Perbedaan penentuan metode dalam menetap

  

KEARIFAN DIBALIK PERBEDAAN PENETAPAN WAKTU IDUL FITRI 1434 H

  Perbedaan penentuan metode dalam menetapkan awal bulan hijriah terutama dalam penetuan awal bulan ramadhan dan bulan syawwal, memungkinkan terjadinya penetapan awal shaum dan idul fitri. Pada tahun 1434 H ini faktanya ummat islam berbeda dalam waktu mengawali ibadah shaum. sebagian umat islam berbeda satu hari atau bahkan dua hari pada jamaah yang lain. idul fitri pada tahun 1434 H pun walau diprediksi akan berbarengan, tidak menutup kemungkinan terjadi perbedaan. menurut perhitungan ( hisab) bahwa Ijtimak jelang Syawal 1434 H terjadi pada hari Rabu Pon, 7 Agustus 2013 M pukul 04:52:19. WIB.sedangkan Tinggi Bulan pada saat terbenam Matahari di Yogyakarta (  : -07" 48, dan  : 110 21’ BT ) : o

  • 03 54' 11" (yang berarti hilal sudah wujud) dan di seluruh wilayah Indonesia pada saat terbenam Matahari itu Bulan berada di atas ufuk. dengan demikian 1 Syawal 1434 H jatuh pada hari Kamis Wage, 8 Agustus 2013 M. [Maklumat Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 04/MLM/I.O/E/2013 Tentang Penetapan Hasil Hisab Ramadhan, Syawwal, Dan Dzulhijjah 1434 Hijriyah] data ini cukup menghibur karena kemungkinan pada tahun ini idul fitri akan bersamaan. namun seandainya cuaca tidak mendukung, sehingga hilal tidak dapat di rukyat, maka bagi yang menggunakan metode hisab dan rukyat, yang mengawali shaum satu hari lebih akhir dari yang menggunakan metode hisab, mereka menggenapkan puasanya menjadi tiga puluh hari. dengan demikian 1 syawal /idul fitri dilaksanakan/ditetapkan jatuh pada dua hari berikutnya atau pada tanggal 9 Agustus 2013 M. bercermin pada kebijakan pemerintah (Kementerian Agama) sebelumnya dalam penetapan awal bulan yang kecenderungan menggunakan metode kombinasi dengan rukyat sebagai penentunya, maka ada pula kemungkinan penetapan 1 syawwal akan berlainan dengan sebagian umat islam yang menggunakan metode hisab semata. sehingga idul fitri tidak dilaksanakan bersamaan. kejadian ini sudah lama dan sering terjadi. pada awalnya tidak terkesan adanya permasalahan dalam pelaksanaannya di masyarakat. setidaknya tidak menjadi polemik yang seolah-olah besar - karena dibesar-besarkan, sehingga mempengaruhi citra islam secara keseluruhan. inilah yang seharusnya terjadi manakala ada perbedaan antara umat islam atau pilihan kebijakan pemerintah dan sebagian umat islam. pemerintah sebagai pengayom masyarakat berupaya untuk bisa berdiri menjadi penengah. atau manakala kebijakannya mengharuskan memilih diantara dua pilihan sekalipun maka pemerintah berupaya menjaga kesejukan atmosfir kebersamaan. potensi perbedaan penetapan 1 syawwal tahun ini dan tahun-tahun kemudian,

  nampaknya akan sering terjadi karena memang berangkat dari –paling tidak- dua latar belakang metodologis dan paradigma yang berbeda dalam memahami sumber yang sama. antara penentuan dengan hisab ansich dan dengan rukyat akhirnya menjadi dua hal yang berbeda. perlu dipahami masyarakat bahwa perbedaan ini tidak perlu dipandang sebagai “aib”, sehingga saling memojokan satu sama lain. perbedaan ini ilmiah dan semata merupakan pilihan ijtihadi yang bernilai dalam pandangan islam. jika kemudian salah satunya menjadi pilihan pemerintah itu bukan berarti salah satunya tidak benar. sebaliknya bagi kelompok umat yang melakukan hisab atau rukyat dalam mengkaji, memutuskan dan mepublikasikan bahkan mendiskusikannya, hendaknya betul-betul mengedepankan prinsip-prinsip keilmuan dan menjauhkan dari unsur-unsur ta’asub atau ‘ego’ kelompok atau golongan. disamping itu para pemuka masyarakat dan pemuka organisasi juga harus berperan aktif dalam pendidikan masyarakat mengenai hisab rukyat. yang tak kalah penting adalah peran para pemuka masyarakat dan organisasi dalam kebersamaan. “ tak peduli beda gaya, beda cara, beda selera; karena bersama tak harus sama”.