Pengaruh ekstrak tempuyung (Sonchus arvensis) terhadap aktivitas xantin oksidase secara in vitro sebagai dasar uji kinetika

3

ABSTRAK
ANGGI SUSANTI. Pengaruh Ekstrak Tempuyung (Sonchus arvensis) terhadap
Aktivitas Xantin Oksidase secara In Vitro sebagai Dasar Uji Kinetika. Dibimbing
oleh DYAH ISWANTINI PRADONO dan MIN RAHMINIWATI.
Tempuyung (Sonchus arvensis) merupakan salah satu tanaman obat
tradisional yang memiliki potensi sebagai antigout, namun belum diketahui
mekanisme penghambatannya. Penelitian ini dilakukan sebagai dasar untuk
menguji kinetika inhibisi. Kurva hasil uji dituangkan dalam grafik Michaelis
Menten. Hasil uji inhibisi menunjukkan bahwa ekstrak tempuyung dapat
menghambat aktivitas xantin oksidase sebesar 1.61-10.86% (100-600 ppm).
Penambahan konsentrasi substrat menyebabkan peningkatan kecepatan reaksi
enzimatis. Ekstrak kasar tempuyung dengan konsentrasi 200 ppm (% inhibisi
10.86) terbukti dapat menurunkan reaksi enzimatis namun tidak signifikan.

ABSTRACT
ANGGI SUSANTI. Effects of Sonchus arvensis Extract on In Vitro Activity of
Xanthine Oxidase as Basic of Kinetics Test. Supervised by DYAH ISWANTINI
PRADONO and MIN RAHMINIWATI.
Sonchus arvensis is one of traditional medicinal plants that has a potency as

antigout but its inhibition mechanism is not known yet. This research was done as
a basic means to test inhibition kinetics. The test result curve was presented in the
Michaelis Menten plot. The result showed that the inhibition percent of S.
arvensis crude extract in inhibiting xanthine oxidase activity was 1.61-10.86 (100600 ppm). The addition of substrate concentration increased enzymatic reaction
velocity. The S. arvensis crude extract with concentration at 200 ppm (percentage
of inhibition at 10.86) was proven able to reduce enzymatic reaction but not in
significant level.

1

PENDAHULUAN
Gout merupakan penyakit radang sendi
karena menumpuknya kristal natrium urat pada
tulang sendi akibat tingginya kadar asam urat
dalam darah (Johnstone 2005). Penderita gout
dalam dasawarsa terakhir ini baik di negaranegara maju
maupun yang sedang
berkembang semakin meningkat terutama pada
pria usia 40–50 tahun. Di Amerika, gout
menyerang lebih dari 5 juta penduduk (Yu

2006). Tercatat pada tahun 2001, penderita
asam urat di Pulau Jawa berjumah 1.7% dari
total populasi penduduk Jawa (Heryanto
2003).
Pengobatan dan pencegahan komplikasi
asam urat bisa dilakukan dengan beberapa
cara, yaitu
mengatur pola diet, seperti
menghindari
makanan
kaya
purin,
menghindari alkohol, banyak minum air putih,
pengobatan secara medis, dan dengan obat
tradisional (Mansjoer 2004). Pengobatan
secara medis dapat dilakukan dengan
menghambat sintesis asam urat melalui
pemberian alopurinol dan menghambat
masuknya leukosit ke dalam sendi yang
terkena deposit asam urat dengan kolkisin.

Alopurinol adalah obat penting untuk gout
pada pengobatan modern (Connor 2009), tetapi
penggunaan
yang
berlebihan
dapat
menimbulkan efek samping seperti sakit
kepala, kebotakan, gagal ginjal dan hati,
hingga risiko kematian akibat adanya difusi
vaskular (Sydpath 1999).
Proses penyembuhan gout memerlukan
waktu yang lama. Oleh karena itu, lebih baik
bila menggunakan obat tradisional karena efek
samping yang ditimbulkannya kecil. Tanaman
obat yang sering digunakan untuk mengobati
gout adalah alang-alang, belimbing wuluh,
bangle, brotowali, cengkih, kumis kucing,
gandarusa, daun sendok, kapulaga, kembang
pukul empat, kemukus, seledri, sidaguri, dan
tempuyung (Dalimartha 2006).

Penelitian mengenai khasiat tanaman obat
sebagai anti asam urat melalui mekanisme
inhibisi enzim xantin oksidase telah banyak
dilakukan seperti di Amerika Serikat (Owen &
Timothy 1998), Cina (Kong et al. 2000), India
(Behera et al. 2003; Umamaheswari et al.
2006), dan Taiwan (Tung & Chang 2010).
Daya inhibisi enzim yang dilaporkan beragam
dari 20% sampai 80%. Beberapa senyawa dan
kelompok senyawa aktif yang telah diisolasi
dari berbagai jenis tanaman obat diketahui
memiliki aktivitas antigout seperti fenolik dan
tanin dari Laric laricina (Owen & Timothy
1998), ekstrak metanol Cinnamomum cassia,

Chrysanthemum indicum, Lycopus europaeuos
(Kong et al. 2000), asam valoneat dilakton dari
Lagerstroemia speciosa (Unno et al. 2003),
sub keluarga Asteridae seperti Carthamus
tinctorious (Zhang & Yatcilla 2004), ekstrak

metanol Coccinia grandis, Datura metel,
Strychnus nux-vomica, dan Vitex regundo
(Umamaheswari et al. 2006), kuersetin,
kaemferol, apigenin dari Pystacia integerrima
(Ahmad et al. 2007), ekstrak Erythrina stricta
(Umamaheswari et al. 2009), serta okanin dan
melanoksetin dari Acacia confusa (Tung &
Chang 2010). Selain itu, terdapat produk
suplemen makanan yang mengandung seledri
yang digunakan untuk mengatasi gangguan
yang di
sendi pada mamalia (in vivo),
antaranya disebabkan oleh gout (Rose &
Chrisope 2004), terdapat juga pangan
fungsional untuk mengobati atau mencegah
hiperurisemia dan mengobati gout yang
mengandung kondroitin sulfat, protein
kompleks, dan seledri (Murota et al. 2005).
Beberapa tanaman asli Indonesia juga
telah dilaporkan dapat menginhibisi enzim

xantin oksidase di antaranya sidaguri
(Iswantini & Darusman 2003) yang ekstrak
flavonoidnya memiliki daya inhibisi terhadap
xantin oksidase di atas 50%. Seledri
merupakan salah satu tanaman yang dapat
menginhibisi xantin oksidase (Ramdhani
2004). Gabungan ekstrak sidaguri dan seledri
dapat menginhibisi enzim xantin oksidase
melebihi alopurinol atau produk komersial
lainnya secara in vivo serta menunjukkan efek
yang signifikan terhadap penurunan kadar
asam urat pada tikus dengan dosis 100, 200,
dan 400 mg/kg BB (Iswantini et al. 2004).
Formula ekstrak sidaguri dan seledri klinik
telah ditentukan LD50-nya, (Iswantini et al.
2005). Wardani (2008) telah membuktikan
bahwa ekstrak tempuyung dan meniran dapat
menghambat kerja xantin oksidase dalam
mengubah xantin menjadi asam urat. Izzah
(2010) membuktikan bahwa gabungan ekstrak

sidaguri, seledri, dan tempuyung berpotensi
sebagai obat antigout melalui inhibisi enzim
xantin oksidase secara in vitro sekaligus in
vivo, inhibitor terkuat dibandingkan dengan
kontrol positif (alopurinol). Hasil penelitian ini
didukung oleh Chairul (1999) yang
menyatakan bahwa tempuyung berkhasiat
dalam mengobati penyakit gout melalui daya
hambatnya terhadap kerja enzim xantin
oksidase.
Flavonoid
tempuyung
juga
berpotensi sebagai komponen antiradang dan
antihiperurisemia (Heryanto 2003).
Tempuyung (Sonchus arvensis) sering
dikonsumsi untuk obat, di antaranya berkhasiat

2


sebagai diuretik, penggempur batu ginjal,
kencing batu, obat asma, bronkhitis, penurun
tekanan darah tinggi, dan obat bengkak
(Syukur & Hernani 2001). Penelitian yang
mengungkap peran senyawa aktif pada
tempuyung dalam menghambat enzim xantin
oksidase pernah dilakukan [Chairul (1999),
Wardani (2008) dan Izzah (2010)]. Akan
tetapi, pengaruh ekstrak kasar tempuyung
terhadap kecepatan reaksi enzimatis pada
berbagai konsentrasi substrat belum pernah
diketahui.
Penelitian ini dilakukan sebagai dasar
untuk menentukan jenis kinetika inhibisi,
penting
dilakukan
untuk
mengetahui
mekanisme inhibisi obat. Mekanisme inhibisi
selanjutnya dapat menjelaskan kekuatan ikatan

antara enzim sebagai target dan senyawa
calon obat, apakah bersifat sementara (inhibisi
kompetitif dan unkompetitif) atau permanen
(inhibisi nonkompetitif). Beberapa jenis
flavonol, krisin, luteolin, kaemferol, kuersetin,
mirisetin,
dan
isoramnetin
dilaporkan
menginhibisi
xantin
oksidase
melalui
mekanisme campuran (unkompetitif dan
nonkompetitif) (Nagao & Kobaya 1999).
Beberapa senyawa alam seperti flavonoid dan
senyawa polifenol dilaporkan berperan sebagai
inhibitor kompetitif terhadap enzim xantin
oksidase, antara lain apigenin-4’-O-(2”-O-pkumaroil)-ß-D-glukopiranosida yang merupakan turunan apigenin (Jiao et al. 2006).
Senyawa aktif dari tanaman seledri

termasuk dalam golongan flavonoid, yaitu 5,7dihidroksi-2-(4-hidroksifenil)-4H-I-benzopiran
-4-on dan asam 2,3-dihidro-6-hidroksi-5-benzofuran karboksilat, memiliki mekanisme
inhibitor kompetitif (Nadinah 2007). Senyawa
aktif pada sidaguri termasuk golongan
flavonoid dengan mekanisme kerja kompetitif
(Iswantini et al. 2009), melanoksetin dan
okanin menunjukkan pola inhibisi campuran
(nonkompetitif dan kompetitif) (Tung 2010).
Karena gabungan ekstrak sidaguri, seledri, dan
tempuyung telah terbukti berpotensi sebagai
obat gout melalui inhibisi enzim xantin
oksidase secara in vitro dan in vivo (Izzah
2010), sangat perlu dilakukan uji untuk
mengetahui
pengaruh
penambahan
konsentrasi substrat terhadap kecepatan reaksi
enzimatis. Dengan demikian inhibisi xantin
oksidase oleh tempuyung dapat diketahui.


TINJAUAN PUSTAKA
Tempuyung (Sonchus arvensis)
Tempuyung termasuk tanaman obat asli
Indonesia dari famili Asteraceae. Tanaman ini
merupakan tanaman herba menahun, tegak,
mengandung getah, mempunyai akar tunggang
yang kuat, tumbuh liar di Jawa, yaitu di daerah
yang banyak hujan pada ketinggian 50-1650 m
di atas permukaan laut. Tempuyung tumbuh di
tempat terbuka seperti di pematang, dan di
pinggir saluran air (Heyne 1987).

Gambar 1 Tanaman tempuyung
Kandungan kimia yang terdapat di dalam
daun tempuyung adalah ion-ion mineral, antara
lain silika, kalium, magnesium, natrium, dan
senyawa organik seperti flavonoid (kaemferol,
luteolin-7-O-glukosida, dan apigenin-7-Oglukosida), kumarin (skepolatin), taraksasterol,
inosatol, serta asam fenolat (sinamat, kumarat,
dan vanilat). Menurut Cos (1998), flavonoid
apigenin-7-O-glukosida adalah salah satu
golongan flavonoid yang berpotensi cukup
baik untuk menghambat kerja enzim xantin
oksidase dan superoksida.
Xantin Oksidasi
Xantin oksidase
merupakan suatu
kompleks enzim yang terdiri dari molekulmolekul protein yang tiap molekulnya tersusun
atas 2 mol FAD, 2 mol atom Mo dan 8 mol
atom Fe. Enzim xantin oksidase di dalam
tubuh terdapat pada hati dan otot. Satu unit
xantin oksidase dapat mengkonversi satu µmol
substrat (xantin) menjadi asam urat tiap satu
menit pada pH optimum (pH 7.5) dan suhu
optimum (25oC).
Enzim
xantin
oksidase
berbentuk
unimolekuler dengan sistem transport elektron
yang multi komponen. Selain proses oksidasi
molekul oksigen bertindak sebagai akseptor
elektron menghasilkan radikal superoksida
(O2*-) dan hidrogen. Enzim ini dapat

2

sebagai diuretik, penggempur batu ginjal,
kencing batu, obat asma, bronkhitis, penurun
tekanan darah tinggi, dan obat bengkak
(Syukur & Hernani 2001). Penelitian yang
mengungkap peran senyawa aktif pada
tempuyung dalam menghambat enzim xantin
oksidase pernah dilakukan [Chairul (1999),
Wardani (2008) dan Izzah (2010)]. Akan
tetapi, pengaruh ekstrak kasar tempuyung
terhadap kecepatan reaksi enzimatis pada
berbagai konsentrasi substrat belum pernah
diketahui.
Penelitian ini dilakukan sebagai dasar
untuk menentukan jenis kinetika inhibisi,
penting
dilakukan
untuk
mengetahui
mekanisme inhibisi obat. Mekanisme inhibisi
selanjutnya dapat menjelaskan kekuatan ikatan
antara enzim sebagai target dan senyawa
calon obat, apakah bersifat sementara (inhibisi
kompetitif dan unkompetitif) atau permanen
(inhibisi nonkompetitif). Beberapa jenis
flavonol, krisin, luteolin, kaemferol, kuersetin,
mirisetin,
dan
isoramnetin
dilaporkan
menginhibisi
xantin
oksidase
melalui
mekanisme campuran (unkompetitif dan
nonkompetitif) (Nagao & Kobaya 1999).
Beberapa senyawa alam seperti flavonoid dan
senyawa polifenol dilaporkan berperan sebagai
inhibitor kompetitif terhadap enzim xantin
oksidase, antara lain apigenin-4’-O-(2”-O-pkumaroil)-ß-D-glukopiranosida yang merupakan turunan apigenin (Jiao et al. 2006).
Senyawa aktif dari tanaman seledri
termasuk dalam golongan flavonoid, yaitu 5,7dihidroksi-2-(4-hidroksifenil)-4H-I-benzopiran
-4-on dan asam 2,3-dihidro-6-hidroksi-5-benzofuran karboksilat, memiliki mekanisme
inhibitor kompetitif (Nadinah 2007). Senyawa
aktif pada sidaguri termasuk golongan
flavonoid dengan mekanisme kerja kompetitif
(Iswantini et al. 2009), melanoksetin dan
okanin menunjukkan pola inhibisi campuran
(nonkompetitif dan kompetitif) (Tung 2010).
Karena gabungan ekstrak sidaguri, seledri, dan
tempuyung telah terbukti berpotensi sebagai
obat gout melalui inhibisi enzim xantin
oksidase secara in vitro dan in vivo (Izzah
2010), sangat perlu dilakukan uji untuk
mengetahui
pengaruh
penambahan
konsentrasi substrat terhadap kecepatan reaksi
enzimatis. Dengan demikian inhibisi xantin
oksidase oleh tempuyung dapat diketahui.

TINJAUAN PUSTAKA
Tempuyung (Sonchus arvensis)
Tempuyung termasuk tanaman obat asli
Indonesia dari famili Asteraceae. Tanaman ini
merupakan tanaman herba menahun, tegak,
mengandung getah, mempunyai akar tunggang
yang kuat, tumbuh liar di Jawa, yaitu di daerah
yang banyak hujan pada ketinggian 50-1650 m
di atas permukaan laut. Tempuyung tumbuh di
tempat terbuka seperti di pematang, dan di
pinggir saluran air (Heyne 1987).

Gambar 1 Tanaman tempuyung
Kandungan kimia yang terdapat di dalam
daun tempuyung adalah ion-ion mineral, antara
lain silika, kalium, magnesium, natrium, dan
senyawa organik seperti flavonoid (kaemferol,
luteolin-7-O-glukosida, dan apigenin-7-Oglukosida), kumarin (skepolatin), taraksasterol,
inosatol, serta asam fenolat (sinamat, kumarat,
dan vanilat). Menurut Cos (1998), flavonoid
apigenin-7-O-glukosida adalah salah satu
golongan flavonoid yang berpotensi cukup
baik untuk menghambat kerja enzim xantin
oksidase dan superoksida.
Xantin Oksidasi
Xantin oksidase
merupakan suatu
kompleks enzim yang terdiri dari molekulmolekul protein yang tiap molekulnya tersusun
atas 2 mol FAD, 2 mol atom Mo dan 8 mol
atom Fe. Enzim xantin oksidase di dalam
tubuh terdapat pada hati dan otot. Satu unit
xantin oksidase dapat mengkonversi satu µmol
substrat (xantin) menjadi asam urat tiap satu
menit pada pH optimum (pH 7.5) dan suhu
optimum (25oC).
Enzim
xantin
oksidase
berbentuk
unimolekuler dengan sistem transport elektron
yang multi komponen. Selain proses oksidasi
molekul oksigen bertindak sebagai akseptor
elektron menghasilkan radikal superoksida
(O2*-) dan hidrogen. Enzim ini dapat

3

mengkatalisis reaksi oksidasi hipoxantin dan
xantin menjadi asam urat yang berperan
penting dalam timbulnya gout dan reaksinya
dapat dilihat pada Gambar 2. Selama proses
oksidasi xantin membentuk asam urat, atom
oksigen ditransfer dari molibdenum ke xantin.
Perombakan pusat molibdenum yang aktif
terjadi dengan penambahan air (Murray et al.
2006).

Tingginya kadar asam urat dalam darah
pada penderita gout maupun hiperurisemia
diakibatkan oleh faktor produksi asam urat
berlebihan, obesitas, diabetes yang disertai
dengan tekanan darah tinggi (Galvan et
al.1995), hingga stres tinggi (Montgomery et
al. 1993) dan faktor makanan terutama protein
hewani maupun nabati atau sayur-sayuran
kaya purin dalam jumlah banyak.
Penelitian Pendukung

Gambar 2 Skema reaksi xantin oksidase yang
mengkonversi hipoxantin menjadi
xantin kemudian asam urat.
Asam Urat (Gout)
Asam urat didefinisikan sebagai penyakit
atau sindrom yang disebabkan oleh adanya
pembengkakan
atau
inflamasi
karena
menumpuknya kristal monosodium urat pada
tulang sendi sebagai akibat dari tingginya
kadar asam urat dalam darah (Johnstone 2005).
Kadar asam urat normal dalam darah berkisar
antara 25–75 g/ml dengan volume urin yang
diekskresikan per harinya antara 250 hingga
750. Gout selalu didahului oleh hiperurisemia
(Mycek et al. 2001). Asam urat terbentuk di
hepar dan dilepaskan ke dalam peredaran
darah. Konsentrasi asam urat di dalam serum
darah dua kali lipat jika dibandingkan dengan
kadar asam urat yang terdapat di eritrosit. Pada
serum atau plasma darah, asam urat dapat
ditemukan dalam dua bentuk, bentuk bebas
dan terikat pada albumin. Konsentrasi asam
urat normal pada laki-laki berkisar 30−70
g/ml, sedangkan perempuan lebih rendah
yaitu 25−60 g/ml. Penyakit ini umumnya
menyerang pria dari pada perempuan dengan
rasio perbandingan pria dan wanita yang
terkena adalah 7:1. Hal ini dikarenakan
perempuan memiliki hormon estrogen lebih
banyak daripada
laki-laki, yang ikut
membantu pembuangan asam urat melalui
urin.

Penelitian mengenai khasiat tanaman obat
sebagai anti asam urat melalui mekanisme
inhibisi enzim xantin oksidase telah banyak
dilakukan seperti di Amerika (Owen &
Timothy 1998), China (Kong et al. 2000),
India (Behera et al. 2003; Umamaheswari et
al. 2006), dan Taiwan (Tung & Chang 2010).
Dari hasil penelitian tersebut didapatkan
bahwa tanaman obat yang diteliti dapat
menginhibisi enzim xantin oksidase dengan
daya inhibisi dari 20% sampai 80%. Beberapa
senyawa dan kelompok senyawa aktif yang
telah diisolasi dari berbagai jenis tanaman obat
diketahui memiliki aktivitas antigout seperti
penolat dan tanin dari Laric laricina (Owen &
Timothy 1998), ekstrak metanol Cinnamomum
cassia, Chrysanthemum indicum, Lycopus
europaeuos (Kong et al. 2000), asam valoneat
dilakton dari Lagerstroemia speciosa (Unno et
al. 2003), sub keluarga Asteridae seperti
Carthamus tinctorious (Zhang & Yatcilla
2004), ekstrak metalonat Coccinia grandis,
Datura metel, Strychnus nux-vomica, dan Vitex
regundo (Umamaheswari et al. 2006),
kuersetin, kaemferol, apigenin dari Pystacia
integerrima (Ahmad et al. 2007), ekstrak
Erythrina
stricta
hidromatalonat
dari
(Umamaheswari et al. 2009), okanin dan
melanoxetin dari Acasia confusa (Tung &
Chang 2010).
Berdasarkan hasil penelitian di Indonesia,
beberapa tanaman asli Indonesia dapat
menginhibisi
enzim
xantin
oksidase
diantaranya sidaguri (Iswantini et al. 2003)
yang ekstrak flavonoidnya memiliki daya
inhibisi terhadap xantin oksidase di atas 50%.
Seledri merupakan salah satu tanaman yang
dapat menginhibisi xantin oksidase (Ramdhani
2004). Gabungan ekstrak sidaguri dan seledri
dapat menginhibisi enzim xantin oksidase
melebihi alopurinol atau produk komersial
lainnya secara in vivo serta menunjukkan efek
yang signifikan terhadap penurunan kadar
asam urat pada tikus dengan dosis 100, 200,
dan 400 mg/kg BB (Iswantni et al. 2004).
Formula ekstrak sidaguri dan seledri secara
klinik telah ditentukan LD50-nya, (Iswantini et

4

al. 2005). Wardani (2008) telah membuktikan
bahwa ekstrak tempuyung dan meniran dapat
menghambat kerja xantin oksidase dalam
mengubah xantin menjadi asam urat. Izzah
(2010) membuktikan bahwa gabungan dari
ekstrak sidaguri, seledri, dan tempuyung
berpotensi sebagai obat antigout melalui
inhibisi enzim xantin oksidase secara in vitro
dengan persen inhibisi sebesar 88,68% dan
penelitiannya itu sekaligus mengukuhkan
gabungan ekstrak tersebut dengan dosis 2640
mg/300 g BB dapat menurunkan konsentrasi
asam urat dalam darah tikus sebesar 59,45 %
yang melebihi kontrol positif (alopurinol)
sebesar 56,86%. Hasil penelitian ini didukung
oleh Chairul (1999) menyatakan bahwa
tempuyung berkhasiat dalam mengobati
penyakit gout dengan menghambat kerja
enzim xantin oksidase. Flavonoid tempuyung
juga
berpotensi
sebagai
komponen
antiinflamasi dan antihiperurisemia (Heryanto
2003).
Penelusuran melalui situs paten Amerika
(www.uspto.gov) pada tanggal 4 Maret 2010,
menunjukkan beberapa hasil penelitian yang
memuat khasiat tanaman herba sebagai anti
inflamasi, yaitu Coix, Pinellia, Prunus (Hou
1999; US Patent No. 5908628). Tanacetum
parthenium, Zingibar officinale, Curcuma
longa (Tomer 2000; US Patent No. 616248),
jahe, the hijau, huzhang, oregano (Newmark
2001; US Patent No. 6264995). Sub keluarga
Asteridae seperti Carthamus tinctorious efektif
untuk menginhibisi aktivitas xantin oksidase
(Zhang 2004; US Patent No. 7195790). Selain
itu terdapat ekstrak etanol seledri yang dapat
mencegah inflamasi dan iritasi lambung
(Ethels 2004; US Patent No. 6761913). US
Paten publikasi No. 2004/0161480 A1
mengenai produk suplemen makanan yang
mengandung seledri yang digunakan untuk
mengatasi gangguan sendi pada mamalia (in
vivo) yang diantaranya disebabkan oleh gout
(Rose & Chrisope 2004), terdapat juga aplikasi
paten mengenai makanan yang dikonsumsi
untuk mengobati atau mencegah hiperurisemia
dan mengobati gout yang mengandung
kondroitin sulfat protein kompleks dan seledri,
yaitu US Paten publikasi No. 2005/0222010
A1 (Murota et al. 2005). Aplikasi paten yang
lebih baru, yaitu mengenai komposisi
gabungan herbal yang mengandung Zingibar
officinale sebagai antiarthritis (Pulpa 2008; US
Patent 7338674B2).

BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam
penelitian ini meliputi sampel tempuyung,
CHCl3, MeOH, EtOH, NaOH, NH4OH,
H2SO4, heksana, HCl, aseton, etil asetat,
pereaksi Meyer, Dragendorf, dan Wagner,
xantin dari sigma, buffer fospat, enzim xantin
oksidase dari sigma, kertas saring, dan air
bebas ion.
Alat–alat yang digunakan antara peralatan
gelas, cawan porselin, neraca analitik,
pembakar bunsen, oven, desikator, inkubator,
rak tabung reaksi, waterbath, pH meter,
autopipet, stopwatch, vorteks mixer, dan
Instrumen Spektrofotometer UV Vis.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan beberapa tahap,
yaitu tahap persiapan sampel, penentuan kadar
air, ekstraksi, uji fitokimia, uji inhibisi, dan uji
kecepatan. Diagram alir penelitian disajikan
pada Lampiran 1.
Persiapan Sampel
Bahan baku tempuyung diperoleh dari
kebun percobaan Pusat Studi Biofarmaka,
Institut Pertanian Bogor. Semua bahan
dipisahkan dari kotoran atau bahan-bahan
asing lainnya lalu di cuci dan dirajang. Sampel
dikeringkan di udara terbuka hingga kadar air
kurang dari 10% agar bahan yang diperoleh
tidak mudah rusak akibat dari mikroorganisme.
Penentuan Kadar Air
Cawan porselin dikeringkan di dalam
oven pada suhu 105ºC selama 30 menit,
kemudian didinginkan dalam desikator selama
30 menit dan ditimbang bobot kosongnya.
Sampel ditimbang sekitar 3 gram dan
dimasukkan ke cawan porselin. Sampel beserta
cawannya dikeringkan pada suhu 105°C
selama 3 jam di dalam oven. Setelah
didinginkan dalam desikator selama 30 menit,
cawan beserta isinya ditimbang. Prosedur
dilakukan berulang kali sampai didapatkan
bobot tetap dengan selisih kurang dari 1 mg.
Penentuan kadar air dilakukan sebanyak 3 kali
ulangan (triplo). Persen kadar air sampel
dihitung dengan persamaan:
Kadar Air =

ab
 100%
a

dimana:
a = bobot sebelum dikeringkan (g)
b = bobot setelah dikeringkan (g)

4

al. 2005). Wardani (2008) telah membuktikan
bahwa ekstrak tempuyung dan meniran dapat
menghambat kerja xantin oksidase dalam
mengubah xantin menjadi asam urat. Izzah
(2010) membuktikan bahwa gabungan dari
ekstrak sidaguri, seledri, dan tempuyung
berpotensi sebagai obat antigout melalui
inhibisi enzim xantin oksidase secara in vitro
dengan persen inhibisi sebesar 88,68% dan
penelitiannya itu sekaligus mengukuhkan
gabungan ekstrak tersebut dengan dosis 2640
mg/300 g BB dapat menurunkan konsentrasi
asam urat dalam darah tikus sebesar 59,45 %
yang melebihi kontrol positif (alopurinol)
sebesar 56,86%. Hasil penelitian ini didukung
oleh Chairul (1999) menyatakan bahwa
tempuyung berkhasiat dalam mengobati
penyakit gout dengan menghambat kerja
enzim xantin oksidase. Flavonoid tempuyung
juga
berpotensi
sebagai
komponen
antiinflamasi dan antihiperurisemia (Heryanto
2003).
Penelusuran melalui situs paten Amerika
(www.uspto.gov) pada tanggal 4 Maret 2010,
menunjukkan beberapa hasil penelitian yang
memuat khasiat tanaman herba sebagai anti
inflamasi, yaitu Coix, Pinellia, Prunus (Hou
1999; US Patent No. 5908628). Tanacetum
parthenium, Zingibar officinale, Curcuma
longa (Tomer 2000; US Patent No. 616248),
jahe, the hijau, huzhang, oregano (Newmark
2001; US Patent No. 6264995). Sub keluarga
Asteridae seperti Carthamus tinctorious efektif
untuk menginhibisi aktivitas xantin oksidase
(Zhang 2004; US Patent No. 7195790). Selain
itu terdapat ekstrak etanol seledri yang dapat
mencegah inflamasi dan iritasi lambung
(Ethels 2004; US Patent No. 6761913). US
Paten publikasi No. 2004/0161480 A1
mengenai produk suplemen makanan yang
mengandung seledri yang digunakan untuk
mengatasi gangguan sendi pada mamalia (in
vivo) yang diantaranya disebabkan oleh gout
(Rose & Chrisope 2004), terdapat juga aplikasi
paten mengenai makanan yang dikonsumsi
untuk mengobati atau mencegah hiperurisemia
dan mengobati gout yang mengandung
kondroitin sulfat protein kompleks dan seledri,
yaitu US Paten publikasi No. 2005/0222010
A1 (Murota et al. 2005). Aplikasi paten yang
lebih baru, yaitu mengenai komposisi
gabungan herbal yang mengandung Zingibar
officinale sebagai antiarthritis (Pulpa 2008; US
Patent 7338674B2).

BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam
penelitian ini meliputi sampel tempuyung,
CHCl3, MeOH, EtOH, NaOH, NH4OH,
H2SO4, heksana, HCl, aseton, etil asetat,
pereaksi Meyer, Dragendorf, dan Wagner,
xantin dari sigma, buffer fospat, enzim xantin
oksidase dari sigma, kertas saring, dan air
bebas ion.
Alat–alat yang digunakan antara peralatan
gelas, cawan porselin, neraca analitik,
pembakar bunsen, oven, desikator, inkubator,
rak tabung reaksi, waterbath, pH meter,
autopipet, stopwatch, vorteks mixer, dan
Instrumen Spektrofotometer UV Vis.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan beberapa tahap,
yaitu tahap persiapan sampel, penentuan kadar
air, ekstraksi, uji fitokimia, uji inhibisi, dan uji
kecepatan. Diagram alir penelitian disajikan
pada Lampiran 1.
Persiapan Sampel
Bahan baku tempuyung diperoleh dari
kebun percobaan Pusat Studi Biofarmaka,
Institut Pertanian Bogor. Semua bahan
dipisahkan dari kotoran atau bahan-bahan
asing lainnya lalu di cuci dan dirajang. Sampel
dikeringkan di udara terbuka hingga kadar air
kurang dari 10% agar bahan yang diperoleh
tidak mudah rusak akibat dari mikroorganisme.
Penentuan Kadar Air
Cawan porselin dikeringkan di dalam
oven pada suhu 105ºC selama 30 menit,
kemudian didinginkan dalam desikator selama
30 menit dan ditimbang bobot kosongnya.
Sampel ditimbang sekitar 3 gram dan
dimasukkan ke cawan porselin. Sampel beserta
cawannya dikeringkan pada suhu 105°C
selama 3 jam di dalam oven. Setelah
didinginkan dalam desikator selama 30 menit,
cawan beserta isinya ditimbang. Prosedur
dilakukan berulang kali sampai didapatkan
bobot tetap dengan selisih kurang dari 1 mg.
Penentuan kadar air dilakukan sebanyak 3 kali
ulangan (triplo). Persen kadar air sampel
dihitung dengan persamaan:
Kadar Air =

ab
 100%
a

dimana:
a = bobot sebelum dikeringkan (g)
b = bobot setelah dikeringkan (g)

5

Ekstraksi Etanol (BPOM 2004)
Serbuk sampel diekstraksi dengan pelarut
etanol 30% menggunakan metode maserasi
dengan perbandingan 1:5 antara simplisia dan
pelarut. Sampel beserta pelarut diaduk,
kemudian didiamkan selama 24 jam. Filtrat
dipisahkan dan proses diulangi 3 kali dengan
jenis dan jumlah pelarut yang sama. Semua
filtrat dikumpulkan dan diuapkan dengan radas
penguap putar sampai kental, kemudian
ditambahkan pengisi lalu dikeringkan di dalam
oven. Rendemennya dihitung dengan rumus
sebagai berikut:
Rendemen ekstrak = x 100%
Keterangan:
a = bobot ekstrak (g)
b = bobot sampel (g)
Uji Fitokimia (Harborne 1987)
a. Uji alkaloid
Sebanyak 1 g contoh dilarutkan dalam 10
ml kloroform dan beberapa tetes NH4OH
kemudian disaring dan filtrat dimasukkan ke
dalam tabung reksi bertutup. Ekstrak
kloroform dalam tabung reaksi dikocok
dengan 10 tetes H2SO4 2 M dan lapisan
asamnya dipisahkan dalam tabung reaksi yang
lain. Lapisan asam ini diteteskan pada lempeng
tetes dan ditambahkan pereaksi Mayer,
Wagner, dan Dragendorf yang akan
menimbulkan endapan warna berturut-turut
putih, coklat, dan merah jingga.
b. Triterpenoid dan steroid
Sebanyak 1 g contoh dilarutkan dalam 25
ml etanol panas (50oC) disaring ke dalam
pinggan porselen dan diuapkan sampai kering.
Residu ditambahkan eter dan ekstrak eter
dipindahkan ke dalam lempeng tetes serta
ditambahkan 3 tetes anhidrida asam asetat dan
1 tetes H2SO4 pekat (uji Lieberman-Buchard).
Warna merah atau ungu menunjukkan adanya
triterpenoid sedangkan warna hijau atau biru
menunjukkan adanya steroid.
c. Uji saponin dan flavonoid
Sebanyak 1 g contoh yang ingin diuji
dimasukkan dalam gelas piala, ditambahkan
100 ml air panas, dan dididihkan selama 5
menit. Setelah itu, disaring dan filtratnya
digunakan untuk pengujian. Uji saponin
dilakukan dengan pengocokan 10 ml filtrat
dalam tabung reaksi tertutup selama 10 detik
lalu dibiarkan selama 10 menit. Saponin
ditunjukkan dengan terbentuknya buih stabil.
Sebanyak 10 ml filtrat lain dicampurkan 0.5 g
serbuk magnesium, 2 ml alkohol klorhidrat
(campuran HCL 37% dan etanol 95% dengan
perbandingan 1:1), dan 2 ml amil alkohol

kemudian dikocok dengan kuat. Terbentuknya
warna merah, kuning, atau jingga pada lapisan
amil alkohol menunjukkan adanya flavonoid.
d. Uji tanin
Sebanyak 1 g contoh ditambah 100 ml air
panas, dididihkan selama 5 menit, dan
disaring. Sebagian filtrat yang diperoleh
ditambah
larutan
besi
(III)
klorida.
Terbentuknya
warna
hitam
kehijauan
menunjukkan tanin.
Pembuatan Kurva Standar
Larutan substrat (xantin) dibuat pada
berbagai konsentrasi (0.1; 0.2; 0.3; 0.4; dan 0.5
ppm) dan diukur panjang gelombang
maksimumnya terlebih dahulu. Panjang
gelombang maksimum yang diperoleh yairu
269 nm. Semua larutan xantin kemudian
diukur
serapannya
menggunakan
spektrofotometer UV pada panjang gelombang
maksimum yang diperoleh sehingga diperoleh
kurva hubungan antara konsentrasi dan
serapan larutan xantin. Persamaan kurva linear
tersebut digunakan untuk menghitung aktivitas
xantin oksidase.
Uji Daya Inhibisi Terhadap Enzim Xantin
Oksidase (Tamta et al. 2006)
Uji daya inhibisi ekstrak kasar terhadap
xantin oksidase dilakukan pada kondisi
optimumnya. Kondisi optimum pengujian
mengacu pada Iswantini dan Darusman (2003),
yaitu pada waktu inkubasi 45 menit, suhu 20o
C, pH 7.5, konsentrasi xantin oksidase 0.1
unit/ml, dan konsentrasi substrat (xantin) 0.7
mM.
Ekstrak kasar dimasukkan ke dalam
tabung reaksi terpisah dengan variasi
konsentrasi tertentu. Variasi konsentrasi
didasarkan pada hasil uji sitotoksin (Wardani
2008). Selanjutnya kedalamnya ditambahkan
larutan buffer kalium fosfat 50 mM pH 7.5
sampai volumenya menjadi 1.9 ml. Campuran
kemudian ditambah 1 ml xantin 2.1 mM dan
xantin oksidase 0.1 unit/ml sebanyak 0.1 ml
lalu diinkubasi pada suhu 20oC selam 45
menit. Setelah masa inkubasi, ke dalam
campuran dengan segera ditambahkan HCl
0.58 M sebanyak 1 ml untuk menghentikan
reaksi.
Campuran selanjutnya diukur serapannya
menggunakan spektrofometer UV pada
panjang gelombang 269 nm untuk melihat
seberapa besar sisa xantin yang tidak bereaksi
dalam sampel uji. Konsentrasi ini nantinya
dapat diubah menjadi konsentrasi xantin yang
bereaksi sehingga dapat ditentukan seberapa
besar aktivitas xantin oksidase dan seberapa

6

besar persen inhibisi ekstrak yang diujikan
terhadap aktivitas xantin oksidase.
Uji Kecepatan Aktivitas Xantin Oksidase di
berbagai Konsentrasi Substrat (Tamta et al.
2006)
Uji kecepatan dilakukan hanya pada
ekstrak kasar tempuyung. Prosedur uji ini
mirip dengan pelaksanaan uji penentuan daya
inhibisi, hanya saja pada uji kecepatan ini,
konsentrasi substrat (xantin) dalam larutan
divariasikan mulai dari 0, 0.1 hingga 0.9 mM
(interval kenaikan 0.2 mM) dan konsentrasi
ekstrak dibuat konstan. Sebelum uji dilakukan
perlu diketahui terlebih dahulu pada
konsentrasi berapa ekstrak kasar memberikan
hambatan maksimumnya. Ekstrak dengan
konsentrasi yang memberikan daya inhibisi
terbaik dan masih berada di bawah nilai LC50nya yang kemudian dijadikan kandidat bagi
pelaksanaan uji kecepatan. Ekstrak etanol
tempuyung menunjukkan daya inhibisi yang
paling besar pada konsentrasi 200 ppm.
Dalam
pelaksanaannya,
sederetan
konsentrasi substrat disiapkan (0.00; 0.3; 0.9;
1.5;2.1; dan 2.7 mM) dan diuji sebagaimana
penentuan daya inhibisi, dari sini akan
diperoleh kecepatan reaksi enzim xantin
oksidase dalam keadaan normal, sedangkan
untuk melihat kecepatan reaksi enzim akibat
perlakuan ekstrak, ke dalam sederetan
konsentrasi substrat yang lain ditambahkan
ekstrak (konsentrasi terpilih), dan diinkubasi
sesuai kondisi optimumnya, lalu dibaca
serapannya pada panjang gelombang 269 nm.
Data yang diperoleh kemudian dikonversi
dan diinterpretasikan ke dalam persamaan
Michaelis Menten dalam bentuk grafik.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar Air
Sampel tempuyung yang digunakan pada
penelitian ini berbentuk simplisia yang telah
dikeringkan dan digiling. Pengeringan
simplisia dimaksudkan untuk menghindari
pengaruh mikrob, karena kadar air dalam suatu
bahan akan memengaruhi daya tahan sampel
tersebut
terhadap
serangan
mikrob.
Penggilingan sampel dimaksudkan untuk
memudahkan proses difusi pelarut masuk ke
dalam dinding sel tumbuhan sehingga proses
ekstraksi dapat berjalan optimal.
Serbuk tempuyung ditentukan kadar
airnya agar dapat diperkirakan cara

penyimpanan terbaik bagi sampel untuk
menghindari pengaruh aktivitas mikrob
(jamur). Data dan perhitungan kadar air bisa
dilihat pada Lampiran 2. Kadar air yang
diperoleh adalah 10.29 %, maka serbuk
tempuyung relatif kurang
stabil terhadap
serangan mikrob karena kadar airnya lebih dari
10% (Winarno 1997). Hal ini bisa terjadi
karena panen dilakukan pada saat musim hujan
sehingga kadar airnya cukup tinggi.
Ekstraksi
Ekstraksi digunakan untuk memperoleh
kandungan senyawa kimia yang larut dalam
pelarut. Ekstraksi dilakukan dengan metode
maserasi. Maserasi cocok digunakan untuk
senyawa yang belum diketahui ciri-cirinya.
Kandungan senyawa dalam sampel yang tidak
tahan panas tidak rusak dan sampel dapat
diekstraksi langsung dalam jumlah banyak.
Mekanisme ekstraksi pada metode maserasi
adalah adanya proses difusi pelarut ke dalam
dinding sel tumbuhan untuk mengekstraksi
senyawa yang ada dalam tumbuhan tersebut.
Ekstraksi menggunakan pelarut etanol 30%,
alasan etanol karena etanol memiliki 2 gugus
fungsi yang berbeda kepolarannya, yaitu gugus
hidroksil yang bersifat polar dan gugus alkil
yang nonpolar. Senyawa-senyawa dengan
kepolaran yang berbeda dalam sampel
diharapkan akan terekstrak ke dalam etanol
(Khopkar 2002). Selain itu, etanol 30% lebih
ekonomis dan limbah yang dihasilkan tidak
terlalu berbahaya. Rendemen yang didapatkan
dari hasil ekstraksi serbuk tempuyung adalah
22.06% terhadap bobot keringnya. Untuk
perhitungannya dapat dilihat di Lampiran 2.
Uji Fitokimia
Senyawa metabolit sekunder dalam
ekstrak tempuyung dapat diketahui melalui uji
fitokimia. Uji yang dilakukan meliputi uji
flavonoid, alkaloid, tanin, saponin, steroid, dan
triterpenoid. Uji pendahuluan ini dilakukan
untuk mengetahui ada tidaknya flavonoid di
dalam ekstrak tersebut yang kemungkinan
berperan dalam menginhibisi xantin oksidase.
Uji fitokimia dilakukan terhadap serbuk dan
ekstrak kasar tempuyung. Hasil uji fitokimia
serbuk dan ekstrak (Tabel 1) menunjukkan
bahwa keduanya mengandung flavonoid dan
tanin.
Flavonoid pada ekstrak kasar tempuyung
didapati lebih banyak daripada simplisianya.
Hal ini terlihat dari warna yang terbentuk pada
ekstrak lebih pekat. Metabolit sekunder
flavonoid ini yang diduga dapat menghambat

6

besar persen inhibisi ekstrak yang diujikan
terhadap aktivitas xantin oksidase.
Uji Kecepatan Aktivitas Xantin Oksidase di
berbagai Konsentrasi Substrat (Tamta et al.
2006)
Uji kecepatan dilakukan hanya pada
ekstrak kasar tempuyung. Prosedur uji ini
mirip dengan pelaksanaan uji penentuan daya
inhibisi, hanya saja pada uji kecepatan ini,
konsentrasi substrat (xantin) dalam larutan
divariasikan mulai dari 0, 0.1 hingga 0.9 mM
(interval kenaikan 0.2 mM) dan konsentrasi
ekstrak dibuat konstan. Sebelum uji dilakukan
perlu diketahui terlebih dahulu pada
konsentrasi berapa ekstrak kasar memberikan
hambatan maksimumnya. Ekstrak dengan
konsentrasi yang memberikan daya inhibisi
terbaik dan masih berada di bawah nilai LC50nya yang kemudian dijadikan kandidat bagi
pelaksanaan uji kecepatan. Ekstrak etanol
tempuyung menunjukkan daya inhibisi yang
paling besar pada konsentrasi 200 ppm.
Dalam
pelaksanaannya,
sederetan
konsentrasi substrat disiapkan (0.00; 0.3; 0.9;
1.5;2.1; dan 2.7 mM) dan diuji sebagaimana
penentuan daya inhibisi, dari sini akan
diperoleh kecepatan reaksi enzim xantin
oksidase dalam keadaan normal, sedangkan
untuk melihat kecepatan reaksi enzim akibat
perlakuan ekstrak, ke dalam sederetan
konsentrasi substrat yang lain ditambahkan
ekstrak (konsentrasi terpilih), dan diinkubasi
sesuai kondisi optimumnya, lalu dibaca
serapannya pada panjang gelombang 269 nm.
Data yang diperoleh kemudian dikonversi
dan diinterpretasikan ke dalam persamaan
Michaelis Menten dalam bentuk grafik.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar Air
Sampel tempuyung yang digunakan pada
penelitian ini berbentuk simplisia yang telah
dikeringkan dan digiling. Pengeringan
simplisia dimaksudkan untuk menghindari
pengaruh mikrob, karena kadar air dalam suatu
bahan akan memengaruhi daya tahan sampel
tersebut
terhadap
serangan
mikrob.
Penggilingan sampel dimaksudkan untuk
memudahkan proses difusi pelarut masuk ke
dalam dinding sel tumbuhan sehingga proses
ekstraksi dapat berjalan optimal.
Serbuk tempuyung ditentukan kadar
airnya agar dapat diperkirakan cara

penyimpanan terbaik bagi sampel untuk
menghindari pengaruh aktivitas mikrob
(jamur). Data dan perhitungan kadar air bisa
dilihat pada Lampiran 2. Kadar air yang
diperoleh adalah 10.29 %, maka serbuk
tempuyung relatif kurang
stabil terhadap
serangan mikrob karena kadar airnya lebih dari
10% (Winarno 1997). Hal ini bisa terjadi
karena panen dilakukan pada saat musim hujan
sehingga kadar airnya cukup tinggi.
Ekstraksi
Ekstraksi digunakan untuk memperoleh
kandungan senyawa kimia yang larut dalam
pelarut. Ekstraksi dilakukan dengan metode
maserasi. Maserasi cocok digunakan untuk
senyawa yang belum diketahui ciri-cirinya.
Kandungan senyawa dalam sampel yang tidak
tahan panas tidak rusak dan sampel dapat
diekstraksi langsung dalam jumlah banyak.
Mekanisme ekstraksi pada metode maserasi
adalah adanya proses difusi pelarut ke dalam
dinding sel tumbuhan untuk mengekstraksi
senyawa yang ada dalam tumbuhan tersebut.
Ekstraksi menggunakan pelarut etanol 30%,
alasan etanol karena etanol memiliki 2 gugus
fungsi yang berbeda kepolarannya, yaitu gugus
hidroksil yang bersifat polar dan gugus alkil
yang nonpolar. Senyawa-senyawa dengan
kepolaran yang berbeda dalam sampel
diharapkan akan terekstrak ke dalam etanol
(Khopkar 2002). Selain itu, etanol 30% lebih
ekonomis dan limbah yang dihasilkan tidak
terlalu berbahaya. Rendemen yang didapatkan
dari hasil ekstraksi serbuk tempuyung adalah
22.06% terhadap bobot keringnya. Untuk
perhitungannya dapat dilihat di Lampiran 2.
Uji Fitokimia
Senyawa metabolit sekunder dalam
ekstrak tempuyung dapat diketahui melalui uji
fitokimia. Uji yang dilakukan meliputi uji
flavonoid, alkaloid, tanin, saponin, steroid, dan
triterpenoid. Uji pendahuluan ini dilakukan
untuk mengetahui ada tidaknya flavonoid di
dalam ekstrak tersebut yang kemungkinan
berperan dalam menginhibisi xantin oksidase.
Uji fitokimia dilakukan terhadap serbuk dan
ekstrak kasar tempuyung. Hasil uji fitokimia
serbuk dan ekstrak (Tabel 1) menunjukkan
bahwa keduanya mengandung flavonoid dan
tanin.
Flavonoid pada ekstrak kasar tempuyung
didapati lebih banyak daripada simplisianya.
Hal ini terlihat dari warna yang terbentuk pada
ekstrak lebih pekat. Metabolit sekunder
flavonoid ini yang diduga dapat menghambat

7

aktivitas
xantin
oksidase.
Sementara
kandungan tanin pada ekstrak dan simplisia
diperkirakan sama dilihat dari warnanya yang
hampir sama.
Tabel 1 Uji fitokimia serbuk dan ekstrak
tempuyung
Golongan
Hasil uji
senyawa
Serbuk
Ekstrak
Flavonoid
+
++
Alkaloid
Tanin
+
+
Saponin
Steroid
Triterpenoid
Keterangan: (-): tidak terdeteksi; (+): terdeteksi

Penelitian
sebelumnya
menunjukkan
bahwa
tempuyung
selain
mengandung
flavonoid dan tanin juga mengandung
triterpenoid dan steroid (Wardani 2008).
Perbedaan diduga karena kondisi tanaman saat
panen berbeda sehingga kandungan metabolit
sekundernya berbeda.
Uji Inhibisi Ekstrak Kasar terhadap
Aktivitas Xantin Oksidase
Penentuan panjang gelombang maksimum
dilakukan sebelum uji inhibisi xantin oksidase.
Pengukuran serapan larutan pada panjang
gelombang maksimum dapat mengurangi galat
atau memiliki ketepatan yang tinggi dalam
penentuan
suatu
senyawa
secara
spektrofotometri. Hal ini disebabkan karena
pengukuran pada dengan serapan maksimum
akan
meningkatkan
kepekaan
analisis.
Pengukuran ultraviolet (UV) dilakukan pada
kisaran panjang gelombang 220–320 nm
karena senyawa yang akan diukur tidak
berwarna. Panjang gelombang maksimum
diperoleh pada panjang gelombang 269 nm
(Lampiran 3). Hasil ini tidak terlalu jauh dari
max yang diperoleh Izzah (2010) yaitu 268.2
nm.
Uji inhibisi terhadap enzim xantin
oksidase dilakukan pada ekstrak tempuyung
dengan konsentrasi, mulai dari 100 ppm sampai
1500 ppm. Variasi konsentrasi ini bertujuan
mencari konsentrasi yang memiliki daya
inhibisi terbaik. Konsentrasi terbaik dengan
daya inhibisi tertinggi inilah yang digunakan
untuk uji kecepatan enzim. Selain itu, juga
dilakukan pengamatan aktivitas enzim tanpa
penambahan ekstrak (kontrol) untuk melihat
pengaruh inhibisi ekstrak terhadap aktivitas
enzim.

Pembuatan kurva standar perlu dilakukan
sebelum uji enzimatik untuk mengetahui
serapan xantin pada berbagai konsentrasi.
Persamaan linear yang diperoleh ialah
y=2.8346x+0.2235 dengan nilai r=0.9600
(Lampiran 3), dan y merupakan serapan xantin
dengan penambahan ekstrak dan x merupakan
konsentrasi xantin sisa yang tidak terkonversi
menjadi asam urat. Konsentrasi ini nantinya
dapat diubah menjadi konsentrasi xantin yang
bereaksi sehingga dapat ditentukan besarnya
aktivitas xantin oksidase dan persen inhibisi
ekstrak yang diujikan terhadap aktivitas xantin
oksidase.
Faktor-faktor
utama
yang
dapat
memengaruhi
aktivitas
enzim
meliputi
konsentrasi enzim, konsentrasi substrat, jumlah
produk yang terbentuk, adanya senyawa
inhibitor dan aktivator, pH, kekuatan ion, serta
suhu lingkungan (Thenawijaya 1995). Faktorfaktor ini harus benar-benar diperhatikan
selama bekerja dengan enzim. Uji enzimatik
dilakukan pada kondisi optimum (Iswantini
dan Darusman 2003),
yakni pada suhu
inkubasi 20oC, pH 7.5, konsentrasi xantin
oksidase 0.1 unit/ml, konsentrasi xantin 0.7
mM, dan waktu inkubasi 45 menit. Serapan
yang terukur merupakan sisa xantin yang tidak
terkonversi menjadi asam urat. Serapan ini
nantinya dapat diubah menjadi konsentrasi
xantin berdasarkan pada persamaan linear.
Daya hambat ekstrak kasar tempuyung dapat
diilustrasikan dalam bentuk persen inhibisi
yang diperlihatkan pada Gambar 3.
Hasil uji (Lampiran 4) menunjukkan
bahwa tidak semua varian konsentrasi ekstrak
memiliki aktivitas enzim yang lebih rendah
dibandingkan dengan kontrol. Hal ini
mengindikasikan bahwa ekstrak kasar tempuyung berpotensi untuk menghambat dan
mengaktivasi aktivitas xantin oksidase. Namun,
kemampuan menghambatnya masih lebih besar
daripada kemampuan mengaktivasi dilihat dari
nilai inhibisinya.
Ekstrak kasar tempuyung dapat menghambat aktivitas enzim xantin oksidase mulai dari
konsentrasi 100 ppm sampai 600 ppm dengan
daya hambat paling besar pada konsentrasi 200
ppm, yaitu sebesar 10.86%. Namun, pada
konsentrasi 700 ppm sampai 1500 ppm ekstrak
tersebut malah menjadi aktivator. Hal ini
disebabkan ekstrak yang diujikan masih kasar,
sehingga semakin pekat ekstrak,
semakin
banyak pula senyawa lain yang ikut
terekstraksi oleh etanol yang diduga memiliki
fungsi bukan hanya untuk menginhibisi.

8

rutin sebagai inhibitor xantin oksidase dan
xantin dehidrogenasi sehingga dapat mencegah
hiperurisemia pada hati tikus secara in vivo
(Zhu et al. 2004). Umamaheswari et al. (2006)
menyatakan
bahwa
selain
kandungan
flavonoid, senyawa-senyawa seperti diterpen,
triterpenoid, alkaloid, dan lignan yang terdapat
dalam ekstrak metanol tanaman Vivex negundo
L. atau saponin dan polifenol yang terdapat
pada ekstrak air tanaman Coccinia grandis L.
dapat berperan dalam menghambat xantin
oksidase secara in vitro dengan daya inhibisi
lebih besar dari 50%. Kuersetin dari Pistecia
integerrima juga dapat menghambat aktivitas
xantin oksidase (Ahmad et al. 2007). Flavonoid
dapat
pada ekstrak Acacia confusa
menghambat xantin oksidase sebesar 80%
(Tung & Chang 2010).
Uji Kecepatan Reaksi Enzim pada Berbagai
Konsentrasi Substrat

Gambar 3 Inhibisi ekstrak tempuyung terhadap
enzim xantin oksidase dalam
berbagai konsentrasi.
Data hasil uji inhibisi menunjukkan daya
inhibisi yang tidak seiring dengan bertambahnya konsentrasi ekstrak. Peningkatan yang
tidak signifikan ini diduga adanya karakteristik
komponen senyawa yang berbeda dalam
sampel yang ikut terekstrak oleh etanol dan
ketidakhomogenan distribusi ekstrak oleh
pelarut. Golongan senyawa tersebut dapat
berfungsi sebagai inhibitor ataupun aktivator
enzim (Harborne 1987).
Senyawa metabolit sekunder yang
terkandung dalam ekstrak tempuyung yang
diduga dapat menginhibisi xantin oksidase
adalah flavonoid. Kandungan flavonoid yang
terdapat di dalam ekstrak etanol tempuyung,
yaitu flavonoid dengan komponen utama
adalah 7-glukosilluteolin, 7-glukosilapigenin,
dan kaemferol (Chairul 1999). Senyawa
flavonoid dapat menghambat xantin oksidase
dan bersifat menangkap radikal bebas
superoksida sehingga mampu menurunkan
kadar asam urat. Jenis-jenis flavonoid seperti
apigenin, luteolin, kuersetin dan kaemferol
mempunyai potensi cukup baik untuk
menginhibisi aktivitas enzim xantin oksidase,
sedangkan turunan flavonoid seperti 7glukosilapigenin memiliki inhibisi lebih rendah
dibandingkan flavonoid aslinya, yaitu apigenin
(Cos et al. 1998). Berdasarkan penelitian
sebelumnya flavonoid golongan quersetin dan

Pada uji kecepatan ini digunakan
konsentrasi ekstrak kasar 200 ppm, pemilihan
konsentrasi ini didasarkan pada nilai
inhibisinya yang paling besar berdasarkan uji
inhibisi, dengan konsentrasi yang masih
dibawah nilai LC50 (Wardani 2008). Selain itu
alasan lain dipilih konsentrasi 200 ppm adalah
ekstrak tersebut tidak terlalu pekat karena
dikhawatirkan keragaman senyawa yang
terdapat pada ekstrak yang terlalu pekat dapat
mengganggu reaksi enzimatis dan akan
memengaruhi hasil. Hasil analisis kecepatan
enzim berdasarkan grafik Michaelis Menten
dapat dilihat seperti pada Gambar 4.
Berdasarkan
hasil
uji
kecepatan
(Lampiran 5) terlihat bahwa terjadi peningkatan kecepatan seiring dengan penambahan
konsentrasi substrat. Hal ini terjadi karena
banyaknya peluang bagi substrat untuk
berikatan dengan sisi aktif enzim. Sesuai
dengan pernyataan Lehninger bahwa pada
konsentrasi substrat rendah kecepatan reaksi
amat rendah tetapi kecepatan akan meningkat
dengan meningkatnya konsentrasi substrat
(Lehninger 1982).
Dari grafik terlihat pula bahwa penambahan ekstrak kasar tempuyung dapat menurunkan kecepatan reaksi enzimatis, namun
penurunan yang terjadi tidak signifikan. Hal
ini terjadi karena ekstrak yang digunakan
memiliki penghambatan yang tidak terlalu
besar.

9

200 ppm (daya inhibisi sebesar 10.86%) dapat
menurunkan kecepatan reaksi enzimatis
walaupun tidak signifikan.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
untuk mendapatkan persen penghambatan
lebih besar yaitu dengan fraksinasi kemudian
diuji kinetikanya.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad NS, Farman M, Najmi MH, Mian KB,
Hasan A. 2007. Pharmacological basis for
use of Pistacia integerrima leaves in
hyperuricemia and gout. J Ethnopharmacol 117:478-482.
Behera BC, Adawadkar B, Makhija U. 2003.
Inhibitory activity of xanthine oxidase and
superoxide-scavenging activity in some
taxa of the lichen family graphidaceae.
Phytomedicine 10:536-543.
[BPOM RI] Badan Pengawasan Obat dan
Makanan Republik Indonesia. 2004.
Ekstrak tumbuhan Indonesia Vol ke-2.
Jakarta: BPOM
Chairul. 1999. Tempuyung untuk menghadang
asam
urat.
[terhubung
berkala].
www.indomedia.com/intisari/1999/tempu
yung. [7 November 2010].
Keterangan: =kecepatan ekstrak
∆=kecepatan standar

Gambar 4 Hasil uji kecepatan reaksi enzimatis
berdasarkan
kurva
Michaelis
Menten

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Ekstraksi etanol tempuyung menghasilkan rendemen sebesar 22.06%. Pengujian daya
inhibisi ekstrak kasar tempuyung terhadap
xantin
oksidase
menunjukkan
adanya
hambatan dengan daya inhibisi mulai dari
1.61–10.86% pada rentang konsentrasi ekstrak
100–600
ppm.
Adanya
penambahan
konsentrasi
substrat
terbukti
dapat
meningkatkan kecepatan reaksi enzimatis.
Berdasarkan uji kecepatan terlihat bahwa
ekstrak kasar tempuyung dengan konsentrasi

Connor M. 2009. Allopurinol for pain relief:
More than just crystal clearance. Br J
Pharmacol 156:4-6.
Cos P, Ying L, Calomne M, Hu J.P, Cimanga
K, Poel B.V, Pieters L, Vlietinck A.J, dan
Berghe D.V. 1998. Structure Activity
relationship
and
classification
of
flavonoids as inhibitors of xanthin oxidase
and superoxide scavengers. Journal
Natural Prodia 61:71-76.
Dalimartha. 2006. Resep Tumbuhan Obat
untuk Asam Urat. Bogor: Penebar
Swadaya.
Ethel D, Charles C.G, Peter R, Christoper M,
Drummond K, dan Wellesley M. penemu;
International
Celery
Development
Alliance PTY. Ltd. 2004. Ekstract of
celery seed for the prevention and
treatment of pain, inflammation and

9

200 ppm (daya inhibisi sebesar 10.86%) dapat
menurunkan kecepatan reaksi enzimatis
walaupun tidak signifikan.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
untuk mendapatkan persen penghambatan
lebih besar yaitu dengan fraksinasi kemudian
diuji kinetikanya.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad NS, Farman M, Najmi MH, Mian KB,
Hasan A. 2007. Pharmacological basis for
use of Pistacia integerrima leaves in
hyperuricemia and gout. J Ethnopharmacol 117:478-482.
Behera BC, Adawadkar B, Makhija U. 2003.
Inhibitory activity of xanthine oxidase and
superoxide-scavenging activity in some
taxa of the lichen family graphidaceae.
Phytomedicine 10:536-543.
[BPOM RI] Badan Pengawasan Obat dan
Makanan Republik Indonesia. 2004.
Ekstrak tumbuhan Indonesia Vol ke-2.
Jakarta: BPOM
Chairul. 1999. Tempuyung untuk menghadang
asam
urat.
[terhubung
berkala].
www.indomedia.com/intisari/1999/tempu
yung. [7 November 2010].
Keterangan: =kecepatan ekstrak
∆=kecepatan standar

Gambar 4 Hasil uji kecepatan reaksi enzimatis
berdasarkan
kurva
Michaelis
Menten

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Ekstraksi etanol tempuyung menghasilkan rendemen sebesar 22.06%. Pengujian daya
inhibisi ekstrak kasar tempuyung terhadap
xantin
oksidase
menunjukkan
adanya
hambatan dengan daya inhibisi mulai dari
1.61–10.86% pada rentang konsentrasi ekstrak
100–600
ppm.
Adanya
penambahan
konsentrasi
substrat
terbukti
dapat
meningkatkan kecepatan reaksi enzimatis.
Berdasarkan uji kecepatan terlihat bahwa
ekstrak kasar tempu