Peningkatan Keragaman Genetik Cabai Tahan Terhadap Penyakit Antraknosa Melalui Hibridisasi Dan Iradiasi Sinar Gamma

PENINGKATAN KERAGAMAN GENETIK CABAI TAHAN
TERHADAP PENYAKIT ANTRAKNOSA MELALUI
HIBRIDISASI DAN IRADIASI SINAR GAMMA

NURA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Peningkatan Keragaman
Genetik Cabai Tahan terhadap Penyakit Antraknosa melalui Hibridisasi dan
Iradiasi Sinar Gamma adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2015
Nura
NIM A253110211

RINGKASAN
NURA. Peningkatan Keragaman Genetik Cabai Tahan terhadap Penyakit
Antraknosa melalui Hibridisasi dan Iradiasi Sinar Gamma. Dibimbing oleh
MUHAMAD SYUKUR, NURUL KHUMAIDA dan WIDODO.
Peningkatan keragaman genetik cabai tahan terhadap penyakit antraknosa
sangat diperlukan dalam merancang program pemuliaan yang efektif untuk
merakit varietas yang berdaya hasil tinggi dan tahan terhadap penyakit antraknosa.
Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan Leuwikopo dan Laboratorium
Pendidikan Pemuliaan Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB dari
bulan Mei 2012 hingga April 2014. Terdapat dua pendekatan dalam penelitian ini,
yaitu pendekatan hibridisasi dan pendekatan iradiasi dengan menggunakan sinar
gamma.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan populasi tetua tahan dan tetua
rentan serta hasil persilangan dengan pendekatan hibridisasi dan mutan yang
dihasilkan pada dosis iradiasi sinar gamma dibawah LD50. Evaluasi ketahanan

terhadap Colletotrichum acutatum dilakukan di Laboratorium Pendidikan dan
Pemuliaan Tanaman AGH IPB dengan menggunakan metode inokulasi secara
suntik pada buah yang sudah tumbuh maksimum tetapi masih berwarna hijau. Uji
radiosensitivitas dilakukan dengan menggunakan sinar gamma pada dosis 0, 100,
200, 300, 400, 500, 600, 700, 800, 900, dan 1000 Gy.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat efek maternal yang
mengendalikan ketahanan cabai terhadap penyakit antraknosa. Ketahanan
terhadap penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum dikendalikan
oleh banyak gen. Hal ini dibuktikan dengan hasil sebaran data populasi F2 yang
bersifat kontinyu dan menyebar normal. Jumlah minimal gen yang mengendalikan
karakter ketahanan penyakit adalah satu kelompok gen efektif. Interaksi gen
mayor adalah non alelik dominan duplikat dan aksi gen yang mengendalikan
adalah resesif parsial. Pengaruh gen menunjukkan adanya interaksi aditif dominan
dengan model interaksi aditif x aditif dan dominan x dominan. Nilai duga
heritabilitas arti luas dan arti sempit tergolong sedang.
Lethal Dose 50 (LD50) yang terdapat pada genotipe IPB C2, IPB C10, dan
IPB C15 berturut-turut adalah 317.928, 591.42, dan 538.785 Gy. Pada tanaman
mutan M2 IPB C2 cenderung rentan sampai sangat rentan terhadap penyakit
antraknosa, IPB C10 cenderung moderat sampai sangat tahan, dan genotipe IPB
C15 cenderung rentan sampai tahan. Genotipe IPB C2 memiliki nilai heritabilitas

tinggi untuk karakter ketahanan penyakit, genotipe IPB C10 memiliki nilai
heritabilitas dari rendah hingga tinggi dan IPB C15 memiliki nilai heritabilitas dari
sedang hingga tinggi.
Kata kunci: efek maternal, heritabilitas, LD50, mutan, pewarisan

SUMMARY
NURA. Increasing genetic variability of chili pepper which resistant to
anthracnose disease through hybridization and irradiation gamma rays.
Supervised by MUHAMAD SYUKUR, NURUL KHUMAIDA and WIDODO.
Increasing genetic variability of chili pepper which resistant to anthracnose
disease is needed to design an effective breeding program for high yield varieties
which resistant to anthracnose disease. The research was done in Leuwikopo
Experiment Farm and education Plant Breeding Laboratory of Agronomy and
Horticulture IPB Department from May 2012 to April 2014. The research were
conducted in two approachments, hybridization and irradiation with using gamma
rays.
The research was performed using populations of resistant lines and
susceptible lines with crossing result of hybriditation and mutants that were
generated at a dose of gamma ray irradiation under LD50. Resistance evaluation
of Colletotrichum acutatum was performed in the Laboratory of Education and

Plant Breeding AGH IPB. The evaluation was used syringe inoculation in almost
ripe fruit but still green. The radiosensitivity test using gamma ray irradiation
was performed with dose of 100, 200, 300, 400, 500, 600, 700, 800, 900, and 1000
Gy.
The results showed that there was a maternal effect that controls resistance
to anthracnose of chili pepper. Resistance to anthracnose caused by C. acutatum
was controlled by many genes. It was proved by the results of the population
distribution was continuous and F2 spread to normal. The minimum number of
genes that control disease resistant character is one group of genes effective. The
interaction of genes major is non alelik dominant duplicate and the action of
genes that control is recessive partial. The influence of genes show the
interactions between additive dominant with the influence of the interaction
additive x additive and dominant x dominant. The value of thought broad-sense
and narrow-sense heritability for disease resistance character were medium.
Lethal Dose 50 (LD50) of genotype IPB C2 , IPB C10 , and IPB C15 were
317.928, 591.42, and 538.785 Gy, respectively. IPB C2 mutants obtained tend to
susceptible to very susceptible against anthracnose disease, IPB C10 tend to
moderate to highly resistant, and genotype IPB C15 tend to susceptible to
resistantant. Genotype IPB C2 have high level in heritability for disease resistance
character, genotype IPB C10 have low to high and IPB C15 have medium to high.

Key words : heritability, inheritance, LD50, maternal effect, mutant

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

i

PENINGKATAN KERAGAMAN GENETIK CABAI TAHAN
TERHADAP PENYAKIT ANTRAKNOSA MELALUI
HIBRIDISASI DAN IRADIASI SINAR GAMMA

NURA


Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Awang Maharijaya, SP MSi

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2012 ini adalah
Peningkatan Keragaman Genetik Cabai Tahan terhadap Penyakit Antraknosa
melalui Hibridisasi dan Iradiasi Sinar Gamma.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih setulusnya

kepada :
1. Prof Dr Muhamad Syukur, SP, MSi, Dr Ir Nurul Khumaida, MSi dan Dr Ir
Widodo, MS selaku dosen pembimbing atas segala dukungan, dedikasi,
kesabaran, bimbingan, arahan, kritikan dan masukan selama penelitian
hingga penulisan tesis ini selesai dilaksanakan.
2. Kementerian Ristek melalui hibah SINas tahun 2013 atas nama Prof Dr Ir
Sobir, MSi (Pusat Kajian Hortikultura Tropika) dan Hibah Kompetisi
tahun 2014 atas nama Prof Dr Muhamad Syukur, SP, MSi.
3. Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana dan Ketua
Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman IPB yang telah
menerima penulis untuk melanjutkan sekolah di IPB.
4. Seluruh staf pengajar Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi
Tanaman atas ilmu dan pengetahuan yang diberikan selama masa studi.
5. Bapak Burhanuddin dan Ibu Nurussabah (Almh) tercinta, atas segala jerih
payah, doa, pengertian, keikhlasan, kesabaran, rasa cinta dan kasih sayang
yang tidak pernah putus kepada penulis, terutama buat Ibu yang sudah
pergi mendahului disaat-saat terakhir penulis menyelesaikan penelitiannya,
penulis mengucapkan rasa cinta yang sebesar-besarnya kepada beliau.
6. Keluarga besar Baiturrahman 7 (BR7), atas setiap waktu, dukungan moril
maupun materil, segala doa, bantuan, kesabaran dan kasih sayangnya

kepada penulis selama menempuh studi dan penelitian.
7. Seluruh keluarga besar PBT 2011 dan seluruh kawan Laboratorium
Pendidikan Pemuliaan Tanaman AGH IPB yang telah memberikan ilmu
pengetahuan, persahabatan dan kekeluargaan yang tidak terlupakan.
8. Seluruh penghuni kosan Sinabung 89 gedung A, yang telah memberikan
persahabatan dan kekeluargaan yang tidak terlupakan.
Akhir kata, semoga karya ilmiah ini dapat menjadi amalan baik bagi
penulis dan bermanfaat bagi kita semua.
Bogor, Februari 2015
Nura

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN

vi
vi
vii


1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Hipotesis Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA
Asal dan Taksonomi Cabai
Botani dan Morfologi Cabai
Pemuliaan Mutasi
Radiosensitivitas
Induksi Mutasi Fisik dalam Pemuliaan Tanaman
Penyakit Antraknosa pada Cabai
Ketahanan Tanaman Cabai Terhadap Penyakit Antraknosa

5

5
6
10
10
11
12
13

3

PENDUGAAN PARAMETER GENETIK CABAI TERHADAP
PENYAKIT ANTRAKNOSA MELALUI HIBRIDISASI
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

14
14
15

21
33

RADIOSENSITIVITAS DAN KERAGAAN GENETIK POPULASI M1
CABAI HASIL IRADIASI SINAR GAMMA
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

34
34
35
36
39

5

SELEKSI DAN KEMAJUAN SELEKSI POPULASI M2
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

40
40
41
42
50

6

PEMBAHASAN UMUM

51

7

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

60
60
60

4

1
1
2
2
3

DAFTAR PUSTAKA

61

LAMPIRAN

67

RIWAYAT HIDUP

69

DAFTAR TABEL
1 Genotipe cabai yang digunakan dalam penelitian
2 Jumlah tanaman cabai dengan berbagai tingkat ketahanan pada setiap
populasi berdasarkan insidensi penyakit antraknosa
3 Nilai rataan populasi dan hasil uji nilai tengah antara populasi F1 dan
F1R tanaman cabai
4 Nilai rataan populasi dan hasil uji nilai tengah antara populasi F1 dan
nilai tengah populasi kedua tetua (MP) tanaman cabai
5 Hasil uji skala individu dan skala gabungan karakter tinggi tanaman
dan diameter bercak tanaman cabai
6 Hasil uji skala individu dan skala gabungan karakter bobot buah per
tanaman, panjang buah, diameter buah dan bobot per buah tanaman
cabai
7 Hasil uji skala individu dan skala gabungan karakter umur berbunga,
umur panen dan jumlah buah per tanaman tanaman cabai
8 Nilai heritabilitas pada beberapa karakter cabai tahan terhadap
penyakit antraknosa
9 Nilai koefisien keragaman genetik (KKG) dan fenotipik (KKF)
karakter agronomi tanaman cabai
10 LD50 pada benih tanaman cabai hasil iradiasi sinar gamma pada 5
MSS
11 Rataan jumlah tanaman tumbuh, tinggi kecambah dan standar deviasi
umur lima minggu setelah semai pada kecambah cabai
12 Kriteria ketahanan cabai terhadap penyakit Antraknosa pada tanaman
M2
13 Nilai duga heritabilitas karakter cabai pada generasi M2
14 Nilai duga kemajuan seleksi masing-masing karakter pada genotipe
M2 tanaman cabai
15 Nilai koefisien keragaman genetik tanaman cabai
16 Nilai koefisien keragaman fenotipe tanaman cabai

15
22
26
27
28

30
31
31
33
36
37
43
44
46
47
48

DAFTAR GAMBAR
1 Diagram Alir Penelitian
2 Skema pembentukan populasai F1, F1R, BCP1, BCP2, TWC1, TWC2
dan F2 dengan metode persilangan biparental, backcross dan metode
persilangan three-way cross
3 Tanda panah menunjukkan biakan C. acutatum isolat PYK 04 yang
siap untuk digunakan
4 Tanda lingkaran menunjukkan konidia C. acutatum isolat PYK 04
dengan pembesaran 100x
5 Prosedur inokulasi antraknosa pada buah cabai yang sudah tumbuh
maksimum tetapi masih berwarna hijau
6 Sebaran data populasi F2 dan kurva kenormalan beberapa karakter
agronomi pada tanaman cabai

4

16
17
17
18
23

7
8
9
10
11
12
13

Sebaran data populasi F2 dan kurva kenormalan beberapa karakter
agronomi pada tanaman cabai
Sebaran data populasi F2 dan kurva kenormalan beberapa karakter
agronomi pada tanaman cabai
Posisi relatif populasi F1 terhadap tetua dengan aksi gen dominan
parsial pada karakter umur berbunga pada cabai.
Kurva respon pertumbuhan
Keragaan genotipe cabai mutan M2 C2D0, C2D1, C2D2, C2D3 dan C2D4
Keragaan genotipe cabai mutan M2 C10D0, C10D1, C10D2, C10D3 dan
C10D4
Keragaan genotipe cabai mutan M2 C15D1, C15D2, C15D3, C15D4

24
25
27
38
49
49
49

DAFTAR LAMPIRAN
1

Nilai ragam fenotipe, lingkungan dan genetik pada perlakuan
hibridisasi
2 Nilai ragam fenotipe pada perlakuan iradiasi
3 Nilai ragam lingkungan pada perlakuan iradiasi
4 Nilai ragam genetik pada perlakuan iradiasi

67
67
68
68

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanaman cabai termasuk famili solanaceae, genus Capsicum. Capsicum
annuum L. adalah spesies yang paling luas dibudidayakan dan paling penting
secara ekonomis. Spesies ini mempunyai berbagai bentuk dan ukuran yang
meliputi buah manis dan pedas. Capsicum annuum L. diperkirakan mempunyai
pusat asal (penyebaran primer) di Meksiko kemudian menyebar ke daerah
Amerika Selatan dan Tengah, ke Eropa dan sekarang telah tersebar luas di
deaerah tropik dan subtropik. Pusat penyebaran sekunder C. annuum adalah
Guatemala. Berdasarkan karakter buahnya, terutama bentuk dan ukuran buah,
spesies C. annuum dapat digolongkan dalam empat tipe, yaitu cabai besar,
keriting, rawit (hijau) dan paprika (Syukur et al. 2012).
Menurut Badan Pusat Statistik (2014), produktivitas cabai nasional
Indonesia tahun 2013 adalah 8.16 ton ha-1. Angka tersebut masih sangat rendah
jika dibandingkan dengan potensi produktivitasnya. Syukur et al. (2010)
menyatakan bahwa produktivitas cabai dapat mencapai 20 ton ha-1. Rendahnya
produktivitas cabai di Indonesia disebabkan oleh beberapa hal diantaranya adalah
teknik budidaya yang belum optimal, minimnya benih bermutu, tingginya
serangan hama penyakit serta faktor lingkungan yang kurang menguntungkan.
Salah satu faktor dominan yang menyebabkan rendahnya produktivitas adalah
gangguan hama dan penyakit (Nawangsih et al. 2003).
Antraknosa pada cabai disebabkan oleh genus Colletotrichum yang
digolongkan menjadi beberapa spesies utama yaitu C. gloeosporioides, C.
acutatum, C. dematium, C. capsici dan C. coccodes (Kim et al. 1999). Penyakit
antraknosa merupakan kendala biologis terbesar dalam usaha tani cabai, karena
dapat menyerang tanaman dan juga buah maupun setelah buah dipanen. Patogen
yang menyerang buah merupakan kendala terbesar dalam peningkatan produksi
cabai, karena buah dapat gugur sebelum panen atau busuk sebelum dan setelah
panen, sehingga mengurangi produksi buah yang dapat dipasarkan. Penyakit
antraknosa dapat berlanjut menyerang buah dalam penyimpanan di tingkat
konsumen. Penyakit ini dianggap sebagai penyakit yang paling merugikan
dibanding penyakit cabai lainnya karena dapat menyebabkan kehilangan hasil
sebesar 10-80% di musim hujan dan 2-35% di musim kemarau (Widodo 2007).
Diperlukan pembentukan varietas baru cabai yang memiliki daya hasil tinggi dan
tahan terhadap penyakit antraknosa. Upaya pengembangan cabai di Indonesia
dapat dilakukan melalui teknik hibridisasi dan iradiasi sinar gamma.
Hibridisasi merupakan suatu teknik persilangan antar tanaman yang
memiliki tujuan untuk memperoleh individu dengan sifat yang diinginkan. Salah
satunya yaitu dapat dilakukan dengan metode silang balik (back cross) dan
metode tiga jalur (three-way cross). Pada metode silang balik, generasi F1
disilangkan beberapa kali dengan salah satu tetua. Metode ini sangat efisien dalam
memasukkan satu atau dua karakter yang diinginkan ke dalam varietas unggul dan
tetap mempertahankan semua karakter positif lainnya dari varietas tersebut.
Metode tiga jalur (three-way cross) digunakan jika tidak mungkin menemukan
dua tetua yang mengandung semua karakter yang diinginkan maka digunakan

2

tetua ketiga yang mengandung karakter penting lainnya dan disilangkan dengan
generasi F1 silang tunggal (Syukur et al. 2012).
Induksi mutasi dengan iradiasi sinar gamma juga dapat digunakan untuk
memperoleh cabai yang tahan terhadap penyakit antraknosa. Mutasi adalah
perubahan materi genetik, yang merupakan sumber pokok dari semua keragaman
genetik dan merupakan bagian dari fenomena alam (Aisyah 2006). Dosis iradiasi
yang digunakan untuk menginduksi keragaman sangat menentukan keberhasilan
terbentuknya tanaman mutan. Kisaran dosis iradiasi yang efektif pada benih
umumnya lebih tinggi jika dibandingkan dengan bagian tanaman lainnya.
Semakin banyak kadar oksigen dan molekul air (H2O) dalam materi yang
diiradiasi, maka akan semakin banyak pula radikal bebas yang terbentuk sehingga
tanaman menjadi lebih sensitif (Herison et al. 2008). Oleh karena itu perlu
diketahui dosis optimum yang efektif untuk menghasilkan tanaman mutan. Mutan
yang diperoleh pada umumnya terdapat pada atau sedikit dibawah nilai LD50
(Lethal Dose 50).
LD50 adalah dosis yang menyebabkan 50% kematian dari populasi yang
diiradiasi. Dosis penyinaran akan menentukan sifat individu yang dihasilkan.
Dalam tujuan untuk mendapatkan individu yang mempunyai ketahanan terhadap
penyakit antraknosa perlu dilakukan evaluasi terhadap genotipe-genotipe hasil
iradiasi pada berbagai dosis penyinaran, sehingga dapat digunakan untuk
menciptakan varietas unggul baru yang memiliki daya hasil tinggi dan tahan
terhadap penyakit antraknosa.
Petani umumnya mengendalikan penyakit antraknosa dengan
menggunakan fungisida kontak dan fungisida sistemik secara intensif. Namun
penggunaan pestisida secara berlebihan tidak hanya menyebabkan peningkatan
biaya produksi, tetapi juga mengakibatkan resiko kesehatan petani dan konsumen,
serta kerusakan lingkungan. Oleh karena itu, penggunaan varietas yang tahan
merupakan salah satu cara yang dapat menjadi pilihan untuk mengatasi masalah
penyakit antraknosa (C. acutatum), sehingga penelitian ini perlu dilakukan untuk
meningkatkan keragaman genetik cabai yang memiliki daya hasil tinggi dan tahan
terhadap penyakit antraknosa.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mendapatkan informasi tentang parameter genetik karakter ketahanan
cabai terhadap penyakit antraknosa melalui teknik hibridisasi dan iradiasi.
2. Mendapatkan informasi ketahanan terhadap penyakit antraknosa
dikendalikan oleh aksi gen aditif.
3. Mendapatkan informasi LD50 pada beberapa genotipe tanaman cabai hasil
iradiasi sinar gamma.
Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
1. Dari pendekatan hibridisasi dan iradiasi sinar gamma pada genotipe
IPB C2, IPB C10 dan IPB C15 setidaknya ditemukan genotipe tahan
terhadap antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum.

3
2. Karakter ketahanan cabai terhadap penyakit antraknosa yang disebabkan
oleh C. acutatum dikendalikan oleh aksi gen aditif.
3. Masing-masing genotipe cabai memiliki LD50 yang berbeda.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian terdiri dari tiga percobaan dalam upaya pencapaian tujuan
penelitian dan menjawab hipotesis penelitian. Penelitian ini menggunakan tiga
genotipe tetua berdasarkan informasi sebelumnya, kriteria ketahanan cabai
terhadap penyakit antraknosa dengan menggunakan isolat PYK 04 yang berasal
dari Payakumbuh Sumatra Barat, yaitu IPB C10 (penggaluran dari PBC 495 asal
AVRDC) termasuk kedalam kriteria tahan, IPB C2 (penggaluran dari PSPT C 11
asal Departemen AGH IPB) termasuk ke dalam golongan kriteria rentan dan IPB
C15 (penggaluran dari 0209-4 asal AVRDC) tergolong dalam kriteria sangat tahan
terhadap penyakit antraknosa.
Langkah utama yang dilakukan sebelum percobaan pertama adalah
pembentukan populasi dengan cara hibridisasi melalui persilangan antar tetua
tahan dengan tetua rentan. Dalam perakitan varietas biasanya genotipe yang
memiliki sifat tahan dijadikan sebagai donor ketahanan untuk memperbaiki
genotipe cabai yang memiliki daya hasil tinggi, namun tidak memiliki sifat tahan
penyakit antraknosa. Pada percobaan pertama, populasi yang telah terkumpul
yaitu P1, P2, P3, F1, F1R, BCP1, BCP2, TWC1, TWC2 dan populasi F2. Masingmasing populasi tersebut ditanam dan diamati insidensi penyakit serta beberapa
karakter lain seperti tinggi tanaman, umur berbunga, umur panen, bobot buah per
tanaman, jumlah buah per tanaman, panjang buah, diameter buah, bobot per buah,
dan diameter bercak.
Pada percobaan ke dua dilakukan iradiasi sinar gamma terhadap tiga
genotipe cabai, yaitu IPB C2, IPB C10, dan IPB C15 dengan taraf 0, 100, 200, 300,
400, 500, 600, 700, 800, 900 dan 1000 Gy. Berdasarkan hasil iradiasi sinar
gamma ditentukan nilai radiosensitivitas setiap tanaman melalui LD50, yaitu dosis
yang dapat mengakibatkan kematian 50% dari populasi yang mendapat perlakuan
iradiasi.
Pada percobaan ke tiga benih cabai yang berindikasi mutan (hasil
percobaan 2) ditanam sebagai tanaman M2 dan dibandingkan dengan tetua asal
yaitu IPB C2, IPB C10, dan IPB C15. Pengamatan insidensi penyakit dan karakter
kuantitatif dilakukan terrhadap masing-masing individu tanaman.
Dari ketiga percobaan tersebut diharapkan akan diperoleh: (1) memperoleh
individu dan mutan putatif yang tahan terhadap penyakit antraknosa, (2) informasi
parameter genetik yang dibentuk melalui hibridisasi dan iradiasi sinar gamma, (3)
informasi Lethal Dose 50 (LD50) hasil iradiasi sinar gamma (Gambar 1).

4

Informasi keragaman
genetik

Plasma nutfah cabai
(Koleksi dan
introduksi)

Percobaan 2 :
Radiosensitivitas dan
keragaan populasi M1
cabai hasil iradiasi
sinar gamma

Pembentukan
populasi

Populasi P1, P2, P3, F1, F1R,
BCP1, BCP2, TWC1, TWC2, F2
Percobaan 3:
Seleksi dan kemajuan
seleksi populasi M2
Percobaan 1 :
Pendugaan parameter
genetik ketahanan terhadap
penyakit antraknosa dan
beberapa karakter lain

 Memperoleh individu dan mutan putatif yang
tahan terhadap penyakit antraknosa
 Informasi parameter genetik yang dibentuk melalui
hibridisasi dan iradiasi sinar gamma
 Informasi Lethal Dose 50 (LD50) hasil iradiasi
sinar gamma.

Gambar 1 Diagram Alir Penelitian

5

2 TINJAUAN PUSTAKA
Asal dan Taksonomi Cabai
Tanaman cabai (Capsicum annuum L.) berasal dari dunia tropika dan
subtropika Benua Amerika, khususnya Colombia, Amerika Selatan dan terus
menyebar ke Amerika Latin. Bukti budidaya cabai pertama kali ditemukan dalam
tapak galian sejarah Peru dan sisaan biji yang telah berumur lebih dari 5000 tahun
SM di dalam gua di Tehucan, Meksiko. Penyebaran cabai ke seluruh dunia
termasuk Negara-negara di Asia, seperti Indonesia dilakukan oleh pedagang
Spanyol dan Portugis.
Cabai merupakan tanaman perdu dari famili terong-terongan yang
memiliki nama ilmiah Capsicum sp. Cabai mengandung kapaisin, dihidrokapaisin,
vitamin (A, C), damar, zat warna kapsantin, karoten, kapsarubin, zeasantin,
kriptosantin, clan lutein. Selain itu juga mengandung mineral, seperti zat besi,
kalium, kalsium, fosfor dan niasin. Zat aktif kapaisin berkhasiat sebagai stimulan.
Jika seseorang mengkonsumsi kapaisin terlalu banyak akan mengakibatkan rasa
terbakar di mulut dan keluarnya air mata. Selain kapaisin, cabai juga mengandung
kapsisidin. Khasiatnya untuk memperlancar sekresi asam lambung dan mencegah
infeksi sistem pencernaan. Unsur lain di dalam cabai adalah kapsikol yang
dimanfaatkan untuk mengurangi pegal-pegal, sakit gigi, sesak nafas, dan gatalgatal.
Cabai adalah tanaman tahunann tropika yang biasanya ditanam sebagai
tanaman setahun. Jenis tanaman herba tersebut sebagian besar menjadi berkayu
pada pangkal batangnya, dan beberapa jenis menjadi semak. Cabai besar
merupakan salah satu spesies dari sekitar 20-30 spesies dalam genus Capsicum
yang telah dibudidayakan (Berke 2000).
Menurut klasifikasi dalam tata nama (sistem tumbuhan) tanaman cabai
termasuk kedalam :
Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Ordo
: Solanales
Famili
: Solanaceae
Genus
: Capsicum
Spesies
: Capsicum annuum L.
Cabai termasuk dalam suku terong-terongan (Solanaceae) dan merupakan
tanaman yang mudah ditanam di dataran rendah ataupun di dataran tinggi.
tanaman cabai banyak mengandung vitamin A dan vitamin C serta mengandung
minyak atsiri capsaicin, yang menyebabkan rasa pedas dan memberikan
kehangatan panas bila digunakan untuk rempah-rempah (bumbu dapur). Cabai
dapat ditanam dengan mudah sehingga bisa dipakai untuk kebutuhan sehari-hari
tanpa harus membelinya di pasar (Harpenas 2010).

6

Botani dan Morfologi Cabai
Seperti tanaman yang lainnya, tanaman cabai mempunyai bagian-bagian
tanaman seperti akar, batang, daun, bunga, buah dan biji.
1. Akar
Harpenas (2010), menyatakan cabai adalah tanaman semusim yang
berbentuk perdu dengan perakaran akar tunggang. Sistem perakaran tanaman
cabai agak menyebar, panjangnya berkisar 25-35 cm. akar ini berfungsi antara
lain menyerap air dan zat makanan dari dalam tanah, serta menguatkan
berdirinya batang tanaman. Sedangkan menurut Tjahjadi (1991) akar tanaman
cabai tumbuh tegak lurus ke dalam tanah, berfungsi sebagai penegak pohon
yang memiliki kedalaman lebih kurang 200 cm serta berwarna coklat. Dari
akar tunggang tumbuh akar-akar cabang, akar cabang tumbuh horizontal di
dalam tanah, dari akar cabang tumbuh akar serabut yang berbentuk kecil-kecil
dan membentuk masa yang rapat.
2. Batang
Hewindati (2006), mengatakan batang tanaman cabai tegak dan
pangkalnya berkayu dengan panjang 20-80 cm dengan diameter 1.5-2.5 cm.
batang percabangan berwarna hijau dengan panjang mencapai 5-7 cm,
diameter batang percabangan mencapai 0.5-1 cm. Percabangan bersifat
dikotomi atau menggarpu, tumbuhnya cabang beraturan secara
berkesinambungan. Tjahjadi (1991) mengatakan tanaman cabai berbatang
tegak yang bentuknya bulat. Tanaman cabai dapat tumbuh setinggi 50-150cm
dan merupakan tanaman perdu yang warna batangnya hijau dan beruas-ruas
yang dibatasi dengan buku-buku dengan panjang tiap ruas 5-10 cm.
3. Daun
Daun cabai menurut Hewindati (2006), berbentuk memanjang oval
dengan ujung meruncing atau diistilahkan dengan oblongus acutus, tulang
daun berbentuk menyirip dilengkapi urat daun. Bagian permukaan daun
bagian atas berwarna hijau tua, sedangkan bagian permukaan bawah berwarna
hijau muda atau hijau terang. Panjang daun berkisar 9-15 cm dengan lebar
3.5-5 cm. selain itu daun cabai merupakan daun tunggal, bertangkai dengan
panjang 0.5-2.5 cm dan letaknya tersebar. Helaian daun bentuknya bulat telur
sampai elips, ujung runcing, pangkal meruncing, tepi rata, pertulangan
menyirip, panjang 1.5-12 cm, lebar 1-5 cm dan berwarna hijau.
4. Bunga
Hewindati (2006) mengatakan, bunga tanaman cabai berbentuk terompet
kecil, umumnya bunga cabai berwarna putih, tetapi ada juga yang berwarna
ungu. Cabai berbunga sempurna dengan benang sari yang lepas tidak
berlekatan. Disebut berbunga sempurna karena terdiri atas tangkai bunga,
dasar bunga, kelopak bunga, mahkota bunga, alat kelamin jantan dan alat
kelamin betina. Bunga cabai disebut juga berkelamin dua atau hermaphrodite
karena alat kelamin jantan dan betina dalam satu bunga. Menurut Tjahjadi
(2010) menyatakan bahwa posisi bunga cabai menggantung. Warna mahkota
putih, memiliki kuping sebanyak 5-6 helai, panjangnya 1-1.5 cm, lebar 0.5 cm,
warna kepala putik kuning.

7
5. Buah dan Biji
Buah cabai merupakan buah buni berbentuk kerucut memanjang, lurus
atau bengkok, meruncing pada bagian ujungnya, menggantung, permukaan
licin mengkilap, diameter 1-2 cm, panjang 4-17cm, bertangkai pendek,
rasanya pedas. Buah muda berwarna hijau tua, setelah masak menjadi merah
cerah. Sedangkan untuk bijinya, biji yang masih muda berwarna kuning,
setelah tua menjadi coklat, berbentuk pipih, berdiameter sekitar 4 mm. Rasa
buahnya yang pedas dapat mengeluarkan air mata orang yang menciumnya,
tetapi orang tetap membutuhkannya untuk menambah nafsu makan.
Deskripsi jenis-jenis Capsicum yang disusun menurut Heiser dan Smith
(1953), Smith dan Heiser (1957), Heiser (1969a,b) dan Heiser dan Pickersgill
(1969) sebagai berikut :
1. Capsicum annuum L.
Tumbuhan berupa terna atau setengah perdu, dengan tinggi 45-100 cm,
biasanya berumur hanya semusim. Bunga tunggal dan muncul di bagian ujung
ranting, posisinya menggantung; mahkota bunga berwarna putih, berbentuk
seperti bintang; Kelopak seperti lonceng. Buah tunggal pada setiap ruas,
bervariasi dalam ukuran, bentuk, warna dan tingkat kepedasan; bentuk buah
seperti garis, menyerupai kerucut, seperti tabung memanjang, seperti lonceng
atau berbentuk bulat; warna buah setelah masak bervariasi dari merah, jingga,
kuning atau keunguan; posisi buah menggantung; biji berwarna kuning pucat
(Djarwaningsih 2005).
C. annuum var. glabriusculum diduga merupakan nenek moyang liar dari
tanaman budidaya C. annuum var. annuum dan di antara keduanya dapat
terjadi persilangan secara bebas dan cepat. Varietas glabriusculum ini
mempunyai ciri-ciri buah dengan rasa sangat pedas, garis tengah kurang dari
13 mm, posisi buah tegak dan mudah luruh yang berlawanan dengan ciri-ciri
budidayanya. Walaupun varietas ini juga digunakan sebagai rempah-rempah
dan sambal serta kadang-kadang juga dijual di pasar, tetapi tidak
dibudidayakan (Heiser 1969a).
Varietas tersebut masuk ke Amerika Tengah dan Meksiko dari Amerika
Selatan, dibawa oleh burung yang menyukai buahnya dan menyebarkan biji
atau sebagai gulma yang terbawa oleh manusia dalam melakukan perjalanan
ke beberapa tempat. Kemudian manusia menanam jenis tersebut dan
melakukan seleksi dengan menghilangkan perawakan yang mudah luruh,
memunculkan beberapa tipe yang menggantung serta keanekaragaman bentuk
buah, warna dan tingkat kepedasan yang tinggi (Heiser 1969a).
C. annuum tersebar secara spontan dan luas dari Amerika Serikat bagian
selatan, terus Meksiko, Amerika Tengah dan Amerika Selatan bagian utara
(Purseglove et al. 1979). Di Indonesia jenis ini tersebar di seluruh kepulauan,
hal ini karena hampir sebagian besar penduduk telah memanfaatkannya secara
luas baik sebagai bumbu maupun sayuran (Djarwaningsih 1986).
Tingkat kepedasan pada cabai tidak tergantung pada ukuran, bentuk dan
tingkat kematangan buah, akan tetapi terdapat zat kimia pada cabai yang
disebut capsaicin yang berada pada plasenta di buah yang dapat diukur
dengan menggunakan Scoville units (Acquaah 2009).

8

2. Capsicum baccatum L.
Tumbuhan berupa terna atau setengah perdu, dengan tinggi 45-75 cm,
biasanya berumur hanya semusim. Bunga tunggal dan muncul di bagian ujung
ranting, posisinya tegak atau menggantung; mahkota bunga berwarna putih
dengan bercak-bercak kuning pada tabung mahkotanya, berbentuk seperti
bintang. Kelopak seperti lonceng. Buah tunggal pada setiap ruas; bentuk buah
bulat memanjang; warna buah ketika masih muda dapat merah, jingga, kuning,
hijau atau coklat dan setelah masakpun bervariasi dari jingga, kuning sampai
merah; posisi buah tegak atau menggantung; biji berwarna kuning pucat.
Jenis, varietas liar maupun budidayanya ditemukan dari Amerika Selatan.
Di Indonesia sendiri belum diketahui keberadaannya. C. baccatum var.
baccatum mempunyai ciri-ciri: mahkota bunga berwarna putih dengan
bercak-bercak kuning pada tabung mahkotanya, bercuping 5, kepala sari
berwarna kuning, buahnya berwarna merah dengan posisi tegak dan mudah
lurus bila sudah masak. C. baccatum var. baccatum tersebut diduga
merupakan nenek moyang liar dari C. baccatum var. pendulum karena
keduanya dapat menghasilkan hybrid fertile (Esbaugh 1970). Menurut Heiser
(1969a), tidak diketahui dengan pasti asal pembudidayaan varietas pendulum
ini, tetapi diduga dari Peru. Hal ini didukung oleh pendapat Pickersgill (1969)
yang menyatakan bahwa dari bukti arkeologi di awal era Peruvian (2000 SM),
Capsicum yang ditemukan di Ancon dan Huaca Prieta, Peru merupakan
bentuk budidaya dari C. baccatum var. pendulum. Sisa-sisa arkeologi ini
ditemukan pada awal zaman periuk bersama-sama kapas, Canna dan
Canavalia. Sedangkan keanekaragamannya yang tersebar ditemukan di Peru
Ekuador dan Chili.
3. Capsicum frustescens L.
Tumbuhan berupa terna atau setengah perdu, tinggi 50-150 cm, hidupnya
dapat mencapai 2 atau 3 tahunan. Bunganya muncul berpasangan atau bahkan
lebih dibagian ujung ranting, posisinya tegak; mahkota bunga berwarna
kuning kehijauan, berbentuk seperti bintang; kelopak ramping; buah muncul
berpasangan atau bahkan lebih pada setiap ruas, biasanya rasanya sangat
pedas; kadang-kadang mempunyai bentuk buah bulat memanjang atau
berbentuk setengah kerucut; warna buah setelah masak biasanya merah; posisi
buah tegak; biji berwarna kuning pucat.
Jenis ini kadang-kadang disebut cabai burung. Menurut Smith dan Heiser
(1957) karena persebarannya yang begitu luas, maka tidak bisa digambarkan
pusat asalnya di Amerika tropik. Jenis ini pertama kali dibawa pada zaman
Columbia akhir ke Pasifik dan daerah-daerah tropik lainnya dan mengalami
naturalisasi di beberapa tempat, termasuk Afrika Tropik dan Asia Tenggara.
Bentuk budidaya dengan buah besar ditemukan secara luas dari Meksiko
bagian selatan sampai Costa Rica. Saat ini ditemukan sebagai gulma atau
tumbuhan liar di Florida, Meksiko, Amerika Selatan bagian utara dan India
Barat (Purseglove et al. 1979). Sedangkan di Indonesia tersebar di seluruh
kepulauan, mungkin karena pemanfaatannya yang luas seperti halnya
C. annuum ataupun juga karena daur hidupnya yang tahunan, sehingga
penduduk setiap saat dapat memperoleh hasilnya dan membudidayakannya
(Djarwaningsih 1986).

9
4. Capsicum pubescens R. dan P.
Tumbuhan berupa perdu, tinggi 45-113 cm, berbulu lebat, biasanya
berumur hanya semusim; bunga tunggal atau kadang-kadang menggerombol
berjumlah 2-3 pada tiap ruas, posisinya tegak; mahkota bunga berwarna ungu,
berbulu, berbentuk seperti bintang; kelopak berwarna hijau, berbulu; buah
tunggal atau muncul bergerombol berjumlah 2-3 pada setiap ruas, rasanya
pedas; buahnya berbentuk bulat telur; warna buah setelah masak bervariasi
ada yang merah, jingga atau cokelat; posisi buah menggantung; biji berwarna
hitam.
Jenis ini hanya ditemukan tumbuh di dataran tinggi antara 1500-3300 m
dan mudah dibedakan dengan jenis-jenis cabai lainnya dari ciri bijinya yang
hitam serta perawakannya yang berbulu lebat. Jenis ini paling umum dijumpai
di Columbia, Ekuador, Bolivia dan Peru (Purseglove et al. 1979). Nenek
moyang liarnya masih belum diketahui, tetapi jenis ini menunjukkan
kekerabatan yang erat dengan jenis-jenis liar dari Amerika Selatan yaitu C.
eximium, C. cardenasii dan C. tovari, dan salah satu di antaranya diduga
merupakan nenek moyang liarnya (Heiser 1986). Di Indonesia baru diketahui
ditanam di Jawa (Ciwidey, Sindanglaya, Cibodas dan dataran tinggi Dieng)
(Djarwaningsih 1986).
5. Capsicum sinense J.
Tumbuhan berupa terna atau setengah perdu, tinggi 45-90 cm; bunga
menggerombol berjumlah 3-5 pada tiap ruas, posisinya tegak atau merunduk;
mahkota bunga berwarna kuning kehijauan, berbentuk seperti bintang; buah
muncul bergerombol berjumlah 3-5 pada setiap ruas, panjangnya dapat
mencapai 12 cm, rasanya sangat pedas; mempunyai bentuk buah yang
bervariasi dari bulat dengan ujung berpapila, berbentuk seperti lonceng
dengan sisi-sisi yang beralur sampai bulat memanjang; kulit berkeriput atau
kadang-kadang licin; warna buah setelah masak bervariasi ada yang merah,
merah jambu, jingga, kuning atau cokelat; biji berwarna kuning pucat.
Jenis ini tesebar hampir meluas di Amerika Selatan bagian utara dan India
Barat serta dibudidayakan sangat umum di daerah Amazone. Buahnya
bervariasi dalam ukuruan dan warna serta mempunyai rasa yang sangat pedas.
Karena pedasnya, maka orang-orang Caribea menggunakannya untuk
menyiksa tahanan. Sedangkan di India Barat digunakan untuk membuat suatu
upacara “pepper pot” yang artinya penambahan berulang-ulang dari makanan
yang mengandung cabai tersebut ke dalam suatu periuk, sehingga dalam
periuk tersebut tidak pernah kosong (Purseglove et al. 1979). Sejauh ini nenek
moyang liarnya belum ditemukan, tetapi diduga berasal dari tipe liar
C. frustescens. Hal ini dimungkinkan karena C. sinense berkerabat dekat
dengan C. frustescens (Heiser 1986). Di Indonesia, dikenal dengan nama
daerah yang berbeda-beda antara lain cabai tomat, cabai belimbing, cabai
tawau dan cabai ceremai; baru diketahui keberadaannya di Jawa Barat
(Jakarta dan Bogor) serta Kalimantan Timur: Tarakan (Djarwaningsih 1986).

10

Pemuliaan Mutasi
Definisi mutasi secara umum adalah sebagai perubahan bentuk materi
genetik, dan merupakan sumber pokok dari semua keragaman genetik. Mutasi
penting peranannya dalam proses evolusi dan juga dapat menciptakan keragaman
materi genetik sebagai „bahan baku‟ pekerjaan dalam pemuliaan tanaman.
Poespodarsono (1988) menyatakan definisi mutasi adalah suatu perubahan
baik terhadap gen tunggal, terhadap sejumlah gen atau terhadap susunan
kromosom. Mutasi dapat terjadi pada setiap bagian tanaman dan fase
pertumbuhan tanaman, namun lebih banyak terjadi pada bagian yang sedang aktif
mengadakan pembelahan sel seperti tunas dan biji. Jusuf (2001) menyatakan
mutasi adalah perubahan yang terjadi pada materi genetik sehingga menyebabkan
perubahan ekspresi. Perubahan tersebut dapat terjadi pada tingkat pasangan basa,
tingkat satu ruas DNA, bahkan pada tingkat kromosom. Pemuliaan mutasi
menurut Manjaya dan Nandawar (2007), adalah suatu cara untuk memperoleh
keragaman genetik dari karakter-karakter kuantitatif maupun kualitatif pada
tanaman.
Mutasi buatan (induced mutation) dilakukan untuk meningkatkan
frekuensi kejadian mutasi dengan menggunakan mutagen. Mutagen adalah
wahana yang digunakan untuk menciptakan mutasi buatan. Menurut
Poespodarsono (1988), mutagen dapat dikelompokkan dalam tiga golongan, yaitu
(1) mutagen kimia, seperti EMS (ethylene methane sulfonate), NMU
(nitrosomethyl urea), NTG (nitrosoguanidine), dan sebagainya, (2) mutagen fisik
iradiasi seperti sinar X, sinar α, sinar , sinar , dan sebagainya, serta (γ) mutagen
fisik non-iradiasi, seperti sinar UV. Mutagen fisik non iradiasi ini berdaya tembus
rendah, sehingga umumnya digunakan untuk mutasi mikroorganisme. Mutagen
kimia bekerja dengan cara mengubah kemampuan berpasangan rantai DNA
sehingga dapat merubah urutan genetik pada kromosom; sedangkan mutagen fisik
menyebabkan mutasi karena sel yang teriradiasi dibebani tenaga kinetik yang
tinggi sehingga dapat mempengaruhi atau mengubah reaksi kimia; akibatnya,
susunan kromosompun berubah (Aisyah 2006).
Broertjes dan van Harten (1988) menyatakan bahwa sinar gamma lebih
sering digunakan karena mempunyai daya tembus yang lebih tinggi sehingga
peluang terjadinya mutasi akan lebih besar pula. Iradiasi dengan sinar gamma
dapat menghasilkan dua macam efek yaitu aberasi kromosom dan hambatan
mitosis (Whitson 1972). Sinar gamma diperoleh dari peluruhan zat radioaktif
yang dipancarkan dari atom dengan kecepatan tinggi karena kelebihan energi.
Panjang gelombang sinar gamma lebih pendek dari sinar X tetapi energinya lebih
besar (Soeminto 1985). Sinar gamma ditemukan pada tahun 1900 oleh P. Villard
setelah ditemukannya sinar Alpha dan Beta oleh Rutherford dan Soddy (Van
Harten 1988).
Radiosensitivitas
Radiosensitivitas adalah tingkat sensitivitas tanaman terhadap iradiasi
(Van Harten 1998; Datta 2001). Dalam IAEA (1977) disebutkan terdapat dua
faktor utama yang mempengaruhi radiosensitivitas yaitu (1) faktor lingkungan,
seperti oksigen, kandungan air, penyimpanan pasca iradiasi, dan suhu, (2) faktor

11
biologi, yaitu volume inti dan volume kromosom saat interfase, serta faktor
genetik.
Tingkat sensitivitas tanaman terhadap iradiasi ini dapat diamati dari
respon yang diberikan oleh tanaman, baik dari morfologi tanaman, sterilitas,
maupun Lethal Dose 50 (LD50). LD50 adalah dosis yang menyebabkan kematian
50% dari populasi yang diiradiasi. Dari banyak penelitian mutasi induksi, telah
diketahui bahwa umumnya mutasi yang diinginkan terletak pada kisaran LD50
atau lebih tepatnya pada dosis sedikit dibawah LD50.
Induksi Mutasi Fisik dalam Pemuliaan Tanaman
Pemuliaan tanaman adalah ilmu yang bertujuan untuk memperbaiki sifat
tanaman, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Pemuliaan tanaman bertujuan
untuk menghasilkan varietas tanaman dengan sifat-sifat (morfologi, fisiologi,
biokimia dan agronomi) yang sesuai dengan sistem budidaya yang ada dan tujuan
ekonomi yang diinginkan. Pemuliaan tanaman secara konvensional dilakukan
dengan hibridisasi, sedangkan pemuliaan secara mutasi dapat diinduksi dengan
mutagen fisik atau mutagen kimia. Pada umumnya mutagen fisik dapat
menyebabkan mutasi pada tahap kromosom, sedangkan mutagen kimia umumnya
menyebabkan mutasi pada tahapan gen atau basa nitrogen (Aisyah 2006).
Mutasi memiliki arti penting bagi pemuliaan tanaman, yaitu (1) iradiasi
memungkinkan untuk meningkatkan hanya satu karakter yang diinginkan saja,
tanapa mengubah karakter yang lainnya. (2) tanaman yang secara umum
diperbanyak secara vegetatif pada umumnya bersifat heterozigot yang dapat
menimbulkan keragaman yang tinggi setelah dilakukannya iradiasi. (3) iradiasi
merupakan satu-satunya cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
keragaman pada tanaman yang steril dan apomiksis. Mutasi juga dapat
menghasilkan keragaman yang lebih cepat dibandingkan pemuliaan secara
konvensional. Selain itu, mutasi juga dapat menghasilkan keragaman yang tidak
dapat diprediksi dan diduga. Syukur (2000) menyatakan, pemuliaan dengan
mutasi, selain mempunyai beberapa keunggulan juga memiliki beberapa
kelemahan, dimana sifat yang diperoleh tidak dapat diprediksi dan ketidakstabilan
sifat-sifat genetik yang muncul pada generasi berikutnya.
Aplikasi induksi mutasi dengan mutagen fisik dapat dilakukan melalui
beberapa teknik, yaitu (1) iradiasi tunggal (acute irradiation), (2) chronic
irradiation, (3) iradiasi terbagi (fractionated irradiation), dan (4) iradiasi
berulang. Iradiasi tunggal adalah iradiasi yang dilakukan hanya dengan satu kali
penembakan sekaligus. Chronic irradiation adalah iradiasi dengan penembakan
dosis rendah, namun dilakukan secara terus-menerus selama beberapa bulan.
Iradiasi terbagi adalah iradiasi dengan penembakan yang seharusnya dilakukan
hanya satu kali, namun dilakukan dua kali penembakan dengan dosis setengahnya
sedangkan iradiasi berulang adalah iradiasi dengan memberikan penembakan
secara berulang dalam jarak dan waktu yang tidak terlalu lama.
Dosis iradiasi yang digunakan untuk menginduksi keragaman sangat
menentukan keberhasilan terbentuknya tanaman mutan. Jika iradiasi dilakukan
pada benih, pada umumnya kisaran dosis yang efektif lebih tinggi dibandingkan
jika dilakukan pada bagian tanaman lainnya. Semakin banyak kadar oksigen dan
molekul air (H2O) dalam materi yang diiradiasi, maka akan semakin banyak pula

12

radikal bebas yang terbentuk sehingga tanaman menjadi lebih sensitif
(Herison et al. 2008). Untuk itu maka perlu dicari dosis optimum yang dapat
efektif menghasilkan tanaman mutan yang pada umumnya terjadi pada atau
sedikit dibawah nilai LD50.
Penyakit Antraknosa pada Cabai
Penyakit antraknosa pada cabai disebabkan oleh genus Colletotrichum,
yang digolongkan menjadi enam spesies utama, yaitu Colletotrichum
gloeosporioides, C. acutatum, C. dematium, C. capsici dan C. cocodes
(Kim et al. 1999). Dari keenam spesies tersebut C. gloeosporioides merupakan
spesies yang paling luas serangannya pada tanaman Solanaceae terutama pada
tanaman cabai, akan tetapi akhir-akhir ini spesies yang dominan menyerang cabai
adalah spesies C. acutatum (Park 2005).
Penyakit antraknosa menimbulkan gejala busuk pada buah yang dicirikan
oleh adanya bercak coklat kehitaman pada permukaan buah, yang selanjutnya
meluas menjadi busuk lunak. Pada bagian tengah bercak terdapat kumpulan titiktitik hitam yang terdiri dari sekelompok seta dan konidium jamur. Serangan yang
berat dapat menyebabkan buah mengering dan keriput sehingga buah yang
seharusnya berwarna merah menjadi seperti jerami (Semangun 2000). Serangan
yang terjadi pada biji akan menyebabkan kegagalan biji untuk berkecambah, pada
kecambah dapat menimbulkan rebah kecambah (damping off) serta pada tanaman
dewasa dapat menimbulkan mati pucuk dan infeksi lebih lanjut dapat
menyebabkan busuk kering pada batang (Suryaningsih et al. 1996).
Colletotrichum dapat bertahan baik pada biji, sebagai penyakit tular biji,
pada sisa-sisa tanaman yang terinfeksi maupun pada inang yang lain, diantaranya
tomat. Meskipun cendawan ini mempunyai inang yang sangat banyak, ia juga
dapat bertahan di dalam tanah. Infeksi cendawan ini bersifat laten mampu
bertahan dalam jaringan tanaman dalam bentuk aservulus. Aservulus dapat
tumbuh dan bertahan di dalam biji dalam kurun waktu yang lama, kemudian
miselium tumbuh di luar kulit biji. Miselium dan aservulus tersebut dapat tumbuh
dan bertahan di dalam biji selama ± 9 bulan. Meskipun demikian, bibit yang
bebas dari patogen tersebut di atas apabila ditanam pada lahan yang sudah
terinfeksi, patogen masih dapat menimbulkan penyakit pada buah (Suryaningsih
et al. 1996).
Cendawan Colletotrichum dapat berkembang dengan baik pada suhu dan
kelembaban yang tinggi. Konidia dapat tersebar ketika acervuli basah dan
biasanya tersebar oleh percikan air siraman atau air hujan, selain itu dapat juga
terbawa oleh serangga, alat-alat pertanian atau terbawa oleh angin. Pada awalnya
hifa tumbuh dengan cepat, tetapi hanya menimbulkan sedikit atau tidak sama
sekali perubahan warna atau gejala lainnya. Saat buah mulai matang, cendawan
menjadi sangat agresif dan gejala mulai muncul (Agrios 1997). Cendawan dapat
tumbuh di dalam daging buah dan menginfeksi benih dari dalam. Permukaan biji
juga dimungkinkan terkontaminasi oleh sporanya. Jika cendawan terbawa oleh
biji akan menyebabkan infeksi daun dan batang pada saat persemaian
(Doolittle 1953).
Gejala yang disebabkan oleh Colletotrichum mula-mula berbentuk bintikbintik kecil berwarna kehitaman dan berlekuk, pada buah yang masih hijau atau

13
yang sudah masak. Bintik-bintik ini tepinya berwarna kuning, membesar dan
memanjang. Bagian tengahnya menjadi semakin gelap. Dalam keadaan lembab,
jamur membentuk badan buah (aservulus) dalam lingkaran-lingkaran sepusat,
yang membentuk massa spora (konidium) berwarna merah jambu. Penyakit masih
berkembang terus pada waktu buah cabai disimpan atau diangkat. Colletotrichum
dapat menyerang daun dan batang tanpa menimbulkan kerugian berarti
(Semangun 2000).
C. acutatum mempunyai miselium berwarna putih hingga abu-abu. Warna
koloni jika dibalik adalah oranye hingga merah muda. Konidia berbentuk silindris
dengan ujung runcing, berukuran 15.1 (12.8-16.9) x 4.8 (4.0-5.7) µm. Temperatur
optimal adalah 28 oC dengan rata-rata pertumbuhan 10.3 mm hari-1 (AVRDC,
2003).
Ketahanan Tanaman Cabai Terhadap Penyakit Antraknosa
Ketahanan terhadap penyakit antraknosa dapat dikelompokkan ke dalam
ketahanan struktural dan ketahanan fungsional. Ketahanan struktural adalah
ketahanan terhadap penyakit yang disebabkan struktur tanaman itu sendiri
sehingga patogen tidak menyukai atau tidak dapat menyerang tanaman tersebut.
Ketahanan struktural ini disebut juga ketahanan pasif atau ketahanan prainfeksi
karena tanaman tidak melakukan reaksi terhadap patogen. Selain itu, ketahanan
fungsional atau ketahanan aktif adalah ketahanan yang disebabkan oleh adanya
reaksi biokimia tanaman sehingga perkembangan patogen dapat terhambat.
Ketahanan ini disebut juga ketahanan pascainfeksi. Kombinasi antara sifat
struktural dan reaksi biokimia yang digunakan untuk pertahanan bagi tanaman
berbeda antara setiap sistem kombinasi inang patogen. Bahkan pada inang dan
patogen yang sama, kombinasi tersebut dapat berbeda dengan umur tanaman,
jenis organ dan jaringan tanaman yang diserang, keadaan hara tanaman dan
kondisi cuaca (Agrios 1997).
Ketahanan terhadap penyakit antraknosa yang disebabkan oleh
C. acutatum dikendalikan oleh banyak gen, tidak ada efek maternal dan gen
pengendali ketahanan adalah resesif (Syukur et al. 2007). Menurut penelitian
Syukur et al. (2009) genotipe IPB C15 secara konsisten lebih tahan terhadap
antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum dan kandungan capsaicin pada
buah dan aktivitas peroksidase pada daun tidak dapat dijadikan penanda
ketahanan cabai terhadap antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum.

14

3 PENDUGAAN PARAMETER GENETIK CABAI
TERHADAP PENYAKIT ANTRAKNOSA MELALUI
HIBRIDISASI
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi pola pewarisan
sifat karakter ketahanan terhadap penyakit antraknosa (Colletotrichum
acutatum) pada cabai dengan menggunakan genotipe IPB C10, IPB C2, IPB C15,
F1, F1R, BCP1, BCP2, TWC1, TWC2 dan F2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
karakter ketahanan penyakit dipengaruhi oleh efek maternal. Nilai heritabilitas
arti luas dan arti sempit untuk karakter ketahanan penyakit tergolong sedang.
Kata kunci : efek maternal, heritabilitas, insidensi penyakit, model genetik
Abstract
The aim of this research was to investigate the inheritance patterns of
disease resistance character to anthracnose disease (Colletotrichum acutatum) in
chili pepper using genotype IPB C10, IPB C2, IPB C15, F1, F1R, BCP1, BCP2, TWC1,
TWC2 and F2. The results showed that the expression of resistance character was
affected by the maternal effect. Broad-sense and narrow-sense heritability for
disease resistance character were medium.
Keywords : genetic model, heritability, inheritance, maternal effect
Pendahuluan
Cabai merupakan salah satu komoditas sayuran penting dan bernilai
ekonomi tinggi di Indonesia. Tanaman cabai dikembangkan baik di dataran
rendah maupun dataran tinggi. Menurut Badan Pusat Statistik (2014),
produktivitas cabai nasional Indonesia tahun 2013 adalah 8.16 ton ha-1. Angka
tersebut masih sangat rendah jika dibandingkan dengan potensi produktivitasnya.
Syukur et al. (2010) menyatakan bahwa produktivitas cabai dapat mencapai
20 ton ha-1.
Salah satu penyebab rendahnya produktivitas cabai adalah penyakit
antraknosa. Antraknosa pad