Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepadatan Tulang Pada Lansia Awal Di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan Tahun 2016

(1)

TANGERANG SELATAN TAHUN 2016 Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep)

OLEH : RIA ANDRIANI NIM : 1112104000031

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1437H/2016M


(2)

ii


(3)

iii PROGRAM STUDY OF NURSING SCIENCE

FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES

SYARIF HIDAYATULLAH STATE ISLAMIC UNIVERSITY JAKARTA Undergraduate Thesis, June 2016

Ria Andriani, NIM : 1112104000031

FACTORS RELATED TO THE BONE DENSITY IN ELDERLY IN PUSKESMA PISANGAN SOUTH TANGERANG 2016

Xviii + 84 pages, 12 tables, 2 schemes, 4 attachments ABSTRACT

Background: abnormal bone density or osteoporosis and osteopenia is a disease characterized by bone mass reduction. WHO estimates that by 2050 there will be 6.3 million fractures related to osteoporosis. Prevalence of Osteoporosis in Indonesia reached 19.7%. The purpose of this study was to determine the factors associated

with bone density in Puskesmas Pisangan South Tangerang Year 2016. The study

design with a quantitative approach with cross sectional. The research instrument is Quantitative Ultrasound to determine bone density and questionnaires to find out the sex, menopausal status, calcium intake, physical activity, smoking, and alcohol drinking habits. Data analysis technique used was Chi-Square. Total respondents surveyed in this study were 110 respondents, that is 101 respondents with abnormal

bone density and 9 respondents with normal bone density. The result showed that the

variables proved to be a factor associated with bone density menopausal status only. Gender, calcium intake, physical activity, smoking and alcohol drinking habits did not prove to be a factor associated with bone density. Suggestions for further research studies that use different types of studies such as cohort or experiment.


(4)

iv PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Skripsi, Juni 2016

Ria Andriani, NIM: 1112104000031

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepadatan Tulang Pada Lansia Awal Di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan Tahun 2016

Xviii + 84 halaman, 12 tabel, 2 bagan, 4 lampiran ABSTRAK

Latar belakang: Kepadatan tulang tidak normal atau osteoporosis dan osteopenia adalah penyakit yang ditandai dengan pengurangan massa tulang. WHO memperkirakan pada tahun 2050 akan ada patah tulang 6,3 juta terkait dengan

osteoporosis. Prevalensi Osteoporosis di Indonesia mencapai 19,7%. Tujuan

penelitian ini adalah mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kepadatan

tulang di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan Tahun 2016. Desain penelitian

dengan pendekatan kuantitatif dengan cros sectional. Instrumen penelitian berupa

Quantitative Ultrasound untuk mengetahui kepadatan tulang dan kuesioner untuk mengetahui jenis kelamin, status menopause, asupan kalsium, aktivitas fisik, perilaku merokok, dan kebiasaan minum alkohol. Teknik analisa data yang digunakan adalah Chi-Square. Total responden yang diteliti dalam penelitian ini adalah 110 responden, yaitu 101 responden dengan kepadatan tulang tidak normal dan 9 responden dengan

kepadatan tulang normal. Hasil penelitian didapatkan variabel yang terbukti menjadi

faktor yang berhubungan dengan kepadatan tulang hanya status menopause. Jenis kelamin, asupan kalsium, aktivitas fisik, perilaku merokok dan kebiasaan konsumsi alkohol tidak terbukti menjadi faktor yang berhubungan dengan kepadatan tulang. Saran penelitian untuk peneliti selanjutnya yaitu menggunakan jenis penelitian yang berbeda seperti kohort atau experiment.


(5)

v


(6)

(7)

(8)

viii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Ria Andriani

Tempat, Tanggal Lahir : Sukadarma, 04 Maret 1993

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Desa Sukadarma, RT 01, RW 01, Kecamatan Jejawi, Kabupaten OKI, Palembang Sumatera Selatan.

Hp : 081219415273

Email : riaandriani94@gmail.com

Fakultas/Jurusan : Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan/ Program Studi Ilmu Keperawatan.

Latar Belakang Pendidikan

1. 2000 – 2006 : SD Negeri 1 Jejawi Kabupaten OKI

2. 2006 – 2009 : SMP Negeri 2 Jejawi Kabupaten OKI

3. 2009 – 2012 : MAN 3 Palembang


(9)

ix

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT, pencipta alam semesta, penguasa isi jagat raya, pemberi kebahagiaan serta tidak pernah berhenti memberikan limpahan taufiq, nikmat, hidayah dan karuniaNya. Shalawat dan salam selalu terlimpahkan kepada Nabi Besar Muhammad SWA, keluarga, sahabat serta pengikut ajaran beliau hingga akhir jaman. Atas nikmat dan rahmat Allah SWT,

penulis dapat menyelasaikan skripsi ini yang berjudul “Faktor-faktor yang

berhubungan dengan Kepadatan Tulang Pada Lansia Awal di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan Tahun 2016”.

Banyak pihak yang telah memberikan bantuan, motivasi, doa, serta kerjasama yang luar biasa dalam proses penyusunan proposal skripsi ini. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Arif Sumantri, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu

Kesehatan UIN Syarif HIdayatullah Jakarta.

2. Ibu Maulina Handayani, S.Kp.,MSc selaku Ketua Program Studi dan Ibu

Ernawati, S.Kp.,M.Kep.,Sp.KMB selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Keperawatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Ita Yuanita, S.Kp.,M.Kep dan Bapak Karyadi, S.Kp.,MKep., PhD selaku


(10)

x

memberikan arahan, saran, dan perbaikan serta motivasi kepada penulis selama proses penyusunan sehingga penyusun skripsi ini dapat terselesaikan.

4. Seluruh staf pengajar Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta khususnya Bapak/Ibu dosen Program Studi Ilmu Keperawatan yang telah memberikan ilmunya kepada penulis selama kuliah.

5. Kepala Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan beserta seluruh stafnya

karena telah membantu dalam perizinan dan pengambilan data dalam melakukan penelitian

6. Kepala Puskesmas Pisangan dan seluruh stafnya terima kasih banyak atas

masukan, bimbingan, bantuan dan kemudahan selama penulis melakukan penelitian.

7. Orang tua tercinta, Ayahanda Muhammad Jon dan Ibunda Juairiyah yang

selalu memberikan doa, dukungan, semangat dan kasih sayang kepada penulis dalam menyelesaikan perkuliahan dan tugas akhir ini. Tak lupa, kepada saudara-saudara tersayang Ayunda Sri Maryani dan Nuzilah, Kakanda Yudi Darmadi, dan Adinda Novita Hardiyanti dan seluruh keluarga besar yang senantiasa juga selalu memberikan dukungan, semangat, dan doanya kepada peneliti dalam menyelesaikan proposal skripsi ini.

8. Teruntuk teman Oca, Septi, Ida, Lulu, Clara, Yuli dan seluruh

teman-teman PSIK 2012 yang telah membantu, memberi masukan, menghibur, dan memberi inspirasi bagi penulis selama proses perkuliahan. Tak lupa, Ayunda


(11)

xi

Rosi Pratiwi yang memberikan semangat, dukungan, dan membantu peneliti untuk menyelesaikan proposal skripsi ini.

9. Teruntuk teman satu bimbingan Lulu Yunita dan Hanifah Mufidati yang telah

memberikan semangat, dukungan, masukan dan saling membantu selama penulis melakukan penelitian.

10.Kepada teman seperjuangan SJD SUMSEL 2012, Eka, Prima, Rani, Bella,

Beny, Deny, Lukman, Raka, dan Agus. Serta seluruh kakak-kakak dan adik-adik SJD SUMSEL yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan demi perbaikan skripsi ini kearah yang lebih baik. Atas perhatiannya penulis ucapkan terimakasih.

Mudah-mudahan segala bantuan dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis mendapat imbalan dari Allah AWT. Penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan penulis khusnya.

Ciputat, Juni 2016


(12)

xii

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

ABSTRACT ... iii

ABSTRAK ... iv

PERNYATAAN PERSETUJUAN... v

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI... xii

DAFTAR BAGAN ... xv

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR SINGKATAN ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Pertanyaan Penelitian ... 8

D. Tujuan Penelitian ... 9

E. Manfaat Penelitian ... 10

F. Ruang Lingkup Penelitian ... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 12

A. Tulang ... 12

B. Proses pertumbuhan tulang ... 14

C. Kepadatan tulang ... 16

1. Puncak massa tulang (Peak Bone Mass) ... 16


(13)

xiii

E. Quantitative Ultrasound (QUS) ... 30

F. Kerangka Teori ... 34

BAB III KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS, DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 35

A. Kerangka Konsep ... 35

B. Hipotesis ... 36

C. Definisi Operasional ... 37

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ... 40

A. Desain Penelitian ... 40

B. Tempat dan waktu Penelitian ... 40

C. Populasi dan Sampel ... 41

D. Metode Pengumpulan Data dan Instrumen Pengumpulan Data ... 44

E. Tahap Pengumpulan Data ... 48

F. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian ... 50

G. Pengolahan Data ... 51

H. Analisa Data ... 53

I. Etika Penelitian ... 54

BAB V HASIL ... 57

A. Gambaran Umum Tempat Penelitian ... 57

B. Karakteristik Responden ... 58


(14)

xiv

BAB VI PEMBAHASAN ... 65

A. Karakteristik Responden ... 65

B. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepadatan Tulang... 73

C. Keterbatasan Penelitian ... 83

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ... 84

A. Kesimpulan ... 84

B. Saran ... 85 DAFTAR PUSTAKA


(15)

xv

DAFTAR BAGAN

Halaman

Bagan 2.1 Kerangka Teori 34


(16)

xvi

DAFTAR TABEL

Halaman

2.1 Angka Kecukupan Gizi Kalsium di Indonesia 23

2.2 Nilai Kalsium Berbagai Jenis Pangan 25

3.1 Definisi Operasional 37

4.1 Cara Menghitung Skor Untuk mengkategorikan Aktivitas Fisik 46

5.1 Distribusi Frekuensi Kepadatan Tulang Responden di Puskesmas 58

Pisangan Tangerang Selatan

5.2 Karakteristik Responden di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan 59

5.3 Distribusi Frekuensi Kepadatan Tulang Berdasarkan Karakteristik 60

Responden

5.4 Hubungan Jenis Kelamin dengan Kepadatan Tulang Responden 61

di Puskesmas Pisangan

5.5 Hubungan Status Menopause dengan Kepadatan Tulang Responden 62 di Puskesmas Pisangan

5.6 Hubungan Asupan Kalsium dengan Kepadatan Tulang Responden 63

di Puskesmas Pisangan

5.7 Hubungan Aktivitas Fisik dengan Kepadatan Tulang Responden 63

di Puskesmas Pisangan

5.8 Hubungan Perilaku Merokok dengan Kepadatan Tulang Responden 64 di Puskesmas Pisangan


(17)

xvii

DAFTAR SINGKATAN

BMD : Bone Mineral Density DMT : Densitas Mineral Tulang

IOF : International Osteoporosis Foundation

ISCD : International Society of Clinical Densitometry QUS : Quantitative Ultrasound


(18)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

1. Lembar Pernyataan Kesediaan Menjadi Responden (Informed Consent)

2. Lembar Kuesioner

3. Hasil Analisis Univariat


(19)

1

BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Tulang adalah jaringan hidup. Sel-sel tulang yang menghasilkan matriks organic dikenal sebagai osteoblast (“pembentuk tulang”). matriks organic terdiri dari serat kolagen dalam suatu gel setengah padat. Matriks ini memiliki konsistensi seperti karet dan berperan menentukan kekuatan tulang. tulang

menjadi keras karena pengendapan Kristal kalsium fosfat didalam matrik

(Sherwood, 2012). Tulang merupakan bangunan yang dibentuk sebagai kerangka manusia, tempat melekatnya jaringan otot sehingga membentuk tubuh. Tanpa tulang, manusia bagaikan seonggok daging yang terkulai lemas, tidak dapat berdiri tegak, tidak dapat berjalan, berlari, atau pun mengangkat dan memindahkan barang (Purwoastuti, 2009)

Densitas adalah kepadatan. Densitas tulang atau kepadatan tulang, yaitu berapa gram mineral per volume batang. Tulang yang normal itu kuat, karena mengandung protein, kolagen, dan kalsium (Tandra, 2009). Kepadatan tulang adalah massa tulang per volume tulang. Dengan definisi ini, volume diambil sebagai total volume spesimen tulang termasuk lubang tulang. Kalkulasi kepadatan tulang disebut juga “kepadatan structural” (Van, 2005).

Pertumbuhan dan perkembangan tulang telah mencapai batas maksimum (puncak massa tulang) pada umur 25 tahun. Puncak massa tulang bervariasi pada setiap orang dan umumnya lebih tinggi pada pria dibandingkan wanita


(20)

2

(Wirakusumah, 2007). Menurut Tandra (2009) pada rentang usia 20-35 kepadatan tulang berada pada puncaknya dan resiko patah tulang sangat rendah. Kecepatan pembentukan tulang berkurang secara progresif sejalan dengan usia, yang dimulai pada usia sekitar 30 atau 40 tahun. Semakin padat tulang sebelum usia tersebut, semakin kecil kemungkinan terjadi osteoporosis (Corwin, 2009).

Kehilangan massa tulang sangat mungkin terjadi apabila nilai massa tulang rendah. Jika puncak massa tulang tinggi maka seseorang relative lebih kecil risikonya terkena osteoporosis. Faktor yang mempengaruhi puncak massa tulang belum diketahui secara pasti, tetapi dipercaya sangat dipengaruhi oleh faktor genetik, konsumsi kalsium, olahraga teratur serta menghindari konsumsi

alkohol, kafein, soft drink, dan rokok. Kehilangan massa tulang berhubungan

langsung dengan peningkatan usia baik pada pria maupun wanita. Penurunan massa tulang dimulai pada usia 40 tahun dan terus berlangsung hingga akhir masa kehidupun (Wirakusumah, 2007). Menurut Cosman (2009), massa tulang maksimum sebagian besar dipengaruhi oleh faktor genetik seseorang, tetapi nutrisi, olahraga, kualitas fungsi menstruasi, dan gaya hidup sehat juga ikut berperan.

Jika faktor pembentukan tulang tidak maksimal yang nantinya menyebabkan berkurangnya massa tulang dan tulang menjadi rapuh barulah disadari dampak penurunan kepadatan tulang seperti tinggi badan berkurang, tiba-tiba terjadi rasa nyeri pada tulang, sakit punggung, sakit pinggang yang parah, atau kelainan bentuk tulang belakang yang menyebabkan postur tubuh bungkuk


(21)

(kyphsis) (Wijayakusumah, 2009). Dampak berkurangnya kepadatan tulang akan mengakibatkan osteoporosis. Osteoporosis lebih lanjut mengakibatkan nyeri, deformitas, dan fraktur (Pudjiastuti, 2003). Osteoporosis merupakan salah satu

penyakit yang digolongkan sebagai silent disease karena tidak menunjukkan

gejala-gejala yang spesifik. Gejala dapat berupa nyeri pada tulang dan otot, terutama sering terjadi pada punggung. Berapa gejala umum osteoporosis, mulai dari patah tulang, tulang punggung yang semakin membungkuk, menurunnya tinggi badan, dan nyeri punggung (Menkes RI, 2015).

World Health Organitation (WHO) memperkirakan pada pertengahan abad mendatang, jumlah patah tulang pada panggul karena gangguan kepadatan tulang (osteoporosis) akan meningkat tiga kali lipat, dari 1,7 juta pada tahun 1990 menjadi 6,3 juta pada tahun 2050 kelak. Data dari International Osteoporosis Foundation (IOF) menyebutkan bahwa seluruh dunia, satu dari tiga wanita dan satu dari delapan pria yang berusia di atas 50 tahun memiliki risiko mengalami patah tulang akibat osteoporosis dalam hidup mereka. Dengan meningkatnya usia harapan hidup, maka berbagai penyakit degenerative dan metabolik akan menjadi masalah muskuloskeletal yang memerlukan perhatian khusus terutama di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia. Jumlah penderita gangguan kepadatan tulang (osteoporosis) di Indonesia jauh lebih besar dari data terakhir Depkes, yang mematok angka 19,7 persen dari seluruh penduduk (Syam, dkk, 2014).

Prevalensi osteoporosis di Indonesia berdasarkan jenis kelamin laki-laki dan perempuan tahun 2006 menunjukkan hasil bahwa prevalensi osteoporosis


(22)

4

pada perempuan trennya meningkat seiring bertambahnya usia. Hal ini bisa disebabkan karena menopause dimana kadar hormon estrogen yang turun. Prevalensi osteoporosis lebih banyak terjadi pada usia 70-80 tahun (53.3%), usia 50-80 tahun sebesar (22.5%). Sedangkan pada laki-laki prevalensi osteoporosis trendnya juga meningkat seiring bertambahnya usia, akan tetapi tidak sebesar pada perempuan. Prevalensi osteoporosis lebih banyak terjadi pada usia 70-80 tahun (11.9%).

Penelitian Setyawati (2014) menunjukkan hasil bahwa sebagian besar responden dewasa awal (usia 25-35 tahun) memiliki pengetahuan tentang osteoporosis dan kepadatan tulang yang kurang baik dan mengonsumsi kalsium kurang dari kecukupan yang dianjurkan. Hasil penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi, tingkat kecukupan energi, protein, dan fosfor dengan kejadian pengeroposan tulang. Namun, terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat kecukupan kalsium dan aktivitas fisik dengan kejadian pengeroposan tulang (Marjan, 2013). Wanita menopause yang kurang konsumsi kalsium berisiko untuk terkena osteoporosis (Heaney, 2003 dalam Marjan, 2013). Penelitian berikutnya menunjukkan hasil bahwa, Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan faktor yang paling berhubungan dengan gangguan kepadatan tulang setelah dikontrol variabel usia, asupan vitamin D, dan asupan protein. Semakin rendah IMT, maka semakin tinggi risiko gangguan kepadatan tulang (Mardiyah, 2014).


(23)

Penelitian Permatasari (2011) menunjukkan hasil terdapat hubungan secara bermakna terhadap gangguan kepadatan tulang (kejadian osteoporosis) adalah asupan kalsium, asupan vitamin D, jenis kelamin, indeks massa tubuh, frekuensi konsumsi makanan sumber kalsium, dan frekuensi konsumsi suplemen kalsium. Aktivitas olahraga dengan pembebanan tidak berhubungan signifikan namun menunjukkan kecenderungan responden yang tidak berolahraga lebih banyak yang mengalami masalah kepadatan tulang dari pada yang berolahraga.

Pengukuran DMT menggunakan metode Quantitative Ultrasound dengan

keakuratan pengukuran sebesar 97%.

Data sekunder dari Dinas Kesehatan tahun 2014 menunjukkan bahwa dari hasil pemeriksaan kepadatan tulang di Puskesmas Pisangan dengan jumlah responden 44 usia 45-85 tahun yaitu, sebesar 41% responden menunjukkan hasil BMD ≤ -2,5 (osteoporosis), sebesar 59% responden menunjukkan hasil BMD < -1 (osteopenia), dan tidak ada responden yang menunjukkan hasil BMD >-1 (normal). Pada tahun 2015 hasil pemeriksaan kepadatan tulang di seluruh Puskesmas tangerang Selatan menunjukkan bahwa Puskesmas Pisangan yaitu, sebesar 95,5% responden menunjukkan hasil pemeriksaan kepadatan tulang tidak normal/mengalami pengeroposan tulang dan 4,5% menunjukkan hasil kepadatan tulangnya normal.

Studi Pendahuluan yang dilakukan peneliti pada tanggal 23 Januari 2016 dengan wawancara pada 8 warga di Wilayah Kerja Puskesmas Pisangan didapatkan bahwa bahan makanan yang biasa dikonsumsi yaitu, tahu, tempe,


(24)

6

kacang panjang, ikan basah, telur, kangkung, sayur sop, dan sayur asam. 75% warga yang tidak olahraga dan 25% jarang berolahraga. 63% jarang minum susu, 37% tidak suka minum susu. Jika ada waktu luang digunakan untuk menonton tv, tidur-tiduran.

Berdasarkan data-data hasil penelitian diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kepadatan tulang pada lansia awal di wilayah Puskesmas Pisangan karena dari hasil data pemeriksaan kepadatan tulang di wilayah Tangerang Selatan tahun 2015 oleh Dinas Kesehatan Tangerang Selatan menunjukkan bahwa angka tertinggi responden yang mengalami pengeroposan tulang adalah di Puskesmas Pisangan. Salah satu cara untuk mengurangi angka kejadian osteoporosis yaitu dengan cara mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kepadatan tulang itu sendiri. Alasan peneliti memilih lansia awal karena pada usia saat itu proses puncak massa tulang sudah terlewati dan mulai terjadinya penurunan kepadatan tulang (Corwin, 2009). Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan dengan mengukur kepadatan mineral tulang sampel menggunakan alat Quantitative Ultrasound (QUS).

B. Rumusan Masalah

Puncak pembentukan tulang (peak bone mass) yang optimal terutama

terjadi pada masa dewasa yaitu pada rentang usia 20-35 tahun (Permatasari, 2011). Kecepatan pembentukan tulang berkurang secara progresif sejalan dengan usia, yang dimulai pada usia sekitar 30 atau 40 tahun (Corwin, 2009). Penelitian


(25)

Permatasari tahun 2011 menunjukkan hasil terdapat hubungan secara bermakna terhadap gangguan kepadatan tulang (kejadian osteoporosis) adalah asupan kalsium, asupan vitamin D, jenis kelamin, indeks massa tubuh, frekuensi konsumsi makanan sumber kalsium, dan frekuensi konsumsi suplemen kalsium.

Puskesmas Pisangan merupakan salah satu puskesmas yang menunjukkan hasil tertinggi yang paling banyak mengalami kejadian pengeroposan tulang se-Tangerang Selatan dan Puskesmas terendah yaitu Puskesmas Paku Alam. Berdasarkan data hasil pemeriksaan kepadatan tulang oleh Dinas Kesehatan di Puskesmas Pisangan pada tahun 2015 menunjukkan hasil yaitu, sebesar 95,5% responden mengalami pengeroposan tulang/kepadatan tulang tidak normal, dan 4,5% menunjukkan hasil kepadatan tulangnya normal. Dampak berkurangnya kepadatan tulang jika tidak ditangani yaitu seperti tinggi badan berkurang, tiba-tiba terjadi rasa nyeri pada tulang, sakit punggung, sakit pinggang yang parah, atau kelainan bentuk tulang belakang yang menyebabkan postur tubuh bungkuk (kyphsis) (Wijayakusumah, 2009). Kiranya peneliti ingin melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kepadatan tulang pada lansia awal usia 46-55 tahun di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan, melalui beberapa aktivitas penelitian dan peneliti berharap hasil dari penelitian ini dapat memberikan informasi bagi peneliti selanjutnya.


(26)

8

C.

Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah penelitian yang telah dipaparkan, maka dapat diambil pertanyaan penelitian yaitu sebagai berikut :

1. Bagaimana gambaran kepadatan tulang pada lansia awal di Puskesmas

Pisangan Tangerang Selatan?

2. Apakah ada hubungan jenis kelamin dengan kepadatan tulang?

3. Apakah ada hubungan status menopause dengan kepadatan tulang?

4. Apakah ada hubungan asupan kalsium dengan kepadatan tulang?

5. Apakah ada hubungan aktivitas fisik dengan kepadatan tulang?

6. Apakah ada hubungan perilaku merokok dengan kepadatan tulang?


(27)

D. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kepadatan tulang pada lansia awal di Puskesmas Pisangan Ciputat Timur Tangerang Selatan.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui gambaran kepadatan tulang pada lansia awal di

Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan

b. Untuk mengidentifikasi hubungan antara jenis kelamin dengan kepadatan

tulang

c. Untuk mengidentifikasi hubungan antara status menopause dengan

kepadatan tulang

d. Untuk mengidentifikasi hubungan antara asupan kalsium dengan

kepadatan tulang

e. Untuk mengidentifikasi hubungan antara aktivitas fisik dengan kepadatan

tulang

f. Untuk mengidentifikasi hubungan antara perilaku merokok dengan

kepadatan tulang

g. Untuk mengidentifikasi hubungan antara konsumsi alkohol kepadatan


(28)

10

E. Manfaat Penelitian

1. Bagi Pendidikan Ilmu Keperawatan

Hasil penelitian ini dapat menambah literature mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kepadatan tulang pada pada lansia awal. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai rujukan tambahan dalam melakukan pengabdian kepada masyarakat.

2. Bagi Peneliti

Penelitian ini dapat menambah pengetahuan dalam konteks keilmuan dan metodologi penelitian serta memberikan pengalaman yang berharga bagi peneliti dalam melaksanakan penelitian.

3. Bagi Responden

Penelitian ini juga bermanfaat sebagai bahan informasi mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kepadatan tulang dan mengetahui kepadatan tulang lansia awal usia 46-55 tahun di Puskesmas Pisangan Ciputat Tangerang Selatan.

4. Bagi Peneliti Selanjutnya

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai data dasar, menambah informasi dan sebagai rujukan bagi peneliti lain untuk kepentingan pengembangan ilmu yang berkaitan dengan faktor-faktor yang berhubungan dengan kepadatan tulang pada lansia awal.


(29)

F. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada warga di Posbindu Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan yang tergolong lansia awal yaitu berusia 46-55 tahun yang

bertujuan untuk memperoleh informasi tentang faktor-faktor yang

mempengaruhi kepadatan tulang pada warga tersebut. Jenis penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan desain studi cross sectional. Pengumpulan data menggunakan instrument penelitian berupa kuesioner berisi item-item pertanyaan terkait jenis kelamin, status menopause, pemenuhan kebutuan kalsium pada sampel, aktivitas fisik, perilaku merokok dan perilaku mengkonsumsi alkohol, serta pengukuran Densitas Mineral Tulang (DMT)

dengan menggunakan alat Quantitative Ultrasound Bone Densitometri. Populasi

dalam penelitian ini adalah semua responden yang memeriksakan kepadatan tulangnya di Puskesmas Ciputat yang berusia antara 46-55 tahun (lansia awal). Penelitian ini dilakukan pada bulan April di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan.


(30)

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Tulang

Tulang adalah jaringan hidup. Karena merupakan jaringan ikat maka tulang terdiri dari sel dan matriks organic ekstrasel yang dihasilkan oleh sel. Sel-selt tulang yang menghasilkan matriks organic dikenal sebagai osteoblast (“pembentuk tulang”). matriks organic terdiri dari serat kolagen dalam suatu gel setengah padat. Matriks ini memiliki sistensi seperti karet dan berperan

menentukan kekuatan tensile tulang (keuletan tulang menahan patah yang

ditimbulkan oleh tegangan). Tulang menjadi keras karena pengendapan Kristal

kalsium fosfat didalam matriks. Kristal inorganic ini memberi tulang kekuatan kompresi (kemampuan tulang mempertahankan bentuk ketika diperas atau ditekan). Jika seluruhnya terbentuk dari Kristal inorganic maka tulang akan rapuh, seperti potongan kapur. Tulang memiliki kekuatan struktural yang mendekati beton bertulang, namun tulang rapuh dan jauh lebih ringan, karena tulang memiliki campuran berupa perancah organik yang diperkeras oleh Kristal inorganik (Sherwood, 2012).

Sebagai unsur pokok kerangka orang dewasa, jaringan tulang menyangga struktur berdaging, melindungi organ-organ vital seperti yang terdapat dalam tengkorak dan rongga dada, dan menampung sumsum tulang, tempat sel-sel darah dibentuk. Tulang juga berfungsi sebagai cadangan kalsium, fostaf, dan ion lain, yang dapat dilepaskan atau disimpan dengan cara terkendali untuk


(31)

mempertahankan konsentrasi ion-ion penting tersebut dalam cairan tubuh (Mescher, 2012).

Tulang membentuk suatu sistem pengungkit yang melipatgandakan kekuatan yang dibangkitkan selama otot rangka berkontraksi dan mengubahnya menjadi gerakan tubuh. Jaringan bermineral ini memberi fungsi mekanis dan metabolic pada kerangka (Mescher, 2012). Tulang adalah jaringan ikat khusus yang terdiri atas materi antar sel berkapur, yaitu matriks tulang, dan terdiri dari 3 macam sel tulang:

1) Osteosit , yang terdapat dalam rongga di antara lapisan matriks tulang

(Mescher, 2012). Berada dalam kapsul, mempunyai benjolan banyak yang masuk ke saluran bercabang, dan menghubungkan sel dan kapsul yang lain disebut kanalikuli (Syaifuddin, 2006)

2) Osteblas, yang menyintesis unsur organic matriks (Mescher, 2012). Sel induk

tulang guna mensintesis bahan organis dengan serat kolagen pada permukaan tulang, terpisah berubah menjadi osteosit kanalikuli yang terbentuk di sekeliling tonjolan tersebut (Syaifuddin, 2006).

3) Osteoklas, yang merupakan sel raksasa multinukleus yang terlibat dalam


(32)

14

B. Proses pertumbuhan tulang

Penambahan ketebalan tulang dicapai melalui penambahan tulang baru di atas permukaan luar tulang yang sudah ada. Pertumbuhan ini dihasilkan oleh osteoblas di dalam peritoneum, suatu selubung jaringan ikat yang menutupi bagian luar tulang. sewaktu osteoblast aktif mengendapkan tulang baru di permukaan eksternal, sel lain di dalam tulang, osteoklas (“penghancur tulang”), melarutkan jaringan tulang di permukaan dalam di dekat rongga sumsum. Dengan cara ini, rongga sumsum membesar untuk mengimbangi bertambahnya lingkar batang tulang (Sherwood, 2012)

Pertambahan panjang tulang panjang dicapai melalui mekanisme yang berbeda. Tulang memanjang akibat aktivitas sel-sel tulang rawan, atau kondrosit, di lempeng epifisis. Selama pertumbuhan, sel-sel tulang rawan di tepi luar lempeng di samping epifisis membelah dan memperbanyak diri, secara temporar memperlebar lempeng epifisis. Seiring dengan terbentuknya kondrosit-kondrosit baru di tepi epifisis, sel-sel tulang rawan yang sudah tua ke arah batas diafisis membesar. Kombinasi proliferasi sel tulang rawan baru dan hipertrofi kondrosit matang secara temporer memperlebar lempeng epifisis. Penebalan sisipan lempeng tulang rawan ini mendorong epifisis tulang semakin jauh dari diafisis. Matriks yang mengelilingi tulang rawan paling tua segera mengalami kalsifikasi (Sherwood, 2012).

Pembentukan tulang kembali digambarkan dengan keseimbangan fungsi osteoblast dan osteoklas. Proses ini terjadi pada tiap permukaan tulang berlanjut


(33)

sepanjang hidup (tiap tahun). Fungsi proses pembentukan tulang kembali yaitu untuk melindungi tulang dari efek kerusakan atau untuk menjaga kekuatan tulang (Trihapsari, 2009). Ada pendapat yang menyatakan bahwa proses pembentukan tulang kembali melindungi tulang dari efek kerusakan karena kelelahan yang terakumulasi. Dengan kata lain, pembentukan kembali terjadi setelah tulang menjadi tua atau lemah atau mengalami keretakan kecil atau kerusakan mikroskopis berulang kali, yang akhirnya dapat mengurangi kekuatan tulang tersebut. Sepotong tulang yang mengalami kerusakan kecil ini dilarutkan atau diserap kembali oleh sel bernama osteoklas, yang didatangkan ke area tersebut oleh zat penarik tertentu yang dihasilkan oleh sel bernama osteosit yang dapat mengidentifikasi kerusakan tulang. Setelah melarutkan potongan yang rusak, osteoklas menghilang dan sel pembentuk tulang (osteoblast) yang terbuat dari sel prekursor di sumsum tulang didatangkan ke area tersebut, mungkin juga oleh zat penarik. Osteoblast membentuk bagian tulang baru untuk menggantikan tulang yang dilarutkan oleh osteoklas (Cosman, 2009).

Kekuatan tulang ditentukan oleh kuantitas dan kualitas tulang. kuantitas yaitu kepadatan tulang, sedangkan kualitas yaitu ukuran (massa) tulang, kandungan mineral, dan mikroarsitektur tulang. Densitas mineral tulang dicapai maksimal pada usia 18 tahun dan tidak ada perbedaan jender. Stabilitas tulang ditentukan oleh arsitektur tulang dan DMT (Bazied, 2003).


(34)

16

C. Kepadatan tulang

Kepadatan tulang adalah parameter yang harus diukur untuk mendiagnosis gangguan kepadatan tulang (osteoporosis). Perlu dicatat bahwa pemeriksaan kepadatan tulang untuk tujuan diagnosis sebagian besar didasarkan karena

satu-satunya parameter yang dapat diukur secara akurat di vivo. Kepadatan tulang

adalah massa tulang per volume tulang (kg.m-1) (Mow & Huiskes, 2005).

Densitas Mineral Tulang (DMT) merupakan cara pengukuran kalsium (mineral tulang) pada suatu area atau volume tulang. Cara ini dilakukan untuk mengetahui seberapa kuat atau lemahnya tulang seseorang (kepadatan tulang), sehingga dapat diketahui apakah seorang terkena osteoporosis atau osteopenia, dan risiko terkena fraktur (patah tulang) (Trihapsari, 2009).

1. Puncak massa tulang (Peak Bone Mass)

Tulang tidak hanya mengalami pertumbuhan tetapi juga bertambah menjadi lebih padat pada masa anak-anak dan remaja (Wirakusumah, 2007). Pembentukan tulang paling cepat terjadi pada usia akil balig atau pubertas, ketika tulang menjadi makin besar, makin panjang, makin tebal, dan makin padat, yang akan mencapai puncaknya pada usia sekitar 25-40 tahun (Tandra, 2009). Pada umur 25 tahun, pertumbuhan dan perkembangan tulang telah mencapai batas maksimum (puncak massa tulang) (Wirakusumah, 2007).

Puncak massa tulang bervariasi pada setiap orang dan umumnya lebih tinggi pada pria dibandingkan wanita. Umumnya puncak massa tulang lebih tinggi pada orang yang mempunyai rangka tubuh lebih besar dibandingkan


(35)

dengan orang yang memiliki rangka tubuh lebih kecil. Apabila nilai massa tulang rendah maka kehilangan massa tulang yang diikuti dengan kerapuhan tulang sangat mungkin terjadi. Jika nilai puncak massa tulang tinggi maka seseorang relative lebih kecil risikonya terkena osteoporosis. Faktor yang mempengaruhih puncak massa tulang belum diketahui secara pasti, tetapi dipercaya sangat dipengaruhi oleh faktor genetik, konsumsi kalsium, olahraga teratur serta

menghindari konsumsi alkohol, kafein, soft drink, dan rokok (Wijayakusumah,

2007).

Kurang lebih 50-80 persen puncak massa tulang ini dipengaruhi oleh faktor genetik, sehingga si anak muda akan menjadi lebih tinggi dan lebih besar, jika berasal dari keturunan atau orangtua yang memiliki postur tinggi dan besar. Masih ada faktor-faktor lain yang ikut memegang peran penting, antara lain kalsium, vitamin D, aktivitias fisik atau olahraga, berat badan, penyakit yang sedang diderita, atau keadaan pubertas yang datang terlambat (Tandra, 2009). Beberapa faktor lain akan memengaruhi puncak massa tulang seseorang, seperti diet, olahraga, merokok, dan minum alkohol. Begitu pula, hormon seks, amenore, atau tidak datang haid yang disebabkan oleh anoreksia nervosa atau penyakit lain juga akan menurunkan puncak massa tulang. Penggunaan pil KB atau kontrasepsi oral dengan hormon terbukti bisa meningkatkan puncak massa tulang. Berkurangnya massa tulang mulai terjadi setelah usia 30 tahun, yang akan makin bertambah setelah di atas 40 tahun, dan akan berlangsung terus dengan bertambahnya usia, sepanjang hidupnya. Sekitar 35 persen tulang padat dan 50


(36)

18

persen tulang berongga pada wanita akan hilang, sedangkan pada pria akan berkurang sekitar dua per tiga dari jumlah tadi (Tandra, 2009). Pembagian kelompok umur oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2009 menyatakan bahwa kelompok lansia awal yaitu usia antara 46 sampai 55 tahun (Riauwi, 2014).

Kehilangan massa tulang berhubungan langsung dengan peningkatan usia baik pada pria maupun wanita. Penurunan massa tulang dimulai pada usia 40 tahun dan terus berlangsung hingga akhir masa kehidupan (Wijayakusumah, 2007). Wanita akan kehilangan tulang lebih banyak daripada pria, karena laju penghancuran tulang meningkat akibat menopause. Pada usia 80 tahun hampir semua wanita mempunyai massa tulang yang sangat sedikit, sehingga sangat mudah mengalami patah tulang. Massa tulang akan berkurang setelah berusia sekitar 40 tahun. Wanita mengalami penurunan massa tulang setiap tahun sebanyak 1-5 persen, sedangkan untuk pria kurang dari 1 persen. Memang, bagi wanita, penurunan massa tulang lebih cepat dan lebih banyak. Ini disebabkan oleh estrogen dalam tubuh wanita yang makin berkurang (Tandra, 2009).


(37)

Perubahan massa tulang sepanjang kehidupan

Gambar 2.1

(Wijayakusumah, 2007)

D. Faktor yang mempengaruhi puncak massa tulang

Sebuah variasi genetik dan faktor lingkungan mepengaruhi puncak massa tulang. faktor genetik bisa memberikan (didapatkan ketika lahir dan tidak berubah, seperti jenis kelamin dan ras) bisa mencapai 75 persen dari massa tulang, dan faktor lingkungan (seperti diet dan kebiasaan latihan) sisanya, yaitu sebesar 25 persen (NIH, 2015).

1. Jenis Kelamin

Puncak massa tulang cenderung lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan. Sebelum pubertas, laki-laki dan perempuan mendapatkan massa tulang pada nilai yang hampir sama. Setelah pubertas, laki-laki cenderung mendapatkan massa tulang yang lebih besar dari pada perempuan (NIH,


(38)

20

2015). Massa tulang wanita lebih kecil dibandingkan dengan pria. Nilai massa tulang wanita umumnya hanya sekitar 800 gram lebih kecil dibandingkan dengan pria yaitu sekitar 1.200 gram. Karena nilai massa tulang yang rendah itulah maka kehilangan massa tulang yang diikuti dengan kerapuhan tulang sangat mungkin terjadi (Wirakusumah, 2007).

2. Ras

Alasannya masih belum jelas, wanita Afrika Amerika cenderung memiliki puncak massa tulang lebih besar dari pada wanita Caucasian. Perbedaan pada densitas tulang ini terlihat selama masa kanak-kanak dan masa remaja (NIH, 2015). Ras campuran Afrika-Amerika memiliki massa tulang tertinggi, sedangkan ras kulit putih dari Eropa memiliki masa tulang terendah. Ras campuran Asia-Amerika berada di antara keduanya. Wanita Afrika-Amerika memiliki massa tulang yang lebih padat, rangka tulang dan massa otot yang lebih besar. Antara massa tulang dan massa otot terdapat kaitan yang erat. Semakin besar otot, tekanan pada tulang semakin tinggi dan tulang semakin besar. Ditambah lagi kadar hormon estrogen ras Afrika-Amerika lebih tinggi dari ras yang lain sehingga wanita Afrika-Afrika-Amerika cenderung lebih lambat menua daripada wanita kulit putih (Wirakusumah, 2007).


(39)

3. Status Menopause

Fase menopause disebut pula sebagai periode klimakterium (climacter = tahun perubahan/pergantian tahun yang berbahaya). Menopause merupakan peristiwa fisiologis alamiah. Terjadi setelah berhentinya menstruasi selama 1 tahun. Biasanya, menstruasi mulai berkurang selama 2-5 tahun, paling sering antara umur 48-55 tahun, rata-rata pada umur 51,4 tahun (Wicaksana, 2009).

Kehilangan kalsium dari jaringan tulang terjadi pada masa menopause. Osteoporosis pada menopause terjadi akibat jumlah estrogen dan progesteron menurun. Hormon estrogen diproduksi wanita dari masa kanak-kanak sampai dewasa. Hormon tersebut diperlukan untuk pembentukan tulang dan mempertahankan massa tulang. Rendahnya hormon estrogen dalam tubuh akan membuat tulang menjadi keropos dan mudah patah (Wijayakusumah, 2009). Ketika tingkat estrogen menurun, siklus remodeling tulang berubah dan pengurangan jaringan tulang akan dimulai. Salah satu fungsi estrogen adalah mempertahankan tingkat remodeling tulang yang normal. Tingkat resorpsi tulang akan menjadi lebih tinggi daripada formasi tulang, yang mengakibatkan berkurangnya massa tulang (Wardhana, 2012).

Hormon estrogen memiliki efek pada puncak massa tulang. Sebagai contoh, wanita yang menstruasi pertamanya di usia yang muda dan menggunakan kontrasepsi oral, yang mana berisi estrogen, sering kali


(40)

22

memiliki densitas mineral tulang yang tinggi. Sebaliknya, wanita muda yang periode menstruasinya berhenti karena berat badan rendah yang ekstrim atau latihan yang berlebihan, sebagai contoh, mungkin kehilangan yang signifikan jumlah dari densitas tulang, yang mana mungkin tidak bisa menyembuhkan walaupun setelah periode menstruasi kembali lagi (NIH, 2015).

4. Asupan Nutrisi Kalsium

Kalsium (Ca) adalah elemen yang paling besar jumlahnya di dalam tubuh. Kalsium merupakan konsistuen penting skeleton dan gigi yang berjumlah kira-kira 99% dari total kalsium tubuh. Di samping itu, kalsium adalah konsistuen esensial pada sel-sel hidup dan cairan jaringan. Secara kuantitatif, partisipasi kalsium dalam pembentukan tulang adalah fungsi kalsium yang paling penting. Kalsium berinteraksi dengan fosfat membentuk kalsium fosfat. Kalsium fosfat adalah material keras dan padat yang membentuk tulang dan gigi. Tulang diketahui tidak hanya sebagai pendukung atau komponen struktural tubuh, tetapi juga sebagai jaringan yang secara fisiologis menjadi sumber kalsium untuk pemeliharaan kondisi homeostasis (Soeparno, 2011).

Kalsium adalah salah satu unsur penting dalam tubuh. Walaupun pada bayi, kalsium hanya sedikit, yaitu 25-30 g. Namun, setelah usia 20 tahun, secara normal akan terjadi penempatan sekitar 1.200 g kalsium dalam tubuh. Jumlah ini, terdiri dari 99% kalsium yang berada di dalam jaringan keras yaitu


(41)

pada tulang dan gigi (Wirakusumah, 2007). Kebutuhan kalsium harus dipenuhi dari asupan makanan karena kalsium pada makanan diserap pada usus halus dengan proses transport aktif (Martin, 1985 dalam Kosnayani, 2007). Kurang lebih terdapat 1 kg kalsium dalam tulang orang dewasa. Variasi kebutuhan tubuh akan kalsium lebih bergantung pada laju perkembangan tulang ketimbang kebutuhan metabolik. Kebutuhan maksimal terjadi selama puncak masa pertumbuhan cepat pada remaja, yang mencapai 1200 mg/hari, maka asupan kalsium sangat vital pada saat itu, untuk menjamin mineralisasi tulang yang adekuat (Barasi, 2007).

Tabel 2.1 Angka Kecukupan Gizi Kalsium di Indonesia (perorang perhari)

Umur (tahun) Laki-laki (mg) Perempuan (mg)

16-18 tahun

19-29 tahun

30-49 tahun

50-64 tahun

65-80 tahun

1200

1100

1000

1000

1000

1200

1100

1000

1000

1000

Sumber : Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2013

Kalsium adalah nutrisi esensial untuk kesehatan tulang. Defisiensi kalsium pada orang muda tercatat memiliki perbedaan yang signifikan di


(42)

24

puncak massa tulang dan bisa meningkatkan resiko fraktur hip di kehidupan

selanjutnya. Survei mengindikasikan bahwa wanita belasan tahun di United

States memiliki lebih sedikit dari pada laki-laki belasan tahun untuk mendapatkan kecukupan kalsium (NIH, 2015).

Fungsi utama kalsium adalah mengisi kepadatan (densitas tulang). Cadangan kalsium tubuh terdapat dalam tulang. Jika kekurangan kalsium tubuh akan mengambil cadangan kalsium di bank tulang. Semakin lama semakin banyak kalsium yang diambil, tulang semakin tipis, dan kemudian keropos. Asupan kalsium pada usia lanjut umumnya menurun karena kurangnya konsumsi makanan sumber kalsium. Disamping itu, bertambahnya usia dapat menurunkan daya serap terhadap kalsium (Wirakusumah, 2007). Bullamore JR et al meneliti pengaruh usia pada penyerapan kalsium. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penyerapan kalsium menurun setelah usia 60 tahun dan setelah usia 80 tahun terjadi malabsorpsi yang signifikan (Limawan, 2015).

Densitas tulang berbeda-beda menurut umur, meningkat pada bagian pertama kehidupan dan menurun secara berangsur setelah dewasa. Proses densitas tulang hanya berlangsung hingga seseorang berusia 30 tahun. (Wirakusumah, 2007). Bila makanan yang dikonsumsi tidak mencukupi akan berpengaruh buruk terhadap kesehatan tulang. Makanan sumber kalsium, fosfor, dan vitamin D yang dikonsumsi cukup sejak usia dini dapat membantu memperkuat massa tulang, mencegah pengaruh negative dari berkurangnya


(43)

keseimbangan kalsium dan mengurangi tingkat kehilangan massa kalsium pada tahun-tahun selanjutnya (Wirakusumah, 2007).

Tabel 2.2 Nilai kalsium berbagai jenis pangan (mg/100g)

Jenis Pangan Mg Jenis Pangan Mg

Ikan bandeng presto 1422 Oncom 96

Susu skim 123 Udang kering 1209

Ikan rebon segar 31 Udang segar 136

Keju 777 Toge 29

Daging ayam 13 Bayam 267

Daging sapi 3 Kacang ijo 125

Susu kental manis 300 Kacang panjang 163

Yogurt 120 Mujair goreng 346

Es krim 123 Telur ayam 54

Mentega 15 Telur asin 120

Susu kedelai 50 Sawi 220

Jeruk 33 Daun singkong 165

Sarden kaleng 354 Kangkung 73

Tempe kedelai 129 Kacang merah 84

Tahu 124 Kacang tanah 58


(44)

26

5. Aktivitas fisik

Aktivitas fisik didefinisikan sebagai kegiatan yang dilakukan oleh responden sehari-hari yang meliputi olahraga, kegiatan diwaktu bekerja, serta kegiatan di waktu luang (Baecke, 1982). Wanita dan laki-laki dan dewasa muda yang latihan secara teratur mencapai lebih besar puncak massa tulang dibandingkan yang tidak melakukan latihan. Perempuan dan pria berumur 30 tahun dan lebih bisa membantu mencegah kehilangan tulang dengan latihan teratur. Aktivitas yang terbaik untuk tulang adalah latihan weight-bearing. Latihan ini melatih kekuatan yaitu dengan bekerja melawan gravitasi, seperti berjalan, hiking, jogging, naik turun tangga, bermain tennis, menari, dan latihan berat (NIH, 2015). Aktivitas olahraga dengan pembebanan (weigh-bearing exercise) dapat membantu pembentukan osteoblast lebih aktif. Olahraga lompat tali atau jalan kaki sekitar 30 menit yang dilakukan tiga atau empat kali dalam seminggu dapat meningkatkan massa panggul dan mengurangi penurunan massa tulang (Permatasari, 2011).

Semakin rendah aktivitas fisik, maka densitas tulang pun beresiko menjadi lebih rendah. Hal ini terjadi karena aktivitas fisik (olahraga) dapat membangun tulang dan otot menjadi lebih kuat, juga meningkatkan keseimbangan metabolisme tubuh (Wirakusumah, 2007). Olahraga baik bagi tulang maupun aspek kesehatan lain. Tidak bergerak sama sekali mempercepat penurunan massa tulang, sementara olahraga menahan beban tubuh meningkatkan massa tulang. pada orang dewasa, olahraga dapat


(45)

memperlambat penurunan massa tulang akibat usia serta meningkatkan kesehatan secara umum, sehingga mengurangi risiko terjatuh. Olahraga membantu memperkuat tulang (Trihapsari, 2009).

Wanita yang malas bergerak atau berolahraga akan terhambat proses osteoblasnya. Selain itu, kepadatan massa tulang akan berkurang. Semakin banyak bergerak dan berolahraga, maka otot akan memacu tulang untuk membentuk massa (Zaviera, 2008). Menurut dr. Sadoso, olahraga mampu meningkatkan DMT atau mengurangi hilangnya jaringan tulang pada kaum

muda, pramenopause, dan pascamenopause. Berbagai penelitian

menunjukkan, puncak massa tulang anak-anak sampai dewasa yang aktif berolahraga lebih tinggi daripada yang jarang berolahraga (Zaviera, 2008)

6. lifestyle Behaviors

a) Perilaku Merokok

Merokok bisa berhubungan dengan rendahnya densitas tulang di masa remaja ataupun perilaku yang tidak sehat lainnya, seperti minum alkohol dan kebiasaan duduk yang terus menerus. Fakta buruk efek negative dari merokok pada puncak massa tulang, dan perokok tua akan menambahkan risiko untuk kehilangan massa tulang dan fraktur (NIH, 2015). Pada wanita perokok ada kecenderungan kadar estrogen dalam tubuhnya lebih rendah dan kemungkinan memasuki masa menopause lima tahun lebih awal dibandingkan dengan bukan perokok. Kecepatan


(46)

28

kehilangan massa tulang juga terjadi lebih cepat pada wanita perokok. Asap rokok dapat menghambat kerja ovarium dalam memproduksi hormon estrogen. Disamping itu, nikotin juga mempengaruhi kemampuan tubuh untuk menyerap dan menggunakan kalsium (Wirakusumah, 2007).

Penelitian menunjukkan bahwa merokok mempercepat kehilangan tulang serta turut andil atas berkurangnya kemampuan penyerapan kalsium (Trihapsari, 2009). Perokok sangat rentan terkena DMT tidak normal karena zat nikotin yang terdapat didalamnya dapat mempercepat penyerapan tulang. selain penyerapan tulang, nikotin juga membuat kadar dan aktivitas hormon estrogen dalam tubuh berkurang sehingga susunan-susunan sel tulang tidak kuat dalam menghadapi proses pelapukan. Disamping itu, rokok juga menimbulkan hipertensi, PJK, dan tersumbatnya aliran darah ke seluruh tubuh. Apabila darah tersumbat, maka proses pembentukan tulang sulit terjadi. Jadi, nikotin dapat menyebabkan rendahnya DMT baik secara langsung maupun tidak langsung. Efek rokok pada tulang mulai terasa setelah usia 35 tahun, karena proses pembentukan tulang pada umur tersebut mulai terhenti (Trihapsari, 2009).

b) Kebiasaan Konsumsi Alkohol

Efek mengkonsumsi alkohol untuk puncak massa tulang masih belum jelas. Efek alkohol pada tulang telah dipelajari secara lebih


(47)

ekstensif pada orang dewasa, dan hasilnya mengindikasikan bahwa mengkonsumsi tinggi alkohol berhubungan dengan densitas tulang yang rendah. Para ahli mengasumsikan bahwa mengkonsumsi alkohol secara tinggi di masa muda memberikan efek yang merugikan untuk kesehatan skeletal (NIH, 2015). Konsumsi alkohol dalam jumlah banyak dapat merugikan kesehatan karena akan mengganggu proses metabolisme kalsium dalam tubuh. Alkohol dapat menyebabkan luka-luka kecil pada dinding lambung yang terjadi beberapa saat setelah minum-minuman beralkohol. Banyaknya luka kecil akibat minum-minuman beralkohol akan menyebabkan perdarahan. Hal ini dapat menyebabkan tubuh kehilangan kalsium karena kalsium banyak terdapat dalam darah (Wirakusumah, 2007).

Mengkonsumsi alkohol secara berlebihan, akan meningkatkan terjadinya resiko patah tulang. Hal ini disebabkan alkohol dapat mengurangi massa tulang, mengganggu metabolisme vitamin D dan menghambat penyerapan kalsium. Sehingga terjadinya osteoporosis pun lebih besar pada orang yang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi alkohol dalam jumlah banyak daripada orang yang tidak mengkonsumsi alkohol (Agustin, 2009).


(48)

30

E. Quantitative Ultrasound (QUS)

Densitas adalah kepadatan. Pemeriksaan kepadatan mineral tulang adalah untuk mengetahui adanya penurunan densitas tulang. Penentuan densitas tulang

bisa dengan densitometry, computed tomography (CT), atau ultrasound (US)

(Tandra, 2009). Normalnya, setiap tulang mempunyai kepadatan tulang yang berbeda. Untuk menyesuaikan standar pelaporan hasil dari tempat dan teknologi yang berbeda, ukuran kepadatan tulang biasanya dinyatakan sebagai nilai-T dan nilai-Z (Cosman, 2009).

Nilai-T dihitung dari hasil pengukuran kepadatan tulang seseorang, variasi hasil pengukuran kepadatan tulang, dan kepadatan tulang rata-rata dari populasi referensi normal kelompok usia muda dengan massa tulang maksimum (Cosman, 2009). Ada sedikit perbedaan antarprodusen alat pengukur kepadatan tulang dalam hal penentuan usia populasi referensi yang digunakan untuk menentukan nilai T, tetapi biasanya antara 20 dan 35 tahun. Pada rentang usia ini kepadatan tulang berada pada puncaknya dan risiko patah tulang karena pengeroposan tulang sangat rendah. Hasilnya dinyatakan dalam nilai standar deviasi (SD) di atas atau di bawah rata-rata hasil pengukuran untuk anak muda normal (Cosman, 2009). Hasil Nilai-T bisa plus atau minus. Bila hasil nol, artinya densitas tulang sama dengan orang muda normal. Bila plus, artinya tulang lebih padat daripada orang muda. Bila minus, densitas tulang lebih rendah daripada orang muda normal (Tandra, 2009).


(49)

Nilai-Z berdeda dengan Nilai-T, Nilai-Z membandingkan BMD seseorang dengan BMD rata-rata orang dengan jenis kelamin, usia, tinggi badan, dan berat badan yang sama. Hasil yang negative berarti tulang Anda keropos, sedangkan hasil yang positif menyatakan tulang Anda lebih kecil memiliki risiko patah tulang dibandingkan dengan rata-rata orang lain (Tandra, 2009). Secara umum, tingkat akurasi tes DMT tergolong tinggi, yaitu antara 89-99%. Namun, terdapat perbedaan nilai kepadatan (DMT) pada tiap tempat pengukuran di tubuh. Jadi,

densitas tulang pada tempat tertentu merupakan predictor utama fraktur pada

tempat tersebut (Trihapsari, 2009).

Ultrasound adalah jenis gelombang suara dengan frekuensi melebihi kisaran pendengaran normal manusia (>20kHz). Frekuensi yang digunakan di QUS biasanya terletak di antara 200 kHz dan 1,5 MHz. Suara yang dihasilkan

oleh pemeriksaan piezoelectric yang unik adalah pemancaran dan pelintasan

longitudinal atau horizontal melalui tulang yang akan diperiksa. Biasanya ada dua pemeriksaan pada perangkat QUS : emisi dan alat penerima. Segmen tulang yang akan diperiksa akan ditempatkan di antara alat pemeriksaan ini dan gelombang ultrasound yang dipancarkan dari alat emisi melalui tulang akan dirasakan oleh

alat penerima (Chin, 2013). Ultrasound mengukur kecepatan suara, saat sinar ini

bergerak menembus tulang dan jaringan lunak diatasnya, dan pengurangan kuat sinyal, atau jumlah gelombang suara yang hilang saat bergerak menembus bagian tubuh yang diukur. Teknik ini tidak membuat orang terpapar radiasi karena


(50)

32

menggunakan suara bukanya sinar X, dan tidak membutuhkan ahli radiologi untuk melakukan prosedurnya (Cosman, 2009).

Cara kerja QUS menggunakan kecepatan gelombang suara ultra yang menembus tulang kemudian dinilai atenuasi kekuatan dan daya tembus melalui tulang yang dinyatakan sebagai pita lebar ultrasonic (ultrasound broad band) dan

kekuatan (stiffinss). Keuntungannya adalah mudah dibawa ke mana-mana, tetapi

kerugiannya adalah tidak dapat mengetahui lokasi osteoporosis secara tepat (Wirakusumah, 2007). Alat ini biasanya mengukur tulang di kalkaneus (tumit), tetapi juga bisa mengukur lengan bawah dan tulang kering (Cosman, 2009). Pengukuran DMT dengan gelombang ultrasonik yaitu metode QUS biasa digunakan untuk mengukur tulang tumit (tulang kalkaneus) dan jari (±1 menit). Cara ini tidak menggunakan radiasi dan dapat memberikan informasi mengenai massa tulang dan menilai organisasi struktur tulang (Trihapsari, 2009).

Menurut International Society of Clinical Densitometry (ISCD), kalkaneus QUS adalah satu-satunya yang diakui untuk pengukuran QUS sebagai penentu status kesehatan tulang karena lebih banyak penelitian telah dilakukan pada kalkaneus dibandingkan dengan segmen tulang yang lainnya. Selain itu, kalkaneus terdiri dari 95% tulang trabecular dan memiliki dua permukaan lateral yang memfasilitasi pergerakan ultrasound. Teknologi Quantitative ultrasound muncul sebagai alat skrining yang nyaman dan efektif untuk digunakan dalam deteksi dini osteoporosis. Deteksi dini akan memungkinkan langkah-langkah


(51)

pencegahan yang harus diambil untuk menghambat perkembangan osteoporosis selanjutnya (Chin, 2013).

Kriteria World Health Organization (WHO) untuk menentukan berat

ringannya keropos tulang, memberlakukan kriteria yang sudah diterima oleh seluruh dunia. Bila T-Score sama dengan atau lebih rendah dari -2,5 dinamakan osteoporosis. Bila T-Score di bawah -1,0 dinamakan osteopenia atau massa tulang yang rendah. T-Score di antara -1 sampai +1 dikatakan Bone Mineral Density (BMD) yang normal. Orang dengan T-Score di bawah -2,5 yang disertai dengan fraktur karena osteoporosis dikategorikan dalam osteoporosis yang berat (severe or established osteoporosis) (Tandra, 2009).


(52)

34

F.

Kerangka Teori

(Modifikasi NIH, 2015, Cosman, 2009 & Wirakusumah, 2007)

FAKTOR GENETIK

RAS JENIS KELAMIN

STATUS MENOPAUSE

FAKTOR LINGKUNGAN

NUTRISI (ASUPAN KALSIUM)

AKTIVITAS FISIK

LIFESTYLE BEHAVIOR - MEROKOK - KONSUMSI

ALKOHOL


(53)

35

BAB III

KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI OPERASIONAL A. Kerangka Konsep

Berdasarkan kerangka teori di atas, maka peneliti membuat suatu kerangka konsep pada penelitian ini sebagai berikut :

Variabel Independent Variabel Dependent

1. Jenis Kelamin

2. Status menopause 3. Nutrisi

4. Aktivitas fisik 5. Perilaku Merokok 6. Konsumsi alkohol


(54)

36

B. Hipotesis

Berdasarkan kerangka konsep dan tujuan penelitian, maka hipotesis penelitian adalah sebagai berikut :

1. Ada hubungan antara jenis kelamin dengan kepadatan tulang pada lansia awal

akhir di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan.

2. Ada hubungan antara status menopuase dengan kepadatan tulang pada lansia

awal di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan

3. Ada hubungan antara asupan kalsium dengan kedapatan tulang pada lansia

awal di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan

4. Ada hubungan antara aktivitas fisik dengan kepadatan tulang pada lansia awal

di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan

5. Ada hubungan antara perilaku merokok dengan kepadatan tulang pada lansia

awal di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan

6. Ada hubungan antara kebiasaan konsumsi alkohol dengan kepadatan tulang


(55)

C. Definisi Operasional

Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala

Kepadatan tulang

Pemeriksaan kepadatan mineral tulang untuk mengetahui adanya

penurunan densitas tulang.

Ukuran kepadatan tulang

dinyatakan sebagai Nilai-T.

Tulang pada

bagian tumit

diletakkan di atas

alat pengukur

kepadatan tulang

Quantitative Ultrasound (QUS)

1. Normal = NilaiT

-1 sampai +-1

2. Tidak normal :

a. Osteopenia =

Nilai-T < -1,0

b. Osteoporosis =

Nilai-T ≤ -2,5

(Tandra, 2009).

Ordinal

Jenis Kelamin

Tanda fisik yang teridentifikasi pada responden dan dibawa

Kuesioner Kuesioner 1) Perempuan

2) Laki-laki


(56)

38

sejak dilahirkan.

Status menopause

Saat seorang wanita berhenti mendapat haid selama 1 tahun terakhir

Kuesioner Kuesioner 1. Sudah menopause

2. Belum menopause

Nominal

Asupan Nutrisi (kalsium)

Perilaku responden

mengkonsumsi

makanan/minuman yang

mengandung kalsium dalam

waktu 1 tahun terakhir.

Wawancara Kuesioner

Food Frequency

Questiionnaire (FFQ)

1. Cukup ≥ 100%

AKG

2. Kurang < 100%

AKG

(Menkes RI, 2013)

Ordinal

Aktivitas fisik

Kegiatan yang dilakukan

responden sehari-hari yang

Kuesioner Kuesioner

aktivitas fisik

Kategori :

1. Aktivitas ringan :


(57)

meliputi olahraga, kegiatan diwaktu bekerja, serta kegiatan di waktu luang.

(Baecke Questionnaire)

Kuesioner ini

terdiri dari 17 item pertanyaan

< 5,6

2. Aktivitas sedang :

5,6-7,9

3. Aktivitas berat :

>7,9

(Baecke, 1982)

Perilaku Merokok

Perilaku merokok adalah

merokok secara aktif selama minimal 1 tahun.

Kuesioner Kuesioner 1) Ya

2) Tidak

Nominal

Konsumsi Alkohol

Konsumsi alkohol adalah

penggunaan alkohol lebih dari 750 mL per minggu.

Kuesioner Kuesioner 1) Ya

2) Tidak


(58)

40

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN A. Desain Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik kuantitatif dengan

menggunakan desain penelitian Cross Sectional. Penelitian cross sectional

merupakan penelitian non eksperimental dalam rangka mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor risiko dengan efek yang berupa penyakit atau status kesehatan tertentu. Variabel yang termasuk faktor risiko dan variabel yang termasuk efek diobservasi sekaligus pada saat yang sama. Pengertian pada saat yang sama disini bukan berarti pada satu saat observasi dilakukan pada semua subjek untuk semua variabel, tetapi tiap subjek hanya diobservasi satu kali saja, dan faktor risiko serta efek diukur menurut keadaan atau status waktu diobservasi (Sumantri, 2011). Desain tersebut dipilih oleh peneliti dengan pertimbangan waktu yang dibutuhkan tidak terlalu banyak, relative murah namun tetap dapat menjelaskan variabel yang diteliti.

B. Tempat dan waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan di 3 Posbindu di naungan wilayah kerja Puskesmas Pisangan Kota Tangerang Selatan pada tahun 2016. Daerah tersebut dipilih karena belum pernah dilakukan penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kepadatan tulang berkaitan dengan asupan kalsium,


(59)

status menopause, aktivitas fisik, perilaku merokok dan kebiasaan mengkonsumsi alkohol pada lansia awal di Puskesmas Pisangan.

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada 11 sampai 22 April 2016.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Setiadi, 2007). Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien yang berusia lansia awal yang datang ke Posbindu untuk memeriksakan kepadatan tulang di wilayah kerja Puskesmas Pisangan.

2. Sampel

Sampel penelitian sebagai unit yang lebih kecil lagi setelah sekelompok individu yang merupakan bagian dari populasi terjangkau dimana peneliti langsung mengumpulkan data atau melakukan pengamatan/ pengukuran pada unit ini. Pada dasarnya penelitian dilakukan pada sampel yang terpilih dari populasi terjangkau (Dharma, 2011). Sampel penelitian ini adalah masyarakat wilayah Pisangan Ciputat yang melakukan pengecekan kepadatan tulang di Posbindu naungan Puskesmas Pisangan menggunakan


(60)

42

teknik Purpossive Sampling dimana sampel yang diambil berdasarkan kriteria yang memenuhi inklusi dan eksklusi yang telah ditentukan peneliti, yaitu:

a. Kriteria Inklusi

1) Kesadaran baik

2) Usia antara 46-55 tahun (lansia awal)

3) Mampu berkomunikasi dengan baik

4) Pasien yang memeriksakan diri di Posbindu naungan Puskesmas

Pisangan

5) Bersedia menjadi responden

Besar sampel/ teknik sampel

Jumlah sampel minimal yang dibutuhkan dalam penelitian ini ditentukan dengan menggunakan rumus pengujian hipotesa beda dua proporsi kelompok independen, yaitu :

Keterangan :


(61)

Z1-α/2 = Nilai Z pada derajat kepercayaan 1-α/2 atau derajat kemaknaan α pada

uji dua sisi, derajat kemaknaan α yang digunakan adalah 5% sehingga nilai Z = 1,96

Z1-β = Nilai Z pada kekuatan uji (power) 1-β, kekuatan uji yang digunaan adalah 95% yaitu dengan nilai Z = 1,64

P = (P1+P2)/2

P1 = Proporsi asupan kalsium (kurang) dengan DMT tidak normal, sebesar

58,4% (Trihapsari, 2009)

P2 = Proporsi asupan kalsium (cukup) dengan DMT tidak normal, sebesar

19% (Trihapsari, 2009)

n = 49,5 = 50

Karena menggunakan rumus uji beda proporsi. Maka hasil dikali dua :

50 X 2 = 100

Untuk menghindari terjadinya sampel yang drop out dan sebagai cadangan maka peneliti menambahkan 10% dari jumlah sampel dalam penelitian ini adalah : 100 + 10 = 110 responden.


(62)

44

D. Metode Pengumpulan Data dan Instrumen Pengumpulan Data 1. Metode Pengumpulan Data

a. Pengambilan data kepadatan tulang

Pengukuran densitas mineral tulang peneliti bekerja sama dengan pihak Diabetasol untuk melakukan peminjaan alat pengukuran kepadatan tulang yang nantinya alat tersebut akan dibawa ke posbindu naungan Puskesmas Pisangan. Proses pengukuran densitas mineral tulang dilakukan kepada seluruh pengunjung posbindu yang datang yang termasuk dalam kriteria inklusi. Pada saat perizinan alat peneliti hanya menghubungi petugas yang bertanggung jawab dengan alat tersebut. Pemeriksaan kepadatan tulang dilakukan oleh petugas dari Deabetasol itu sendiri.

Pengukuran kepadatan mineral tulang dengan metode Quantitative Ultrasound (QUS) dengan keakuratan 97%. Pengukuran ini dilakukan pada tulang kalkaneus (tumit) sebelah kanan responden selama kurang lebih 1 menit. Nilai T-score >-1 menunjukkan DMT normal, nilai T-score

<-1 menunjukkan osteopenia, dan nilai T-score ≤-2,5 menunjukkan

osteoporosis.

b. Sumber Data

Data yang diambil, berasal dari data primer terdiri dari :

1) Data jenis kelamin, status menopause, kebiasaan merokok, dan


(63)

2) Data asupan nutrisi konsumsi Kalsium diperoleh dengan melakukan pengisian formulir Food Frequence Questionnaire Method (FFQ).

3) Data aktivitas fisik diperoleh dari pengisian kuesioner Baecke.

Pengumpulan data dalam penelitian ini peneliti dibantu oleh pihak-pihak terkait seperti, para pegawai di Puskesmas Pisangan Tangerang Selatan, pegawai posbindu, dan para kader. Penelitian ini juga dibantu oleh pihak Deabetasol dalam melakukan pemeriksaan kepadatan tulang, serta para teman-teman dari peneliti juga ikut berperan dalam pengumpulan data tersebut.

2. Instrumen Pengumpulan Data

Berikut merupakan instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian:

a. Quantitative Ultrasound

Quantitative Ultrasound digunakan untuk mengukur kepadatan tulang responden selama kurang lebih 1 menit.

b. Food Frequence Questionnaire Method (FFQ)

Food Frequency Questionnaire Methode (FFQ) adalah metode dietary assessment dalam konteks individual level yang mencatat frekuensi makan individu terhadap suatu bahan makanan (<100) dalam kurun waktu tertentu (hari, minggu, bulan, dan tahun) (Rahmawati, 2010).


(64)

46

c. Baecke Questionnaire

Kuesioner adalah suatu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawab. Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang efisien bila peneliti tahu dengan pasti variabel yang akan diukur dan tahu apa yang bisa diharapkan dari responden (Sugiyono, 2007). pengukuran aktivitas fisik menggunakan kuesioner Baecke et al. (1982) yang terbagi atas tiga subbagian, yaitu aktivitas olahrga, aktivitas saat bekerja, dan aktivitas saat waktu luang.

Tabel 4.1 Cara menghitung skor untuk mengkategorikan aktivitas fisik

No Aktivitas fisik

1 Indeks Waktu Kerja (IWK)

Pertanyaan no A1 s/d A8 dikategorikan menjadi

1. Pekerjaan Ringan : supir, guru, pensiunan, pedagang menetap, IRT

2. Sedang : buruh pabrik, tukang kayu

3. Berat : buruh bangunan, pedagang keliling dan petani

Kemudian diberi skor 1-5 dan dijumlahkan dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

IWK = {no.A1+(6 – no.A2)+no.A3+A4+A5+A6+A7+A8} : 8 2 Indeks Waktu Olahraga (IWO)

Pertanyaan dari no.B1 s/d B5. Kategori untuk no.B1 yaitu

1. Ya

2. Tidak (responden yang tidak olahraga diberi skor 0)


(65)

Intensitas :

1. Tingkat ringan (golf, bowling, memancing) = 0,76

2. Tingkat sedang (bulutangkis, sepeda, senam, renang, jogging) = 1,26

3. Tingkat berat (basket, sepakbola) = 1,76

Waktu :

1. <1 jam/ minggu = 0,5

2. 1-2 jam/mminggu = 1,5

3. 2-3 jam/minggu = 2,5

4. 3-4 jam/minggu = 3,5

5. >4 jam/minggu = 4,5

Proporsi :

1. <1 bulan/tahun = 0,04

2. 1-2 bulan/tahun = 0,17

3. 2-3 bulan/tahun = 0,42

4. 3-4 bulan/tahun = 0,67

5. >4 bulan/tahun = 0,92

Kemudian dihitung dengan rumus : intensitas x waktu x proporsi)

No.B3-B5 dinilai dengan skor 1-5 yang dikategorikan menjadi 5, antara lain :

1. Tidak pernah

2. Jarang

3. Kadang-kadang

4. Sering

5. Sangat sering

Selanjutnya dihitung dengan rumus : IWO = (B2 + B3 + B4 + B5) : 4 3 Indeks Waktu Luang (IWL)

Terdiri dari pertanyaan no.C1 s/d C4 Untuk no.C1 s/d C3 diberi skor 1-5, yaitu :


(66)

48

1. Tidak pernah

2. Jarang

3. Kadang-kadang

4. Sering

5. Sangat sering

Dan untuk kategori no.C4 yaitu : 1. <5 menit

2. 5-15 menit

3. 16-30 menit

4. 31-45 menit

5. >45 menit

Kemudian dijumlahkan dengan menggunakan rumus sebagai berikut : IWL = {(6-no.C1)+no.C2+no.C3+no.C4} : 4

Dari hasil perhitungan masing-masing indeks, kemudian dihitung aktivitas fisik

dengan rumus IWK + IWO + IWL, selanjutnya dikategorikan menjadi 3, yaitu

:

1. Aktivitas ringan : < 5,6 2. Aktivitas sedang : 5,6 – 7,9 3. Aktivitas berat : >7,9

E. Tahap Pengumpulan Data

Pengambilan data dilakukan bulan April tahun 2016. Data yang dihimpun dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dengan menggunakan kuesioner. Ada beberapa tahap yang dilakukan dalam pengumpulan data dalam penelitian ini, yaitu:

1. Setelah tema penelitian disetujui oleh dosen pembimbing, peneliti membuat


(67)

data hasil pemeriksaan kepadatan tulang pada tahun 2015 di wilayah Tangerang selatan untuk menentukan tempat penelitian yang akan dilakukan.

2. Setelah menentukan tempat penelitian yaitu di Puskesmas Pisangan peneliti

membuat surat perizinan kepada kepala Puskesmas Pisangan untuk melakukan penelitian di tempat tersebut.

3. Peneliti bekerja sama dengan pihak Deabetasol untuk melakukan peminjaman

alat pengecekan kepadatan tulang.

4. Selanjutnya, peneliti melakukan pengecekan kepadatan tulang (DMT) dibantu

oleh pihak Deabetasol di Posbindu wilayah cakupan Puskesmas Pisangan dengan alat Quantitative Ultrasound Bone Density.

5. Setelah dilakukan pengukuran DMT peneliti dibantu oleh teman-teman

menyebarkan kuesioner untuk penilaian serta memberikan lembar inform consent dan memberikan penjelasan tentang cara pengisian kuesioner.

6. Setelah data terkumpul, peneliti melakukan pengecekan apakah data yang

terkumpul sudah lengkap atau belum. Setelah lengkap, data diberi kode pada masing-masing pernyataan untuk mempermudah saat analisis data.

7. Setelah data dianalisis selanjutnya menyimpulkan hasil data yang telah


(68)

50

F. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian

1. Hasil Uji Validitas

Validitas menyatakan apa yang seharusnya diukur. Sebuah instrument dikatakan valid jika instrument itu mampu mengukur apa-apa yang seharusnya diukur menurut situasi dan kondisi tertentu (Setiadi, 2007). Hasil uji validitas kuesioner Baecke untuk aktivitas fisik yaitu r=0,8 (Supeni, 2007). Kuesioner perilaku merokok dan kebiasaan minum alkohol dilakukan uji

keterbacaan. Perhitungan dilakukan dengan rumus korelasi Pearson Product

Moment yang rumusnya adalah :

Keterangan :

r = Koefisien korelasi

n = Jumlah responden

X = Skor tiap item pertanyaan

Y = Skor total

(Pratisto, 2005).

2. Hasil Uji Reliabilitas

Setelah mengukur validitas, peneliti perlu mengukur reliabilitas data, apakah alat ukur dapat digunakan atau tidak. Reliabilitas instrument adalah


(69)

adanya suatu kesamaan hasil apabila pengukuran dilakukan oleh orang yang berbeda ataupun waktu yang berbeda (Setiadi, 2007).

Teknik pengujian pada penelitian ini menggunakan teknik Alpha

Cronbach (α), dalam uji reliabilitas r hasil adalah alpha. Hasil uji reliabilitas untuk kuesioner aktivitas fisik yaitu r=0,8 (Supeni, 2007).

G. Pengolahan Data

Dalam melakukan analisa, data terlebih dahulu harus diolah dengan tujuan mengubah data informasi. Dalam statistik, informasi yang diperoleh dipergunakan untuk proses pengambilan keputusan terutama dalam pengujian hipotesis. Dalam proses pengolahan data terdapat langkah-langkah yang harus ditempuh, diantarannya (Hidayat, 2008).

1. Editing

Editing merupakan upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang

diperoleh atau dikumpulkan. Editing dapat dilakukan pada tahap

pengumpulan data atau setelah data terkumpul. Kegiatan yang dilakukan

dalam editing adalah pengecekan dari sisi kelengkapan, relevansi, dan

konsistensi jawaban. Peneliti memeriksa kelengkapan data dengan cara memastikan bahwa jumlah kuesioner yang terkumpul sudah memenuhi jumlah sampel minimal yang ditentukan dan memeriksa apakah setiap pertanyaan dalam kuesioner sudah terjawab dan jelas. Relevansi dan


(70)

52

konsistensi jawaban diperiksa dengan cara melihat apakah ada data yang bertentangan dengan data lain.

2. Coding

Coding merupakan kegiatan pemberian kode numerik (angka) terhadap data yang terdiri atas beberapa kategori. Biasanya dalam pemberian kode dibuat juga daftar kode untuk memudahkan kembali melihat lokasi dan arti suatu kode dari suatu variabel. Kepadatan tulang diberi kode 1=normal, 2=osteopenia, dan 3=osteoporosis; jenis kelamin diberi kode 1=perempuan, 2=laki-laki; status menopause diberi kode 1=belum menopause, 2=sudah menopause; asupan kalsium diberi kode 1=cukup, 2=kurang; aktivitas fisik diberi kode 0=ringan, 1=sedang, dan 2=berat; perilaku merokok diberi kode 0=tidak merokok, 1=merokok; dan kebiasaan mengkonsumsi alkohol diberi kode 0=tidak mengkonsumsi alkohol, 1=mengkonsumsi alkohol. Kegiatan ini dilakukan apabila semua kuesioner sudah diedit atau disunting.

3. Entry Data

Entry Data merupakan kegiatan memasukkan data yang telah dikumpulkan kedalam master table atau data base computer, kemudian membuat distribusi frekuensi sederhana. Program untuk analisis data : SPSS. Data yang dimasukkan berupa kepadatan tulang, jenis kelamin, status menopause, asupan nutrisi kalsium, aktivitas fisik, perilaku merokok, dan kebiasaan merokok.


(71)

4. Processing Data

Setelah semua isian kuesioner terisi penuh dan benar, dan juga data sudah dikoding, maka langkah selanjutnya adalah memproses data agar dianalisis. Proses pengolahan data dilakukan dengan cara memindahkan data dari kuesioner ke paket program komputer pengolahan data statistik.

5. Cleaning data

Cleaning data merupakan kegiatan memeriksa kembali data yang sudah di-entry, apakah ada kesalahan atau tidak. Kesalahan mungkin terjadi pada saat meng-entry data ke komputer. Hal ini dilakukan ketika semua data dan variabel sudah dimasukkan ke dalam SPSS. Sebelum dilakukan analisis, peneliti mengecek kembali pengkodean yang sudah di cantumkan dalam variabel tersebut apakah sesuai atau tidak. Ditemukan hasil tidak ada missing data dan tidak ada kesalahan input.

H. Analisa Data

1. Analisa Univariat

Analisa univariat digunakan untuk melihat distribusi frekuensi variabel dependen dan independen. Variabel independen diantaranya faktor jenis kelamin, pemenuhan kebutuhan kalsium, status menopause, aktivitas fisik, dan gaya hidup (perilaku merokok dan kebiasaan minum alkohol). Sedangkan variabel dependen yaitu kepadatan tulang.


(72)

54

2. Analisa Bivariat

Analisa bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel yaitu variabel dependen (kepadatan tulang) dengan variabel independen (jenis kelamin, pemenuhan kebutuhan kalsium, status menopause, aktivitas fisik, dan gaya hidup : perilaku merokok dan kebiasaan minum

alkohol). Teknik analisa yang digunakan adalah analisa Chi-Square dengan

menggunakan derajat kepercayaan 95% sehingga jika nilai p ≤ 0,05 berarti

hasil perhitungan statistic bermakna (signifikan) atau menunjukkan ada hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen, dan apabila nilai p > 0,05 berarti hasil perhitungan statistik tidak bermaknaatau tidak ada hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen.

I. Etika Penelitian

Masalah etika dalam penelitian keperawatan merupakan masalah yang sangat penting dalam penelitian mengingat peneliti keperawatan akan berhubungan langsung dengan manusia, maka segi etika peneliti harus diperhatikan karena manusia mempunyai hak asasi dalam kegiatan penelitian (Hidayat, 2008). Kode etik penelitian adalah suatu pedoman etika yang berlaku untuk setiap kegiatan penelitian yang melibatkan antara pihak peneliti, pihak yang diteliti (subjek penelitian) dan masyarakat yang akan memperoleh dampak hasil penelitian tersebut. Etika penelitian ini mencakup juga perilaku peneliti atau perlakuan peneliti terhadap subjek penelitian serta sesuatu yang dihasilkan oleh


(1)

Hasil Analisis Bivariat

Crosstabs

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Jenis Kelamin * Bone Mineral Density

110 100.0% 0 0.0% 110 100.0%

Jenis Kelamin * Bone Mineral Density Crosstabulation

Bone Mineral Density Total

Normal Tidak Normal

Jenis Kelamin

Perempuan Count 9 89 98

% within Jenis Kelamin 9.2% 90.8% 100.0%

Laki-laki Count 0 12 12

% within Jenis Kelamin 0.0% 100.0% 100.0%

Total Count 9 101 110

% within Jenis Kelamin 8.2% 91.8% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig.

(2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 1.200a 1 .273

Continuity Correctionb .289 1 .591

Likelihood Ratio 2.175 1 .140

Fisher's Exact Test .593 .339

Linear-by-Linear Association 1.189 1 .275

N of Valid Cases 110

a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .98. b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value 95% Confidence Interval

Lower Upper

.908 .853 .967


(2)

Crosstabs

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Status Menopause * Bone Mineral Density

98 100.0% 0 0.0% 98 100.0%

Status Menopause * Bone Mineral Density Crosstabulation

Bone Mineral Density Total

Normal Tidak Normal

Status Menopause

Sudah Menopause

Count 2 53 55

% within Bone Mineral Density

22.2% 59.6% 56.1%

Belum Menopause

Count 7 36 43

% within Bone Mineral Density

77.8% 40.4% 43.9%

Total

Count 9 89 98

% within Bone Mineral Density

100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

df Asymp. Sig.

(2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

1 .032

1 .072

1 .030

.040 .036

1 .032

a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.95. b. Computed only for a 2x2 table


(3)

Risk Estimate

Value 95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for Status Menopause (Sudah Menopause / Belum Menopause)

.194 .038 .988

For cohort Bone Mineral Density = Normal

.223 .049 1.021

For cohort Bone Mineral Density = Tidak Normal

1.151 .999 1.326

N of Valid Cases 98

Crosstabs

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Nutrisi * Bone Mineral Density

110 100.0% 0 0.0% 110 100.0%

Nutrisi * Bone Mineral Density Crosstabulation

Bone Mineral Density Total

Normal Tidak Normal

Nutrisi

kurang

Count 5 81 86

% within Bone Mineral Density

55.6% 80.2% 78.2%

cukup

Count 4 20 24

% within Bone Mineral Density

44.4% 19.8% 21.8%

Total

Count 9 101 110

% within Bone Mineral Density


(4)

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig.

(2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 2.942a 1 .086

Continuity Correctionb 1.675 1 .196

Likelihood Ratio 2.522 1 .112

Fisher's Exact Test .102 .102

Linear-by-Linear Association 2.915 1 .088

N of Valid Cases 110

a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.96. b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value 95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for Nutrisi (kurang / cukup)

.309 .076 1.255

For cohort Bone Mineral Density = Normal

.349 .102 1.199

For cohort Bone Mineral Density = Tidak Normal

1.130 .938 1.362

N of Valid Cases 110

Crosstabs

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Aktivitas Fisik * Bone Mineral Density


(5)

Aktivitas Fisik * Bone Mineral Density Crosstabulation

Bone Mineral Density Total

Normal Tidak Normal

Aktivitas Fisik

Ringan

Count 0 2 2

% within Aktivitas Fisik 0.0% 100.0% 100.0%

Sedang

Count 4 47 51

% within Aktivitas Fisik 7.8% 92.2% 100.0%

Berat

Count 5 52 57

% within Aktivitas Fisik 8.8% 91.2% 100.0%

Total

Count 9 101 110

% within Aktivitas Fisik 8.2% 91.8% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig.

(2-sided)

Pearson Chi-Square .212a 2 .899

Likelihood Ratio .375 2 .829

Linear-by-Linear Association .105 1 .746

N of Valid Cases 110

a. 4 cells (66.7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .16.

Crosstabs

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Perilaku Merokok * Bone Mineral Density


(6)

Perilaku Merokok * Bone Mineral Density Crosstabulation

Bone Mineral Density Total

Normal Tidak Normal

Perilaku Merokok

Tidak Merokok

Count 9 91 100

% within Perilaku Merokok 9.0% 91.0% 100.0%

Merokok

Count 0 10 10

% within Perilaku Merokok 0.0% 100.0% 100.0%

Total

Count 9 101 110

% within Perilaku Merokok 8.2% 91.8% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig.

(2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square .980a 1 .322

Continuity Correctionb .148 1 .700

Likelihood Ratio 1.794 1 .180

Fisher's Exact Test 1.000 .410

Linear-by-Linear Association .971 1 .324

N of Valid Cases 110

a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .82. b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value 95% Confidence Interval

Lower Upper

For cohort Bone Mineral Density = Tidak Normal

.910 .856 .968