nilai nilai pancasila dan praktik kehidupan
Pada gelombang pertama ini Soekarno dan beserta anggota Tim Sembilan
merumuskan tentang dasar negara yangb kemudian akan dicantumkan
dalam Pembukaan UUD 1945. Dalam pembukaan tersebut dicantumkan
“dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Namun Hatta kemudian menerima pesan bahwa masyarakat Indonesia Timur
keberatan akan “tujuh kata” tersebut dan tidak bersedia bergabung dalam
Indonesia jika itu tetap dicantumkan. Setelah dirundingkan kembali, “tujuh
kata” tersebut dihilangkan dan disempurnakan dalam “Ketuhanan yang
Maha Esa” yang dapat meng-cover agama-agama yang ada di belahan
timur, tengah maupun barat. UUD 1945 kemudian disahkan pada 18 Agustus
1945 tanpa mempermasalahkan lagi syariat islam.
Pada gelombang kedua, tahun 1955 dibentuk badan KOnstituante yang akan
merancang kembali PAncasila. Dinamakan masa perdebatan karena hal
utama yang diperdebatkan adalah apakah Pancasila sebagai dasar negara
atau ideologoi lain. Partai islam serta beberapa tokoh islam seperti Hamka
mengajukan islam sebagai dasar negara sementara partai nasionalis tetap
mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara. Oleh Soekarno, akhirnya
badan Konstituante dibubarkan pada tanggal 1 Juli 1959 dan Indonesia
kembali berdasar kepada Pancasila.
Pada Masa Rekayasa, nilai-nilai Pancasila direduksi pada masa pemerintaha
Soeharto. Pancasila. Pancasila dijadikan sebagai asas tunggal untuk setiap
organisasi masyarakat dan partai politik. TAP MPR tentang Penataran
Pancasila yang dikeluarkam pada tahun 1978 dikampanyekan secara
nasional keseluruh elemen pemerintahan dan pendidikan. Pancasila hanya
dijadikan sebagai objek hafalan dan hasil dari penataran yang dilakukan
selama 10 tahun itu tidak memiliki hasil yang jelas.
Pada Masa Penemuan Kembali, BP7 (Badan Pembinaan Pendidikan
Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dibubarkan,
sedangkan penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila)
dihapuskan. Pancasila tetap diajarkan dalam sekolah dan perguruan tinggi.
Hari lahir Pancasila yang pada masa pemerintahan Soeharto dilarang, mulai
diperingati kembali. Ancaman ekonomi dan perpecahan antar-elemen
masyarakat kembali merujuk pada sesuatu yang dapat merekatkan
persatuan dan kesatuan yakni Pancasila.
Untuk “menemukan kembali” nilai-nilai Pancasila yang semakin hari semakin
tereduksi oleh globalisasi dan liberalisasi, ada beberapa hal yang harus
diperhatikan. Menurut Talcott Parsons dalam bukunya “Social System” ada
empat paradigma fungsi yang harus dilakukan oleh masyarakat untuk tetap
eksis dan lestari.
Pertama, pattern maintenance, kemampuan memelihara sistem nilai budaya
yang dianut karena budaya adalah endapan perilaku manusia. Budaya
masyarakat itu akan berubah karena terjadi transformasi nilai dari
masyarakat terdahulu ke masyarakat kemudian, tetapi dengan tetap
memelihara nilai-nilai yang dianggapnya luhur, karena tanpa hal itu akan
terbentuk masyarakat baru yang lain.
Kedua, kemampuan masyarakat beradaptasi dengan dunia yang berubah
dengan cepat. Sejarah membuktikan banyak peradaban masyarakat yang
telah hilang karena tidak mampu beradaptasi dengan perubahan dunia.
Masyarakat yang mampu menyesuaikan diri dengan perubahan serta
memanfaatkan peluang yang timbul akan unggul.
Ketiga, adanya fungsi integrasi dari unsur-unsur masyarakat yang beragam
secara terus-menerus sehingga terbentuk kekuatan sentripetal yang kian
menyatukan masyarakat itu.
Keempat, masyarakat perlu memiliki goal attainment atau tujuan bersama
yang dari masa ke masa bertransformasi karena terus diperbaiki oleh
dinamika masyarakatnya dan oleh para pemimpinnya. ( Husodo, Siswono
Yudo. 2005. “Pancasila dan Keberlanjutan NKRI”. Kompas, 2 Juli.)
Pendapat Parsons di atas dapat dijadikan sebagai acuan untuk
mengembalikan nilai-nilai Pancasila yang semakin memudar. Keempat
peradigma fungsi Parsons harus diimplementasikan masyarakat Indonesia
agar dapat tetap hidup dan berkembang yang terkristalisasi dalam Pancasila
sebagai ideology. Kemampuan masyarakat yang tetap mampu bertahan di
tengah arus liberalisasi dan globalisasi dengan tetap mempertahankan nilainilai budaya adalah salah satu caranya. Kebudayaan kini menjadi salah satu
yang paling rentan terhadap ancaman tersebut. Nilai-nilai luhur tetap terus
dijaga dapat mempererat persatuan dan kesatuan bangsa.
Hampir sama dengan Asvi Warman Adam, Kenneth E. Boulding membagi
tahap perkembangan ideology menjadi tiga tahapan: Emergence
(kemunculan), Decline (kemunduran) dan Resurgence of Ideologies
(kebangkitan kembali suatu ideology). Dalam hal ini, kita harus berusaha
untuk membangkitkan kembali ideology Pancasila. Pancasila perlu
disosialisasikan kepada masyarakat Indonesia, karena yang perlu kita
masing-masing sadari bahwa dalam sejarah kita mungkin telah melewati
Fase Decline namun pada kenyataannya kita masih berada dalam fase
tersebut. Keberhasilan Pancasila sebagai suatu ideologi akan diukur dari
terwujudnya kemajuan yang pesat, kesejahteraan yang tinggi, dan persatuan
yang mantap dari seluruh rakyat Indonesia.
Untuk itu, peran kaum terpelajarlah yang dapat mengartikulasikan keinginan
rakyat yang seharusnya untuk maju dan menjawab tantangan yang dihadapi
bangsa sekarang ini dengan bersatu padu. Konsep dan praktik kehidupan
yang Pancasilais terutama harus diwujudkan dalam keseharian para
pemimpin, para penguasa, para pengusaha, dan kaum terpelajar Indonesia
untuk menjadi pelajaran masyarakat luas.
merumuskan tentang dasar negara yangb kemudian akan dicantumkan
dalam Pembukaan UUD 1945. Dalam pembukaan tersebut dicantumkan
“dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Namun Hatta kemudian menerima pesan bahwa masyarakat Indonesia Timur
keberatan akan “tujuh kata” tersebut dan tidak bersedia bergabung dalam
Indonesia jika itu tetap dicantumkan. Setelah dirundingkan kembali, “tujuh
kata” tersebut dihilangkan dan disempurnakan dalam “Ketuhanan yang
Maha Esa” yang dapat meng-cover agama-agama yang ada di belahan
timur, tengah maupun barat. UUD 1945 kemudian disahkan pada 18 Agustus
1945 tanpa mempermasalahkan lagi syariat islam.
Pada gelombang kedua, tahun 1955 dibentuk badan KOnstituante yang akan
merancang kembali PAncasila. Dinamakan masa perdebatan karena hal
utama yang diperdebatkan adalah apakah Pancasila sebagai dasar negara
atau ideologoi lain. Partai islam serta beberapa tokoh islam seperti Hamka
mengajukan islam sebagai dasar negara sementara partai nasionalis tetap
mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara. Oleh Soekarno, akhirnya
badan Konstituante dibubarkan pada tanggal 1 Juli 1959 dan Indonesia
kembali berdasar kepada Pancasila.
Pada Masa Rekayasa, nilai-nilai Pancasila direduksi pada masa pemerintaha
Soeharto. Pancasila. Pancasila dijadikan sebagai asas tunggal untuk setiap
organisasi masyarakat dan partai politik. TAP MPR tentang Penataran
Pancasila yang dikeluarkam pada tahun 1978 dikampanyekan secara
nasional keseluruh elemen pemerintahan dan pendidikan. Pancasila hanya
dijadikan sebagai objek hafalan dan hasil dari penataran yang dilakukan
selama 10 tahun itu tidak memiliki hasil yang jelas.
Pada Masa Penemuan Kembali, BP7 (Badan Pembinaan Pendidikan
Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dibubarkan,
sedangkan penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila)
dihapuskan. Pancasila tetap diajarkan dalam sekolah dan perguruan tinggi.
Hari lahir Pancasila yang pada masa pemerintahan Soeharto dilarang, mulai
diperingati kembali. Ancaman ekonomi dan perpecahan antar-elemen
masyarakat kembali merujuk pada sesuatu yang dapat merekatkan
persatuan dan kesatuan yakni Pancasila.
Untuk “menemukan kembali” nilai-nilai Pancasila yang semakin hari semakin
tereduksi oleh globalisasi dan liberalisasi, ada beberapa hal yang harus
diperhatikan. Menurut Talcott Parsons dalam bukunya “Social System” ada
empat paradigma fungsi yang harus dilakukan oleh masyarakat untuk tetap
eksis dan lestari.
Pertama, pattern maintenance, kemampuan memelihara sistem nilai budaya
yang dianut karena budaya adalah endapan perilaku manusia. Budaya
masyarakat itu akan berubah karena terjadi transformasi nilai dari
masyarakat terdahulu ke masyarakat kemudian, tetapi dengan tetap
memelihara nilai-nilai yang dianggapnya luhur, karena tanpa hal itu akan
terbentuk masyarakat baru yang lain.
Kedua, kemampuan masyarakat beradaptasi dengan dunia yang berubah
dengan cepat. Sejarah membuktikan banyak peradaban masyarakat yang
telah hilang karena tidak mampu beradaptasi dengan perubahan dunia.
Masyarakat yang mampu menyesuaikan diri dengan perubahan serta
memanfaatkan peluang yang timbul akan unggul.
Ketiga, adanya fungsi integrasi dari unsur-unsur masyarakat yang beragam
secara terus-menerus sehingga terbentuk kekuatan sentripetal yang kian
menyatukan masyarakat itu.
Keempat, masyarakat perlu memiliki goal attainment atau tujuan bersama
yang dari masa ke masa bertransformasi karena terus diperbaiki oleh
dinamika masyarakatnya dan oleh para pemimpinnya. ( Husodo, Siswono
Yudo. 2005. “Pancasila dan Keberlanjutan NKRI”. Kompas, 2 Juli.)
Pendapat Parsons di atas dapat dijadikan sebagai acuan untuk
mengembalikan nilai-nilai Pancasila yang semakin memudar. Keempat
peradigma fungsi Parsons harus diimplementasikan masyarakat Indonesia
agar dapat tetap hidup dan berkembang yang terkristalisasi dalam Pancasila
sebagai ideology. Kemampuan masyarakat yang tetap mampu bertahan di
tengah arus liberalisasi dan globalisasi dengan tetap mempertahankan nilainilai budaya adalah salah satu caranya. Kebudayaan kini menjadi salah satu
yang paling rentan terhadap ancaman tersebut. Nilai-nilai luhur tetap terus
dijaga dapat mempererat persatuan dan kesatuan bangsa.
Hampir sama dengan Asvi Warman Adam, Kenneth E. Boulding membagi
tahap perkembangan ideology menjadi tiga tahapan: Emergence
(kemunculan), Decline (kemunduran) dan Resurgence of Ideologies
(kebangkitan kembali suatu ideology). Dalam hal ini, kita harus berusaha
untuk membangkitkan kembali ideology Pancasila. Pancasila perlu
disosialisasikan kepada masyarakat Indonesia, karena yang perlu kita
masing-masing sadari bahwa dalam sejarah kita mungkin telah melewati
Fase Decline namun pada kenyataannya kita masih berada dalam fase
tersebut. Keberhasilan Pancasila sebagai suatu ideologi akan diukur dari
terwujudnya kemajuan yang pesat, kesejahteraan yang tinggi, dan persatuan
yang mantap dari seluruh rakyat Indonesia.
Untuk itu, peran kaum terpelajarlah yang dapat mengartikulasikan keinginan
rakyat yang seharusnya untuk maju dan menjawab tantangan yang dihadapi
bangsa sekarang ini dengan bersatu padu. Konsep dan praktik kehidupan
yang Pancasilais terutama harus diwujudkan dalam keseharian para
pemimpin, para penguasa, para pengusaha, dan kaum terpelajar Indonesia
untuk menjadi pelajaran masyarakat luas.