Analisis Kelembagaan dan Peranan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) dalam Pengembangan Wilayah Kabupaten Kerinci

ANALISIS KELEMBAGAAN DAN PERANAN
KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI (KPHP)
DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH KABUPATEN KERINCI

MIKA LESTARIA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Kelembagaan
dan Peranan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) dalam Pengembangan
Wilayah Kabupaten Kerinci adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2015
Mika Lestaria
NIM A156130254

RINGKASAN
MIKA LESTARIA. Analisis Kelembagaan dan Peranan Kesatuan Pengelolaan
Hutan Produksi (KPHP) dalam Pengembangan Wilayah Kabupaten Kerinci.
Dibimbing oleh SETIA HADI dan M. BUCE SALEH.
Kerinci merupakan daerah hulu dari Provinsi Jambi yang memiliki hutan
dataran tinggi dan memiliki potensi sebagai modal pembangunan untuk
meningkatkan perekonomian daerah.
Di samping itu Kabupaten Kerinci
merupakan salah satu wilayah yang memiliki luasan hutan yang cukup tinggi,
namun dari sub sektor kehutanan hanya berkontribusi sekitar 0,04 % terhadap
PDRB Kabupaten Kerinci. Hal ini terjadi diindikasikan karena selama ini
keberadaan sumberdaya hutan di Kabupaten Kerinci belum dikelola secara
optimal, belum teridentifikasinya nilai-nilai sumberdaya hutan Kabupaten Kerinci,
serta lemahnya kelembagaan dan kebijakan pengelolaan hutan oleh Pemerintah
Kabupaten Kerinci. Pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP)

Model Kerinci adalah salah satu upaya pemerintah dalam mewujudkan
pengelolaan hutan yang efisien dan lestari.
Tujuan dari penelitian ini adalah (1) menganalisis peranan Kesatuan
Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Model Kerinci dalam pengembangan
wilayah Kabupaten Kerinci; (2) menganalisis model kelembagaan KPHP Model
Kerinci; (3) menganalisis kesiapan daerah dalam pembangunan KPHP Model
Kerinci. Penelitian dilakukan di KPHP Model Kerinci di Kabupaten Kerinci
Provinsi Jambi. Metode analisis data dilakukan dengan analisis Nilai Ekonomi
Total (NET), analisis kelembagaan, dan analisis hirarki proses (AHP).
Hasil penelitian menunujukkan bahwa Keberadaan KPHP Model Kerinci
berpotensi berperan dalam pengembangan wilayah Kabupaten Kerinci. Hal ini
ditunjukkan dari Nilai Ekonomi Total Sumberdaya Hutan pada Wilayah KPHP
Model Kerinci sebesar Rp. 337 Milyar/tahun. Dari nilai tersebut, yang berpotensi
menyumbang terhadap PDRB tercatat (PDRB Coklat) adalah dari nilai ekonomi
kayu dan nilai ekonomi agroforestri sebesar Rp.303 milyar/tahun atau sekitar
7,51%. Untuk dapat merealisasikan nilai sumber daya hutan tersebut, maka
dibutuhkan kelembagaan yang ideal sesuai dengan kebutuhan daerah. Model
Kelembagaan KPHP Model Kerinci perlu dikembangkan dengan pembentukan
resort-resort pengelolaan pada beberapa kecamatan. Ada enam resort pengelolaan
yang dibentuk berdasarkan pertimbangan luasan kawasan, kedekatan lokasi dan

potensi pemanfaatan lahan. Kabupaten Kerinci sudah siap dalam pembangunan
KPHP Model Kerinci. Hal ini terlihat dari tingkat capaian kesiapan daerah
sebesar 55,6%. Namun ada beberapa indikator yang harus dibenahi terutama
indikator pada kriteria dukungan regulasi dan perencanaan.
Kata kunci : Analisis Kelembagaan, Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi, Nilai
Ekonomi Total

SUMMARY
MIKA LESTARIA. Analysis of Institutional and the Role of Forest Production
Management Unit (KPHP) for Regional Development in Kerinci Regency.
Supervised by SETIA HADI and M BUCE SALEH.
Kerinci is an upstream area of Jambi Province with high land forest and
potentially as a capital of regional development to increase regional economic.
Kerinci is one of regency with the large forest, but sub sector of forestry
contributes only 0,04% of GDP Kerinci Regency. It’s may possibly by the
weakness of forest management and policy of Kerinci Regency Government.
Forest production management unit (KPHP) Model Kerinci is one of goverment
efforts to achieve sustainable forest management.
The aims of this research were (1) to analyze the role of forest production
management unit (KPHP) Model Kerinci in the regional development of Kerinci

Regency; (2) to analyze the institutional of forest production management unit
(KPHP) Model Kerinci; (3) to analyze region’s readiness for forest production
management unit (KPHP) Model Kerinci development. The study was conducted
in Kerinci Regency. Data were analyzed by total economic value (TEV),
institutional analysis, and analytical hierarchy process (AHP).
The results showed that the Forest Production Management Unit (KPHP)
Model Kerinci potentially to the role in Regional Development of Kerinci
Regency. It’s showed by total economic value of natural resources of KPHP
Model Kerinci is Rp. 337 billion/year. From these value, which could potentially
contribute to the GDP is economic value of timber and agroforestry Rp. 303
billion/year or 7,51 per cent of GDP Kerinci Regency. To realize the value of the
forest resources, its required institutional ideally suited of the region. Institutional
Model of KPHP Model Kerinci need to be developed with the formation of the
resorts management in several districts. There are six resort management formed
under consideration of the extent of the area, proximity and potential land use.
Kerinci is ready in development KPHP Model Kerinci. This is evident from the
level of achievement of the region's readiness for 55.6%. However, there are some
indicators that must be addressed mainly indicators on regulatory support and
planning criteria.
Keywords: Forest Production Management Unit (KPHP), Institutional Analysis,

Total Economic Value (TEV)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ANALISIS KELEMBAGAAN DAN PERANAN
KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI (KPHP)
DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH KABUPATEN KERINCI

MIKA LESTARIA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Omo Rusdiana, MSc

Judul Tesis : Analisis Kelembagaan dan Peranan Kesatuan Pengelolaan Hutan
Produksi (KPHP) dalam Pengembangan Wilayah Kabupaten
Kerinci
Nama
: Mika Lestaria
NIM
: A156130254
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing


Dr Ir Setia Hadi, MS.
Ketua

Dr Ir M Buce Saleh, MS.
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Perencanaan Wilayah

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Santun R.P. Sitorus

Dr Ir Dahrul Syah, MscAgr.

Tanggal Ujian: 27 Maret 2015


Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian ini adalah Analisis Kelembagaan dan Peranan Kesatuan
Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) dalam Pengembangan Wilayah Kabupaten
Kerinci yang dilaksanakan sejak bulan Mei sampai dengan November 2014.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih
sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang telah ikut berpartisipasi dalam
proses penyusunan tesis ini, terutama kepada :
1. Ayah dan Ibu beserta seluruh keluarga atas segala kasih sayang, doa,
dukungan dan semangat yang telah diberikan selama ini.
2. Dr Ir Setia Hadi, MS dan Dr Ir M Buce Saleh, MS selaku komisi
pembimbing yang telah banyak memberikan bantuan, saran ilmiah, dorongan
dan arahan kepada penulis sejak awal hingga penyelesaian tesis ini.
3. Dr Ir Omo Rusdiana, MSc selaku dosen penguji luar komisi dan Dr Ir Untung
Sudadi, MSc selaku pemimpin ujian tesis yang telah memberikan saran dan
masukan dalam penyempurnaan tesis ini.
4. Segenap tim manajemen dan dosen pengajar Program Studi Ilmu

Perencanaan Wilayah IPB.
5. Pusbindiklatren Bappenas yang telah memberikan beasiswa kepada penulis
untuk dapat menimba ilmu di Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
Sekolah Pascasarjana IPB.
6. Pemerintah Kabupaten Padang Pariaman yang telah memberikan izin tugas
belajar di Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana
IPB.
7. Pemerintah Kabupaten Kerinci yang telah memberikan izin melaksanakan
penelitian di Kabupaten Kerinci.
8. Kepala KPH Kerinci Neneng Susanti, S.Hut, MSi yang banyak sekali
membantu selama pengumpulan data.
9. Teman-teman PWL angkatan 2013 dan semua pihak yang telah membantu
penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2015
Mika Lestaria

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL


xi

DAFTAR GAMBAR

xi

DAFTAR LAMPIRAN

xi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Kerangka Pemikiran Penelitian

1
1

3
4
4
4

2 TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Pembangunan dan Pengembangan Wilayah
Konsep Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)
Hubungan KPH dengan Berbagai Elemen Terkait
Teori Kelembagaan
Teori Pemangku Kepentingan (Stakeholder)
Nilai Ekonomi Total Sumberdaya Alam
Analytical Hierarchy Process (AHP)

6
6
7
10
11
13
14
15

3 METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Metode Pengumpulan Data
Metode Analisis Data

16
16
17
18
18

4 KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN
Kondisi Geografis Wilayah Kabupaten Kerinci
Administrasi Wilayah Kabupaten Kerinci
Kawasan Hutan dan Penutupan Lahan
Topografi dan Morfologi Wilayah
Geologi
Tanah
Iklim
Demografi
Aksesibilitas
Wilayah Daerah Aliran Sungai
Posisi KPHP Model Kerinci dalam Tata Ruang Wilayah dan
Pembangunan Daerah Kabupaten Kerinci

21
21
22
23
24
24
25
26
26
27
27

5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Nilai Ekonomi Total Sumberdaya Hutan KPHP Model Kerinci
Kelembagaan KPHP Model Kerinci

28
28
33

27

Kesiapan Daerah dalam Pembangunan KPHP Model Kerinci

38

6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

41
41
42

DAFTAR PUSTAKA

43

LAMPIRAN

45

RIWAYAT HIDUP

57

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

Luas KPHP Model Kerinci berdasarkan Fungsi Kawasan
Jenis, Sumber Data dan Teknik Analisis Data untuk setiap
Tujuan Penelitian
Skala Banding secara Berpasangan
Luas Wilayah per Kecamatan di Kabupaten Kerinci
Jenis Penutupan Lahan di KPHP Model Kerinci
Formasi Batuan Penyusun di Wilayah KPHP Model
Kerinci
Jumlah Curah Hujan, Banyaknya Hari Hujan dan
Kelembaban Relatif menurut Bulan di Kabupaten Kerinci
Sebaran Nilai WTP Manfaat Jasa Lingkungan KPHP Model
Kerinci
Nilai ekonomi Total Sumberdaya Hutan pada KPHP
Model Kerinci
Stakeholders, Kepentingan dan Tingkat Kepentingannya
serta Pengaruh dan Peluang Partisipasinya dalam
Pengelolaan KPHP Model Kerinci
Resort Pengelolaan pada KPHP Model Kerinci
Bobot dan Nilai dari Indikator Kesiapan Daerah dalam
Pembangunan KPHP Model Kerinci
Interval Tingkat Kesiapan Daerah dalam Pembangunan
KPHP Model Kerinci

17
17
20
22
23
24
26
31
32
33
35
40
40

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7

Kerangka Pemikiran Penelitian
Peta Kawasan Hutan Kabupaten Kerinci
Peta Penutupan Lahan KPHP Model Kerinci
Sebaran Kelas Diameter Pohon di KPHP Model Kerinci
Praktek Agroforestri yang Didominasi Kayu Manis
Struktur Organisasi KPHP Model Kerinci
Model Pengembangan Kelembagaan KPHP Model Kerinci
dengan Pembentukan Resort-resort Pengelolaan
8 Struktur Hirarki dan Bobot Kesiapan Daerah dalam
Pembangunan KPHP Model Kerinci

5
16
23
29
30
35
38
39

DAFTAR LAMPIRAN
1 Kuisioner Analisis Willingness to Pay (WTP)
2 Kuisioner Analisis Kesiapan Daerah dalam Pembangunan KPHP
Model Kerinci
3 Kriteria dan Indikator Kesiapan Daerah dalam Pembangunan
KPHP Model Kerinci
4 Hasil AHP Kesiapan Daerah dalam Pembangunan KPHP Model
Kerinci

45
48
51
56

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pengembangan wilayah merupakan rangkaian kegiatan yang meliputi
banyak aspek yang saling berinteraksi satu sama lain.
Pada dasarnya
pengembangan wilayah bertujuan agar suatu wilayah dapat berkembang menuju
tingkat perkembangan yang diinginkan yang dilaksanakan dengan cara
pemanfaatan sumberdaya yang dimiliki dengan cara optimal dan adil,
meningkatkan keserasian antar wilayah, keterpaduan antar sektor pembangunan
dalam rangka mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
Salah satu ciri suatu wilayah dikatakan berkembang adalah jika
meningkatnya perekonomian suatu wilayah. Hingga saat ini, sumberdaya alam
sangat berperan dalam meningkatkan perekonomian suatu wilayah. Salah satunya
adalah sumberdaya hutan.
Kabupaten Kerinci merupakan daerah hulu dari Provinsi Jambi yang
memiliki hutan dataran tinggi dan memiliki potensi sebagai modal pembangunan
untuk meningkatkan perekonomian daerah. Di samping itu Kabupaten Kerinci
merupakan salah satu wilayah yang memiliki luasan hutan yang cukup tinggi.
Luasan kawasan hutan di Kabupaten Kerinci tahun 2012 meliputi hutan
pelestarian alam 191.822 ha, hutan produksi 28.655 ha, hutan adat 1.820,11 ha
dan hutan hak/milik 5.000 ha (BPS Kabupaten Kerinci 2013). Dari luas hutan
yang dimiliki, seharusnya dari sub-sektor Kehutanan dapat berkontribusi lebih
besar terhadap total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten
Kerinci. Namun, sampai tahun 2012, sub sektor kehutanan hanya berkontribusi
sebesar 0,04 persen. Hal ini terjadi diindikasikan karena selama ini keberadaan
sumberdaya hutan di Kabupaten Kerinci belum dikelola secara optimal, belum
teridentifikasinya nilai-nilai sumberdaya hutan Kabupaten Kerinci, serta lemahnya
kelembagaan dan kebijakan pengelolaan hutan oleh Pemerintah Kabupaten
Kerinci.
Sub-sektor Kehutanan di Kabupaten Kerinci yang dimaksud disini
mencakup kegiatan penebangan segala jenis kayu serta pengambilan daun-daunan,
getah-getahan dan akar-akaran, termasuk juga kegiatan perburuan. Komoditi yang
dicakup meliputi: kayu gelondongan (baik yang berasal dari hutan rimba maupun
hutan budidaya), kayu bakar, rotan, arang, bambu, terpentin, gondorukem, kopal,
menjangan, babi hutan, serta hasil hutan lainnya. (BPS Kabupaten Kerinci 2013)
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Kerinci (BPS
Kabupaten Kerinci 2013), Sektor pertanian memberikan kontribusi terbesar
terhadap total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Kerinci.
PDRB Kabupaten Kerinci atas dasar harga berlaku untuk sektor pertanian pada
tahun 2012 menyumbang sebesar Rp.2.701,98 milyar. Kontribusi terbesar sektor
ini disumbangkan oleh sub sektor tanaman bahan makanan (Tabama) yaitu
sebesar 34,16 persen terhadap total PDRB Kabupaten Kerinci.
Sejak diterapkannya sistem pemerintahan otonomi daerah, pembangunan
dan pengelolaan hutan menghadapi berbagai tantangan baru. Lahirnya Undangundang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang kurang mengikutsertakan

2
pemerintah daerah dalam pengurusan hutan ditanggapi berbagai pihak sebagai
tidak sejalan dengan penyelenggaraan otonomi daerah. Pemerintah pusat dianggap
mendominasi pengambilan keputusan dalam pengelolaan hutan. Namun, di sisi
lain ketika kabupaten beserta masyarakatnya diberikan kesempatan yang lebih
luas untuk mengelola hutan yang ada di wilayahnya, di beberapa daerah terjadi
ledakan pemberian izin konsesi skala kecil yang mengakibatkan meningkatnya
laju kerusakan hutan.
Dalam melaksanakan misi pengurusan hutan di era otonomi daerah,
pemerintah pusat meluncurkan berbagai kebijakan yang diharapkan dapat
mendorong terwujudnya kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat, serta
sekaligus mengakomodir tuntutan dan kepentingan pemerintah daerah. Salah satu
kebijakan yang sedang dikembangkan adalah apa yang tertuang dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 yakni Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH).
Badan Planologi Departemen Kehutanan (2006) menyatakan bahwa pembentukan
KPH bertujuan untuk menyediakan wadah bagi terselenggaranya kegiatan
pengelolaan hutan secara efisien dan lestari.
Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) merupakan wujud nyata bentuk
organisasi pengelolaan hutan yang benar-benar menjalankan fungsi
menajemen/pengelolaan kawasan hutan pada tingkat tapak. Pembentukan KPH
telah menjadi amanat peraturan perundangan bidang kehutanan mengenai
pemantapan kawasan hutan (sesuai dengan amanat UU No. 41 tahun 1999 tentang
Kehutanan) tertuang dalam penyelenggaraan pengurusan hutan khususnya di
Perencanaan Kehutanan. Sesuai peraturan perundangan, perencanaan kehutanan
terdiri atas: Inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan
kawasan hutan, pembentukan wilayah pengelolaan hutan dan perencanaan hutan.
Rangkaian proses pemantapan kawasan hutan tersebut salah satu yang terpenting
adalah terbentuknya wilayah pengelolaan hutan dan institusi pengelolanya, yang
merupakan Organisasi Tingkat Tapak (teritory) dalam wujud Kesatuan
Pengelolaan Hutan (KPH).
Peran Strategis Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dalam mendukung
penyelenggaraan pembangunan kehutanan diwujudkan dalam bentuk optimalisasi
akses masyarakat terhadap hutan serta merupakan salah satu jalan bagi resolusi
konflik. Keberadaan KPH di tingkat lapangan yang dekat masyarakat, akan
memudahkan pemahaman permasalahan riil di tingkat lapangan, untuk sekaligus
memposisikan perannya dalam penetapan bentuk akses yang tepat bagi
masyarakat serta saran solusi konflik. Selain itu KPH Menjadi salah satu wujud
nyata bentuk desentralisasi sektor kehutanan, karena organisasi KPHL dan KPHP
adalah organisasi perangkat daerah.
Menurut Kartodihardjo (2008) organisasi KPH ditetapkan dalam tiga fase
yaitu fase pertumbuhan, fase pengembangan dan fase pemantapan. Fase
pertumbuhan merupakan suatu proses menuju pembentukan organisasi KPH, fase
ini diharapkan berjalan sampai akhir tahun 2009, dimana telah terbentuk minimal
satu KPH di setiap propinsi. Bagi setiap KPH yang telah terbentuk segera
memasuki fase berikutnya yaitu fase pengembangan, fase pengembangan adalah
fase dimana KPH telah terbentuk, dimana perhatian pembangunan KPH diarahkan
pada struktur dan fungsi organisasi, jumlah dan kualifikasi sumberdaya manusia,
manajemen dan kepemimpinan, serta ketersediaan sumberdaya lainnya.
Sedangkan fase pemantapan adalah fase dimana Pemerintah diharapkan telah

3
mempunyai perangkat evaluasi kinerja KPH, baik kriteria dan indikator berbasis
kinerja, sistem evaluasi, maupun mekanisme perbaikan kinerja KPH.
Membangun unit pengelolaan dalam bentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan
(KPH) pada tingkat tapak merupakan salah satu hal mendasar untuk mewujudkan
pelaksanaan tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah dalam mengelola
sumberdaya hutan. Unit pengelolaan (KPH) tersebut perlu didesain sedemikian
rupa sesuai situasi lapangan sehingga pembangunan KPH dapat menjadi kondisi
pemungkin (enabling conditions) dicapainya pengelolaan hutan secara
berkelanjutan.
Data dari Badan Planologi Kementerian Kehutanan (2013), hingga akhir
tahun 2014, Kementerian Kehutanan menargetkan penyelesaian 120 KPH
(Kesatuan Pengelolaan Hutan) model di beberapa wilayah di Indonesia. KPH
model merupakan bentuk awal (embrio) dari KPH yang selanjutnya secara
bertahap dapat berkembang menjadi KPH. Salah satu KPH Model yang menjadi
target adalah KPH Model di Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi. KPH Model
Kerinci telah ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.
SK.960/Menhut-II/2013 tentang Penetapan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan
Produksi Model Kerinci (Unit I) yang terletak di Kabupaten Kerinci, Provinsi
Jambi seluas ± 34.250 (tiga puluh empat ribu dua ratus lima puluh) hektar.
Konsep KPH ini terlihat cukup menjanjikan terwujudnya pengelolaan hutan
secara lebih lestari di masa yang akan datang. Namun, jika dilihat lebih jauh dan
dikaitkan dengan peran dan keterlibatan pemerintah daerah dalam pengelolaan
hutan serta peranan KPHP Model Kerinci dalam pengembangan wilayah, masih
cukup banyak pertanyaan yang belum dapat dijawab secara tegas. Misalnya
menyangkut peranan keberadaan KPHP Model Kerinci dalam pengembangan
wilayah Kabupaten Kerinci, kelembagaan serta kesiapan daerah dalam
pembangunan KPHP Model Kerinci.
Perumusan Masalah
Dalam upaya membantu pengelolaan hutan pada tingkat tapak maka
pemerintah mengeluarkan kebijakan mengenai pembentukan Kesatuan
Pengelolaan Hutan (KPH) yang berfungsi sebagai lembaga pengelola kawasan
hutan produksi, hutan lindung, maupun hutan konservasi. Kebijakan tentang KPH
merupakan komitmen pemerintah yang didukung oleh seluruh stakeholder untuk
mewujudkan pengelolaan hutan yang efisien dan lestari. Pengelolaan hutan lestari
dapat terwujud jika adanya keseimbangan ekologis, ekonomis dan sosial untuk
memenuhi kebutuhan saat ini dan kebutuhan generasi mendatang. Untuk
mengkaji model kelembagaan KPHP Model Kerinci dan peranannya dalam
pengembangan wilayah Kabupaten Kerinci, maka pertanyaan penelitian yang
diajukan peneliti adalah :
1. Bagaimanakah peranan KPHP Model Kerinci dalam pengembangan wilayah
Kabupaten Kerinci?
2. Bagaimana model kelembagaan KPHP Model Kerinci yang ideal sesuai
dengan kebutuhan daerah?
3. Bagaimanakah kesiapan daerah dalam pembangunan KPHP Model Kerinci?

4
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini secara khusus terdiri dari :
1. Mengkaji peranan KPHP Model Kerinci dalam pengembangan wilayah
Kabupaten Kerinci
2. Menganalisis model kelembagaan KPHP Model Kerinci
3. Menganalisis kesiapan daerah dalam pembangunan KPHP Model Kerinci
Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan sebagai salah satu referensi dalam
penelitian terkait Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP). Selain itu dapat
menjadi sumber informasi bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Kerinci dalam
rangka pembangunan di sektor kehutanan.
Kerangka Pemikiran
Pengembangan wilayah Kabupaten Kerinci tidak terlepas dari peranan
multisektor yang berkontribusi terhadap PDRB Kabupaten Kerinci, salah satunya
adalah sub sektor kehutanan. Hingga saat ini, sub sektor kehutanan hanya
menyumbang 0,04 persen terdahap PDRB Kabupaten Kerinci. Apabila dilihat dari
luasan kawasan hutan di Kabupaten Kerinci meliputi hutan pelestarian alam
191.822 ha, hutan produksi 28.655 ha, hutan adat 1.820,11 ha dan hutan hak/milik
5.000 ha, seharusnya sub sektor kehutanan dapat memberikan sumbangan yang
lebih besar terhadap PDRB.
Dari data tersebut penulis melihat bahwa
pengelolaan hutan di Kabupaten Kerinci masih belum optimal. Untuk itu
diperlukan suatu pengelolaan dan pembangunan kehutanan yang efektif dan
efisien, sehingga sub sektor kehutanan dapat berkontribusi terhadap PDRB sesuai
dengan potensi dan luasan kawasan hutan yang ada di Kabupaten Kerinci serta
dapat mendukung pengembangan wilayah Kabupaten Kerinci.
Pembangunan kehutanan di Kabupaten Kerinci merupakan bagian
pembangunan daerah yang disusun dengan strategi manajemen mulai dari
kegiatan perencanaan pengelolaan penelitian, pengembangan hingga
pengawasan. Program tersebut menitikberatkan pada upaya mempertahankan
kondisi sumber daya hutan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan
peningkatan aktivitas ekonomi masyarakat sekitar hutan.
Pembentukan KPH merupakan upaya pemerintah untuk mewujudkan
pengelolaan hutan berkelanjutan dipandang dari aspek ekonomi, ekologi dan
sosial budaya. Pembangunan KPHP Model Kerinci diharapkan dapat berperan
dalam pengembangan wilayah Kabupaten Kerinci
Berdasarkan tujuan penelitian, maka penelitian ini diarahkan kepada 3 (tiga)
komponen yaitu : (1) Peranan KPHP Model Kerinci dalam pengembangan
wilayah Kabupaten Kerinci, yang dilakukan dengan pendekatan nilai ekonomi
total Sumberdaya Hutan pada wilayah KPHP Model Kerinci, sehingga dapat
diketahui nilai sumberdaya hutan yang ada di wilayah KPHP Model yang
berpotensi berkontribusi terhadap PDRB Kabupaten Kerinci. ; (2) Aspek
kelembagaan dengan analisis deskriptif untuk mengetahui peran para pihak terkait
dengan proses pembangunan KPHP Model Kerinci dan pengembangan model

5
kelembagaan KPHP Model Kerinci; (3) Kesiapan daerah dalam pembangunan
KPHP Model Kerinci, dengan menggunakan Analithycal Hierarchy Process
(AHP). Kesiapan daerah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kesiapan
dari pihak-pihak yang tertarik dengan keberadaan KPHP Model Kerinci baik yang
mendukung maupun tidak mendukung pembangunan KPHP Model Kerinci. Alur
kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
Luas dan Potensi Sumberdaya Hutan
Kab. Kerinci

Kontribusi Sektor Kehutanan terhadap
Pengembangan wilayah
Kab. Kerinci

Pengelolaan hutan di tingkat tapak

Pembentukan KPHP Model Kerinci

Peranan KPHP Model Kerinci dalam
Pengembangan Wilayah Kab. Kerinci

Total
Economic
Value

Model Kelembagaan
KPHP Model Kerinci

Deskriptif

Kesiapan Daerah dalam Pembangunan KPHP
Model Kerinci

AHP

Pengelolaan Hutan Efisien dan Lestari

Pengembangan Wilayah Kab. Kerinci
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

6

2 TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Pembangunan dan Pengembangan Wilayah
Pengembangan wilayah pada dasarnya mempunyai tujuan agar wilayah itu
berkembang menuju tingkat perkembangan yang diinginkan. Pengembangan
wilayah dilaksanakan melalui optimasi pemanfaatan sumberdaya yang dimilikinya
secara harmonis, serasi dan terpadu melalui pendekatan yang bersifat
komprehensif mencakup aspek fisik, ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan
hidup untuk pembangunan berkelanjutan. Prinsip ini juga sering disebut dengan
pembangunan berkelanjutan dengan basis pendekatan penataan ruang wilayah.
Pembangunan berkelanjutan dengan prinsip seperti ini harus dijadikan tujuan
utama bagi pembuat keputusan kebijakan publik untuk setiap tingkatan
pemerintahan yang memang berbeda tipenya (Francis 2001 dalam Djakapermana
2010).
Rustiadi et al. (2011) mengemukakan bahwa secara fisiologis suatu proses
pembangunan dapat diartikan sebagai “upaya yang sistematik dan
berkesinambungan untuk menciptakan keadaan dapat menyediakan berbagai
alternatif yang sah bagi aspirasi setiap warga yang paling humanistik”. Di
Indonesia dan negara-negara berkembang pada umumnya arti dari kata
pembangunan cenderung berkonotasi fisik artinya malakukan kegiatan-kegiatan
pembangunan yang bersifat fisik dan bahkan seringkali secara lebih sempit
pembangunan diartikan sebagai pembangunan infrastruktur dan fasilitas fisik.
Pembangunan dapat dikonseptualisasikan sebagai suatu proses perbaikan yang
berkesinambungan atas suatu masyarakat atau suatu sistem sosial secara
keseluruhan menuju kehidupan yang lebih baik atau yang lebih manusiawi, dan
pembangunan adalah mengadakan atau membuat atau mengatur sesuatu yang
belum ada.
Todaro (2000) dalam Rustiadi et al. (2011) berpendapat bahwa paling tidak
pembangunan harus memenuhi tiga komponen dasar yang dijadikan sebagai basis
konseptual dan pedoman praktis dalam memahami pembangunan yang paling
hakiki yaitu kecukupan (sustainance) memenuhi kebutuhan pokok, meningkatkan
rasa harga diri atau jati diri (self-esteem), serta kebebasan (freedom) untuk
memilih. Pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional
yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap
masyarakat dan institusi-institusi nasional disamping tetap mengejar akselerasi
pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan serta pengentasan
kemiskinan. Sementara itu, Anwar (2001) dalam Rustiadi et al. (2011)
mengarahkan pembangunan wilayah pada terjadinya pemerataan (Equity) yang
mendukung pertumbuhan ekonomi (Efficiency) dan keberlanjutan (Sustainability).
Pembangunan dan pengembangan wilayah merupakan pembangunan suatu
wilayah yang mencakup perubahan mendasar masyarakat suatu wilayah dengan
pertimbangan pemerataan, pertumbuhan ekonomi suatu wilayah dan
pembangunan berkelanjutan. Rustiadi et al. (2011) pengembangan wilayah dapat
dianggap intervensi positif terhadap pembangunan di suatu wilayah, dimana
pengembangan wilayah tersebut membutuhkan strategi yang efektif dalam
percepatan pembangunan. Rustiadi et al. (2011) strategi pengembangan wilayah

7
dapat digolongkan dalam dua kategori strategi yaitu Strategy Demand Side dan
Strategy Supply Side.
Konsep Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)
Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) adalah unit pengelolaan hutan terkecil
sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan
lestari. KPH Model adalah wujud awal dari KPH yang secara bertahap
dikembangkan menuju situasi dan kondisi aktual KPH di tingkat tapak, yang
diindikasikan oleh suatu kemampuan menyerap tenaga kerja, investasi,
memproduksi barang dan jasa kehutanan yang melembaga dalam sistem
pengelolaan hutan secara efisien dan lestari berupa kesatuan pengelolaan hutan
lindung (KPHL), kesatuan pengelolaan hutan produksi (KPHP), dan kesatuan
pengelolaan hutan konservasi (KPHK) (Ditjenplan 2011). Menurut Peraturan
Pemerintah nomor 6 tahun 2007, Kesatuan Pengelolaan Hutan selanjutnya
disingkat KPH, adalah wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan
peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari.
Konsep KPH sebenarnya mulai diwacanakan sejak diberlakukannya UU
nomor 5 Tahun 1967, yang masa itu diartikan sebagai Kesatuan Pemangkuan
Hutan, sebagaimana diterapkan dalam pengelolaan hutan oleh Perum Perhutani.
Dalam UU nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, konsep ini kembali
dimunculkan yang kemudian diikuti dengan aturan pedoman pernbentukannya
seperti tertuang beberapa peraturan perundang-undangan. Sebelumnya pada awal
tahun 1990-an, keluar beberapa peraturan menteri yang mengatur Kesatuan
Pengusahaan Hutan Produksi atau KPHP yang konsepnya adalah juga
pengelolaan hutan lestari.
Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 12
disebutkan bahwa perencanaan kehutanan meliputi: inventarisasi hutan,
pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan hutan, pembentukan wilayah
pengelolaan hutan, dan penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah
pengelolaan hutan tersebut dilakukan pada tingkat propinsi, kabupaten/kota serta
pada tingkat unit pengelolaan. Unit pengelolaan adalah kesatuan pengelolaan
hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara
efisien dan lestari, antara lain kesatuan pengelolaan hutan lindung (KPHL),
kesatuan pengelolaan hutan produksi (KPHP), dan kesatuan pengelolaan hutan
konservasi (KPHK) (Kartodihardjo et. al 2011).
Pembangunan KPH merupakan upaya untuk mewujudkan kondisi
pemungkin (enabling condition) dicapainya pengelolaan sumberdaya hutan secara
berkelanjutan, oleh karena itu perlu diupayakan percepatan pembentukan KPH di
tingkat tapak dengan kejelasan tujuan, wilayah kelola dan institusi pengelolanya,
sehingga laju degrádasi hutan dapat diperkecil (Dephut 2006). Dengan struktur
aturan main ini, maka pada dasarnya pemerintah memperoleh mandat sebagai
pemilik sumberdaya. Demi kelestarian aset yang dikuasai maka perlu
menghadirkan pengelola di tingkat tapak (on site) agar situasi interdependency
para aktor dalam pengelolaan sumberdaya hutan dapat terkendali mengarah
kepada tujuan-tujuan bersama yang disepakati. Dengan demikian, kehadiran KPH
pada tingkat tapak dimaksudkan sebagai upaya penguatan sistem pengurusan
hutan yang dikuasai negara baik pada level nasional, propinsi dan kabupaten/kota.

8
Tekad untuk membangun KPH tersebut telah dimandatkan di dalam UU nomor 41
tahun 1999 tentang kehutanan, yang Iebih lanjut ditegaskan kembali di dalam PP
nomor 44 tahun 2004 tentang perencanaan kehutanan. Untuk melaksanakan
pengembangan KPH maka amanat UU 41/1999 tersebut ditindaklanjuti dengan di
keluarkannya PP 6/2007 yang selanjutnya direvisi menjadi PP 3/2008. Sebagai
implementasi pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan maka melalui
Keputusan Menteri Kehutanan nomor 230/Kpts-II/2003 tentang pembentukan
KPHP secara teknis diatur melalui keputusan Kepala Badan Planologi Kehutanan
nomor SK. I 4/VI1-PW/2004 tentang pedoman pelaksanaan KPHP dan untuk
pembangunan KPH model telah diatur sesuai Peraturan Kepala Badan Planologi
Kehutanan nomor SK.80/VI1-PW/2006.
Sesuai dengan amanat UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999 Pasal 17 bahwa:
(1) Pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilaksanakan untuk tingkat Provinsi,
Kabupaten/kota, dan unit pengelolaan. (2) Pembentukan wilayah penglolaan hutan
tingkat unit pengelolaan dilaksanakan dengan mempertimbangkan karakteristik
lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi daerah aliran sungai, sosial budaya,
ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat hukum adat
dan batas administrasi pemerintahan. Dalam penjelasan Pasal 17 ini, wilayah
pengelolaan hutan tingkat provinsi adalah seluruh hutan dalam wilayah provinsi
yang dapat dikelola secara lestari, sedangkan wilayah pengelolaan hutan tingkat
Kabupaten/Kota adalah seluruh hutan dalam wilayah Kabupaten/Kota yang dapat
dikelola secara lestari. Yang dimaksud dengan unit pengelolaan adalah kesatuan
pengelolaan hutan (KPH) terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang
dapat dikelola secara efesien dan lestari.
Kegiatan pembangunan KPH secara nasional telah dimulai sejak tahun 2006
yang ditandai dengan Pengembangan Kebijakan Pembangunan KPH yang terdiri
dari empat kegiatan; Penyiapan Pedoman Pembangunan KPH, Formulasi
Kebijakan SDM tingkat Nasional, Penyusunan Kurikulum pembekalan/lokali
personal Pelaksana KPH, dan Formulasi Kebijakan SDM Tingkat Provinsi,
(Baplan 2007).
KPH berperan sebagai penyelenggara pengelolaan hutan di lapangan atau di
tingkat tapak yang harus menjamin bahwa pengelolaan hutan dilakukan secara
lestari sesuai dengan fungsinya. Keberadaan KPH menjadi kebutuhan Pemerintah
dan Pemerintah Daerah sebagai pemilik sumberdaya hutan sesuai mandat
Undang-undang, dimana hutan dikuasai negara dan harus dikelola secara lestari.
Dalam prakteknya, penyelenggaraan pengelolaan hutan pada tingkat tapak oleh
KPH sebenarnya tidak memiliki kewenangan memberi ijin pemanfaatan hutan
melainkan melakukan pengelolaan hutan sehari hari, termasuk mengawasi kinerja
pengelolaan hutan yang dilakukan oleh pemegang ijin. Dengan demikian, KPH
menjadi pusat informasi mengenai kekayaan sumberdaya hutan dan menata
kawasan hutan menjadi bagian-bagian yang dapat dimanfaatkan oleh berbagai ijin
dan/atau dikelola sendiri pemanfaatannya, melalui kegiatan yang direncanakan
dan dijalankan sendiri. Apabila peran KPH dapat dilakukan dengan baik, maka
KPH menjadi garis depan untuk mewujudkan harmonisasi pemanfaatan hutan
oleh berbagai pihak dalam kerangka pengelolaan hutan lestari (Kartodihardjo et.
al 2011)
Pembentukan KPH telah dan sedang dalam proses pelaksanaan dengan
mengacu pada prosedur pembentukan KPH, berdasarkan peraturan perundang-

9
undangan tersebut di atas, yang meliputi tahapan : (a) penyusunan rancang bangun
KPH, dilaksanakan oleh gubernur; (b) arahan pencadangan, diberikan oleh
Menteri Kehutanan berdasarkan rancang bangun yang diajukan oleh gubernur; (c)
pembentukan, disusun oleh bupati berdasarkan arahan dari Menteri Kehutanan
yang selanjutnya gubernur mengusulkan penetapannya kepada Menteri
Kehutanan; (d) penetapan, menteri menetapkan KPH berdasarkan usulan
pembentukan dari gubernur. Tahap berikutnya setelah proses penetapan KPH
adalah pembentukan kelembagaan pengelola unit KPH, sehingga akan terbangun
wujud riil KPH di tingkat tapak yang antara lain meliputi penetapan, wilayah
pengelolaan dan kelembagaan pengelola serta jenis aktifitasnya. Badan Planologi
Departemen Kehutanan (2006) lebih jauh menyatakan empat prinsip yang
melandasi pembentukan wilayah KPH, yaitu : (1) transparansi, (2) pelibatan
penuh seluruh pihak terkait, (3) akuntabilitas dan (4) ekosistern. Berdasarkan
pernyataan yang berbunyi sesuai dengan fungsi pokok dan peruntukannya yang
selalu menyertai definisi KPH, menurut Ngakan et al. (2008) bahwa perwilayahan
KPH akan dibuat dengan merujuk pada fungsi pokok dan peruntukan hutan yang
sudah ada. Oleh karena itu, KPH diberi nama menurut fungsi pokok dan
peruntukannya seperti KPHK (Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi) untuk
pengelolaan hutan pada fungsi hutan konservasi (Taman Nasional, Cagar Alarn,
Taman Wisata Alam, Taman Buru, dan lain-lain). Kesatuan Pengelolaan Hutan
Produksi (KPHP) untuk mengelola fungsi hutan produksi dan Kesatuan
Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) untuk mengelola fungsi hutan lindung.
Dalam melaksanakan sebagai fungsi perwilayahan, menurut PP No. 6 tahun 2007,
Organisasi KPH mempunyai tugas dan fungsi (1) menyelenggarakan pengelolaan
hutan yang meliputi kegiatan tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan
hutan, pemanfaatan hutan, penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi hutan dan
reklamasi, dan perlindungan hutan dan konservasi alam; (2) menjabarkan
kebijakan kehutanan nasional, provinsi dan kabupaten/kota bidang kehutanan
untuk diimplementasikan; (3) rnelaksanakan kegiatan pengelolaan hutan di
wilayahnya mulai dan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan
pengawasan serta pengendalian; (4) melaksanakan pemantauan dan penilaian atas
pelaksanaan pengelolaan hutan di wilayahnya; (5) membuka peluang investasi
guna mendukung tercapainya tujuan pengelolaan hutan.
Pembangunan KPH saat ini terus menerus dilakukan di daerah, secara garis
besar pembangunan KPH menunjukkan kemajuan yang cukup signifikan, hal ini
dapat dilihat dari perkembangan pembangunan KPH sampai dengan bulan
Agustus 2011 (Kementerian Kehutanan 2011), penetapan wilayah KPHL
sebanyak 167 unit dengan luas ± 20.834.918 Ha, KPHP sebanyak 246 Unit
dengan luas ± 37.063.223 Ha yang tersebar pada 23 propinsi, dan khusus DI
Yogyakarta (tidak dibedakan antara KPHL dan KPHP) dengan luas ± 16.357 Ha.
Selain itu, Pemerintah telah melakukan penetapan wilayah KPHK pada 20 Taman
Nasional. Untuk mempercepat pengoperasian KPH, maka telah ditetapkan KPH
Model di masing-masing provinsi. Sampai dengan Agustus 2011, telah ditetapkan
KPH model sebanyak 21 unit. KPH yang sudah memiliki organisasi pengelola
dengan kedudukan sebagai UPTD terdapat 32 unit dengan KPH model sebanyak
28 unit dan bukan KPH model sebanyak 4 unit.

10
Hubungan KPH dengan Berbagai Elemen Terkait
Kartodihardjo et al. (2011) menguraikan hubungan KPH dengan berbagai
elemen yang terkait dalam pengelolaan hutan seperti KPH dan ragam fungsi
hutan; KPH dan akses masyarakat; KPH dan usaha kehutanan; KPH dan
organisasi daerah; KPH dan pengembangan wilayah; dan KPH dan kelestarian
hutan.
KPH dan ragam fungsi hutan. Keberadaan KPH akan lebih memastikan
diketahuinya potensi hutan, perubahan-perubahan yang terjadi maupun kondisi
masyarakat yang tergantung pada manfaat sumberdaya hutan. Dalam hal ini KPH
dapat dimaknai sebagai pihak yang menghimpun informasi sumberdaya hutan
untuk melakukan pengelolaan hutan yang tidak dijalankan secara langsung oleh
lembaga seperti Kementerian Kehutanan atau Dinas Kehutanan.
KPH dan akses masyarakat. Akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan
dapat terdiri dari berbagai bentuk dan tipologi sesuai dengan kondisi sosial budaya
masyarakat, sejarah interaksi masyarakat dengan hutan dan harapan ekonomi
masyarakat untuk memperbaiki kehidupannya. Apabila dikaitkan dengan ijin atau
penetapan status kawasan hutan, akses masyarakat yang dimaksud tidak dapat
ditetapkan pada tingkat KPH, karena kewenangan untuk itu berada pada
Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
Keberadaan KPH memungkinkan
identifikasi keberadaan dan kebutuhan masyarakat terhadap manfaat sumberdaya
hutan dengan lebih jelas, sehingga proses-proses pengakuan hak, ijin maupun
kolaborasi menjadi lebih mungkin dilakukan. Demikian pula penyelesaian
konflik maupun pencegahan terjadinya konflik lebih dapat dikendalikan. Selain
itu, KPH dapat dapat memfasilitasi komunikasi dengan Pemerintah dan/atau
Pemerintah Daerah untuk menata hak dan akses masyarakat terhadap sumberdaya
hutan.
KPH dan usaha kehutanan. Dengan beroperasinya organisasi KPH,
informasi mengenai sumberdaya hutan yang dimanfaatkan oleh para pemegang
ijin diharapkan akan semakin akurat.
Karakteristik dan sifat-sifat khas
sumberdaya hutan juga diharapkan dapat diketahui, sehingga memudahkan
penetapan sistem manajemen hutan yang sesuai dengan kondisi wilayah dan
diharapkan mengurangi kegiatan-kegiatan yang secara administratif harus
dilakukan, tetapi tidak secara jelas berguna bagi usaha kehutanan tersebut.
Selain itu kinerja pengelolaan hutan oleh pemegang ijin dapat dimonitoring dan
dievaluasi di tingkat lapangan. Efektifitas kegiatan demikian itu pada gilirannya
diharapkan dapat meningkatkan efisiensi perusahaan.
KPH dan organisasi daerah. Keberadaan KPH bersifat unik. Organisasi
daerah yang dibentuk berdasarkan PP No 41 Tahun 2007 tidak mengenal adanya
organisasi seperti KPH yang mempunyai sifat teritorial. Organisasi KPH
meskipun bidang kehutanan namun bukan identik dengan organisasi kehutanan
yang telah dibentuk berdasarkan PP No 41 Tahun 2007. KPH merupakan
organisasi yang spesifik yang khususnya di luar Pulau Jawa belum pernah ada.
KPH dan pengembangan wilayah. Pengembangan wilayah dapat dilakukan
untuk mencapai pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan apabila
memperhatikan kepentingan ekonomi, sosial dan sekaligus kepentingan
lingkungan hidup. Secara fungsional, KPH dapat menyediakan barang dan jasa
untuk menopang pengembangan wilayah tersebut. Oleh karena itu tujuan

11
pengembangan KPH perlu diselaraskan dengan tujuan pengembangan wilayah
Kabupaten/Kota dan atau Provinsi.
KPH yang lokasinya lintas wilayah
Kabupaten/Kota dapat menjadi penyelaras arah pengelolaan sumberdaya hutan
khususnya maupun sumberdaya alam pada umumnya di kedua wilayah
administrasi tersebut.
KPH dan kelestarian hutan. Faktor yang menentukan kelestarian hutan
cukup banyak, meskipun pada prinsipnya kelestarian hutan ditentukan oleh
kapasitas pemegang ijin atau pengelola hutan. KPH menjadi faktor pemungkin
kapasitas tersebut dapat ditingkatkan atau bahkan pengadaan pengelola hutan
yang selama ini tidak ada, sehingga dapat membuka ruang profesional bagi
rimbawan untuk berkiprah dalam pengelolaan hutan lestari. Ketiadaan pengelola
terbukti menjadi penyebab kegagalan bagi banyak program, misalnya dalam
pelaksanaan rehabilitasi lahan kritis di dalam kawasan hutan yang tidak ada
pengelolanya terbukti tidak membawa hasil. Adanya organisasi pemerintah yang
bertanggungjawab dalam pengelola hutan di tingkat tapak juga akan memberikan
ruang bagi peningkatan kapasitas para pemegang ijin, serta memberikan arah yang
jelas bagi pencapaian pengelolaan hutan lestari.
Teori Kelembagaan
Selama ini kelembagaan (institusi) banyak diartikan sebagai organisasi,
namun sebenarnya juga mencakup ideologi, hukum, adat istiadat, aturan,
kebiasaan yang tidak terlepas dari lingkungan. Menurut North (1990), secara
umum kelembagaan mengandung dua pengertian penting yaitu: Pertama,
kelembagaan diartikan sebagai aturan main (the rules of the game). Sebagai
aturan main, kelembagaan berupa aturan baik formal maupun informal, yang
tertulis dan tidak tertulis mengenai tata hubungan manusia. Kedua, kelembagaan
sebagai suatu organisasi, ada beberapa stakeholder yang terlibat dalam
pengelolaan sumberdaya termasuk hutan. Kelembagaan (institutional) sebagai
aturan main (rule of game) dan organisasi, berperan penting dalam mengatur
penggunaan/alokasi sumber daya secara efisien, merata dan berkelanjutan. Suatu
kelembagaan adalah suatu pemantapan perilaku yang hidup pada suatu kelompok
orang yang merupakan sesuatu yang stabil, mantap dan berpola; berfungsi untuk
tujuan-tujuan tertentu dalam masyarakat; ditemukan dalam sistem sosial
tradisional dan modern atau bisa berbentuk tradisional dan modern dan berfungsi
mengefisienkan kehidupan sosial (Sahyuti 2006), sedangkan menurut Schmid
dalam Pakpahan (1989) kelembagaan adalah seperangkat ketentuan yang
mengatur hubungan antar orang, yang mendefinisikan hak-hak mereka, hubungan
dengan hak-hak orang lain, hak-hak istimewa yang diberikan, serta tanggung
jawab yang harus mereka lakukan. Kelembagaan juga dapat diartikan sebagai
instrumen yang mengatur hubungan antar orang atau kelompok masyarakat
melalui hak dan kewajibannya dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya.
Kelembagaan mempunyai peran penting dalam masyarakat untuk mengurangi
ketidakpastian dengan menyusun struktur yang stabil bagi hubungan manusia.
Kelembagaan merupakan gugus kesempatan bagi individu dalam membuat
keputusan dan melaksanakan aktivitasnya.
Menurut Schotter (1981),
kelembagaan merupakan regulasi atas tingkah laku manusia yang disepakati oleh

12
semua anggota masyarakat dan merupakan penata interaksi dalam situasi tertentu
yang berulang.
Kelembagaan adalah suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota
masyarakat dalam suatu organisasi yang memiliki faktor pembatas dan pengikat
berupa norma, aturan formal, maupun non formal untuk mencapai tujuan bersama
(Djogo et al. 2003). Lebih lanjut dinyatakan bahwa kelembagaan mempunyai 10
unsur penting, yaitu: institusi, norma tingkah laku, peraturan, aturan dalam
masyarakat, kode etik, kontrak, pasar, hak milik, organisasi, dan insentif. Ostrom
(1990) mengartikan kelembagaan sebagai aturan yang berlaku dalam masyarakat
(arena) yang menentukan siapa yang berhak membuat keputusan, tindakan apa
yang boleh dan tidak boleh dilakukan, aturan apa yang berlaku umum di
masyarakat, prosedur apa yang harus diikuti, informasi apa yang mesti atau tidak
boleh disediakan dan keuntungan apa yang individu akan terima sebagai buah dari
tindakan yang dilakukannya.
Menurut Kartodihadjo (2006), kelembagaan adalah perangkat lunak, aturan
main, keteladanan, rasa percaya, serta konsistensi kebijakan yang dapat diterapkan
di dalamnya. Kelembagaan sebagai aturan main (formal dan informal) yang
mengatur dan mengendalikan perilaku individu dalam masyarakat atau organisasi.
Dari definisi tersebut pada dasarnya kelembagaan mengandung 2 (dua) pengertian
yaitu aturan main (rule of the game) di satu sisi dan organisasi sebagai
pemain/pelaku (organization as a player) di sisi lainnya. Kedua hal tersebut saling
membutuhkan dan melengkapi bagi jalannya proses-proses pencapaian tujuan
yang tertuang di dalam aturan main yang disepakati.
Kelembagaan merupakan suatu sistem aktivitas dari kelakuan berpola dari
manusia dalam kebudayaannya beserta komponen-komponen yang terdiri dari
sistem norma dan tata kelakuan untuk wujud ideal kebudayaan, kelakuan berpola
untuk wujud kelakuan kebudayaan dan peralatan untuk wujud fisik kebudayaan
yang ditambah dengan manusia atau personil yang melaksanakan kelakuan
berpola (Koentjaraningrat 1997). Kelembagaan sebagai seperangkat norma-norma
dan peraturan yang tumbuh dalam masyarakat yang bersumber pada pemenuhan
kebutuhan pokok dan memiliki bentuk konkritnya adalah asosiasi. Kelembagaan
yang ada di dalam masyarakat merupakan esensi atau bagian pokok dari
masyarakat dan kebudayaannya. Pejovich (1999) menyatakan bahwa
kelembagaan memiliki tiga komponen, yakni: (1) Aturan formal, meliputi
konstitusi, status, hukum dan seluruh regulasi pemerintah lainnya. Aturan formal
membentuk sistem politik (struktur pemerintahan, hak-hak individu), sistem
ekonomi (hak kepemilikan dalam kondisi kelangkaan sumberdaya, kontrak), dan
sistem keamanan (peradilan, polisi) ; (2) Aturan informal, meliputi pengalaman,
nilai-nilai tradisional, agama dan seluruh faktor yang mempengaruhi bentuk
persepsi subjektif individu tentang dunia tempat hidup masyarakat; dan (3)
Mekanisme penegakan, semua kelembagaan tersebut tidak akan efektif apabila
tidak diiringi dengan mekanisme penegakan
Berbagai definisi yang telah diungkapkan oleh para ahli terlihat bahwa
sebenarnya definisi kelembagaan tergantung dari mana orang melihatnya, makro
atau mikro. Sekian banyak pembatasan kelembagaan, minimal ada tiga lapisan
kelembagaan sebagai norma-norma dan konversi, kelembagaan sebagai aturan
main, dan kelembagaan sebagai hubungan kepemilikan (Deliarnov 2006).

13
Teori Pemangku Kepentingan (Stakeholder)
Istilah stakeholder atau dinamakan pemangku kepentingan adalah kelompok
atau individu yang dukungannya diperlukan demi kesejahteraan dan kelangsungan
hidup organisasi. Pemangku kepentingan adalah seseorang, organisasi atau
kelompok dengan kepentingan terhadap suatu sumberdaya alam tertentu,
stakeholder is a person who has something to gain or lose through the outcomes
of a planning process, programme or project (Brown 2001). Pemangku
kepentingan mencakup semua pihak yang terkait dalam pengelolaan terhadap
sumber daya. Pemangku kepentingan juga termasuk semua orang dari politisi
lokal dan nasional dan tokoh atau pemimpin masyarakat, penguasa, kelompok
paramiliter, LSM dan badan-badan internasional.
Secara umum pemangku kepentingan dapat dibagi dalam dua jenis, yaitu:
Pertama, pemangku kepentingan primer atau “key stakeholder‟ adalah pihak yang
pada akhirnya terpengaruh, baik secara positif atau negatif oleh tindakan
organisasi. Kedua, pemangku kepentingan sekunder: adalah “perantara‟, yaitu,
orang atau organisasi yang secara tidak langsung dipengaruhi oleh tindakan
organisasi. Hal yang sama diungkapkan oleh Clarkson dan Dan (1994) yang
membagi pemangku kepentingan menjadi dua.
Pemangku kepentingan primer adalah pihak di mana tanpa partisipasinya
yang berkelanjutan organisasi tidak dapat bertahan. Contohnya adalah pemegang
saham, investor, pekerja, pelanggan, dan pemasok. Menurut Clarkson and Dan
(1994), suatu perusahaan atau organisasi dapat didefinisikan sebagai suatu sistem
pemangku kepentingan primer yang merupakan rangkaian kompleks hubungan
antara kelompok-kelompok kepentingan yang mempunyai hak, tujuan, harapan,
dan tanggung jawab yang berbeda. Sementara, pemangku kepentingan sekunder
didefinisikan sebagai pihak yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh perusahaan,
tapi tidak terlibat dalam transaksi dengan perusahaan dan tidak begitu penting
untuk kelangsungan hidup perusahaan. Contohnya adalah media dan berbagai
kelompok kepentingan tertentu. Perusahaan tidak bergantung pada kelompok ini
untuk kelangsungan hidupnya, tapi bisa mempengaruhi kinerja