Genetic parameters estimation of agronomic and quality traits and selection high yielding sorghum lines in acid soil
WINDA PUSPITASARI. Genetic Parameters Estimation of Agronomic and Quality Traits and Selection High Yielding Sorghum Lines in Acid Soil. Supervised by DESTA WIRNAS, SOERANTO HUMAN and TRIKOESOEMANINGTYAS.
Sorghum is a crop that has potential to be developed as an alternative food because sorghum is a source of carbohydrate and the content of protein, calcium and vitamin B1 is higher than corn and rice. Furthermore, sorghum has potency to be developed as raw material for bioethanol. The adaptation of sorghum in dry environment is suitable to be developed on dry land in Indonesia which is dominated by acid soil. The purpose of this study was to obtain genetic parameters of agronomic and quality traits of sorghum in acid soil and to obtain tolerant and high yielding sorghum lines. The study was divided into three experiments conducted at UPTD of Dry Land Tenjo. Genetic material used in experiments 1 and 3 was F4 and F5 generations from crosses between UPCA S1 (sensitive to acid soil) and Numbu (tolerant to acid soil). Genetic material used in the second trial was six mutant lines and four national varieties. The results showed that there was high variation on stem weight, biomass weight, grain weight/plant, total sugar content and harvest index. The variation of the content of amylose, amylopectin and protein was low, while the tannin content showed a wide variation. The result of selection based on grain weight/ plant and biomass weight could potentially generate 14 genotypes tolerant to acid soil and high yielding. Selection based on grain weight/plant and weight of biomass was effective in acid soil.
Keywords : sorghum, genetic parameter, acid soil, selection, agronomic and grain quality trait
(2)
Kebutuhan pangan di Indonesia semakin meningkat sebanding dengan peningkatan jumlah penduduk yang diperkirakan pada tahun 2020 akan mencapai 261 juta jiwa (BPS 2005). Saat ini beras sebagai makanan pokok dengan tingkat konsumsi mencapai 120.2 kg/kapita/tahun merupakan tingkat konsumsi beras tertinggi di dunia (Muttaqin 2008). Dengan pola konsumsi yang hanya mengandalkan beras sebagai makanan pokok, diperkirakan pada tahun 2020 akan terjadi defisit beras sebesar 45 juta ton (Effendi 2006).
Diversifikasi (penganekaragaman) pangan dengan mencari sumber makanan pokok yang memiliki kualitas setara dengan beras sudah lama digalakkan pemerintah. Beberapa komoditi serealia dan umbi-umbian dapat dijadikan alternatif dalam pemenuhan kebutuhan pokok tersebut, salah satunya adalah tanaman sorgum. Sorgum merupakan tanaman pangan utama ke-5 di dunia setelah padi, gandum, jagung dan barley (Reddy et al. 2007a).
Tanaman sorgum sangat potensial sebagai bahan pangan utama karena selain sebagai sumber karbohidrat, sorgum memiliki kandungan protein, kalsium dan vitamin B1 yang lebih tinggi dibanding beras dan jagung (DEPKES RI 1992). Di daerah Afrika, biji sorgum dikonsumsi dalam bentuk roti (unleavened breads), bubur (boiled porridge or gruel), minuman (malted beverages and beer), berondong (popped grain) dan keripik (Dicko et al. 2006a).
Sorgum juga potensial dikembangkan sebagai pangan fungsional karena beberapa komponen penyusunnya. Sorgum memiliki kandungan gluten dan indeks glikemik yang rendah sehingga sangat sesuai untuk diet gizi khusus (Schober et al. 2007, Siller 2006). Sebagian varietas sorgum mengandung tanin yang merupakan senyawa fenol. Kandungan senyawa fenolik pada sorgum mencapai 6% yang merupakan kandungan fenolik tertinggi di antara tanaman sereal lain. Beberapa senyawa fenolik sorgum diketahui memiliki aktivitas anti oksidan, anti tumor dan dapat menghambat perkembangan virus sehingga bermanfaat bagi penderita penyakit kanker, jantung dan HIV-1 (Human Immunodeficiency Virus-1) (Dicko et al. 2006b).
(3)
Selain dapat diolah sebagai pangan, tanaman sorgum dapat dikonversi menjadi bahan bakar karena batangnya mengandung gula yang dapat difermentasi menjadi bioetanol. Pengembangan sorgum sebagai sumber bahan bakar alternatif telah dilakukan di beberapa negara seperti Amerika Serikat, India dan Cina (BATAN 2011). Produktivitas sorgum sebagai penghasil bioetanol lebih tinggi dibandingkan tanaman lain yang umum digunakan, seperti tebu, jagung dan gula bit (Almodares dan Hadi 2009; Reddy et al. 2007b).
Keunggulan lain dari sorgum adalah daya adaptasi yang baik pada berbagai agroekologi. Tanaman sorgum memiliki toleransi yang tinggi terhadap kekeringan sehingga sesuai untuk dikembangkan pada lahan kering di Indonesia. Luas lahan kering di Indonesia mencapai 148 juta ha, dimana 69,46% dari lahan kering tersebut merupakan lahan kering masam (Mulyani et al. 2009). Lahan kering masam dicirikan dengan pH dan kesuburan tanah yang rendah. Derajat kemasaman lahan kering masam berada di bawah 5,5 sehingga dapat melarutkan beberapa logam toksik bagi tanaman, seperti Al dan Mn. Kelarutan Al di dalam tanah merupakan salah satu masalah utama dalam produksi tanaman. Cekaman Al menyebabkan pertumbuhan akar terhambat sehingga mengurangi efisiensi penyerapan air dan hara (Kochian et al. 2004). Tanaman yang tercekam Al biasanya diikuti juga dengan gejala defisiensi P, Ca, Mg, B, Zn, Mo, Cu, K dan Na (Samac dan Tesfaye 2003; Luchi et al. 2007).
Pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi lahan kering masam yaitu melalui pengapuran dan pemupukan, namun tidak efisien karena mahal dan tidak dapat mengatasi kemasaman pada lapisan tanah yang lebih dalam. Pendekatan melalui program pemuliaan tanaman untuk mendapatkan varietas unggul toleran lahan masam diperkirakan lebih efektif untuk memperbaiki produktivitas tanaman di lahan masam (Samac dan Tesfaye 2003).
Kegiatan pemuliaan tanaman untuk mengembangkan varietas toleran tanah masam dapat dimulai dengan hibridisasi untuk memperoleh populasi yang memiliki keragaman lalu dilanjutkan dengan seleksi untuk memperoleh genotipe sesuai dengan karakter yang diinginkan. Pada pemuliaan tanaman pendugaan parameter genetik (nilai heritabilitas dan komponen ragam) dari suatu populasi sangat penting dilakukan. Seleksi, sebagai kegiatan utama dalam pemuliaan
(4)
tanaman, akan memberikan kemajuan genetik yang tinggi jika karakter yang diseleksi mempunyai nilai heritabilitas tinggi. Seleksi pada toleransi terhadap lahan masam sangat mungkin dilakukan karena beberapa penelitian menunjukkan terdapat keragaman terhadap toleransi lahan masam pada beberapa spesies tanaman (Delhaize dan Ryan 1995). Seleksi untuk pengembangan varietas toleran terhadap suatu cekaman dilakukan di lingkungan bercekaman sehingga dapat memaksimalkan ekspresi gen yang mengendalikan toleransi terhadap cekaman tersebut (Dawson et al. 2008).
Pemuliaan tanaman sorgum saat ini mulai banyak dilakukan di Indonesia dengan tujuan memperoleh varietas berdaya hasil tinggi baik pada perolehan biji maupun kadar gula batang (BATAN 2011). Selain itu, pemuliaan sorgum juga diarahkan pada daya adaptasi terhadap cekaman kekeringan dan cekaman lahan masam (BATAN 2011, Trikoesoemaningtyas et al. 2007).
Kegiatan penelitian sorgum yang dilakukan di Departemen Agronomi dan Hortikultura Institut Pertanian Bogor sejauh ini meliputi pembentukan populasi sorgum, studi genetik untuk toleransi dan daya hasil terhadap cekaman lahan masam, serta seleksi genotipe untuk toleransi dan daya hasil di lahan masam (Sungkono 2010, Isnani 2010). Sampai saat ini telah diperoleh sejumlah galur dengan potensi berdaya hasil tinggi, namun demikian studi genetik yang berkaitan dengan karakter kualitas sorgum di lahan masam belum dilakukan sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui parameter genetik pada karakter agronomi dan kualitas sorgum di lahan masam. Hasil penelitian diharapkan akan dapat mengungkap informasi yang bermanfaat untuk pengembangan kualitas sorgum di lahan masam di masa yang akan datang.
(5)
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk :
1. Mendapatkan informasi tentang parameter genetik karakter agronomi galur sorgum di lahan masam.
2. Mendapatkan informasi tentang parameter genetik karakter yang berkaitan dengan kualitas biji sorgum.
3. Memperoleh informasi hubungan antara karakter agronomi dengan karakter kualitas.
4. Memperoleh galur-galur sorgum toleran lahan masam berdaya hasil tinggi dengan kualitas biji baik.
Hipotesis
1. Karakter agronomi sorgum di lahan masam dikendalikan oleh aksi gen aditif. 2. Keragaman karakter yang berkaitan dengan kualitas biji sorgum dikendalikan
oleh faktor genetik.
3. Terdapat korelasi positif antara karakter agronomi dengan karakter kualitas sorgum.
4. Terdapat perbedaan daya hasil dan kualitas di antara genotipe sorgum yang diuji di lahan masam.
(6)
Gambar 1. Bagan alir penelitian Pendugaan Parameter Genetik Karakter Agronomi dan Kualitas Galur-Galur Sorgum di Lahan Masam
Materi Genetik Sorgum
Populasi F4 Galur mutan
Parameter genetik karakter agronomi
Karakter seleksi
Galur-galur berdaya hasil tinggi Studi Genetik Karakter Agronomi
Populasi F4 (Percobaan 1)
Parameter genetik karakter agronomi dan kualitas
Karakter seleksi
Studi Genetik Karakter Agronomi dan Kualitas (Percobaan 2)
Seleksi Untuk Uji Daya Hasil dan Kualitas (Percobaan 3)
Galur-galur sorgum toleran lahan masam berdaya hasil tinggi dan berkualitas baik
(7)
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Sorgum
Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) merupakan tanaman pangan penting kelima di dunia setelah padi, gandum, jagung dan barley (Reddy et al. 2007a). Daerah asal tanaman sorgum baik spesies liar maupun spesies budidaya ditemukan di Afrika. Hingga saat ini 90% luas lahan pertanaman berada di wilayah Afrika dan Asia (Acquaah 2007).
Sorgum merupakan tanaman sereal yang termasuk ke dalam famili Poaceae dan genus Andropogon (Doggett 1988). Terdapat tiga spesies sorgum, yaitu S. halepense (2n = 4x = 40), S. propinquum (2n = 2x = 20) dan S. bicolor (2n = 2x = 20). Tanaman sorgum yang dibudidayakan termasuk ke dalam S. bicolor. Sorghum bicolor dibagi menjadi lima ras, yaitu kafir, caudatum, durra, guinea dan bicolor. Sorghum bicolor bicolor memiliki penampilan fenotipe yang sangat beragam, mulai dari tipe batang, tipe hijauan, tipe biji dan tipe sapu (Smith dan Frederiksen 2000, Acquaah 2007).
Sorgum banyak ditanam pada daerah semiarid tropis dan subtropis. Tanaman sorgum merupakan tanaman hari pendek dan membutuhkan temperatur tinggi untuk menghasilkan pertumbuhan terbaiknya. Kondisi yang optimum untuk penanaman sorgum adalah daerah dengan suhu 20-30 oC dengan kelembaban rendah dan curah hujan 400-600 mm (Dicko et al. 2006a). Sorgum dapat ditanam pada agroekologi yang luas, baik pada tanah masam, tanah salin, tanah alkalin, maupun pada lahan kering (Doggett 1988).
Sorgum memiliki keragaman genetik yang luas dengan karakter utama toleran terhadap panas dan kekeringan (Poehlman dan Sleper 1995). Tinggi tanaman sorgum bervariasi antara 0,6-4.5 meter. Tinggi tanaman dipengaruhi oleh jumlah buku, panjang ruas batang, panjang tangkai malai dan panjang malai. Daun sorgum bervariasi dengan jumlah antara 7-24 helai, panjang berkisar 0,3-1,4 meter dan lebar berkisar 1-13 cm. Ukuran diameter batang juga bervariasi antara 0,5 sampai 5 cm (Dicko et al. 2006a, Acquaah 2007).
Bunga sorgum tersusun dalam bentuk malai dengan banyak bunga pada setiap malai sekitar 1500-4000 bunga. Bunga sorgum akan mekar teratur dari
(8)
cabang malai paling atas ke bawah. Malai sorgum memiliki tangkai yang tegak atau melengkung, berukuran panjang atau pendek dan berbentuk kompak sampai terbuka (Poehlman dan Sleper 1995; Dicko et al. 2006a). Tanaman sorgum merupakan tanaman menyerbuk sendiri dengan peluang menyerbuk silang sekitar 6%. (Poehlman dan Sleper 1995).
Biji sorgum berbentuk bulat, dengan ukuran 4-8 mm. Diantara kulit (pericarp) dan endosperm dilapisi oleh lapisan testa dan aleuron (Gambar 2). Lapisan testa termasuk pada bagian perikarp dan lapisan aleuron termasuk pada bagian dari endosperm. Komposisi bagian biji sorgum terdiri atas kulit luar 8%, lembaga 10% dan endosperm 82%. Warna biji sorgum sangat bervariasi mulai dari putih, kuning, merah, coklat dan ungu. Warna biji dipengaruhi oleh warna dan ketebalan kulit (pericarp), terdapatnya testa serta tekstur dan warna endosperm (Hahn dan Rooney 1985).
Gambar 2. Diagram biji sorgum yang terdiri atas pericarp, endosperm dan embrio (Sumber: Rooney dan Miller (1982) dalam Waniska (2000)) Tanaman sorgum diketahui sangat efisien dalam penggunaan air karena memiliki sistem perakaran yang dalam dan ekstensif (Dicko et al. 2006a). Sorgum dapat membentuk akar-akar sekunder dua kali sebagaimana halnya pada jagung dan penetrasi yang cukup besar ke dalam tanah (Doggett 1988). Daun sorgum memiliki lapisan lilin yang terdapat pada lapisan epidermisnya dan dapat menggulung bila mengalami kekeringan. Adanya lapisan lilin tersebut berfungsi untuk menahan atau mengurangi penguapan air dari tanaman. Proses evapotranspirasi pada sorgum kira-kira setengah dari jagung. Sorgum
(9)
membutuhkan air sekitar 84% dibandingkan dengan kebutuhan jagung untuk menghasilkan sejumlah ekivalen bahan kering (Reddy et al. 2007b).
Seperti tanaman jagung dan tebu, sorgum merupakan tanaman C4 sehingga efisien dalam fotosintesis. Tanaman C4 merupakan tanaman yang menghasilkan senyawa empat karbon sebagai produk pengikatan CO2 dalam proses asimilasi
(Kennedy 1976). Tanaman C4 mampu berfotosintesis lebih cepat pada penyinaran dan suhu tinggi sehingga mampu menghasilkan biomassa yang lebih banyak dibandingkan tanaman C3 (Salisbury dan Ross 1992). Tanaman C4 memiliki dua jenis sel fotosintetis, yaitu sel seludang berkas dan sel mesofil. Tanaman C4 memiliki sel seludang berkas yang lebih tebal dibandingkan dengan sel seludang pada tanaman C3 serta mengandung lebih banyak kloroplas, mitokondria dan organel penting lainnya dalam fotosintesis (Salisbury dan Ross 1992; Taiz dan Zeiger 2002).
Tanaman sorgum diketahui memiliki mekanisme pengendali ketahanan hijau daun (stay green). Fenomena tersebut mampu memperlambat penuaan (senescence) pada daun sorgum sehingga mampu mempertahankan kehijauan biomassa meskipun pasokan air sangat terbatas. Karakter stay green menyebabkan tanaman mempertahankan kehijauan daun selama fase pengisian biji sehingga terjadi keseimbangan antara kebutuhan dan penyediaan nitrogen. Oleh karenanya karakter stay green berpengaruh terhadap potensi hasil biji secara kualitas maupun kuantitas (Borrel et al. 2003)
Kualitas dan Pemanfaatan Sorgum
Sorgum merupakan salah satu tanaman multifungsi yang dapat digunakan sebagai sumber pangan, pakan, bioetanol dan bahan baku dalam industri (pembuatan gula, kertas dan lain-lain) (Dicko et al. 2006a, Rajvanshi 1996). Hal tersebut menyebabkan sorgum sangat potensial dikembangkan karena tiap bagian dari sorgum dapat dimanfaatkan.
Sorgum merupakan salah satu makanan pokok di banyak negara, khususnya di Afrika. Sebagai sumber pangan, sorgum banyak dikonsumsi sebagai biji, tepung, maupun produk olahan lain. Sorgum biasanya dikonsumsi dalam bentuk roti (unleavened breads), bubur (boiled porridge or gruel), minuman (malted
(10)
beverages and beer), berondong (popped grain) dan keripik (Dicko et al. 2006a). Kandungan nutrisi pada sorgum meliputi 83% karbohidrat, 3,5 % lemak dan 11% protein. Selain itu sorgum mengandung Ca, Fe, P dan vitamin B1 yang lebih tinggi dibandingkan beras (Suarni 2004, DEPKES RI 1992).
Sorgum merupakan salah satu bahan pangan yang potensial untuk substitusi terigu karena karakteristik mutu tepungnya (gizi, reologi dan sifat-sifat mekanis) relatif lebih baik dibanding tepung umbi-umbian (Ahza 1998). Menurut Mudjisihono dan Damardjati (1987), komposisi kimia dan zat gizi sorgum mirip dengan gandum. Tepung sorgum diketahui tidak mengandung gluten sehingga sangat sesuai dikonsumsi penderita penyakit celiac (alergi gluten) (Schober et al. 2007).
Pati sorgum memiliki karakteristik yang mirip dengan pati jagung, dengan ukuran granul 10-16 mikron. Pati sorgum memiliki suhu gelatinisasi tertinggi di antara jenis pati lainnya, mencapai 68-78 oC (Taylor 2005). Hal ini diduga disebabkan oleh panjangnya rantai amilopektin ”a” yang saling berikatan satu sama lain. Tingginya suhu gelatinisasi menyebabkan dibutuhkannya waktu yang lebih lama dan energi panas yang lebih tinggi untuk memasak. Pati sorgum mengandung 20-30% amilosa dan 70-80% amilopektin. Perbandingan amilosa dan amilopektin berpengaruh terhadap suhu gelatinisasi, viskositas pasta pati dan pencernaan α-amilase (Sang et al. 2008).
Kandungan protein sorgum dapat mencapai 11%, namun di antara tanaman sereal biji sorgum memiliki daya cerna protein terendah (Wong et al. 2009). Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor meliputi interaksi antara protein dengan polifenol, asam fitat, pati dan lemak, maupun interaksi antara senyawa penyusun protein (Duodu et al. 2003). Protein sorgum terdiri atas albumin, globulin, kafirin (prolamin), kafirin berikatan silang dan glutelin. Kafirin terkandung sekitar 70% dari protein total biji (Hamaker dan Bagusu 2003).
Dibandingkan dengan protein hewani, protein tanaman sereal umumnya mengandung lisin dalam jumlah yang rendah (Salisbury dan Ross 1992). Awal dari upaya perbaikan genetik terhadap kualitas asam amino dipicu oleh penemuan gen-gen opaque (buram) dan floury yang dilaporkan mengandung lisin dan triptofan pada endosperm biji (Salisbury dan Ross 1992). Beberapa sorgum mutan
(11)
diketahui memiliki kandungan lisin dalam jumlah yang relatif tinggi (Waniska 2000). Kandungan lisin pada endosperm biji ditandai dengan sifat lunak dan berkapur. Biji yang lunak dan berkapur umumnya rentan terhadap hama dan penyakit. Karakter tersebut juga mempersulit proses pengolahan biji sorgum lebih lanjut (Tesso et al. 2006).
Salah satu faktor yang menyebabkan sorgum belum dapat dikonsumsi secara langsung adalah karena kandungan tanin di dalam biji sorgum. Kandungan tanin menyebabkan rasa pahit sehingga tidak nyaman untuk dapat dikonsumsi baik secara langsung (beras sorgum) maupun dalam bentuk olahan dari tepung sorgum. Namun demikian, masalah tersebut dapat diatasi dengan melakukan penyosohan untuk mengikis kulit dan lapisan testa, yang memiliki kandungan tanin (Onggo et al. 2008).
Tanin (proanthocyanidin) merupakan senyawa fenol yang diperkirakan sebagai senyawa anti nutrisi, namun di sisi lain telah diketahui pula peranan tanin sebagai anti oksidan (Hahn dan Rooney 1985, Awika dan Rooney 2004, Dicko et al. 2006b). Tanin pada tanaman sorgum berfungsi melindungi biji dari jamur, serangga dan burung sebelum masa panen sehingga dapat menguntungkan secara ekonomis.
Kandungan tanin berkaitan dengan proses pencernaan di dalam tubuh, khususnya pada pencernaan pati. Semakin tinggi kandungan tanin sorgum, maka kemampuan pencernaan pati akan semakin menurun (Siller 2006). Tanin dapat berikatan dengan protein dan karbohidrat membentuk senyawa komplek tak larut yang sulit dipecahkan oleh enzim pencernaan. Tanin diduga pula dapat berikatan dengan enzim pencernaan, seperti sukrase, amilase, tripsin dan lipase sehingga menghambat aktivitas enzim tersebut (Awika dan Rooney 2004). Menurunnya kemampuan pencernaan di dalam tubuh menyebabkan rendahnya indeks glikemik sehingga sesuai bagi diet pada penderita penyakit diabetes (Siller 2006). Kandungan tanin sorgum berkisar 2-4% tergolong tinggi dan dapat menyebabkan ikatan dengan protein (Duodu et al. 2003).
Di antara tanaman sereal, sorgum mengandung senyawa fenol tertinggi yang nilainya mencapai 6%. Hampir semua kelas dalam senyawa fenolik terkandung dalam sorgum. Beberapa senyawa fenol diketahui merupakan senyawa yang
(12)
bermanfaat bagi kesehatan. Senyawa flavan-4-ol diketahui memiliki aktivitas anti tumor, senyawa procyanidin diketahui dapat menghambat perkembangan beberapa virus (termasuk virus HIV), beberapa senyawa fenolik lain diketahui mempunyai aktivitas penangkap radikal bebas sehingga berfungsi sebagai anti oksidan (Dicko et al. 2006b).
Berdasarkan analisis kimia dan genetiknya, sorgum dibagi menjadi tiga macam. Tipe I merupakan sorgum yang tidak memiliki testa berpigmen sehingga mengandung fenol dalam konsentrasi rendah dan tidak mengandung tanin. Tipe I dikontrol oleh gen b1b1B1_, B2_b2b2 dan b1b1b2b2. Tipe II dan III memiliki testa berpigmen dan mengandung tanin. Tanin sorgum tipe II (B1_B2_ss) dapat diekstrak dengan methanol yang mengandung asam (1% HCl dalam methanol), sedangkan tanin tipe III (B1_B2_S_) dapat diekstrak baik dengan methanol asam maupun methanol saja pada analisis dengan metode analisis dengan vanillin (Rooney dan Miller 1982). Tanin tipe II terletak pada vesicle dalam lapisan testa, sedangkan tanin tipe III terletak pada dinding sel testa dan beberapa terdapat pula pada pericarp (Earp et al. 2004).
Sorgum memiliki kandungan gula pada batang sehingga niranya dapat difermentasi menjadi bioetanol. Kandungan gula pada batang sorgum meliputi sukrosa dan gula invert (glukosa, fruktosa, maltosa dan xilosa) (Almodares et al. 2008). Secara teori, juice dari batang sorgum dapat dikonversi menjadi etanol dengan efisiensi 85% (Almodares dan Hadi 2009). Selain itu, kandungan gula pada biji sorgum juga dapat dikonversi menjadi bioetanol. Kandungan gula pada biji sorgum meliputi glukosa, fruktosa, sukrosa, maltosa dan rafinosa (Almodares dan Hadi 2009). Dibandingkan dengan tebu, etanol yang dihasilkan sorgum lebih bersih dan tanpa endapan (Reddy et al. 2007b).
Selain dapat difermentasi menjadi etanol, kandungan gula pada batang sorgum dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Bahkan sisa ekstraksi juice batang juga dapat digunakan sebagai pakan ternak karena kaya akan nutrisi mikro dan mineral (Reddy et al. 2007b). Daun dan batang segar sorgum sesuai pula digunakan sebagai hijauan pakan ternak, dengan potensi daun 14-16 % dari bobot batang segar. Nutrisi daun sorgum setara dengan rumput gajah dan pucuk tebu (Sirappa 2003). Biji sorgum juga dapat digunakan dalam ransum pakan ternak.
(13)
Biji sorgum dapat diberikan secara langsung pada ternak maupun diolah terlebih dahulu dengan dicampur bahan lain.
Respon Tanaman di Lahan Masam
Lahan masam umumnya ditandai dengan derajat kemasaman (pH) di bawah 5,5. Derajat kemasaman tanah mengindikasikan konsentrasi ion hidrogen (proton, H+) yang terkandung dalam tanah. Semakin rendah pH tanah, semakin besar ion hidrogen yang terkandung dalam tanah. Kemasaman tanah menyebabkan larutnya beberapa mineral yang dapat bersifat toksik bagi tanaman seperti Al, Mn dan Fe. Selain itu, umumnya lahan masam mengalami kekahatan (defisiensi) unsur hara makro dan mikro penting seperti N, P, Ca, Mg, B, Zn, Mo, Cu, K dan Na (Samac dan Tesfaye 2003; Luchi et al. 2007).
Tanah masam ditandai pula dengan kandungan bahan organik yang rendah, kapasitas tukar kation tanah yang rendah dan kejenuhan basa yang rendah hingga sedang. Kapasitas tukar kation yang rendah menyebabkan tanah kurang kuat mempertahankan hara sehingga hara mudah tercuci keluar lingkungan tanah. Kejenuhan basa menunjukkan perbandingan jumlah kation basa dengan jumlah seluruh kation yang terikat pada kation tanah. Penurunan kejenuhan basa diakibatkan menurunnya kandungan kation basa di dalam tanah, seperti Ca, Mg, K, Na, yang selanjutnya akan diganti oleh kation hidrogen dan aluminium (Nugroho 2006).
Cekaman Al merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan penurunan produktivitas tanaman di lahan masam. Al dapat dijumpai pada semua jenis tanah dalam bentuk alumino-silikat dan aluminium-oksida yang tidak larut dan tidak toksik (Vitorello et al. 2005), namun pada kondisi pH rendah Al menjadi terlarut dan berpotensi menjadi toksik bagi tanaman (Rout et al. 2001). Al terlarut membentuk senyawa Al(OH)2+, Al(OH)2+, Al(H2O)3+ dan Al(H2O)63+
pada pH di bawah 5 (Samac dan Tesfaye 2003, Kochian et al. 2005). Toksisitas Al ditandai dengan kejenuhan Al kapasitas penukar kation > 60% (Rodrigues et al. 2005).
Secara alami, Al tidak dibutuhkan oleh organisme apapun di bumi. Sistem biologis tidak dapat secara efektif menangani kation trivalen bebas yang tidak
(14)
dapat tereduksi. Al merupakan logam yang reaktif sehingga dapat berikatan dengan protein, fosfat anorganik, nukleotida, RNA, DNA, asam karboksilat, fosfolipid, flavonoid dan antosianin (Delhaize dan Ryan 1995). Paparan Al pada tanaman dapat menghambat pembelahan sel pada akar sehingga menghambat pertumbuhan akar dalam waktu 6-24 jam (Ciamporova 2002, Samac dan Tesfaye 2003). Paparan yang semakin lama akan menyebabkan terganggunya pembelahan sel (Silva et al. 2000). Toksisitas Al menjadikan akar sebagai sasaran utama, yang ditandai dengan gejala akar yang pendek dan berwarna kecoklatan, serta cabang dan rambut akar yang tereduksi. Toksisitas Al juga berpengaruh pada berkurangnya pembukaan stomata, penurunan aktivitas fotosintetik, klorosis dan nekrosis sehingga pada akhirnya dapat menurunkan total biomassa (Vitorello et al. 2005). Tingkat kerusakan akibat cekaman Al tergantung pada jenis tanaman, lingkungan tumbuh, konsentrasi Al dan lamanya paparan (Kochian et al. 2005).
Selain toksisitas logam, defisiensi fosfor (P) merupakan kendala penting pada tanah dengan pH yang rendah (Kochian et al. 2004). Ketersediaan hara P menjadi rendah karena difiksasi oleh hara-hara lain, terutama Al yang mampu berikatan membentuk Al-fosfat. Unsur P pada tanaman memiliki peranan yang sangat penting karena tidak dapat digantikan keberadaannya oleh unsur lain. Fosfor berperan dalam transfer energi yang terdapat dalam molekul ATP dan ADP. Fosfor merupakan penyusun material genetik makhluk hidup yang akan diwariskan pada generasi selanjutnya. Beberapa faktor pertumbuhan lain yang membutuhkan peranan fosfor adalah merangsang pertumbuhan akar, memperkuat batang dan percabangannya, memperbaiki pertumbuhan bunga dan produksi biji, merangsang percepatan kematangan buah, serta meningkatkan pertahanan tanaman terhadap serangan penyakit (Salisbury dan Ross 1992, Maschner 1995).
Gejala umum yang timbul pada tanaman akibat defisiensi P adalah pengurangan jumlah daun, reduksi luas permukaan daun, warna daun keunguan dan penurunan pertumbuhan akar (Kochian et al. 2004; Camacho et al. 2002). Kekurangan P juga menyebabkan penurunan laju pembentukan karbohidrat pada proses fotosintesis. Keseluruhan gejala yang ditunjukkan tanaman akibat kekurangan P adalah penurunan hasil.
(15)
Toleransi Tanaman Sorgum Terhadap Cekaman Lahan Masam
Secara umum terdapat dua mekanisme toleransi tanaman terhadap cekaman Al, yaitu mekanisme secara internal dan eksternal. Secara internal, Al dapat terakumulasi di dalam tanaman dan tanaman dapat tetap tumbuh dan berkembang, sedangkan mekanisme secara eksternal yaitu mekanisme tanaman dalam mempertahankan tidak terserapnya Al ke dalam tanaman (Kochian et al. 2004).
Mekanisme eksternal yang banyak dilaporkan adalah eksudasi anion asam organik yang dapat mengkelat Al sehingga tidak dapat masuk pada tudung akar. Asam-asam organik yang dapat mengkelat Al tersebut antara lain asam malat, asam oksalat dan asam sitrat (Ma et al. 2001). Studi fisiologi pada genotipe toleran Al menunjukkan bahwa mekanisme sekresi asam organik diinduksi oleh paparan Al. Asam organik pada sitoplasma pada pH 7 akan mengalami deprotonisasi menjadi anion akibat induksi Al, yang selanjutnya akan melepaskan anion asam organik. Mekanisme lain pada eksklusi Al adalah melalui sekresi protein (Basu et al. 1999), permeabilitas selektif membran plasma sebagai penghalang bagi Al untuk masuk ke dalam sitoplasma sel (Archambault et al. 1997) dan induksi pH di rizosfer atau apoplas akar (Luchi et al. 2007). Pada sorgum dijumpai peningkatan sekresi asam sitrat sebagai respon terhadap cekaman lahan masam (Magalhaes et al. 2004)
Mekanisme toleransi secara internal masih belum banyak dipelajari. Tanaman sensitif maupun toleran dapat mengakumulasi Al pada tanah masam. Tanaman mengakumulasi Al dengan membentuk ikatan dengan ligan organik seperti katekin, asam-asam fenolik dan asam organik pada sel tertentu, seperti sel epidermis daun (Samac dan Tesfaye 2003). Pada tanaman jagung ditemukan akumulasi Al pada vakuola sel akar (Vasques et al. 1999).
Pola pewarisan sifat dan genetik dari toleransi terhadap Al banyak dipelajari pada tanaman sereal (Vitorello et al. 2005). Dari beberapa studi diketahui bahwa gen yang mengendalikan sifat pada gandum, sorgum dan rye dikendalikan oleh satu atau beberapa gen. Sementara studi pada jagung dan padi menemukan bahwa gen pengendali toleransi Al merupakan multigenik dan kuantitatif (Kochian et al. 2004). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat keragaman yang tinggi pada sifat toleransi terhadap cekaman Al pada
(16)
beberapa spesies tanaman yang memungkinkan pemulia tanaman untuk memperoleh tanaman toleran Al. Sebagai contoh, pada tanaman gandum diperoleh genotipe toleran Al yang bervariasi dengan perbedaan tingkat toleransi hingga 10 kali lipat (Delhaize dan Ryan 1995).
Beberapa gen telah berhasil diidentifikasi dari beberapa spesies, seperti gandum, jagung, sorgum, rye, padi, barley dan Arabidopsis yang diketahui berkontribusi terhadap toleransi dan resistensi terhadap cekaman Al dan beberapa kandidat gen telah berhasil diidentifikasi (Ryan et al. 2010). Pada tanaman sorgum telah ditemukan gen yang berhubungan dengan toleransi Al yaitu gen SbMATE (Magalhaes et al. 2007) yang merupakan gen family MATE (multidrug and toxic compound exudation) dan merupakan gen yang berkaitan dengan eksudasi asam sitrat pada tanaman sorgum. Telah berhasil pula dipetakan gen pengkode toleransi Al pada sorgum, yaitu AltSB yang terletak pada bagian terminal
kromosom 3 (Magalhaes et al. 2004). Diketahui pula bahwa gen tersebut merupakan gen mayor yang mengendalikan 80% keragaman fenotipe terhadap toleransi Al pada sorgum.
Arah Pemuliaan Tanaman Sorgum
Salah satu tujuan pemuliaan tanaman sorgum diarahkan kepada perolehan varietas sorgum yang sesuai untuk pangan berkaitan dengan program diversifikasi pangan di Indonesia. Sorgum berpotensi untuk dapat memenuhi persyaratan gizi sebagai salah satu alternatif bahan pangan sehingga dapat berperan dalam perbaikan gizi masyarakat. Program pemuliaan berupaya melakukan perbaikan baik dari produktivitas maupun kualitas terhadap plasma nutfah sorgum. Penentuan ideotype tanaman dalam pemuliaan sangat diperlukan untuk meningkatkan potensi genetik karakter yang diinginkan dengan memodifikasi karakter tersebut secara spesifik (Roy 2000).
Secara umum tanaman sorgum untuk pangan yang diinginkan adalah tanaman sorgum yang memiliki karakter (1) produktivitas tinggi, (2) stabilitas produksi pada kondisi lingkungan yang bervariasi, (3) berstruktur pendek sehingga mempermudah proses panen, (4) berumur genjah, (5) tahan terhadap cekaman abiotik, seperti tahan kekeringan, toleran terhadap aluminium, tidak
(17)
sensitif terhadap fotoperiodik, (6) tahan terhadap hama dan penyakit, serta (7) kualitas biji yang baik, seperti kandungan nutrisi pada endosperm dan kandungan tanin yang rendah (Acquaah 2007).
Selain ditujukan sebagai sumber pangan pokok alternatif, sorgum merupakan salah satu tanaman yang potensial dikembangkan sebagai sumber energi terbarukan (biofuel). Di beberapa negara, pemuliaan sorgum lebih ditujukan kepada perolehan sorgum sebagai bahan baku bioetanol. Saat ini produsen bioetanol masih didominasi oleh Amerika Serikat, Cina, Afrika Selatan dan India (Dirjen Tanaman Pangan 2007). Bahan baku bioetanol memanfaatkan nira batang sorgum dan hasil fermentasi pati biji sorgum. Oleh karenanya arah pemuliaan sorgum untuk produksi bioetanol ditujukan kepada perbaikan karakter yang berkaitan dengan batang dan biji.
Di beberapa negara digunakan varietas hibrida untuk menghasilkan sorgum yang unggul pada karakter yang berkaitan dengan produksi bioetanol, seperti tinggi tanaman, lingkar batang, total padatan terlarut, batang yang dapat diperas dan produksi nira. Karakter-karakter tersebut diketahui memiliki keragaman yang cukup tinggi sehingga berpotensi untuk dilakukan perbaikan genetik untuk menghasilkan produksi batang sorgum manis yang tinggi. Telah diketahui pula bahwa karakter tersebut dikendalikan oleh aksi gen non aditif yang menunjukkan pentingnya pemuliaan melalui persilangan (hibrida) untuk memunculkan heterosis (Reddy et al. 2005).
Sorgum juga dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak, baik dalam bentuk ransum pakan maupun hijauannya. Ransum pakan ternak bersifat suplemen dengan mencampur biji sorgum dengan jagung. Sebagai pakan hijauan dapat diperoleh sekitar 3 ton/ha bobot segar (Sirappa 2003). Kandungan lemak pada hijauan relatif tinggi sehingga berpotensi untuk meningkatkan bobot ternak.
Program pemuliaan sorgum untuk pakan ditujukan kepada perbaikan karakter yang berhubungan dengan hijauan (daun dan biomasa) serta biji. Tanaman sorgum memiliki efisiensi fotosintesis yang tinggi dengan efisiensi fotosintesis maksimum pada beberapa jam tertentu dalam siklus harian mencapai 27% (Grassi 2005). Efisiensi fotosintesis ini berpengaruh pada peningkatan
(18)
produksi biomasa. Selain itu karakter stay green yang dimiliki sorgum berpotensi diperolehnya hijauan yang memadai walaupun pada saat panen biji.
Sorgum bukanlah tanaman asli Indonesia sehingga budidaya, penelitian dan pengembangan tanaman sorgum masih terbatas (Human 2007). Salah satu penyebab keterbatasan tersebut adalah tidak tersedianya varietas unggul. Hal ini juga menyebabkan keragaman genetik sorgum terbatas. Pemuliaan tanaman sorgum untuk meningkatkan keragaman genetik dapat dilakukan melalui introduksi, hibridisasi, mutasi, bioteknologi, maupun kombinasi di antara metode-metode tersebut.
Saat ini Indonesia telah memiliki beberapa varietas unggul yang merupakan hasil introduksi dari ICRISAT (International Crop Research Institut for Semi-Arid Tropics), India, Filipina dan Cina. Varietas hasil introduksi tersebut adalah UPCA S1, Keris, Mandau, Higari, Numbu, Kawali, Badik, Gadam dan Sangkur (Dirjen Bina Produksi Tanaman Pangan 2003). Belum lama bearselang juga telah dilepas varietas hasil mutasi yang diberi nama Pahat (BATAN 2011). Dengan beberapa varietas yang telah ada tersebut diharapkan peningkatan keragaman untuk perbaikan karakter tanaman sorgum semakin berkembang.
Secara umum pemuliaan tanaman menyerbuk sendiri seperti sorgum diarahkan pada pembentukan galur murni (Chahal dan Gosal 2003). Pembentukan galur murni pada tanaman menyerbuk sendiri memiliki dasar genetik yaitu selfing (penyerbukan sendiri) pada tanaman homozigot akan menghasilkan genotipe homozigot, sedangkan selfing pada tanaman heterozigot akan menghasilkan segregasi yang akan meningkatkan proporsi genotipe homozigot dan menurunkan proporsi heterozigot. Hasil selfing sampai generasi lanjut akan menyebabkan terkumpulnya gen-gen aditif yang homozigot dan menurunkan aksi gen epistasis (Roy 2000).
Teknik persilangan buatan (hibridisasi) pada sorgum dapat menyebabkan terjadinya kombinasi alela-alela yang dapat meningkatkan keragaman genetik. Penentuan tetua merupakan tahap yang sangat penting karena akan menentukan keberhasilan dari tujuan perolehan karakter yang diinginkan. Tetua yang digunakan harus membawa karakter unggul yang diinginkan serta memiliki
(19)
adaptasi yang baik (Syukur et al. 2005). Jarak kekerabatan tetua yang jauh dapat menghasilkan keragaman genetik yang tinggi pada turunannya (Allard 1960).
Jika keragaman yang dikehendaki tidak tersedia dalam koleksi plasma nutfah, maka keragaman dapat diupayakan melalui mutasi induksi. Mutasi induksi merupakan perubahan materi genetik yang terjadi secara spontan dan bersifat permanen akibat perlakuan radiasi atau bahan kimia (Aisyah 2006). Peningkatan keragaman lain yang dapat dilakukan adalah melalui bioteknologi, antara lain dengan cara manipulasi kromosom pada gen dan sitoplasma, maupun transformasi genetik.
Seleksi dan Parameter Genetik
Seleksi merupakan salah satu kegiatan utama dalam pemuliaan tanaman. Seleksi adalah prosedur memilih sejumlah individu dari suatu populasi dan membiarkannya membentuk generasi baru. Pada dasarnya, seleksi merupakan salah satu upaya merubah frekuensi gen dengan mengambil yang diinginkan dan membuang yang tidak diinginkan (Falconer dan Mackay 1996). Kegiatan seleksi tidak menciptakan keragaman baru, tetapi bertindak atas keragaman yang ada (Allard 1960). Seleksi akan efektif jika sifat yang dikehendaki dapat diwariskan. Efisensi seleksi sangat ditentukan oleh karakter seleksi yang digunakan sehingga sebelum melakukan seleksi perlu terlebih dahulu ditentukan kriteria seleksi (Roy 2000, Chahal dan Gosal 2003). Seleksi dapat dilakukan berdasarkan satu karakter (seleksi tandem) atau berdasarkan beberapa karakter (seleksi indeks dan independent culling level) (Roy 2000).
Seleksi pada tanaman menyerbuk sendiri dapat dibagi menjadi beberapa metode, yaitu seleksi massa, seleksi galur murni, seleksi silsilah (pedigree), seleksi bulk dan seleksi turunan biji tunggal (single seed descent, SSD) (Syukur et al. 2009). Metode pedigree biasanya dipakai untuk seleksi pada karakter kualitatif atau karakter kuantitatif yang memiliki heritabilitas yang tinggi dan biasanya dlakukan pada generasi awal. Metode bulk dan SSD umum dipakai untuk seleksi terhadap karakter kuantitatif atau karakter yang memiliki heritabilitas rendah sampai sedang. Seleksi pada dua metode ini dilakukan pada generasi lanjut. (Roy 2000, Chahal dan Gosal 2003).
(20)
Tujuan dari metode pedigree adalah untuk mendapatkan varietas baru dengan mengkombinasikan gen-gen yang diinginkan. Seleksi metode pedigree mulai dilakukan pada generasi F2 secara individu tanaman karena pada generasi tersebut terjadi segregasi alel yang maksimum. Pada generasi selanjutnya dilakukan seleksi individu terbaik dari galur-galur yang ada, hingga akhirnya dilakukan seleksi galur untuk dikembangkan lebih lanjut. Menurut Fehr (1987) dalam Asadi (2004), seleksi pedigree memiliki keunggulan yaitu 1) seleksi lebih efektif karena sejak generasi awal genotipe yang tidak diinginkan sudah dibuang, (2) pengamatan karakter genetik setiap galur dapat dilakukan semenjak awal seleksi, sehingga akan memaksimumkan keragaman genetik di antara galur-galur selama seleksi. Di sisi lain kerugian seleksi pedigree adalah (1) seleksi tidak bisa digunakan pada lingkungan tertentu bila keragaman genetik untuk karakter-karater yang diinginkan tidak terekspresi, (2) perlu ketelitian dalam pencatatan karena jumlahnya yang banyak, (3) memerlukan keterampilan dalam menseleksi sifat-sifat yang diinginkan, dan (4) memerlukan lebih banyak tenaga kerja dibanding metode seleksi lainnya.
Faktor yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan seleksi adalah keragaman genetik dan heritabilitas. Efektivitas seleksi untuk memperoleh genotipe unggul ditentukan oleh keragaman genetik pada suatu populasi dan seberapa besar sifat unggul yang diinginkan dapat diturunkan pada generasi selanjutnya (Poehlman dan Sleper 1996). Keragaman suatu populasi dapat dilihat dari keragaman fenotipe dan keragaman genotipenya. Keragaman fenotipe merupakan keragaman yang dapat diukur atau dilihat langsung pada karakter yang diamati. Keragaman genotipe tidak dapat dilihat atau diukur secara langsung, melainkan dapat diduga melalui analisis ragam. Suatu populasi yang memiliki keragaman fenotipe yang luas belum tentu memiliki keragaman genotipe yang luas karena dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan (Roy 2000).
Nilai heritabilitas menunjukkan besarnya proporsi ragam genetik suatu karakter terhadap ragam fenotipenya (Allard 1960). Heritabilitas merupakan salah satu parameter genetik yang digunakan untuk menduga kemajuan dalam perbaikan suatu karakter tanaman. Heritabilitas dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu heritabilitas arti luas dan heritabilitas arti sempit (Syukur et al.
(21)
2009). Heritabilitas arti luas merupakan hubungan total ragam genetik dengan lingkungan. Sedangkan heritabilitas arti sempit hanya mempertimbangkan keragaman yang disebabkan oleh peranan gen aditif sebagai bagian dari keragaman genetik total. Secara umum, heritabilitas arti sempit mendapat perhatian khusus karena pewarisan sifat dari tetua kepada keturunannya merupakan pengaruh aditif dari gen sehingga fenotipe tidak tergantung dari adanya interaksi antar alel.
Nilai duga heritabilitas memiliki beberapa kegunaan, di antaranya adalah untuk mengetahui respon karakter yang diinginkan terhadap tekanan seleksi dan untuk mengetahui prediksi respon seleksi. Semakin tinggi nilai heritabilitas, makin tinggi pula respon seleksi yang menunjukkan semakin efektifnya seleksi. Heritabilitas berfungsi untuk menentukan besarnya populasi yang dibutuhkan agar dapat dilakukan suatu seleksi dan menentukan alternatif variasi jenis seleksi (Roy 2000). Heritabilitas suatu karakter nilainya tidak konstan karena banyak faktor yang dapat mempengaruhi nilai heritabilitas, yaitu: populasi yang digunakan, metode estimasi, adanya pautan gen, pelaksanaan percobaan, generasi populasi yang diuji, kondisi lingkungan dan lain-lain.
Banyak metode yang dapat digunakan untuk menduga nilai heritabilitas dan komponen ragam. Heritabilitas dapat diduga dengan menggunakan perhitungan ragam turunan, dengan regresi parent-offspring, perhitungan komponen ragam dari analisis ragam dan dengan rancangan hibridisasi (Syukur et al. 2009). Nilai heritabilitas tergolong rendah jika kurang dari 20%, cukup tinggi jika 20-50% dan tinggi jika lebih dari 50% (Stanfield 1983). Namun demikian, nilai-nilai tersebut sangat tergantung dari metode dan populasi yang digunakan (Syukur et al. 2009).
Seleksi yang dilakukan terhadap suatu populasi tanaman diharapkan dapat menghasilkan keturunan yang lebih baik. Seleksi diharapkan dapat menghasilkan kemajuan genetik. Secara konsep kemajuan genetik didasarkan pada perubahan dalam rata-rata penampilan yang dicapai suatu populasi dalam setiap siklus seleksi (Baihaki 2000).
Pendugaan kemajuan seleksi akan sangat bergantung pada heritabilitas, intensitas seleksi dan simpangan baku fenotipe populasi yang diseleksi. Jika heritabilitasnya besar maka kemajuan seleksi yang akan diperoleh akan semakin
(22)
baik. Intensitas seleksi merupakan ukuran pembakuan terhadap diferensial seleksi sehingga dapat digunakan untuk membandingkan kekuatan seleksi terhadap dua macam karakter atau lebih yang berbeda satuan pengukurannya. Intensitas seleksi dipengaruhi oleh keragaman genetik dan jumlah individu keturunan. Seleksi pada populasi dengan keragaman tinggi cenderung memerlukan intensitas seleksi lebih rendah dibandingkan pada populasi dengan keragaman rendah. Semakin kecil proporsi individu terseleksi maka semakin tinggi intensitas seleksinya.
(23)
Penelitian ini dibagi menjadi tiga percobaan, yaitu (1) Pendugaan parameter genetik karakter agronomi sorgum di lahan masam, (2) Pendugaan parameter genetik karakter agronomi dan kualitas galur-galur mutan sorgum toleran lahan masam, serta (3) Uji daya hasil pendahuluan galur-galur toleran lahan masam. Lahan yang digunakan untuk percobaan merupakan lahan kering masam dengan pH tanah 4,8 – 5.4 (masam) dengan Al-dd 2.43 me/100 g dan kejenuhan Al 28% (Tabel Lampiran 1).
I. Pendugaan Parameter Genetik Karakter Agronomi Sorgum di Lahan Masam
Tujuan pada percobaan ini adalah mendapatkan informasi tentang parameter genetik karakter agronomi sorgum di lahan masam. Selain itu, percobaan ini juga bertujuan untuk memperoleh individu sorgum berpotensi hasil baik melalui seleksi.
Bahan Tanaman
Bahan tanaman yang digunakan pada percobaan ini adalah 760 tanaman sorgum generasi F4 hasil persilangan antara tetua UPCA S1 (tetua peka lahan masam) dengan Numbu (tetua toleran lahan masam). Bahan tanaman merupakan genotipe-genotipe yang merupakan hasil seleksi 10% terbaik berdasarkan karakter bobot biji/tanaman populasi F3 yang ditanam dalam lingkungan optimal.
Waktu dan Tempat
Percobaan dilaksanakan pada bulan Agustus – November 2010 di Kebun UPT (Unit Pelaksana Teknis) Teknologi Pengolahan Lahan Kering Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor di Tenjo.
(24)
Metode Pelaksanaan
Percobaan dilaksanakan dengan melakukan penanaman dalam baris (head to row). Masing-masing genotipe ditanam dalam satu baris dengan jarak dalam baris sebesar 15 cm dan antar baris sebesar 70 cm. Benih ditanam sebanyak dua benih per lubang dan disisakan hanya satu tanaman per lubang pada saat tanaman berumur 3 minggu. Pupuk yang diberikan adalah Urea, SP-18 dan KCl dengan dosis masing-masing sebesar 150 kg/ha, 200 kg/ha dan 100 kg/ha. Pupuk urea diberikan dua kali, yaitu 2/3 diaplikasikan pada saat tanam dan 1/3 sisanya diaplikasikan setelah tanaman berumur tujuh minggu. Pengendalian hama dan penyakit dimulai sejak saat tanam dengan memberikan karbofuran 3G ke dalam lubang tanam dan selanjutnya dilakukan sesuai dengan kebutuhan tanaman. Metode seleksi yang digunakan adalah metode pedigree, dimana seleksi dilakukan dengan cara memilih individu-individu terbaik.
Pengamatan
Pengamatan dilakukan pada saat panen diambil 10 tanaman contoh pada tiap baris terhadap beberapa karakter, yaitu :
1. Tinggi tanaman (cm), diukur pada batang utama mulai dari permukaan tanah sampai ujung malai.
2. Diameter batang (cm), diukur pada batang utama.
3. Bobot batang (gram), yaitu bobot total batang segar pada batang utama dan batang sekunder tanpa malai dan akar.
4. Bobot total biomasa (gram), yaitu bobot total tanaman segar yang terdiri atas akar, batang, daun dan malai yang masih terdapat biji.
5. Panjang malai (cm), diukur mulai dari pangkal hingga ujung malai.
6. Bobot biji per tanaman (gram), yaitu bobot seluruh biji yang terdapat pada setiap malai tanaman yang terdapat pada batang utama dan percabangan.
7. Indeks panen, yaitu perbandingan antara berat biji per malai dengan berat total biomasa per tanaman.
8. Kadar nira (%), yaitu persentase kandungan gula pada air perasan (juice) batang yang diukur dengan menggunakan refraktometer.
(25)
Pengolahan Data
1. Pendugaan ragam, heritabilitas dan koefisien keragaman genetik
Pendugaan komponen ragam terdiri atas ragam lingkungan, ragam genetik dan ragam fenotipe yang diperoleh berdasarkan (Baihaki 2000):
Ragam lingkungan ( ) = , dimana P1=tetua 1, P2=tetua 2 Ragam fenotipe ( = ∑
Ragam genetik =
Pendugaan heritabilitas merupakan proporsi antara ragam genetik dengan ragam fenotipe yang dihitung berdasarkan rumus (Singh dan Chaudary 1979):
Keterangan: = heritabilitas arti luas, = ragam genetik, = ragam fenotipe Kriteria nilai heritabilitas (Stanfield 1983):
Tinggi (h2 > 0,5); sedang (0,2 ≤ h2≤ 0,5); rendah (h2 < 0,2).
Koefisien keragaman genetik (KKG) digunakan untuk menduga luas atau tidaknya keragaman genetik yang dimiliki masing-masing karakter yang dihitung berdasarkan (Knight 1979):
%
Keterangan: = ragam genetik dan = rata-rata populasi Kriteria: Sempit (0-10%), sedang (10-20%) dan luas (> 20%). 2. Korelasi
Analisis korelasi digunakan untuk mengetahui karakter yang berkaitan dengan karakter utama, yaitu untuk memperbaiki respon ikutan dalam penerapan seleksi tak langsung. Analisis korelasi dihitung berdasarkan (Gaspersz 1992):
∑ ∑ ∑
(26)
Keterangan :
= korelasi variabel X dan Y; n = jumlah objek pengamatan; x = nilai variabel X; dan y = nilai variabel Y
3. Analisis Lintasan (path analysis)
Analisis lintasan merupakan analisis regresi linier terstruktur yang membahas hubungan kausal antara variabel-variabel baku dalam sistem yang tertutup. Melalui analisis ini dapat diketahui kontribusi berupa pengaruh langsung dan tidak langsung antara variabel bebas terhadap variabel respon. Analisis lintasan dapat digunakan untuk mengatasi adanya kolinearitas, yaitu interaksi antara komponen hasil yang sering terjadi pada analisis korelasi. Dalam analisis lintasan selalu diikuti dengan diagram lintasan yang bertujuan memperjelas uraian yang dikemukakan. Rumus analisis lintasan berdasarkan persamaan simultan (Gasperz 1992) adalah sebagai berikut:
r r … . . r r r … . . r r r … . . r
C C C =
r r r R . C = R Keterangan:
Rx = matriks korelasi antar variabel bebas dalam model regresi berganda yang memiliki p buah variabel bebas sehingga merupakan matriks dengan elemen-elemen (I, j = 1, 2, …, p)
C = vektor koefisien lintasan yang menunjukkan pengaruh langsung dari
setiap variabel bebas yang telah dibakukan
Ry = vektor koefisien korelasi antara variabel bebas Xi (i = 1, 2, …, p) dan
variabel tak bebas Y.
4. Diferensial Seleksi
Seleksi dilakukan dengan memilih sebanyak 10% genotipe terbaik. Penghitungan diferensial seleksi dilakukan dengan perhitungan yang terdiri atas; Rataan awal = nilai rataan seluruh populasi F4
(27)
Diferensial seleksi (%) = rataan tanaman terseleksi rataan awal
rataan awal x %
II.Pendugaan Parameter Genetik Karakter Agronomi dan Kualitas Galur-Galur Mutan Sorgum Toleran Lahan Masam.
Percobaan kedua bertujuan untuk memperoleh informasi nilai parameter genetik karakter agronomi dan karakter kualitas biji galur-galur mutan sorgum di lahan masam.
Bahan Tanaman
Bahan tanaman yang digunakan pada percobaan ini adalah genotipe sorgum generasi M9 dan varietas nasional, yang terdiri atas 7 genotipe toleran lahan masam, yaitu : Kawali, Mandau, Numbu, GH-ZB41-07, ZH30-29-07, B-76 dan B-92; dan 3 genotipe moderat lahan masam, yaitu : Higari-G, BR-ZH30-07-07 dan Patir-cty 33.
Waktu dan Tempat
Percobaan dilaksanakan pada Februari – Juni 2011. Percobaan dilakukan di Kebun UPT Teknologi Pengolahan Lahan Kering Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor, Laboratorium Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB dan Laboratorium Pemuliaan Tanaman PATIR-BATAN (Pusat Aplikasi Teknologi dan Radiasi – Badan Tenaga Nuklir Nasional).
Metode Rancangan Percobaan
Percobaan dilakukan dengan menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak dengan 10 genotipe sebagai perlakuan.
Pelaksanaan
Percobaan dilaksanakan dengan melakukan penanaman dalam baris (head to row). Masing-masing genotipe ditanam dalam satu baris dengan jarak dalam baris sebesar 15 cm dan antar baris sebesar 70 cm. Benih ditanam sebanyak dua benih
(28)
per lubang dan disisakan hanya satu tanaman per lubang pada saat tanaman berumur 3 minggu. Pupuk yang diberikan adalah Urea, SP-18 dan KCl dengan dosis masing-masing sebesar 150 kg/ha, 200 kg/ha dan 100 kg/ha. Pupuk urea diberikan dua kali, yaitu 2/3 diaplikasikan pada saat tanam dan 1/3 sisanya diaplikasikan setelah tanaman berumur tujuh minggu. Pengendalian hama dan penyakit dimulai sejak saat tanam dengan memberikan karbofuran 3G ke dalam lubang tanam dan selanjutnya dilakukan sesuai dengan kebutuhan tanaman.
Analisis kualitas biji sorgum akan meliputi beberapa pengujian, yaitu penentuan kadar pati, lemak, protein dan tanin. Metode masing-masing pengujian adalah :
1. Kadar amilosa (Juliano 1971)
100 mg tepung sorgum dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml kemudian diberi 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N. Larutan dibiarkan selama 23 jam pada suhu kamar atau dipanaskan dalam penangas air bersuhu 100 oC selama 10 menit dan didinginkan selama 1 jam. Larutan kemudian diencerkan dengan air akuades menjadi 100 ml. 5 ml larutan tersebut dipipet dan dimasukkan ke dalam labi ukur 100 ml yang telah berisi air 60 ml. Kemudian ke dalam larutan ditambahkan 1 ml asam asetat 1 N dan 2 ml I2 2% serta diencerkan sampai
volume 100 ml. Larutan dikocok dan didiamkan selama 20 menit, kemudian diukur absorbannya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 620 nm.
Kurva standar amilosa dibuat dengan menghubungkan antara absorban dengan konsentrasi amilosa. 40 mg tepung kentang dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml kemudian ditambahkan 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N. Larutan dibiarkan selama 23 jam pada suhu kamar atau dipanaskan dalam penangas air bersuhu 100 oC selama 10 menit dan didinginkan selama 1 jam. Larutan kemudian diencerkan dengan air akuades menjadi 100 ml. Selanjutnya sebanyak 0,5 ml; 1 ml; 1,5 ml; 2 ml; 3 ml dan 4 ml larutan dipipet dan dimasukkan ke dalam 6 buah labu ukur 100 ml dan masing-masing ditambahkan 1 ml asam asetat dan 2 ml I2 2% serta diencerkan dengan akuades
hingga volume 100 ml. Selanjutnya dilakukan pengukuran absorbansi terhadap masing-masing larutan pada panjang gelombang 620 nm.
(29)
Kadar amilosa dihitung dengan rumus :
% %
Keterangan:
Fk : faktor koreksi, dimana
A : Absorbansi
ka : kadar air
2. Kadar protein, dilakukan dengan metode Kjeldahl (BSN 1992)
Penentuan kadar nitrogen dalam protein pada analisis ini melalui tiga tahapan analisis kimia, yaitu destruksi, destilasi dan titrasi. Destruksi yaitu dengan menghancurkan bahan menjadi komponen sederhana, sehingga nitrogen dalam bahan terurai dari ikatan organiknya. Destilasi yaitu pemisahan larutan berdasarkan perbedaan titik didih, dimana dalam larutan hasil destruksi NH4OH bila dipanaskan akan berubah menjadi gas NH3 dan air, yang
kemudian dikondensasi dan ditangkap oleh larutan asam borat 5% membentuk (NH4)3BO3. Sedangkan proses akhir titrasi destilat (NH4)3BO3 dengan HCl
akan menentukan kadar nitrogen dalam sampel.
0,51 g sampel ditimbang dengan seksama dan dimasukkan ke dalam labu kjeldahl 100 ml. Ke dalam sampel ditambahkan 2 g campuran selen dan 25 ml H2SO4 pekat. Campuran tersebut dipanaskan di atas pemanas listrik atau api
pembakar sampai mendidih dan larutan menjadi jernih kehijauan (sekitar 2 jam). Selanjutnya larutan tersebut dibiarkan dingin, kemudian diencerkan dan dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml (tepat sampai tanda garis). Larutan tersebut dipipet 5 ml dan dimasukkan ke dalam alat penyuling dan ditambahkan 5 ml NaOH 30% dan beberapa tetes indikator PP. Selanjutnya dilakukan penyulingan selama ± 10 menit, sebagai penampung digunakan 10 ml larutan asam borat 2% yang telah dicampur indikator. Larutan hasil penyulingan dititrasi dengan HCl 0,01 M dengan penetapan blanko. Kadar protein dihitung berdasarkan :
(30)
, 4 Dimana : w = bobot sampel
V1 = volume HCl yang dipergunakan pada penitaran sampel
V2 = volume yang digunakan pada penitaran blanko
N = konsentrasi HCl
fk = faktor konversi untuk protein makanan secara umum (6,25) fp = faktor pengenceran
3. Kadar tanin (Price et al. 1978 yang dimodifikasi).
Sebanyak 500 mg sampel ditambahkan 5 mL metanol dan dikocok dengan disperser dengan kecepatan 5000 rpm selama 3 menit. Ekstraksi dilakukan pada hari yang sama dengan penggilingan untuk menghindari oksidasi tanin. Sentrifugasi dilakukan dengan kecepatan 4500 rpm selama 10 menit. Setiap sampel dikerjakan secara duplo. Supernatan yang dihasilkan dipisahkan dan dibiarkan selama 10 menit pada suhu 20 oC dalam penangas air. Pereaksi vanilin dibuat dengan mencampurkan vanilin 1% dalam metanol dan HCl 8% dalam metanol dengan perbandingan volume yang sama. Pereaksi vanilin harus tersedia segar dan dibiarkan bersama-sama supernatan pada penangas air bersuhu 30 oC. Sebanyak 1 ml supernatan dipipet ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 5 ml pereaksi vanilin, dibiarkan bereaksi dengan suhu 30 oC selama 30 menit. Blanko dibuat dengan menambahkan 4 ml HCl 4% dalam metanol ke dalam 1 ml supernatan. Absorbansi sampel dan blanko diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 500 nm. Selisih keduanya adalah absorbansi tanin. Kadar tanin sampel diukur dengan menggunakan kurva standar D-katekin dengan cara mereaksikan larutan katekin standar dengan peraksi vanilin menggunakan prosedur seperti di atas. Kadar tanin sampel dihitung dalam mg katekin/100 mg bobot kering sampel.
Pengamatan
Pengamatan dilakukan meliputi pengamatan karakter agronomi dan karakter kualitas biji. Pengamatan terhadap karakter agronomi dilakukan pada saat panen diambil 10 tanaman contoh pada tiap baris terhadap beberapa karakter, yaitu :
(31)
1. Tinggi tanaman (cm).
2. Jumlah daun, dihitung setiap daun yang terdapat pada batang utama. 3. Diameter batang (cm).
4. Bobot batang (gram). 5. Bobot total biomasa (gram). 6. Panjang malai (cm).
7. Bobot biji/tanaman (gram).
8. Bobot 100 biji (gram), yaitu bobot dari 100 biji yang diperoleh dari satu malai per tanaman.
9. Warna biji, dilakukan skor terhadap warna biji berdasarkan deskriptor sorgum (IBPGR dan ICRISAT 1993), yaitu: 1= putih, 2= kuning, 3= merah, 4= coklat, 5= buff dan 6= warna lain.
10. Indeks panen. 11. Kadar nira (%).
Pengamatan terhadap karakter kualitas biji meliputi kadar amilosa dan amilopektin (%), kadar protein (%) dan kadar tanin (mg katekin/100 mg).
Pengolahan Data 1. Sidik Ragam
Sidik ragam (analisis ragam) digunakan untuk melihat keragaman yang ada pada suatu populasi. Pada percobaan yang menjadi sumber keragaman adalah perlakuan, genotipe, kontrol, interaksi genotipe dan kontrol serta galat percobaan. Tabel 1. Sidik ragam karakter dengan rancangan acak kelompok
Sumber keragaman Derajat Bebas Kuadrat tengah Kuadrat tengah dugaan
Blok r-1 KTr
Genotipe g-1 KTg σ2e + rσ2g
Galat (r-1)(g-1) KTe σ2e
Sumber: Baihaki 2000
2. Pendugaan ragam, heritabilitas dan koefisien keragaman genetik
Pendugaan komponen ragam terdiri atas ragam lingkungan, ragam genetik dan ragam fenotipe yang diperoleh berdasarkan sidik ragam, yaitu:
(32)
Ragam genetik = KT KT
Ragam fenotipe ( = +
Pendugaan heritabilitas merupakan proporsi antara ragam genetik dengan ragam fenotipe yang dihitung berdasarkan rumus (Singh dan Chaudary 1979):
Keterangan: = heritabilitas arti luas, = ragam genetik, = ragam fenotipe Kriteria nilai heritabilitas (Stanfield 1983):
Tinggi (h2 > 0,5); sedang (0,2 ≤ h2≤ 0,5); rendah (h2 < 0,2).
Koefisien keragaman genetik (KKG) digunakan untuk menduga luas atau tidaknya keragaman genetik yang dimiliki masing-masing karakter yang dihitung berdasarkan rumus Anderson dan Brancroft (1952) dalam Wahdah et al. (1996):
Keterangan: = ragam genetik, r = ulangan percobaan, KTg = kuadrat tengah genotipe, KTe = kuadrat tengah galat, dbg = derajat bebas genotipe, dbe = derajat bebas galat
Kriteria: Sempit ( < 2 ) dan luas ( > 2 ). 3. Korelasi
Analisis korelasi dilakukan seperti pada percobaan 1.
4. Analisis Lintasan (path analysis)
Analisis lintasan dilakukan seperti pada percobaan 1.
III. Seleksi Daya Hasil dan Kualitas Galur-Galur Sorgum di Lahan Masam
Tujuan dari percobaan ini adalah mendapatkan informasi potensi daya hasil galur-galur sorgum yang telah diseleksi pada cekaman lahan masam dan mengidentifikasi galur-galur yang memiliki kualitas biji baik.
(33)
Bahan Tanaman
Bahan tanaman yang digunakan adalah benih sorgum generasi F5 yang berasal dari 76 tanaman hasil percobaan 1. Masing-masing galur merupakan benih terpilih pada seleksi terhadap 10% terbaik berdasarkan karakter bobot biji/tanaman dan bobot biomasa populasi F4.
Waktu dan Tempat
Percobaan dilaksanakan pada Februari – Mei 2011 di Kebun UPT (Unit Pelaksana Teknis) Teknologi Pengolahan Lahan Kering Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor di Tenjo.
Metode Rancangan Percobaan
Percobaan dilakukan dengan menggunakan rancangan acak lengkap dan Augmented Design sebagai rancangan perlakuan. Perlakuan yang digunakan adalah genotipe yang terdiri atas enam varietas sebagai kontrol, yaitu Kawali, Numbu, UPCA S1, Mandau, Higari 6 dan B-76, serta 76 galur F5 sebagai perlakuan.
Pelaksanaan
Percobaan dilaksanakan dengan melakukan penanaman dalam baris (head to row). Masing-masing genotipe ditanam dalam satu baris dengan jarak dalam baris sebesar 15 cm dan antar baris sebesar 70 cm. Benih ditanam sebanyak dua benih per lubang dan disisakan hanya satu tanaman per lubang pada saat tanaman berumur 3 minggu. Pupuk yang diberikan adalah Urea, SP-18 dan KCl dengan dosis masing-masing sebesar 150 kg/ha, 200 kg/ha dan 100 kg/ha. Pupuk urea diberikan dua kali, yaitu 2/3 diaplikasikan pada saat tanam dan 1/3 sisanya diaplikasikan setelah tanaman berumur tujuh minggu. Pengendalian hama dan penyakit dimulai sejak saat tanam dengan memberikan karbofuran 3G ke dalam lubang tanam dan selanjutnya dilakukan sesuai dengan kebutuhan tanaman.
(34)
Pengamatan
Pengamatan dilakukan pada saat panen diambil 10 tanaman contoh pada tiap baris terhadap beberapa karakter, yaitu :
1. Tinggi tanaman (cm). 2. Jumlah daun.
3. Diameter batang (cm) 4. Bobot batang (gram). 5. Bobot total biomasa (gram). 6. Panjang malai (cm).
7. Bobot biji per tanaman (gram). 8. Bobot 100 biji (gram).
9. Warna biji. 10. Indeks panen.
11. Kadar nira batang (%).
Pengolahan Data 1. Sidik Ragam
Sidik ragam (analisis ragam) digunakan untuk melihat keragaman yang ada pada suatu populasi. Pada percobaan yang menjadi sumber keragaman adalah perlakuan, genotipe, kontrol, interaksi genotipe dan kontrol serta galat percobaan. Tabel 2. Sidik ragam karakter berdasarkan augmented design
Sumber Keragaman Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah
Blok r-1 JKr
Check c-1 JKc
Galat (r-1)(c-1) JKe KTe
Total rc-1 JK Total
Sumber: Petersen 1994
Selanjutnya dilakukan perbandingan antara genotipe yang diuji dengan kontrol Numbu dengan uji Dunnett yang dihitung dengan formula (Steel dan Torrie 1995):
d′ t
(35)
Keterangan:
d' = nilai uji Dunnett, tDunnett = berasal dari tabel t Dunnett, KTg = Kuadrat tengah
galat, p = jumlah perlakuan
2. Pendugaan ragam, heritabilitas dan koefisien keragaman genetik
Pendugaan komponen ragam terdiri atas ragam lingkungan, ragam genetik dan ragam fenotipe yang diperoleh berdasarkan sidik ragam, yaitu:
Ragam lingkugan ( ) = KTe Ragam fenotipe ( = ∑
Ragam genetik =
Pendugaan heritabilitas merupakan proporsi antara ragam genetik dengan ragam fenotipe yang dihitung berdasarkan rumus (Singh dan Chaudary 1979):
Keterangan: = heritabilitas arti luas, = ragam genetik, = ragam fenotipe Kriteria nilai heritabilitas (Stanfield 1983):
Tinggi (h2 > 0,5); sedang (0,2 ≤ h2≤ 0,5); rendah (h2 < 0,2).
Koefisien keragaman genetik (KKG) digunakan untuk menduga luas atau tidaknya keragaman genetik yang dimiliki masing-masing karakter yang dihitung berdasarkan (Knight 1979):
_ %
Keterangan: = ragam genetik dan _ = rata-rata populasi Kriteria: Sempit (0-10%), sedang (10-20%) dan luas (> 20%).
3. Respon Seleksi
Perhitungan respon seleksi (realized selection) berfungsi untuk mengetahui nilai kemajuan seleksi yang sebenarnya. Perhitungan realized heritability dilakukan untuk mengetahui seberapa besar keakuratan nilai duga kemajuan
(36)
seleksi. Realized selection dan realized heritability dihitung dengan rumus (Stoskopf et al. 1993):
R xR x
R x100%
Keterangan:
R = Realized selection, xR = nilai tengah populasi generasi selanjutnya hasil seleksi, x = nilai tengah populasi generasi dasar, x = nilai tengah populasi hasil seleksi
(37)
I. Pendugaan Parameter Genetik Karakter Agronomi Sorgum di Lahan Masam
Keragaan Karakter Agronomi Sorgum Populasi F4 di Lahan Masam
Materi genetik yang digunakan adalah benih sorgum generasi F4 hasil persilangan antara UPCA S1 dan Numbu yang diseleksi melalui metode pedigree dengan memilih 10% individu terbaik berdasarkan bobot biji/tanaman pada generasi F3 di lahan optimum. Generasi F3 merupakan hasil seleksi 10% individu terbaik pada generasi F2 di lahan masam (Isnaini 2010). Tetua yang digunakan pada persilangan merupakan tetua yang memiliki ketahanan berbeda terhadap lahan masam. UPCA S1 merupakan varietas peka lahan masam dan Numbu merupakan varietas toleran lahan masam (Sungkono 2010).
Berdasarkan hasil uji t pada taraf 5% diketahui bahwa kedua tetua memiliki keragaan yang berbeda untuk karakter tinggi tanaman, diameter batang, bobot batang, bobot biomasa dan bobot biji/tanaman (Tabel 3). Karakter panjang malai, kadar nira dan indeks panen antara kedua tetua tidak berbeda nyata. Nilai tengah karakter agronomi yang diamati pada Numbu lebih tinggi dibandingkan UPCA S1, kecuali karakter indeks panen.
Tabel 3. Keragaan tetua (UPCA dan Numbu) di lahan masam
Karakter UPCA Numbu |t hit|
Tinggi tanaman (cm) 139.00 a 199.84 b 9.80* Diameter batang (cm) 1.02 a 1.26 b 3.97*
Bobot batang (g) 28.39 a 121.59 b 10.60*
Bobot biomasa (g) 75.79 a 249.75 b 11.82* Panjang malai (cm) 16.09 a 16.60 a 0.67tn Bobot biji/tanaman (g) 17.07 a 49.41 b 9.28*
Kadar nira (%) 7.52 a 7.92 a 0.30tn
Indeks panen 0.21 a 0.20 a 0.04tn
Keterangan: Kolom dan baris dengan huruf yang sama, tidak berbeda nyata berdasarkan uji-t pada α=0.05, * = berbeda nyata, tn=tidak berbeda nyata
Perbedaan keragaan karakter agronomi di antara kedua tetua disebabkan oleh perbedaan daya adaptasi UPCA S1 dan Numbu di lahan masam. Hasil penelitian Isnaini (2010) menunjukkan bahwa Numbu memiliki pertumbuhan akar
(38)
yang lebih baik dibandingkan dengan UPCA S1 dalam larutan hara yang mengandung cekaman Al. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Agustina (2011) menunjukkan bahwa Numbu sebagai genotipe toleran memiliki sistem perakaran yang lebih baik dibanding genotipe peka pada cekaman Al yang ditunjukkan oleh keragaan bobot kering akar, panjang akar, panjang tajuk dan bobot kering tajuk. Menurut Marschner (1995), perakaran yang tidak sempurna menyebabkan terhambatnya serapan hara yang mengakibatkan terganggunya pertumbuhan.
Populasi F4 hasil persilangan UPCA S1 dan Numbu masih memiliki keragaan yang berbeda-beda di lahan masam. Perbedaan keragaan meliputi karakter kuantitatif, yang diamati melalui karakter agronomi, maupun karakter kualitatif, seperti warna sekam dan biji, serta kemampuan mempertahankan kehijauan daun setelah fase generatif (stay green).
Tabel 4. Keragaan karakter agronomi populasi F4 dengan tetuanya di lahan masam
Karakter UPCA Numbu Populasi
F4
Kisaran Populasi F4 Tinggi tanaman (cm) 139.00 199.84 178.00 104.00-282.00 Diameter batang (cm) 1.02 1.26 1.12 0.50-2.00 Bobot batang (g) 28.39 121.59 84.43 7.00-348.00 Bobot biomasa (g) 75.79 249.75 166.29 23.00-671.00 Panjang malai (cm) 16.09 16.60 16.12 4.00-26.00 Bobot biji/tanaman (g) 17.07 49.41 27.60 2.00-103.00 Kadar nira (%) 7.52 7.92 7.20 0.00-20.00
Indeks panen 0.21 0.20 0.17 0.01-0.68
Hasil pengamatan terhadap beberapa karakter agronomi sorgum generasi F4 di lahan masam menunjukkan bahwa nilai tengah karakter agronomi populasi F4 berada di antara nilai tengah kedua tetua, kecuali untuk karakter kadar nira dan indeks panen (Tabel 4). Hasil penelitian Isnaini (2010) terhadap generasi terdahulu, yaitu populasi F2 (UPCA S1 x Numbu), menunjukkan bahwa karakter tinggi tanaman memiliki nilai tengah di antara nilai tengah kedua tetua, namun untuk karakter bobot batang, bobot biomasa, panjang malai dan bobot biji/malai berada di bawah kedua tetua. Informasi tersebut menjelaskan bahwa seleksi menyebabkan pergeseran nilai tengah ke arah nilai yang lebih tinggi. Peningkatan nilai tengah menunjukkan perbaikan karakter, yang dapat pula diartikan bahwa
(39)
seleksi menyebabkan perbaikan pada karakter bobot batang, bobot biomasa, panjang malai dan bobot biji/malai.
Karakter tinggi tanaman dan diameter batang dapat memberikan informasi tentang tegakan tanaman sorgum dan kemampuan tanaman dalam mengalokasikan fotosintat. Diperoleh kisaran tinggi tanaman 104.00-282.00 cm dan kisaran diameter batang 0.5-2.0 cm. Kisaran tinggi tanaman dapat menunjukkan bahwa terdapat tanaman yang peka maupun toleran terhadap cekaman lahan masam. Menurut Marschner (1995), tinggi tanaman dapat digunakan untuk melihat pengaruh lingkungan karena tanaman yang mengalami cekaman lingkungan abiotik umumnya menunjukkan gejala kerdil.
Untuk kebutuhan produksi biji, tinggi tanaman yang terlalu tinggi tidak diharapkan karena jika tidak ditopang dengan struktur perakaran yang kokoh maka tanaman akan mudah rebah. Selain itu, tanaman yang tinggi menyebabkan alokasi fotosintat lebih banyak ke batang dibandingkan ke biji (Indradewa 2005). Hal ini tidak akan menguntungkan terutama bagi tanaman sereal, namun untuk kebutuhan bioetanol tinggi tanaman merupakan salah satu karakter target karena tanaman yang tinggi diharapkan akan lebih banyak menghasilkan volume nira batang sebagai bahan baku bioetanol.
Selain tinggi tanaman, karakter bobot batang dan kadar nira juga merupakan karakter penting yang dapat memberikan gambaran potensi produksi bioetanol sorgum. Bobot batang yang besar diharapkan berbanding lurus dengan volume nira batang. Kadar nira memberikan informasi besarnya gula terlarut pada batang. Berdasarkan volume nira dan kadar nira, produktivitas bioetanol dapat diduga melalui persamaan Y = KN x VN x 0.644 x 0.95 x 0.90; dimana Y merupakan hasil bioetanol, KN adalah kadar nira, VN adalah volume nira, nilai 0.644 merupakan faktor konversi gula menjadi etanol, 0.95 adalah nilai efisiensi fermentasi dan 0.90 adalah nilai efisiensi destilasi (Sungkono 2010). Tinggi tanaman dan bobot batang dipengaruhi oleh lama fotoperiode, temperatur tinggi dan persediaan air yang memadai (Du 2008).
Bobot biomasa mencerminkan kemampuan tanaman untuk mengakumulasi pertumbuhan pada tanaman. Kemampuan tanaman dalam mempertahankan bobot biomasa menunjukkan toleransi tanaman terhadap lahan
(40)
masam (Agustina 2011). Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa terdapat kisaran yang besar pada karakter bobot biomasa yaitu 23.00-671.00 g. Hal ini menunjukkan bahwa pada populasi F4 terdapat tanaman yang peka lahan masam yang ditunjukkan dengan bobot biomasa yang rendah dan tanaman yang toleran lahan masam yang ditunjukkan oleh bobot biomasa yang tinggi. Hal ini menunjukkan pula terdapat potensi yang besar untuk dapat memilih tanaman yang toleran cekaman lahan masam melalui bobot biomasa.
Panjang malai dan bobot biji/tanaman merupakan komponen hasil yang berhubungan dengan potensi hasil tanaman. Panjang malai sorgum merupakan karakter penting pada komponen hasil karena malai merupakan tempat bagi biji-biji sorgum. Bobot biji-biji/tanaman merupakan karakter daya hasil yang akan menentukan produktivitas tanaman. Karakter bobot biji/tanaman merupakan karakter utama dalam budidaya tanaman karena bernilai ekonomis. Terdapat rentang panjang malai yang cukup besar yaitu 4.00-26.00 cm pada populasi F4, sedangkan rentang hasil bobot biji/tanaman yaitu 2.00-103.00 g.
Karakter indeks panen merupakan perbandingan antara bobot biji dengan bobot biomasa tanaman. Indeks panen merupakan penanda tingkat efisiensi tanaman dalam proses penggunaan hasil fotosintesis (Soetarso 1989). Semakin besar indeks panen maka semakin efisien tanaman memanfaatkan hasil fotosintesisnya. Namun demikian perlu diperhatikan proporsi indeks panen yang sesuai bagi suatu tanaman sehingga diperoleh tanaman yang berdaya hasil tinggi tanpa menyebabkan kerapuhan struktur tanaman tersebut karena akumulasi hasil yang tinggi. Pada populasi F4 diperoleh kisaran indeks panen yang cukup lebar yaitu 0.01-0.68. Penelitian yang dilakukan oleh Tariq et al. (2007) menunjukkan bahwa pada sembilan genotipe sorgum yang diuji pada lahan kering menghasilkan nilai indeks panen antara 0.003-0.18. Menurut Prihar dan Stewart (1991), indeks panen pada sorgum nilainya bergantung pada lingkungan tumbuh dan genotipe yang digunakan.
Sebaran Populasi F4
Sebaran populasi F4 sorgum digunakan untuk membandingkan nilai tengah tetua dan nilai tengah populasi turunannya dengan melihat sebaran data populasi tersebut. Sebaran karakter tinggi tanaman, diameter batang, bobot
(41)
batang, bobot biomasa, panjang malai, bobot biji/tanaman, kadar nira dan indeks panen disajikan pada Gambar 3 sampai Gambar 10.
Gambar 3. Sebaran karakter tinggi tanaman sorgum populasi F4 di lahan masam
Gambar 4. Sebaran karakter diameter batang sorgum populasi F4 di lahan masam
(42)
Gambar 6. Sebaran karakter bobot biomasa sorgum populasi F4 di lahan masam
Gambar 7. Sebaran karakter panjang malai sorgum populasi F4 di lahan masam
Gambar 8. Sebaran karakter bobot biji/tanaman sorgum populasi F4 di lahan masam
(43)
Gambar 9. Sebaran karakter kadar nira sorgum populasi F4 di lahan masam
Gambar 10. Sebaran karakter indeks panen sorgum populasi F4 di lahan masam Adanya penyimpangan dari sebaran normal pada data dapat dilihat melalui nilai skewness dan kurtosis, atau yang disebut pula statistik derajat ke-3 dan ke-4. Skewness dan kurtosis dapat digunakan untuk melihat aksi gen dari populasi yang terbentuk. Umumnya pendugaan aksi gen melalui skewness dan kurtosis dilakukan pada populasi F2 dimana keragaman tertinggi terbentuk dari suatu hasil persilangan. Jika diperoleh kurva sebaran normal dengan skewness dan kurtosis sama dengan nol maka keragaman disebabkan oleh aksi gen aditif (Roy 2000). Nilai skewness dapat digunakan untuk menunjukkan aksi gen yang mengendalikan suatu karakter. Jika skewness bernilai 0 maka karakter dikendalikan oleh aksi gen aditif. Nilai skewness positif (+) menunjukkan bahwa karakter tidak hanya dikendalikan oleh aksi gen aditif tetapi juga terdapat epistasis komplementer. Sebaliknya, jika nilai skewness negatif (-) maka karakter dikendalikan oleh aksi gen aditif dan epistasis duplikasi (Roy 2000).
(44)
Aksi gen aditif merupakan kontribusi dari alel-alel untuk menghasilkan suatu fenotipe. Epistasis merupakan interaksi antara dua gen atau lebih dalam membentuk suatu fenotipe. Interaksi antar gen dapat pula diartikan bahwa untuk menghasilkan suatu fenotipe maka diperlukan suatu proses metabolisme dimana pada setiap tahapannya terlibat satu gen sehingga diperlukan sederetan gen. Epistasis komplementer adalah interaksi gen dimana fungsi suatu gen akan diperlukan oleh gen lain dalam suatu metabolisme. Epistasis duplikasi adalah interaksi yang hanya berlangsung jika dua gen menghasilkan bahan yang sama untuk membentuk fenotipe yang sama (Griffiths et al. 2005).
Nilai skewness yang disajikan pada Tabel 3 menunjukkan bahwa karakter tinggi tanaman diduga memiliki aksi gen aditif. Karakter diameter batang, bobot batang, bobot biomasa, bobot biji, kadar nira dan indeks panen diduga memiliki aksi gen aditif dan terdapat epistasis komplementer. Hasil percobaan menunjukkan kesesuaian dengan hasil penelitian Isnaini (2010) yang melakukan pendugaan aksi gen pada generasi F2 (UPCA S1 x Numbu) di lahan masam yang menunjukkan bahwa tinggi tanaman dipengaruhi oleh aksi gen aditif, sedangkan karakter bobot batang, bobot biomasa dan bobot biji/tanaman dikendalikan oleh aksi gen aditif dan terdapat epistasis komplementer. Aksi gen aditif terhadap tinggi tanaman juga dihasilkan pada penelitian Dangi dan Paroda (1978) dalam Bawazir (2009).
Tabel 5. Skewness dan kurtosis pada sebaran kurva normal karakter agronomi sorgum populasi F4 di lahan masam
Karakter Skewness Aksi Gen Kurtosis Jumlah gen pengendali Tinggi tanaman (cm) -0.14 Aditif 0.43 sedikit gen Diameter batang (cm) 0.50 Aditif+epistasis
komplementer
0.26 sedikit gen Bobot batang (g) 1.25 Aditif+epistasis
komplementer
2.30 sedikit gen Bobot biomasa (g) 1.28 Aditif+epistasis
komplementer
2.53 sedikit gen Panjang malai (cm) 0.09 Aditif 0.80 sedikit gen Bobot biji/tanaman (g) 0.99 Aditif+epistasis
komplementer
0.99 sedikit gen Kadar nira (%) 0.58 Aditif+epistasis
komplementer
-0.58 banyak gen Indeks panen 0.71 Aditif+epistasis
komplementer
(45)
Kesesuaian kendali gen generasi F4 dan F2 pada karakter bobot batang, bobot biomasa dan bobot biji/tanaman menunjukkan bahwa masih terdapat peluang interaksi gen-gen sehingga tingkat homozigositas untuk karakter kuantitatif tersebut kemungkinan lebih lambat tercapai. Hasil penelitian yang dilakukan Ceballos (1998) pada kendali gen jagung menunjukkan bahwa penyebab keragaman karakter di lahan masam adalah efek epistasis. Hasil penelitian yang dilakukan Wolf dan Hallauer (1977) dalam Ceballos (1998) menunjukkan bahwa efek epistasis pada produksi biji merupakan hal yang perlu diperhatikan di lingkungan bercekaman. Pengaruh epistasis pada lingkungan bercekaman menunjukkan bahwa gen-gen pengendali suatu karakter saling mempengaruhi untuk menghasilkan suatu ekspresi.
Aksi gen epistasis nilainya kecil dibandingkan aksi gen aditif sehingga sering dianggap tidak ada. Namun ketika gen epistasis muncul maka akan mempengaruhi ekspresi gen. Pengaruh gen epistasis akan semakin berkurang seiring dengan segregasi yang terjadi pada setiap generasi karena aksi gen ini tidak diturunkan, sedangkan aksi gen aditif akan semakin bertambah. Generasi F4 masih memiliki tingkat heterozigositas sebesar 12.5% untuk karakter yang dikendalikan oleh 1 gen (Stoskopf et al. 1993), sedangkan pada karakter kuantitatif dikendalikan oleh banyak gen. Hal ini menyebabkan tingkat homozigositas lebih lambat dicapai.
Karakter panjang malai pada populasi F4 juga dikendalikan oleh aksi gen aditif, sedangkan pada generasi F2 dipengaruhi oleh aksi gen aditif dan epistasis komplementer. Tidak terdapatnya epistasis pada karakter panjang malai pada generasi F4 menunjukkan bahwa pengaruh gen epistasis semakin berkurang seiring dengan terjadinya segregasi pada generasi lanjut. Hal ini juga menunjukkan bahwa terjadi fiksasi gen-gen aditif pada karakter panjang malai.
Jumlah gen pengendali karakter kuantitatif dapat diduga dari nilai kurtosis sebaran. Nilai kurtosis positif (+) artinya karakter dikendalikan oleh sedikit gen. Jika nilai kurtosis negatif (-) menunjukkan bahwa karakter dikendalikan oleh banyak gen. Jumlah gen yang mengendalikan akan mempengaruhi tingkat kesulitan program pemuliaan (Roy 2000). Berdasarkan nilai kurtosis yang diperoleh dapat diduga bahwa karakter tinggi tanaman, diameter batang, bobot
(46)
batang, bobot biomasa, panjang malai, bobot biji/tanaman dan indeks panen dikendalikan oleh sedikit gen. Hasil serupa juga diperoleh pada penelitian Isnaini (2010) pada populasi F2 (UPCA S1 x Numbu) yang menunjukkan bahwa karakter tinggi tanaman, bobot batang, bobot biomasa, panjang malai dan bobot biji/tanaman dikendalikan oleh sedikit gen.
Nilai kurtosis karakter kadar nira sorgum populasi F4 menunjukkan bahwa kadar nira dikendalikan oleh banyak gen. Menurut Du (2008), kadar nira diwariskan secara kuantitatif dan dikendalikan oleh beberapa gen minor. Kandungan kadar nira yang rendah dikendalikan oleh aksi gen dominan parsial, sedangkan kandungan kadar nira yang tinggi dikendalikan oleh aksi gen dominan bahkan beberapa kombinasi menghasilkan over dominan. Hal ini menunjukkan bahwa untuk memperoleh kadar nira yang tinggi maka diperlukan aksi gen dominan yang dapat diperoleh melalui persilangan sorgum untuk memunculkan heterosis.
Pendugaan Komponen Ragam dan Nilai Heritabilitas Karakter Agronomi Sorgum Populasi F4 di Lahan Masam
Ketersediaan materi genetik yang beragam sangat diperlukan dalam kegiatan seleksi. Semakin tinggi keragaman maka akan semakin meningkatkan efektivitas seleksi. Keberhasilan seleksi sangat ditentukan oleh adanya keragaman yang disebabkan oleh faktor genetik (Roy 2000). Oleh karena itu, pendugaan keragaman penting dilakukan untuk mengetahui besarnya pengaruh ragam genetik dan ragam lingkungan terhadap ragam fenotipe tanaman. Selain pendugaan keragaman, pendugaan nilai heritabilitas juga penting dilakukan karena heritabilitas dapat dijadikan tolak ukur untuk menentukan peluang diturunkannya suatu karakter kepada generasi selanjutnya. Semakin besar nilai heritabilitas maka proporsi ragam genetik semakin besar dibandingkan ragam lingkungannya. Menurut Poehlman dan Slepper (1996), efektivitas seleksi untuk mendapatkan genotipe unggul ditentukan oleh keragaman genetik pada suatu populasi dan seberapa besar sifat unggul tersebut dapat diturunkan pada generasi selanjutnya.
Tabel 6 menunjukkan bahwa populasi F4 (UPCA S1 x Numbu) memiliki nilai koefisien keragaman genetik yang luas untuk karakter bobot batang, bobot biomasa, bobot biji/tanaman, indeks panen dan kadar nira. Menurut Yunianti
(47)
(2010), luasnya keragaman genetik memberikan peluang untuk dilakukannya seleksi untuk perbaikan suatu karakter.
Nilai koefisien keragaman yang sempit dimiliki oleh karakter tinggi tanaman, dan panjang malai. Hal ini menunjukkan bahwa pada karakter tersebut tidak terdapat keragaman di anatara individu dalam populasi sehingga seleksi tidak akan lagi efektif terhadap dua karakter tersebut. Tanpa adanya keragaman individu-individu dalam populasi maka akan sulit mendapatkan peluang untuk memperoleh karakter yang diinginkan.
Populasi F4 memiliki nilai duga heritabilitas arti luas yang tergolong tinggi untuk karakter bobot batang, bobot biomasa, bobot biji/tanaman dan indeks panen (Tabel 6). Informasi tersebut memberikan gambaran peluang diturunkannya karakter tersebut pada generasi selanjutnya. Selain nilai heritabilitas yang luas, keempat karakter tersebut juga memiliki nilai koefisien keragaman yang tinggi sehingga berpotensi untuk dijadikan kriteria seleksi.
Tabel 6. Pendugaan komponen ragam, koefisien keragaman genetik dan heritabilitas arti luas karakter agronomi sorgum F4 di lahan masam
Karakter KKG (%) (%)
Tinggi tanaman 21.749 558.732 2.62 Sempit 3.89 Sempit Diameter batang 0.012 0.061 10.04 Sedang 20.46 Sedang Bobot batang 1756.620 2510.893 49.64 Luas 69.96 Luas Bobot biomasa 4613.058 7700.788 40.84 Luas 59.90 Luas Panjang malai 1.708 6.560 8.11 Sempit 26.03 Sedang Bobot biji/tanaman 205.677 394.970 51.96 Luas 52.07 Luas Kadar nira 6.197 19.803 34.58 Luas 31.29 Sedang Indeks panen 0.006 0.009 45.69 Luas 65.23 Luas
Nilai heritabilitas yang tergolong sedang dimiliki oleh diameter batang, panjang malai dan kadar nira. Nilai heritabilitas tinggi tanaman, tergolong rendah. Nilai heritabilitas yang rendah menunjukkan bahwa ekspresi fenotipe di lapangan lebih besar dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Menurut Du (2008), heritabilitas arti luas kadar nira tidak tinggi karena sangat dipengaruhi oleh lingkungan, seperti kandungan nitrogen dalam tanah dan temperatur.
(1)
90
Rodrigues VR, Bucio JL, Estrella LH. 2005. Adaptive responses in plants to nonoptimal soil pH. Article in Plant Abiotic Stress. Blackwell publishing. Rooney LW, Miller FR. 1982. Proceedings of the International Symposium on
Sorghum Grain Quality. ICRISAT, Patancheru,AP, India, pp.143–162. Rout GR, Samantaray S, Das P. 2001. Aluminium toxicity in plants. Agronomie
21:3-21
Roy D. 2000. Plant Breeding: Analysis and exploitation of variation. Calcutta: Narosa Publishing House.Salisbury FB, Ross CW. 1992. Plant physiology. Ed ke-4. Wadsworth Pub. Co.
Ryan PR, et al. 2010. The identification of ALUMINUM resistance genes provides opportunities for enhancing crop production on acid soils. Journal of Experimental Botany 62 (1):9-20.
Samac DA, Tesfaye M. 2003. Plant improvement for tolerance in Aluminium in acid soil – a review. Plant cell, tissue and organ culture 75:189-207.
Sang Y, Bean S, Seib PA, Pedersen J, Shi YC. 2008. Structure and functional properties of sorghum starches differing in amylase content. Journal of Agricultural and Food Chemistry 56: 6680-6685.
Schober TJ, Bean SR, Boyle DL. 2007. Gluten-free sorghum bread improved by sourdough fermentation: biochemical, rheological, and microstructural background. J. Agric. Food. Chem. 55:5137-5146.
Shoup FK, Deyoe CW, Sanford PE, Murphy LS. 1970. Nutritive value of six commercial sorghum grain hybrids. Poult. Sci. 49:168-172.
Sierra J. et al. 2006. Nutrient and assimilate partitioning in two tropical maize cultivars in relation to their tolerance to acid soil acidity. Field Crops Research 95:234-249.
Siller ADP. 2006. In Vitro Starch digestibility and estimated glycemic index of sorghum products [tesis]. Texas: Food Science and Technology, Texas A & M University.
Silva I, Smyth T, Moxley D, Carter T, Allen N, Rufty T. 2000. Aluminum accumulation at nuclei of cells in the root tip. Fluorescence detection using lumogall ion and confocal laser scanning microscopy. Plant Physiol. 123 :543–552.
Singh RK, Chaudary. 1979. Biometrical methods in quantitative genetic analysis. New Delhi: Kalyani Publisher.
Sirappa MP. 2003. Prospek pengembangan sorgum di Indonesia sebagai komoditas alternatif untuk pangan, pakan dan industri. Jurnal litbang pertanian 22 (4):133-140.
Smith CW, Frederiksen RA. 2000. Sorghum Origin, History, Technology and Production. New York: John Wiley and Sons.
Soetarso. 1989. Indeks panen sebagai kriteria seleksi dalam pemuliaan tanaman kedelai. Ilmu Pertanian 4 (5): 207-213.
(2)
Suarni. 2004. Pemanfaatan tepung sorgum untuk produk olahan. Jurnal litbang pertanian 23 (4):145-151.
Stanfield WD. 1983. Theory and problem of genetics. Ed ke-2. New York: McGraw-Hill.
Steel RGD, Torrie JH. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu Pendekatan Biometrik. Terjemahan oleh Bambang Sumantri. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Stoskopf NC, Tomes DT, Christie BR. 1993. Plant Breeding:Theory and Practice. Oxford: Westview Press.
Subramanian V, Jambunathan R. 1981. Properties of sorghum grain and their relationship to roti quality. Proc. Int. Symp. on Sorghum Grain Quality. Patancheru, India: Int. Crops Res. Inst. Semi-Arid Tropics (ICRISAT). p280-288.
Sungkono. 2010. Seleksi galur mutan sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench untuk produktivitas biji dan bioetanol tinggi di tanah masam melalui pendekatan participatory plant breeding [disertasi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Syukur M, Sujiprihati S, Yunianti R. 2009. Pemuliaan tanaman. Bogor: Sekolah pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Taiz L, Zeiger E. 2002. Plant physiology. Ed ke-3. Massachusets: Sinauer associates, Inc.
Tariq M, Awan SI, Irshad-Ul-Haq M. 2007. Genetic variability and character association for harvest index in sorghum under rainfed conditions. International Journal of Agriculture and Biology 9 (3):470-427.
Taylor GJ. 1991. Current views of the aluminum stress response: The physiological basis of tolerance. Curr. Topics Plant Bichem. Phsyiol.10:57–93.
Taylor JRN. 2005. Non starch polisaccharides, protein and starch: Form, function and feed-Highlight on shorghum. Aust. Poult. Sci. Symp:9-16.
Tesso T, Ejeta G, Chandrashekar A, Huang CP, Tandjung A, Lewarny M, Axtell JD, Hamaker BR. A novel modified endosperm texture in a mutant high-protein digestability grain sorghum (Sorghum bicolor (L.) Moench). Cereal Chemistry 83 (2):194-201.
Trikoesoemaningtyas, Sopandie D, Wirnas D. 2007. Pengembangan Sorgum Manis (Sorghum bicolor (L.) Moench) untuk Bioetanol di Lahan Kering Bertanah Masam: Fisiologi, Genetika dan Pemuliaan. Laporan Hibah Tim Pascasarjana-HPTP Bidang Penelitian Sumberdaya Hayati, Bioproduksi dan Bioproses. Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat. Bogor: Institut Pertanian Bogor (Tidak dipublikasikan).
Vasquez MD, Poschenrieder C, Corrales I , Barcelo J. 1999. Change in apoplastic aluminum during the initial growth response to aluminum by roots of a tolerant maize variety. Plant Physiol. 119:435–444.
(3)
92
Vitorello VA, Capaldi FR, Stefanuto VA. 2005. Recent advances in aluminum toxicity and resistance in higher plants. Braz. J. Plant Physiol. 17 (1):129-143.
Waniska RD. 2000. Structure, phenolic compound and antifungal proteins of sorghum caryopses. Technical and institutional options for sorghum grain mold management. Proceedings of an international consultation. India: ICRISAT.
Wahdah R, Baihaki A, Setiamihardja R, Suryatmana G. 1996. Variabilitas dan heritabilitas laju akumulasi berat kering biji kedelai. Zuriat 7 (2):92-98. Wong JH, et al. 2009. Digestibility of protein and starch from sorghum (Sorghum
bicolor) is linked to biochemical and structural features of grain endosperm. Journal of Cereal Science 49: 73-82.
Yunianti R, Sastrosumardjo S, Sujiprihati S, Surahman M, Hidayat SH. 2010. Kriteria seleksi untuk perakitan varietas cabai tahan Phytophthora capsici Leonian. J. Agron. Indonesia 38 (2):122-129.
(4)
(5)
94
Lampiran 1. Kondisi Lahan Kering Masam Pada Lokasi Percobaan di Tenjo Indikator Terukur *)
Kriteria Sangat
masam Masam
Agak
Masam Netral pH tanah 4.8-5.4 < 4.5 4.5-5.5 5.6-6.5 6.6-7.5
Indikator Terukur Sangat
rendah Rendah Sedang Tinggi ---cmol(+)/kg--- Kejenuhan Al 28% < 10 10-20 21-30 3-60
Al-dd 2.43
Nilai Tukar Kation:
Ca2+ 11.49 < 2.0 2.0-5.0 6.0-10 11-20
Mg2+ 3.77 < 0.4 0.4-1.0 1.1-2.0 2.1-8.0 K+ 0.11 < 0.1 0.1-0.2 0.3-0.5 0.6-1.0 Na+ 0.17 < 0.1 0.1-0.3 0.4-0.7 0.8-1.0 Sumber: Balai Penelitian Tanah Bogor (2010)
(6)
Lampiran 2. Deskripsi varietas Numbu dan UPCA S1
UPCA S1 Numbu
Tahun pelepasan 1972 2001
Asal Filipina India
Umur berbunga 50%
68-80 hari 69 hari Umur panen 105-110 hari 100-105 hari
Hasil rata-rata 4.0-4.9 ton/ha 3,11 ton/ha Sifat tanaman Tidak beranak Tidak beranak
Tinggi tanaman 180-210 cm 187 cm
Bentuk daun Pita Pita
Jumlah daun 14-17 helai 14 helai
Kedudukan tangkai Di pucuk
Sifat malai Setengah kompak, tegak, berbentuk piramid terbalik
Kompak
Bentuk malai Ellips
Panjang malai 22-26 cm 22-23 cm Sifat sekam Menutup sepertiga bagian
biji
Menutup sepertiga bagian biji
Warna sekam Hitam Coklat muda
Warna biji Coklat Krem
Bobot 1000 biji 25 gram 36-37 gram Sifat biji Bulat, mudah rontok,
agak sulit disosoh
Bentuk bulat lonjong, mudah rontok
Kadar protein 9.25% 9.12%
Kadar lemak 3.6% 3.94%