Latar Belakang - Pengembangan Potensi Wilayah Tertentu Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Model Mandailing Natal Sumatera Utara

PENDAHULUAN Latar Belakang

  Dalam mengiringi dinamika perkembangan pembangunan Indonesia, peran kawasan hutan menjadi penting dalam mendukung peningkatan ekonomi bangsa. Maka sesuai dengan amanat undang-undang, pemanfaatan hutan adalah kegiatan untuk memanfaatkan kawasan hutan, memanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta memungut hasil hutan kayu dan bukan kayu secara optimal dan adil untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya.

  Salah satu bentuk pemanfaatan kawasan hutan adalah dibentuknya Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH).

  Banyak instansi tidak menyadari bahwa masyarakat lokal yang berada di sekitarnya merupakan bagian dari lingkungan yang sangat mempengaruhi kelangsungannya. Hubungan yang kurang baik antara instansi dan lingkungannya akan sangat berpotensi menimbulkan konflik. Keberadaan masyarakat lokal kini menjadi semakin kuat dan mereka cenderung lebih berani memperjuangkan hak haknya bahkan terkadang mereka menuntut di luar kewajaran atau di luar kemampuan institusi (Sitorus,2011).

  Peraturan pemerintah No. 3 tahun 2008 pasal 1 menyatakan KPH adalah wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari. Salah satu KPH yang terdapat di Sumatera Utara adalah KPHP Mandailing Natal. Penetapan wilayah KPH Mandailing Natal di kabupaten Mandailing Natal, ditetapkan sesuai Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK. 332/Menhut-II/2010 tanggal 25 Mei 2010 dengan luas ± 159.166 ha.

  Sesuai peruntukannya, wilayah tertentu adalah wilayah hutan yang situasi dan kondisinya belum mempunyai izin usaha sehingga seluruh pengelolaan dan pengawasan diberikan kepada pihak KPH. Untuk itu akan diteliti persepsi masyarakat terhadap potensi hasil hutan yang ada di wilayah tertentu KPHP Mandailing Natal, kemudian disesuaikan persepsi masyarakat tersebut dengan potensi yang ada di wilayah tertentu melalui survey langsung untuk dibuktikan kebenarannya. Sehingga akan diperoleh hasil yang dapat meningkatkan kerjasama dan tidak menimbulkan konflik antara pihak KPHP dan masyarakat, juga sebagai dasar acuan pembangunan KPHP.

  Tujuan Penelitian

  1. Mengetahui persepsi masyarakat terhadap keberadaan zona Wilayah Tertentu KPHP Mandailing Natal.

  2. Mengetahui potensi zona wilayah tertentu di KPHP Mandailing Natal.

  Manfaat Penelitian

  1. Penelitian ini diharapkan dapat menimbulkan partisipasi yang aktif dari masyarakat dalam pengelolaan hutan di KPHP Mandailing Natal.

  2. Penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar kajian pencapaian kebijakan dan peran institusi dalam pengembangan KPHP Mandailing Natal.

  3. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai referensi guna, penelitian lebih lanjut tentang pengembangan objek KPHP Mandailing Natal.

  TINJAUAN PUSTAKA Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Jumlah desa yang berhubungan dengan kawasan hutan saat ini tercatatsebanyak 31.957 desa (Renstra Kemenhut 2010-1014), yang terdistribusidi dalam kawasan hutan sebanyak 1.305 desa (4,08%), tepi kawasanhutan sebanyak 7.943 (24,86%) dan di sekitar kawasan hutan sebanyak22.709 (71,06%). Provinsi terbanyak untuk desa di dalam kawasanhutan adalah Kalimantan Tengah (sebanyak 208 desa), dan Jawa Tengah(sebanyak 1.581 desa di tepi kawasan hutan dan 6.795 desa di sekitarkawasan hutan) (Rahmina dkk., 2011).

  Dalam PP No.6 Tahun 2007 Pasal 1 angka 1, KesatuanPengelolaan Hutan (KPH) diartikan sebagai wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari. Istilah KPH memang disebutkan di dalam UU No.41/1999 di dalam bagian penjelasan pasal 17 ayat (1), namun tidak ada penjelasan dari KPH dimaksud.

  KPH di dalam UU No.41/1999 justru menjadi bagian dari pengertian Unit pengelolaan sebagai undang-undang payungnya. Di dalam UU No.41/1999, KPH sebagai bagian dari Unit Pengelolaan diartikan sebagai kesatuan pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari, antara lain kesatuan pengelolaan hutan lindung (KPHL), kesatuan pengelolaan hutan produksi (KPHP), kesatuan pengelolaan hutan konservasi (KPHK), kesatuan pengelolaan hutan kemasyarakatan (KPHKM), kesatuan pengelolaan hutan adat (KPHA), dan kesatuan pengelolaan daerah aliran sungai (KPDAS).

  .

  Peraturan Menteri Kehutanan No : P.47/MENHUT-II/2013 Wilayah tertentu antara lain adalah wilayah hutan yang situasi dan kondisinya belum menarik bagi pihak ketiga untuk mengembangkan pemanfaatannya berada di luar areal ijin pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan. Penyelenggaraan pemanfaatan hutan di wilayah tertentu pada kawasan hutan lindung, dapat berupa:

  a. Pemanfaatan Kawasan;

  b. Pemanfaatan Jasa Lingkungan; dan c. Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu.

  Terdapat urusan/kegiatan yang belum jelas di level mana penyelenggaranya(apakah Pemerintah/Pusat, atau Pemerintah Provinsiatau Pemerintah Kabupaten/Kota). Kegiatan tersebutadalah:

  a. Penyelenggara Tata Hutan (di PP 38/2007 tidak diatur) tetapi di PP lain, tugas ini menjadi kewenangan KPH.

  b. Penyelenggara Penyusunan Rencana Pengelolaan (di PP 38/2007 tidak diatur) tetapi di PP lain, tugas ini menjadikewenangan KPH.

  c. Penyelenggara pemanfaatan wilayah tertentu (areal dalam kawasan hutan yang tidak/belum dibebani ijinserta oleh menteri pemanfatannya diberikan kepadaKPH). Dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 230/Kpts-II/ 2003 Tentang

  Pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi menyebutkan pengertian KPH Produksi adalah unit pengelolaan hutan produksi terkecil yang dapat di kelola secara efisien dan lestari.

  Dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 230/Kpt Pembangunan KPH di Indonesia telah menjadi komitmen pemerintah dan masyarakat (para pihak), yang telah dimandatkan melalui UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, PP No 44 Tahun 2004 tentang Perencanan Kehutanan dan PP No 6 Tahun 2007 jo PP No. 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan dan Pemanfaatan Hutan, serta yang bertujuan untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang efisien dan lestari.

  Dalam Alpinus patan (2008), Untuk mewujudkan KPH pada tingkat tapak, Bongkar pasang peraturan yang menjadi dasarnya sudah berkali-kali dilakukan. Pada tingkatan Peraturan Pemerintah, PP No. 6 Tahun 2007 merupakan pembaharuan dari PP No. 34 Tahun 2004 yang menjadi acuan pembangunan KPH. Perubahan secara signifikan terhadap keberadaan PP No. 6 Tahun 2007 yaitu egaliter pengelolaan hutan atau adanya persamaan pengelolaan antara hutan produksi, lindung, dan konservasi.

  Dalam menyelenggarakan pengelolaan hutan untuk mencapai kelestarian hutan dibutuhkan unit-unit pengelolaan hutan atau Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan organisasi pengelolanya di tingkat tapak (lapangan), sesuai peraturan perundangan yang ada organisasi pengelola ini merupakan organisasi pemerintah.

  Untuk mewujudkan pembangunan KPH terdapat 2 (dua) hal penting, yaitu : 1. Kebijakan tentang pembentukan wilayah KPH.

  2. Kebijakan tentang pedoman untuk membentuk organisasi/kelembagaan KPH.

  Struktur KPH Dalam Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 yaitu: a. Pengertian dan Posisi KPH, serta Pelimpahan Wewenang Pengelolaan.

  • Kesatuan Pengelolaan Hutan selanjutnya disingkat KPH, adalah wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari.
  • Kepala KPH adalah pimpinan, pemegang kewenangan dan penanggung jawab pengelolaan hutan di dalam wilayah yang dikelolanya.

  • Seluruh kawasan hutan terbagi dalam KPH, yang menjadi bagian dari penguatan sistem pengurusan hutan nasional, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.
  • Pemerintah dapat melimpahkan penyelenggaraan pengelolaan hutan kepada BUMN bidang kehutanan.
  • Direksi BUMN yang mendapat pelimpahan membentuk organisasi KPH dan menunjuk kepala KPH.

  b. Wilayah KPH

  • Ditetapkan dalam satu atau lebih fungsi pokok hutan dan satu wilayah administrasi atau lintas wilayah administrasi pemerintahan.
  • Dapat terdiri lebih dari satu fungsi pokok hutan, penetapan (nama) KPH berdasarkan fungsi yang luasnya dominan.
  • Menteri menetapkan luas wilayah KPH dengan memperhatikan efisiensi dan efektifitas pengelolaan hutan dalam satu wilayah DAS atau satu kesatuan wilayah ekosistem.

  c. Pembangunan KPH Pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota sesuai kewenangannya bertanggung jawab terhadap pembangunan KPH dan infrastrukturnya.Dana bagi pembangunan KPH bersumber dari APBN, APBD dan dana lain yang tidak mengikat sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan.

  d. Target Penetapan Wilayah KPH

  Penetapan seluruh wilayah KPH diselesaikan paling lambat 2 (dua) tahun sejak tanggal diberlakukannya peraturan pemerintah ini.

  Penetapan Wilayah KPH tingkat Provinsi Sumatera Utara

  Penetapan wilayah KPHL dan KPHP Provinsi Sumatera Utara sesuai Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK. 102/Menhut-II/2010 tanggal 5 Maret 2010 meliputi area dengan luas ± 3.196.381 ha terdiri dari 19 unit KPHP dengan luas ± 1.831.884 ha dan 14 unit KPHL dengan luas ± 1.364.497 ha.

  Penetapan wilayah KPHP Model Mandailing Natal di kabupaten Mandailing Natal, ditetapkan sesuai Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.

  332/Menhut-II/2010 tanggal 25 Mei 2010 dengan luas ± 159.166 ha, terdiri dari : Hutan Lindung (HL) : ± 13.681 ha.

  • Hutan Produksi Terbatas (HPT) : ± 131.780 ha.
  • Hutan Produksi (HP) : ± 14.704 ha.
  • Kondisi batas kawasan hutan

  Letak geografis : 98° 52' 22" - 99° 31' 57" BT 0° 19' 16" - 1° 18' 8" LU

  Batas-batas Timur : Hutan Konservasi Kab. Mandailing Natal Barat : APL Kab. Mandailing Natal Selatan : HPT Kab. Pasaman Barat, Prov. Sumbar Utara : APL Kab. Tapanuli Selatan

  Wilayah Tertentu

  Dalam Perdirjen No. 5 tahun 2012 Tentang Tata Hutan menyebutkan pada setiap Blok pemanfaatan baik di wilayah KPHL dan KPHP yang berfungsi HL atau berfungsi HP agar dirancang areal-areal yang direncanakan akan dikelola sendiri oleh KPH dalam bentuk ”Wilayah Tertentu”. Pada setiap Blok pemanfaatan baik di wilayah KPHL dan KPHPyang berfungsi HL atau berfungsi HP agar dirancang areal-areal yang direncanakan akan dikelola sendiri oleh KPH dalam bentuk ”Wilayah Tertentu”.

  Sesuai peruntukannya, wilayah tertentu adalah wilayah hutan yang situasi dan kondisinya belum mempunyai izin usaha sehingga seluruh pengelolaan dan pengawasan diberikan kepada pihak KPH.

  Dalam Undang-Undang No. 41 tahun 1999 pasal 21 menyatakan bahwa mengingat berbagai kekhasan daerah sertakondisi sosial dan lingkungan yang sangat berkaitdengan kelestarian hutan dan kepentinganmasyarakat luas yang membutuhkan kemampuanpengelolaan secara khusus, maka pelaksanaanpengelolaan hutan di wilayah tertentu dapatdilimpahkan kepada BUMN yang bergerak di bidangkehutanan, baik berbentuk perusahaan umum(Perum), perusahaan jawatan (Perjan), maupunperusahaan perseroan (Persero), yang pem-binaannya di bawah Menteri.

  Dalam Firdaus (2012) menyatakan, menelaah hasil identifikasi terhadap pembagianurusan/kegiatan serta siapa yang berwenang menyelenggarakan urusan tersebut, terdapat urusan/kegiatan yang belum jelas di level mana penyelenggaranya(apakah Pemerintah/Pusat, atau Pemerintah Provinsiatau Pemerintah Kabupaten/Kota). Kegiatan tersebutadalah: a. Penyelenggara Tata Hutan (di PP 38/2007 tidak diatur tetapi di PP lain, tugas ini menjadi kewenangan KPH).

  b. Penyelenggara Penyusunan Rencana Pengelolaan (di PP/2007 tidak diatur) tetapi di PP lain, tugas ini menjadikewenangan KPH.

  c. Penyelenggara pemanfaatan wilayah tertentu (arealdalam kawasan hutan yang tidak/belum dibebani ijinserta oleh menteri pemanfatannya diberikan kepadaKPH).

  Persepsi

  Persepsi dan perilaku merupakan dua aspek yang mempengaruhi gambaran diri seseorang. Persepsi merupakan pandangan atau konsep yang dimiliki seseorang mengenai suatu hal sedangkan perilaku adalah tindakan aspek dinamis yang muncul dari persepsi tersebut. Menurut Rahmat dalam Sandi (2006) persepsi merupakan pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan yang diperoleh dengan mengumpulkan informasi dan menafsirkan pesan pada stimulasi indrawi sehingga manusia memperoleh pengetahuan baru.

  Menurut Basyuni dalam Sandi (2006) menyatakan bahwa faktor – faktor dalam individu yang menentukan persepsi adalah kecerdasan, emosi, minat, pendidikan, pendapatan dan kapasitas indera. Sedangkan faktor dari luar diri individu yang mempengaruhi persepsi adalah pengaruh kelompok, pengalaman masa lalu dan latar belakang sosial budaya.

  Biasanya persepsi yang dimiliki seseorang akan sesuai dengan perilaku yang dimunculkannya. Artinya, apabila seseorang mempunyai persepsi tentang sesuatu yang dinyatakannya baik atau positif maka perilaku yang dimunculkannya juga perilaku positif terhadap sesuatu tersebut. Tetapi adakalanya muncul ketidaksesuaian antara persepsi dan perilaku. Seperti yng dikemukakan oleh Brehm dan Kassin tentang Teori Disonansi Kognitif Pandangan Baru yang menguraikan bahwa ketidaksesuaian sikap dan perilaku seseorang diakibatkan oleh kurangnya peran kesadaran dan rasa tanggung jawab personal dalam dirinya. Kebebasan memilih berkaitan dengan keterpaksaan melakukan suatu perilaku. Apabila seseorang dipaksa oleh situasi atau kondisi untuk melakukan perilaku yang tidak sesuai dengan sikapnya maka ia tidak akan merasakan adanya tanggung jawab (Subagyo, 2005).

  Menurut Havey dan Smith (dalam Wibowo, 1988; 2.3) menyatakan bahwa persepsi adalah suatu proses untuk membuat penilaian (judgement) atau membangun kesan (impression) mengenai berbagai macam hal yang terdapat di dalam lapangan penginderaan seseorang. Sementara menurut McMahon (dalam Adi, 1994; 105) adalah proses menginterpretasikan rangsang (input) dengan mengguanakan alat penerima informasi (sensory information).

  Rakhmat (dalam Erida, 1999; 8) menjelaskan persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan – hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan pada stimulasi indrawi (sensory Stimuli) sehingga manusia memperoleh pengetahuan baru. Selanjutnya menurut David Krech (dalam Thoha;1998;123) mendifinisikan persepsi dengan lebih rinci yaitu peta kognitif individu bukanlah penyajian potografik dari suatu kenyataan fisi, melainkan agak bersifat konstruksi pribadi yang kurang sempurna mengenai obyek tertentu, diseleksi sesuai dengan kepentingan utamanya dan dipahami menurut kebiasaannya.

  Penggunaan Lahan

  Penggunaan lahan merupakan hasil akhir dari setiap bentuk campur tangan kegiatan (intervensi) manusia terhadap lahan di permukaan bumi yang bersifat dinamis dan berfungsi untukmemenuhi kebutuhan hidup baik material maupun spiritual (Arsyad, 1989). Secara umum penggunaan lahan di Indonesia merupakan akibat nyata dari suatu proses yang lama dari adanyainteraksi yang tetap, adanya keseimbangan, serta keadaan dinamis antara aktifitas-aktifitaspenduduk diatas lahan dan keterbatasan-keterbatasan di dalam lingkungan tempat hidup (As- syakur dkk., 2010).

  Penggunaan lahan berkaitan erat dengan ketersediaan lahan dan air. Ketersediaan lahan dan air akan menentukan produktivitas sumberdaya yang mampu diproduksi, selain itu juga mampu memberikan data tentang potensi produksinya. Interaksi antara dimensi ruang dan waktu dengan dimensi biofisik dan manusia mengakibatkan terjadinya perubahan penggunaan lahan (Veldkamp and Verburg, 2004).

  Perubahan iklim, peningkatan jumlah penduduk, dan proses urbanisasi merupakan penyebab umum yang dianggap sebagai faktor-faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya perubahan penggunaan lahan, kompleksitas antara faktor-faktor fisik, biologi, sosial, politik, dan ekonomi yang terajadi dalam dimensi ruang dan waktu pada saat yang bersamaan merupakan penyebab utama proses perubahan penggunaan lahan (Wu et al., 2008).

  Perubahan penggunaan lahan adalah bertambahnya suatu penggunaan lahan dari satu sisi penggunaan ke penggunaan yang lainnya diikuti dengan berkurangnya tipe penggunaan lahan yang lain dari suatu waktu ke waktu berikutnya, atau berubahnya fungsi suatu lahan pada kurun waktu yang berbeda (Wahyunto dkk., 2001).

  Metode Distribusi Kerikil (Pebble Distribution Method)

  Kegiatan memberi skor dengan Metode Distribusi Kerikil (Pebble

  Distribution Method

  ) memperlihatkan bagaimana masyarakat lokal memberi skor kepentingan hutan dibandingkan jenis lahan yang lain secara keseluruhan serta untuk kegunaan tertentu(CIFOR, 2012).

  Arsyad (2006) mengelompokkan kedalam dua golongan besar yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian. Penggunaan lahan pertanian yaitu penggunaan lahan tegalan, sawah, kebun, padang rumput, hutan, padang alang-alang, dan sebagainya. Sedangkan penggunaan lahan bukan pertanian yaitu penggunaan lahan kota atau desa (pemukiman), industri, rekreasi, pertambangan, dan sebagainya.

  Data yang dikumpulkan dalam Metode Distribusi Kerikil (Pebble

  Distribution Method

  ) terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang langsung diperoleh dari orang yang ada di lapangan. Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui kuisioner dan wawancara kepada responden (Lisanti, 2006).