Stilistika: Teori, Metode, dan Aplikasi Pengkajian Estetika Bahasa

(1)

STILISTIKA

Teori, Metode, dan Aplikasi

Pengkajian Estetika Bahasa


(2)

ii Persembahan untuk istri tercintaku, Dr. Farida Nugrahani, M.Hum.

dan ketiga buah cintaku: Afrida Putritama, Alifia Fithritama, dan Aisya Fikritama Aditya

yang senantiasa memotivasi ayahandanya untuk segera menyelesaikan penulisan buku ini


(3)

iii KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Swt. yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulisan buku Stilistika Teori, Metode, dan Aplikasi Pengkajian Estetika Bahasa ini selesai tepat pada waktunya.

Stilistika merupakan cabang Linguistik terapan yang memfokuskan studinya pada estetika bahasa dengan segala keunikan dan kekhasannya dalam berbagai karya, baik karya sastra, iklan, maupun wacana lainnya.. Sebagai sebuah cabang keilmuan, Stilistika tergolong relatif baru dan kini banyak sekali komunitas linguistik dan sastra yang berminat mendalaminya. Sayang buku referensi Stilistika relatif sedikit dan tidak mudah ditemukan. Buku ini disusun guna memberikan alternatif bagi peminat Stilistika dalam menambah referensi.

Buku ini lebih merupakan sebuah pengantar teori pengkajian estetika bahasa karya sastra mengingat pembahasan Stilistika dan seluk-beluknya belum mendalam lebih-lebih mendetail. Namun demikian, jika pembaca dapat memahami Stilistika dengan segala definisi, fungsi, tujuan, bidang kajian, dan langkah-langkah dalam pengkajian estetika bahasa sastra dan wacana lain, maka tujuan penulisan buku ini tercapai.

Terima kasih dan penghargaan yang tinggi dilayangkan kepada Prof Dr. Rachmat Djoko Pradopo, senior sekaligus guru besar penulis yang telah banyak memberikan kontribusi pemikiran kepada penulis dalam mendalami Stilistika. Demikian pula terima kasih ditujukan kepada Bapak H. Zainal Abidin Zein, pimpinan penerbit beserta stafnya yang telah berkenan menerbitkan buku ini. Tanpa bantuan mereka, penerbitan buku ini rasanya tidak akan terlaksana. Semoga Tuhan membalas kebaikan mereka dengan pahala berlipat ganda.

Tiada gading yang tak retak. Demikian pula buku ini. Oleh karena itu, saran dan kritik yang konstruktif diharapkan demi penyempurnaan buku ini.

Surakarta, Maret 2010 Penulis,


(4)

iv DAFTAR ISI

Halaman Judul i

Halaman Persembahan ii Kata Pengantar iii

Daftar Isi iv

BAB I PENDAHULUAN A. Bahasa Karya Sastra 1 B. Ciri Khas Bahasa Sastra 3

BAB II STYLE’GAYA BAHASA’ DAN STILISTIKA 6 A. Style’Gaya Bahasa 6

B. Stilistika (Stylistics) 8

BAB III FUNGSI STYLE‘GAYA BAHASA’ DAN TUJUAN

STILISTIKA 12

A. Fungsi Style‘Gaya Bahasa’ 12 B. Tujuan Stilistika 12

BAB IV BIDANG KAJIAN DAN JENIS KAJIAN STILISTIKA 16 A. Bidang Kajian Stilistika 16

B. Jenis Kajian Stilistika 19

BAB V STILISTIKA, ESTETIKA, RETORIKA, DAN IDEOLOGI 21 BAB VI STYLE’GAYA BAHASA, EKSPRESI PENGARANG,

DAN GAGASAN 24

BAB VII KAJIAN LINGUISTIK DAN KARYA SASTRA 26

BAB VIII STILISTIKA DAN SEMANTIK DALAM KAJIAN STILISTIKA 31 BAB IX KAJIAN STILISTIKA DALAM KARYA SASTRA 35

A. Kajian Stilistika 35

B. Style’Gaya Bahasa’: Foregrounding, Defamiliarisasi, dan Deotomatisasi 37 C. Aspek Stilistika dalam Kajian Karya Sastra 38

1. Gaya Bunyi (Fonem) 38 2. Gaya Kata (Diksi) 40 3. Gaya Kalimat 47


(5)

v 4. Gaya Wacana 48

5. Bahasa Figuratif (Figurative Language) 49 a. Majas 50

b. Idiom 60

c. Peribahasa 60 6. Citraan (Imagery) 63

BAB X TEORI SEMIOTIK, INTERTEKS, RESEPSI SASTRA, DAN HERMENEUTIK DALAM PENGKAJIAN STILISTIKA 75 A. Teori Semiotik 75

B. Teori Interteks 80

C. Teori Resepsi Sastra 83 D. Teori Hermeneutik 85

BAB XI TAHAPAN DALAM PENGKAJIAN STILISTIKA KARYA SASTRA 89

BAB XII GAYA BAHASA DAN SARANA RETORIKA DALAM KARYA SASTRA 93

A. Sarana Retorika Berdasarkan Struktur Kalimat 93 B. Bahasa Figuratif sebagai Sarana Retoriksa 102 DAFTAR PUSTAKA 110

INDEKS 117

LAMPIRAN-LAMPIRAN 120

Lampiran 1: Penelitian Stilistika Puisi 120 Lampiran 2: Penelitian Stilistika Fiksi 152


(6)

BAB III

FUNGSI STYLE ‘GAYA BAHASA’ DAN TUJUAN STILISTIKA A. Fungsi Style ‘Gaya Bahasa’

Gaya bahasa tidak ubahnya sebagai aroma dalam makanan yang berfungsi untuk meningkatkan selera. Gaya bahasa merupakan bentuk retorika, yakni penggunaan kata-kata dalam berbicara dan menulis untuk mempengaruhi pembaca atau pendengar (Tarigan, 1986: 5). Jadi, gaya bahasa berfungsi sebagai alat untuk meyakinkan atau mempengaruhi pembaca atau pendengar. Gaya bahasa juga berkaitan dengan situasi dan suasana karangan. Artinya, gaya bahasa menciptakan suasana hati tertentu, misalnya, kesan baik atau buruk, senang, tidak enak, yang diterima karena pelukisan tempat, peristiwa, dan kedaaan tertentu (Ahmadi dalam Aminuddin (Ed.), 1990: 169).

Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa fungsi gaya bahasa dalam karya sastra adalah sebagai alat untuk:

(1) meninggikan selera, artinya, dapat meningkatkan minat pembaca/ pendengar untuk mengikuti apa yang disampaikan pengarang/ pembicara;

(2) mempengaruhi atau meyakinkan pembaca atau pendengar, artinya dapat membuat pembaca semakin yakin dan mantap terhadap apa yang disampaikan pengarang/ pembicara;

(3) menciptakan keadaan perasaan hati tertentu, artinya dapat membawa pembaca hanyut dalam suasana hati tertentu, seperti kesan baik atau buruk, perasaan senang atau tidak senang, benci, dan sebagainya setelah menangkap apa yang dikemukakan pengarang;

(4) memperkuat efek terhadap gagasan, yakni dapat membuat pembaca terkesan oleh gagasan yang disampaikan pengarang dalam karyanya.

B. Tujuan Stilistika

Stilistika, bahkan yang mengikuti jalur-jalur bahasa secara ketat sekali pun pada akhirnya harus dilandasi oleh pranata yang dikembangkan oleh para pakar sastra (Widdowson, 1979: 1). Oleh karena itu, kajian stilistika ini akan


(7)

13

beranjak menuju pengkajian sastra berdasarkan jalur bahasa, namun tetap difokuskan pada kritik sastra.

Dalam kedudukannya sebagai teori dan pendekatan penelitian karya sastra yang berorientasi linguistik (dengan parameter linguistik), stilistika mempunyai tujuan sebagai berikut.

Pertama, stilistika untuk menghubungkan perhatian kritikus sastra dalam apresiasi estetik dengan perhatian linguis dalam deskripsi linguistik, seperti yang dikemukakan oleh Leech dan Short (1984:13).

Kedua, stilistika untuk menelaah bagaimana unsur-unsur bahasa ditempatkan dalam menghasilkan pesan-pesan aktual lewat pola-pola yang digunakan dalam sebuah karya sastra (Widdowson, 1979: 202).

Ketiga, stilistika untuk menghubungkan intuisi-intuisi tentang makna-makna dengan pola-pola bahasa dalam teks (sastra) yang dianalisis. Carter (1982: 5) menyatakan bahwa pembaca sastra terutama terlibat dalam sebuah respon interpretatif yang mengacu kepada bahasa yang telah diketahuinya. Artinya, secara intuitif orang merasakan bahwa apa yang dibaca termasuk aneh dalam pengungkapannya dan/ atau terdengar harmonis. Intuisi dan impresi demikian pada dasarnya merupakan respon terhadap bahasa. Untuk menerangkan dan memperkokoh intuisi tersebut, diperlukan bukti-bukti yang diperoleh berdasarkan metode yang dapat memberikan kepastian untuk mengungkapkan intuisi pertama tadi secara lebih eksplisit dan bermakna.

Keempat, stilistika untuk menuntun pemahaman yang lebih baik terhadap makna yang dikemukakan pengarang dalam karyanya dan memberikan apresiasi yang lebih terhadap kemampuan bersastra pengarangnya (Brooke, 1970: 131). Kelima, stilistika untuk menemukan prinsip-prinsip artistik yang mendasari pemilihan bahasa seorang pengarang. Sebab, setiap penulis memiliki kualitas individual masing-masing (Leech dan Short, 1984: 74).

Keenam, kajian stilistika akan menemukan kiat pengarang dalam memanfaatkan kemungkinan yang tersedia dalam bahasa sebagai sarana pengungkapan makna dan efek estetik bahasa (Sudjiman, 1995: v-vi).


(8)

14

Jadi, pada dasarnya, tujuan kajian stilistika adalah untuk: (1) merespon teks yang dianalisis sebagai sebuah karya sastra, dan (2) mengobservasi bahasa karya sastra tersebut. Spitzer (dalam Leech & Short, 1984: 13) menggambarkan kedua kemampuan tersebut sebagai lingkaran siklus (cycle) yang saling mengisi, dalam bagan berikut.

Bagan 1

Lingkaran Tujuan Kajian Stilistika Apresiasi Sastra

A B

Deskripsi Linguistik

Bagan tersebut menjelaskan bahwa tujuan kajian Stilistika berada pada dua sisi, yaitu pertama mencari fungsi estetik karya sastra dan kedua mencari bukti-bukti linguistik. Dalam proses mencari fungsi estetik, proses kajian statistika berkisar pada apresiasi sastra. Adapun proses kajian linguistik berkisar pada deskripsi segi-segi linguistik yang ada dalam karya sastra. Dalam hal ini, baik tahap deskripsi linguistik maupun tahap apresiasi sastra merupakan suatu kesatuan proses yang saling mendukung dan bersifat siklus (dengan siklus A dan B).

Berpijak pada pandangan tersebut, kajian stilistika karya sastra dapat dilakukan dengan mengacu pada pendekatan model Abrams dalam analisis karya sastra dengan tahap-tahp sebagai berikut. Pertama, analisis stilistika karya sastra berupa pemberdayaan segenap potensi bahasa karya sastra melalui eksploitasi dan manipulasi bentuk dan satuan kebahasaan sebagai tanda linguistik (faktor objektif). Kedua, analisis makna stilistika karya sastra sebagai media ekspresi sastrawan dengan memperhatikan latar belakang sosiohistoris Tohari sebagai pengarang (faktor ekspresif) dan kondisi sosial budaya masyarakat ketika karya Proses mencari

bukti-bukti linguistik Proses

mencari fungsi estetik


(9)

15

sastra itu lahir atau diciptakan oleh sastrawan (faktor mimetik) berdasarkan resepsi pembaca (faktor pragmatik).

Dalam aplikasinya, kajian stilistika karya sastra ditinjau dari kompleksitasnya terbagi menjadi dua macam. Pertama, kajian stilistika karya sastra yang difokuskan pada pemberdayaan segenap potensi bahasa melalui eksploitasi dan manipluasi bahasa sebagai tanda-tanda linguistik semata. Tanda-tanda linguistik itu meliputi keunikan dan kekhasan bunyi bahasa, diksi, kalimat, wacana, bahasa figuratif, dan citraan.

Kedua, kajian stilistika yang secara lengkap mengkaji pemanfataan berbagai bentuk kebahasaan yang sengaja diciptakan oleh sastrawan dalam karya sastra sebagai media ekspresi gagasannya. Pada jenis kedua ini, selain dikaji fenomena kabahasaan dalam karya sastra sebagai tanda-tanda linguistik juga dikaji dan diinterpretasikan gagasan atau makna apa yang sekiranya ingin dikemukakan sastrawan melalui stilistika sebagai sarana sastra dalam karyanya.


(10)

BAB II

STYLE ’GAYA BAHASA’ DAN STILISTIKA A. Style ’Gaya Bahasa’

Kata style (bahasa Inggris) berasal dari kata Latin stilus yang berarti alat (berujung tajam) yang dipakai untuk menulis di atas lempengan lilin (Shipley, 1979: 314; Leech & Short, 1984: 13). Kata stilus kemudian dieja menjadi stylus oleh penulis-penulis selanjutnya karena ada kesamaan makna dengan bahasa Yunani stulos (a pilar, bahasa Inggris) yang berarti alat tulis yang terbuat dari logam, kecil, dan berbentuk batang memiliki ujung yang tajam. Alat tersebut digunakan juga untuk menulis di atas kertas berlapis lilin (Scott, 1980: 280). Pada perkembangan dalam bahasa Latin kemudian, stylus memiliki arti khusus yang mendeskripsikan tentang penulisan; kritik terhadap kualitas sebuah tulisan.

Dalam buku ini, sesuai dengan kontek kajiannya yakni karya sastra yang bermediumkan bahasa, style diartikan sebagai 'gaya bahasa'. Gaya bahasa adalah cara pemakaian bahasa dalam karangan, atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan (Abrams, 1981: 190-191). Menurut Leech & Short (1984: 10), style menyaran pada cara pemakaian bahasa dalam konteks tertentu, oleh pengarang tertentu, untuk tujuan tertentu. Gaya bahasa bagi Ratna (2007: 232) adalah keseluruhan cara pemakaian (bahasa) oleh pengarang dalam karyanya. Hakikat ‘style’ adalah teknik pemilihan ungkapan kebahasaan yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang diungkapkan.

Dalam penciptaan karya sastra pun, gaya bahasa mengikuti konsep di atas. Ia menjadi gaya bahasa sastra karena memang ditulis dalam konteks kesusasteraan, ditujukan untuk memperoleh efek estetik dan 'membungkus' gagasan tertentu. Adanya konteks, bentuk, dan tujuan tertentu itulah yang menentukan gaya suatu karya. Oleh karena itu, gaya bahasa selalu berkaitan dengan selera pribadi pengarang dan kepekaannya terhadap masalah di lingkungannya. Gaya bahasa, demikian Carlyle, bukan hanya baju, melainkan kulit pengarang itu sendiri, bahkan bagi Buffon, gaya bahasa adalah orangnya sendiri (dalam Hudson, 1972: 34).

Chomsky menggunakan istilah deep structure (struktur batin) dan surface structure (struktur lahir), yang identik pula dengan isi dan bentuk dalam gaya bahasa


(11)

7

(Fowler, 1977: 6). Struktur lahir adalah performansi kebahasaan dalam wujudnya yang konkret, dan itulah gaya bahasa. Adapun struktur batin merupakan gagasan yang ingin dikemukakan oleh pengarang melalui gaya bahasanya itu.

Pemilihan struktur lahir merupakan teknik pengungkapan struktur batin. Struktur batin yang sama dapat diungkapkan dalam berbagai bentuk struktur lahir. Jadi, bentuk struktur lahir tergantung pada kreativitas dan kepribadian pengarang yang dipengaruhi oleh ideologi dan lingkungan sosial budayanya. Gaya bahasa merupakan keistimewaan atau kekhususan (idiosyncracy) seorang penulis atau kata Buffon gaya bahasa itu adalah orangnya sendiri (Lodge, 1973: 49).

Dengan demikian, pengarang yang akrab dengan alam dan masyarakat pedesaan seperti Ahmad Tohari, misalnya, gaya bahasa dalam karya-karyanya tentu berbeda dengan Ayu Utami yang metropolis. Demikian pula Andrea Hirata yang akrab dengan lingkungan sosial budaya masyarakat pantai di Pulau Buton tentu tidak sama gaya bahasanya dengan Djenar Mahesa Ayu yang akrab dengan budaya ibukota yang megapolitan, liberal, dan pluralistik.

Bagi Keraf (1991: 113), gaya bahasa merupakan cara pengungkapan pikiran melalui bahasa khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian pengarang. Mengkaji gaya bahasa memungkinkan dapat menilai pribadi, karakter, dan kemampuan pengarang yang menggunakan bahasa itu. Senada dengan Keraf, Suyadi San (2005: 11), berpendapat bahwa gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulisnya.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa style ‘gaya bahasa’ adalah cara mengungkapkan gagasan dan perasaan dengan bahasa khas sesuai dengan kreativitas, kepribadian, dan karakter pengarang untuk mencapai efek tertentu, yakni efek estetik atau efek kepuitisan dan efek penciptaan makna. Gaya bahasa dalam karya sastra berhubungan erat dengan ideologi dan latar sosiokultural pengarangnya.

Gaya bahasa dalam karya sastra dipakai pengarang sebagai sarana retorika dengan mengeksploitasi dan memanipulasi potensi bahasa. Sarana retorika merupakan sarana kepuitisan yang berupa muslihat pikiran (Altenbernd & Lewis, 1970: 22). Sarana retorika tersebut bermacam-macam dan setiap sastrawan memiliki kekhususan dalam memilihnya dalam karya sastranya. Corak sarana retorika tiap karya sastra itu sesuai


(12)

8

dengan gaya bersastranya, aliran, ideologi, dan konsepsi estetik pengarangnya. Jadi, dapat dipahami jika sarana retorika sastrawan angkatan 1945 berbeda dengan angkatan 1966, tidak sama pula dengan angkatan 2000, dan seterusnya (Pradopo, 2000: 94). Sarana retorika Kuntowijoyo berbeda dengan Abdulhadi W.M., tidak sama pula dengan Sutardji Calzoum Bachri, dan sebagainya.

Style atau gaya dapat diartikan sebagai cara khas yang dipergunakan oleh seseorang untuk mengutarakan atau mengungkapkan diri dengan gaya pribadi. Pengertian style atau gaya dalam arti luas dapat meliputi sekelompok pengarang (misalnya, gaya Angkatan 20, Angkatan 30, Angkatan 45, Angkatan 66, Angkatan 2000, dan sebagainya); meliputi suatu bangsa tertentu (misalnya, gaya penulisan orang Inggris lebih bernada understatement, orang Indonesia, terutama orang Jawa, suka menggunakan kalimat pasif); dapat juga merupakan gaya suatu periode tertentu (misalnya, gaya Barok, gaya Romantik, gaya Renaisanse); atau gaya jenis penulisan tertentu (misalnya, gaya surat, gaya dongeng, gaya absurd, gaya grotesk (grotesque), orasi, dan sebagainya) (Satoto, 1995: 36).

B. Stilistika

Secara harfiyah, stilistika berasal dari bahasa Inggris: stylistics, yang berarti studi mengenai style 'gaya bahasa' atau 'bahasa bergaya'. Adapun secara istilah, stilistika (stylistics) adalah ilmu yang meneliti penggunaan bahasa dan gaya bahasa di dalam karya sastra (Abrams, 1979: 165-167; bandingkan Satoto, 1995: 36). Dapat dikatakan bahwa stilistika adalah proses menganalisis karya sastra dengan mengkaji unsur-unsur bahasa sebagai medium karya sastra yang digunakan sastrawan sehingga terlihat bagaimana perlakuan sastrawan terhadap bahasa dalam rangka menuangkan gagasannya (subject matter). Oleh sebab itu, semua proses yang berhubungan dengan analisis bahasa karya sastra dikerahkan untuk mengungkapkan aspek kebahasaan dalam karya sastra tersebut, seperti diksi, kalimat, penggunaan bahasa kias atau bahasa figuratif (figurative language), bentuk-bentuk wacana, dan sarana retorika yang lain (Cuddon, 1979: 647-648).

Ratna (2007: 236) menyatakan, stilistika merupakan ilmu yang menyelidiki pemakaian bahasa dalam karya sastra, dengan mempertimbangkan aspek-aspek keindahannya. Bagi Simpson (2004: 2), stilistika adalah sebuah metode interpretasi


(13)

9

tekstual karya sastra yang dipandang memiliki keunggulan dalam pemberdayaan bahasa. Pengkajian stilistika karya sastra dipandang penting karena berbagai bentuk, pola, dan struktur linguistik dalam karya sastra memiliki fungsi tertentu. Fungsi bahasa tekstual sastra akan menyaran pada interpretasi maknanya.

Stilistika dapat dimasukkan sebagai bidang linguistik terapan (applied linguistics). Oleh sebab itu, penelitian gaya bahasa dalam teks non-sastra dan wacana kehidupan sehari-hari pun disebut stilistika meskipun ada yang memfokuskan kajiannya pada karya sastra. Dalam pengertian extended, stilistika adalah cara untuk mengungkapkan teori dan metodologi analisis formal sebuah teks sastra. Adapun secara restricted, stilistika sebagai linguistik terapan biasanya dikaitkan khusus pada bidang pendidikan bahasa (Soediro Satoto, 1995: 36).

Leech dan Short (1984: 13) menyatakan bahwa stilistika adalah studi tentang wujud performansi kebahasaan, khususnya yang terdapat dalam karya sastra. Analisis stilistika karya sastra lazimnya untuk menerangkan hubungan antara bahasa dengan fungsi artistik dan maknanya). Bagi Chapman (1977: 15), stilistika juga bertujuan untuk menentukan seberapa jauh dan dalam hal apa bahasa yang digunakan dalam sastra memperlihatkan penyimpangan, dan bagaimana pengarang menggunakan tanda-tanda linguistik untuk mencapai efek khusus.

Menurut Junus (1989: xvii), hakikat stilistika adalah studi mengenai pemakaian bahasa dalam karya sastra. Stilistika dipakai sebagai ilmu gabung, yakni linguistik dan ilmu sastra. Paling tidak, studi stilistika dilakukan oleh seorang linguis, tetapi menaruh perhatian terhadap sastra (atau sebaliknya). Dalam aplikasinya, seorang linguis bekerja dengan menggunakan data pemakaian bahasa dalam karya sastra, dengan melihat keistimewaan bahasa sastra. Dengan demikian, stilistika dapat dipahami sebagai aplikasi teori linguistik pada pemakaian bahasa dalam sastra.

Seperti dinyatakan Kridalaksana (1988: 157), stilistika (stilistics) adalah: (1) ilmu yang menyelidiki bahasa yang dipergunakan dalam karya sastra; ilmu interdisipliner antara linguistik dan kesusastraan; (2) penerapan linguistik pada penelitian gaya bahasa. Menurut Turner (1977: 7-8), stilistika tidak hanya merupakan studi gaya bahasa dalam kesusastraan saja, melainkan juga studi gaya dalam bahasa pada umumnya meskipun fokus perhatiannya pada bahasa kesusastraan yang paling


(14)

10

sadar dan kompleks. Bagi Turner, stilistika adalah bagian linguistik yang memusatkan diri pada variasi penggunaan bahasa. Cumming dan Simons (1986: xvi) menambahkan, stilistika merupakan cabang linguistik dan analisisnya berorientasi kepada linguistik. Pengkajian karya sastra dari segi bahasa tidak dapat dihindarkan dari adanya analisis dan pengamatan terhadap gejala linguistik atau ciri linguistik yang terdapat dalam wacana tersebut untuk mengetahui efek yang ditimbulkannya (Suyadi San, 2005: 3). Karena studi stilistika erat hubungannya dengan pengkajian bahasa dalam karya sastra, studi stilistika berada antara bidang linguistik dan bidang ilmu sastra.

Dalam konteks itu, ada tiga anggapan tentang stilistika, yaitu: (1) stilistika adalah subbagian linguistik yang di dalamnya terdapat bagian khusus yang menggarap keistimewaan teks sastra, (2) stilistika adalah subbagian dari studi sastra yang dapat memiliki kesempatan untuk membawanya ke metode-metode linguistik, dan (3) stilistika merupakan disiplin ilmu yang otonom yang dapat menyeret secara bebas ke studi sastra dan linguistik (Enkvist dalam Junus, 1989: 72). Jika stilistika dikatakan sebagai bidang linguistik terapan, hal ini tidak terlepas dari anggapan bahwa stilistika adalah bidang makrolinguistik yang bahan kajiannya adalah pemakaian bahasa dalam karya sastra. Stilistika juga dapat disebut sebagai tempat pertemuan antara makroanalisis bahasa dan makroanalisis sastra.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa stilistika merupakan ilmu yang mengkaji wujud pemakaian bahasa dalam karya sastra yang meliputi seluruh pemberdayaan potensi bahasa, keunikan dan kekhasan bahasa serta gaya bunyi, pilihan kata, kalimat, wacana, citraan, hingga bahasa figuratif. Agar ranah kajian tidak terlalu luas, kajian stilistika lazim dibatasi pada karya sastra tertentu, dengan memperhatikan preferensi penggunaan kata atau struktur bahasa, mengamati antarhubungan pilihan itu untuk mengidentifikasi ciri-ciri stilistika (stylistic features) yang membedakan karya, pengarang, aliran, atau periode tertentu dengan karya, pengarang, aliran, atau periode lainnya.

Stilistika sebagai ilmu yang mengkaji penggunaan bahasa dalam karya sastra yang berorientasi linguistik atau menggunakan parameter linguistik dapat dilihat pada batasan stilistika berikut.


(15)

11

Pertama, stilistika merupakan bagian linguistik yang menitikberatkan kajiannya kepada variasi penggunaan bahasa dan kadangkala memberikan perhatian kepada penggunaan bahasa yang kompleks dalam karya sastra (Turner, 1977: 7). Atau, pendekatan linguistik yang digunakan dalam studi teks-teks sastra (Short, 1989: 183).

Kedua, stilistika dapat dikatakan sebagai studi yang menghubungkan antara bentuk linguistik dengan fungsi sastra (Leech dan Short, 1984: 4).

Ketiga, stilistika adalah ilmu kajian gaya yang digunakan untuk menganalisis karya sastra (Keris Mas, 1990: 3). Menurut Keris Mas, bahasa memang sudah mempunyai gaya. Semua pengucapan yang tidak biasa dipakai oleh masyarakat adalah gaya, seperti halnya bahasa dalam karya sastra yang mempunyai perbedaan dari bahasa keseharian.

Keempat, stilistika mengkaji wacana sastra dengan berorientasi linguistik dan merupakan pertalian antara linguistik dan kritik sastra. Secara morfologis, dapat dikatakan bahwa komponen style berhubungan dengan kritik sastra, sedangkan komponen istic berkaitan dengan linguistik (Widdowson, 1979: 3). Karya sastra dipandang sebagai wacana sehingga mempertemukan pandangan linguis yang menganggap karya sastra sebagai teks dan pandangan kritikus sastra yang menganggap karya sastra sebagai pembawa pesan (message) (Widdowson, 1992: 1-7).


(16)

BAB I PENDAHULUAN

Karya sastra merupakan hasil kreasi sastrawan melalui kontemplasi dan refleksi setelah menyaksikan berbagai fenomena kehidupan dalam lingkungan sosialnya. Fenomena kehidupan itu beraneka ragam baik yang mengandung aspek sosial, budaya, politik, ekonomi, kemanusiaan, keagamaan, moral, maupun jender. Dengan daya imajinatifnya, berbagai realitas kehidupan yang dihadapi sastrawan itu diseleksi, direnungkan, dikaji, diolah, kemudian diungkapkan dalam karya sastra yang lazim bermediumkan bahasa.

Sebagai sebuah karya seni yang lazim memanfaatkan bahasa sebagai mediumnya maka bahasa sastra memiliki peran sentral. Bahasa sastra menjadi media utama untuk mengekspresikan berbagai gagasan sastrawan. Dengan demikian bahasa sastra sekaligus menjadi alat bagi sastrawan sebagai komunikator untuk menyampaikan gagasan-gagasan kepada pembaca sebagai komunikan atau apresiatornya.

Untuk menyampaikan berbagai gagasan kepada pembaca itulah bahasa sastra diberdayakan dan dieksploitasi oleh sastrawan sedemikian rupa. Melalui berbagai cara segenap potensi bahasa diusahakan oleh sastrawan agar asosiatif, ekspresif, dan indah sehingga menarik dan mengesankan pembaca. Dalam konteks itulah style ’gaya bahasa’ memegang peran penting dalam karya sastra guna

menciptakan efek makna tertentu dalam rangka mencapai efek estetik.

A. Bahasa Karya Sastra

Karya sastra merupakan karya imajinatif bermediumkan bahasa yang fungsi estetiknya dominan. Sebagai media ekspresi karya sastra, bahasa sastra dimanfaatkan oleh sastrawan guna menciptakan efek makna tertentu guna mencapai efek estetik. Bahasa sastra sebasgai media ekspresi sastrawan dipergunakan untuk memperoleh nilai seni karya sastra, dalam hal ini berhubungan dengan style‘gaya bahasa’ sebagai sarana sastra. Dengan demikian,


(17)

2

plastis bahasa menjadi kebutuhan dalam bahasa sastra agar memiliki fungsi estetik yang dominan.

Untuk memperoleh efektivitas pengungkapan, bahasa dalam sastra disiasati, dimanipulasi, dieksploitasi, dan didayagunakan secermat mungkin sehingga tampil dengan bentuk yang plastis yang berbeda dengan bahasa nonsastra. Itu sebabnya karya sastra di samping disebut dunia dalam imajinasi, juga disebut dunia dalam kata. Dunia yang diciptakan, dibangun, ditawarkan dan diabstraksikan dengan kata-kata, dengan bahasa. Apa pun yang akan dikatakan pengarang atau diinterpretasikan oleh pembaca mau tak mau harus bersangkut paut dengan bahasa. Struktur novel dan segala sesuatu yang dikomunikasikan, demikian Fowler (1977: 3), selalu dikontrol langsung oleh manipulasi bahasa pengarang.

Bahasa sastra berhubungan dengan fungsi semiotik bahasa sastra. Bahasa merupakan sistem semiotik tingkat pertama (first order semiotics), sedangkan sastra merupakan sistem semiotik tingkat kedua (second order semiotics) (Abrams, 1981: 172). Bahasa memiliki arti berdasarkan konvensi bahasa, yang oleh Riffaterre (1978: 2-3) arti bahasa disebut meaning (arti), sedangkan arti bahasa sastra disebut significance (makna). Sebagai medium karya sastra, bahasa sastra berkedudukan sebagai semiotik tingkat kedua dengan konvensi sastra. Menurut Riffaterre (1978: 1-2) karya sastra merupakan ekspresi tidak langsung, yakni menyatakan suatu hal dengan arti yang lain.

Menurut kaum Formalis Rusia, bahasa sastra adalah cara penuturan yang bersifat tidak otomatis, tidak rutin, tidak biasa (Teeuw, 1984: 131). Penuturan dalam sastra selalu diusahakan dengan cara baru, cara lain, cara yang belum digunakan orang. Sastra mengutamakan keaslian pengucapan dan untuk memperoleh cara itu maka pengarang kadang-kadang sampai pada penggunaan berbagai bentuk penyimpangan kebahasaan (language deviation). Unsur kebaruan dan keaslian merupakan suatu hal yang menentukan nilai sebuah karya. Bagi kaum Formalis, adanya penyimpangan dari sesuatu yang wajar itu merupakan proses sastra yang mendasar.


(18)

3

Penyimpangan kebahasaan dalam sastra dilakukan pengarang tentu dimaksudkan untuk memperoleh efek estetik, di samping ingin mengedepankan, mengaktualkan (foregrounding) sesuatu yang dituturkan. Bahasa sastra dengan demikian bersifat dinamis, terbuka terhadap kemungkinan adanya penyimpangan dan pembaruan, namun juga tak mengabaikan aspek komunikatifnya. Karena, pada hakikatnya penuturan sastra pun merupakan proses komunikasi.

B. Ciri Khas Bahasa Sastra

Sebagai sebuah media ekspresi sastrawan dalam mengemukakan gagasan melalui karyanya, bahasa sastra memiliki beberapa ciri antara lain sebagai bahasa emotif dan bersifat konotatif sebagai kebalikan bahasa nonsastra, khususnya bahasa ilmiah yang rasional dan denotatif. Namun tentang pencirian itu kiranya masih perlu penjelasan (lihat Wellek & Warren, 1989: 22-23). Yang pasti, penggunaan bahasa dalam karya sastra merupakan bagian yang tak terpisahkan dari dunia makna dan citraan serta suasana yang akan dituangkan oleh pengarang. Penggunaan bahasa dalam karya sastra itu merupakan sasaran kajian Stilistika (Aminuddin, 1995: 44; bdk. Satoto, 1995: 17). Dalam berbagai penyimpangan, pembaruan dan keaslian dalam pengungkapan kebahasaan karya sastra itulah Stilistika memiliki peran sentral.

Secara rinci, bahasa sastra memiliki sifat antara lain: emosional, konotatif, bergaya (berjiwa), dan ketidaklangsungan ekspresi. Emosional, berarti bahasa sastra mengandung ambiguitas yang luas yakni penuh homonim, manasuka atau kategori-kategori tak rasional; bahasa sastra diresapi peristiwa-peristiwa sejarah, kenangan dan asosiasi-asosiasi. Bahasa sastra konotatif, artinya bahasa sastra mengandung banyak arti tambahan, jauh dari hanya bersifat referensial (Wellek & Warren, 1989: 22-25).

Sifat bahasa sastra yang lain dapat dilihat dari segi gaya bahasa. Gaya bahasa merupakan bahasa yang digunakan secara khusus untuk menimbulkan efek tertentu, khususnya efek estetis (Pradopo, 1997: 40). Keraf (1991: 113) menegaskan, bahwa gaya bahasa disusun untuk mengungkapkan pikiran secara khas yang memperlihatkan perasaan jiwa dan kepribadian penulis. Gaya bahasa


(19)

4

itu adalah cara yang khas dipakai seseorang untuk mengungkapkan diri pribadi (Hartoko dan Rahmanto, 1986: 137).

Dapat ditambahkan bahwa bahasa sastra memiliki ciri penting yakni ketaklangsungan ekspresi. Riffaterre (1978: 1) menyatakan bahwa puisi itu ekspresi yang tidak langsung. Meskipun teori Riffaterre ini dalam hubungannya dengan puisi, hal ini berlaku pula bagi prosa atau fiksi. Misalnya, novel Ahmad Tohari Bekisar Merah adalah ketaklangsungan ekspresi. Yang dimaksud Bekisar

Merah dalam novel itu adalah tokoh utama Lasi, yang dikiaskan sebagai ‘bekisar

merah’, blasteran ayam kampung dan ayam hutan, yang parasnya indah dan

penampilan fisiknya menarik, untuk hiasan rumah dan diperjualbelikan. Lasi dikiaskan demikian, karena dia adalah anak blasteran lelaki Jepang dengan perempuan Jawa, parasnya cantik dan diperjualbelikan oleh para mucikari dan orang berduit untuk memperoleh keuntungan material.

Menurut Riffaterre (1978: 2) ketaklangsungan ekspresi itu disebabkan oleh tiga hal, yakni: penggantian arti (displacing of meaning), penyimpangan arti

(distorting of meaning), dan penciptaan arti (creating of meaning). Penggantian

arti dilakukan dengan penggunaan metafora dan metonimia. Metafora dan metonimia adalah bahasa kiasan pada umumnya yang meliputi perbandingan, personifikasi, sinekdoki, alegori, di samping metafora dan metonimia itu sendiri.

Penyimpangan arti disebabkan oleh adanya pemakaian: (1) ambiguitas, (2) kontradiksi, dan (3) nonsense. Ambiguitas adalah pemakaian kata, frase atau kalimat yang berarti ganda. Kontradiksi adalah pernyataan berbalikan, menyatakan sesuatu secara terbalik. Kontradiksi ini berupa penggunaan paradoks dan ironi. Nonsense adalah bahasa, kata-kata yang secara linguistik tidak memiliki arti, tidak terdapat dalam kamus, tetapi memiliki makna berdasarkan konvensi sastra yang berupa konvensi tambahan (Preminger, 1974: 80).

Adapun penciptaan arti berupa pengorganisasian ruang teks. Karena karya sastra, khususnya puisi berupa karya tertulis, maka dimanfaatkan ruang teks untuk menciptakan arti, misalnya berupa enjambment, rima, tipografi dan homologue (persejajaran baris). Secara linguistik hal itu tidak memiliki arti, tetapi dalam karya sastra hal itu memiliki makna tertentu.


(20)

5

Bahasa sastra memiliki segi ekspresif yang membawa nada dan sikap penulisnya. Bahasa sastra tidak hanya menyatakan dan mengungkapkan apa yang dikatakan melainkan juga ingin mempengaruhi sikap pembaca, membujuknya dan akhirnya mengubahnya. Bahasa sastra juga menekankan adanya tanda bahasa yakni simbolisme. Segala jenis teknik dipakai untuk menarik perhatian pembaca, misalnya metrum, asonansi dan aliterasi serta pola bunyi. Tentu saja, yang terakhir ini terutama pada puisi (Teeuw, 1984: 130).


(1)

Pertama, stilistika merupakan bagian linguistik yang menitikberatkan kajiannya kepada variasi penggunaan bahasa dan kadangkala memberikan perhatian kepada penggunaan bahasa yang kompleks dalam karya sastra (Turner, 1977: 7). Atau, pendekatan linguistik yang digunakan dalam studi teks-teks sastra (Short, 1989: 183).

Kedua, stilistika dapat dikatakan sebagai studi yang menghubungkan antara bentuk linguistik dengan fungsi sastra (Leech dan Short, 1984: 4).

Ketiga, stilistika adalah ilmu kajian gaya yang digunakan untuk menganalisis karya sastra (Keris Mas, 1990: 3). Menurut Keris Mas, bahasa memang sudah mempunyai gaya. Semua pengucapan yang tidak biasa dipakai oleh masyarakat adalah gaya, seperti halnya bahasa dalam karya sastra yang mempunyai perbedaan dari bahasa keseharian.

Keempat, stilistika mengkaji wacana sastra dengan berorientasi linguistik dan merupakan pertalian antara linguistik dan kritik sastra. Secara morfologis, dapat dikatakan bahwa komponen style berhubungan dengan kritik sastra, sedangkan komponen istic berkaitan dengan linguistik (Widdowson, 1979: 3). Karya sastra dipandang sebagai wacana sehingga mempertemukan pandangan linguis yang menganggap karya sastra sebagai teks dan pandangan kritikus sastra yang menganggap karya sastra sebagai pembawa pesan (message) (Widdowson, 1992: 1-7).


(2)

Karya sastra merupakan hasil kreasi sastrawan melalui kontemplasi dan refleksi setelah menyaksikan berbagai fenomena kehidupan dalam lingkungan sosialnya. Fenomena kehidupan itu beraneka ragam baik yang mengandung aspek sosial, budaya, politik, ekonomi, kemanusiaan, keagamaan, moral, maupun jender. Dengan daya imajinatifnya, berbagai realitas kehidupan yang dihadapi sastrawan itu diseleksi, direnungkan, dikaji, diolah, kemudian diungkapkan dalam karya sastra yang lazim bermediumkan bahasa.

Sebagai sebuah karya seni yang lazim memanfaatkan bahasa sebagai mediumnya maka bahasa sastra memiliki peran sentral. Bahasa sastra menjadi media utama untuk mengekspresikan berbagai gagasan sastrawan. Dengan demikian bahasa sastra sekaligus menjadi alat bagi sastrawan sebagai komunikator untuk menyampaikan gagasan-gagasan kepada pembaca sebagai komunikan atau apresiatornya.

Untuk menyampaikan berbagai gagasan kepada pembaca itulah bahasa sastra diberdayakan dan dieksploitasi oleh sastrawan sedemikian rupa. Melalui berbagai cara segenap potensi bahasa diusahakan oleh sastrawan agar asosiatif, ekspresif, dan indah sehingga menarik dan mengesankan pembaca. Dalam konteks itulah style ’gaya bahasa’ memegang peran penting dalam karya sastra guna menciptakan efek makna tertentu dalam rangka mencapai efek estetik.

A. Bahasa Karya Sastra

Karya sastra merupakan karya imajinatif bermediumkan bahasa yang fungsi estetiknya dominan. Sebagai media ekspresi karya sastra, bahasa sastra dimanfaatkan oleh sastrawan guna menciptakan efek makna tertentu guna mencapai efek estetik. Bahasa sastra sebasgai media ekspresi sastrawan dipergunakan untuk memperoleh nilai seni karya sastra, dalam hal ini berhubungan dengan style ‘gaya bahasa’ sebagai sarana sastra. Dengan demikian,


(3)

plastis bahasa menjadi kebutuhan dalam bahasa sastra agar memiliki fungsi estetik yang dominan.

Untuk memperoleh efektivitas pengungkapan, bahasa dalam sastra disiasati, dimanipulasi, dieksploitasi, dan didayagunakan secermat mungkin sehingga tampil dengan bentuk yang plastis yang berbeda dengan bahasa nonsastra. Itu sebabnya karya sastra di samping disebut dunia dalam imajinasi, juga disebut dunia dalam kata. Dunia yang diciptakan, dibangun, ditawarkan dan diabstraksikan dengan kata-kata, dengan bahasa. Apa pun yang akan dikatakan pengarang atau diinterpretasikan oleh pembaca mau tak mau harus bersangkut paut dengan bahasa. Struktur novel dan segala sesuatu yang dikomunikasikan, demikian Fowler (1977: 3), selalu dikontrol langsung oleh manipulasi bahasa pengarang.

Bahasa sastra berhubungan dengan fungsi semiotik bahasa sastra. Bahasa merupakan sistem semiotik tingkat pertama (first order semiotics), sedangkan sastra merupakan sistem semiotik tingkat kedua (second order semiotics) (Abrams, 1981: 172). Bahasa memiliki arti berdasarkan konvensi bahasa, yang oleh Riffaterre (1978: 2-3) arti bahasa disebut meaning (arti), sedangkan arti bahasa sastra disebut significance (makna). Sebagai medium karya sastra, bahasa sastra berkedudukan sebagai semiotik tingkat kedua dengan konvensi sastra. Menurut Riffaterre (1978: 1-2) karya sastra merupakan ekspresi tidak langsung, yakni menyatakan suatu hal dengan arti yang lain.

Menurut kaum Formalis Rusia, bahasa sastra adalah cara penuturan yang bersifat tidak otomatis, tidak rutin, tidak biasa (Teeuw, 1984: 131). Penuturan dalam sastra selalu diusahakan dengan cara baru, cara lain, cara yang belum digunakan orang. Sastra mengutamakan keaslian pengucapan dan untuk memperoleh cara itu maka pengarang kadang-kadang sampai pada penggunaan berbagai bentuk penyimpangan kebahasaan (language deviation). Unsur kebaruan dan keaslian merupakan suatu hal yang menentukan nilai sebuah karya. Bagi kaum Formalis, adanya penyimpangan dari sesuatu yang wajar itu merupakan proses sastra yang mendasar.


(4)

Penyimpangan kebahasaan dalam sastra dilakukan pengarang tentu dimaksudkan untuk memperoleh efek estetik, di samping ingin mengedepankan, mengaktualkan (foregrounding) sesuatu yang dituturkan. Bahasa sastra dengan demikian bersifat dinamis, terbuka terhadap kemungkinan adanya penyimpangan dan pembaruan, namun juga tak mengabaikan aspek komunikatifnya. Karena, pada hakikatnya penuturan sastra pun merupakan proses komunikasi.

B. Ciri Khas Bahasa Sastra

Sebagai sebuah media ekspresi sastrawan dalam mengemukakan gagasan melalui karyanya, bahasa sastra memiliki beberapa ciri antara lain sebagai bahasa emotif dan bersifat konotatif sebagai kebalikan bahasa nonsastra, khususnya bahasa ilmiah yang rasional dan denotatif. Namun tentang pencirian itu kiranya masih perlu penjelasan (lihat Wellek & Warren, 1989: 22-23). Yang pasti, penggunaan bahasa dalam karya sastra merupakan bagian yang tak terpisahkan dari dunia makna dan citraan serta suasana yang akan dituangkan oleh pengarang. Penggunaan bahasa dalam karya sastra itu merupakan sasaran kajian Stilistika (Aminuddin, 1995: 44; bdk. Satoto, 1995: 17). Dalam berbagai penyimpangan, pembaruan dan keaslian dalam pengungkapan kebahasaan karya sastra itulah Stilistika memiliki peran sentral.

Secara rinci, bahasa sastra memiliki sifat antara lain: emosional, konotatif, bergaya (berjiwa), dan ketidaklangsungan ekspresi. Emosional, berarti bahasa sastra mengandung ambiguitas yang luas yakni penuh homonim, manasuka atau kategori-kategori tak rasional; bahasa sastra diresapi peristiwa-peristiwa sejarah, kenangan dan asosiasi-asosiasi. Bahasa sastra konotatif, artinya bahasa sastra mengandung banyak arti tambahan, jauh dari hanya bersifat referensial (Wellek & Warren, 1989: 22-25).

Sifat bahasa sastra yang lain dapat dilihat dari segi gaya bahasa. Gaya bahasa merupakan bahasa yang digunakan secara khusus untuk menimbulkan efek tertentu, khususnya efek estetis (Pradopo, 1997: 40). Keraf (1991: 113) menegaskan, bahwa gaya bahasa disusun untuk mengungkapkan pikiran secara khas yang memperlihatkan perasaan jiwa dan kepribadian penulis. Gaya bahasa


(5)

itu adalah cara yang khas dipakai seseorang untuk mengungkapkan diri pribadi (Hartoko dan Rahmanto, 1986: 137).

Dapat ditambahkan bahwa bahasa sastra memiliki ciri penting yakni ketaklangsungan ekspresi. Riffaterre (1978: 1) menyatakan bahwa puisi itu ekspresi yang tidak langsung. Meskipun teori Riffaterre ini dalam hubungannya dengan puisi, hal ini berlaku pula bagi prosa atau fiksi. Misalnya, novel Ahmad Tohari Bekisar Merah adalah ketaklangsungan ekspresi. Yang dimaksud Bekisar Merah dalam novel itu adalah tokoh utama Lasi, yang dikiaskan sebagai ‘bekisar merah’, blasteran ayam kampung dan ayam hutan, yang parasnya indah dan penampilan fisiknya menarik, untuk hiasan rumah dan diperjualbelikan. Lasi dikiaskan demikian, karena dia adalah anak blasteran lelaki Jepang dengan perempuan Jawa, parasnya cantik dan diperjualbelikan oleh para mucikari dan orang berduit untuk memperoleh keuntungan material.

Menurut Riffaterre (1978: 2) ketaklangsungan ekspresi itu disebabkan oleh tiga hal, yakni: penggantian arti (displacing of meaning), penyimpangan arti (distorting of meaning), dan penciptaan arti (creating of meaning). Penggantian arti dilakukan dengan penggunaan metafora dan metonimia. Metafora dan metonimia adalah bahasa kiasan pada umumnya yang meliputi perbandingan, personifikasi, sinekdoki, alegori, di samping metafora dan metonimia itu sendiri. Penyimpangan arti disebabkan oleh adanya pemakaian: (1) ambiguitas, (2) kontradiksi, dan (3) nonsense. Ambiguitas adalah pemakaian kata, frase atau kalimat yang berarti ganda. Kontradiksi adalah pernyataan berbalikan, menyatakan sesuatu secara terbalik. Kontradiksi ini berupa penggunaan paradoks dan ironi. Nonsense adalah bahasa, kata-kata yang secara linguistik tidak memiliki arti, tidak terdapat dalam kamus, tetapi memiliki makna berdasarkan konvensi sastra yang berupa konvensi tambahan (Preminger, 1974: 80).

Adapun penciptaan arti berupa pengorganisasian ruang teks. Karena karya sastra, khususnya puisi berupa karya tertulis, maka dimanfaatkan ruang teks untuk menciptakan arti, misalnya berupa enjambment, rima, tipografi dan homologue (persejajaran baris). Secara linguistik hal itu tidak memiliki arti, tetapi dalam karya sastra hal itu memiliki makna tertentu.


(6)

Bahasa sastra memiliki segi ekspresif yang membawa nada dan sikap penulisnya. Bahasa sastra tidak hanya menyatakan dan mengungkapkan apa yang dikatakan melainkan juga ingin mempengaruhi sikap pembaca, membujuknya dan akhirnya mengubahnya. Bahasa sastra juga menekankan adanya tanda bahasa yakni simbolisme. Segala jenis teknik dipakai untuk menarik perhatian pembaca, misalnya metrum, asonansi dan aliterasi serta pola bunyi. Tentu saja, yang terakhir ini terutama pada puisi (Teeuw, 1984: 130).