Komunikasi Dengan Anak Autisme

TINJAUAN PUSTAKA

OKSIGENASI DALAM SUATU ASUHAN KEPERAWATAN

Ikhsanuddin Ahmad Harahap*

ABSTRAK
Perawat dalam menjalankan perannya berorientasi terhadap pemenuhan kebutuhan
dasar manusia. Salah satu kebutuhan dasar tersebut adalah oksigen.
Seringkali perawat menganggap oksigenasi hanyalah rutinitas dan baru menganggap
serius hal tersebut bila sudah terjadi kegawatan. Pemahaman perawat tentang terapi oksigenas
dalam suatu paket intervensi asuhan keperawatan sangat berpengaruh terhadap keefektifan dan
ketepatan tindakan yang meliputi indikasi, metode pemberian dan bahaya-bahaya yang mungkin
terjadi selama dalam pemberian oksigen.
Oksigenasi merupakan salah satu intervensi kolaboratif yang dilakukan oleh perawat
sebagai bagian dari tim kesehatan dalam upaya menyelesaikan masalah pasien terutama yang
berkaitan dengan gangguan sistem pernafasan
Kata kunci : oksigen, respirasi, ventilasi, oksigenasi




Penulis adalah staf pengajar PSIK FK USU bagian Keperawatan Medikal Bedah

Jurnal Keperawatan Rufaidah Sumatera Utara, Volume 1, Mei 2005

29

PENDAHULUAN
Oksigen (O2) merupakan salah satu
komponen gas dan unsure vital dalam proses
metabolisme,
untuk
mempertahankan
kelangsungan hidup seluruh sel tubuh.
Secara normal elemen ini iperoleh dengan
cara menghirup udara ruangan dalam setiap
kali bernafas. Penyampaian O2 ke jaringan
tubuh ditentukan oleh interaksi system
respirasi, kardiovaskuler dan keadaan
hematologis.


pada tekanan parsial O2 di arteri (PaO2) 1
mmHg. Kedua bentuk pengangkutan ini
disebut sebagai kandungan O2 atau “Oxygen
Content” (CaO2) dengan formulasi:
CaO2 = (1,34 x Hb x SaO2) + (0,003 x
PaO2)
Sedangkan
banyaknya
O2
yang
ditransportasikan dalam darah disebut
dengan “Oxigen Delivery” (DO2) dengan
rumus :

Adanya kekurangan O2 ditandai
dengan keadaan hipoksia, yang dalam proses
lanjut dapat menyebabkan kematian jaringan
bahkan dapat mengancam kehidupan. Klien
dalam situasi demikian mengharapkan
kompetensi perawat dalaam mengenal

keadaan hipoksemia dengan segera untuk
mengatasi masalah.

DO2 = (10 x CaO2) x CO

Pemberian terapi O2 dalam asuhan
keperawatan,
memerlukan
dasar
pengetahuan tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi masuknya O2 dari atmosfir
hingga sampai ke tingkat sel melalui alveoli
paru dalam proses respirasi. Berdasarkan hal
tersebut maka perawat harus memahami
indikasi pemberian O2, metode pemberian
O2 dan bahaya-bahaya pemberian O2.

DO2 = (10 x CaO2) x CI

PROSES RESPIRASI

Proses respirasi merupakan proses
pertukaran gas yang masuk dan keluar
melalui
kerjasama
dengan
sistem
kardiovaskuler dan kondisi hematologis.
Oksigen
di
atmosfir
mengandung
konsentrasi sebesar 20,9 % akan masuk ke
alveoli melalui mekanisme ventilasi
kemudian terjadi proses pertukaran gas yang
disebut proses difusi. Difusi adalah suatu
perpindahan/ peralihan O2 dari konsentrasi
tinggi ke konsentrasi rendah dimana
konsentrasi O2 yang tinggi di alveoli akan
beralih ke kapiler paru.
selanjutnya didistribusikan lewat

darah dalam 2 (dua) bentuk yaitu : (1) 1,34
ml O2 terikat dengan 1 gram Hemoglobin
(Hb) dengan persentasi kejenuhan yang
disebut dengan “Saturasi O2” (SaO2), (2)
0,003 ml O2 terlarut dalam 100 ml plasma
30

Dimana CO adalah “Cardiac Output” (Curah
Jantung). CO ini sangat tergantung kepada
besar dan ukuran tubuh, maka indikator
yang lebih tepat dan akurat adalah dengan
menggunakan parameter “Cardiac Index”
(CI). Oleh karena itu formulasi DO2 yang
lebih tepat adalah :
Selanjutnya O2 didistribusikan ke jaringan
sebagai konsumsi O2 (VO2) Nilai VO2 dapat
diperoleh dengan perbedaan kandurngan O2
arteri dan vena serta CI dengan formulasi:
VO2a = (CaO2 – CvO2) x CI
Selain faktor difusi dan pengangkutan O2

dalam darah maka faktor masuknya O2
kedalam alveoli yang disebut sebagai
ventilasi alveolar.
VENTILASI ALVEOLAR
Ventilasi alveolar adalah salah satu
bagian penting karena O2 pada tingkat
alveoli ini yang berperan dalam proses
difusi.
Besarnya
ventilasi
alveolar
berbanding lurus dengan banyaknya udara
yang masuk keluar paru, laju nafas, udara
dalam jalan nafas serta keadaan metabolik.
Banyaknya udara masuk keluar paru
dalam setiap bernafas disebut sebagai
“Volume Tidal” (VT) bervariasi tergantung
berat badan. Nilai VT normal orang dewasa
± 500 – 700 ml dengan menggunakan
“Wright’s Spirometer”. Volume nafas yang

ada di jalan nafas dan tidak ikut dalam
pertukaran gas disebut sebagai “Dead
Space” (VD) (Ruang Rugi) dengan nilai
normal sekitar 150 - 180 ml, terbagi tiga: (1)
Jurnal Keperawatan Rufaidah Sumatera Utara, Volume 1, Mei 2005

Anatomic Dead Space, (2) Alveolar Dead
Space, (3) Physiologic Dead Space.
Anatomic Dead Space yaitu volume
nafas yang berada di dalam mulut, hidung
dan jalan nafas yang tidak terlibat dalam
pertukaran gas. Alveolar Dead Space yaitu
volume nafas yang telah berada di alveoli,
akan tetapi tidak terjadi pertukaran gas yang
dapat disebabkan karena di alveoli tersebut
tidak ada suplai darah. Udara yang ada di
alveoli jauh lebih besar jumlahnya dari
aliran darah pada alveoli tersebut.
Ventilasi alveolar dapat diperoleh
dari selisih volume Tidal dan ruang rugi,

dengan laju nafas dalam 1 menit.
VA = (VT – VD) x RR
Sedangkan tekanan parsial O2 di
alveolar (PaO2) diperoleh dari fraksi O2
inspirasi (FiO2) yaitu 20,9 % yang ada di
udara, tekanan udara, tekanan uap air,
tekanan parsial CO2 di arteri (PaCO2).
PaO2 = FiO2 (760 – 47) – (PaCO2 : 0,8)
Demikian
faktor-faktor
yang
mempengaruhi proses respirasi dimana
respirasi tidak saja pertukaran gas pada
tingkat paru (respirasi eksternal) tetapi juga
pertukaran gas yang terjadi pada tingkat sel
(respirasi internal).
ASUHAN KEPERAWATAN
Terapi O2 merupakan salah satu
intervensi keperawatan yang bersifat
kolaboratif yang merupakan bagian dari

paket intervensi keperawatan yang diberikan
kepada
klien
berdasarkan
diagnosa
keperawatan yang dirumuskan sesuai dengan
masalah pemenuhan oksigen pasien. Oleh
karena itu maka langkah pertama yang
perawat
lakukan
adalah
melakukan
pengkajian.
Pengkajian ini ditujukan kepada
keluhan-keluhan
klien
serta
hasil
pemeriksaan baik yang sifatnya pemeriksaan
fisik maupun pemeriksaan penunjang dan

pememriksaan diagnostik yang berkaitan
dengan system pernafasan serta system lain
yang terlibat. Pengkajian keperawatan dapat
dilakukan dengan metode wawancara yang

berkaitan dengan keluhan klien antara lain
batuk dan lendir, sesak nafas, serta keluhan
lain yang berkaitan dengan masalah
transportasi O2. metode yang lain adalah
metode observasi dengan melakukan
pemeriksaan fisik pernafasan. Data yang
didapa dapat berupa kecepatan, iram dan
kedalam pernafasan, usaha nafas, sianosis,
berkeringat, peningkatan suhu tubuh,
abnormalitas sistem perrnafasan serta
kardiovaskular. Selanjutnya data-data ini
dapat didukung oleh hasil pemeriksaan
penunjang seperti analisa gas darah ateri,
spirometer serta foto torak.
Perubahan pola nafas dapat menjadi

indikator terdini atas adanya gangguan
kebutuhan oksigen pasien, kondisi ini dapat
terjadi akibat hipoksemia atau hipoksia.
Hipoksemia
adalah
penirunan
tekanan oksigen arteri dalam darah (Brunner
& Suddarth, 2001 (Hal. 642) dapat
memunculkan masalah perubahan status
mental (berkembang mulai dari gangguan
penilaian, orientasi, kelam pikir, letargi, dan
koma), dyspnea, peningkatan tekanan darah,
perubahan frekuensi jantung, disritmia,
sianosis, diaforesis dan ekstremitas dingin.
Kondisi hipoksemia ini biasanya mengarah
kepada Hipoksia.
Hipoksia adalah adalah penurunan
suplai oksigen ke jaringan (Brunner &
Suddarth, 2001 (Hal. 642). Hipoksia yang
parah dapat mengarah kepada ancaman jiwa.
Pada Hipoksia yang berkembang cepat,
dapat terjadi perubahan pada sistem saraf
pusat karena pusat saraf yang lebih tinggi
lebih sensitif terhadap kekurangan oksigen
Tahap beikutnya adalah perumusan
Diagnosa Keperawatan yang berorientasi
kepada keluhan yang dirasakan oleh klien.
Diagnosa ini dirumuskan berdasarkan hasil
pengkajian diatas.
Adapun diagnosa keperawatan utama
pada permasalahan oksigenasi yang dapat
perawat rumuskan adalah antara lain :
1. Perubahan pola nafas berhubungan
dengan (1) obstruksi trakeobronkial, (2)
peningkatan produksi sekret, (3)
perdarahan aktif, (4) penurunan ekspansi

Jurnal Keperawatan Rufaidah Sumatera Utara, Volume 1, Mei 2005

31

paru, (5) proses inlfamasi, Ditandai:
perubahan
kedalaman,
frekuensi,
kecepatan dan irama nafas. Gangguan
pengembangan paru, bunyi nafas tidak
normal, batuk dan adanya peningkatan
produksi sputum
2. Tidak efektifnya bersihan jalan nafas
berhubungan dengan (1) Pengangkatan
glotis, (2) Batuk, (3) kerusakan menelan,
(4) edema jalan nafas, (5) peningkatan
produksi sputum, (6) bronkospasme, (7)
kelemahan,
Ditandai:
perubahan
kedalaman, frekuensi, kecepatan dan
irama nafas, kesulitan bernafas/dyspnea,
abnormalitas bunyi nafas, batuk dan
produksi sputum, penggunaan otot bantu
pernafasan, dan sianosis
3. Kerusakan pertukaran gas berhubungan
dengan (1) spsme brokus, (2) Jebakan
udara, (3) kerusakan alveoli, (4)
gangguan transportasi oksigen, Ditandai:
perubahan
kedalaman,
frekuensi,
kecepatan dan irama nafas. Adanya
kesulitan bernafas/dyspnea, abnormalitas
bunyi nafas, sianosis, takikardia,
gelisah/perubahan mental, dan terjadinya
hipoksia.
Berdasarkan diagnosa keperawatan yang
maka disusunlah intervensi keperawatan
Intervensi Keperawatan adalah suatu
Rencana
Tindakan
bertujuan
untuk
penyelesaian masalah klien. Rencana ini
selajutnya diimplementasikan. Rencana
tindakan berisi tindakan madiri dan tindakan
kolaboratif (selanjutnya penulis menitik
beratkan
pada
tindakan
kolaboratif
oksigenasi)

TERAPI OKSIGEN
Terapi O2 merupakan salah satu dari
terapi pernafasan dalam mempertahankan
okasigenasi jaringan yang adekuat. Secara
klinis tujuan pemberian O2 (1) mengatasi
keadaan Hipoksemia sesuai dengan hasil
AGD, (2) untuk menurunkan kerja nafas dan
meurunkan kerja miokard. Syarat-syarat
pemberian O2 meliputi : (1) Konsentrasi O2
udara inspirasi terkontrol,
(2) Tidak
terjadi penumpukan CO2, (3) mempunyai
32

tahanan jalan nafas yang rendah, (4) efisien
dan ekonomis, (5) nyaman untuk pasien.
Dalam pemberian terapi O2 perlu
diperhatikan “Humidification”. Hal ini
penting diperhatikan oleh karena udara yang
normal dihirup telah mengalami humidfikasi
sedangkan O2 yang diperoleh dari sumber O2
(Tabung) merupakan udara kering tidak
terhumidifikasi, humidifikasi yang adekuat
dapat
mencegah
komplikasi
pada
pernafasan.
INDIKASI PEMBERIAN O2
Berdasarkan tujuan terapi pemberian
O2, maka indikasi pemberian O2: (1) Klien
dengan kadar O2 arteri rendah dari hasil
AGD, (2) Klien dengan peningkatan kerja
nafas, dimana tubuh berespon terhadap
keadaan hipoksemia melalui peningkatan
laju dan dalamnya pernafasan serta kerja
otot tambahan pernafasan, (3) Klien dengan
peningkatan kerja miokard, untuk mengatasi
gangguan O2 melalui peningkatan laju
pompa jantung yang adekuat. Berdasarkan
indikasi terapi pemberian O2 kepada klien
dengan: (1) sianosis, (2) hipovolemi, (3)
perdarahan, (4) anemia berat, (5) keracunan
CO, (6) asidosis, (7) selama dan sesudah
pembedahan, (8) klien dengan keadaan yang
tidak sadar.
METODE PEMBERIAN O2
Metode pemberian O2 dapat dibagi atas 2
tehnik:
1. Sistem aliran rendah
Tehnik system aliran rendah
diberikan untuk menambah konsentrasi
udara ruangan. Tehnik ini menghasilkan
FiO2 yang bervariasi tergantung pada tipe
pernafasan dengan patokan volume tidal
pasien. Pemberian O2 sistem aliran rendah
ini ditujukan untuk klien yang memerlukan
O2 tetapi masih mampu bernafas dengan
pola pernafasan normal, misalnya klien
dengan Volume Tidal 500 ml dengan
kecepatan pernafasan 16 – 20 kali permenit.
Contoh system aliran rendah ini
adal;ah : (1) kataeter naal, (2) kanula nasal,
(3) sungkup muka sederhana, (4) sungkup
Jurnal Keperawatan Rufaidah Sumatera Utara, Volume 1, Mei 2005

muka dengan kantong rebreathing, (5)
sungkup muka dengan kantong non
rebreathing.
Keuntungan dan kerugian masing-masing
system:
2. Kateter nasal
Merupakan suatu alat sederhana yang dapat
memberikan O2 secara kontinu dengan aliran
1 – 6 L/mnt dengan konsentrasi 24% - 44%.
Keuntungan
Pemberian O2 stabil, klien bebas bergerak,
makan dan berbicara, murah dan nyaman
serta dapat juga dipakai sebagai kateter
penghisap.
Kerugian
Tidak dapat memberikan konsentrasi O2
lebih dari 45%, tehnik memasuk kateter
nasal lebih sulit dari pada kanula nasal,
dapat terjadi distensi lambung, dapat terjadi
iritasi selaput lendir nasofaring, aliran lebih
dari 6 L/mnt dapat menyebabkan nyeri sinus
dan mengeringkan mukosa hidung, kateter
mudah tersumbat.
3. Kanula nasal
Merupakan suatu alat sederhana yang dapat
memberikan O2 kontinu dengan aliran 1– 6
L/mnt dengan konsentrasi O2 sama dengan
kateter nasal.
Keuntungan
Pemberian O2 stabil dengan volume tidal
dan laju pernafasan teratur, mudah
memasukkan kanul dibanding kateter, klien
bebas makan, bergerak, berbicara, lebih
mudah ditolerir klien.
Kerugian
Tidak dapat memberikan konsentrasi O2
lebih dari 44%, suplai O2 berkurang bila
klien bernafas lewat mulut, mudah lepas
karena kedalam kanul hanya 1 cm,
mengiritasi selaput lendir.

Sungkup muka sederhana
Alat pemberian O2 kontinu atau selang
seling
5 – 8 L/mnt dengan konsentrasi
O2 40 – 60%.
Keuntungan
Konsentrasi O2 yang diberikan lebih tinggi
dari kateter atau kanula nasal, system
humidifikasi dapat ditingkatkan melalui
pemilihan sungkup berlobang besar, dapat
digunakan dalam pemberian terapi aerosol.
Kerugian
Tidak dapat memberikan konsentrasi O2
kurang dari 40%, dapat menyebabkan
penumpukan CO2 jika aliran rendah.
4. Sungkup muka
rebreathing :

dengan

kantong

Suatu tehinik pemberian O2 dengan
konsentrasi tinggi yaitu 60 – 80% dengan
aliran 8 – 12 L/mnt
Keuntungan
Konsentrasi O2 lebih tinggi dari sungkup
muka sederhana, tidak mengeringkan selaput
lendir
Kerugian
Tidak dapat memberikan O2 konsentrasi
rendah, jika aliran lebih rendah dapat
menyebabkan penumpukan CO2, kantong O2
bisa terlipat.
5. Sungkup muka dengan kantong non
rebreathing
Merupakan tehinik pemberian O2 dengan
Konsentrasi O2 mencapai 99% dengan aliran
8 – 12 L/mnt dimana udara inspirasi tidak
bercampur dengan udara ekspirasi
Keuntungan
Konsentrasi O2 yang diperoleh dapat
mencapi 100%, tidak mengeringkan selaput
lendir.
Kerugian
Kantong O2 bisa terlipat.
6. Sistem aliran tinggi
Suatu tehnik pemberian O2 dimana
FiO2 lebih stabil dan tidak dipengaruhi oleh
tipe pernafasan, sehingga dengan tehnik ini
dapat menambahkan konsentrasi O2 yang

Jurnal Keperawatan Rufaidah Sumatera Utara, Volume 1, Mei 2005

33

lebih tepat dan teratur. Adapun contoh
tehnik system aliran tinggi yaitu sungkup
muka dengan ventury. Prinsip pemberian
O2 dengan alat ini yaitu gas yang dialirkan
dari tabung akan menuju ke sungkup
kemudian dihimpit untuk mengatur suplai
O2 sehingga tercipta tekanan negatif, akibat
udara luar dapat diisap dan aliran udara yang
dihasilkan lebih banyak. Aliran udara pada
alat ini ± 4–14 L/mnt dan konsentrasi 30 –
55%.
Keuntungan
Konsentrasi O2 yang diberikan konstan
sesuai dengan petunjuk pada alat dan tidak
dipengaruhi perubahan pola nafas terhadap
FiO2, suhu dan kelembaban gas dapat
dikontrol serta tidak terjadi penumpukan
CO2
Kerugian
Kerugian system ini hampir sama dengan
sungkup muka yang lain pada aliran rendah.
Pada akhirnya intervensi keperawatan
tersebut baik intervensi mandiri ataupun
kolaborasi akan di”Evaluasi” sejauhmana
tindakan dapat mencapai tujuan sehingga
tindakan dapat dilajutkan, dimodifikasi atau
diganti.
Beberapa hal yang dapat dievaluasi: (1)
frekuensi, kedalaman dan irama pernafasan,
(2) penggunaan otot bantu nafas, (3)
sianosis, (4) dyspnea, (5) hipoksia, (6)
kelebihan oksigen, dll
Dalam melakukan evaluasi, perawat
perlu mempertimbangkan bahwa pemberian
oksigen bukan hanya memberikan efek
terapi tetapi juga dapat memberikan efek
merugikan oleh karen itu perawat perlu
mewaspadai pemberian oksigen:
1. Kebakaran
O2 bukan zat pembakar tetapi O2
dapat memudahkan terjadinya kebakaran,
oleh karena itu klein dengan terapi
pemberian O2 harus menghindari : Merokok,
membukan alat listrik dalam area sumber
O2, menghindari penggunaan listrik tanpa
“Ground”.

34

2. Depresi Ventilasi
Perbandingan tekanan oksigen arteri
(PaO2) dengan Nilai aliran oksigen diispirasi
(FIO2). Umumnya terapi oksigen hanya
untuk meningkatkan PaO2 kembali ke nilai
dasar (antara 60 s/d 95 mmHg) dengan
kurva disosiasi oksihemoglobin 80% s/d
98% (0,80 s/d 0,98). Nilai FIO2 yang lebih
tinggi tidak lagi signifikan menambah
jumlah oksigen pada lasma, sehingga
bukannya membantu tetapi justru dapat
menimbulkan depresi ventilasi.
3. Toksisitas oksigen
Kelebihan
oksigen
dapat
meimbulkan toksisitas pada paru dan sistem
saraf, dimana konsentrasi oksigen tinggi
akan menurunkan dorongan bernafas yang
sudah terbentuk oleh tekanan oksigen rendah
yang kronis pada pasien (penurunan
ventilasi
alveolar)
sehingga
dapat
meningkatkan tekanan CO2 yang progresif
yang mengarah pada kematian akibat
narkosis CO2 dan Asidosis. Tanda dan gejala
toksisitas oksigen berupa distress substernal,
parestesia, dyspnea, gelisah, keletihan,
malaise, kesulitan bernafas progresif.
Pencegahan: berikan O2 sesuai instruksi,
perhatikan pemberian, pertimbangkan nilai
tekanan Akhir Pernafasan Positif (PEEP)
atau Tekanan Jalan Nafas Continu (CPAP)
KESIMPULAN
Terapi O2 merupakan suatu upaya
yang dilakukan oleh tenaga kesehatan
termasuk keperawatan terhadap adanya
gangguan pemenuhan oksigen pada klien.
Pengetahuan perawat yang memadai
terhadap proses respirasi dan indikasi serta
metode pemberian O2 merupakan bekal bagi
perawat agar asuhan yang diberikan tepat
guna dengan resiko minimal.
PEMIKIRAN KRITIS
Perlu adanya suatu kajian ilmiah
menyangkut kemampuan perawat baik
secara konseptual ataupun keterampilan
praktis dalam memberikan terapi oksigen
pada
pasien
yang
nantinya
akan
teridentifikasi apakah pengetahuan perawat
Jurnal Keperawatan Rufaidah Sumatera Utara, Volume 1, Mei 2005

memadai, cukup memadai ataupun kurang
memadai dalam memenuhi kebutuhan
oksigenasi pasien. Hal penulis rasa penting
karena oksigenasi adalah area keperawatan
yang menyangkut kebutuhan dasar manusia.
DAFTAR PUSTAKA
1. Brunner & Suddarth. (2001). Buku Ajar
Medikal Bedah, edisi bahasa Indonesia.
Jakarta : EGC
2. Carpenito, L. J. (1999). Rencana asuhan
dan dokumentasi keperawatan. Jakarta:
EGC
3. Doengoes, M. E. (1999). Rencana
Asuhan Keperawatan (Edisi ketiga).
Jakarta : EGC
4. Potter, P. A. Perry, & Anne G. (1997)
Fundamental of Nursing ; Concepts,
Process and Practice. St. Louis: Mosby
Year Book,
5. Lillis, Taylor, Calor. Et al. (1997).
Fundamentals of nursing; The art and
science of nursing care. Philadelphia:
Lipincott,

Jurnal Keperawatan Rufaidah Sumatera Utara, Volume 1, Mei 2005

35

Dokumen yang terkait

Komunikasi Antarpribadi Pada Anak Penderita Autisme (Studi Kasus Mengenai Komunikasi Efektif Pada Anak Penderita Autisme di Sekolah Khusus Autisme YAKARI)

11 80 105

POLA KOMUNIKASI ORANG TUA TERHADAP ANAK PENDERITA AUTISME Pola Komunikasi Orang Tua Terhadap Anak Penderita Autisme (Studi Deskriptif Kualitatif Pola Komunikasi Antarpribadi Pada Anak Penderita Autisme di SDLBN Bangunharjo, Pulisen, Boyolali).

0 0 13

POLA KOMUNIKASI ORANG TUA TERHADAP ANAK PENDERITA AUTISME Pola Komunikasi Orang Tua Terhadap Anak Penderita Autisme (Studi Deskriptif Kualitatif Pola Komunikasi Antarpribadi Pada Anak Penderita Autisme di SDLBN Bangunharjo, Pulisen, Boyolali).

0 0 15

PROGRAM INTERVENSI DINI PADA KELUARGA YANG MEMILIKI ANAK AUTISME DENGAN HAMBATAN KOMUNIKASI VERBAL.

0 1 35

KOMUNIKASI NONVERBAL PADA ANAK TUNARUNGU YANG MENYANDANG AUTISME.

0 0 2

Komunikasi Antarpribadi Pada Anak Penderita Autisme (Studi Kasus Mengenai Komunikasi Efektif Pada Anak Penderita Autisme di Sekolah Khusus Autisme YAKARI)

0 2 19

BAB II URAIAN TEORITIS - Komunikasi Antarpribadi Pada Anak Penderita Autisme (Studi Kasus Mengenai Komunikasi Efektif Pada Anak Penderita Autisme di Sekolah Khusus Autisme YAKARI)

0 0 19

BAB I PENDAHULUAN - Komunikasi Antarpribadi Pada Anak Penderita Autisme (Studi Kasus Mengenai Komunikasi Efektif Pada Anak Penderita Autisme di Sekolah Khusus Autisme YAKARI)

0 2 6

Komunikasi Antarpribadi Pada Anak Penderita Autisme (Studi Kasus Mengenai Komunikasi Efektif Pada Anak Penderita Autisme di Sekolah Khusus Autisme YAKARI)

0 0 13

POLA KOMUNIKASI ANTARPRIBADI ORANG TUA DENGAN ANAK PENGIDAP AUTISME (Studi Deskriptif Kualitatif Pola Komunikasi Antar Pribadi Orang Tua Dengan Anak Pengidap Autisme di Kelompok Belajar Anak Berkebutuhan Khusus Anak Mandiri dan Berguna “AMANDA”, Karawang,

0 0 124