METODE PENENTUAN WAKTU SALAT DALAM PERSP

METODE PENENTUAN AWAL WAKTU SALAT DALAM PERSPEKTIF
ILMU FALAK

Ismail
Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh
Email: ismail_aranda@yahoo.com
Abstrak
Ilmu falak adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang lintasan benda-benda
langit seperti, Bumi, Bulan, Matahari dan bintang-bintang agar dapat diketahui arah
dan waktu di permukaan Bumi untuk keperluan ibadah.Penentuan awal waktu salat
merupakan bahagian dari ruang lingkup kajian ilmu falak.Dalam penelitian ini,
permasalahan yang ingin dikaji adalah pengaruh ketinggian tempat dan
kecemerlangan langit terhadap penentuan waktu salat. Untuk menjawab
permasalahan ini penulis menggunakan metode penelitian dengan jenis penelitian
deskriptif kualitatif, sifat penelitian deskriptif, dan penelitian ini menggunakan
pendekatan normatif,pendekatan ini diperlukan karena timbulnya suatu permasalahan
terhadap hasil penyelesaian rumus perhitungan waktu salat yang merupakan salah
satu ibadah penting umat Islam dan termasuk salah satu rukun Islam.Hasil penelitian
ini menyimpulkan bahwa, ketinggian tempat sangat mempengaruhi hasil perhitungan
awal waktu salat Magrib, Isya dan Subuh.Sedangkan kecemerlangan langit
mempengaruhi awal waktu salat Isya dan Subuh.

Kata Kunci: ilmu falak dan penentuan waktu salat

Abstract
Astronomy is a science which studies the trajectory of celestial objects such as the
Earth, the moon, the sun and the stars in order to understand the direction and the
time at the Earth's surface for the sake of worshiping. The determination of the early
time of prayer time is the scope of astronomy. In this study, the issues be studied is
the effect of altitude and the brilliance of the sky in determining the prayers' times.
To answer the problems, the writer used descriptive qualitative method and
normative approach. This approach is necessary because of the emergence problem
on the results of the completion on the calculation formulas of the prayers' time
which is one of the most important worship and the attributes if Islam. The results of
the research find that altitude is greatly affect the results of the initial calculation of
Maghrib, Isya, and Subuh. While, the brilliance of the sky affects the initial prayer
time of Isya and shubuh.

A. Pendahuluan
1. Latar Belakang Masalah
Salat merupakan ibadah yang paling utama dan persoalan yang sangat
signifikan dalam Islam.Oleh karena itu, Islam memposisikan salat sebagai suatu yang


Ismail
khusus dan fundamental, yaitu menjadikan salah satu rukun Islam yang harus
ditegakkan. Salat juga merupakan kewajiban yang harus dilakukan setiap hari secara
independen terhadap lingkungan external, bahkan independen dari kondisi fisik
manusia, dalam artian, salat diwajibkan kepada orang yang tua renta, orang yang
sakit bahkan lumpuh sekalipun, dalam perjalanan, bahkan dalam kondisi
peperangan.1
Dalam menunaikan kewajiban ibadah salat, kaum muslimin tidak bisa
memilih waktu seperti yang dikehendakinya. Salat tidak dikerjakan saat kaum
muslimin memiliki waktu luang akan tetapi kaum muslimin harus meluangkan waktu
untuk mengerjakan salat bila waktunya telah tiba, karena salat telah terikat dengan
waktu-waktu yang telah ditentukan.
Waktu salat yang ada selama ini di tempat-tempat ibadah, seperti masjid,
musalla dan menasah adalah hasil kreatifitaspara ahli falakdalam menetapkan
patokan waktu salat berdasarkan pada gerak semu matahari dengan patokan tinggi
matahari dilihat dari suatu tempat, yang dengan keteraturan gerak harian Matahari
sehingga bisa dimodelkan2 dalam bentuk rumus atau algoritma. Setelah posisi
Matahari diketahui, baru dikolaborasikan dengan waktu pertengahan yang bisa
dipedomani dengan mudah oleh manusia dengan cara disimpan di arloji yang biasa

dipakai saat ini.
Tinggi Matahari saat terjadi awal masuk waktu salat adalah sebagai berikut:
1. Awal masuk waktu Zuhur : 0 derajat
2. Awal masuk waktu Asar : Z ashar= tanˉ¹ (tan abs (do – Lu) + 1)
3. Awal masuk waktu Magrib : -1 atau 91 derajat
4. Awal masuk waktu Isya

: -18 atau 108 derajat

5. Awal masuk waktu Subuh : -20 atau 110 derajat.
Data tinggi matahari untuk penentuan waktu salat tidak seragam di seluruh
dunia, khususnya pada data tinggi matahari untuk waktu Insya dan Subuh. Menurut
Susiknan Azhari, secara umum data tinggi matahari untuk penentuan waktu salat
yang ada di Indonesia masih banyak dipengaruhi oleh data yang ada di Mesir. Oleh

1

Tono Saksono, Mengungkap Rahasia Simponi Dzikir Jagat Raya, Cet. I (Bekasi: Pustaka
Darul Ilmi, 2006), 99.
2


Rumus ilmu falak yang berkaitan dengan perhitungan waktu salat, pada kebanyakan
menganut teori Trigonometri Bola.

74

| Jurnal Ilmiah ISLAM FUTURA

METODE PENENTUAN AWAL WAKTU SALAT
karenanya ia menyarankan agar data ketinggian matahari dalam penentuan waktu
salat sudah saatnya untuk didialogkan dengan hasil-hasil riset kontemporer.3
Di Indonesia nilai tinggi matahari dalam rumus waktu salat selalu sama untuk
semua wilayah. Hal ini mengakibatkan hasil perhitungan waktu salat akan sama
untuk semua wilayah tanpa memandang kadar kecemerlangan langit(twilight) dan
tinggi rendah suatu daerah. Realita yang sebenarnya telah diketahui bahwa bentuk
bumi tidaklah datar,akan tetapi berbentuk bulat dengan permukaannya ada lautan dan
daratan. Daratan juga bervariasi dalam keluasan dan ketinggiannya, dalam hal ini
bisa diambil sampel pada provinsi Aceh. Dalam peta Aceh, bisa didapatkan batas
keluasan Aceh dari 2 derajat sampai 6 derajatLintang Utara, 95 derajat sampai 98
derajatBujur Timur, dengan ketinggian tempat dari 0 meter sampai 3000 meter di

atas permukaan laut.4
Kecemerlangan langit di suatu daerah juga berbeda dengan daerah yang lain,
kecerahan langit sangat tergantung pada kepadatan partikel dalam atmosfer lokal
seperti aerosol, polusi cahaya dan ketinggian tempat.5 Data ketinggian tempat dan
kecemerlangan langit selama ini masih terabaikan dalam proses mencari ketinggian
matahari untuk patokan awal waktu salat, padahal secara geografis Negara Indonesia
sangat luas secara lintang dan panjangsecara bujur.
Dari pemaparan di atas dapat dipahami bahwa perlu pendiskusianyang
mendalam atau kajian ulang secara khusus terhadappenggunaan data dalam mencari
nilai

tinggi

matahari

untuk

metodepenentuan

waktu


salatagar

dapat

menyempurnakan teori yang telah ada. Untuk memastikan pengaruh penambahan
nilai tinggi tempat dan nilai kecemerlangan langit dalam mencarinilai tinggi matahari
untuk perhitungan waktu salat, maka penulis merasa tertarik untuk membahas
permasalahan tersebut secara komprehensifyang penulis tuangkan dalam sebuah
judul “Metode Penentuan Waktu Salat dalam Perspektif Ilmu Falak”.

3

Susiknan Azhari, Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Moderen, Cet. II
(Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2007), 70.
4

Peta Provinsi Naggroe Aceh Darussalam, Medan: CV. Inti Fajar Baru.

5


Dhani Herdiwijaya, Aplikasi waktu subuh dan Insya (twilight), disampaikan pada acara
Diskusi Pengamatan Kecerlangan Langit, Imah Nong, Lembang 30 Agustus 2014.

Volume 14 No.2, Februari 2015 |

75

Ismail
2. Identifikasi dan Pembatasan Masalah
Identifikasi masalah adalah mencari gejala atau masalah yang ada pada suatu
konsep atau kasus yang memerlukan kepada penelitian untuk menjadi jelas.
Sedangkan pembatasan masalah adalah membuat fokus masalah, supaya penelitian
tetap berada dalam koridornya dan tidak lari kepada masalah yang lain.6
Penelitian ini tidak berangkat dari suatu yang tidak ada, namun berdasarkan
persepsi seseorang terhadap adanya suatu masalah.7 Oleh karena demikian, metode
penentuan waktu salat dapat diidentifikasikan dengan masih adanya masalah yang
perlu diteliti dan didalami lebih lanjut, yaitu menyangkut dengan data yang
digunakan dalam mencari nilai tinggi matahari untuk rumusperhitunganwaktu salat,
di mana selama ini masih mengabaikan nilai tinggi tempat, kecemerlangan langit,

lintang tempat hanya digunakan untuk titik perhitungan saja,data astronomis hanya
diambil satu kali dalam satu hari perhitungan, dan nilai ikhtiyat yang tidak seragam.
Pada dasarnyaformat dalam mencari nilai tinggi matahari yang ada dalam
penentuan waktu salat terbagi pada dua kelompok. Pertama, langsung berpatokan
pada pusat Matahari, seperti tinggi Matahari untuk waktu Zuhur, Ashar danMagrib.
Kedua, untuk menentukan nilai tinggi matahari harus berpatokan pada bias cahaya
matahari seperti waktu Insya dan Subuh. Data yang selama ini digunakan dalam
mencari nilai tinggi matahari tidak menganggap penting terhadap nilai tinggi tempat
dan kondisi kecemerlangan langit, sehingga dalam data didapatkan ketinggian tempat
hanya digunakan 10 meter di atas permukaan laut untuk semua lokasi. Hal ini
mengakibatkan nilai tinggi matahari dalam penyelesaian rumus waktu salat bisa
dianggap untuk semua tempat sama walau untuk daratan yang lebih tinggi di atas 10
meter.Sedangkan data kecemerlangan langit, selama ini sama sekali tidak digunakan
dalam data mencari nilai tinggi matahari.
Sampai di sini,bisa diindentifikasikanmasih banyakmasalah dalam metode
penentuan waktu salat, yaitu data ketinggian tempat, data kecemerlangan langit, data
astronomis, lintang tempat dan nilai ikhtiyat.Dalam mencari format baru untuk
penyempurnaan metode penentuan waktu salat, peneliti berusaha memfokus pada
menggali kembali format nilai tinggi matahari dalam rumus waktu salat dengan
mempertimbangkan nilai tinggi-rendah suatu tempat dan nilai kecemerlangan langit.

6

S. Nasution, Metode Research (Penelitian Ilmiah), Cet. V (Jakarta: Bumi Aksara, 2002), 18.

7

Lexi J. Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, Cet. VI (Bandung: Remaja Rosdakarya,
1995), 62.

76

| Jurnal Ilmiah ISLAM FUTURA

METODE PENENTUAN AWAL WAKTU SALAT
3. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan pembatasan masalah di atas, maka
masalah inti dari penelitian ini adalah, “metode penentuanwaktu salat dalam
perspektif ilmu falak”. Selanjutnya, masalah ini melahirkan pertanyaan yang lebih
spesifik dan terfokus, yaitu:
1. Bagaimana dampakpenambahan nilai tinggi tempat terhadap penentuan

waktu salat?
2. Bagaimana dampak penambahan nilai kecemerlangan langit terhadap
penentuan waktu salat?

4. Metode Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji secara komprehensif tentang
pengaruh penambahan data ketinggian tempat dan kecemerlangan langitterhadap
nilai tinggi matahari dalam penyelesaian rumus waktu salat dengan menganalisis
metode

penyelesaian

rumus

waktu

salat

yang


telah

ada

dengan

tetap

mempertimbangkan ketentuan-ketentuan teori tregonometri bola.
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini deskriptif kualitatif8 dengan penelitian pustaka
(library

reseach),

yakni

bersifat

pernyataan

serta

proposisi

yang

dikemukakan dan dilahirkan oleh para cendekiawan sebelumnya. Dalam hal
ini, penelitian diarahkan dan difokuskan kepada telaah dan pembahasan
bahan-bahan pustaka yang ada kaitannya dengan masalah yang dikaji, seperti
buku-buku ilmu falak yang membahas tentang metode penentuan waktu salat
untuk penyempurnaan teori dalam penentuan awal waktu salat.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis9 yaitu menggambarkan secara
proporsional bagaimana objek yang diteliti serta menginterpretasikan data
8

Cik Hasan Bisri, Model Penelitian Fiqh, Paradiqma Penelitian Fiqh dan Fiqh Penelitian,
Jld. I, Cet. I (Jakarta: Prenada Media, 2003), 190. Maksud dari penelitian kualitatif adalah suatu
proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu
fenomena sosial dan masalah manusia. Penelitian ini lebih menekankan pada makna, penalaran, dan
definisi situasi tertentu dalam konteks tertentu.
9

Merujuk kepada pendapat Hadari Nawawi, yang mengatakan metode ini tidak sekedar
mengumpulkan data, tetapi meliputi juga analisis dan interpretasi data, oleh karena itu, metode ini
disebut deskriptif-analitis. Baca: Soejono dan Abdurrahman, Metode Penelitian; Suatu Pemikiran dan
Penerapan, Cet. II (Jakarta: Rineka Cipta dan Bina Adiaksara, 2005), 21-22.

Volume 14 No.2, Februari 2015 |

77

Ismail
yang ada untuk selanjutnya dianalisis. Dalam penelitian ini, penulis berusaha
untuk mendeskripsikan dan menjelaskan pengaruh penambahan data
ketinggian tempat dan kecemerlangan langitterhadap nilai tinggi Matahari
dalam perhitungan waktu salat.Dari sisi cara pandang terhadap masalah yang
diteliti, penelitian ini menggunakan pendekatan normatif. Pendekatan ini
diperlukan karena timbulnya suatu permasalahan terhadap hasil penyelesaian
rumusperhitungan waktu salat yang merupakan salah satu ibadah penting
umat Islam dan termasuk salah satu rukun Islam.
3. Sumber Data
Sumber data yang dijadikan acuan adalah:
a. Sumber primer, merupakan sumber data pokok atau bahan-bahan yang
mengikat dalam pembahasan ini. Sumber pokok dari jenis sumber data dalam
penelitian ini adalah buku-buku ilmu falak yang membahas secara langsung
metode penentuan waktu salat. Dalam hal ini penulis memfokuskan pada
buku-buku yang diterbitkan setelah tahun 2000 M, seperti buku Kementerian
Agama RI, Ilmu Falak Praktik, Cet. I, 2013, Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak
Dalam Teori dan Praktik, Cet. III, t.t., M. Yusuf Harun, Pengantar Ilmu
Falak,Cet. I, 2008, A. Jamil, Ilmu Falak (Teori & Aplikasi), Cet.I, 2009, Tim
Majelis

Tarjih

dan

Tajdid

PP

Muhammadiyah,

Pedoman

Hisab

Muhammadiyah, Cet. II, 2009, Susiknan Azhari, Ilmu Falak: Perjumpaan
Khazanah Islam dan Sains Modern, Cet. II, 2007.
b. Sumber sekunder, merupakan bahan-bahan yang menjelaskan sumber data
primer, seperti hasil penelitian, pendapat para pakar yang mendukung tema
pembahasan. Dalam hal ini adalah Peta Aceh, GPS, Altimeter, Sky Quality
Meter (SQM),Accurate Times, Google Earth, Kamus Ilmu falak dan
Ensiklopedi Hisab Rukyah dan jadwal salat yang telah ada.
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam
pengumpulan

penelitian
data

dengan

ini,

peneliti

cara

menggunakan

dokumentasi.

teknik-teknik

Dokumentasi

mengumpulkan data yang berasal dari dokumen-dokumen.

adalah
Menurut

Suharsimi Arikunto dalam bukunya yang berjudul Prosedur Penelitian:
Suatu Pendekatan Praktek, dokumentasi adalah metode mencari data
mengenai hal-hal atau variabel berupa catatan, transkrip, prasasti, buku, surat

78

| Jurnal Ilmiah ISLAM FUTURA

METODE PENENTUAN AWAL WAKTU SALAT
kabar, majalah, dan sebagainya.10Metode dokumentasi ini peneliti gunakan
untuk

memperoleh

data

dari

dokumen-dokumen

kepustakaan

guna

mengetahui dan mendeskripsikan ketetapan dalam penentuan waktu salat.
Dokumen yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah dokumendokumen yang membahas tentang metode penentuan waktu salat, yang dalam
hal ini adalah kitab-kitab atau buku-buku yang berhubungan dengan ilmu
falak dalam hal menganalisis data ketinggian matahari untuk penentuan
waktu salat. Dokumen lain yang dibutuhkan adalah kitab-kitab atau bukubuku ilmu falak dan atronomi untuk menemukan pengaruh penambahan data
ketinggian tempat dan kecemerlangan langit terhadap ketinggian matahari
dalam penentuan waktu salat. Juga dibutuhkan kitab-kitab atau buku-buku
fiqh untuk mengetahui hasil ijtihad para ulama dalam memahami dalil-dalil
tentang penentuan waktu salat juga untuk mengetahui singkronisasi dengan
waktu sekarang. Data pendukung lain yang peneliti gunakan adalah GPS,
Altimeter, Sky Quality Meter (SQM),Accurate Times, Google Earth untuk
mengukur keakuratan data yang peneliti temukan dalam dokumentasi sepeti
ketinggian tempat, kecemerlangan langit dan jadwal salat yang telah ada.
5. Teknis Analisis Data
Secara teknis, analisis data dilakukan lewat tahapan sebagai berikut:
a. Tahap editing,11yakni peninjauan kembali terhadap kelengkapan,
kejelasan tulisan, dan tingkat pemahaman peneliti terhadap data yang
telah terkumpul.
b. Tahap reduksi,12 yakni seluruh data yang diperoleh disederhanakan, diberi
kode tertentu, dan dibuat dalam bentuk abstraksi, dengan tujuan untuk
menajamkan pengorganisasian data, dan membuang yang tidak perlu,
sehingga memudahkan dalam verifikasi serta penarikan kesimpulan.

10

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek, Cet. XIII (Jakarta :
Rineka Cipta, 2006), 188.
11

Editing adalah kegiatan memperbaiki kualitas data serta menghilangkan keraguan padanya.
Lihat: Muhammad Nazir, Metode Penelitian, Cet. V (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), 346.
12

Abstaksi adalah usaha membuat rangkuman yang inti, proses, dan pernyataan-pernyataan
yang perlu dijaga sehingga tetap berada didalamnya. Lihat: Lexy J. Moleong, metodologi penelitian.
Cet. V (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), 190.

Volume 14 No.2, Februari 2015 |

79

Ismail
c. Tahap interpretasi,13yakni tahapan penafsiran dan pemahaman terhadap
data yang telah mengalami proses editing dan reduksi, selanjutnya
menetapkan hubungan di antara data tersebut, sehingga menjadi suatu
kesatuan yang utuh, harmonis dan logis. Tujuannya adalah menggali
kandungan makna yang memungkinkan sebagai sebuah konsep subtantif
mengenai masalah yang dikaji.

B. Pembahasan
Ilmu falak yang membahas tentang perhitungan awal waktu salat pada
dasarnya merupakan perhitungan untuk menentukan nilai tinggi matahari dan nilai
sudut waktu matahari dalam perjalanan semu dari arah Timur ke Barat.Dalam
penerapannya yaitu menghitung berapa jarak busur tinggi matahari sepanjang
lingkaran vertikal mulai dari ufuk sampai ke matahari dan berapa nilai sudut waktu
matahari yang dihitung mulai dari titik kulminasi atas sampai matahari berada.14
Secara historis, cara perhitungan awal waktu salat di Indonesia dari masa ke
masa mengalami perkembangan sesuai dengan majunya ilmu pengetahuan dan sains
teknologi yang dimiliki oleh masyarakat Islam Indonesia itu sendiri. Perkembangan
tersebut terlihat pada peralatan yang digunakan untuk penentuannya, seperti adanya
jam bencet atau miqyas, tongkat istiwa’, rubu’ al-mujayyab, jadwal salat abadi secara
manual dan jadwal salat abadi secara digital.Selain itu, data yang digunakan untuk
perhitungan juga mengalami perkembangan dari segi akurasi titik koordinat maupun
sistem teori perhitungannya.15
Dari perkembangan ini, metode perhitungan awal waktu salat dapat
diklasifikasikan menjadi metode klasik dan metode kontemporer.Di samping itu juga
dapat diklasifikasikan menjadi metode hisab dan metode rukyah.Metode rukyah
disimbolkan bagi penentuan awal waktu salat dengan menggunakan miqyas, tongkat

13

Interprestasi data adalah memberikan arti yang signifikan terhadap analisis, menjelaskan
pola uraian, dan mencari hubungan di antara dimensi-dimensi uraian.Lihat : Lexy J. Moleong,
metodologi penelitian..., 103.
14

Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik, Cet. II (Yogyakarta: Buana
Pustaka, t.th), 80-82.
15

Ahmad Izzuddin, Akurasi Metode-metode Penentuan Arah Kiblat, Cet. I, (Jakarta:
Kementerian Agama RI, 2012), hlm. 25.

80

| Jurnal Ilmiah ISLAM FUTURA

METODE PENENTUAN AWAL WAKTU SALAT
istiwa’ dan rubu’ al mujayyab.Sedangkan hisab disimbolkan bagi yang menentukan
awal waktu salat dengan teori trigonometri bola.16
1. Pengertian Ilmu Falak
Ilmu falak merupakan ilmu pengetahuan eksak yang objeknya berkaitan
dengan benda-benda langit seperti Bumi, Bulan dan Matahari.17Secara etimologi,
kata falak berasal dari bahasa Arab yaitu ‫ ﻓﻠﻚ‬yang mempunyai arti lintasan bendabenda langit atau bermakna orbit dalam bahasa Inggris.18
Adapun secara terminologi, dapat dikemukakan beberapa definisi yang ada
dalam tulisan individu dan lembaga, antara lain sebagai berikut:
1. Kementerian Agama RI, ilmu falak adalah ilmu yang mempelajari tentang
lintasan benda-benda langit, di antaranya Bumi, Bulan dan Matahari.19
2. Muhammadiyah, ilmu falak sepadan maknanya dengan ilmu haiah dan ilmu
astronomi, yaitu ilmu pengetahuan yang mengkaji posisi-posisi geometris
benda-benda langit guna menentukan penjadwalan waktu di muka Bumi.20
3. Nur Hidayatullah Al-Banjari, ilmu falak adalah ilmu pengetahuan eksak yang
objeknya berkaitan dengan Bumi, Bulan, Matahari dan benda-benda langit
lainnya.21
4. Susiknan Azhari, ilmu falak adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari
lintasan benda-benda langit, seperti Matahari, Bulan, bintang-bintang dan
benda-benda langit lainnya, dengan tujuan untuk mengetahui posisi dari
benda-benda langit itu serta kedudukannya dari benda-benda langit yang
lain.22
5. Muhyiddin Khazin, ilmu falak adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari
lintasan benda-benda langit, khususnya Bumi, Bulan dan Matahari pada
16

Ahmad Izzuddin, Akurasi Metode-metode…, hlm. 26.

17

Nur Hidayatullah Al-Banjary, Penemu Ilmu Falak: Pandangan Kitab Suci dan Peradaban
Dunia, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2013), hlm. 1.
18

Kementerian Agama RI, Ilmu Falak Praktik, Cet. I, (Jakarta: Sub. Direktorat Pembina
Syariah dan Hisab Rukyat Direktorat Urusan Agama Islam & Pembina Syariah, 2013), hlm. 1.
19

Kementerian Agama RI, Ilmu Falak Praktik…, hlm. 1.

20

Tim Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Pedoman Hisab Muhammadiyah, Cet.
II (Yogyakarta: Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah, 2009), 3.
21

Nur Hidayatullah Al-Banjary, Penemu Ilmu Falak…,1.

22

Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat, Cet. II (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008),

66.

Volume 14 No.2, Februari 2015 |

81

Ismail
orbitnya masing-masing dengan tujuan untuk diketahui posisi benda langit
antara satu dengan yang lainnya, agar dapat diketahui waktu-waktu di
permukaan Bumi.23
Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa ada yang sudah membatasi objek
kajian ilmu falak pada lintasan Bumi, Bulan dan Matahari saja, ada juga yang masih
memperluas cakupannya hingga ke planet-planet lain. Bila dilihat dalam literatur
modern, materi ilmu falak khusus mengkaji tentang orbit benda-benda langit seperti,
Bumi, Bulan, Matahari dan bintang-bintang yang berkaitan dengan penentuan arah
dan waktu di Bumi untuk keperluan ibadah saja, seperti penentuan arah kiblat, awal
waktu salat, awal bulan dan perhitungan gerhana. Oleh karena itu, definisi ilmu falak
yang relevan dengan kajian ilmu falak selama ini adalah ilmu pengetahuan yang
mempelajari tentang lintasan benda-benda langit seperti, Bumi, Bulan, Matahari dan
bintang-bintang agar dapat diketahui arah dan waktu di permukaan Bumi untuk
keperluan ibadah.
Dalam masyarakat Aceh, ilmu falak sering disamakan dengan ilmu nujum
(astrologi).Menurut mereka, ilmu falak adalah sebuah ilmu pengetahuan yang
mempelajari sesuatu yang berkaitan dengan alam semesta, tidak dibedakan antara
ilmu falak dalam pengertian sains dan ilmu falak dalam pengertian mitos
(astrologi).24Ini mungkin salah satu penyebab kurangnya minat masyarakat Aceh
dalam mempelajari dan mendalami ilmu falak di masa-masa awal pasca
kemerdekaan, karena ada penggabungan asumsi antara makna ilmu falak sains dan
ilmu falak mitos (ilmu nujum) dalam masyarakat.Aktivitas kajian ilmu falak saat itu
dapat dihentikan oleh pemahaman pelarangan dalam mempelajari ilmu nujum.25
Peristiwa ini suatu hal yang wajar, karena bila dilihat objek formal dan material
antara ilmu falak dengan ilmu nujumsama. Objek material ilmu falak dan ilmu nujum
adalah benda-benda langit, begitu pula objek formal kedua ilmu ini juga sama, yaitu
lintasan (orbit) benda-benda langit. Perbedaan yang mendasar antara ilmu falak
dengan ilmu nujum adalah, ilmu falak mempelajari lintasan benda-benda langit untuk

23

Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik, Cet. III (Yogyakarta: Buana
Pustaka, t,th), 1. Lihat juga tulisan T. Mahmud Ahmad, Ilmu Falak, Cet. I (Banda Aceh: PeNA,
2013), 1.
24

Husna Tuddar Putri, Tesis: Pemikiran Syekh Abbas Kuta Karang Tentang Hisab Penentuan
Awal Bulan Hijriah (Semarang: IAIN Walisongo, 2013), 14.
25

82

Abdullah Ibrahim, Peranan Ilmu Falak Dengan Ibadah (t.tp: tp, 2011), 3.

| Jurnal Ilmiah ISLAM FUTURA

METODE PENENTUAN AWAL WAKTU SALAT
penentuan arah dan waktu di permukaan Bumi, sedangkan ilmu nujum mempelajari
lintasan benda-benda langit untuk penentuan peristiwa-peristiwa baik dan buruk di
Bumi, seperti bencana dan nasib baik buruk seseorang.26
Ilmu ini juga memiliki beberapa sebutan, disebut dengan “ilmu falak”, sebab
mempelajari lintasan benda-benda langit.Disebut “ilmu hisab”, karena ilmu ini
menggunakan perhitungan.27 Disebut “ilmu rashd (‫”)اﻟﺮﺻﺪ‬, sebab ilmu ini
memerlukan pengamatan.28Bila dilihat dari segi penamaan dan pengertian, ilmu falak
perlu penelitian khusus untuk menemukan format yang tegas, mengingat banyak
literatur ilmu falak selama ini belum ada perbedaan yang signifikan dalam memberi
pengertian dan penamaan ilmu falak dengan ilmu astronomi.

2. Objek Kajian Ilmu Falak
Setiap disiplin ilmu pengetahuan harus memiliki objek material dan
formal.Objek formal dan material menjadi syarat keilmuan untuk dapat disebut ilmu
pengetahuan.29Dengan demikian, setiap ilmu pengetahuan harus memiliki objek
material dan objek formal, termasuk ilmu falak.
Objek material adalah sesuatu yang dijadikan sasaran kajian, penyelidikan
atau sesuatu yang diteliti, baik sesuatu yang konkrit atau yang abstrak. Sementara
objek formal adalah cara pandang dan perspektif yang digunakan oleh seorang
peneliti dalam mempelajari atau mengkaji objek material. Objek formal inilah yang
membedakan cabang ilmu yang satu dengan lainnya. Objek material suatu ilmu bisa
sama, misalnya manusia, namun perspektif yang digunakan untuk mengkaji dan
memahami manusia bisa berbeda, misalnya bisa psikologi, sosiologi, politik,
ekonomi maupun antropologi.30Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa objek
material ilmu falak adalah benda-benda langit, seperti Bumi, Bulan, Matahari dan
bintang-bintang, karena benda-benda langitlah yang dijadikan sasaran kajian atau
penyelidikan atau penelitian dalam ilmu falak. Sedangkan objek formalnya adalah
26

Ibid., 3.

27

Untuk katagori sekarang, ada beberapa buku yang langsung diberi nama dengan ilmu hisab,
seperti buku Muchtar Yusuf, Ilmu Hisab dan Rukyah, 2010. Encup Supriatna, Hisab Rukyat dan
Aplikasinya, 2007.
28

Nur Hidayatullah Al-Banjary, Penemu Ilmu Falak…, 2-3.

29

Danial, Seri Buku Daras Filsafat Ilmu, Cet. I (Yogyakarta: Kaukaba, 2014), 5-6.

30

Ibid., 5-6.

Volume 14 No.2, Februari 2015 |

83

Ismail
lintasan atau orbit benda-benda langit, karena lintasan benda-benda langitlah yang
dijadikan cara pandang ilmu falak.31
Bila dilihat dari sisi objek material, maka ilmu falak memiliki kesamaan
dengan ilmu lain, seperti astrofisika, astromekanik, kosmografi dan kosmologi,
karena sama-sama menjadikan benda-benda langit sebagai sasaran penyelidikan atau
penelitian, tetapi objek formalnya yang berbeda. Astrofisika melihat benda-benda
langit dari segi ilmu alam dan kimia.Astromekanik, dari segi ukuran dan jarak antara
satu benda langit dengan lainnya.Kosmografi, dari segi susunan dan gambaran umum
terhadap benda-benda langit.Kosmologi, dari segi asal-usul struktur dan hubungan
ruang waktu dari alam semesta.32

3. Data dalam Perhitungan Waktu Salat
Dalam perhitungan waktu salat, mengetahui data-data yang digunakan dalam
penyelesaian rumus sangatlah penting, karena menjadi jantung dalam perhitungan
waktu salat, dalam artian kebenaran hasil perhitungan waktu salat sangat tergantung
keakuratan dari data-data yang digunakan. Oleh karena itu penulis merasa penting
untuk membahas data-data yang diperlukan untuk menyelesaikan rumus penentuan
waktu salat.
1. Lintang dan Bujur tempat
Dalam setiap perhitungan waktu salat, lintang dan bujur tempat sangat
penting karena hasil perhitungan tidak akan sesuai dengan suatu daerah bila lintang
dan bujur tidak sesuai.
Lintang tempat yang biasanya disimbolkan dengan fi (φ) adalah jarak garis
khayali yang diukur dari garis khatulistiwa ke suatu tempat sampai ke kutub.Bila
daerah berada sebelah utara garis katulistiwa dinamakan Lintang Utara (LU) yang
bernilai positif (+), sedangkan daerah yang ada di belahan selatan garis katulistiwa
dinamakan dengan Lintang Selatan (LS) yang bernilai negatif (-).33 Sebagai contoh,
31

Kesimpulan penulis tentang objek material dan objek formal ilmu falak berbeda dengan apa
yang telah disimpulkan oleh Susiknan Azhari, dimana benda-benda langit yang dijaikan objek formal
dan lintasan benda-benda langit dijaikan objek material. Lihat Susiknan Azhari, Ilmu Falak:
Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, Cet. II (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2007),
2. Lihat juga, A, Kadir, Formila Baru Ilmu Falak, Cet. I (Jakarta: Amzah, 2012), 23.
32

Kementerian Agama RI, Ilmu Falak Praktik…, 2

33

A.Jamil, Ilmu Falak: Teori dan Aplikasi…, 9. Lihat juga, Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak
dalam Teori dan Praktik…, 39-40.

84

| Jurnal Ilmiah ISLAM FUTURA

METODE PENENTUAN AWAL WAKTU SALAT
Lhokseumawe +05° 10ʹ 48,36ʺ dan kota Semarang -07ᵒ 00ʹ. Dari dua daerah ini dapat
dipastikan bahwa kota Lhokseumawe berada di belahan Utara garis khatulistiwa
dengan jarak 5 derajat 10 menit 48,36 detik, dan kota Semarang berada di belahan
Selatan garis katulistiwa dengan nilai 7 derajat 00 menit. Penetapan garis
khatulistiwa sebagai garis lintang 0 tidak dipolitisi oleh pihak manapun, dimana
penetapan ini terjadi seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan tentang Bumi
yang dimiliki oleh manusia.
Bujur tempat yang biasanya disimbolkan dengan lamda (λ) adalah garis
khayali yang diukur dari jarak suatu tempat mulai dari kota Greenwich di Inggris
yang dijadikan sebagai garis bujur 0° sampai dengan bujur 180° sebelah Timur atau
180° sebelah Barat. Daerah yang berada di sebelah Timur kota Greenwich nilai
bujurnya minus (-) dan dinamai dengan Bujur Timur (BT). Sedangkan daerah yang
berada sebelah Barat kota Greenwich nilai bujurnya positif (+) dan dinamai dengan
Bujur Barat (BB). Daerah perjumpaan antara Bujur Timur dengan Bujur Barat
dijadikan sebagai batasan Garis Tanggal Internasional (GTI) yang dalam bahasa
Inggris dikenal dengan International Date Line, di mana garis ini tepat melintas di
tengah-tengan Samudera Pasifik.34
2. Sudut waktu Matahari
Sudut waktu Matahari adalah jarak busur sepanjang lingkaran harian
Matahari dihitung dari titik kulminasi atas sampai Matahari berada.35 Nilai sudut
waktu Matahari adalah 0 derajat ketika Matahari berkulminasi atas, atau ketika
Matahari tepat pada garis meridian langit, dan 180 derajat ketika Matahari berada di
titik kulminasi bawah. Nilai sudut waktu Matahari bertanda positif (+) ketika
Matahari berada di belahan Barat dan bernilai negatif (-) di saat Matahari berada di
sebelah Timur. Sudut waktu Matahari terbentuk pada satu sudut 90 derajat di kutub
Utara langit atau kutub Selatan langit yang diapit oleh garis meridian dan lingkaran
deklinasi yang melewati Matahari. Setiap lingkaran waktu membentuk sudut dengan
lingkaran meridian langit, sudut waktu ini terlihat pada kutub langit.

34

Susiknan Azhari, Ensiklopedia Hisab Rukyat…, 47. Lihat juga, A.Jamil, Ilmu Falak: Teori
dan Aplikasi…, 10.
35

Muchtar Yusuf, Ilmu Hisab dan Rukyah,Cet. I (Banda Aceh: Al-wasliyah University Press,

2010), 27.

Volume 14 No.2, Februari 2015 |

85

Ismail
Nilai sudut waktu Matahari ini kemudian dijadikan patokan waktu di Bumi
dengan memindahkan dari nilai busur ke nilai waktu, sistem pembahagiannya adalah
sebagai berikut:
360 derajat

= 24 jam

15 derajat

= 1 jam

1 derajat

= 4 menit waktu

15 menit

= 1 menit waktu

1 menit

= 4 detik waktu.36

Waktu di Bumi dibagi berdasarkan nilai sudut waktu Matahari dengan
berpedoman pada pembagian bujur di Bumi. Garis bujur waktu di Bumi dimulai pada
garis bujur istimewa yaitu bujur 0 derajat yang melintasi kota Greenwich di Inggris,
waktu di bujur 0 biasanya diistilahkan dengan GMT (Greenwich Mean Time). Setiap
15 derajat bujur ditetapkan satu zona waktu dengan selisih waktu satu jam. Agar
sesuai waktu untuk masing-masing wilayah, maka sebelah Barat Greenwich
dikurangi satu jam untuk satu zona waktu dari waktu waktu Greenwich dan ditambah
satu jam untuk satu zona waktu di sebelah Timur Greenwich. Untuk wilayah
Indonesia, berdasarkan Keputusan Presiden RI (Soeharto) Nomor 41 Tahun 1987
tanggal 26 November 1987 untuk selanjutnya mencabut Keputusan Presiden
(Soekarno) Nomor 243 tahun 1963, waktu daerah atau daerah kesatuan waktu dibagi
menjadi 3 wilayah yaitu Waktu Indonesia Barat (WIB), Waktu Indonesia Tengah
(WITA), dan Waktu Indonesia Timur (WIT).
3. Deklinasi Matahari
Deklinasi Matahari adalah nilai jarak suatu benda langit dari equator langit
yang dihitung berdasarkan panjang lingkaran waktu dengan satuan derajat, menit dan
detik busur, nilai deklinasi biasanya disimbolkan dengan delta (δ). Dengan diketahui
nilai deklinasi Matahari, maka posisi Matahari terhadap Bumi juga bisa ditentukan.
Hal ini sangat berguna untuk mengetahui sejauhmana bayang-bayang yang dicapai
oleh sinar Matahari pada permukaan Bumi yang merupakan data utama dalam proses
penentuan waktu salat. Mengetahui patokan waktu dalam perhitungan waktu salat
adalah suatu keharusan, karena salat diwajibkan dalam waktu tertentu dalam sehari

36

Abdul Karim dan M.Rifa Jamaluddin Nasir, Mengenal Ilmu Falak: Teori dan
Implimentasi,Cet. I (Yogyakarta: Qudsi Media, 2012), 1. Lihat juga, Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak
dalam Teori dan Praktik…, 81. Lihat juga, M.Yusuf Harun, Pengantar Ilmu Falak…, 8-9.

86

| Jurnal Ilmiah ISLAM FUTURA

METODE PENENTUAN AWAL WAKTU SALAT
semalam lima waktu. Dengan mengetahui nilai deklinasi Matahari di suatu daerah,
perhitungan awal waktu salat di suatu daerah akan akurat dan tepat pada waktunya.37
Nilai deklinasi Matahari dalam setahun tidaklah sama, nilainya akan selalu
berubah-ubah sesuai dengan pergeseran dalam gerak semu harian Matahari dari arah
Timur ke Barat yang diakibatkan oleh miringnya ekliptika terhadap equator langit
sebesar 23 derajat 27 menit busur. Nilai deklinasi Matahari sebelah Utara equator
diberi tanda positif (+) dan sebelah Selatan equator diberi tanda negatif (-). Nilai
deklinasi Matahari 0 derajat pada saat Matahari persis berada pada garis equator
langit yaitu pada tanggal 21 Maret, selanjutnya Matahari akan bergerak ke arah Utara
sampai pada pada titik penghujung Utara yang dikenal dengan titik balik Utara pada
tanggal 21 Juni dengan nilai deklinasi tertinggi +23 derajat 30 menit. Setelah itu
Matahari kembali ke garis equator pada tanggal 23 September untuk kemudian
bergerak ke Selatan sampai pada titik penghujung Selatan pada tanggal 22 Desember
dengan nilai deklinasi -23 derajat 30 menit.38
Nilai deklinasi Matahari yang mengalami perubahan dari waktu ke waktu
selama setahun dapat diketahui pada tabel astronomis, seperti Almanak Nautika,
Ephemiris, atau pada software yang menyajikan data astronomis.
4. Tinggi Matahari
Tinggi Matahari adalah nilai jarak busur sepanjang lingkaran vertikal
dihitung dari ufuk sampai Matahari berada. Nilai tinggi Matahari bertanda positif (+)
apabila posisi Matahari berada di atas ufuk, dan bila posisi Matahari berada di bawah
ufuk, maka nilai tinggi Matahari bertanda negatif (-), dalam ilmu falak disimbolkan
dengan hₒ sebagai singkatan dari hight of sun.39
Untuk merespon upaya pengembangan ilmu falak, khususnya dalam
perhitungan awal waktu salat, penelitian ini mencoba untuk menempatkan diri pada
tahapan penyempurnaan teori.Dimana penulis menambahkan data ketinggian tempat
untuk waktu salat Magrib, dan data kecemerlangan langit untuk penentuan tinggi
Matahari untuk awal waktu Isya dan Subuh.Persoalan kecemerlangan langit dalam
penentuan waktu salat Isya dan Subuh bukanlah hal yang baru. Selama ini penetapan
37

Encup Supriatna, Hisab Rukyat dan Aplikasinya, cet. I (Bandung: Refika Aditama, 2007),
21-22. Lihat juga, M.Yusuf Harun, Pengantar Ilmu Falak…, 9-10.
38

A.Jamil, Ilmu Falak: Teori dan Aplikasi, Cet. I (Jakarta : Amzah, 2009), 15-16.

39

Ahmad Musonnif, Ilmu Falak, Metode Hisab Awal Waktu Salat, Arah Kiblat, Hisab Urfi
dan Hisab Hakiki Awal Bulan, Cet. I (Yokyakarta: Teras, 2011), 44-45.

Volume 14 No.2, Februari 2015 |

87

Ismail
awal waktu Isya -18 derajat dan awal waktu Subuh -20 derajat di bawah ufuk mar’i
adalah sepenuhnya berdasar kecemerlangan langit yang dihasilkan oleh peneliti pada
masa dulu. Untuk kasus Indonesia, bila disepakati seperti yang disampaikan oleh
Susiknan Azhari bahwa ilmu falak di Indonesia berasal dari Mesir40 maka bisa
dipastikan bahwa penetapan -18 derajat untuk waktu Isya dan -20 derajat untuk awal
waktu Subuh merupakan patokan kecemerlangan langit yang ada di Mesir, belum
sepenuhnya sesuai dengan kondisi kecemerlangan langit yang ada di Indonesia.
4. Pengaruh Ketinggian Tempat Terhadap Perhitungan Waktu Salat.
Dari ketentuan yang termuat dalam Alquran dan hadis dapat dipahami bahwa
ketentuan waktu salat berkaitan dengan posisi Matahari pada bola langit, hal ini
sebagaimana dipahami dalam pembahasan sebelumnya.Bila dilihat dari system
perhitungan awal waktu salat, bisa dipastikan bahwa waktu salat Zuhur dan salat
Asar tidak dipengaruhi oleh ketinggian tempat. Artinya, dalam mencari tinggi
Matahari untuk waktu salat Zuhur dan Asar tidak dipengaruhi oleh tinggi rendahnya
suatu daerah, karena ketinggian Matahari untuk waktu salat Zuhur ditentukan
bersamaan dengan perhitungan kapan Matahari menempati posisi titik kulminasi atas
atau saat Matahari berada pada titik zenith, dan untuk sudut tinggi Matahari dalam
perhitungan waktu salat Asar ditentukan berdasarkan bayang suatu benda yang
dihasilkan saat Matahari menempati posisi terjadinya bayang suatu benda sama
panjangnya.
Waktu salat yang ada pengaruhnya dengan ketinggian tempat adalah waktu
salat Magrib, Isya dan Subuh. Artinya, dalam mencari tinggi Matahari untuk waktu
salat Magrib, Isya dan Subuh dipengaruhi oleh tinggi rendahnya suatu daerah karena
tinggi Matahari untuk waktu salat Magrib ditetepkan saat seluruh piringan Matahari
melewati garis ufuk mar’i. Garis ufuk mar’i tidak tetap, garis ini akan tinggi bila si
pengamat berada pada posisi rendah dan akan rendah bila posisi si pengamat berada
di atas dataran yang lebih tinggi. Tinggi Matahari untuk waktu salat Isya ditetapkan
saat Matahari menempati posisi yang saat itu cahaya senja (mega merah) hilang dari
ufuk Barat. Kadar waktu hilang bias cahaya senja ini juga dipengaruhi oleh tinggi
rendah lokasi sipengamat. Begitu juga dengan waktu salat Subuh, tinggi Matahari
ditetapkan saat bias cahaya fajar kelihatan di ufuk Timur dari lokasi si pengamat.

40

Susiknan Azhari, Ilmu Falak: Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Moderen, Cet. II
(Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2007), 70.

88

| Jurnal Ilmiah ISLAM FUTURA

METODE PENENTUAN AWAL WAKTU SALAT
Kadar waktu terlihat bias cahaya fajar juga sangat tergantung tinggi rendah lokasi
pengamatan. Artinya, penduduk yang berada di dataran tinggi akan lebih duluan
melihat cahaya fajar ketimbang penduduk yang berada di dataran rendah, karena
yang menjadi batasan terlihat atau tidak terlihat cahaya fajar atau cahaya senja
adalah garis ufuk.
Untuk melihat sejauhmana pengaruh ketinggian tempat terhadap perhitungan
waktu salat Magrib, Isya dan Subuh, penulis telah menghitung awal waktu salat
dengan mengambil sampel perhitungan pada dua tempat yang berbeda. Untuk
dataran rendah penulis ambil kota Lhoksemawe dengan lintang tempat (φ) = 05° 10ʹ
48,36ʺ LU. Bujur tempat (λ) = 97° 08ʹ 30,33ʺ BT. Tinggi tempat dari permukaan laut
= 1 meter. Sedangkan untuk dataran tinggi penulis ambil kota Takengon dengan
lintang tempat (φ) = 04° 37ʹ 14,59ʺ LU. Bujur tempat (λ) = 96° 50ʹ 49,86ʺ BT.
Tinggi tempat dari permukaan laut = 1256 meter.
5. Pengaruh Kecemerlangan Langit Terhadap Perhitungan Waktu Salat.
Metode perhitungan waktu salat yang dipengaruhi oleh kecemerlangan langit
adalah waktu salat yang ditetapkan oleh syar’i berdasarkan bias cahaya Matahari.Hal
ini bisa dipastikan dalam perhitungan penentuan waktu salat Isya dan Subuh, karena
kedua salat inilah yang ditetapkan oleh Aquran dan hadis berdasarkan bias cahaya
fajar dan cahaya senja. Selama ini untuk kadar cahaya senja yang merupakan
patokan bagi awal waktu salat Isya ditetapkan saat Matahari berada pada posisi -18
derajat di bawah ufuk Barat, sedangkan untuk kadar cahaya fajar yang merupakan
patokan bagi awal waktu salat Subuh sudah ditetapkan saat Matahari menempati
posisi -20 derajat di bawah ufuk Timur.
Di Indonesia kadar kecemerlangan langit semakin hari semakin redup, hal ini
diakibatkan oleh polusi dan pemanasan global. Kadar kecemerlangan langit di suatu
daerah sangat tergantung pada komposisi partikel aerosol dan partikel awan yang ada
dalam atmosfer suatu daerah.Hal ini telah disampaikan oleh seorang ahli Matahari
Universitas Teknologi Bandung yaitu Dhani Herdiwijaya. Dari hasil penelitian yang
telah dilakukan pada beberapa tempat di Indonesia yaitu Kupang, Lembang,
Yogyakarta, Cimahi dan Bandung telah mendapatkan sebuah hasil terhadap data
kecemerlangan langit yang berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah yang lain,

Volume 14 No.2, Februari 2015 |

89

Ismail
peringkat daerah yang paling cerah dimiliki oleh Kupang, kemudian Yogyakarta dan
Lembang, dan peringkat terakhir Cimahi dan Bandung.41
Berangkat dari beberapa fakta di atas dapat disimpulkan bahwa kondisi
kecemerlangan langit di Indonesia semakin hari semakin redup, keredupan langit
sangat mempengaruhi penentuan awal waktu Isya dan Subuh, karena kedua salat ini
ditentukan berdasarkan kadar bias cahaya fajar dan senja. Dalam hal pengamatan
kadar kecemerlangan langit untuk awal waktu salat Isya dan awal waktu salat Subuh,
penulis juga pernah melakukan pengamatan cahaya senja dan fajar bersama tim
Himpunan Astronomi Amatir Aceh dengan mengambil lokasi di Kota Lhokseumawe
pada bulan Juni dan Juli 2013. Pengamatan ini dilakukan 3 (tiga) kali untuk
penetapan kadar bias cahaya fajar dan 5 (lima) kali untuk kadar bias cahaya senja.

C. Kesimpulan
Dari hasil perbandingan perhitungan awal waktu salat antara hasil
perhitungan yang menambahkan data ketinggian tempat dengan hasil perhitungan
yang ada selama ini di dua masjid (Islamic Center Kota Lhokseumawe dan Mesjid
Ruhama Takengon) dapat disimpulkan bahwa ketinggian tempat mempengaruhi
penentuan awal waktu salat Magrib, Isya dan Subuh, sedangkan waktu salat Zuhur
dan Asar tidak dipengaruhi oleh ketinggian tempat, selisih hasil perhitungan pada
waktu Zuhur dan Asar satu atau dua menit masih dalam katagori toleransi. Bila dua
tempat perhitungan di atas dapat dipastikan bahwa waktu salat yang ada selama ini
lebih cocok digunakan pada daerah dataran rendah, seperti Kota Lhokseumawe, dan
tidak baik digunakan pada daerah yang dataran tinggi, seperti Kota Takengon.
Dari hasil pengamatan yang telah penulis lakukan terhadap kadar
kecemerlangan langit, dapat disimpulkan bawah bias cahaya senja 10 menit lebih
awal hilang dari yang ditetapkan sebagai awal waktu Isya, dan cahaya fajar 10 menit
terlambat dari waktu yang telah ditetapkan untuk waktu salat Subuh. Artinya, saat ini
waktu salat Isya 10 menit terlambat dari waktu seharusnya dan waktu salat Subuh 10
menit lebih awal dari waktu yang seharusnya.

41

Dhani Herdiwijaya, Diskusi Pengamatan Kecemerlangan Langit, Imah Noong , Lembang
30 Agustus 2014.

90

| Jurnal Ilmiah ISLAM FUTURA

METODE PENENTUAN AWAL WAKTU SALAT
DAFTAR PUSTAKA
A. Jamil. Ilmu Falak (teori & aplikasi). Jakarta: Amzah, 2009.
Al-Banjary, Nur Hidayatullah. Penemu Ilmu Falak: Pandangan Kitab Suci dan
Peradaban Dunia. Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2013.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta :
Rineka Cipta, 2006.
Azhari, Susiknan. Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Moderen.
Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2007.
______________. Ensiklopedi Hisab Rukyat.Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Danial. Seri Buku Daras Filsafat Ilmu.Yogyakarta: Kaukaba, 2014.
Hasan Bisri, Cik. Model Penelitian Fiqh, Paradiqma Penelitian Fiqh dan Fiqh
Penelitian. Jakarta: Prenada Media, 2003.
Herdiwijaya, Dhani. Diskusi Pengamatan Kecemerlangan Langit. Imah Noong ,
Lembang 30 Agustus 2014.
Ibrahim, Abdullah. Peranan Ilmu Falak Dengan Ibadah. t.tp: t.p, 2011.
Izzuddin, Ahmad. Akurasi Metode-metode Penentuan Arah Kiblat. Jakarta:
Kementerian Agama RI, 2012.
J. Moleong, Lexi. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya,
1995.
Karim, Abdul dan M. Rifa Jamaluddin Nasir. Mengenal Ilmu Falak: Teori dan
Implimentasi. Yogyakarta: Qudsi Media, 2012.
Kementerian Agama RI. Ilmu Falak Praktik. Jakarta: Sub. Direktorat Pembina
Syariah dan Hisab Rukyat Direktorat Urusan Agama Islam & Pembina
Syariah, 2013.
Khazin, Muhyiddin. Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik. Yogyakarta: Buana
Pustaka, t.th.
Musonnif, Ahmad. Ilmu Falak, Metode Hisab Awal Waktu Salat, Arah Kiblat, Hisab
Urfi dan Hisab Hakiki Awal Bulan.Yokyakarta: Teras, 2011.
Nasution, S. Metode Research (Penelitian Ilmiah). Jakarta: Bumi Aksara, 2002.
Saksono, Tono. Mengungkap Rahasia Simponi Dzikir Jagat Raya. Bekasi: Pustaka
Darul Ilmi, 2006.
Soejono dan Abdurrahman. Metode Penelitian; Suatu Pemikiran
Penerapan.Jakarta: Rineka Cipta dan Bina Adiaksara, 2005.

dan

Supriatna, Encup. Hisab Rukyat dan Aplikasinya. Bandung: Refika Aditama, 2007.

Volume 14 No.2, Februari 2015 |

91

Ismail
Tim

Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. Pedoman Hisab
Muhammadiyah.Yogyakarta: Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah,
2009.

Tuddar Putri, Husna. Tesis: Pemikiran Syekh Abbas Kuta Karang Tentang Hisab
Penentuan Awal Bulan Hijriah. Semarang: IAIN Walisongo, 2013.
Yusuf, Muchtar. Ilmu Hisab dan Rukyah. Banda Aceh: Al-Wasliyah University
Press, 2010.

92

| Jurnal Ilmiah ISLAM FUTURA