalam gcm
2
.
Tulang lumbal adalah tulang punggung, yang diambil adalah nilai kepadatan
mineral tulang L
1
-L
4
.
Tulang femur adalah tulang paha sebelah kiri dan bagian yang diambil dalam pengukuran ini adalah nilai kepadatan mineral tulang bagian leher femur.
Tulang radius ultradistal adalah tulang tangan kiri bagian radius sebelah atas. DEXA kependekan dari Dual Energy X – ray Absoptiometry yang merupakan alat
untuk menilai tingkat kepadatan mineral tulang.
Konsumsi pangan adalah jumlah dan jenis makanan yang dimakan yang dinilai
dengan menggunakan FFQ semi kuantitatif
38
Gaya hidup adalah kebiasaan wanita pascamenopause yang berhubungan dengan
kesehatannya seperti olah raga, konsumsi teh, susu dan kopi.
Olah raga adalah aktivitas fisik yang dilakukan secara rutin berupa kegiatan
berjalan kaki selama 30 menit, melakukan senam dan gerakan teratur lainnya 3 kali seminggu atau lebih dari 3 kali seminggu.
Pendapatan adalah jumlah uang yang diperoleh dalam satu bulan yang dinyatakan
dalam rupiah.
Pengeluaran pangan adalah besarnya jumlah uang yang dikeluarkan untuk
membeli pangan selama satu bulan yang dinyatakan dalam rupiah.
Pendidikan adalah jenjang pendidikan formal yang pernah ditempuh yang
dinyatakan dalam tahun.
39
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Contoh
Karakteristik contoh meliputi variabel usia, status perkawinan dan suku. Berdasarkan hasil penelitian sebaran usia contoh menunjukkan bahwa sebagian
besar contoh berada dalam kisaran usia 60 – 74 tahun 56.7 dengan rata-rata usia 64.4 tahun. Sebanyak 30 berusia
≤ 59 tahun dan 15 berusia ≥ 75 tahun. Bertambahnya usia seseorang mengakibatkan terjadinya penurunan nilai
kesehatan, sehingga penuaan biasanya dikaitkan dengan berbagai risiko penyakit degeneratif, terutama jika memiliki pola makan, gaya hidup dan tinggal di
lingkungan yang buruk. Berdasarkan status perkawinannya sebagian besar contoh masih memiliki
pasangan hidup 56.7 , 40 nya berstatus janda, dan 3.3 contoh tidak menikah. Ada beragam suku yang menjadi contoh dalam penelitian ini, suku Jawa
merupakan suku yang terbanyak 28.3, kemudian Sunda 26.7, Padang
20, Tionghoa 16.37, Melayu 6.67, dan suku lainnya sebanyak 3.3.